• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecukupan Nutrien dan Prevalensi Parasit Cacing pada Sapi Bali di Lahan Gambut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kecukupan Nutrien dan Prevalensi Parasit Cacing pada Sapi Bali di Lahan Gambut"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Kecukupan Nutrien dan Prevalensi Parasit Cacing pada Sapi Bali di Lahan

Gambut

(Nutrient Adequacy and Prevalence of Parasitic Worm in Bali Cattle at

Peatlands)

Adrial1*, Rudy Priyanto2, Salundik2, Iwan Prihantoro3 (Diterima Januari 2018/Disetujui Maret 2020)

ABSTRAK

Lahan gambut mempunyai karakteristik spesifik dengan kondisi selalu tergenang air, rapuh, dan kurang subur. Tingkat kesuburan lahan gambut bergantung pada kedalaman gambut dan jarak dari sungai. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kecukupan nutrien dan prevalensi infeksi parasit cacing saluran pencernaan pada sapi Bali yang dipelihara pada kategori lahan gambut yang berbeda. Penelitian dilakukan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive sampling dan dibagi dalam 3 kategori, yaitu rawa gambut, gambut dangkal pinggir sungai, dan gambut dangkal jauh dari sungai. Pengumpulan data menggunakan metode survei dan analisis laboratorium. Peubah yang diamati meliputi kualitas pakan, konsumsi nutrien, jumlah sapi terinfeksi, dan jumlah telur per gram feses (EPG). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing kategori lahan gambut mempunyai kecukupan nutrien yang berbeda (P<0,05). Konsumsi nutrien di rawa gambut relatif lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Secara umum, kecukupan nutrien sapi Bali yang dipelihara di lahan gambut masih di bawah standar kebutuhan. Kekurangan konsumsi mineral Ca dalam pakan merupakan permasalahan yang cukup menonjol disemua kategori lahan gambut. Prevalensi infeksi parasit cacing tertinggi ditemukan pada sapi yang dipelihara di rawa gambut. Sapi Bali yang dipelihara pada kategori lahan gambut yang berbeda menunjukkan respons yang berbeda dalam kecukupan nutrien dan prevalensi infeksi parasit cacing.

Kata kunci: kecukupan nutrien, lahan gambut, parasit cacing, prevalensi, sapi Bali

ABSTRACT

Peatlands have specific characteristics with waterlogged conditions, fragile, and less fertile. The level of peatlands fertility dependent on depth peat and the distance from rivers. This study was aimed to evaluate nutrient adequacy and prevalence of worm infestations in the gastrointestinal tract of Bali cattle that maintained in different peatland categories. The research was conducted in Pulang Pisau District, Central Kalimantan. The site was determined by purposive sampling and divided into 3 categories peat swamp, shallow peat near the river, and shallow peat away from the river. The data were collected by survey method and laboratory analysis. The variables observed included forage quality, nutrient intake, the number of infected cows, and the number of eggs per gram of feces (EPG). The results showed that each category of peatland have different feed quality and nutrient adequacy (P<0.05). The nutrient intake in the peat swamps was relatively higher than that of other sites. In general, the nutrient adequacy of cattle raised in the peatlands area was still below the standard requirement. In all peatland categories, the occurring of Ca deficiency in the diet was pronounced. The highest prevalence of parasitic worms infection was found in cows raised in peat swamps. Bali cattle that maintained in different peatland categories generally showed different responses in nutrient adequacy and prevalence of parasitic worms infection.

Keywords: Bali cattle, nutrient adequacy, parasitic worm, peatlands, prevalence

PENDAHULUAN

Kalimantan Tengah merupakan provinsi yang me-miliki lahan gambut terluas di pulau Kalimantan, yaitu

sekitar 2.659.234 ha atau 55,66% dari total luas lahan gambut Kalimantan (BBSDLP 2011). Lahan gambut merupakan lapisan tanah yang terbentuk dari bahan organik yang mempunyai karakteristik spesifik, yaitu selalu tergenang air, rapuh, dan relatif kurang subur (Ritung et al. 2012). Noor et al. (2014) menyatakan bahwa tingkat kesuburan lahan gambut sangat bergantung pada kedalaman gambut dan jarak dari sungai. Semakin dalam lapisan gambut dan semakin jauh dari sungai kesuburan tanah akan semakin rendah.

Peternakan sapi potong merupakan salah satu usaha yang cukup prospektif untuk dikembangkan di lahan gambut Kalimantan Tengah. Hal ini karena

1 Sekolah Pascasarjana, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 2 Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

3 Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

(2)

didukung oleh potensi sumber daya lahan gambut yang luas, ketersediaan hijauan pakan yang memadai, serta pentingnya limbah ternak sapi untuk perbaikan kualitas tanah gambut. Pengembangan sapi potong di lahan gambut juga didukung oleh ketersediaan sumber daya genetik ternak lokal Indonesia berupa sapi Bali yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan marginal dan pakan berkualitas rendah (Sutarno & Setyawan 2015).

