• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sang Hyang Sambah dalam Ngusabha Sambah di Desa Pakraman Pesedahan, Manggis, Karangasem (Kajian Bentuk Fungsi dan Makna)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sang Hyang Sambah dalam Ngusabha Sambah di Desa Pakraman Pesedahan, Manggis, Karangasem (Kajian Bentuk Fungsi dan Makna)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SANG HYANG SAMBAH DALAM NGUSABHA SAMBAH DI DESA

PAKRAMAN PESEDAHAN, MANGGIS, KARANGASEM

(Kajian Bentuk Fungsi dan Makna)

Oleh

Ida Bagus Putu Eka Suadnyana

Dosen di Fakultas Pendidikan Agama dan Seni Universitas Hindu Indonesia Idabagueka09@gmail.com

ABSTRACT

The use of Sang Hyang Sambah in Ngusabha Sambah ceremony in the village of Pakraman Pesedahan is very unique, as one of the means that support the implementation of religious ceremony based on the five basic forms of practice namely: iksa, sakti, village, kala, and tattwa so there are various forms and functions of upakara variety. Sang Hyang Sambah in Ngusabha Sambah ceremony in the village of Pakraman Pesedahan in addition to having its own characteristics, also contains value for the community supporters so that its use is maintained until now. Theories used to solve this research problem are structural functional theory, value theory and cognitive theory. This research is in the form of qualitative design. Based on the analysis, obtained the conclusion as the result of research, as follows: (1) Sang Hyang Sambah is one of the means in Ngusabha Sambah ceremony in the village of Pakraman Pesedahan. Sang Hyang Sambah shaped pelinggih made of plant material and made before the ceremony Ngusabha Sambah. (2) Sang Hyang Sambah in the process of Ngusabha Sambah ceremony has a ceremonial function as a form of sacrifice that is a religious function as a tool to cultivate belief in God, and social function to enhance a sense of togetherness. (3) The meaning that is contained in Sang Hyang Sambah in Ngusabha Sambah ceremony among others tattwa seen in people’s belief in Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ethics is reflected in the attitude.

Keyword: Sang Hyang Sambah, Ngusabha Sambah

I. PENDAHULUAN

Upacara merupakan salah satu wujud yadnya (Wiana, 1993: l08). Kata upacara dalam bahasa Sansekerta berarti “mendekati” dalam kegiatan upacara agama diharapkan terjadinya suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa, kepada sesama manusia, kepada alam lingkungan, pitara maupun Rsi. (Wiana 2006: 40) menjelaskan bahwa yadnya adalah suatu persembahan yang dilakukan berdasarkan kepercayaan dan keikhlasan yang bersumber dari kesadaran rohani untuk memuja Tuhan dan melakukan pelayanan dengan sesama rnanusia dan isi alarn semesta ini. (Putra 2005: 5-6) menjelaskan bahwa kegiatan apapun yang

dilakukan dengan tulus sebagai kewajiban, tidak terikat pada hasilnya, itulah yadnya.

Landasan yadnya tercantum dalam Bhaga-wadgita Bab III sloka 10.

Saha-yajnah prajah srstva purovaca prajapatih anena prasavisyadhvam esa vo’stv ista-kama-dhuk

Terjemahannya:

Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yajna, berkata: dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perahan yang melalui keinginanmu (sendiri).

(2)

Upakara adalah unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dengan upacara agama, karena upakara merupakan sarana yang digunakan dalam menyelenggarakan upacara yadnya yakni sebagai persembahan kepada lda Sang Hyang Widhi/Tuhan, kepada sesama dan kepada alam lingkungan. Menurut (Wiana 1997: 115-116) persembahan di samping memiliki esensi pelayanan juga memiliki dimensi pendidikan yang jangkauannya cukup luas dan amat dibutuhkan dalam meningkatkan mutu hidup. Aspek spiritual dari upacara yang memiliki lima unsur penyucian: mantra, yantra, tantra yadnya dan yoga. ltulah unsur yang akan menimbulkan proses penyucian tahap demi tahap menuju persatuan dan keharmonisan total antara manusia dengan alam lingkungan ,dengan sesama dan yang tertinggi adalah keharmonisan dengan Tuhan, inilah prinsip utama dari upacara agama hindu.

Upakara yang digunakan dalam setiap upacara yadnya memiliki bentuk dan jenis yang beraneka ragam. Panca yadnya ialah lima dasar bentuk amalan yang akan dilaksanakan yaitu: l) Iksa adalah hakikat tujuan dari suatu kegiatan yang akan dilaksanakan, hendaknya harus dipahami dan disosialisasikan agar tidak terjadi salah penafsiran antara sesama umat, 2) Sakti adalah kesadaran yang tinggi dan kcmampuan

pemikiran dan fisik materiil untuk mendukung

suatu kegiatan yang dilaksanakan, 3) Desa adalah tempat suatu kegiatan atau lingkungan yang kondusif, yang dapat memperlancar suatu kegiatan yang dilaksanakan, 4) Kala adalah waktu atau masa di dalam melaksanakan suatu kegiatan, hendaknya harus diperhitungkan dengan cermat,agar dapat memperlancar suatu kegiatan yang akan dilaksanakan, 5) Tattwa adalah dasar

keyakinan atau filsafat yang bersumber dari

nilai suci weda, segala sesuatu yang akan kita laksanakan hendaknya selalu dilandasi dengan sastra-sastra agama yang kita yakini, bukan dilandasi dengan “gugon tuwon”.

