• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformulasi Kebijakan Deradikalisasi Mantan Narapidana Terorisme Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Reformulasi Kebijakan Deradikalisasi Mantan Narapidana Terorisme Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)BAB II KERANGKA TEORITIK DAN KONSEPTUAL. 2.1. Kerangka Teoritik 2.1.1. Teori Tujuan pemidanaan Van Bemellen33 Memandang bahwa pidana tidak dilihat semata–mata sebagai pidana atau dengan tidak melihat pemidanaan itu semata–mata pada pemidanaan saja, melainkan beliau telah mengaitkan pemidanaan dengan tujuan yang ingin dicapai. Beberapa pemikir abad lampau mengeluarkan pendapat tentang dasar pembenaran atau rechtvaadiging–ground dari suatu pemidanaan, baik pemidanaan semata–mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengaitkan pemidanaan dengan tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan itu sendiri. Program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi mantan narapidana teroris bertujuan untuk memutus mata rantai kejahatan melalui internalisasi nilai-nilai yang dilakukan dengan penguatan sisi psikologis, ekonomi, hubungan emosional, serta pembangunan kepercayaan diri, sehingga lambat laun paham radikalisme dapat luntur bahkan pudar. Tujuan ini sejalan dengan tujuan dari pemidanaan. Pada dasarnya ada tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut: a. b.. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan.. 33. J.M van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan Hasnan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), hlm. 128, dalam Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, (Yogyakarta: 2008), hlm. 137.. 40.

(2) c.. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatankejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.34. Teori pokok yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1). Teori Absolut (vergeldings theorieen) Pada intinya aliran ini mengajarkan dasar darimana pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgeding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbukan penderitaan bagi si korban.35 Sebagaimana Simons dalam buku Leerboek van het Nederlandshe strafrecht menyebutkan teori – teori absolut tersebut yaitu teori dari Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, von Bar, Kohler, dan teori Polak yang dikenal pula sebagai object iveringstheorie.36Kant menyatakan bahwa dasar pembenaran suatu pidana itu terdapat dalam apa yang disebut kategorien imperative, atau dasar yang menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. Keharusan menurut keadilan dan hukum merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada sesuatu haruslah dikesampingkan. Andi Hamzah menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur–unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana. 34. Tolib Setiady, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung : Alfabeta, 2010, hlm. 31. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Bandung: Balai Lektur Mahasiswa,tt,hlm.. 56. 36 Op.Cit, hlm. 13. 35. 41.

(3) secara mutlak ada karena dilakukan suatu kejahatan.37 Pendapat Muladi, Barda Nawawi Arief dan Andi Hamzah ini dapat dimasukkan dalam teori pembalasan subjektif, yang sejalan dengan teori yang dikemukakan Kant dan Stahl. Oleh karena itu, usaha dalam menyadarkan terpidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor. Misalnya, apakah pelaku tindak pidana itu mempunyai lapangan kerja atau tidak, namun apabila pelaku tindak pidana tidak mempunyai lapangan kerja, masalahnya akan tetap menjadi lingkaran setan. Artinya begitu selesai ia menjalankan pidana, ia akan melakukan perbuatannya lagi. 38 Pendapat Sahetapy ini sejalan dengan pendapat Bambang Pranowo yang menyatakan: “Selain pelaku, harus juga dilakukan pada keluarga si pelaku, misalnya diajarkan pandangan agama yang moderat, segi ekonominya diperhatikan misalnya melalui diadakannya kursus – kursus keterampilan sehingga pembinaannya itu harus mengikutkan Balai Latihan Kerja di daerah sekitar yang harus diaktifkan untuk membina warganya, atau dengan kursus lainnya, sehingga ketika mantan narapidana terorisme pulang, tidak ada masalah dengan ekonominya sehingga membuat dia kembali melakukan 39 perbuatannya.”. Melihat pendapat kedua pakar diatas, terlihat bahwa kebutuhan ekonomi memiliki peranan penting dalam rehabilitasi mantan narapidana.. 37 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hlm. 27 – 28. 38 J.E.Sahetapy, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 149. 39 Bambang Pranowo dalam Wawancara dengan Justice Yosie Anastasia Simanjuntak, Deradikalisasi Sebagai Suatu Program Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme untuk Mencapai Tujuan Pemidanaan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2014), hlm. 11.. 42.

