• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang cepat saat masa infant berangsur-angsur melambat saat anak memasuki usia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. yang cepat saat masa infant berangsur-angsur melambat saat anak memasuki usia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Usia prasekolah (3–6 tahun) merupakan masa perkembangan sosial, intelektual dan emosional yang pesat bagi anak. Anak membutuhkan asupan gizi yang adekuat untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Oleh sebab itu nutrisi memiliki peranan penting bagi tumbuh kembangnya, dimana nutrisi didapatkan dari makanan yang dikonsumsi tiap hari. Pertumbuhan yang cepat saat masa infant berangsur-angsur melambat saat anak memasuki usia prasekolah. Seiring dengan penurunan kecepatan pertumbuhan ini, perilaku makan menjadi berubah. Hal ini membuat anak mengalami penurunan nafsu makan dan hanya mau makan makanan yang disukai (Wardlaw & Smith, 2009). Anak cenderung tidak suka mau makan sayur, padahal intake protein, kalsium, zat besi, vitamin A dan D yang adekuat merupakan hal penting selama masa ini (British Nutrition Foundation, 2009). Anak membutuhkan asupan tinggi protein, rendah lemak, tinggi vitamin B dan tinggi kalsium, yang zat-zat penting tersebut sebagaian besar didapat dari konsumsi sayur tiap hari.

Erikson mengatakan bahwa apabila perkembangan pada anak tidak terlewati dengan baik maka akan menimbulkan perilaku negatif seperti tidak percaya kepada orang lain, mudah merasa bersalah, rendah diri dan memisahkan diri dari orang lain (Hidayat, 2011). Jadi menurut Goleman (2013) ciri-ciri perkembangan pada anak yang tidak terlewati dengan baik adalah karena kecerdasan emosional anak yang rendah. Hurlock (2011) mengatakan bahwa kurun usia prasekolah (3-6

(2)

tahun) disebut sebagai masa keemasan (the golden age). Di usia ini anak mengalami banyak perubahan fisik dan mental dengan karakteristik antara lain berkembangnya konsep diri, munculnya egosentris, rasa ingin tahu yang tinggi, imajinasi yang tinggi, belajar dari lingkungannya, berkembangnya cara berpikir, dan berkembangnya kemampuan bahasa (Aprilianty, 2012).

Masalah tersebut dapat berakibat buruk bagi tumbuh kembang anak. Anak dapat mempunyai peluang besar untuk menderita kurang gizi karena makanan yang dikonsumsi dalam jumlah sedikit sehingga tidak memenuhi kebutuhan nutrisinya (Fitriani et al., 2009). Selain itu, anak dapat mengalami stunting atau menjadi balita pendek. Riskesdas tahun 2013, menyatakan di Indonesia pada kelompok usia 6 tahun ke atas kurang konsumsi sayur dan buah sangat tinggi yaitu 93,6 % dari kebutuhannya sehari dan di Jawa Timur pada kelompok usia 6 tahun keatas kurang konsumsi sayur dan buah mencapai 91 % dari kebutuhannya sehari. Guillain et al. (2013) menyebutkan beberapa survei melaporkan konsumsi sayur pada anak Prasekolah dan anak-anak kurang dari rekomendasi yang dianjurkan terutama pada sayur. Kebiasaan makan yang salah pada masa anak-anak Prasekolah dapat berlanjut dan menjadi bibit masalah kesehatan yang serius di usia dewasa.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, Indonesia dengan prevalensi anak balita pendek sebesar 35,6% merupakan negara ke-5 terbesar yang berkontribusi pada 90% stunting di dunia. Anak pendek mempunyai risiko lebih tinggi menderita diabetes, obesitas, hipertensi dan stroke pada usia dewasa (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Untuk itu, diperlukan suatu metode untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap mengenai pentingnya makan sayur setiap

(3)

hari. Oleh sebab itu, perlulah dilakukan intervensi sejak dini supaya anak-anak mendapat kesehatan yang optimum (Wardlaw et al., 2004). Storytelling merupakan metode yang sesuai dengan perkembangan kognitif dan afektif anak usia prasekolah.

Hasil penelitian Putriana (2010) menunjukan bahwa hampir seluruh 93,6% anak di Panti Asuhan di Surabaya mengkonsumsi sayur dalam jumlah yang kurang. Didukung oleh hasil penelitian Attrof dkk (2016) juga menyatakan hampir seluruh 85,8% anak di Colombia mengkonsumsi sayur yang tidak sesuai dengan anjuran. Jika gangguan makan tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anak.