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam peternakan sapi potong karena produktivitas ternak sebagian besar ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi. Munculnya berbagai kasus penyakit pada sapi potong yang dipelihara di lahan gambut seperti gangguan pertumbuhan, pedet lahir lemah, kesulitan melahirkan, kelumpuhan, patah tulang, dan gangguan reproduksi diduga sebagai akibat dari rendahnya kualitas pakan yang diberikan. Rendahnya kesuburan tanah gambut akan meme-ngaruhi kualitas hijauan yang tumbuh di atasnya, sehingga sapi-sapi yang kebutuhan nutriennya hanya bergantung pada hijauan yang tumbuh di lahan gambut berpotensi mengalami kekurangan gizi dan defisiensi mineral. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bationo et al. (2005) bahwa kandungan nutrisi rumput dipe-ngaruhi oleh kondisi tanah (unsur hara) yang terkandung dalam tanah.

Lahan rawa gambut identik dengan kondisi ling-kungan yang basah dan tergenang air sepanjang tahun. Kondisi ini merupakan lingkungan ideal untuk perkembangan parasit cacing yang bisa berdampak pada tingginya infeksi parasit cacing di wilayah ini. Aryandrie et al. (2015) menyatakan bahwa genangan air merupakan faktor penting dalam perkembangan parasit cacing karena daur hidupnya memerlukan genangan air.

Karakteristik lahan gambut yang spesifik dan berbeda akan berdampak pada perbedaan produk-tivitas sapi di wilayah tersebut. Selama ini budi daya ternak sapi yang dilakukan di lahan gambut belum mempertimbangkan perbedaan karakteristik ling-kungan setempat. Selain itu, hingga saat ini kajian tentang kecukupan nutrien dan prevalensi infeksi parasit cacing di lahan gambut cukup terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kecukupan nutrien dan prevalensi infeksi parasit cacing saluran pencernaan pada sapi Bali yang dipelihara pada kategori lahan gambut yang berbeda di Kalimantan Tengah.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama tiga bulan sejak bulan AgustusOktober 2017 di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pemilihan lokasi ditetapkan secara purposive sampling dengan mempertim-bangkan ketebalan gambut, jarak lokasi dengan sungai

besar, dan adanya usaha sapi potong di wilayah tersebut. Lokasi penelitian dibagi dalam 3 kategori, yaitu 1) Rawa gambut, 2) Gambut dangkal pinggir sungai, dan 3) Gambut dangkal jauh dari sungai. Bahan yang digunakan meliputi sapi Bali, sampel pakan, dan sampel feses. Peralatan yang digunakan meliputi ice box, kantong plastik, kertas label, batu es, timbangan, dan peralatan dokumentasi.

Penelitian ini menggunakan metode survei melalui wawancara dengan peternak dan observasi di lokasi penelitian. Wawancara dilakukan secara langsung pada 64 orang peternak responden menggunakan kuesioner terstruktur. Analisis kecukupan nutrien dalam pakan dilakukan pada 139 ekor induk sapi Bali yang dipelihara secara intensif dalam kandang. Pe-ngambilan data konsumsi pakan dilakukan sebanyak 3 kali dengan cara mengurangi jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa dalam tempat pakan. Untuk mengetahui kandungan nutrien pakan dilakukan pengambilan sampel pakan secara komposit dari masing-masing lokasi penelitian. Kan-dungan proksimat pakan dianalisis menurut petunjuk AOAC (1990) di laboratorium kimia analitik Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor.

Konsumsi nutrien pakan dihitung menurut Parakkasi (1999) bahwa konsumsi protein dan mineral dihitung dengan mengalikan jumlah konsumsi bahan kering dengan kandungan protein dan mineral pakan. Konsumsi energi (ME) dihitung dengan cara: konsumsi GE (Gross Energy) = jumlah konsumsi bahan kering x kandungan energi, konsumsi DE (Digestible Energy) = 65% x konsumsi GE, konsumsi ME = 85% x konsumsi DE. Kecukupan nutrien pakan diketahui dari jumlah konsumsi masing-masing komponen nutrien diban-dingkan dengan standar kebutuhan nutrien sapi induk menurut Kearl (1982). Peubah yang diamati meliputi kandungan nutrien dan konsumsi nutrien pakan.

Pengukuran prevalensi infeksi parasit cacing dilakukan melalui pengambilan 188 sampel feses sapi sebanyak 10 g secara langsung dari rectum. Sampel feses dianalisis menggunakan metode apung dan sedimentasi (Shahid et al. 2010) di laboratorium Penyidikan dan Pengujian Veteriner Provinsi Kalimantan Tengah. Peubah yang diamati meliputi; jumlah sapi terinfeksi, jumlah telur per gram feses (egg per gram (epg)), dan jenis parasit cacing.

