• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING

SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI

KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MIRA RAMALIA RIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Tingkat Infeksi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

ABSTRAK

MIRA RAMALIA RIANTI. Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan pada peternakan sapi perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Sampel tinja diambil dari 120 ekor sapi yang berasal dari 3 komda (komisaris daerah) dan diperiksa dengan metode modifikasi Mc Master dan metode modifikasi filtrasi sedimentasi untuk mendeteksi keberadaan telur cacing dan menentukan jumlah telur per gram tinja (TTGT). Faktor resiko yang berkaitan dengan manajemen peternakan diperoleh dengan kuesioner melalui wawancara langsung pada peternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 120 sampel tinja yang diperiksa, sebanyak 34 sampel tinja (28.3%) positif terinfeksi cacing. Sebanyak 30 sampel (25%) positif Strongyle, dan 4 sampel (3.3%) positif Trichuris spp. Jumlah telur per gram tinja Strongyle sebanyak 106.63±105.65 dan Trichuris spp. sebanyak 105±95.74 yang termasuk infeksi ringan. Tingkat prevalensi Strongyle tertinggi pada sapi kelompok umur <6 bulan (50%), sedangkan tingkat prevalensi Trichuris spp. tertinggi pada sapi kelompok umur 6-12 bulan (12.5%). Berdasarkan lokasi, prevalensi Strongyle tertinggi (27.5%) ditemukan di Komda Mekar mulya, sedangkan tingkat prevalensi Trichuris spp. tertinggi (7.5%) ditemukan di komda Padahurip.

Kata Kunci: Prevalensi, Derajat Infeksi, Strongyle, Trichuris spp.

ABSTRACT

MIRA RAMALIA RIANTI. The Prevalence Rate and Intensity of Gastrointestinal Helminth Infection on Dairy Cattle in Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Supervised by YUSUF RIDWAN.

The objective of this study was to determine the prevalence and intensity of gastrointestinal helminth infections on the dairy cattle in Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Fecal samples were collected from 120 cows in 3 Komda and examined with Mc Master and sedimentation filtration modification method to detect the presence of worm eggs and determine the numbers of egg per gram of feces (EPG). Risk factors associated with farm management were obtained by questionnaires through direct interviews with farmers. The results showed that of the 120 examined fecal samples, as many as 34 of fecal samples were positive (28.3%) infected with nematode. There were 30 samples (25%) positive to Strongyle, and 4 samples (3.3%) positive to Trichuris spp. The EPG Strongyle was 106.63±105.65 and EPG Trichuris spp. was 105±95.74 which was catagorized as ligth infection. The highest prevalence of Strongyle infection was seen in the age group <6 months (50%), whereas the highest prevalence Trichuris spp. was seen in the age group 6-12 months (12.5%). Based on location, the highest Strongyle prevalence was found in Komda Mekar Mulya (27.5%), and the highest Trichuris spp. prevalence was found in Komda Padahurip (7.5%).

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING

SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI

KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MIRA RAMALIA RIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku pembimbing, Prof. Drh Deni Noviana, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik, serta Dr Drh Heru Setijanto, PAVet (K) yang telah banyak memberi saran untuk penelitian ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sulaeman yang telah membantu selama berada di Laboratorium. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada KPBS Pangalengan, terutama Drh Asep Rahmat Khaerudin yang telah memberikan izin untuk mengambil sampel di wilayah kerja KPBS Pangalengan, Drh Triabadi, Bapak Tida, dan semua pihak yang telah membantu selama pengambilan sampel. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Marsitha sahabat dari TPB, serta Vian, Adis, teman-teman kelas C dan ACROMION atas semangat dan kerjasamanya selama di FKH. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Mamah, Bapak, Rizal, Rizki, Sarah, Chaca serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Sapi Perah 2

Manajemen Peternakan Sapi Perah di Indonesia 2

Kecacingan Pada Sapi 3

METODE 4

Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian

4 5

Rancangan Studi 5

Ukuran Sampel 5

Pengambilan Sampel Tinja 5

Pemeriksaan Sampel Tinja 6

Prosedur Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Manajemen Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan 7 Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Nematodosis Pada Sapi 8

Tingkat Prevalensi Berdasarkan Umur Sapi 9

Tingkat Prevalensi Berdasarkan Komda 10

SIMPULAN DAN SARAN 10

Simpulan 10

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 11

(8)

