• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Syariat Islam dalam Kerangka Otonomi Khusus (Studi Kajian di Provinsi Aceh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Paradigma Syariat Islam dalam Kerangka Otonomi Khusus (Studi Kajian di Provinsi Aceh)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Abdul Gani Isa

Paradigma Syariat Islam dalam Kerangka Otonomi Khusus (Studi Kajian di Provinsi Aceh)

Abdulah Safe’i

Koperasi Syariah: Tinjauan Terhadap Kedudukan dan Peranannya dalam Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan

Ali Abubakar

Kontroversi Hukuman Cambuk

Muhammad Syahrial Razali Ibrahim

Al-Qur’an dan Keadilan Islam dalam Pensyariatan Hudud

Nirzalin

Reposisi Teungku Dayah Sebagai Civil Society di Aceh

Rahimin Affandi Abd Rahim, Abdullah Yusof & Nor Adina Abdul Kadir

Film Sebagai Pemankin Pembangunan Peradaban Melayu-Islam Modern

Saifuddin Dhuhri

Diskursus Islam Liberal; Strategi, Problematika dan Identitas

Sulaiman Tripa

Otoritas Gampong dalam Implementasi Syariat Islam di Aceh

Teuku Muttaqin Mansur

Penyelesaian Kasus Mesum melalui Peradilan Adat Gampong di Aceh (Suatu Kajian Kasus di Banda Aceh)

Yenni Samri Juliati Nasution

Mekanisme Pasar dalam Perspektif Ekonomi Islam

(2)

MEDIA SYARI’AH

(3)

MEDIA SYARI’AH

Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial

Vol. 14, No. 1, 2012

PENGARAH Nazaruddin A.Wahid PENANGGUNG JAWAB Muhammad Yasir Yusuf KETUA Kamaruzzaman SEKRETARIS Husni Mubarrak BENDAHARA Ayumiati EDITOR Abdul Jalil Salam Hafas Furqani Nilam Sari Ali Azharsyah Chairul Fahmi Dedi Sumardi LAY OUT Azkia SEKRETARIAT Rasyidin Ubaidillah

(4)

2003 (Accreditation No. 34 / Dikti / Kep / 2003). Media Syari’ah has been indexed Google Scholar and other indexation is processing some.

MEDIA SYARI'AH, envisioned as the Forum for Islamic Legal Studies and Social Institution, so that ideas, innovative research results, including the critical ideas, constructive and progressive about the development, pengembanan, and the Islamic law into local issues, national, regional and international levels can be broadcasted and published in this journal. This desire is marked by the publication of three languages, namely Indonesia, English, and Arabic to be thinkers, researchers, scholars and observers of Islamic law and social institutions of various countries can be publishing an article in Media Syari'ah

MEDIA SYARI'AH, editorial Board composed of national and international academia, part of which are academicians of the Faculty of Sharia and Law of the State Islamic University of Ar-Raniry Banda Aceh. This becomes a factor Media Syari'ah as prestigious journals in Indonesia in the study of Islamic law.

Recommendations from the editor to scope issues specific research will be given for each publishing Publishing in January and July.

Editor Office : MEDIA SYARI’AH

Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Darussalam- Banda Aceh, Provinsi Aceh – 23111

E-mail: mediasyariah@ar-raniry.ac.id No. Telp (0651)7557442,

(5)

Table of Contents

Articles

1 Abdul Gani Isa

Paradigma Syariat Islam dalam Kerangka Otonomi Khusus (Studi Kajian di Provinsi Aceh)

39 Abdulah Safe’i

Koperasi Syariah: Tinjauan Terhadap Kedudukan dan Peranannya dalam Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan

65 Ali Abubakar

Kontroversi Hukuman Cambuk

97 Muhammad Syahrial Razali Ibrahim

Al-Qur’an dan Keadilan Islam dalam Pensyariatan Hudud

121 Nirzalin

Reposisi Teungku Dayah Sebagai

(6)

Film Sebagai Pemankin Pembangunan Peradaban Melayu-Islam Modern

283 Saifuddin Dhuhri

Diskursus Islam Liberal;

Strategi, Problematika dan Identitas

201 Sulaiman Tripa

Otoritas Gampong dalam Implementasi Syariat Islam di Aceh

231 Teuku Muttaqin Mansur

Penyelesaian Kasus Mesum melalui Peradilan Adat Gampong di Aceh (Suatu Kajian Kasus di Banda Aceh)

245 Yenni Samri Juliati Nasution

Mekanisme Pasar dalam Perspektif Ekonomi Islam

(7)

Paradigma Syariat Islam dalam

Kerangka Otonomi Khusus

(Studi Kajian di Provinsi Aceh)

Abdul Gani Isa

Abstrak: Mengemukanya isu pelaksanaan syari’at Islam di

Indonesia ke ranah publik pada dasarnya sudah dimulai sejak perumusan bentuk negara Indonesia pasca kemerdekaan. Isu tersebut lebih gencar lagi disuarakan pada era reformasi, pasca runtuhnya rezim Orde Baru, terlebih setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan dengan hal itu, pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh memiliki legalitas dan legitimasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia serta sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pengakuan negara terhadap pelaksanaan syari’at Islam di Aceh sebagai bagian dari otonomi khusus, didasarkan pada Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dari kedua undang-undang tersebut, telah disahkan sejumlah qanun di bidang Syariat Islam dalam mempercepat pelaksanaan dan implementasinya di provinsi Aceh.

(8)

Abstract:The appearance of Islamic law implementation demand in public domain in Indonesia has its root since the formation era of Republic Indonesia after independence. However, this issue became more important after reformation era, especially after the fall of new order regime and enactment of Law No. 22/1999 on Regional/Provincial Government. Meanwhile, the implementation of Islamic law in Aceh has its own legality and legitimacy in the framework of Indonesian law state and in line of its constitution. This grant of acknowledgment to implement sharia law for Aceh based on Law No.44/1999 on Special Status of Aceh Province and Law No. 11/2006 on Aceh Government. Legally based on both law, some provincial regulations have been enacted to speed up the implementation of sharia law in Aceh.

(9)

PENDAHULUAN

rus reformasi telah bergulir di Indonesia mulai tahun 1998. Reformasi menuntut adanya demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan juga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satu akibat reformasi yang paling mendasar adalah dalam hal sistem pemerintahan. Pada era reformasi telah lahir dua undang-undang pemerintahan daerah yang mengatur lebih lanjut mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana amanat Pasal 18 UUD 1945. Kedua undang-undang tersebut adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut yang kemudian disusul dengan Undang- undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah yang merupakan koreksi total atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita- cita UUD 1945. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut mulai berlaku pada tanggal 7 Mei 1999, terlahir sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR–RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga dalam kerangka UUD 1945. Seperti proses lahirnya beberapa undang-undang tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini juga terkesan merupakan pergeseran dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lainnya, sesuai dengan kondisi politik saat itu. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan pergeseran “pendulum” yang cukup drastis dari kondisi sentralistis ke

(10)

arah desentralisasi yang lebih luas (Marbun, 2005: 101). Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut, asas pemerintahan yang digunakan adalah asas desentralisasi dengan memperkuat fungsi DPRD/DPRA dalam pembuatan Peraturan Daerah atau Qanun. Akan tetapi, karena dipandang oleh kaum reformis dan para pakar otonomi daerah undang-undang ini banyak mengandung kelemahan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi maka diusulkan untuk dilakukan revisi, yang selanjutnya, lahirlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dan bersamaan dengan itu kemudian disusul dengan lahirnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah yang tepatnya terjadi pada tanggal 15 Oktober 2004.