Data konsumsi nutrien dalam pakan dianalisis menggunakan sidik ragam RAL, untuk melihat per-bedaan antar perlakuan digunakan uji selang berganda Duncan (Kaps & Lamberson 2004). Model matematis: Yij = μ+αi + Єij, (i = 1, 2, 3) dan (j = 1, 2,…n) dengan Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j, μ = rataan umum, αi = pengaruh perlakuan ke-i dan Єij = pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. Prevalensi infeksi parasit cacing dianalisis menurut Budiharta (2002) dengan rumus, Prevalensi = F/N x 100%, F = jumlah sampel positif terinfeksi dan N = jumlah seluruh sampel yang diperiksa.

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Pulang Pisau

Usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Pulang Pisau umumnya berupa usaha pembiakan dengan bangsa ternak dominan berupa sapi Bali. Sapi Bali diusahakan sebagai usaha sampingan untuk menambah penghasilan keluarga. Meskipun bersifat usaha sampingan, mayoritas peternak sudah memelihara ternak sapi secara intensif. Penyediaan pakan dilakukan secara cut and carry berupa hijauan dan belum diberikan pakan tambahan dan mineral. Jenis hijauan yang diberikan umumnya hanya berupa rumput dan belum ada peternak yang memberikan legum. Jenis hijauan lain seperti daun-daunan, jerami padi, jerami jagung, dan jerami kacang tanah hanya diberikan pada waktu-waktu tertentu.

Pemberian hijauan secara tunggal tanpa pakan tambahan dan mineral menyebabkan pemenuhan kebutuhan nutrien sapi di lahan gambut sepenuhnya bergantung pada kualitas rumput yang diberikan. Variasi jenis rumput yang digunakan sebagai pakan ternak cukup terbatas, karena peternak cenderung memilih jenis rumput tertentu sebagai bahan pakan. Pemilihan jenis rumput hanya dilakukan berdasarkan tingkat kesukaan sapi. Jenis dan tingkat penggunaan hijauan pakan bervariasi antar ketiga lokasi (Tabel 1). Pada lahan rawa gambut, jenis rumput yang paling dominan digunakan adalah rumput kumpai minyak (Hymenachine amplexicaulis) yang tumbuh di rawa-rawa dan pinggir sungai. Pada lahan gambut dangkal

pinggir sungai dan lahan gambut dangkal jauh dari sungai, jenis hijauan yang paling dominan digunakan adalah rumput Brachiaria humidicola yang diperoleh dari kebun rumput, lahan kosong, pinggir jalan, dan lapangan terbuka. Jenis rumput lain yang digunakan adalah rumput torpedo (Panicum repens), rumput pahit (Axonopus compressus), rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput banta (Leersia hexandra), rumput kerisan (Scleria sumatrensis), dan alang-alang (Imperata cylindrica) yang diberikan dalam jumlah sedikit.

Kualitas Hijauan Pakan di Lahan Gambut

Kualitas pakan berhubungan dengan komposisi bahan kering dan kandungan nutrien yang terkandung dalam bahan pakan. Kandungan nutrien pakan yang diberikan pada sapi Bali induk berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda ditampilkan pada Tabel 2. Masing-masing kategori lahan gambut mempunyai kandungan nutrien pakan yang berbeda. Kandungan bahan kering pakan di lahan gambut berkisar antara 21,91–28,37% lebih tinggi dari kandungan bahan kering rumput gajah hasil penelitian Umiyasih & Anggraeny (2007) yaitu sebesar 21%. Pakan yang berasal dari lahan gambut dangkal jauh dari sungai mempunyai kandungan bahan kering tertinggi, sedangkan kandungan bahan kering terendah terdapat pada rawa gambut. Rendahnya kandungan bahan kering pakan di rawa gambut terkait dengan jenis rumput dan lokasi tempat tumbuh rumput yang basah. Kandungan protein dan energi dalam pakan yang diberikan pada sapi di masing-masing kategori lahan

Tabel 1 Jenis dan tingkat penggunaan hijauan pakan pada Sapi Bali induk di kandang berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda

Jenis hijauan Penggunaan hijauan

RG (n=15) GDPS (n=23) GDJS (n=26)

….. % …..

Rumput Brachiaria humidicola 0,00 81,08 79,45

Rumput kumpai (Hymenachine amplexicaulis) 84,78 0,23 0,00

Rumput pahit (Axonopus compressus) 4,48 7,83 7,16

Rumput torpedo (Panicum repens) 5,52 6,66 5,54

Rumput banta (Leersia hexandra) 2,24 3,50 4,16

Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 2,09 0,00 1,85

Rumput kerisan (Scleria sumatrensis) 0,45 0,00 1,39

Alang-alang (Imperata cylindrica) 0,44 0,70 0,45

Keterangan: n = banyaknya responden (orang); RG = rawa gambut; GDPS = gambut dangkal pinggir sungai; dan GDJS = gambut dangkal jauh dari sungai.