DAFTAR TABEL

1. Tingkat prevalensi dan jumlah telur tiap gram tinja 8 2. Tingkat prevalensi dan derajat infeksi Strongyle dan Trichuris spp.

pada sapi perah berdasarkan umur sapi

3. Prevalensi infeksi Strongyle dan Trichuris spp. pada sapi perah berdasarkan lokasi peternakan

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Sapi merupakan hewan ternak yang dijadikan sumber pangan bagi manusia, yaitu sebagai sumber daging dan susu. Susu banyak dikonsumsi masyarakat karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan seimbang. Seiring perkembangan jaman, kesadaran masyarakat akan konsumsi susu semakin tinggi. Menurut Respati et al. (2013), nilai rata-rata konsumsi susu dalam rumah tangga di Indonesia pada 2002-2013 sebesar 17 144 kg/kapita/tahun, dengan nilai rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar 5.85%.

Jenis sapi perah yang di pelihara oleh peternak di Indonesia sebagai sumber susu adalah jenis sapi Friesian Holstein (FH). Sapi FH memiliki produksi susu tertinggi dibanding sapi perah lainnya. Sapi perah FH di Indonesia menghasilkan susu rata-rata 10 liter/ekor/hari (Sudono et al. 2003). Menurut Badan Pusat Statistik (2013), jumlah populasi sapi perah di Indonesia pada tahun 2013 adalah 636 064 ekor. Jumlah tersebut meningkat bila dibandingkan jumlah populasi pada tahun 2012 yang berjumlah 611 939 ekor atau mengalami peningkatan sebesar 3.94%. Daerah Jawa Barat sendiri memiliki populasi sapi perah sebanyak 143 382 ekor dan mengalami peningkatan sebesar 5.39% dari jumlah populasi pada tahun 2012. Peningkatan jumlah populasi sapi perah di Indonesia khususnya di Jawa Barat dipicu oleh meningkatnya permintaan pasar akan susu. Walaupun terjadi peningkatan populasi sapi perah, namun peningkatan tersebut tidak disertai dengan kenaikan produksi susu, sehingga kebutuhan susu sapi nasional belum bisa terpenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan susu nasional menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan impor susu. Jumlah impor susu pada periode Januari sampai Juni 2013 mencapai 106 734 639 kg (Pusdatin 2013).

Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya genetik, pakan, manajemen kandang, penyakit serta faktor lingkungan. Penyakit yang menimbulkan penurunan produksi susu satu diantaranya adalah kecacingan. Selain mengakibatkan penurunan produksi susu, kecacingan juga dapat menurunkan laju pertumbuhan, sebab sebagian zat makanan di dalam tubuhnya juga dikonsumsi oleh cacing. Kehadiran cacing dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus yang dapat menurunkan efisiensi penyerapan makanan. Keadaan ini dapat menyebabkan ternak menjadi lebih rentan terinfeksi berbagai penyakit (Purwanta et al. 2009).

Informasi kejadian kecacingan pada sapi di Indonesia termasuk di Pangalengan masih sedikit. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data dasar mengenai jenis cacing dan tingkat prevalensi infeksi cacing pada sapi perah. Data dasar tersebut dapat digunakan sebagai informasi untuk menyusun program pengendalian kecacingan.

Tujuan Penelitian

(10)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis dan tingkat kejadian kecacingan pada sapi perah, yang dapat digunakan sebagai dasar dalam usaha penyusunan program pengendalian kecacingan pada sapi perah di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi perah Friesian Holstein (FH)

Sapi perah yang diternakkan di Indonesia adalah sapi perah Friesian Holstein (FH). Sapi FH berasal dari Provinsi Friesland Barat, Belanda Utara. Sapi FH merupakan sapi yang memiliki produksi susu tertinggi diantara bangsa sapi lainnya, dengan kadar lemak susu yang rendah. Di Amerika Serikat produksi susu sapi FH rata-rata 7 245 kg per laktasi dengan kadar lemak 3.95%. Sedangkan di Indonesia, produksi susu sapi FH rata-rata 10 liter/ekor/hari atau lebih kurang 3 050 kg per laktasi. Bobot badan ideal sapi FH jantan dewasa sekitar 1 000 kg, dan sapi FH betina dewasa sekitar 682 kg (Sudono et al. 2003).