Diantara sejumlah pelaksanaan upacara yang dilakukan oleh masyarakat Hindu pada desa-desa di Bali dikenal adanya upacara Ngusabha. Kata Ngusabha sering dihubungkan dengan pelaksanaan

Ngusabha Nini, Ngusabha Desa yang pada intinya adalah memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi agar masyarakat mendapatkan keselamatan. Pada desa-desa di Kabupaten Karangasem biasa dikenal Ngusabha yang agak berbeda dengan daerah lainnya di Bali seperti Ngusabha Dodol, Ngusabha Goreng sedangkan di Desa Pakraman Pasedahan ada sebuah upacara Ngusabha yang unik dilaksanakan dilaksanakan Pura Puseh dan Bale Agung yang disebut Ngusabha Sambah, yang dilaksanakan pada sasih kelima dalam satu tahun sekali .

Sang Hyang Sambah identik dengan sanggah surya. Sarana yang digunakan Sang Hyang Sambah sama dengan sanggah surya yakni memakai peji, uduh, dan biu lalung, namun sarana lain yang ada pada Sang Hyang Sambah yakni hanya berupa daksina, banten penyungsung, banten lanlan, sesayut,bebek putih direbus yang dihaturkan pada proses upacaran Ngusabha Sambah dan sarana nyambutin seperti tegen-tegenan/talaran yang terbuat dari batang pohon dadap dan diisi berbagai jenis buah, jajan, sampyan dan sebagainya yang dibuat oleh orang yang melaksanakan upacara nyambutin.

Upacara nyambutin merupakan upacara bayi yang telah berumur tiga bulan dan belum pernah diupacarai (nyambutin). Upacara nyambutin tidak hanya dilaksanakan oleh warga Desa Pakraman Pesedahan tetapi juga warga lain. Upacara nyambutin berlangsung di depan palinggih Sang Hyang Sambah dan di jeroan Pura Puseh pada rangkaian upacara Ngusabha Sambah yang disebut panyuud (pengusan).

Namun dari segi jumlah rong Sang Hyang Sambah berbeda dengan sanggah surya. Sang Hyang Sambah hanya ber-rong (beruang) satu dan tidak beratap, sedangkan sanggah surya memiliki tingkatan (undag) satu sehingga memakai empat tiang penyangga, sedangkan Sang Hyang Sambah memiliki tingkatan (undag) sehingga memakai enam tiang penyangga. Pada akhir prosesi upacara Ngusahha Sambah, Sang Hyang Sambah di arak menuju perbatasan desa pakraman Pesedehan oleh tempek yang bertugas. Karena keunikan yang terjadi penulis ingin melakukan penelitian

(3)

dengan mencoba mengkaji secara teoritis tentang Sang Hyang Sambah yang sangat menarik dan penting dilakukan dalam rangka menumbuhkan pemahaman bentuk, fungsi dan makna Ngusaba Sambah khususnya Sang Hyang Sambah.

II. METODELOGI

Teori yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian ini adalah teori fungsional structural dan teori nilai. Penelitian ini berbentuk rancangan kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, teknik wawancara, teknik dokumentasi dan studi kepustakaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan reduksi data, display data (penyajian data) dan simpulan.

III. PEMBAHASAN

3.1 Bentuk Sang Hyang Sambah dalam Ngus-abha Sambah di Desa Pakraman Peseda-han, Manggis, Karangasem.

3.1.1 Proses Pembuatan Sang Hyang Sambah

Untuk menyelesaikan sebuah bangunan suci Sang Hyang Sambah yang baik, diperlukan adanya sikut atau ukuran-ukuran tertentu. Baik bangunan itu dibuat besar maupun kecil, ukuran-ukuran itu mutlak harus ada sehingga ukuran-ukuran antara panjang, lebar maupun tingginya menjadi sangat serasi hingga bentuknya baik dan indah. Ukuran yang dipakai untuk menentukan tingginya tiang sesuai dengan ketentuan Asta Kosalia adalah antara 21 atau 22 rahi, dan ditambah setengah rahi atau satu nyari tangan sebagai pengurip.