Tabel 2 Kandungan nutrien pakan yang diberikan pada sapi Bali induk berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda

Zat nutrien Kandungan nutrien pakan

1)

Kandungan nutrien rumput gajah2)

RG GDPS GDJS

Bahan kering (%) 21,91 23,13 28,37 21,00

Protein (%) 11,20 9,94 10,13 8,30

Energi termetabolis (Mkal/kg) 2,15 2,21 2,26 1,80

Serat Kasar (%) 37,05 34,68 35,91 33,50

Ca (%) 0,17 0,10 0,06 0,59

P (%) 0,29 0,29 0,22 0,29

Sumber: 1)hasil analisis laboratorium kimia analitik Balai Penelitian Ternak (2017), 2)Umiyasih & Anggraeny (2007) Keterangan: RG = rawa gambut; GDPS = gambut dangkal pinggir sungai; dan GDJS = gambut dangkal jauh dari sungai.

(4)

gambut cukup tinggi dengan kandungan protein berkisar antara 9,94–11,2% dan energi termetabolis berkisar antara 2,15–2,26 Mkal/kg. Kandungan protein dan energi pakan di lahan gambut ini lebih tinggi dari kandungan protein dan energi rumput gajah hasil penelitian Umiyasih & Anggraeny (2007) berturut-turut sebesar 8,3% dan 1,80 Mkal/kg. Kandungan protein tertinggi terdapat pada rawa gambut, sedangkan pada dua lokasi lainnya relatif sama. Kandungan energi termetabolis tertinggi terdapat pada gambut dangkal jauh dari sungai dan terendah pada rawa gambut. Adanya perbedaan kandungan protein dan energi pakan dari masing-masing lokasi sangat terkait dengan jenis rumput yang dominan digunakan sebagai bahan pakan, karena masing-masing jenis rumput mem-punyai kandungan protein dan energi yang berbeda.

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan mineral Ca (kalsium) di ketiga kategori lahan gambut cukup rendah (0,06–0,17%), jauh lebih rendah dari kandungan mineral Ca rumput gajah hasil penelitian Umiyasih & Anggraeny (2007) adalah sebesar 0,59%. Masing-masing kategori lahan gambut mempunyai perbedaan kandungan Ca yang cukup tinggi. Kandungan Ca pada rawa gambut lebih tinggi dari dua lokasi lainnya, sedangkan kandungan Ca terendah terdapat pada gambut dangkal jauh dari sungai. Rendahnya kandungan Ca di lahan gambut sangat terkait dengan keberadaan tanah gambut yang bersifat asam dan miskin mineral. Hal ini sesuai dengan pernyataan Besung (2013) bahwa kandungan Ca dalam pakan dipengaruhi oleh kadar Ca dalam tanah dan pH tanah. Kondisi tanah yang asam menyebabkan kandungan Ca dalam tanah dan tanaman sangat rendah akibat unsur mineral masuk ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam. Hasil penelitian Setiadi et al. (2016) bahwa pH tanah di tiga lokasi penelitian sekitar 3,41–4,0 yang tergolong sangat masam serta memiliki tingkat ketersediaan K, Ca, dan Mg sangat rendah. Selain itu, unsur ini juga diikat cukup kuat oleh bahan organik, sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Nurhayati et al. 2014).

Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa kandungan mineral Ca dalam pakan cenderung menurun seiring jarak dari sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan Ca dalam pakan juga dipengaruhi oleh

luapan air sungai. Kandungan Ca di rawa gambut lebih tinggi karena tanah di lokasi ini memperoleh suplai mineral dari air sungai. Hal ini karena rawa gambut berada langsung di belakang tanggul sungai dan memperoleh luapan air sungai dengan frekuensi yang tinggi. Hal yang hampir sama terjadi pada gambut dangkal pinggir sungai yang relatif masih mendapatkan luapan air sungai, meskipun frekuensi luapannya terbatas. Kondisi yang berbeda terjadi pada lahan gambut dangkal jauh dari sungai yang relatif tidak mendapatkan luapan air sungai. Efriandi (2013) menyatakan bahwa frekuensi luapan air sungai sangat memengaruhi komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan kandungan mineral tanah makin tinggi, sehingga tanah menjadi relatif lebih subur.

Kecukupan Nutrien dalam Pakan Sapi di Lahan Gambut

Jumlah konsumsi nutrien pakan pada sapi Bali induk di kandang berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda ditampilkan pada Tabel 3. Jumlah konsumsi bahan kering tertinggi terdapat pada rawa gambut dan terendah pada gambut dangkal pinggir sungai (P<0,05). Adanya perbedaan jumlah konsumsi bahan kering di tiga lokasi penelitian disebabkan oleh konsumsi bahan segar dan kandungan bahan kering pakan yang berbeda antar lokasi. Jika dibandingkan dengan standar kebutuhan bahan kering berdasarkan Kearl (1982) terlihat bahwa jumlah konsumsi bahan kering di tiga lokasi ini masih belum mencukupi. Konsumsi bahan kering pada rawa gambut, gambut dangkal pinggir sungai, dan gambut dangkal jauh dari sungai berturut-turut sebesar 2,49%; 2,12%; dan 2,41% dari bobot hidup yang lebih rendah dari standar Kearl (1982) sebesar 2,8% untuk pertumbuhan dan sebesar 2,6% untuk induk bunting 3 bulan. Konsumsi bahan kering sapi induk di wilayah ini jauh lebih rendah dari hasil penelitian Sudita (2016) dengan konsumsi bahan kering sapi induk pada kelompok ternak Simantri di Bali sebesar 2,7% dari bobot hidup.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah konsumsi protein dari masing-masing kategori lahan gambut (P<0,05). Adanya variasi jumlah konsumsi protein dan energi dari tiga