(4) 2). Teori Relatif atau teori tujuan (doel theorien), atau teori utilitarian. Teori ini lahir sebagai reaksi atau kritik terhadap teori absolut. Dalam teori ini, pemidanaan bertujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan, dan tujuan untuk mencegah orang lain tidak melakukan kejahatan. Yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan dalam teori ini bukanlah pembalasan (velgelding), akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat daripada pemidanaan (nut van de straf).40 Teori ini dapat dibagi lagi menjadi dua macam teori, yaitu: a). Teori Pencegahan umum (algemene preventie theorien), dimana yang ingin dicapai dari suatu tujuan pemidanaan yaitu semata – mata dengan membuat jera setiap orang agar tidak melakukan kejahatan. Tujuan tersebut ditujukan pada khayalak ramai atau kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Termasuk pula dalam teori ini yaitu: (1). Afschrikkingstheorien, teori yang membuat semua orang jera, yang tujuannya adalah untuk membuat semua masyarakat menjadi jera agar mereka tidak melakukan kejahatan-kejahatan, dan;. (2). De leer van de psychologische dwang (teori pemaksaan psikologis) sebagaimana diperkenalkan Anselm von Feuerbach, yang menurutnya, ancaman hukuman harus dapat mencegah niat orang untuk melakukan kejahatan,. 40. Kartanegara, Loc.Cit.. 43.

(5) dalam artian orang menyadari bahwa dilakukannya suatu kejahatan. pasti. akan. dipidana,. sehingga. mereka. meninggalkan niat untuk melakukan kejahatan. Teori tersebut kemudian melahirkan tiga azas dasar yaitu: nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, dan nullum crimen sine poena legali.41 (tiada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undangundang, tiada pidana tanpa perbuatan pidana, tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya). b). Teori Pencegahan Khusus (bijzondere preventie theorien). Dimana yang ingin dicapai dari tujuan pidana yaitu membuat jera, memperbaiki, dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan lagi. Menurut Van Hammel, tujuan pidana itu selain untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (teori tujuan) juga mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan (afschrikking), memperbaiki (verbetering), dan untuk kejahatan tertentu harus dibinasakan (onschadelijkmaking). Kemudian, Grolman mengatakan bahwa tujuan dari pidana adalah untuk melindungi masyarakat, dengan membuat penjahatnya tidak berdaya atau menjadi jera untuk melakukan suatu kejahatan kembali.. Pembalasan dipandang sebagai satu keharusan dan bukan semata – mata sifat dari suatu pidana. Metode ini digunakan dalam teori Adolf Merkel yang berpendapat bahwa schuld (kesalahan) dan pertanggung41 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I – hukum Pidana Materiil Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1984), hlm. 55 – 56.. 44.

(6) jawaban yang telah dihubungkan dengan pahamnya tentang determinisme, telah membuat ajarannya memperoleh tempat tersendiri di antara paham yang telah ada. Lalu Mayer memandang sosiologische strafrechtsleer sebenarnya bermaksud untuk menyampingkan pemikiran mengenai teori kumpulan dengan menyebut teorinya sebagai verdelingstheorie atau teori pembagian. Yang mana pidana sebenarnya merupakan akibat hukum dari dilakukannya suatu delik, yang menyebabkan pembalasan itu menjadi perlu untuk dilaksanakan.. Menurut. Mayer,. tidaklah. mungkin. orang. dapat. menunjukkan dasar-dasar yang bersifat normatif terhadap perlunya suatu pembalasan, tetapi dasar-dasar tersebut harus dicari pada azas keadilan dan kebutuhan. 1). Teori Treatment, sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberikan. tindak. perawatan. (treatment). dan. perbaikan. (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit, sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dari perbaikan (rehabilitation). Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi faktafakta di lapangan dalan kaitannya dengan terjadinya kejahatan.. 45.

(7) Aliran ini beralaskan faham ”determinisme” yang menyatakan bahwa. seseorang melakukan. kejahatan. bukan. berdasarkan. kehendaknya, karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan, oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberi perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan si pelaku. 2). Teori Social Defence, terpecah menjadi 2 (dua) aliran, yaitu aliran radikal (ekstrim) dan aliran moderat (reformis). Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatika yang salah satu tulisannya berjudul ”the fight against funishment” (la lottacontra la pena). Gramatika berpendapat bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam lebih sosial dan bukan pemidanaan. terhadap. perbuatannya.. Pandangan. moderat. dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan alirannya sebagai ”defence sociale novelle” atau ”perlindungan sosial baru”. Menurut Marc Ancel tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Pemidanaan melalui rehabilitasi yang di dalam faham tujuan. 46.