Maraknya berbagai tuntutan demokratisasi di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara pada era reformasi ini, sektor pembangunan hukum mutlak membutuhkan pembenahan secara integral baik dari segi penegakan supremasi hukum, juga dalam pembentukan dan penciptaan suatu produk hukum yang responsif terhadap dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat secara nasional. Suatu hal yang fenomenal sifatnya, semangat otonomi daerah yang berlebihan telah berdampak pada beberapa daerah yang berbasis Islam kuat mulai menuntut diberlakukannya syari’at Islam secara operasional implementatif, seperti: Daerah Istimewa Aceh, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Riau, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Tasikmalaya.1 Hal ini tampak dengan jelas pada kasus penerapan hukuman “rajam” yang diberlakukan pada

(11)

salah satu anggota Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal-Jama’ah sebagai wujud penegakan Syari’at Islam (GATRA, 2001). Di Aceh juga muncul peradilan rakyat seperti pasangan tanpa nikah diarak warga di Kluet Utara, Aceh Selatan, agen ganja diarak masa di Simpang Tiga Pidie, empat WTS dicukur dan diarak di Banda Aceh (Rusjdi, 2003: 96). Kasus ini menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum serta semakin menambah kesemrautan hukum dalam sistem hukum nasional, karena secara yuridis formal penerapan hukuman “rajam” dan main hakim sendiri tidak dikenal bahkan dilarang oleh hukum positif Indonesia, sehingga menjadi persoalan yuridis dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Persoalan antagonis dari kasus hukum di atas, menunjukkan belum terakomodasinya aspek- aspek hukum Islam secara komprehensif dalam sistem hukum nasional. Padahal kedudukannya baik secara filosofis maupun ideologis sangat kuat. Dalam falsafah Pancasila misalnya, spirit hukumnya adalah hukum yang mengandung dimensi ketuhanan atau tidak bertentangan dengan ajaran agama, menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjaga kesatuan dan persatuan, berwatak demokratis dan berintikan keadilan sosial. Sementara itu, dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) ditegaskan bahwa “negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa”, dan ayat (2), “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Jadi kedudukan hukum Islam yang sangat kuat dalam sistem hukum nasional, bukan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, akan tetapi lebih didasarkan pada adanya hubungan antara negara yang menganut faham negara hukum dan negara berdasar

(12)

atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selama ini, garis kebijakan politik hukum terhadap legislasi hukum Islam ke dalam format hukum positif nasional, terbatas pada hukum keluarga (al-Ahwal

as-Syakhshiyyah) yang hanya berlaku bagi umat Islam,

khususnya pemberlakuan syari’at Islam di daerah.

Misalnya dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Kedua aturan hukum organik ini kemudian diperkokoh dalam wadah peradilan dengan melahirkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang- undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Wakaf Sedangkan aspek hukum lainnya yang bersifat publik, seperti hukum ketatanegaraan nyaris tidak terakomodasi ke dalam format hukum nasional, sehingga maraknya tuntutan formalisasi syari’at Islam ke dalam format hukum positif menjadi suatu hal yang tidak terelakkan sebagaimana kasus penerapan hukuman “rajam”, “main hakim sendiri” di atas. Di bidang hukum ketatanegaraan, ada keinginan dari berbagai Ormas Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS), Pergerakan Islam Untuk Tanah Air (PINTAR), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),

(13)

Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Ikatan Keluarga Muslim Internasional (IKMAL), dan beberapa partai politik (Parpol) yang berasaskan Islam antara lain PPP dan PBB untuk memasukkan ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan “syari’at Islam” bagi pemeluk-pemeluknya) yang terdapat dalam “Piagam Jakarta” ke dalam amandemen UUD 1945 Pasal 29 secara eksplisit.

Namun, selain tuntutan di atas juga ada kalangan ORMAS keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah serta Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) yang beranggotakan antara lain Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Mahasiswa Budhis Indonesia (HIMABUDHIS), Pergerakan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Putra-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), dan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia serta sederetan intelektual terkemuka, seperti Nurcholish Madjid, Goenawan Mohammad, Masdar F. Mas’udi, Faisal Basri, dan lain sebagainya yang menolak masuknya “Piagam Jakarta” sebagai bagian dari amandemen terhadap Pasal 29 UUD 1945 (Abdul, 2012: 23).

Pro-Kontra tentang “Piagam Jakarta” ini tentu berkaitan dengan masalah formalisasi syari’at Islam di Indonesia. Bagi kalangan yang sepakat dengan penerapan syari’at Islam secara formal di Indonesia, setidaknya memiliki problematika yang cukup serius (Kurniawan, 2001: 94-96).

Pertama, menyangkut problem historis. Secara historis,

gagasan formalisasi syari’at Islam dalam politik kenegaraan merupakan gagasan yang sama sekali bukan baru. Kalangan Islam politik tempo dulu memperjuangkannya secara serius, sebagaimana terlihat dalam Piagam Jakarta,

(14)

yang lantas menjadi tonggak historis bagi kalangan penuntut ide formalisasi syari’at Islam di Indonesia. Kedua, problem ideologis. Wacana ideologis yang ditawarkan kelompok Islam yang menghendaki formalisasi syari’at Islam dalam berpolitik pun tidak mudah untuk segera membuat banyak kalangan yakin dan mengungkapkan dukungannya-bahkan oleh (kebanyakan) kalangan ulama sekalipun.