Tabel 3 Konsumsi nutrien pakan sapi Bali induk di kandang berdasarkaan kategori lahan gambut yang berbeda

Zat nutrien

Konsumsi nutrien1) Standar kebutuhan nutrien2) RG (n=34) GDPS (n=53) GDJS (n=52) Pertumbuhan (200kg) Bunting 3 bulan (250kg) BS (kg/ekor/hari) 22,68±4,1 a 18,32±2,17 b 16,94±2,89 c - - BK (kg) 4,97±0,89 a 4,24±0,50 b 4,81±0,82 a 5,60 6,50 Protein (g) 556,5±99,4 a 421,2±49,9 c 486,9±82,9 b 577,00 579,00 ME (Mkal) 10,71±1,91 a 9,37±1,11 b 10,86±1,85 a 10,20 12,50 Ca (g) 8,44±1,51 a 4,24±0,50 b 2,89±0,49 c 14,00 18,00 P (g) 14,41±2,57 a 12,29±1,46 b 10,57±1,80 c 13,00 18,00

Sumber: 1)Hasil perhitungan dan 2)Kearl (1982)

Keterangan: a,b,c Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perberbedaan yang nyata (P<0,05) (uji selang berganda Duncan); n = banyaknya sampel (ekor); BS = bahan segar; BK = bahan kering; RG = rawa gambut; GDPS = gambut dangkal pinggir sungai; dan GDJS = gambut dangkal jauh dari sungai.

(5)

lokasi disebabkan oleh perbedaan konsumsi bahan kering dan kandungan protein dan energi pakan. Konsumsi protein tertinggi terdapat di rawa gambut (556,5 g) sudah mendekati standar kebutuhan menurut Kearl (1982) yang berkisar antara 577–579 g, sedang-kan konsumsi protein pada lokasi gambut dangkal pinggir sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai baru terpenuhi sebesar 75% dari kebutuhan. Jumlah konsumsi protein sapi induk di wilayah ini lebih rendah dari hasil penelitian Sudita (2016) dengan konsumsi protein pada induk sapi Bali di Bali sebesar 671,6 g/hari.

Jumlah konsumsi energi termetabolis (ME) pada sapi induk dari tiga lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Konsumsi energi terendah terdapat pada gambut dangkal pinggir sungai sebesar 9,37 Mkal dan pada rawa gambut serta gambut dangkal jauh dari sungai berturut-turut adalah 10,71 Mkal dan 10,86 Mkal. Jika dibandingkan dengan standar kebutuhan energi untuk sapi induk berdasarkan Kearl (1982) terlihat bahwa untuk fase pertumbuhan konsumsi energi di rawa gambut dan gambut dangkal jauh dari sungai sudah tercukupi, namun untuk gambut dangkal dekat sungai masih mengalami sedikit kekurangan. Secara keseluruhan konsumsi energi untuk induk bunting 3 bulan di tiga lokasi penelitian masih belum mencukupi. Konsumsi ME pada sapi induk di wilayah ini lebih rendah dari hasil penelitian Sudita (2016) yang menemukan konsumsi energi induk sapi Bali pada kelompok ternak Simantri di Bali sebesar 12,65 Mkal/hari.

Sapi Bali induk yang dipelihara di lahan gambut umumnya memperoleh konsumsi mineral Ca yang sangat rendah. Konsumsi Ca terendah terdapat pada sapi induk yang dipelihara di gambut dangkal jauh dari sungai dan berbeda secara statistik dengan lokasi lainnya (P<0,05). Konsumsi Ca di rawa gambut, gambut dangkal pinggir sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai berturut-turut adalah 8,44%; 4,24%; dan 2,89%. Standar kebutuhan Ca untuk sapi induk (Kearl 1982) berkisar antara 1418%, sehingga jumlah konsumsi Ca sapi di tiga lokasi ini belum mencukupi kebutuhan baik untuk pertumbuhan, maupun pada saat bunting 3 bulan. Pada rawa gambut kekurangan konsumsi Ca, sedangkan di dua lokasi lainnya jumlah konsumsi Ca hanya memenuhi sebesar 20% dari total kebutuhan. Kondisi ini menggambarkan bahwa pada lahan gambut dangkal dekat sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai sapi induk umumnya mengalami defisiensi Ca yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan Darmono (2007) bahwa kondisi tanah

yang rendah kandungan Ca akan berdampak pada kandungan Ca pada tanaman pakan yang tumbuh, apabila hijauan tersebut dikonsumsi oleh sapi, maka akan mengalami kekurangan konsumsi Ca (defisiensi mineral Ca).