Kemudian menentukan kaki bangunan atau sukunya, maka ukurlah dari ujung bawah tiang ke atas sebesar 3 rahi ditambah 1 nyari kancing hingga sampai pada sunduk. Mengenai besarnya sunduk tidak ada ketentuan, tetapi biasanya orang memakai ukuran besar sunduk itu setengah dari besarnya rahi, dan tinggi sunduk dua pertiga dari besarnya rahi. Dan demikian pula tentang pelangkiran atau ruangan tempat menaruh saji. Juga tidak memakai ketentuan namun hendaknya dapat disesuaikan dengan panjangnya adegan hingga nampak serasi dan indah.

Apabila dilihat dari sarana/atribut pada Sang Hyang Sambah yakni yang berupa pohon pinang kecil (peji), sejenis pohon enau (uduh) dan pohon pisang yang ada buah, bunga dan jantungnya (biu lalung) maka Sang Hyang Sambah dapat diidentikkan dengan sanggar surya / sanggah surya. Menurut Wiana (2002: 105) sanggar surya adalah bangunan suci yang didirikan pada bagian Uranus (kewanan) dari areal upacara. Sanggah surya ini sering disebut sanggah pesaksi. Sanggah surya adalah tempat untuk mensthanakan Siwa Raditya sebagai saksi upacara. Untuk upacara pada tingkatan madya menggunakan sanggah surya dengan satu rong yang menggunakan peji, uduh dan biu lalung, ceniga / lamak. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pelinggih Sang Hyang Sambah merupakan tempat untuk mensthanakan Siwa Raditya sebagai saksi dalam upacara Ngusabha Sambah.

Setelah itu akan dilaksankan upacara Mlaspas Sang Hyang Sambah dalam Ngusabha Sambah di Desa Pakraman Pesedahan, Manggis, Karangasem. Fungsi upacara mlaspas adalah pembersihan secara niskala dari segala kekotoran baik yang berasal dari pikiran, perkataan dan pembuatan dalam membuat Sang Hyang Sambah. Sang Hyang Sambah yang telah dihias lalu dilaksanakan upacara pemlaspasan yang disertai pengurip-urip. Dalam upacara mlaspas Sang Hyang Sambah menggunakan upakara seperti banten daksina, banten prayascita, banten pengulap (pengulapan), sesayut pengambe (pengambian), banten peras, banten caru, banten tulung, pengurip-urip yang masing-masing memiliki fungsi sebagai berikut.

1. Banten daksina berfungsi sebagai perwujudan daripada Sang Hyang Widhi / ManifestasiNya.

2. Banten prayascitta berfungsi sebagai alat penyucian. Tebasan prayascitta sebagai sarana pensucian Tri-Bhuwana, mensucikan alam svah-loka dalam wujud Tri Mandala sedagai pensucian utama-mandala, dalam wujud Tri Pramana sebagai pensucian idep, dalam wujud Tri Kaya Parisudha mensucikan alam pikiran. Dalam pikiran yang suci akan tercipta suatu aktivitas yang suci.

(4)

3. Banten pengulapan memiliki makna sebagai mensthanakan, mengembalikan, memanggil. Setelah tersucikan ketiga unsur tersebut di atas.

4. Sesayut pengambian memiliki fungsi sebagai sarana penyatuan atau penunggalan antara bebanten / upakara dengan yang diupacarai, pelinggih / sthana dengan yang disthanakan, penunggalan, antara menyembah dengan yang disembah (penunggalan atma dan paramatma).

5. Banten peras selalu menyertai sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu.

6. Banten caru adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.

7. Banten tulung. Kata “tulung” berarti tolong menolong.

8. Pengurip-urip bermaksud menghidupkan bangunan yang dibuat agar memiliki kakuatan magis spiritual.

Jadi fungsi upacara pemlaspasan atau mlaspas Sang Hyang Sambah adalah untuk membersihkan bangunan/pelinggih secara niskala dari segala kekotoran baik yang berasal dari asal bahan-bahan yang dipergunakan maupun yang berasal dari proses pengerjaan agar menjadi suci dan diberi pengurip-urip agar pelinggih Sang Hyang Sambah memiliki kekuatan magis spiritual memiliki kharisma (taksu) dan menyatukan pelinggih/sthana Sang Hyang Sambah dengan yang disthanakan di pelinggih Sang Hyang Sambah. Untuk mengetahui proses kegiatan yang terjadi pada Sang Hyang Sambah maka akan diuraikan mengenai rangkaian upacara ngusabha sambah di Desa Pakraman Pesedahan yang berlangsung selama 5 hari yang terdiri dari beberapa rangkaian yaitu penyujukan dan melasti, penampahan, pebarisan, penyulud atau pengusan, penyimpenan.

1) Penyujukan dan Melasti

Hari pertama dalam upacara ngusabha sambah di Desa Pakraman Pesedahan disebut

penyujukan diikuti dengan upacara melasti ke segara. Dengan maksud untuk menyucikan pratima-pratima dari kotoran atau male. Menurut krama desa Pesedahan disebut dengan Ida Bhatara masucian ka segara. 2) Penampahan

Pada hari kedua disebut Penampahan. Disebut penampahan karena pada hari tersebut dilaksanakan dengan memotong beberapa ekor babi guna dipakai olah-olahan berupa sate, lawar, urab bara, urab putih, yang nantinya dipakai sebagai sarana persembahan pada Ida Bhatara-Bhatari yang disebut dengan upacara penyemeng.