(8) pemidanaan berorientasi pada teori treatment bahwa terhadap pelaku. tindak. pidana. terorisme. di. dalam. undang-undang. pemberantasan tindak pidana terorisme telah diatur, namun rehabilitasi dimaksud belum berorientasi pada pemahaman korban sebagai pelaku kejahatan terorisme akibat faham fundamentalisme. Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme lebih mengarah pada perlindungan tersangka dengan pemulihan hak nya apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penanggulangan tindak pidana terorisme atau radikalisme tidak cukup hanya sekadar melalui kriminalisasi yang bersifat kebijakan penal (pemidanaan), namun perlu dicari upaya lain yang bersifat non-penal (non-pidana) sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pemikiran ini bertolak dari adanya pro dan kontra terhadap kriminologi radikalisme mengenai offender-oriented yang memandang dari sisi pelindungan terhadap hak asasi manusia dari si pelaku dan victimoriented yang memandang dari sisi perlindungan terhadap korban. Victimoriented ini bersifat massal dan random, yang melakukan perlindungan terhadap ancaman akan hak untuk hidup, bebas dari rasa takut, kebebasan demokrasi, integritas territorial, keamanan nasional, stabilitas pemerintahan yang sah, pembangunan, ketertiban umum, dan harmoni terhadap perdamaian internasional.. 47.

(9) 2.1.2. Teori Kebijakan Kriminal Marc. Ancel42. mendefinisikan. kebijakan. kriminal. sebagai. “the. rational organization of the control of crime by society”. Sementara itu, G.P. Hoefnagels43 menyebut sebagai “the rational organization of the social reaction of crime”. Di bagian lain dari bukunya, Hoefnagels juga menyebut dengan berbagai rumusan seperti: “the science of crime prevention, a policy of dignating human behavior as crime dan a rational of the respon to crime”. Lebih lanjut dijelaskan oleh G.P. Hoefnagels, terdapat keterjalinan yang erat antara kebijakan kriminal, kebijakan penegakan hukum dan kebijakan sosial. Kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, maka sesungguhnya kebijakan kriminal juga menjadi bagian dari kebijakan sosial (social policy) dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy). Secara terperinci Hoefnagels mengemukakan cakupan kebijakan kriminal demikian itu dalam bentuk ragaan sebagai berikut: 44. 42 Marc. Ancel, Social Deffence: A Modern Approach to Criminal Problems, Rautlege, London, 1965, hlm. 209 43 G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology : An invertion of the Concept of Crime, (Revised edition of Beginselen van Criminologie), Kluwer B.V. Deventer, Holand, 1973, hlm. 57 44 Ibid, hlm. 57.. 48.

(10) Criminal. Influencing views of society on crime and punisment (mass media) punishment (mass media). Law Enforcement Policy. Crim. Law Aplication. Social. Prevention without punishment Punisment. (Practical criminology) soc. policy. - adm.of crim.justice in narrow sence: -crim. legislation -crim. jurisprodence -crim.proses in wide sense : -juridical -physical scientific -social scientific -sentencing -forensic psychiatry and psychology -forensic sosial work -crime.sentence execution and police statistic. community planning mental health mental health nat. mental health soc. work.child welfare. Administrative and civil law and civil law. Menurut Hoefnagels, ilmu pengetahuan tentang kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu pengetahuan tentang pencegahan kejahatan. Ilmu tentang pencegahan kejahatan ini meliputi bentuk-bentuk pencarian jalan keluar guna mempengaruhi manusia dan masyarakat. Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan organisasi rasional dari reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan ini merupakan bagian dari kebijakan yang lebih luas dalam bidang penegakan hukum (the law enforcement policy). Dalam pandangan Hoefnagels, hukum perdata dan hukum administrasi menduduki tempat yang sama sebagai sarana pencegahan kejahatan. Kedua bidang hukum ini, merupakan sarana pencegahan kejahatan yang tidak bersifat pidana (non criminal legal crime prevention). Kebijakan kriminal beruwujud baik. 49.