Jumlah konsumsi mineral fosfor (P) pada rawa gambut, gambut dangkal pinggir sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai berturut-turut adalah 14,41%; 12,29%; dan 10,57%. Konsumsi mineral P terendah terdapat pada gambut dangkal jauh dari sungai dan berbeda secara statistik dengan lokasi lainnya (P<0,05). Mengacu pada standar kebutuhan mineral P yang dikemukakan oleh Kearl (1982) bahwa kebutuhan mineral P untuk fase pertumbuhan di rawa gambut sudah terpenuhi, namun untuk gambut dangkal pinggir sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai masih mengalami kekurangan sekitar 1520%. Konsumsi mineral P untuk induk bunting 3 bulan di tiga lokasi penelitian relatif belum mencukupi dengan jumlah kekurangan sekitar 20–35% dari kebutuhan.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa selain memiliki konsumsi mineral Ca yang sangat rendah, imbangan konsumsi Ca dan P di tiga lokasi penelitian juga belum memenuhi standar yang di rekomen-dasikan. Imbangan konsumsi mineral Ca dan P di rawa gambut, gambut dangkal dekat sungai, dan gambut dangkal jauh dari sungai berturut-turut adalah 1:1,71; 1: 2,90; dan 1:3,66. Nilai ini berbeda dengan imbangan konsumsi mineral Ca dan P yang direkomendasikan oleh Orskov (2001) yaitu sebesar 2:1. Ketidakseim-bangan konsumsi mineral Ca dan P dalam pakan di lahan gambut ini akan berpengaruh pada pemben-tukan tulang dan proses metabolisme tubuh. Menurut Kebreab & Vitti (2010) bahwa mineral Ca dan P harus terpenuhi sesuai standar kebutuhan dan dalam kondisi seimbang, karena absorbsi dan resorpsi mineral P sangat berkaitan dengan mineral Ca.

Rendahnya konsumsi mineral Ca dan tidak seimbangnya konsumsi mineral Ca dan P pada sapi di lahan gambut diduga sangat terkait dengan banyaknya kasus patah tulang (fraktur) yang ditemukan. Kejadian patah tulang ini banyak terjadi pada sapi yang dipelihara di lahan gambut dangkal pinggir sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai (Tabel 4). Kejadian patah tulang dalam 2 tahun terakhir terbanyak ditemukan di lahan gambut dangkal jauh dari sungai sebanyak 14 kasus (11,2%) dan pada gambut dangkal pinggir sungai sebanyak 9 kasus (6,92%). Berdasar-kan informasi responden bahwa sebesar 41,94% peternak di lahan gambut dangkal jauh dari sungai pernah menemukan kejadian patah tulang pada sapi

Tabel 4 Kejadian patah tulang pada sapi Bali berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda*

Uraian Lokasi

RG (n=73) GDPS (n=130) GDJS (n=125) Jumlah kasus patah tulang dalam 2 tahun

terakhir (ekor) 0 9,00 14,00

Persentase kejadian (%) 0 6,92 11,20

Keterangan: *Pada tahun 20162017; n = banyaknya sampel (ekor); RG = rawa gambut; GDPS = gambut dangkal pinggir sungai; dan GDJS = gambut dangkal jauh dari sungai.

(6)

mereka dan di lahan gambut dangkal pinggir sungai sebanyak 33,33%.

Rendahnya konsumsi mineral Ca pada sapi yang dipelihara di lahan gambut dangkal pinggir sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai sejalan dengan tingginya kasus patah tulang di dua lokasi tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa kejadian patah tulang ini sangat terkait dengan rendahnya konsumsi mineral Ca di dua lokasi tersebut. Piliang (2004) menyatakan bahwa kekurangan konsumsi mineral Ca dapat menyebabkan terjadinya resorbsi tulang yang bisa menyebabkan kerapuhan tulang apabila tingkat defesiensi sangat besar. Selanjutnya Bindari et al. (2013) menyatakan bahwa ketersediaan Ca dalam tubuh sangat penting sehubungan dengan peranannya dalam pembentukan tulang dan gigi serta proses fisiologis dan biokimiawi di dalam tubuh. Rendahnya konsumsi mineral P pada lahan gambut dangkal pinggir sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai diduga juga ikut berperan dalam kejadian patah tulang di wilayah ini karena P merupakan mineral yang banyak terdapat pada tubuh ternak ruminansia dan sebesar 80% di antaranya terdapat pada tulang (Kebreab et al. 2013).

Prevalensi Infeksi Parasit Cacing Saluran Pencernaan

Prevalensi infeksi berkaitan dengan frekuensi kejadian infeksi parasit cacing dalam populasi di suatu wilayah. Tingginya prevalensi infeksi akan berdampak pada penurunan produktivitas ternak sapi di suatu wilayah. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa masing-masing kategori lahan gambut mem-punyai prevalensi infeksi parasit cacing yang berbeda (Tabel 5).