3) Pebarisan

Pada hari ketiga disebut pebarisan. Pada siang hari sekitar pukul 11.00 wita krama desa berkumpul ke Pura Puseh untuk melaksanakan upacara pebarisan ke Pura Rambut Petung. Ida Bhatara dipundut menuju Pura Rambut Petung dan dilaksanakan upacara sebagaimana mestinya yang diikuti acara murwa daksina yaitu mengelilingi pura sebanyak 3 kali diiringi oleh truna-truni dan dilaksanakan persembahyangan bersama. Setelah itu Ida Bhatara dipundut kembali menuju Pura Puseh. Di Pura Puseh juga dilaksanakan murwa daksina sebanyak 3 kali lalu Ida Bhatara dilinggihkan kembali di pelinggih masing-masing.

4) Penyulud atau Pengusan

Pada hari keempat disebut pengusan. Pada pagi hari dilaksanakan upacara penyemeng. Pada masing-masing pelinggih termasuk di Sang Hyang Sambah dihaturkan banten penyemeng seperti pada hari penampahan dan dilaksanakan upacara melaspas Sang Hyang Sambah seperti pada hari melasti pagi karena hiasan Sang Hyang Sambah diganti lagi dengan yang baru. Setelah itu krama desa melaksanakan acara magibung (makan bersama). Pada hari ini juga dilaksanakan upacara nyambutin bagi anak-anak yang telah berumur tiga bulan (210 hari) yang belum pernah diupacarai (nyambutin). Adapun bantennya yakni: Banten pajengan, Peras, Bu, Teenan, Tegen-tegenana / talaran.

(5)

5) Penyimpenan

Hari kelima disebut dengan penyimpenan. Krama desa melaksanakan persembahyangan di masing-masing Pura Penyimpenan setelah penyimpenan selesai maka berakhirlah rangkaian upacara ngusabha sambah.

Upacara Pemlaspasan Sang Hyang Sambah 3.1.2 Bentuk Sang Hyang Sambah

Sang Hyang Sambah berbentuk pelinggih yang menyerupai kursi atau tempat duduk. Pelinggih Sang Hyang Sambah, memiliki tiang enam buah yang bahannya dari pelepah enau yang masih hijau. Keenam tiang tersebut dipasang menjadi dua deretan yang memanjang kebelakang, sehingga di sebelah kanan ada tiga tiang dan di sebelah kiri ada tiga tiang pula yang berderet ke belakang dan sejajar, sehingga Sang Hyang Sambah berbentuk persegi empat panjang yang memanjang ke belakang dan memiliki rong (ruang) satu.

Ukurang tinggi dua tiang yang berada paling depan lebih pendek dari pada dua tiang yang berada di tengah dan di belakang (ukuran tinggi dua tiang yang berada di tengah dan di belakang sama). Ukuran tinggi dua tiang yang berada di

depan lebih pendek dari ukuran tinggi dua tiang yang berada di tengah dan di belakang, maka bentuk Sang Hyang Sambah akan memiki dua tingkatan (undagan). Hal ini akan terlihat jelas apabila sepertiga dari tinggi tiang bagian atas diberi pembatas dari bambu dan pelepah enau yang masih hijau, serta dialasi dengan bedeg (bambu yang dianyam). Di depan dua tiang yang paling depan di pasang dua tiang yang pendek yang di atasnya dialasi dengan pelepah enau yang masih hijau.

Pada Sang Hyang Sambah di bagian atas sisi belakang, sisi kanan dan sisi kiri dipasang bedeg (bambu yang dianyam). Sedangkan pada sisi depan tidak dipasang bedeg atau dibiarkan terbuka dan pada sisi atas juga tidak dipasang bedeg atau dibiarkan terbuka karena tidak memakai atap. Bedeg yang dipasang pada sisi belakang, sisi kanan dan sisi kiri ditutup dengan daun enau tua (ron) dengan cara dijarit. Pada Sang Hyang Sambah dipasang bambu panjang yang sudah dibelah (disebit) dan dirapikan serta ujungnya dibentuk lancip atau runcing pada setiap sudutnya. Pada bambu tersebut dipasang daun enau muda (ambu). Di sudut depan sebelah kanan di pasang pohon pisang yang ada buah, bunga dan jantungnya (biu lalung) dan pengawin yang berupa umbul-umbul. Di sudut depan sebelah kiri dipasang sejenis pohon enau (uduh) dan pohon pinang kecil (peji). Pada belakang atas dipasang pengawin berupa payung pagut berwarna putih.