Ketiga, problem teknis-praktis. Pertanyaan yang saat ini

banyak dilontarkan kalangan awam berkaitan dengan tema ini adalah, bagaimana nanti teknisnya pelaksanaan syari’at Islam, bila negara turut campur? Apakah perlu dibentuk polisi pengawas syari’at? Bayangan kerepotan segera mengilhami banyak kalangan, tatkala ide formalisasi syari’at Islam disebut. Sedangkan bagi kalangan yang dengan jelas menolak secara tegas masuknya “Piagam Jakarta” dalam konstitusi, sedikitnya ada tiga alasan (Kurniawan, 2001: 203-204); Pertama, pencantuman piagam ini akan membuka kemungkinan campur tangan negara dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan kemudharatan baik agama itu sendiri maupun pada negara sebagai wilayah publik. Kedua,

usulan tersebut akan membangkitkan kembali prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai ‘negara Islam’ di Indonesia. Prasangka ini jika dibiarkan, akan dapat mengganggu hubungan- hubungan antar kelompok yang pada ujungnya akan menimbulkan ancaman disintegrasi. Ketiga, tujuh kata Piagam Jakarta berlawanan dengan visi negara nasional yang memberlakukan semua kelompok di negeri ini secara sederajat. Jika kewajiban melaksanakan syari’at Islam menjadi suatu ketetapan dalam konstitusi, maka hal itu akan menimbulkan tuntutan yang sama pada kelompok- kelompok agama lain. Di tengah-tengah perdebatan tersebut, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan pemberlakuan “Syari’at Islam”

(15)

kepada Daerah Istimewa Aceh melalui Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Kebijakan nasional itu kemudian diperkuat lagi oleh peraturan yang lebih tinggi hirarki-nya, yaitu TAP MPR No. IV /MPR/1999 Tentang GBHN, yang dalam salah satu ketetapannya tentang daerah Aceh butir (a) menyebutkan: “Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan RI dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang diatur oleh Undang-undang”. Wujud Undang-undang itu adalah Undang-undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi “Nanggroe Aceh Darussalam” yang disahkan pada tanggal 9 Agustus 2001, setelah sebelumnya RUU NAD itu mendapatkan persetujuan dari DPR bersama pemerintah pada tanggal 19 Juli 2001. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 ini dicabut dengan disahkannya Undang- undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah, Pertama, bagaimana implikasi dari adanya kebijakan otonomi daerah di Indonesia pasca reformasi terhadap perkembangan perda-perda yang dipersepsikan bernuansa syari’at Islam tersebut?; Kedua, jenis-jenis “Perda Syari’at” apa sajakah yang telah diproduk oleh beberapa pemerintahan daerah di Indonesia yang warga masyarakatnya mengaspirasikan untuk diberlakukannya Syari’at Islam secara formal melalui qanun tersebut?

IMPLIKASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

Secara teoritis, untuk menganalisis pemberlakuan syari’at Islam secara formal dalam konteks otonomi daerah

(16)

harus dilihat dari perspektif peraturan perUndang-undangan. Dalam rangka itu pula, maka harus mengacu kepada teori pertingkatan hukum (hirarki norma hukum/stufenbau theory) dari Kelsen yang dimaksudkan untuk mengkaji aspek kepastian hukum dalam kaitannya dengan keberlakuan hukum secara yuridis, karena kepastian hukum ditentukan oleh validitas atau kesesuaian hukum dalam tatanan hirarki peraturan perUndang-undangan (Hans, t.t.: 112-115). Selain itu, juga dimaksudkan untuk menganalisis keterkaitan antar norma hukum, yang mengacu pada nilai filosofis yang berintikan pada rasa keadilan dan kebenaran, maupun nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Menurutnya, dalam General Theory of Law and State disebutkan: The basic theory merely establishes a certain authority, which may well in turn vest norm-creating power in some other authorities. The norm of dynamic system have to be created through acts of will by those individuals who have been authorized to create norms by some higher norm. This authorization is a delegation. Norm creating power is delegated from one authority to another authority; the former is the higher, the later the lower authority. The basic norm of a dynamic system is the fundamental rule according to

which the norms of the system are to be created (Norma dasar

menentukan otoritas tertentu, yang pada gilirannya memberi kekuasaan membentuk norma kepada sejumlah otoritas lain. Norma-norma dari suatu sistem yang dinamis harus dilahirkan melalui tindakan-tindakan kehendak dari para individu yang telah diberi wewenang untuk membentuk norma-norma oleh norma yang lebih tinggi. Pemberian wewenang ini adalah suatu delegasi. Norma yang membentuk kekuasaan didelegasikan dari suatu otoritas kepada otoritas lainnya, otoritas yang pertama adalah otoritas yang lebih tinggi, otoritas yang kedua adalah otoritas yang

(17)

lebih rendah. Norma dasar dari suatu sistem yang dinamis adalah peraturan fundamental yang menjadi dasar rujukan bagi pembentukan norma-norma dari sistem tersebut) (Hans, t.th.: 112-115).

Teori stufenbau mengajarkan bahwa secara formal hukum merupakan susunan hirarki dari hubungan-hubungan normatif. Norma yang satu berhubungan-hubungan dengan norma yang lain, norma yang pertama lebih tinggi tingkatannya daripada norma yang kedua dan demikian selanjutnya berjenjang dari atas ke bawah. Hal ini berarti, isi nilai dari suatu norma dari norma yang di bawah dan yang berikutnya tidak boleh bertentangan, atau tidak boleh tidak bersesuaian dengan norma yang di atasnya. Setiap norma hukum memperoleh pengesahan dari norma hukum yang di atasnya dan pada tingkat terakhir semua norma hukum memperoleh pengesahan dari norma dasar (Kusnu, t.t.: 40).

Dengan demikian, suatu peraturan hukum tertentu harus dapat dikembalikan kepada peraturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan hukum positif disusun secara bertingkat dari atas, yaitu dari norma dasar secara bertingkat ke bawah ke sesuatu yang melaksanakan norma-norma hukum tersebut secara konkret. Konsekuensinya suatu peraturan hukum tertentu dapat dievaluasi kesesuaiannya dengan peraturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya (Kusnu, t.t.: 40).

Dalam kaitannya dengan teori stufenbau ini, maka jika diperhatikan secara seksama Indonesia telah menganut teori yang dapat dirujuk dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

(18)

PerUndang-undangan,2 dan peraturan sebelumnya yaitu Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan PerUndang-undangan (Sirajuddin, dkk, 2006: 32). Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (norma fundamental negara/staat fundamental norm) atau norma dasar (grundnorm, basicnorm) yang menempati urutan tertinggi di puncak piramida norma hukum, kemudian diikuti oleh UUD 1945, serta hukum dasar tidak tertulis atau konvensi ketatanegaraan sebagai aturan dasar negara (staat

grund gesetz), dilanjutkan dengan Undang-undang/Perpu

(formele gezetz), serta peraturan pelaksanaan dan peraturan

otonom (verordenung und autonome satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah ((Sirajuddin, dkk, 2006: 32). Dalam rangka menganalisis pemberlakuan syari’at secara formal di berbagai daerah melalui beberapa produk peraturan daerah (Perda), maka pengklasifikasian uraiannya menjadi sebagai berikut:

Produk “Qanun-qanun Syariah” di Provinsi Aceh dengan Status Otonomi Khusus berdasarkan Hierarki Formal

dan Fungsional. Perda-perda dan Qanun-qanun ’Syariah’ yang telah diproduk oleh Pemerintahan Aceh dan yang menjadi obyek dari kajian penelitian ini adalah meliputi:

1. Perda Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam;

2. Perda Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Sususnan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syari’at Islam;

3. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam;

4. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Tentang

(19)

Syiar Islam;

5. Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya;

6. Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian);

7. Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum); dan

8. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Baitul Mal.