Sapi FH memiliki ciri khusus yaitu memiliki kulit berwarna hitam putih, selain itu sapi FH juga memiliki tanduk kecil, pendek dan menjurus ke depan. Sapi FH memiliki tempramen yang tenang, jinak, sehingga mudah dikendalikan peternak. Ciri lainnya adalah Sapi FH mudah beradaptasi di tempat baru (Aak 1995).

Manajemen Peternakan Sapi Perah di Indonesia

Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga yang dijalankan secara turun temurun, dengan cara pemeliharaan yang sederhana. Peternakan rakyat adalah sistem peternakan yang masih sederhana, mulai dari manajemen kandang, pemberian pakan, dan sistem pemerahan. Peternakan rakyat mempunyai ciri-ciri antara lain pendapatan rendah, penerapan manajemen dan tekhnologi konvensional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif kecil, serta pengadaan input utama yakni pakan hijauan tergantung musim, ketersediaan tenaga kerja keluarga, dan penguasaan lahan hijauan yang terbatas (Yusdja dan Ilham 2006).

(11)

3 kandang dengan ukuran panjang 1.6 m dan lebar 1.35 m. Kandang tersebut pada umumnya dilengkapi dengan tempat pakan dan minum (Siregar 1995).

Pakan yang diberikan pada ternak adalah rumput atau hijauan dan konsentrat. Hijauan rumput biasanya diberikan dalam jumlah yang tidak tentu, dan konsentrat diberikan secara tidak teratur. Lahan yang tidak cukup luas untuk menanam rumput menjadi salah satu penyebab diberikannya hijauan dalam jumlah yang tidak tentu, terutama saat musim kemarau. Pada sapi perah, pakan berperan penting terhadap produksi susu. Komponen dasar pakan sapi perah adalah hijauan sebagai pakan utama sumber serat. Pemberian hijauan sekitar 10% dari bobot badan sapi hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok serta produksi susu sebanyak 3-4 liter/hari. Idealnya sapi perah memerlukan ransum dengan kandungan serat kasar antara 18-22% (Soetarno dan Adiarto 2002).

Kecacingan pada Sapi

Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang hewan ternak yang dapat mempengaruhi produktivitasnya. Infeksi cacing pada sapi perah dapat disebabkan oleh tiga jenis cacing, yaitu nematoda, trematoda, dan cestoda.

Cacing nematoda termasuk dalam filum nemahelminthes. Secara umum, morfologi cacing dari kelas nematoda memiliki ukuran yang berbeda-beda, mulai dari 2 cm sampai 1 meter dengan bentuk bulat panjang seperti benang, tidak bersegmen dan kulit dilapisi kutikula (Natadisastra dan Agoes 2009). Jenis kelamin cacing nematoda terpisah, biasanya ukuran tubuh cacing jantan lebih kecil dari cacing betina (Ahmad 2008). Sapi dapat terinfeksi oleh cacing nematoda jika menelan telur atau larva infektif. Telur akan menetas menjadi larva 1, kemudian berkembang menjadi larva 2, dan larva 3. Larva 3 merupakan larva infektif yang siap menginfeksi hewan kembali dalam waktu 1 minggu (Soulsby 1982). Cacing nematoda saluran pencernaan yang sering menyerang sapi diantaranya Toxocara vitulorum, Bunostomum spp., Oesophagostomum spp., Haemonchus spp., Mecistocirrus spp., Cooperia spp., Nematodirus spp., Trichostrongylus spp., dan lain-lain (Ahmad 2008). Semua cacing nematoda tersebut menyebabkan sapi mengalami diare, kehilangan nafsu makan, kurus, dan anemia. Sapi yang terinfeksi Toxocara vitulorum dapat mengalami pneumonia akibat adanya migrasi larva ke paru-paru, selain itu sapi juga mengalami kerusakan hati dan paru-paru, serta toksemia apabila infeksinya berat (Estuningsih 2005).