(11) dalam bentuk pengetahuan maupun penerapan (aplikasi). Sementara itu, kebijakan penegakan hukum dan kebijakan legislasi merupakan bagian dari kebijakan sosial. Konsep aplikasi menurut Hoefnagels, terbagi ke dalam dua katagori, yaitu ilmu aplikasi (applied sciences) dan aplikasi ilmu (the application of science). Ilmu aplikasi meliputi pekerjaan sosial, penologi, viktimologi, teori umum proses peradilan pidana dan jurnalistik. Ilmu aplikasi ini masing-masing berada dalam bidangnya sendiri-sendiri. Berbeda dengan ilmu aplikasi, aplikasi ilmu bukanlah merupakan ilmu, melainkan bekerja berdasarkan data ilmiah. Aplikasi ilmu ini bersifat induktif dan deduktif. Dalam ragaan Hoefnagels di atas, aplikasi ilmu ini mencakup mass media (Influencing views of society on crime and punishment), penerapan hukum pidana (Criminal law application atau practical criminology), dan pencegahan kejahatan tanpa hukum pidana (Prevention without punishment). Berbagai. bentuk. reaksi. atau. respon. sosial. dilakukan. dalam. penanggulangan kejahatan. Dalam pandangan Hoefnagels di atas, maka upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui kebijakan penal (penal policy) atau kebijakan dengan hukum pidana dan kebijakan non penal (non penal policy) atau sarana bukan hukum pidana. Muladi45 menyatakan, bahwa usaha menanggulangi kejahatan mengejawantah dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk pertama adalah bersifat represif yang menggunakan sarana penal yang sering disebut sebagai Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System); kedua adalah usaha-usaha tanpa menggunakan penal (Prevention Without Punishment), yang disebutnya sebagai kebijakan kriminal non sistem peradilan pidana.. 45 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 100-101.. 50.

(12) Dengan meminjam terminologi yang berlaku di dunia medis, Menurut Muladi, terdapat berbagai tipologi tindakan pencegahan kejahatan yaitu, primary prevention, secondary prevention dan tertiary prevention. Tipologi pencegahan lain yang dapat dirumuskan adalah, individual prevention dan societal prevention. Sementara itu, Mardjono Reksodiputro46 menyebutkan bahwa penanggulangan kejahatan di masyarakat dibagi dalam usaha besar, yang informal (informal social controls) adalah melalui lingkungan keluarga, lingkungan pemukiman, sekolah dan lembaga keagamaan dan sebagainya, dan yang formal (formal social controls) adalah melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system).. 2.1.3. Teori Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Sarana Penanggulangan Kejahatan Secara ontologis, hakekat hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dan mencegah kejahatan, namun dalam menanggulangi terorisme tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai sarana untuk mengatur ketertiban dan keamanan serta kepastian hukum dalam masyarakat, tetapi lebih jauh bagaimana upaya hukum itu berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang maksimal. Adanya pandangan agar hukum dapat membentuk dan merubah suatu keadaan dalam masyarakat sebenarnya telah lama dikembangkan oleh Rescoe Pound dengan teori yang terkenal “law as a tool of social engineering”. Atas dasar pendekatan dan pengkajian filsafat hukum inilah maka hukum yang akan dibangun dalam rangka menanggulangi terorisme akan tetap berlandaskan nilai ideologi, nilai budaya, nilai historis, nilai sosiologis dan nilai yuridis.. 46 Mardjono Reksodiputro, Penanggulangan Masalah Preman dari Pendekatan Kriminologi (Suatu Tanggapan), Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, volume I, no. 1 tahun 1998, hlm. 92.. 51.

(13) Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.47 Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai. dengan. keadaanpada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Namun, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu system hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), stuktur (structure), dan substansi (substansive) hukum. Karena undangundang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana. Amara Raksasataya mengemukakan policy sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu policy memuat 3 (tiga) elemen yaitu: a.. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;. b.. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;. 47. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998),. hlm. 148.. 52.

(14) c.. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. yaitu:48. Menurut Satochid Kartanegara,49 bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undangundang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut: 1.. Jiwa manusia (leven);. 2.. Keutuhan tubuh manusia (lyf);. 3.. Kehormatan seseorang (eer);. 4.. Kesusilaan (zede);. 5.. Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);. 6.. Harta benda/kekayaan (vermogen).. Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli: Menurut van Hamel:50. 48 Ali Masyhar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme sebuah kritik atas kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 19. 49 Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hlm. 275-276. 50 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hlm. 34.. 53.