Keberadaan Perda dan qanun-qanun di atas, jika dilihat dari sistem hirarki norma hukum bagi Pemerintahan Provinsi Aceh tidak ada persoalan yuridis karena telah mendapat jaminan baik dari konstitusi maupun Undang-undang tentang pemerintahan daerah. Jaminan konstitusional dapat disebutkan pada Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945, yang mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang- undang. Sedangkan jaminan dari Undang-undang pemerintahan daerah, bermula dari ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi:

Pengakuan keistimewaan Provinsi Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, pendidikan, adat dan serta memperhatikan peranan ulama dalam menetapkan kebijakan daerah.

Pengakuan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul pendidikan dan peranannya dalam sejarah perjuangan, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan gubernur

(20)

dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan wakil gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-undang ini.

Atas dasar itu, maka keluarlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh, yang pada bagian kedua dari Undang-undang tersebut diatur tentang penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana ketentuan Pasal 4, disebutkan bahwa: (1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah (Aceh) diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam masyarakat; (2) Daerah Aceh mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerukunan hidup beragama. Sementara itu, pada Pasal 5 juga disebutkan bahwa: (1) daerah dapat membentuk lembaga agama dan mengakui lembaga agama yang sudah ada, dan sesuai dengan kedudukan masing-masing; (2) Lembaga yang dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan bagian dari perangkat daerah (Aceh) (Kamaruzzaman, 2000:310). Selanjutnya disahkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 mempertegaskan kembali eksistensi syari’at Islam di Aceh sebagai daerah otonomi khusus.

Dengan demikian, (1) Pemberlakuan syari’at Islam di Pemerintahan Provinsi Aceh telah memenuhi prosedur hierarki formil karena semua bentuk landasan yuridis yang dibutuhkan mulai dari konstitusi, Undang-undang, hingga peraturan-peraturan di tingkat bawahnya yang terendah seperti Qanun, telah dibuat dan disahkan untuk mem-back up

(21)

Qanun di Provinsi Aceh yang berjumlah 8 buah tersebut secara materiil diperlukan singkronisasi dengan peraturan perUndang-undangan yang lebih tinggi menurut perspektif hirarki materil. (2) Produk “Perda Bernuansa Syariah” di Pemerintahan Provinsi, Kabupaten, dan Kota dengan Status Otonomi Biasa Berdasarkan Hirarki Formal dan Fungsional Sebagaimana yang telah diproduk oleh Pemerintahan Provinsi, Kabupaten, dan Kota dengan status otonomi biasa yang meliputi:

1. Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Al-Qur’an;

2. Perda Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 TentangPencegahan Maksiat;

3. Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Maksiat;

4. Perda Kabupaten Ciamis Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Pelacuran;

5. Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Pelacuran;

6. Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Larangan Pelacuran;dan

7. Perda Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat.

Keberadaan Perda-perda di atas, secara konstitusional maupun peraturan perundang-undangan lainnya telah mendapatkan jaminan dari Pasal 29 UUD 1945 dan Pasal 18 UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 itu sendiri dalam rangka penyesuaian dengan kebijakan otonomi daerah seperti yang diatur dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa, secara eksplisit bidang hukum tidak termasuk yang dikecualikan. Artinya,

(22)

daerah berwenang membentuk hukumnya sendiri selama tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, Perda lain, dan kepentingan umum.

Terakomodasinya pluralitas materi hukum pada masing-masing daerah di Indonesia, terkait dengan tidak adanya ketentuan yang menegaskan bahwa materi hukum harus diseragamkan di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. Meskipun pada aspek hukum formalnya dalam lingkup kekuasaan peradilan merupakan urusan yang ditentukan sebagai kewenangan pemerintah pusat. Artinya, dalam hal kekuasaan peradilan harus dipahami dalam pengertian institusi peradilan yang terstruktur mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Dengan pengertian lain, pembinaan administrasi dan pengelolaan sistem peradilannya tidak dapat didesentralisasikan. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan materi hukum dan budaya hukum sebagai dua komponen penting dalam sistem peradilan nasional dan sistem hukum nasional secara keseluruhan telah dijamin pluralitasnya dalam sistem peraturan perUndang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana penegasan Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyatakan: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.” Kemudian dalam ayat (6) dari pasal tersebut dinyatakan pula: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Bahkan dalam Pasal 18 B ayat (1) dinyatakan pula: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

(23)

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.” Kemudian dalam ayat (2)-nya dari pasal tersebut dinyatakan pula:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.”

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, beberapa elemen masyarakat di berbagai daerah di Indonesia kemudian meresponnya dengan mengaspirasikan pemberlakuan syari’at Islam melalui produk Perda-nya masing-masing. Ketentuan dari Pasal 18 UUD 1945 tersebut di atas selaras dengan kebijakan otonomi daerah yang untuk pertama kalinya melalui Undang-

Pengakuan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul pendidikan dan peranannya dalam sejarah perjuangan, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan wakil gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-undang ini.

Atas dasar itu, maka keluarlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh,

(24)

yang pada bagian kedua dari Undang-undang tersebut diatur tentang penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana ketentuan Pasal 4, disebutkan bahwa: (1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah (Aceh) diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam masyarakat; (2) Daerah Aceh mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerukunan hidup beragama. Sementara itu, pada Pasal 5 juga disebutkan bahwa: (1) daerah dapat membentuk lembaga agama dan mengakui lembaga agama yang sudah ada, dan sesuai dengan kedudukan masing-masing; (2) Lembaga yang dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan bagian dari perangkat daerah (Aceh) (Kamaruzzaman, 2000:310). Selanjutnya disahkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 mempertegaskan kembali eksistensi syari’at Islam di Aceh sebagai daerah otonomi khusus.

Dengan demikian, (1) Pemberlakuan syari’at Islam di Pemerintahan Provinsi Aceh telah memenuhi prosedur hierarki formil karena semua bentuk landasan yuridis yang dibutuhkan mulai dari konstitusi, Undang-undang, hingga peraturan-peraturan di tingkat bawahnya yang terendah seperti Qanun, telah dibuat dan disahkan untuk mem-back up pemberlakuan syari’at Islam tersebut. Akan tetapi, Perda dan Qanun di Provinsi Aceh yang berjumlah 8 buah tersebut secara materiil diperlukan singkronisasi dengan peraturan perUndang-undangan yang lebih tinggi menurut perspektif hirarki materil. (2) Produk “Perda Bernuansa Syariah” di Pemerintahan Provinsi, Kabupaten, dan Kota dengan Status Otonomi Biasa Berdasarkan Hirarki Formal dan Fungsional Sebagaimana yang telah diproduk oleh

(25)

Pemerintahan Provinsi, Kabupaten, dan Kota dengan status otonomi biasa yang meliputi:

1. Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Al-Qur’an;

2. Perda Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat;

3. Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Maksiat;

4. Perda Kabupaten Ciamis Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Pelacuran;

5. Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Pelacuran;

6. Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Larangan Pelacuran;dan

7. Perda Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Keberadaan Perda-perda di atas, secara konstitusional maupun peraturan perundang-undangan lainnya telah mendapatkan jaminan dari Pasal 29 UUD 1945 dan Pasal 18 UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 itu sendiri dalam rangka penyesuaian dengan kebijakan otonomi daerah seperti yang diatur dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa, secara eksplisit bidang hukum tidak termasuk yang dikecualikan. Artinya, daerah berwenang membentuk hukumnya sendiri selama tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, Perda lain, dan kepentingan umum.