Pelinggih Sang Hyang Sambah didirikan di atas bataran yang berbentuk persegi empat panjang dan terbuat dari batu bata yang merupakan tempat khusus untuk mendirikan pelinggih Sang Hyang Sambah. Bataran tersebut terletak di sudut utara dan timur Pura Bale Agung atau di jaba tengah Pura Puseh. Pelinggih Sang Hyang Sambah bersifat sementara karena dibuat menjelang upacara ngusabha sambah dan nantinya akan dirarung/dipralina setelah upacara ngusabha sambah berakhir, di samping itu pula Sang Hyang Sambah dibuat dari sarana atau bahan-bahan dari tumbuh-tumbuhan, sehingga tidak bertahan lama.

Jadi dari segi fisik, Sang Hyang Sambah berbentuk pelinggih yang menyerupai kursi atau

(6)

tempat duduk. Pelinggih Sang Hyang Sambah didirikan di atas bataran yang berbentuk persegi empat panjang dan terbuat dari batu bata yang merupakan tempat khusus untuk mendirikan pelinggih Sang Hyang Sambah. Bataran tersebut terletak di sudut utara dan timur Pura Bale Agung atau di jaba tengah Pura Puseh. Pelinggih Sang Hyang Sambah bersifat sementara karena dibuat menjelang upacara ngusabha sambah dan nantinya akan dirarung/dipralina setelah upacara ngusabha sambah berakhir, di samping itu pula Sang Hyang Sambah dibuat dari sarana atau bahan-bahan dari tumbuh-tumbuhan, sehingga tidak bertahan lama.

3.2 Fungsi Sang Hyang Sambah dalam Upaca-ra Ngusabha Sambah di Desa Pakraman Pesedahan, Manggis, Karangasem.

Pelaksanaan suatu upacara keagamaan tentu akan memiliki suatu fungsi atau manfaat yang diyakini oleh umat yang melaksanakannya. Hal ini pula berlaku pada pelaksanaan upacara Ngusabha Sambah yang memakai sarana Sang Hyang Sambah yang dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat desa Pakraman Pesedahan yang tentu saja memiliki fungsi atau manfaat yang diyakini oleh masyarakat desa Pakraman Pesedahan. adapun fungsi dari Sang Hyang Sambah dalam upacara Ngusabha Sambah adalah sebagai berikut:

3.2.1 Fungsi Religius

Wujud dari religi dari suatu masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan. Bentuk religi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa kelompok-kelompok unilinial ini masing-masing berasal dari para dewa atau leluhur yang masih terikat tali kekerabatan yang terdiri dari kegiatan-kegiatan keagamaan untuk memuja serta memperkuat tali persatuan dan kesatuan dalam kelompok unilinial masing-masing. Lambang-lambang yang dipuja ini dapat berupa satu jenis hewan, tumbuh-tumbuhan atau benda-benda yang melambangkan alam. Fungsi religius Sang Hyang Sambah ditunjukkan dalam keyakinan masyarakat terhadap Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai

Dewa Wisnu / Dewa Kesuburan, mendekatkan diri dengan Tuhan dan sebagai untuk menciptakan keharmonisan hidup di dunia ini.

3.2.2 Fungsi Keselamatan

Dengan sarana banten yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dianggap sebagai pembebas dari segala rintangan, penolong dalam kesulitan serta bertujuan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan (Putra, 1982: 56). Desa Pakraman Pesedahan yakin dengan upacara nyambutin di depan Sang Hyang Sambah dalam upacara Ngusabha Sambah akan mendapatkan keselamatan, kehidupan yang sejahtera dan harmonis serta jauh dari mara bahaya. Berdasarkan keyakinan tersebut maka masyarakat Desa Pakraman Pesedahan melalui upacara nyambutin di depan Sang Hyang Sambah pada rangkaian upacara Ngusabha Sambah mempersembahkan banten dengan hati yang tulus iklas.

5.2.3 Fungsi Kesuburan

Sang Hyang Sambah merupakan salah satu sarana yang dipakai pada rangkaian upacara ngusabha sambah sebagai sarana untuk memohon kesuburan. Kesuburan ini dapat tercipta disebabkan adanya kekuatan atau kemampuan Wisnu sebagai dewa yang dipercaya sebagai Dewa Kesuburan yang mempunyai kemampuan untuk menjaga makhluk. Dewa Wisnu atau Dewa Kesuburan mendapatkan pemujaan yang dominan, hal ini dapat dimengerti karena cara hidup manusia mempengaruhi alam pikiran dan mempengaruhi juga alam persembahannya.

Sang Hyang Sambah yang digunakan dalam Upacara Ngusabha Sambah terdiri dari beberapa unsur, yakni enam tiang yang terbuat dari pohon enau sebagai penyangga pelinggih Sang Hyang Sambah merupakan simbol penyangga makrokosmos/alam semesta agar seimbang. Sang Hyang Sambah berbentuk persegi empat yang terbuat dari bambu, identik dengan bentuk padmasana yang menyerupai singasana seperti kursi terletak pada puncak bangunan yang paling di atas bentuknya segi empat yang melambangkan

(7)

Catur Iswarya, bentuk persegi empat pada Sang Hyang Sambah merupakan simbol dari Catur Iswarya yang diartikan sebagai sifat Tuhan dalam wujud empat kemahakuasan-Nya. Pada Sang Hyang Sambah terdapat sarana yang berupa pohon pinang kecil (peji), sejenis pohon enau (uduh), pohon pisang dengan buah, bunga dan jantungnya (biu lalung) yang berfungsi sebagai hiasan.