Anak masih sangat tergantung pada orang dewasa, terutama orang tua/ pengurus yang berperan penting pada pembentukan pola makan dan pemenuhan kebutuhan nutrisi termasuk memilih jenis makanan yang akan disajikan. Jenis makanan keluarga pertama yang dikenalkan adalah sop sayur (52,7%) dan tahu/tempe (29,0%) Harinda (2012). Hal ini membuktikan orang tua sebagai penyedia makanan dan mengenalkan berbagai macam makanan termasuk sayur sudah memperkenalkan sejak dini, namun anak memilih-milih dan menghindari sayur.

Terdapat proporsi yang cukup besar pada anak di dunia yang tidak memenuhi rekomendasi WHO (Wold Health Organization) dalam konsumsi sayur dan buah, yakni setidaknya 400 gram/hari (Krolner et al., 2011). Hal ini disebabkan karena anak sudah dapat memilih-milih makanan yang disukainya, hanya mau makan makanan tertentu saja dan cenderung menghindari makan sayur

(4)

(Fitriani et al., 2009). Diperkirakan sebanyak 80% anak-anak di dunia ini yang tidak menyukai sayur-mayur sedangkan sayur-mayur merupakan penyumbang utama untuk nutrisi dan diet seimbang pada anak-anak dan dewasa (Maryam, 2012). Masa ini ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyusuaian pribadi dan sosial anak, merupakan masa berkelompok, usia kreatif dan usia bermain. Anak sekolah lebih banyak bergerak, bermain dan belajar, agar dapat tumbuh dengan baik, mereka memerlukan makanan yang mengandung protei, vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup.

Kekurangan konsumsi sayur pada anak dapat berakibat buruk bagi tumbuh kembang anak. Anak dapat mempunyai peluang besar untuk menderita kurang gizi karena makanan yang dikonsumsi dalam jumlah sedikit tidak dapat memenuhi kebutuhan kebutuhan nutrisi anak (Fitriani, dkk, 2009). Soerjodibroto (2009), menjelaskan sayur perlu dikonsumsi bersama dengan mengkonsumsi nasi dan lauk pauk sat makan pada pagi hari (sarapan), makan siang hari dan makan pada hari.

Anak lebih memilih nasi dan lauk saja seperti telur, ikan dan ayam. Ibu harus berusaha keras dan memaksa anak untuk mau makan sayur sehingga membuat suasana makan tidak nyaman dan anak menjadi rewel. Gambaran sikap ini merupakan kasus global dan merupakan suatu kesulitan bagi orangtua untuk memberi anak-anak mereka makanan yang mengandung serat dan banyak vitamin yaitu sayur-mayur (Wardlaw & Smith 2009). Anak perlu mendapat penanaman sejak dini mengenai pentingnya makan sayur, karena masa prasekolah merupakan waktu yang terbaik untuk inisiasi eating behaviors yang baik dan akan bertahan hingga dewasa (Droog et al., 2013).

(5)

Pertumbuhan dan perkembangan anak terjadi pada Usia Golden kehidupan. Asupan makanan yang bergizi memberikan manfaat yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, makanan yang baik bagi tubuh adalah yang cukup mengandung kalori dan protein, vitamin, karbohidrat, dan mineral. Sumber-sumber makanan ini salah satunya berasal dari sayur-sayuran (Susanto, 2014).

Sayur sebagai sumber zat gizi bagi manusia, berperan penting dalam rangka menciptakan SDM yang sehat jasmani, rohani dan berkualitas tinggi, hal ini penting bagi anak-anak sebagai generasi penerus bangsauntuk mendapatkan zat-zat gizi yang memadai karena berguna dalam pertumbuhan dan perkembangan serta untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan kecerdasaannya (Yayuk,2009).

Sayuran merupakan salah satu kelompok makanan yang sangat baik bagi kesehatan anak usia prasekolah. Begitu banyak manfaat yang didapat dengan anak mengonsumsi sayur. Namun kesukaan anak dalam mengonsumsi sayur masih sangat rendah dan menolak untuk mengkonsumsi sayur (Fildes, Van Jaarsveld, Wardle, & Cooke,2014;Remington, Annez, Croker,Wardle, & Cook, 2012)

Konsumsi makanan yang kurang sehat, tinggi kalori, tanpa disertai dengan makan sayur yang cukup sebagai sumber serat dan mineral dapat mengakibatkan kelebihan berat badan atau obesitas pada anak-anak (Ratu, 2011). Mengonsumsi sayur berwarna sebanyak lima porsi atau lebih adalah bagian penting dalam pola hidup sehat. Hal ini disebabkan sayur yang berwarna berbagai macam vitamin, mineral, serat dan fitakimia yang digunakan oleh tubuh untuk menjaga kesehatan, melindungi tubuh dari efek penuaan, serta mengurangi resiko terkena beberapa jenis kanker (Judarwanto, 2008).