Terakomodasinya pluralitas materi hukum pada masing-masing daerah di Indonesia, terkait dengan tidak adanya ketentuan yang menegaskan bahwa materi hukum

(26)

harus diseragamkan di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. Meskipun pada aspek hukum formalnya dalam lingkup kekuasaan peradilan merupakan urusan yang ditentukan sebagai kewenangan pemerintah pusat. Artinya, dalam hal kekuasaan peradilan harus dipahami dalam pengertian institusi peradilan yang terstruktur mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Dengan pengertian lain, pembinaan administrasi dan pengelolaan sistem peradilannya tidak dapat didesentralisasikan. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan materi hukum dan budaya hukum sebagai dua komponen penting dalam sistem peradilan nasional dan sistem hukum nasional secara keseluruhan telah dijamin pluralitasnya dalam sistem peraturan perUndang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana penegasan Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyatakan: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.” Kemudian dalam ayat (6) dari pasal tersebut dinyatakan pula: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Bahkan dalam Pasal 18 B ayat (1) dinyatakan pula: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.” Kemudian dalam ayat (2)-nya dari pasal tersebut dinyatakan pula:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

(27)

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.”

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, beberapa elemen masyarakat di berbagai daerah di Indonesia kemudian meresponnya dengan mengaspirasikan pemberlakuan syari’at Islam melalui produk Perda-nya masing-masing. Ketentuan dari Pasal 18 UUD 1945 tersebut di atas selaras dengan kebijakan otonomi daerah yang untuk pertama kalinya melalui Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah memberikan legitimasi terhadap lahirnya produk Perda-perda yang kemudian dipersepsikan bernuansa syari’at Islam di atas. Bahkan ketika Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut direvisi oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, masalah ini mendapat pengesahan kembali seperti yang termuat dalam Pasal 136 ayat (3) yang menyebutkan: “Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.” Ayat (4) dari pasal tersebut menegaskan: Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perUndang-undangan yang lebih tinggi.”

Demikian juga penegasan yang termuat dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan: Materi-muatan peraturan perundang-undangan daerah adalah materi-muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(28)

Pasal 18 UUD 1945 maupun ketiga Undang-undang lainnya (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004), telah memberikan landasan yang kokoh bagi pemerintah daerah untuk bisa membentuk peraturan daerah termasuk perumusan perda- perda yang sesuai dengan keunikan daerah masing-masing dalam bingkai NKRI, dan sepanjang diperintahkan oleh undang-undang di tingkat atasnya. Dengan kata lain, berbagai produk Perda dan Qanun baik di Pemerintahan Provinsi Aceh dengan status otonomi khusus, maupun di berbagai pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota yang berstatus otonomi biasa sebagaimana uraian penyajian data di atas, jika dilihat dari perspektif kebijakan otonomi daerah maupun teori hierarki norma hukum baik hierarki formal maupun hierarki fungsional, telah memperoleh legitimasinya yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dari aspek kebijakan otonomi daerah, produk Perda-perda dan Qanun-qanun di atas telah sesuai dengan prinsip desentralisasi ketatanegaraan (decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dari pemerintah kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Artinya, Perda- perda dan Qanun-qanun di atas, pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perUndang-undangan yang lebih tinggi yang dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 136 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut.

Khusus untuk Pemerintahan Aceh, dengan telah diberlakukannya Undang-undang Nomor Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,“Qanun-qanun Syari’at Islam” di atas,

(29)

sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 125 ayat (3) yang menegaskan bahwa pelaksanaan syari’at (aqidah, syariah, dan akhlaq [ayat 2] yang kemudian dirinci oleh [ayat 2] meliputi: Ibadah, ahwal al-Syakhshiyyah/ Hukum Keluarga, Mu’amalah/Hukum Perdata, Tarbiyah/Pendidikan, Dakwah, Syiar dan Pembelaan Islam) diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Artinya, perumusan qanun-qanun yang terdapat di Pemerintahan Provinsi Aceh itu sesungguhnya merupakan perintah dari undang-undang.3

Sedangkan dari aspek teori hirarki norma hukum; dari segi hirarki formal perda-perda dan qanun-qanun tersebut di atas telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004, dan dari segi hirarki fungsional telah menempuh prosedur pembentukannya, yaitu telah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD/DPRA seperti yang diatur dalam Pasal 136 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah memberikan legitimasi terhadap lahirnya produk Perda-perda yang kemudian dipersepsikan bernuansa syari’at Islam di atas. Bahkan ketika Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut direvisi oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, masalah ini mendapat pengesahan kembali seperti yang termuat dalam Pasal 136 ayat (3) yang menyebutkan: “Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.” Ayat (4) dari pasal tersebut menegaskan: Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perUndang-undangan yang lebih tinggi.”

(30)

Demikian juga penegasan yang termuat dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan: Materi-muatan peraturan perundang-undangan daerah adalah materi-muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, baik konstitusi melalui Pasal 29 dan Pasal 18 UUD 1945 maupun ketiga Undang-undang lainnya (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004), telah memberikan landasan yang kokoh bagi pemerintah daerah untuk bisa membentuk peraturan daerah termasuk perumusan perda- perda yang sesuai dengan keunikan daerah masing-masing dalam bingkai NKRI, dan sepanjang diperintahkan oleh undang-undang di tingkat atasnya. Dengan kata lain, berbagai produk Perda dan Qanun baik di Pemerintahan Provinsi Aceh dengan status otonomi khusus, maupun di berbagai pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota yang berstatus otonomi biasa sebagaimana uraian penyajian data di atas, jika dilihat dari perspektif kebijakan otonomi daerah maupun teori hierarki norma hukum baik hierarki formal maupun hierarki fungsional, telah memperoleh legitimasinya yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dari aspek kebijakan otonomi daerah, produk Perda-perda dan Qanun-qanun di atas telah sesuai dengan prinsip desentralisasi ketatanegaraan (decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dari pemerintah

(31)

kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Artinya, Perda- perda dan Qanun-qanun di atas, pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perUndang-undangan yang lebih tinggi yang dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 136 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut.