3.3 Makna Penggunaan Sang Hyang Sambah pada Upacara Ngusabha Sambah di Desa Pesedahan Kecamatan Manggis Kabupat-en Karangasem

Upacara Ngusabha Sambah yang memakai sarana Sang Hyang Sambah menjadi tradisi umat Hindu di Desa Pakraman Pesedahan mengandung makna pendidikan. makna pendidikan ini

disebabkan karena aktifitas yadnya yang dilakukan mulai dari persiapan sampai berakhirnya seluruh rangkaian pelaksanaan yadnya tersebut senantiasa tidak terlepas dari tata aturan bagi umat Hindu di Bali pada umumnya. Adapun makna pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalam sarana Sang Hyang Sambah dalam Ngusabha Sambah antara lain adalah:

Desa Pakraman Pesedahan pada khususnya merupakan suatu bentuk pengamalan dari kitab Suci Veda, dimana di dalam setiap pelaksanaannya mengandung nilai dan makna tertentu yang mengacu pada suatu dharma atau kebenaran. Kaitannya dengan Sang Hyang dalam Ngusabha Sambah terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan, seperti : Makna Tattwa, makna Etika, Makna Estetika dan Makna Kebersamaan.

3.3.1 Tattwa

Tattwa merupakan aspek atau kebenaran. Ajaran agama Hindu mengajarkan tentang lima kepercayaan atau keyakinan yang disebut dengan panca sradha “Panca” artinya lima kepercayaan dan “sradha” artinya kepercayaan. Jadi, panca sradha artinya lima kepercayaan yang dimiliki oleh ajaran agama Hindu. Adapun bagian dari panca sradha yaitu: (1) percaya dengan adanya Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa, (2)

percaya dengan adanya Atman. Atman adalah percikan kecil dari Parama Atman yang menjiwai setiap makhluk hidup. Umat Hindu yakin jiwatman inilah yang menggerakkan setiap tindakannya. Oleh karena itu, ketika jiwatman melepaskan diri dari stula sarira manusia, atman ini dipuja sebagai bagian dari keyakinan umat Hindu yang berfungsi mengantarkan dirinya dengan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa, (3) percaya dengan adanya hukum karma phala yaitu setiap umat Hindu yakin bahwa perbuatan baik membawa hasil yang baik dan yang buruk akan membawa hasil yang buruk pula. Kesadaran dengan adanya hasil dari setiap perbuatan, menyadarkan umat Hindu untuk selalu berpikir, berkata dan berbuat yang baik sesuai dengan ajaran agama Hindu. (4) percaya dengan adanya punarbhawa atau samsara yaitu kelahiran yang berulang-ulang ke dunia dengan membawa akibat suka dan duka. Punarbhawa ini terjadi oleh karena jiwatman masih dipengaruhi oleh karma wesana dan kematian akan diikuti oleh kelahiran dan (5) percaya dengan adanya moksa. Moksa merupakan tujuan tertinggi dalam ajaran agama Hindu. Moksa juga berarti kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari karma phala dan bebas dari samsara.

Kelima keyakinan tersebut menuntut umat Hindu dalam bertingkah laku agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Karena kepercayaan ini menjadi dasar dalam menghubungkan diri kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dalam pelaksanaanya dapat melalui empat jalan yang disebut dengan catur marga yaitu: (1) bhakti marga adalah melalui jalan kebhaktian yang tekun untuk memuja Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa, (2) karma marga adalah melalui berkarya yang dilandasi dengan ketulusan hati tanpa terikat dengan hasil yang dikerjakan, (3) jnana marga adalah melalui jalan pengetahuan kerohanian dan (4) yoga marga adalah melalui jalan pengendalian diri dan melaksanakan astangga yoga.

Makna Tattwa / Ketuhanan yang berupa penggambaran Tuhan dalam agama Hindu dapat dilihat dari bentuk dan fungsi Sang Hyang Sambah. Bentuk keseluruhan Sang Hyang Sambah dari segi

fisik adalah berbentuk pelinggih yang menyerupai tempat duduk (singhasana) yang fungsinya untuk

(8)

mensthanakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada saat upacara Ngusabha Sambah. Sehingga bentuk dan fungsi Sang Hyang Sambah juga identik dengan fungsi padmasana. Tuhan / Ida Sang Hyang Widhi digambarkan hadir melalui media atau disthanakan pada Sang Hyang Sambah, sebagai saksi dalam upacara ngusabha sambah. Dalam rangkaian ngusabha sambah dihaturkan berbagai banten di masing-masing pelinggih termasuk pada pelinggih Sang Hyang Sambah dihaturkan beberapa banten seperti: banten penyeneng, banten lanlan jajan, banten lanlan ketupat berisi olahan bebek ataupun juga telor, banten sesayut itik putih direbus yang berfungsi sebagai persembahan kepada manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewa-dewi maupun Ida Bhatara-Bhatari.