(15) “een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.” (suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.) Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.51 Muladi dan Barda Nawawi Arief menyebutkan, ternyata tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa, diantaranya adalah: Menurut Hulsman:52 Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde reopen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni: untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia. 51 52. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 9. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Ibid.. 54.

(16) Berdasarkan definisi hukum pidana tersebut, dapat dikatakan bahwa Hukum Pidana menitikberatkan pada perbuatan-perbuatan mana yang dilarang, juga mengatur keadaan-keadaan yang memungkinkan adanya pemidanaan kepada orang yang telah melanggar larangan dan bentuk pidana serta cara pengenaan pidana. Untuk mengetahui suatu perbuatan merupakan tindak pidana, dapat dilihat pada ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku (hukum positif) yaitu : a). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b). Peraturan-peraturan. atau. undang-undang. yang. merupakan. ketentuan hukum pidana di luar KUHP. 53 Pengenaan hukum pidana, adalah sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dari pengertian mengenai hukum pidana tersebut di atas, maka dapat didefinisikan bahwa Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata Pidana berarti hal yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana adalah merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu negara, yang terdiri dari baik hukum pidana materiil (mengatur perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang 53. M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu,(Bandung: Remadja Karya CV, 1986), hlm. 3. 55.

(17) dengan memberikan ancaman pidana bagi yang melanggarnya), maupun hukum pidana formil atau hukum acara pidana (mengatur tata cara hukum pidana materiil itu dipertahankan /dilaksanakan). Untuk dapat dikatakan suatu perbuatan merupakan tindakan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut: 1.. Perbuatan (manusia). 2.. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (merupakan syarat formil). 3.. Dan bersifat melawan hukum (merupakan syarat materiil). Maksud dari perbuatan adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia, sedangkan maksud yang memenuhi rumusan undang-undang adalah semua perbuatan manusia yang di nilai melanggar ketentuan KUHP, dan juga syarat materiil harus ada, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang dilarang dan tidak patut dilakukan. Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Jadi untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang disamping seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana juga harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab. Unsur-unsur yang diambil di atas adalah unsur-unsur menurut pandangan dualitis, sedangkan menurut pandangan monistis unsur tindak pidana adalah : 1. Perbuatan manusia 2. Bersifat melawan hukum 3. Memenuhi rumusan Undang-undang. 56.

(18) 4. Dilakukan dengan kesalahan 5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.54 Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsurunsur tindak pidana, yaitu: Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1). Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa). 2). Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 (1) KUHP.. 3). Macam-macam maksud atau oogmerk seperti. yang terdapat. misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain Menurut Mezger yang dikutip oleh Sudarto mengatakan Hukum Pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.55 Jadi pada dasarnya Hukum Pidana berpokok kepada 2 (dua) hal, ialah : a). Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime).Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.. b). Pidana Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam. 54 55. Ibid, hlm. 39. Sudarto, Hukum Pidana I. (Semarang : Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 5.. 57.

(19) hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib (tuchtmaatregel, Masznahme). Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP yaitu: a). Pidana Pokok, 1) Pidana mati, 2) Pidana penjara, 3) Kurungan, 4) Denda. b). Pidana tambahan: 1) Pencabutan hak-hak tertentu, 2) Perampasan barang-barang tertentu, 3) Pengumuman putusan hakim.. Berkaitan dengan fungsi Hukum Pidana, Sudarto mengatakan fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi, yaitu: 1.. Fungsi hukum pidana yang bersifat umum Oleh karena hukum pidana merupakan sebagian dari keseluruhan lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, ialah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang “sozialrelevent” artinya ada sangkut pautnya dengan masyarakat ia pada dasarnya tidak mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila. Demikian juga hukum pidana. Sangat mungkin ada perbuatan seseorang yang sangat tercela dan berentangan dengan kesusilaan, akan tetapi hukum pidana/negara tidak turun tangan/campur tangan, karena tidak dinyatakan secara tegas di dalam aturan hukum atau hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Di samping itu, seperti pada lapangan hukum lainnya, hukum pidanapun tidak hanya mengatur masyarakat begitu saja, akan tetapi juga mengaturnya secara patut dan bermanfaat (zweckmassing). Ini sejalan dengan anggapan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk menuju ke policy dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dengan demikian hukum pidana harus dapat menyelenggarakan masyarakat yang tata tenteram kerta raharja.. 2.. Hukum Pidana yang bersifat khusus. Fungsi yang khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya. 58.