Khusus untuk Pemerintahan Aceh, dengan telah diberlakukannya Undang-undang Nomor Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,“Qanun-qanun Syari’at Islam” di atas, sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 125 ayat (3) yang menegaskan bahwa pelaksanaan syari’at (aqidah, syariah, dan akhlaq [ayat 2] yang kemudian dirinci oleh [ayat 2] meliputi: Ibadah, ahwal al-Syakhshiyyah/ Hukum Keluarga, Mu’amalah/Hukum Perdata, Tarbiyah/Pendidikan, Dakwah, Syiar dan Pembelaan Islam) diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Artinya, perumusan qanun-qanun yang terdapat di Pemerintahan Provinsi Aceh itu sesungguhnya merupakan perintah dari undang-undang.

Sedangkan dari aspek teori hirarki norma hukum; dari segi hirarki formal perda-perda dan qanun-qanun tersebut di atas telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004, dan dari segi hirarki fungsional telah menempuh prosedur pembentukannya, yaitu telah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD/DPRA seperti yang diatur dalam Pasal 136 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif hierarki materiil, Perda-perda tersebut

(32)

belum sesuai dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang yang lebih tinggi.

JENIS-JENIS “PERDA DAN QANUN SYARI’AT ISLAM”

Berdasarkan uraian “Perda dan Qanun Syari’at Islam” dalam panyajian di atas, jika ditinjau dari aspek materi, muatan yang terkandung di dalam masing-masing perda dan qanun tersebut dapat digolongkan dalam dua hal, yaitu: (1) Qanun yang terkait dengan moralitas masyarakat secara umum, yang diwakili oleh Perda Anti Pelacuran dan Perzinaan atau Perda Anti Maksiat, Qanun Khalwat (Mesum), dan Perda Penanggulangan Penyakit Masyarakat, seperti yang terdapat pada Provinsi Gorontalo, Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Ciamis, Kota Palembang, Kota Tangerang, dan Kabupaten Serang; (2) Kategori atau jenis Perda dan Qanun yang terkait dengan ketertiban umum, diwakili oleh Qanun Minuman Minuman Keras (Khamr) dan Qanun Perjudian (Maisir), seperti yang terdapat pada Provinsi NAD; dan (3) Kategori atau jenis Perda dan Qanun yang terkait dengan ketaatan dalam beribadah, yang diwakili oleh Qanun Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Perda Pendidikan Al-Qur’an, dan Qanun Pengelolaan Zakat, seperti yang terdapat pada Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Barat.

Materi muatan Perda dan Qanun sebagaimana disebutkan di atas merupakan aturan-aturan yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai peraturan yang mengatur tentang ketertiban umum, yang notabene menjadi concern semua agama-agama yang diakui secara legal di Indonesia. Dari perspektif tersebut, maka Perda-perda tersebut tidak dapat dikatakan sebagai “Perda dan Qanun Syari’at”, karena

(33)

dilihat dari perspektif teori hirarki syariah, fiqh, dan qanun, perda-perda dan qanun-qanun tersebut sudah melalui proses legislasi yang dilakukan oleh legislatif bersama eksekutif. Artinya, hal itu lebih merupakan pengelaborasian syariah melalui kegiatan ijtihad dalam suatu proses pembentukan norma hukum. Oleh karena itu, Perda-perda dan Qanun-qanun yang dipersepsikan bernuansa syari’at itu harus dipahami sebagai salah satu bentuk dari qanun, bukan syariat Islam. Harus dibedakan antara qanun dan syariat Islam. Qanun merupakan aspek yang paling jelas tentang formalisasi, sedangkan syariat adalah aspek yang paling jelas tentang ajaran Tuhan. Jika aturan Tuhan itu diundangkan oleh negara, maka itu disebut qanun, yang sifatnya relatif (zhanni). (Khamami, 2006 : 15)

Hal tersebut di atas, dapat dibuktikan dengan telah terjadinya kesalahpahaman terhadap pemaknaan syari’at Islam itu sendiri, dan disparitas atas penerapan sanksi terhadap kasus yang sama. Misalnya penerapan sanksi pidana yang telah diterapkan dalam Qanun-qanun Provinsi Aceh terdiri atas 4 (empat) jenis hukuman, yaitu: (1) cambuk; (2) penjara atau kurungan; (3) denda; dan (4) pencabutan atau pembatalan izin usaha. Keempat jenis hukuman ini mendasarkan pada pendapat tiga pakar hukum pidana Islam modern yaitu Abdul Qadir Awdah, Abdul Aziz Amir, dan Ahmad Fathi Bahnasi, mereka mengemukakan bahwa jenis dan bentuk hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perbuatan ta’zir,4 sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan nash adalah: (1) hukum bunuh, apabila tindak pidananya hanya bisa dihentikan dengan matinya pelaku, seperti mata-mata dan residivis; (2) hukuman dera, bagi yang sering melakukan tindak pidana ta’zir; (3) hukuman penjara dalam waktu

(34)

terbatas dan tidak terbatas, apabila menurut hakim hukuman itulah yang paling tepat; (4) hukuman pengasingan, bagi orang yang mengganggu ketenteraman masyarakat; (5) hukuman salib, tetapi tidak boleh dibunuh dan tetap diberi makan dan kesempatan beribadah; (6) peringatan keras; (7) pengucilan dari masyarakat; (8) pencelaan; pencemaran nama baik (pengumuman putusan); dan (9) hukuman denda. (Abubakar, 2006: 6).

Berkaitan dengan perumusan hukuman ta’zir dalam qanun-qanun tersebut, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang masih memerlukan perbaikan agar tidak terdapat kesenjangan antara teori dan praktik: (Abubakar, 2006: 7-9).

Pertama, masalah pola perumusan. Pola awal

yang diterapkan dalam perumusan hukuman- hukuman tersebut adalah pola keseimbangan, artinya beberapa jenis hukuman sebagai alternatif, jadi ada hukuman yang primair dan hukuman subsidair yang dapat dipilih oleh si terpidana.(Zada,2006: 15)

Kedua, suatu perbuatan pidana, dilihat dari segi

hukuman yang dijatuhkan atas terpidana memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50. 000.