Prevalensi infeksi parasit cacing tertinggi terdapat pada rawa gambut dengan prevalensi sebesar 35%, sedangkan pada gambut dangkal jauh dari sungai dan gambut dangkal pinggir sungai berturut-turut sebesar 11,94% dan 11,48%. Secara keseluruhan prevalensi infeksi parasit saluran pencernaan di tiga lokasi penelitian sebesar 19,15%. Prevalensi infeksi parasit saluran pencernaan pada sapi Bali di wilayah ini lebih rendah dari hasil penelitian Handayani et al. (2015)

yang menemukan prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi Bali yang dipelihara secara semi intensif di Kecamatan Sukoharjo sebesar 83,97%. Rendahnya prevalensi ini sangat terkait dengan sistem pemeliharaan intensif yang dilakukan petani.

Tingginya prevalensi infeksi parasit cacing pada lahan rawa gambut sangat terkait dengan kondisi rawa gambut yang selalu basah dan tergenang air sepanjang tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Aryandrie et al. (2015) bahwa genangan air merupakan faktor penting dalam siklus hidup parasit cacing, adanya genangan air menyebabkan siklus hidup parasit cacing sulit diputus.

Infeksi parasit cacing tertinggi disebabkan oleh kelompok Trematoda spesies Paramphistomum sp. Spesies ini umumnya menyerang rumen dan retikulum ternak ruminansia yang bisa menyebabkan ternak menjadi lemah, mudah capek, badan kurus dan mencret (Widnyana 2013). Berdasarkan jumlah cemaran telur cacing dalam feses yang berkisar antara 10200 butir telur/g feses, maka tingkat infeksi parasit cacing di wilayah ini masih termasuk kategori ringan (Nofyan et al. 2010).

KESIMPULAN

Sapi Bali yang dipelihara pada kategori lahan gambut yang berbeda menunjukkan respons yang berbeda dalam kecukupan nutrien pakan dan prevalensi infeksi parasit cacing. Konsumsi protein dan energi pada sapi yang dipelihara di lahan rawa gambut relatif sudah tercukupi, sedangkan pada gambut dangkal pinggir sungai dan gambut dangkal jauh dari sungai belum tercukupi. Pada semua kategori lahan gambut terjadi kekurangan konsumsi mineral Ca dan pada lahan gambut dangkal jauh dari sungai kekurangan konsumsi mineral Ca sangat besar (± 80% dari kebutuhan). Konsumsi mineral P relatif tercukupi di semua lokasi, namun imbangan Ca dan P dalam pakan belum terpenuhi. Sapi yang dipelihara pada rawa gambut cenderung mengalami prevalensi infeksi parasit cacing yang lebih tinggi.

Tabel 5 Prevalensi infeksi parasit cacing pada saluran pencernaan sapi Bali berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda

Kelompok parasit

Kejadian infeksi

RG (n=60) GDPS (n=61) GDJS (n=67)

Pos Preva (%) Pos Preva (%) Pos Preva (%)

Nematoda 6 10,00 2 3,28 4 5,97 Thrematoda 9 15,00 2 3,28 2 2,99 Cestoda 1 1,67 1 1,64 2 2,99 Nematoda+Thrematoda 3 5,00 0 - 0 - Thrematoda+Cestoda 1 1,67 0 - 0 - Thrematoda+Thrematoda 1 1,67 2 3,28 0 - Jumlah 21 35,00 7 11,48 8 11,94

Keterangan: n = banyaknya contoh feses; Pos = positif; Preva = prevalensi; RG = rawa gambut; GDPS = gambut dangkal pinggir sungai; dan GDJS = gambut dangkal jauh dari sungai.

(7)

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1990. Official Methods of Analysis 16th ed.

Washington DC (US): AOAC Publisher.

[BBSDLP] Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 11 hlm.

Aryandrie DF, Santosa PE, Suharyati S. 2015. Tingkat infestasi cacing hati pada Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 3(3): 134139.

Bationo A, Kihara J, Vanlauwe B, Waswa B, Kimetu J. 2005. Soil organic carbon dynamics, functions and management in West African. Agric Systems. 94(1): 1325. https://doi.org/10.1016/j.agsy.2005. 08.011 Besung INK. 2013. Analisis faktor tipe lahan dengan

kadar mineral serum Sapi Bali. Buletin Veteriner Udayana. 5(2): 96107.

Bindari YR, Shrestha S, Shrestha N, Gaire. 2013. Effects of nutrition on reproduction. Buletin Veteriner Udayana. 4(1): 421429.

Budiharta S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

Darmono. 2007. Penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia dan upaya pencegahannya.

Jurnal Litbang Pertanian. 26(3): 104108.

Efriandi. 2013. Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman pertanian. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”; 2013

September 20–21; Palembang, Indonesia. Jakarta (ID) Badan Litbang Pertanian. hlm. 506516. Handayani P, Santosa PE, Siswanto. 2015. Tingkat

infestasi cacing saluran pencernaan pada Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 3(3): 127133.

Kaps M, Lamberson WR. 2004. Biostatistics for Animal Science. Oxfordshire (GB): CABI Publishing. https://doi.org/10.1079/9780851998206.0000 Kearl LC. 1982. Nutrien requirements of ruminants in

developing countries [All Graduate Theses and Dissertations]. Utah (US).Utah State University Logan. Paper 4183.