(20) (Rechtsguterchutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya ialah tajam, jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-beda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektiva, misalnya masyarakat, negara, dan sebagainya. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dengan demikian hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.56. Menurut sistem KUHP kita tindak pidana dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya. Dalam Buku II KUHP diatur tentang kejahatan, sedangkan dalam Buku III diatur tentang Pelanggaran. Dengan kata lain KUHP tidak memberikan kriteria mengenai pembedaan jenis tindak pidana tersebut, tetapi KHUP hanya memasukan dalam. kelompok pertama. kejahatan dan kelompok kedua. pelanggaran.57 Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana bagian dari politik criminal. Dengan kata lain, dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. 58. 56. Sudarto, Ibid, hlm. 7. ibid 58 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, (Jakarta, Kencana, 2008), hlm.1. 57. 59.

(21) Ruang lingkup kebijakan pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari: a.. Tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislative.. b.. Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan yudikatif.. c.. Tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administrative.. Secara garis besar, kebijakan legislative (formulatif) dalam penanggulangan kejahatan meliputi: 1.. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;. 2.. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang (baik berupa pidana atau tindakan) dan system penerapannya;. 60.

(22) 3.. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.59. Dalam rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, hukum pidana mempunyai posisi sentral untuk menyelesaikan konflik (kejahatan) yang terjadi. Masyarakat Indonesia yang heterogen, baik horizontal (suku, agama, ras) maupun vertical (perbedaan kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi), pada hakikatnya dapat menjadi faktor kriminogen, terutama jika terjadi ketidakadilan dan diskriminasi dalam menangani masyarakat. Dengan demikian, hukum pidana menjadi penting perannya, sekarang dan di masa mendatang, bagi masyarakat sebagai kontrol sosial untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali kejahatan. Untuk menegakkan hukum pidana, maka harus ada keterpaduan dalam persepsi dan penanganan konflik yang timbul dari semua komponen hukum pidana, baik komponen struktural, substansial, dan dukungan sosial. Pada komponen substansial yang bersifat normatif dan normal seharusnya berpijak dan mengutamakan keadilan, kemudian kemanfaatan, dan selanjutnya pijakan terakhir adalah kepastian hukum. Menurut Muladi, pembaharuan hukum pidana bagi penegakan hukum masa mendatang harus mempunyai karakteristik operasional sebagai berikut: 1.. Hukum pidana tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.. 59 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 24-23.. 61.

(23) 2.. Hukum pidana harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungankecenderungan. universal. yang. berkembang. pada. pergaulan. masyarakat beradab. 3.. Hukum pidana harus mempunyai aspek-aspek yang bersifat preventif. Hal ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya tindak pidana, karena secara tidak langsung sudah menumbuhkan perasaan takut untuk melanggar hukum pidana.. 4.. Hukum pidana harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan efektifitas fungsinya didalam masyarakat.60. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah terorisme termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun harus dapat memenuhi nilai-nilai keadilan bagi para mantan narapidana teroris yang juga adalah bagian dari warga negara dan mendapat perlindungan dari undang-undang. Nilai keadilan adalah merupakan nilai yang terpenting dan setiap peraturan perundang-undangan, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan kata lain, kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya merupakan kaidah yang sah (yang. mempunyai validity saja), akan tetapi juga harus. merupakan kaidah yang adil (harus mempunyai value). Selain itu penegakan dan pelaksanaan hukum tidak boleh dilakukan sedemikian rupa, sehingga sama sekali menghilangkan nilai etika pada umumnya, dan martabat kemanusiaan khususnya. 60. Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana,(Malang: Averroes Press, 2002),hlm. 121.. 62.