000,- (lima puluh juta rupiah); dan (3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.5

(35)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kepada si pelaku pelanggaran Perda, di samping dapat dikenakan sanksi pidana (pidana kurungan atau pidana denda) dapat juga dikenakan sanksi yang berupa pembebanan biaya paksaan. Sanksi yang berupa pembebanan biaya paksaan atau yang juga dikenal dengan istilah dwangsom adalah salah satu dari jenis sanksi administrasi (Philipus, 1993: 241). Menurut Hadjon, jenis-jenis sanksi administrasi adalah paksaan nyata

(bestuurdwang), uang paksa (dwangsom), denda

administrasi, pencabutan izin usaha, uang jaminan, dan bentuk-bentuk lain/khusus seperti peringatan dan pengumuman (Philipus, 1993: 241). Dengan demikian, Perda di samping dapat memuat sanksi pidana juga dapat memuat sanksi administrasi. Jika diperhatikan jenis-jenis sanksi yang terdapat pada beberapa Perda Syari’at Islam sebagaimana tabel di atas, di antaranya pidana kurungan, pidana denda, dan sanksi administrasi, maka dengan tegas dinyatakan tidak bertentangan dengan ketentuan sanksi yang harus ada dalam materi muatan peraturan daerah. Oleh karena itu, baik Qanun-qanun tentang penerapan syari’at Islam di Provinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus maupun Perda-perda syari’at Islam di beberapa daerah di atas sebagai otonomi biasa, tidak ada pertentangan yang siginifikan, dengan ketentuan perUndang-undangan yang berlaku. Karena sesuai dengan Pasal 14 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa materi- muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah. Maka, dapat dikatakan untuk kasus Provinsi Aceh di samping mendasarkan pada Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mendasarkan pada Pasal 16 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006

(36)

tentang Pemerintahan Aceh, sehingga dapat dilihat pada penerapan sanksi pidana yang terdapat dalam qanun-qanun sebagaimana disebutkan di atas, di samping menggunakan ketentuan baku menurut standar pidana Islam juga adanya sinkronisasi dengan ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 143 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Sedangkan untuk kasus beberapa Perda Syari’at Islam pada daerah-daerah lain di atas yang berstatus otonomi biasa hanya mendasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, sehingga meski nuansa Perda- perda tersebut sangat kental dengan Syari’at Islam, namun secara legal-formal dari segi penjudulan tidak ada satu pun yang menyebutkan secara eksplisit sebagai Perda syari’at, maka standar sanksi yang dipakai tidak pernah ada upaya untuk mensinkronkan dengan ketentuan baku menurut standar sanksi dalam pidana Islam. Demikian juga dari aspek penerapan sanksi, meskipun terdapat disparitas pengenaan sanksi terhadap kasus yang sama, tetapi karena merujuk kepada Pasal 143 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sehingga tidak ada yang bertentangan dengan Undang- undang yang berada di tingkat atasnya. Dengan demikian, baik qanun-qanun tentang penerapan Syari’at Islam di Provinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus maupun Perda-perda Syari’at Islam di beberapa daerah yang berstatus otonomi biasa dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum yang berlaku baik oleh konstitusi, Undang-undang, Perda, maupun Qanun.

Berkaitan dengan perumusan hukuman ta’zir dalam qanun-qanun tersebut, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang masih memerlukan perbaikan agar tidak terdapat kesenjangan antara teori dan praktik: (Abubakar, 2006: 7-9).

(37)

Pertama, masalah pola perumusan. Pola awal yang diterapkan dalam perumusan hukuman- hukuman tersebut adalah pola keseimbangan, artinya beberapa jenis hukuman sebagai alternatif, jadi ada hukuman yang primair dan hukuman subsidair yang dapat dipilih oleh si terpidana.(Zada,2006: 15)

Kedua, suatu perbuatan pidana, dilihat dari segi

hukuman yang dijatuhkan atas terpidana memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50. 000.000,- (lima puluh juta rupiah); dan (3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.5

Berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kepada si pelaku pelanggaran Perda, di samping dapat dikenakan sanksi pidana (pidana kurungan atau pidana denda) dapat juga dikenakan sanksi yang berupa pembebanan biaya paksaan. Sanksi yang berupa pembebanan biaya paksaan atau yang juga dikenal dengan istilah dwangsom adalah salah satu dari jenis sanksi administrasi (Philipus, 1993: 241). Menurut Hadjon, jenis-jenis sanksi administrasi adalah paksaan nyata (bestuurdwang), uang paksa (dwangsom), denda administrasi, pencabutan izin usaha, uang jaminan, dan bentuk-bentuk lain/khusus seperti peringatan dan pengumuman (Philipus, 1993: 241). Dengan demikian, Perda di samping dapat memuat sanksi pidana juga dapat memuat sanksi administrasi. Jika diperhatikan jenis-jenis sanksi yang terdapat pada beberapa Perda Syari’at Islam

(38)

sebagaimana tabel di atas, di antaranya pidana kurungan, pidana denda, dan sanksi administrasi, maka dengan tegas dinyatakan tidak bertentangan dengan ketentuan sanksi yang harus ada dalam materi muatan peraturan daerah. Oleh karena itu, baik Qanun-qanun tentang penerapan syari’at Islam di Provinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus maupun Perda-perda syari’at Islam di beberapa daerah di atas sebagai otonomi biasa, tidak ada pertentangan yang siginifikan, dengan ketentuan perUndang-undangan yang berlaku. Karena sesuai dengan Pasal 14 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa materi- muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah. Maka, dapat dikatakan untuk kasus Provinsi Aceh di samping mendasarkan pada Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mendasarkan pada Pasal 16 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga dapat dilihat pada penerapan sanksi pidana yang terdapat dalam qanun-qanun sebagaimana disebutkan di atas, di samping menggunakan ketentuan baku menurut standar pidana Islam juga adanya sinkronisasi dengan ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 143 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Sedangkan untuk kasus beberapa Perda Syari’at Islam pada daerah-daerah lain di atas yang berstatus otonomi biasa hanya mendasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, sehingga meski nuansa Perda- perda tersebut sangat kental dengan Syari’at Islam, namun secara legal-formal dari segi penjudulan tidak ada satu pun yang menyebutkan secara eksplisit sebagai Perda syari’at, maka standar sanksi yang dipakai tidak pernah ada upaya untuk mensinkronkan dengan ketentuan baku menurut standar sanksi dalam pidana Islam. Demikian juga dari aspek penerapan sanksi, meskipun

(39)

terdapat disparitas pengenaan sanksi terhadap kasus yang sama, tetapi karena merujuk kepada Pasal 143 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sehingga tidak ada yang bertentangan dengan Undang- undang yang berada di tingkat atasnya. Dengan demikian, baik qanun-qanun tentang penerapan Syari’at Islam di Provinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus maupun Perda-perda Syari’at Islam di beberapa daerah yang berstatus otonomi biasa dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum yang berlaku baik oleh konstitusi, Undang-undang, Perda, maupun Qanun.

Untuk kasus Provinsi Aceh selain mendasarkan pada UUD 1945, juga merujuk kepada Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-undang Nomor

11 Tahun 2006, Perda Provinsi Aceh Nomor 5 Tahun 2000, dan Qanun-qanun dari pelaksanaan Syari’at Islam itu sendiri. Sedangkan untuk kasus Perda-perda Syari’at Islam di daerah-daerah lain yang berstatus sebagai otonomi biasa, di samping mendasarkan kepada UUD 1945, Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, juga kepada Perda-perda yang dipersepsikan bernuansa syari’at itu sendiri.