(12)

4

Sporosis akan berkembang menjadi redia dalam waktu 8 hari. Redia menjadi serkaria yang memiliki ekor untuk bergerak, kemudian keluar dari tubuh siput dan menempel pada tumbuhan yang terendam air, seperti padi dan rumput. Serkaria melepaskan ekor dan membentuk kista yang disebut metaserkaria. Saat metaserkaria yang termakan oleh sapi mencapai usus, metaserkaria tersebut akan keluar dari kista dan menembus dinding usus menuju ke hati. Metaserkaria akan tumbuh menjadi dewasa dan memproduksi telur dalam waktu 16 minggu (Martindah et al. 2005). Sapi yang mengalami fasciolosis (penyakit yang disebabkan oleh Fasciola sp.) akut akan mengalami konstipasi, kadang mencret, kurus dengan cepat, lemah, dan anemia, sedangkan sapi yang mengalami fasciolosis kronik akan mengalami penurunan produktivitas (Ahmad 2005). Sapi yang terinfeksi Fasciola sp. juga kadang mengalami oedema di sekitar rahang bawah (bottle jaw) (Martindah et al. 2005).

Cacing cestoda termasuk dalam filum platyhelminthes. Secara umum, cacing cestoda memiliki bentuk pipih dorso-ventral, tidak memiliki rongga tubuh, rongga tubuh tertanam dalam mesenkim, dan umumnya hermafrodit. Cacing cestoda yang menyerang sapi satu diantaranya adalah Moniezia sp. Moniezia sp. memiliki skoleks polos dengan empat penghisap berukuran besar dan segmen yang sangat lebar, dengan organ genital bilateral. Moniezia sp. ditemukan di dalam usus halus sapi, domba dan kambing (Moniezia benedeni, Moniezia expansa, dan Moniezia caprae). (Bowman 2014). Siklus hidup Moniezia sp. membutuhkan inang antara, seperti cacing pita pada umumnya. Tungau merupakan inang antara pertama yang hidup bebas di hijauan dan rumput. Telur yang keluar melalui kotoran ternak akan termakan oleh tungau. Telur kemudian menetas dan larva bermigrasi ke dalam rongga tubuh tungau dimana akan berkembang menjadi cysticercoid. Ketika tungau tertelan oleh domba, mereka berkembang menjadi dewasa. Fase ketika telur tertelan hingga produksi telur pada ternak memakan waktu sekitar 6 minggu. Cacing pita dewasa hanya bertahan hidup sekitar 3 bulan. Infeksi biasanya lebih buruk di musim panas tetapi cysticeroid dapat bertahan pada musim dingin dalam tubuh tungau (Menzies 2010).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

(13)

5 Lokasi Penelitian

Wilayah Kemacatan Pangalengan secara geografis terletak di bagian selatan Kabupaten Bandung, dengan jarak sekitar 42 km dari pusat Kota Bandung dan berada pada ketinggian antara 1 500 mdpl sampai 2 000 mdpl. Suhu udara di Kecamatan Pangalengan berkisar antara 19°C - 24°C (Komarudin 2000). Wilayah Kecamatan Pangalengan memiliki 36 komisaris daerah (komda) dengan populasi sapi perah sebanyak 13 601 ekor.

Rancangan Studi

Kegiatan studi tingkat prevalensi dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi perah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung dilakukan dengan metode cross-sectional. Sampel diambil sebanyak 120 secara acak sederhana dari tiga komda dari total 36 komda yang terdapat di Kecamatan Pangalengan, yaitu Komda Padahurip, Komda Mekar Mulya dan Komda Sukamenak. Jumlah sampel yang diambil dari tiap komda sebanyak 40 sampel. Keberadaan telur cacing dalam tinja dideteksi dengan menggunakan metode modifikasi McMaster, metode modifikasi flotasi sederhana dan metode filtrasi sedimentasi. Informasi mengenai manajemen peternakan yang meliputi karakteristik peternak, sistem pemeliharaan, alas kandang, kebersihan kandang dan pakan ternak diperoleh dari kuesioner.

Ukuran Sampel

Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan tingkat kejadian kecacingan sebesar 50% dengan tingkat kepercayaan 95%. Besaran sampel dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004):

Keterangan :

n : Besaran sampel tinja sapi yang diambil

P : Asumsi dugaan tingkat kejadian penyakit kecacingan L : Tingkat kesalahan 10% (0.1)

Pengambilan Sampel Tinja

(14)

6

Pemeriksaan Sampel Tinja

Metode Modifikasi Mc Master

Metode modifikasi Mc Master digunakan dalam pemeriksaan tinja untuk mengetahui jumlah telur nematoda dan cestoda tiap gram tinja. Sampel tinja ditimbang sebanyak empat gram, kemudian dimasukkan ke dalam gelas. Sebanyak 56 ml larutan gula-garam jenuh ditambahkan ke dalam gelas yang berisi tinja, kemudian dihomogenkan dan disaring menggunakan saringan 30 mesh sebanyak tiga kali. Campuran dimasukkan ke kamar hitung Mc Master dan ditunggu lima menit agar telur mengapung. Setelah lima menit, kamar hitung Mc Master diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

