• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Matematika Sederhana Kebergantungan Jumlah Titik Panas pada Curah Hujan di Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Model Matematika Sederhana Kebergantungan Jumlah Titik Panas pada Curah Hujan di Kalimantan Barat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

319

Model Matematika Sederhana Kebergantungan Jumlah Titik Panas pada

Curah Hujan di Kalimantan Barat

Andriani Safitria*, Riza Adriatb

aProdi Fisika, FMIPA Universitas Tanjungpura, bProdi Geofisika, FMIPA Universitas Tanjungpura *Email :andrianisafitri95@gmail.com

Abstrak

Telah dibangun sebuah model matematis kebergantungan jumlah titik panas (hotspot) terhadap curah hujan di Kalimantan Barat. Model ini mengasumsikan bahwa perubahan jumlah hotspot bergantung pada hasil interaksi antara jumlah hotspot pada saat itu dan perubahan curah hujan pada saat tersebut. Dengan menggunakan asumsi ini dapat diperoleh bahwa jumlah hotspot akan menurun secara eksponensial terhadap curah hujan. Hasil validasi model matematis menunjukkan bahwa terdapat 11 kabupaten/kota di Kalimantan Barat memiliki nilai koefisien determinasi (R2) ≥ 0,90 dan terdapat 3 kabupaten/kota yang memiliki koefisien determinasi (R2) < 0,40. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah hotspot di sebagian besar kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Barat akan menurun secara eksponensial terhadap peningkatan jumlah curah hujan. Model matematis yang diperoleh ini memperbaiki model linier yang telah diusulkan oleh peneliti sebelumnya sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengaruh jumlah curah hujan pada jumlah

hotspot.

Kata Kunci : Curah Hujan, Kalimantan Barat, Kebakaran Hutan, Titik Panas

1. Latar Belakang

Kebakaran hutan merupakan peristiwa yang sering terjadi di Indonesia dan telah menjadi perhatian masyarakat nasional maupun internasional, karena dampak yang ditimbulkan telah dirasakan tidak hanya oleh masyarakat lokal tetapi juga di negara tetangga. Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang hampir setiap tahunnya mengalami kebakaran hutan dan lahan. Wilayah ini mempunyai jumlah titik panas (hotspot) yang relatif tinggi sehingga menjadi prioritas penanganan kebakaran hutan dan lahan. Tingginya jumlah hotspot ini dikarenakan Kalimantan Barat berada di kawasan lahan gambut yang rawan terbakar dengan wilayah yang cukup luas [1].

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2013 kebakaran hutan diakibatkan oleh dua faktor utama, yaitu aktivitas manusia dalam pengelolaan lahan dan kondisi alam [2]. Kebakaran hutan dan lahan sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim. Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang secara tidak langsung memengaruhi kebakaran hutan dan lahan. Penurunan curah hujan dapat memengaruhi kondisi kelembapan bahan bakar sehingga berdampak pada kebakaran [3]. Salah satu metode deteksi dini yang dapat dilakukan adalah dengan mendeteksi hotspot yang didapatkan dari penginderaan jarak jauh melalui satelit. Satelit NOAA (National Oceanic and

Atmospheric Administration) melalui sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) dapat memberikan informasi mengenai hotspot.

Selain itu, diperlukan pula informasi mengenai pengaruh faktor iklim yaitu curah hujan dan

hotspot sebagai informasi pendukung dalam deteksi dini kejadian kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini pernah dilakukan di Kabupaten Mempawah oleh Sukmawati yang menyatakan bahwa jumlah hotspot dipengaruhi oleh jumlah curah hujan [4]. Lebih jauh, berdasarkan kajian Saharjo dan Velicia tentang pengaruh curah hujan terhadap penurunan hotspot di empat provinsi di Indonesia, penurunan jumlah hotspot akibat curah hujan mengikuti model matematis yang direpresentasikan oleh sebuah persamaan linier untuk masing-masing provinsi [5]. Model linier ini mempunyai korelasi yang cukup tinggi untuk Provinsi Kalimantan Barat sedangkan untuk daerah lain tampak tidak valid. Akan tetapi model yang diajukan tersebut tampak kurang realistis karena menganggap bahwa jumlah hotspot akan menurun secara linier terhadap curah hujan. Karena itu, diperlukan perbaikan model matematis agar lebih representatif dalam menggambarkan pengaruh curah hujan terhadap jumlah hotspot. Hal inilah yang menjadi fokus pada penelitian ini dengan menjadikan 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat sebagai sampel dalam validasi model.