Kebreab E, Vitti DMS. 2010. Phosphorus and Utilization and Requirements in Farm Animals. London (GB): CAB International.

Kebreab E, Hansen AV, Leytem AB. 2013. Feed management practice to reduce phosphorus excretion in dairy cattle. Advances in Animal Biosciences. 4(1): 3741. https://doi.org/10.1017/ S2040470013000290

Nofyan E, Kamal M, Rosdiana I. 2010. Identitas jenis telur cacing parasit usus pada ternak sapi (Bos sp) dan kerbau (Bubalus sp) di rumah potong hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains. Jurnal Penelitian Sains. 10(D): 611.

Noor M, Masganti, F Agus. 2014. Pembentukan dan karakteristik gambut tropika Indonesia. Di dalam: Fahmuddin Agus, Markus Anda, Ali Jamil, Masganti, editor. Lahan Gambut Indonesia Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan (Edisi Revisi). Jakarta (ID): IAARD Press. hlm 732.

Nurhayati, S Saputra, AD Putra, IN Istiana, A Jamil. 2014. Pengelolaan kesuburan tanah, produktivitas dan keuntungan sistem tumpangsari (kelapa sawit+nenas) di lahan gambut Provinsi Riau. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi untuk Mitigasi Emisi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi. 2014 Agustus 1819; Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian. Hlm 133145.

Orskov ER. 2001. The Feeding of Ruminants. Aberdeen (GB): Rowett Research Institute.

Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.

Piliang WG. 2004. Nutrisi Mineral Edisi 7. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ritung S, Wahyunto, K Nugroho. 2012. Karakteristik dan sebaran lahan gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan; 2012 Mei 04; Bogor, Indonesia. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian. Hlm 4762. Setiadi IC, Yulianti N, Adji FF. 2016. Evaluasi sifat

kimia dan fisik gambut dari beberapa lokasi di blok C eks-PLG Kalimantan Tengah. Jurnal Agri Peat. 17(2): 6778.

Shahid SB, Wazib A, Chowdhury A. 2010. Identification of Hookworm Species in Stool by Harada Mori Culture. Bangladesh Journal Medical Microbiology. 4(2): 0314. https://doi.org/10.3329/bjmm.v4i2. 10821

Sudita IDN. 2016. Pemenuhan nutrien untuk induk sapi bali pada kelompok ternak program “SIMANTRI” di Bali. Prosiding Seminar Nasional Peternakan; 2016 Agustus 25; Makasar (ID): Universitas Hasanuddin. hlm 5766.

(8)

Sutarno, Setyawan AD. 2015. Review: Genetic diversity of local and exotic cattle and their crossbreeding impact on the quality of Indonesian cattle. Biodiversitas. 16(2): 327354.

Umiyasih U, Anggraeny YN. 2007. Ransum seimbang, strategi pakan pada sapi potong. Bogor (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Widnyana IGNP. 2013. Prevalensi infeksi parasit cacing pada saluran pencernaan Sapi Bali dan sapi rambon di Desa Wosu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali. Jurnal AgroPet. 10(2): 3946.

Gambar

Tabel 2 Kandungan nutrien pakan yang diberikan pada sapi Bali induk berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda
Tabel 3 Konsumsi nutrien pakan sapi Bali induk di kandang berdasarkaan kategori lahan gambut yang berbeda
Tabel 4 Kejadian patah tulang pada sapi Bali berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda *
Tabel 5 Prevalensi infeksi parasit cacing pada saluran pencernaan sapi Bali berdasarkan kategori lahan gambut yang berbeda

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian ini adalah dekriptif kuantitatif non eksperimental bersifat correlational dengan menggunakan pendekatan cross sectional yang menghubungkan dua variabel

Dalam olahraga prestasi proses tersebut bisa berhasil jika dilatihkan oleh seorang pelatih yang profesional, memiliki kemauan, komitmen yang tinggi, berpengalaman

analisa model dengan beban dinamis yang diukur per 10% dari nilai beban statis (2174 N/m^2) pada kedua konstruksi Deck Longitudinal Model dan Corrugated Deck Model, hasil ini

- OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN DAN

Keefektifan cendawan entomopatogen serangga untuk mengendalikan hama sasaran sangat tergantung pada keragaman jenis isolat, kerapatan spora, kualitas media tumbuh, jenis hama

lii tamlik. Artinya bahwa kewajiban ayah memberi nafkah kepada anak adalah bersifat memberi manfaat dan untuk diambil manfaatnya oleh anak tersebut, bukan kemudian

Selanjutnya, analisa dilakukan terhadap paket data dengan protokol TCP dan UDP pada Link Aggregation dengan metode Load Sharing Weighted Round Robin.. Pada

Akan tetapi tidak semua areal dekat sungai akan dijadikan areal persawahan dan perkampungan, faktor kelokan sungai juga akan menjadi pertimbangan, karena kelokan sungai