5.3.2 Etika

Etika identik dengan tingkah laku erat kaitannya dengan Susila, yang merupakan aspek kedua dari Kerangka Dasar Agama Hindu yang patut mendapat perhatian serius demi kesucian dan kemurnian dari yadnya yang dilaksanakan. Secara etimologi (Ilmu asal usul kata) etika berasal dari bahasa yunani. Ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat, dalam kamus umum bahasa Indonesia etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azas-azas akhlak (moral), Moral berasal dari bahasa latin mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Etika secara umum adalah aturan atau pola tingkah laku yang baik atau menunjukkan kebaikan. Manusia merupakan makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, satu dan yang lainnya saling bergantungan. Kehidupan bersama ini diperlukan suatu peraturan-peraturan untuk mengatur kehidupan ini. Peraturan atau pedoman dalam bertingkah laku ini disebut dengan tata susila.

Kehidupan bersama orang harus mengatur dirinya dengan lingkungan, tunduk kepada norma-norma yang berlaku. Tindakan etika ini didasari atas pengetahuan yang mendalam tentang ajaran Tri Kaya Parisudha yang dijadikan dasar dalam berprilaku. Adapun bagian dari Tri Kaya Parisudha adalah: (1) Manacika Parisudha yaitu

berpikir yang baik, (2) Wacika Prisudha yaitu berkata yang baik, (3) Kayika Parisudha yaitu bertingkah laku yang baik. Proses pembuatan Sang Hyang Sambah dilaksanakan sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, agar dalam pelaksanaan upacara tidak menyalahi aturan atau norma yang berlaku dalam pelaksanaan yadnya dalam ajaran agama Hindu.

1. Manacika Parisudha yang tercermin dalam pelaksanaan pembuatan Sang Hyang Sambah yaitu mulai dari perencanaan sampai penyelenggaraan benar-benar dilandasi oleh niat dan pikiran yang suci dan tulus ikhlas, sehingga pada saat proses pembuatan menjadi aman dan tentram.

2. Wacika Parisudha yang tercermin dalam pelaksanaan pembuatan Sang Hyang Sambah yaitu mulai dari tahap penyampaian kepada krama dengan dilandasi kata-kata yang hormat dan sopan. Dalam pelaksanaannya tidak diperbolehkan berkata-kata kasar yang dapat menyinggung perasaan orang lain, sehingga diharapkan dalam pelaksanaan pembuatannya tidak ada krama yang berkata-kata kotor, agar tidak mengganggu proses proses dan apa yang menjadi harapan dari krama tercapai dengan baik.

3. Kayika Parisudha yang tercermin mulai dari persiapan pengumpulan bahan-bahan pembuatan Sang Hyang Sambah yang diperoleh dari usaha yang halal, suci, dan bersih. Selain itu dari segi tindakan dalm penyiapan perlengkapan juga dilandasi rasa tulus ikhlas.

Ketiga hal tersebut merupakan dasar dalam bertingkah laku karena dari pikiran yang suci dan baik akan muncul kata-kata yang baik serta prilaku yang baik. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan hal yang sangat penting karena dengan didasari pikiran yang suci, baik, dan tulus ikhlas maka upacara akan terlaksana dengan baik.

5.3.3 Nilai Estetika

Estetika berasal dari Yunani aesthesis yang berarti penyerapan, persepsi, pengalaman,

(9)

perasaan, dan pemandangan. Apabila ditinjau

dari sudut filsafat, estetika adalah cabang filsafat

yang berbicara tentang keindahan. Setiap manusia mempunyai rasa keindahan terhadap sesuatu yang dipandangnya. Nilai keindahan tidak dapat tidak dapat dipaksakan untuk dinikmati, atau dirasakan terlebih tentang seni yang bersifat religius yang dapat memberi dorongan untuk menatap lebih dalam dan lebih jauh. Pada rangkaian ngusabha sambah terdapat tari-tarian seperti tari keris, tari rejang lilit, tari rejang dewa, tari pendet, tari sramanan dan gamelan gong.

Estetika adalah kata lain dari seni, dalam konsep estetika Hindu Bali khususnya terdapat dalam konsep-konsep Tri Wisesa, yaitu: satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan). Oleh karena dalam estetka Hindu yang dipentingkan adalah sebuah estetika yang menempatkan kebenaran itu suci dan indah, Unsur seni dalam upacara Ngusabha Sambah ini terlihat pada seni tari-tariandan seni tetabuhan yang dipentaskan pada saat melaksanakan upacara Ngusabha Sambah.