(2)

320 2. Metodologi

2.1 Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data curah hujan bulanan Provinsi Kalimantan Barat periode tahun 2016-2017 yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kalimantan Barat serta data jumlah hotspot

bulanan Provinsi Kalimantan Barat periode 2016-2017 yang diperoleh dari Sekretariat Manggala Agni Kalimantan Barat.

2.2 Pengolahan Data 1. Analisis data

Dalam langkah ini data hotspot dan data curah hujan untuk tiap kabupaten/kota masing-masing disajikan dalam sebuah grafik jumlah curah hujan dan jumlah hotspot.

2. Konstruksi model matematis

Berdasarkan hasil pada Langkah 1. dibangun sebuah persamaan differensial sebagai model matematis yang menggambarkan keterkaitan antara perubahan jumlah hotspot dengan jumlah curah hujan.

3. Validasi model

Untuk memvalidasi model yang telah dibangun pada Langkah 2. dilakukan pencocokan kurva (curve fitting) terhadap data jumlah hotspot

dan jumlah curah hujan di masing-masing kabupaten/kota menggunakan program curve fitting tool (cftool). Model dianggap valid apabila nilai koefisien determinasinya (R2) bernilai ≥ 0,90. 3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Kebergantungan Jumlah Hotspot pada Curah Hujan

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang hampir setiap tahunnya mengalami kebakaran hutan dan lahan. Hal ini menyebabkan jumlah hotspot yang terdeteksi di Kalimantan Barat relatif tinggi. Berdasarkan data satelit NOAA yang dihimpun oleh Sekretariat Manggala Agni Pontianak, jumlah total hotspot di tahun 2016 adalah 1022 titik, sedangkan di tahun 2017 terjadi penurunan sebesar 37% dengan jumlah hotspot

yang teramati sebanyak 640 titik di Kalimantan Barat. Sebaran jumlah hotspot di tiap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1.

Dari Gambar 1. tampak bahwa jumlah hotspot

terbanyak di tahun 2016 dan 2017, masing-masing terjadi di Kabupaten Sanggau dengan jumlah hotspot teramati sebanyak 250 titik dan Kabupaten Sintang dengan jumlah hotspot

teramati sebanyak 144 titik. Terlihat juga bahwa untuk daerah perkotaan seperti Pontianak dan Singkawang jumlah hotspot yang terpantau cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan di daerah kabupaten. Perbedaan yang signifikan antara jumlah hotspot di daerah perkotaan dengan daerah kabupaten diduga akibat pembukaan lahan baru untuk kepentingan perkebunan yang tersebar luas di berbagai kabupaten, sebaliknya hal tersebut tidak terjadi di daerah perkotaan.

Distribusi curah hujandi tiap kabupaten/kota di Kalimantan Barat pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing diperlihatkan pada Gambar 2. Curah hujan di Kalimantan Barat cukup tinggi yang mencapai maksimum sekitar 500 mm/bulan, curah hujan minimum sekitar 100 mm/bulan, dan curah hujan rata-rata 4500 mm/tahun.

Gambar 1. Sebaran jumlah hotspot di Kalimantan Barat tahun 2016-2017 0 50 100 150 200 250 300 Jum la h H ot sp ot (t it ik ) Wilayah Kabupaten 2016 2017

(3)

321 Gambar 2. Sebaran jumlah curah hujan di Kalimantan Barat tahun 2016-2017

Dari Gambar 2. terlihat bahwa jumlah curah hujantertinggi terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu dengan jumlah curah hujan pada tahun 2016 sebesar 4284 mm sedangkan pada tahun 2017 sebesar 4532.5 mm. Kondisi curah hujan di Kalimantan Barat memiliki pola yang beragam. Keragaman ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh fenomena El Nino dan La Nina. Saat terjadinya El Nino pada tahun 2016, bahan bakar menjadi sangat cepat kering dan mudah terbakar akibat kurangnya curah hujan. Dan sebaliknya saat La Nina pada tahun 2017, bahan bakar menjadi lambat kering dan sulit terbakar akibat bertambahnya curah hujan.