Apabila dalam pemeriksaan menggunakan metode Mc Master tidak ditemukan telur cacing, maka dilanjutkan dengan metode pengapungan sederhana untuk memastikan keberadaan telur. Metode pengapungan dilakukan dengan cara campuran tinja dan gula garam dituang ke dalam tabung reaksi sampai penuh membentuk meniskus pada puncaknya. Kaca penutup diletakkan pada ujung tabung reaksi dan dibiarkan selama 10 menit. Kaca penutup diambil dan diletakkan pada gelas objek kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Metode Modifikasi Filtrasi-Sedimentasi

Metode modifikasi filtrasi-sedimentasi digunakan dalam pemeriksaan tinja untuk mengetahui adanya telur trematoda. Sebanyak empat gram tinja dimasukkan ke dalam gelas. Air sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam gelas, kemudian dihomogenkan dan disaring menggunakan saringan 30 mesh. Penyaringan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan saringan bertingkat yang berukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm. Residu tinja yang tertahan pada saringan 45 µm dibilas dan ditampung ke dalam cawan petri bergaris, lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Telur cacing trematoda yang ditemukan dihitung untuk mengetahui jumlah telur cacing per gram tinja.

Prosedur Analisis Data

(15)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Manajemen Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Pangalengan

Peternakan sapi perah di Kecamatan Pangalengan memiliki sumber daya manusia yang cukup baik untuk mengelola peternakan. Hasil survei terhadap 38 peternak menunjukkan sebagian besar (52.6%) peternak sapi di Kecamatan Pangalengan berada pada usia produktif (38-50 tahun). Menurut Chandra (1995), kelompok usia produktif yaitu dari usia 15-64 tahun. Umur produktif adalah umur dimana seseorang mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu. Peternak sapi perah di Kecamatan Pangalengan juga memiliki pengalaman yang cukup lama di bidang peternakan. Semua peternak di Kecamatan Pangalengan memiliki pengalaman beternak >5 tahun. Lama beternak berpengaruh besar terhadap pengelolaan peternakan. Semakin lama beternak, semakin banyak pengalaman peternak dalam mengelola peternakan. Pengalaman membuat peternak mengetahui banyak hal tentang peternakan. Hal tersebut akan membuat peternak memikirkan cara dan inovasi baru untuk manajemen peternakan yang lebih baik. Walaupun peternak memiliki pengalaman beternak yang cukup lama, akan tetapi umumnya mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir semua peternak (97.4%) sapi perah di kecamatan Pangalengan mendapat pendidikan formal sampai Sekolah Dasar (SD), hanya 2.6% peternak yang memiliki tingkat pendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pengalaman beternak akan semakin baik apabila ditunjang oleh tingkat pendidikan peternak. Tingkat pendidikan yang tinggi akan menjadikan peternak lebih mudah menerima perkembangan tekhnologi untuk memajukan peternakannya. Peternak dengan pendidikan tinggi juga dapat menciptakan inovasi baru untuk pelaksanaan peternakan yang lebih baik.

Ternak sapi di Kecamatan Pangalengan dipelihara secara intensif. Pemeliharaan sapi secara intensif dapat menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi cacing pada sapi karena pakan diberikan secara teratur di dalam kandang. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari oleh 78.9% peternak dan 4 kali sehari oleh 21.1% peternak. Pakan yang diberikan sebagian besar berupa rumput segar, namun sebanyak 28.9% peternak memberi pakan jerami pada sapinya. Rumput segar dapat beresiko menimbulkan kecacingan pada sapi karena adanya kemungkinan larva infektif masih menempel pada rumput. Sapi yang dipelihara secara ekstensif lebih beresiko terinfeksi cacing. Menurut Tantri et al. (2013), pemeliharaan ternak secara ekstensif dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kecacingan karena adanya kemungkinan sapi memakan larva cacing yang ada di padang pengembalaan, terutama pada pagi hari. Pagi hari merupakan saat dimana larva infektif banyak muncul di permukaan rumput.

(16)

8

dengan membersihkan kandang setiap hari. Pembersihan kandang secara teratur dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi cacing. Menurut Zulfikar et al. (2012), telur cacing nematoda keluar bersama tinja dan mengkontaminasi hijauan pakan, air minum serta lantai kandang yang tidak bersih.

Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Nematodosis Pada Sapi

Hasil pemeriksaan tinja sapi menunjukkan sapi perah di Kecamatan Pangalengan terinfeksi oleh cacing nematoda. Jenis cacing nematoda yang ditemukan berdasarkan pemeriksaan sampel tinja adalah Trichuris spp dan kelompok Strongyle. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 120 sampel tinja yang diperiksa, sebanyak 34 sampel tinja atau 28.3% positif terinfeksi cacing nematoda. Sebanyak 30 sampel atau 25.8% positif Strongyle dan 3 sampel atau 3.3% positif Trichuris spp. (Tabel 1).

Strongyle merupakan cacing yang umum ditemukan pada sapi. Cacing yang termasuk jenis Strongyle diantaranya Haemonchus sp., Cooperia sp., Oesophagostomum sp., Trichostrongylus sp., Bunostomum sp., dan Mecistocirus sp. (Suhardono et al. 1995).Sapi dapat terinfeksi Strongyle melalui termakannya larva infektif (L3) yang terdapat dalam rumput. Larva infektif yang terdapat pada rumput, apabila termakan oleh sapi maka akan mengakibatkan edesis di dalam usus, kemudian masuk ke mukosa usus, dan kembali ke rongga usus untuk menjadi dewasa (Natadisastra dan Agoes 2009). Jenis cacing Trichuris spp. yang ditemukan pada sapi diantaranya Trichuris globulosa dan Trichuris skrjabini (Anderson 2000). Telur Trichuris spp. yang dikeluarkan melalui feses tidak berisi embrio. Perkembangan embrio dalam telur terjadi di lingkungan. Iklim dan temperatur sangat berpengaruh terhadap perkembangan embrio. Di dalam tanah, telur akan berkembang sampai mengandung larva stadium 2 (telur infektif). Telur infektif yang tertelan, masuk ke dalam tubuh hewan akan menetas di duodenum. Larva cacing akan berkembang di dalam duodenum, dan setelah dewasa Trichuris spp. akan menuju kolon (Olsen 1974)

Infeksi yang terjadi pada sapi di Kecamatan Pangalengan termasuk rendah (28.3%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada sapi bali di Kabupaten Gowa oleh Purwanta et al. (2009), infeksi cacing nematoda pada sapi mencapai 73.7%. Perbedaan prevalensi ini dapat diakibatkan oleh perbedaan sistem pemeliharaan sapi. Sebanyak 92.8% sapi bali di Kabupaten Gowa dipelihara secara semi intensif dan 7.1% masih dipelihara secara ekstensif. Pemeliharaan ternak secara semi intensif dan ekstensif beresiko tinggi terhadap infeksi cacing. Penggembalaan yang dilakukan pada pagi hari dapat menimbulkan infeksi dan penularan cacing melalui rumput yang terkontaminasi oleh larva infektif.

Tabel 1 Tingkat prevalensi dan jumlah telur tiap gram tinja Jenis cacing Jumlah

(17)

9 Strongyle 106.6±105.6 dan jumlah TTGT Trichuris spp. 105.0±95.7 (Tabel 1). Menurut Thienpont et al. (1995), sapi yang terinfeksi dengan jumlah TTGT 1-499 termasuk kategori infeksi ringan, jumlah TTGT 500-5 000 kategori infeksi sedang dan jumlah TTGT > 5 000 termasuk kategori infeksi berat. Derajat infeksi cacing Strongyle memiliki jumlah TTGT lebih tinggi dibandingkan jumlah TTGT cacing Trichuris spp. (Tabel 1). Menurut Tantri et al. (2012), kisaran infeksi ringan atau rendah umumnya tidak mengganggu kesehatan namun mempengaruhi produktivitas ternak.

Infeksi Trichuris spp. pada sapi berkaitan dengan kebersihan kandang. Umumnya peternak membersihkan kandang setiap hari, hal ini dapat mengurangi resiko sapi terinfeksi Trichuris spp. Infeksi Strongyle berkaitan dengan pemeliharaan secara intensif, terutama pemberian pakan. Pakan yang diberikan pada sapi di Kecamatan Pangalengan umumnya berupa rumput gajah. Pemberian rumput gajah pada sapi beresiko menimbulkan infeksi Strongyle. Rendahnya nilai TTGT dapat pula diakibatkan oleh pemberian anthelmintik. Sapi perah di Kecamatan Pangalengan diberi anthelmintik apabila mengalami diare, kehilangan nafsu makan dan terlihat kurus. Pemberian anthelmintik secara teratur dapat mengurangi infeksi cacing dan membuat nilai TTGT semakin kecil.