(6)

Menurut Pedoman Gizi Seimbang 2014, bagi anak balita dan anak usia prasekolah dianjurkan untuk mengonsumsi sayuran sebanyak 300-400 gram yang terdiri dari 250 gram sayur (setara dengan 3-5 porsi atau 2,5 gelas sayur setelah dimasak dan ditiskan). Sedangkan organisasi pangan dan pertanian dunia food and Agriculture Organization (FAO), merekomendasikan warga dunia untuk makan sayur secara teratur sebanyak 75 kg/kapita/tahun begitu dengan WHO merekomendasikan agar konsumsi sayur sebanyak 400 gram setiap hari.

Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi sayur pada anak prasekolah. Perilaku konsumsi sayur pada anak setidaknya dipengaruhi oleh empat faktor besar. Mulai dari lingkungan, budaya yang terdiri dari negara, etnis, dan status sosial ekonomi hingga faktor individu, dimana pengetahuan dan sikap termasuk didalamnya (Rasmussen et al., 2006). Selain itu di dalam mengakses dan memilih makanan pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan, baik itu lingkungan rumah antara lain faktor orangtua terutama ibu karena perilaku anak pertama kali diadopsi dari dalam rumah. Sedangkan faktor lingkungan di luar rumah seperti guru yang mengajar di sekolah, teman bermain serta iklan-iklan di media massa. Kedua faktor tersebut sangat berpengaruh karena pada umumnya anak selalu mengdopsi perilaku-perilaku dari lingkungan sekitarnya, termasuk dalam hal perilaku konsumsi sayur (Dewi, 2013).

Pendapat serupa oleh Ali Rosidi yaitu pada tahap usia prasekolah, anak harus mengikuti pola makan orang dewasa . karena pada usia prasekolah seorang anak masih merupakan golongan konsumsi pasif yaitu belum dapat mengambil dan memilih makanan sendiri. Disamping kemampuan menerima berbagai jenis

(7)

makanan yang juga masih terbatas mereka juga masih sulit diberikan pengertian tentang makanan (Rosidi,2012)

Anak akan bersedia mengkonsumsi sayur jika mereka mengetahui dan paham dengan manfaat sayur. Melalui pendidikan gizi ini diharapkan anak pra sekolah mengetahui dan paham walaupun dengan ilmu yang sangat terbatas dan pada akhirnya meminta kepada orang tua/ pengasuh untuk menyediakan sayur (Boutelle et al., 2007; Edelson, Makdad & Martin, 2016) sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa dengan pendidikan kesehatan Storytelling masyarakat tidak saja sadar dan mengerti, tetapi juga mudah bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungan dengan kesehatan (Subargus, 2011).

Dongeng bisa menjadi wahana untuk mengasah imajinasi, membuka pemahaman dan belajar pada pengelaman-pengalaman sang tokoh dalam dongeng tersebut. Teknik bercerita merupakan cara yang unik, menarik tanpa memaksa dan tanpa perlu menggurui sang anak (Haryani, 2007).

Salah satu solusi dalam menyikapi anak tidak suka makan sayur, ada

Storytelling merupakan proses yang penting, terjadi penyerapan pengetahuan yang

disampaikan storyteller kepada audience. Proses inilah yang menjadi pengalaman seorang anak dan menjadi tugas storytelling untuk menampilkan kesan menyenangkan pada saat bercerita (Kusumastuti, 2010). Setelah itu, memilih mana yang dapat dijadikan panutan sehingga membuntuhkan menjadi moralitas yang dipegang sampai dewasa (Hayati, 2007). Anak akan mengadopsi cerita yang disampaikan oleh storyteller yang berisi tentang pesan-pesan baik : senang mengkonsumsi sayur, sudah tidak rewel dan tidak memilih-milih jenis makanan saat waktu makan tiba. Selanjutnya, anak diharapkan dapat menerapkan

(8)

pesan-pesan yang disampaikan pada kehidupan sehari-hari. Storytelling merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif dan aspek konatif anak (Asfandiyar, 2007).

Storytelling sebagai suatu cara pemberian pengetahuan tentang pentingnya

konsumsi sayur kepada anak melalui bercerita, hal ini bertujuan untuk mengasah imajinasi dan memberi pemahaman kepada anak melalui belajar berdasarkan pengalaman-pengalaman sang tokoh dalam dongeng kepada anak, karena teknik bercerita merupakan cara yang unik untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada anak (Kusumastuti, 2010). Hal ini dikarenakan pemahaman anak usia prasekolah masih rendah tertadap manfaat mengkonsumsi sayur, sehingga untuk meningkatkan minat anak dalam mengkonsumsi sayur perlu diadakan pemberian

storytelling tentang cerita rakyat seperti sayur yang menangis apabila tidak

dimakan oleh anak tersebut, sehingga mampu meningkatkan kemauan anak untuk mengkonsumsi sayur bersama dengan nasi.