Variasi jumlah hotspot di setiap kabupaten sangat bergantung pada kondisi cuaca dan iklim di daerah tersebut. Semakin kering suatu wilayah akan menyebabkan jumlah hotspot di wilayah tersebut cenderung meningkat demikian pula sebaliknya [6]. Hal serupa juga dikemukakan Susanty yang menelaah tentang hubungan kekeringan dan potensi kebakaran hutan [7]. Karena itu, di musim kemarau yang ditandai oleh jumlah curah hujan yang rendah biasanya jumlah

hotspot yang teramati cenderung lebih banyak dibandingkan jumlah hotspot di musim penghujan. Lebih jauh, diduga kuat terdapat korelasi antara pola curah hujan dengan distribusi jumlah hotspot

di suatu daerah. Untuk menyelidiki kebergantungan jumlah hotspot pada curah hujan, dalam Gambar 3. (a) dan (b) berikut diberikan

grafik jumlah hotspot dan jumlah curah hujan masing-masing untuk Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Sambas. Pada Gambar 3. tersebut terlihat jelas bahwa semakin tinggi curah hujan akan menyebabkan pengurangan jumlah hotspot

secara signifikan. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang dikemukakan Saharjo dan Velicia yang mengkaji tentang peran curah hujan pada penurunan jumlah hotspot di empat provinsi di Indonesia.

3.2 Konstruksi Model Matematis

Model matematis hubungan antara jumlah

hotspot dan jumlah curah hujan telah diusulkan oleh Saharjo dan Velicia tahun 2018. Akan tetapi model yang diajukan tersebut tampak kurang realistis karena menganggap bahwa jumlah hotspot akan menurun secara linier terhadap curah hujan. Karena itu dalam penelitian ini, diusulkan sebuah model matematis dengan asumsi sebagai berikut:

1. Jumlah hotspot sebagai fungsi waktu dinyatakan oleh ℎ(𝑡), sedangkan jumlah curah hujan sebagai fungsi waktu dinyatakan oleh 𝑛(𝑡).

2. Perubahan jumlah hotspot terhadap waktu dinyatakan oleh 𝑑ℎ

𝑑𝑡 dan perubahan jumlah curah hujan terhadap waktu dinyatakan oleh 𝑑𝑛 𝑑𝑡 . 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 Cu ra h Huja n (m m ) Wilayah Kabupaten

Chart Title

2016 2017

(4)

322 3. Parameter yang memengaruhi perubahan

jumlah hotspot adalah jumlah hotspot itu sendiri pada saat itu dan perubahan jumlah curah hujan pada saat tersebut. Dengan demikian, perubahan jumlah hotspot terhadap waktu sebanding dengan hasil interaksi antara jumlah hotspot (ℎ) dengan perubahan curah hujan (𝑑𝑛

𝑑𝑡) pada waktu

t

, sehingga secara matematis model tersebut dapat dituliskan sebagai:

𝑑ℎ

𝑑𝑡 = −𝑘ℎ

𝑑𝑛

𝑑𝑡 (1)

Dalam Persamaan 1. di atas 𝑘 merupakan konstanta kesebandingan yang nilainya tergantung pada daerah yang ditinjau.

3.3 Validasi Model

Berdasarkan model matematis yang diberikan oleh Persamaan 1. di atas dapat diperoleh hubungan kebergantungan jumlah hotspot pada curah hujan dengan metode integrasi langsung sebagai berikut: 𝑑ℎ 𝑑𝑡= −𝑘ℎ 𝑑𝑛 𝑑𝑡 𝑑ℎ 𝑑𝑛= −𝑘ℎ 𝑑ℎ ℎ = −𝑘𝑑𝑛 ∫𝑑ℎ ℎ = ∫ −𝑘 𝑑𝑛 0 20 40 60 80 100 120 0 100 200 300 400 500 600 700 Ja n-16 Fe b-16 M ar -1 6 Ap r-16 M ei-16 Ju n-16 Ju l-16 A gu -1 6 Se p-16 O kt-16 No v-16 De s-16 Ja n-17 Fe b-17 M ar -1 7 Ap r-17 M ei-17 Ju n-17 Ju l-17 A gu -1 7 Se p-17 O kt-17 No v-17 De s-17 Jum la h H ot spo t (t it ik ) Cu ra h Huja n ( m m ) Bulan