Tingkat Prevalensi Berdasarkan Umur Sapi

Hasil penelitian menunjukkan tingkat infeksi Strongyle tertinggi pada sapi umur 1-6 bulan dengan tingkat prevalensi 50.0%, diikuti pada sapi umur >12-36 bulan sebesar 25.7%, sapi umur >36 bulan sebesar 24.5%, dan sapi umur >6-12 bulan sebesar 12.5%. Tingkat infeksi Trichuris spp. paling tinggi ditemukan pada sapi umur >6-12 bulan dengan tingkat prevalensi sebesar 12.5%, diikuti pada sapi umur >12-36 bulan sebesar 2.9%, sapi umur >36 bulan sebesar 1.9%, dan sapi umur 1-6 bulan sebesar 0% (Tabel 2). Walaupun terdapat perbedaan tingkat prevalensi, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p>0.05).

(18)

10

dan lingkungan. Saat induk sapi diberikan pakan yang kekurangan vitamin A, B dan B12, serta protein dan mineral, maka sapi akan lebih rentan terinfeksi cacing (Zulfikar 2012). Wiryosuhanto dan Jacoeb (1994) menyatakan bahwa penyakit endoparasit terutama cacing menyerang hewan pada usia muda (kurang dari 1 tahun). Ahmad (2008) berpendapat bahwa kekebalan sapi terhadap cacing saluran pencernaan dipengaruhi oleh umur, genetik, pakan, dan preimunisasi.

Prevalensi Berdasarkan Komda

Tingkat infeksi cacing pada sapi perah di setiap komda berbeda-beda. Prevalesi Strongyle di komda Mekar Mulya lebih tinggi dari komda lainnya (Tabel 4). Prevalensi Trichuris spp. di komda Padahurip lebih tinggi dibandingkan dengan komda lainnya (Tabel 5). Tingginya prevalensi Trichuris spp. di komda Padahurip juga dapat disebabkan oleh pakan. Rumput segar yang diberikan beresiko menimbulkan kecacingan, karena larva cacing bisa menempel pada rumput segar dan apabila tertelan dapat menimbulkan kecacingan. Secara statistik, tingkat prevalensi pada semua komda tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Tabel 3 Prevalensi (%) infeksi Strongyle dan Trichuris spp. pada sapi perah berdasarkan lokasi peternakan

Komda Strongyle Trichuris spp.

Prevalensi

Perbedaan tingkat prevalensi ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya pakan dan kondisi lingkungan. Pakan yang diberikan pada sapi di komda Mekar Mulya adalah rumput segar dan jerami, sedangkan di komda lain jerami hanya diberikan saat terjadi kemarau panjang. Jerami diberikan ¾ bagian atas. Pemberian jerami ¾ bagian atas dapat menjadi penyebab timbulnya

(19)

11 tingkat prevalensi masing-masing 3.3% dan 25.0%. Tidak terdapat perbedaan tingkat prevalensi cacing antara kelompok umur sapi dan lokasi peternakan (komda).

Saran

Manajemen peternakan meliputi pemberian pakan dan kebersihan kandang ternak harus lebih diperhatikan karena hal tersebut merupakan faktor penting timbulnya kecacingan pada sapi. Selain itu pemberian anthelmintik juga harus lebih diperhatikan dosis dan cara penggunaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Aak. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Kanisius. Ahmad RZ. 2008. Beberapa penyakit parasitik dan mikotik pada sapi perah yang

harus diwaspadai. Di dalam: Kusuma D, Elizabeth W, Atien P, Lily N, Tati H, Budi P. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020; 2008 Apr 21 ; Jakarta, Indonesia. Bogor (ID: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 316-321.

Anderson RC. 2000. Nematode Parasites of Vertebrates: Their Development and Transmission. 2nd ed. Wallingford (GB): CAB Int.

Badan Pusat Statistik. 2013. Populasi Sapi Perah Menurut Provinsi. [internet].

[diunduh 2014 Januari 16]. Tersedia pada:

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24&n otab=12.