Pendidikan kesehatan melalui storytelling dapat merubah konsumsi sayur karena cerita merupakan alat yang ampuh untuk menyampaikan pengajaran, pesan maupun teguran (Asfandiyar, 2007). Menurut Fibrihirzani (2012) ketika anak tahu mengenai manfaat konsumsi sayur anak akan sadar dan tertarik untuk mencoba mengonsumsinya. Pengenalan dan pemaparan sayur secara berulang-ulang saat usia dini mampu meningkatkan kesukaan anak. Namun sayangnya tidak semua orangtua mengenalkan anak pada sayur, sehingga pengetahuan anak tentang sayur juga kurang. Sesuai dengan hasil penelitian Putri, dkk (2017) yang menyatakan bahwa pengetahuan anak usia 3-6 tahun (jenis, manfaat, kandungan, serta akibat kurang sayur) dalam kategori kurang. Hal ini sangat berhubungan dengan pola

(9)

asuh orangtua/ penggasuh dalam mengajarkan dan menanamkan kesukaan terhadap konsumsi sayur, termasuk mengenal macam-macam sayur dan manfaatnya bagi tubuh. Responden yang dibiasakan oleh orangtua/ penggasuh untuk mengkonsumsi sayur setiap hari akan cenderung menyukai dan bersikap positif dalam hal konsumsi sayur tersebut, maka hal ini akan tertanam dalam benak anak.

Berdasarkan uraian diatas maka penelitian tertarik untuk mengambil judul “PENGARUH METODE STORYTELLING TERHADAP PERILAKU KONSUMSI SAYUR PADA ANAK PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) DI PANTI ASUHAN SUMBER KASIH KEC. WIYUNG SURABAYA”

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada Pengaruh Metode Storytelling Terhadap Perilaku Konsumsi Sayur Pada Anak Prasekolah (3-6 tahun) Di Panti Asuhan Sumber Kasih Kec. Wiyung Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh pemberian metode Storytelling Terhadap Perilaku Konsumsi Sayur pada Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) di Panti Asuhan Sumber Kasih Kec. Wiyung Surabaya.

(10)

1.3.2 Tujuan Khusus

(1) Mengidentifikasi Perilaku Konsumsi Sayur sebelum diberikan Storytelling (2) Mengidentifikasi Perilaku Konsumsi Sayur setelah diberikan Storytelling (3)Menganalisis Pengaruh Storytelling Terhadap Perilaku Konsumsi Sayur

Pada anak Prasekolah (3-6 tahun) di Panti Asuhan Sumber Kasih Kec. Wiyung Surabaya

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

(1) Terlaksananya salah satu upaya untuk mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu akademik, penelitian dan pengabdian masyarakat.

(2) Sebagai tambahan referensi karya tulis penelitian yang berguna bagi masyarakat luas di bidang kesehatan masyarakat, khususnya terkait konsumsi sayur.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi subyek penelitian

Dapat menambah wawasan terkait konsumsi sayur pada anak sekolah serta sebagai media pengembangan kompetensi diri sesuai dengan keilmuan yang diperolah selama perkuliahan , sebagai pengalaman dan pembelajaran dalam melakukan penelitian selanjutnya terkait masalah yang berkaitan dengan gizi.

(11)

1.4.2.2 Bagi pihak Panti

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan kegiatan belajar mengajar dan penelitian ini diharapkan dapat mengaplikasikan kegiatan storytelling saat proses belajar mengajar. Serta mengetahui seberapa efektif dan efisien fasilitas yang diberikan pihak Panti Asuhan kepada anak usia 3-6 tahun.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap awal Standar Kompetensi Lulusan (SKL) minimal program rintisan SMA bertaraf internasional yang harus dicapai adalah SKL yang tertuang dalam Permen Diknas No 23 tahun

X1 : Intervensi dengan melakukan pengiriman media edukasi visual Line massenger kepada responden kelompok perlakuan selama 1 bulan untuk mengetahui perilaku

Nilai rendemen dengan lama fermentasi 90 menit memiliki nilai rendemen paling tinggi karena pada perlakuan ini proses perombakan glukosa menjadi karbondioksida (CO2)

(3) faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan metode Kibar di TK Al- qur’an Plus Kibar Yogyakarta meliputi faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukungnya meliputi;

Virus bukan merupakan sel, virus yang berada di luar tubuh makhluk hidup dalam keadaan tidak aktif disebut Virion1. Tubuh virus terbagi menjadi kepala , leher

Kegiatan permainan bubur kertas yang dilakukan dalam penelitian ini dapat mempengaruhi perkembangan kreativitas anak yaitu pada indikator kemampuan anak dalam mengungkapkan

Pada tahap evaluating atau penilaian proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, 1) kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai pekerjaan yang telah

Media pembelajaran interaktif sangat berperan penting di dalam pendidikan karena dengan media pembelajaran interaktif yang tepat materi dan sesuai dengan tujuan