Curah Hujan (mm) Jumlah Hotspot (titik)

0 5 10 15 20 25 30 35 0 100 200 300 400 500 600 Ja n-16 Fe b-16 M ar -1 6 A pr -1 6 Me i-16 Ju n-16 Ju l-16 A gu -1 6 Se p-16 O kt-16 No v-16 De s-16 Ja n-17 Fe b-17 M ar -1 7 A pr -1 7 M ei-17 Ju n-17 Ju l-17 A gu -1 7 Se p-17 O kt-17 No v-17 De s-17 Jum la h H ot spo t (t it ik ) Cu ra h Huja n ( m m ) Bulan

Curah Hujan (mm) Jumlah Hotspot (titik)

Gambar 3. Jumlah curah hujan dan jumlah hotspot tahun 2016-2017 untuk (a) Kabupaten Kapuas Hulu, (b) Kabupaten Sambas.

(5)

323 ln ℎ = −𝑘𝑛 + 𝑐

ℎ = 𝐴𝑒−𝑘𝑛 (2) Terlihat dari Persamaan 2. jumlah hotspot akan menurun secara eksponensial terhadap jumlah curah hujan. Untuk memvalidasi model ini dilakukan pencocokan kurva (curve fitting) terhadap seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Barat. Sebagai contoh hasil pencocokan kurva untuk Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Sambas diberikan pada Gambar 4. Tampak dari Gambar 4. kebergantungan jumlah hotspot pada jumlah curah hujan mengikuti model penurunan eksponensial yang diberikan oleh Persamaan 2. Untuk Kabupaten Kapuas Hulu model penurunan eksponensial ini memberikan nilai

𝐴 = 1,447 × 108𝑒−0,08649𝑛 dan 𝑘 = 0,08649

dengan nilai koefisien determinasi 𝑅2= 0,99 sedangkan Kabupaten Sambas model penurunan

eksponensial ini memberikan nilai

𝐴 = 90,76𝑒−0,02826𝑛 dan 𝑘 = 0,02826 dengan

nilai 𝑅2= 0,96. Secara lengkap hasil validasi model kebergantungan jumlah hotspot pada jumlah curah hujan berdasarkan Persamaan 2. ditunjukkan dalam Tabel 1. Terlihat dari Tabel 1, terdapat 11 kabupaten/kota di Kalimantan Barat yang memiliki nilai koefisien determinasi (R2) di atas ≥ 0,9 dan 3 kabupaten/kota memiliki nilai koefisien determinasi (R2) < 0,4. Hal ini menunjukkan bahwa model kebergantungan jumlah hotspot yang menurun secara eksponensial terhadap curah hujan cukup baik diterapkan di 11 kabupaten/kota dan gagal di 3 kabupaten/kota di Kalimantan Barat. Kegagalan ini mungkin disebabkan banyak faktor selain jumlah curah hujan yang memengaruhi jumlah hotspot di 3 kabupaten/kota tersebut.

(a)

(b)

Gambar 4. Grafik validasi model kebergantungan jumlah hotspot pada jumlah curah hujan untuk (a) Kabupaten Kapuas Hulu, (b) Kabupaten Sambas.

(6)

324 Tabel 1. Grafik validasi model kebergantungan jumlah hotspot pada curah hujan

No. Kabupaten/Kota Persamaan Model R2

1 Kapuas Hulu 1,447 × 108𝑒−0,08649𝑛 0,99 2 Melawi 7,043 × 109𝑒−0,1929𝑛 0,99 3 Singkawang 1,078 × 107𝑒−0,5𝑛 0,99 4 Sambas 90,76𝑒−0,02826𝑛 0,96 5 Landak 3242𝑒−0,03454𝑛 0,94 6 Kayong Utara 7,328 × 105𝑒−0,08188𝑛 0,94 7 Bengkayang 123,4𝑒−0,03183𝑛 0,93 8 Ketapang 105,9𝑒−0,02297𝑛 0,93 9 Sintang 2,07 × 10170𝑒−2,294𝑛 0,92 10 Kuburaya 42,3𝑒−0,01336𝑛 0,90 11 Mempawah 5,529 × 1020𝑒−0,5537𝑛 0,90 12 Pontianak 2,222 × 10101𝑒−1,333𝑛 0,36 13 Sanggau 4,085 × 106𝑒−0,08212𝑛 0,16 14 Sekadau 43,13𝑒−0,01112𝑛 0,08 4 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian yaitu, model kebergantungan jumlah hotspot yang menurun secara eksponensial terhadap curah hujan cukup baik diterapkan di Kalimantan Barat. Hasil validasi model matematis menunjukkan bahwa terdapat 11 kabupaten/kota di Kalimantan Barat memiliki nilai koefisien determinasi (R2) ≥ 0,90 dan terdapat 3 kabupaten/kota yang memiliki koefisien determinasi (R2) < 0,40.

Hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah hotspot memiliki hubungan terbalik. Hubungan terbalik memberikan arti kenaikan jumlah hotspot akan diikuti dengan penurunan jumlah curah hujan dan sebaliknya penurunan jumlah hotspot akan diikuti dengan kenaikan jumlah curah hujan.

5 Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Azrul Azwar, S.Si., M.Si., Bapak Muliadi S.Si., M.Si., dan Ibu Asifa Asri S.Si., M.Si. atas bimbingan, arahan, dan masukan dalam penyelesaian penulisan artikel ini.

Daftar Pustaka

[1] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, 2015.

[2] Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan, Jakarta, 2013.

[3] Itsnaini, N., Sasmito, B., Sukmono, A., & Prasasti, I., Analisis Hubungan Curah Hujan dan Parameter Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan untuk Menentukan Nilai Ambang Batas Kebakaran, Jurnal Geodesi Undip, 6(2), 62-70, 2017.

[4] Sukmawati, A. Hubungan Antara Curah Hujan dengan Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator Terjadinya Kebakaran Hutan dan ahan di Kabupaten Pontianak

(7)

325 Provinsi Kalimantan Barat, Skripsi,

Fakultas Kehutanan Bogor, 2006.

[5] Saharjo, B. H., & Velicia, W. A. Peran Curah Hujan terhadap Penurunan Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan di Empat Provinsi di Indonesia pada Tahun 2015-2016, Silvikultur Tropika, 9(1), 24-30, 2018.

[6] Solichin, Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran, SSFFMP (South Sumatra Forest Fie Management Project), 2004. [7] Susanty, S., C., Potensi Kebakaran Hutan

di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api, Skripsi, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, 2009.

Gambar

Gambar 1. Sebaran jumlah hotspot di Kalimantan Barat tahun 2016-2017 050100150200250300Jumlah Hotspot (titik)Wilayah Kabupaten 20162017
grafik  jumlah  hotspot  dan  jumlah  curah  hujan  masing-masing untuk Kabupaten Kapuas Hulu dan  Kabupaten  Sambas
Gambar 3. Jumlah curah hujan dan jumlah hotspot tahun 2016-2017 untuk (a) Kabupaten Kapuas Hulu,  (b) Kabupaten Sambas
Gambar  4.  Grafik  validasi  model  kebergantungan  jumlah  hotspot  pada  jumlah  curah  hujan  untuk  (a)  Kabupaten Kapuas Hulu, (b) Kabupaten Sambas

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan karet alam (RSS) dan karet sintetis (EPDM) terhadap karakteristik barang jadi karet, serta mendapatkan formula

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memilki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji T

 Nilai indeks di Kalimantan Barat triwulan III-2012 diperkirakan sebesar 111,61 artinya kondisi ekonomi konsumen diperkirakan akan membaik dan tingkat optimisme

Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dananya kepada pihak nasabah yang membutuhkan dana. Pembiayaan sangat bermanfaat bagi bank syariah,

3. Agar pelaksanaan pengrekrutan dan pembinaan calon-calon pemimpin dapat dilaksanakan dengan baik, perlu adanya keterpaduan antara program, materi, waktu, dana, sarana,

permulaannya yang telah diumumkan oleh ulama falak, bahawa ianya jatuh pada hari Selasa menurut mereka; malam Selasa adalah malam pertengahan bulan Rabi'ul Awwal menurut

Peserta yang tidak menyerahkan karcis, tiket, boarding pass, airport tax serta tanda bukti pengeluaran lainnya dengan sangat menyesal panitia tidak dapat mengganti

Struktur didesain menggunakan sistem Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB)yang berdasarkan “Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung (SNI