Berdasarkan analisis data di atas, secara legal-formal Perda-perda atau Qanun-qanun syari’at hanya dikenal di Provinsi Aceh. Sedangkan di daerah-daerah lain di Indonesia baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak dikenal adanya Perda-perda syari’at, hanya saja secara kebetulan perda-perda itu bersinggungan dengan pengaturan kehidupan beragama bagi masyarakat muslim sehingga dipersepsikan sebagai Perda-perda yang bernuansakan syari’at Islam. Oleh karena itu, keduanya baik Perda-perda atau Qanun-qanun syari’at yang secara

(40)

legal formal eksplisit penamaannya seperti itu, maupun perda-perda yang dipersepsikan bernuansa syari’at sebenarnya merupakan proses legislasi biasa yang lazim disebut dengan siyasah syar’iyyah yaitu al-qawanin

(peraturan perundang-undangan) yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam negara yang sejalan atau tidak bertentangan dengan syari’at (agama).

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,

pertama, implikasi dari adanya kebijakan otonomi daerah di

Indonesia pasca reformasi, baik melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, beberapa daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI) yang secara sosio-historis masyarakatnya kental dengan norma Islamnya ramai-ramai menuntut diberlakukannya syari’at Islam secara formal, dengan alasan kondusifnya masyarakat dan otonomi daerah. Kedua, implikasi dari adanya penetapan daerah “istimewa” dan “otonomi khusus” di provionsi Aceh, berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, yang selanjutnya diganti dengan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2006, di mana Provinsi Aceh memiliki kekhususan yang berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Selain itu, Aceh memiliki dasar hukum kuat menerapkan Syari’at Islam kaffah sekaligus penegakan hukumnya. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, maka dibentuklah beberapa Qanun di bidang syariah untuk mem-back up

pelaksanaannya di bumi Serambi Makkah. Di samping itu, selain sudah berlaku hukum keluarga (ahwal

al-syakhshiyyah), Aceh juga diberi izin untuk menjalankan

(41)

Islam).

ENDNOTE:

1 Di Tasikmalaya misalnya, setiap hari jum’at diadakan program juma’at bersih. Seluruh warga Muslim dipermudah untuk melaksanakan shalat jum’at, media-mediaporno dan kemusyrikan diberantas, dan busana muslim dianjurkan penggunaannya. Bahkan Abdul Fatah Syamsuddin, koordinator aksi Tasikmalaya menyatakan bahwa otonomi daerah menjadi salah satu kunci dalam penerapan syari’at Islam. Lihat; Abdul Gani Isa, Formalisasi Syari’at Islam di Aceh dan Perwujudannya Dalam Sistem Hukum Indonesia (Disertasi), (Banda Aceh: PPs IAIN Ar-Raniry, 2012), hlm. 8.

2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang- undangan telah diubah dan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

3 Lihat: Pasal 1 butir (8) jo. Pasal 2 ayat (5), 4 ayat (6), diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori: (1) Kategori atau jenis Perda 5 ayat (5), 7 ayat (1) dan seterusnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam LN-RI Tahun 2001 Nomor 114. Dalam Pasal 1 butir (8) Undang-undang ini, ditentukan bahwa, “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 275.

4 Perbuatan (Jarimah) Ta’zir adalah tindak pidana yang tidak termasuk Qishash diyat dan hudud yang kadar dan jenis ‘uqubatnya diserahkan kepada pertimbangan hakim (Lihat: Penjelasan Pasal 26 ayat (4) Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamr dan Sejenisnya).

5 Substansi rumusan ketentuan Pasal 143 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak jauh berbeda dengan rumusan ketentuan Pasal 71 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan: (1) Peraturan daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar; dan (2) Peraturan

(42)

daerah dapat memuat pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.5. 000. 000,- (lima juta rupiah) dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk daerah, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundangundangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Al Yasa’ dan M. Yasin, Sulaiman. 2006. Perbuatan

Pidana dan Hukumannya dalam Qanun Provinsi NAD.

Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD

Ali Muhammad, Rusjdi. 2003. Revitalisasi Syari’at Islam di

Aceh, Problem Solusi dan Implementasi. Jakarta: Logos

Wacana Ilmu.

Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara

Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer

Bustaman Ahmad, Kamaruzzaman. 2000. Islam Historis. Magelang: Galang-Press

Gani Isa, Abdul. 2012. Formalisasi Syari’at Islam di Aceh dan

Perwujudannya dalam Sistem Hukum Indonesia

(Disertasi). Banda Aceh: PPs IAIN Ar-Raniry Goesniadhi, Kusnu. 2006. Harmonisasi Hukum dalam

Perspektif Perundang-undangan. Surabaya: JP Books.

Kelsen, Hans. t.th. General Theory of Law and State, tranlsated by Anders Wedberg, Russel and Russel. New York: t.p. Koirudin. 2005. Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia

Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian

Daerah. Malang: Averroes Press.

Marbun, B. N.. 2005. Otonomi Daerah 1945 – 2005 Proses

dan Realita Perkembangan Otda, Sejak Zaman Kolonial

(43)

M. Hadjon, Philipus. 1993. Pengantar Hukum Administrasi

Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Sirajuddin, Fatkhurohman dan Zulkarnain. 2006. Legislative Drafting: Pelembagaan Metode Partisipatif dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta:

Yappika.

Umar, Mardani. 2008. “Peluang Penerapan Syari’at Islam di Era Otonomi 280”. Jurnal Hukum. No. 2 Vol. 15. April Zada, Khamami. 2006. “Perda Syari’at: Proyek Syari’atisasi

yang Sedang Berlangsung”. Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi Keagamaan dan Kebudayaan. No. 20.

Zein, Kurniawan dan HA, Sarifuddin. (ed.) 2001. Syari’at

Islam Yes Syari’at Islam No Dilema PiagamJakarta dalam

(44)

Referensi

Dokumen terkait

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Optimasi Suspensi Konidia Trichoderma harzianum Dalam Penghambatan Pertumbuhan Fusarium oxysporum Penyebab Layu Tanaman

Yaitu pada design circuit untuk dapat diterapkan, simulasi akan dijalankan sesuai program arduino yang diinginkan, dan setelah mendapatkan hasil yang baik dengan

Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, 42-43.. pembinaan akal, dan d) aspek tujuan sosial yaitu perkembangan sikap sosial pada anak yang di mulai dari

HUBUNGAN ANTARA PELATIHAN SEPAKBOLA DAN FUTSAL DENGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIVITAS DI SEKOLAH SEPAKBOLA DAN FUTSAL SE KOTA BANDUNG1. Universitas Pendidikan Indonesia |

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang terdapat dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2009 bab 1 pasal 1 bagian ketentuan umum menjelaskan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

Dari penjelasan dalam bab pembahasan, penulis menyimpulkan bahwa peran Humas Pemerintah Daerah dalam media internal (studi deskriptif kualitatif pada buletin Jogjawara

Digging and investing local wisdom through Culhrral Arts education can be said as an effort to revitalize local cultural values as part of. efforts to build the