Umat Hindu khususnya di Bali dalam melakukan kegiatan ritualnya pasti yang lebih ditonjolkan adalah bentuk-bentuk ritualnya (upakara) dibandingkan dengan tattwa dan etikanya. Sang Hyang Sambah dalam Ngusabha Sambah tidak dapat terlepas dari banten, di dalam banten ini banyak mengandung nilai seni yang bersifat religius. Segala seni yang dimiliki oleh masyarakat dituangkan dalam bentuk banten sehingga dalam banten terdapat berbagai ulatan atau anyaman untuk mewujudkan rasa bhakti dan syukur kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan terhadap Sang Hyang Sambah dalam upacara Ngusabha Sambah di desa Pakraman Pesedahan, Manggis, Karangasem maka dapat disimpulkan; Bentuk palinggih Sang Hyang Sambah terbuat dari tumbuh-tumbuhan dan proses pembuatannya berdasarkan “astakosalia” agar mendapatkan Sang Hyang Sambah yang bentuknya indah dan didahului dengan upacara matur piuning (mintaizin), setelah

Sang Hyang Sambah selesai dibuatakan di plaspas dengan memakai upakara selengkapnya dan pada rangkaian upacara ngusabha sambah. Sang Hyang Sambah dalam upacara Ngusabha Sambah memiliki beberapa fungsi yakni fungsi religius yakni Sang Hyang Sambah mendasari pada kepercayaan masyarakat akan manifestasi Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Dewa Wisnu (Dewa Kesuburan). Fungsi keselamatan yakni upacara yang dilakukan pada Sang Hyang Sambah diyakini untuk mendapatkan keselamatan, kehidupan yang sejahtera dan harmonis serta jauh dari mara bahaya. Fungsi kesuburan adalah bahwa proses upacara pada Sang Hyang Sambah dipercayai dapat membawa kesuburan terhadap lahan dan tanaman. Makna yang terkandung dalam penggunaan Sang Hyang Sambah pada upacara Ngusabha Sambah meliputi: Makna tattwa terlihat pada kenyakinan masyarakat Desa Pakraman Pesedahan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Dewa Wisnu (Dewa Kesuburan). Makna etika tercermin dalam sikap sarana dan prasarana yang digunakan tetap berpedoman pada tata susila Hindu yang meliputi berpikir, berkata dan berbuat yang baik dan benar yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha. Makna estetika tercermin pada unsur seninya seperti seni tari dan seni tetabuhan pada rangkaian upacara ngusabha sambah serta keindahan bentuk dari Sang Hyang Sambah yang menyerupai tempat duduk atau kursi. Makna kebersamaan tercermin pada kebersamaan krama pada saat pembuatan sarana Sang Hyang Sambah.

DAFTAR PUSTAKA

Ari Kunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi VI). Jakarta: PT Rineka Cipta

Lontar Gegaduhan Desa Tenganan Pesedahan. Koleksi I Nyoman Wage. Desa Pakraman Pesedahan, Kecamatan Manggis, kabupaten Karangasem

Pudja, G. 2005. Bhagawadgita (Pancamo Veda). Surabaya: Paramita.

(10)

Sudharta, Tjok Rai dan Atmaja, Ida Bagus Oka Punia. 2001. Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Suparta, Ngurah Oka. 2001. Upacara Ngusabha Desa. Pemerintah Provinsi Bali.

Wiana, I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: Pustaka Manikgeni.

Wiana, I Ketut. 1997. Cara Belajar Ajaran Agama Hindu yang Baik. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Wiana, I Ketut. 2006. Beragam Bukan Hanya di Pura. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Zoetmulder, P.J. 2005. Kamus Jawa Kuno

Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait

Mekanisme lindung nilai terdiri dari transaksi yang berlawanan antara posisi di pasar fisik dan posisi di pasar berjangka untuk melindungi pihak yang melakukan lindung nilai

NES adalah system pengeluaran urine dengan menggunakan kateter yang dimasukkan ke dalam ginjal sampai dengan bladder.. Indikasi pemasangan

Kesesuaian penggunaan antibiotik pada pasien faringitis anak di Instalasi rawat jalan RSU kabupaten Tangerang tahun 2014 adalah sebesar 63,2% yang meliputi

Adapun kesimpulan dari pelaksanaan program KKN tematik ini adalah: (1) dapat memberikan pemahaman tentang penggunaan teknologi informasi dalam memasarkan dan mempromosikan

Jumlah yang tidak terbatas dari kontur-kontur nada yang berbeda adalah manifestasi dari jumlah yang terbatas dari pola-pola intonasi dasar.. Setiap pola intonasi

AISYIYAH BUSTANUL ATHFAL XI GIRI SUNAN PRAPEN I / 15 Kec.. ISLAM PLUS AL - MUCHLISIN

Validasi Hasil Hitungan Bujur Teratakan Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa selisih atau perbedaan hitungan koordinat pada komponen bujur (longitude) antara