Boray JC. 1966. Studies on the relatives susceptible of some lymnaeids to infection with F. hepatica and F. gigantica on the adaptation of Fasciola spp. American Journal of Tropical Medicine and Parasitology . 60(1): 114-124.

Bowman DD. 2014. Georgis’ Parasitology For Veterinerians. 10th edition. St. Louis (US): Elsevier.

Chandra B. 1995. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta (ID): ECG.

Corwin RM, Randle RF. 1993. Common Internal Parasites of Cattle. Columbia (US): University of Missouri.

Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia. Wartazoa 15(3): 136-142.

Komarudin. 2000. Studi karakteristik daerah perambahan hutan dengan menggunakan sistem informasi geografi (studi kasus: Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai penyakit infeksius. Wartazoa. 15(3):143-154.

Menzies P. 2010. Handbook of the Control of Internal Parasites of Sheep. Guelph (CD): University of Guelph Pr.

(20)

12

Olsen OW. 1974. Animal Parasites. Texas (US): University Park Pr.

Respati E, et al. 2013. Buletin Konsumsi Pangan. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 4(4): 37-45. Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran

pencernaan (gastrointestinal) pada sapi bali melalui pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-21.

[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Buletin Bulanan. Indikator Makro Sektor Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 7(9): 15.

Selvin S. 2004. Statistical Analysis of Epidemiology Data. London (GB): Oxford University Pr.

Siregar SB. 1995. Sapi Perah, Jenis, Tekhnik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Soetarno T, Adiarto. 2002. Pengendalian Mutu Konsentrat Sapi Perah Secara Terpadu. Seminar Pengawasan Mutu Ternak; Surabaya, Indonesia. Surabaya (ID): Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthhropos and Protozoa of Domesticated Animals. 7 b' . London (GB): Baillere, Tindall and Cassell Ltd.

Sudono A, Rosdiana F, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Suhardono S, Partoutomo, Knox MR. 1995. Pengaruh infeksi cacing nematoda pada sapi perah laktasi di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Seminar Nasional Tekhnologi Veteriner; 1994 Maret; Cisarua, Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. 250-255.

Tantri N, Tri RS, Siti K. 2013. Prevalensi dan intensitas cacing parasit pada feses Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Protobiont 2(2): 102-106.

Thienpont, et al. 1995. Diagnosing Helminthiasis Through Coprological Examination. America (US): Appleton-Century-Crofts.

Williamson G, Payne WJA. 1995. An Introduction To Animal Husbandary in The Tropic. London (GB): Longman Group Limited.

Wiryosuhanto SD, Jacoeb TN. 1994. Prospek Budidaya Ternak sapi. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Yusdja Y, Ilham N. 2006. Arah kebijakan pembangunan peternakan rakyat. Analisis Kebijakan Pertanian. 4(1): 18-38

(21)

13

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 2 Prevalensi (%) infeksi Strongyle dan Trichuris spp. pada sapi perah   berdasarkan umur sapi

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendeteksi sinyal yang telah melewati suatu kanal multipath yaitu dengan cara menggunakan equalizer dalam domain frekuensi, equalizer dalam domain frekuensi

 Pendekatan rasional dalam pengobatan berbagai gangguan penyakit  Tatalaksana praktis dengan cara mini workshop untuk kasus penting  Pemahaman mendalam dalam interaksi

Perancangan interior andry bakery menjadi hal yang substansional ketika dapat menjadi sebuah bangunan multifungsi yang bergerak pada usaha industry rumahan yang mampu

Sehingga yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana membantu pihak Bank XYZ dalam melakukan prediksi terjadinya NOP dari banyak variabel

berdasarkan penelitian terhadap observasi dan hasil wawancara kepada Kepala Desa, Sekretaris Desa atau Ketua Tim Pelaksana Alokasi Dana Desa dan Bendahara Desa di

Context Diagram adalah diagram aliran data yang paling dasar dari suatu organisasi yang menunjukkan bagaimana proses- proses mentransformasikan data yang datang

Sebelum mengisi KRS online, mahasiswa diwajibkan menghadap dosen PA untuk mendapatkan petunjuk dan bimbingan dalam menentukan beban sks yang akan diambil serta

Dalam olahraga prestasi proses tersebut bisa berhasil jika dilatihkan oleh seorang pelatih yang profesional, memiliki kemauan, komitmen yang tinggi, berpengalaman