(24) Sekalipun nilai keadilan itu sendiri dari dulu menjadi bahan perdebatan dikalangan para ahli hukum, namun demikian, pertentangan pendapat dimaksud yang pada akhirnya menjurus kepada realitivisme nilai keadilan tidaklah dengan sendirinya. mengurangi. usaha. para ahli. hukum. untuk setidak-tidaknya. merumuskannya sesuai dengan falsafah Pancasila. Menurut Rajagukguk dan Khairandy, Delik atau perbuatan pidana terorisme adalah perbuatan yang melawan hukum yang melanggar ketentuan pidana terorisme, yaitu melakukan perbuatan yang berkaitan dengan kejahatan terorisme. Didalam undang-undang tindak pidana terorisme ada dua delik yaitu delik materil dan delik formil. Delik materil adalah delik atau perbuatan pidana yang rumusan perbuatan yang dilarang ditujukan pada penimbulan akibat, sedangkan delik formil adalah delik yang teknik perumusan perbuatan yang dilarang ditujukan pada perbuatan yang secara nyata memenuhi unsur-unsur delik.61 Undang-undang Terorisme pada prinsipnya mengikuti jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP, namun pidana tutupan tidak dirumuskan sebagai ancaman dalam undang-undang terorisme. Disamping itu, tindak pidana terorisme dianggap sebagai tindak pidana yang berat bahkan tidak disepadankan dengan tindak pidana biasa. Bahkan banyak dari pasal-pasalnya yang mengancam dengan pidana mati. Dari upaya penanggulangan terorisme menggunakan pendekatan represif atau hard approach, kemudian muncul pemikiran anti mainstream yang mengatakan bahwa dalam penanganan terorisme harus melibatkan serta memperhatikan tiga hal, yaitu (a) rule of law, (b) hak asasi manusia, dan (c). 61 R. Atang Ranoemihardja, Hukum Pidana Asas-asas, pokok pengertian dan teori serta pendapat beberapa sarjana, (Bandung: Tarsito, 1984),hlm. 127.. 63.

(25) partisipasi pemerintah. Penegakan hukum sendiri merupakan hal yang esensial dalam strategi pemberantasan terorisme karena terorisme sendiri harus ditindak oleh hukum yang tegas dan negara harus turun tangan pada penegakan hukum tersebut. 1.. Rule of Law Pada dasarnya Indonesia telah memiliki aturan hukum sebagai langkah berpartisipasi dalam rangka pemberantasan terorisme. Namun dalam aturan hukum tersebut yang tercantum dalam peraturan perundangundangan di Indonesia mengenai terorisme saat ini dirasa masih belum cukup untuk memberantas tindak terorisme. Dalam rangka melakukan proses hukum terhadap terorisme tersebut, terdapat empat poin penting, diantaranya:62 a). Inkapasitatif (dihilangkan kapasitasnya),. b). Retributif (membalas sesuai atau setimpal dengan perbuatan),. c). Rehabilitatif (menyembuhkan teroris yang salah jalan dalam proses pidana),. d). Restoratif (hubungan pelaku dan korban dibuat damai kembali ketika pelaku sudah selesai menjalankan masa hukumannya). Dalam proses ini hanya inkapasitatif dan retributif yang tidak. memiliki nuansa hak asasi manusianya hanya semata-mata pembalasan. Sehingga hal yang harus dikedepankan dalam upaya penanggulangan terorisme adalah mengendepankan hak asasi manusia dan bukan sematamata tindakan pembalasan.. 62 Adrianus Meliala, Rule of Law dalam Kontra Terorisme. Kuliah Terorisme dan Kontraterorisme, Program Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia. Jakarta, Pada 2 November 2015. 64.

(26) Oleh karena itu, masih adanya beberapa kelemahan substantif dalam Undang-Undang dan peraturan hukum mengenai terorisme saat ini justru akan memunculkan polemik baru khususnya mengenai klasifikasi teror atau dalam konteks teror mengenai motif politik yang tidak dapat dicari dan yang tidak dibahas dalam KUHP, serta peluang pelanggaran hak asasi manusia dalam proses hukumnya. Sehingga hal tersebut dapat segera diubah dan dilengkapi mengenai kekurangan-kekurangannya. Pendekatan kontra terorisme yang banyak dilakukan oleh negara di dunia adalah pendekatan hukum. Sehingga diperlukan peraturan hukum yang jelas dan tepat, selain itu jangan sampai ada kekosongan hukum untuk antisipasi terhadap hukum terorisme. Upaya penegakan hukum dalam. memerangi. terorisme. dilakukan. sesuai. dengan. peraturan. perundangan yang berlaku (selalu berada dalam koridor hukum). Menurut penulis, dilema penanggulangan terorisme di Indonesia terjadi bukan karena Indonesia merupakan negara demokrasi, tetapi justru karena Indonesia belum berhasil menjadi negara demokrasi yang sejati. Banyak pakar menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural dan tidak substansial.63 Rule of law belum tegak, kapasitas aparat negara untuk menerapkan hukum secara imparsial belum terwujud, dan perkembangan sistem hukum Indonesia sendiri jauh tertinggal dari perkembangan sosial masyarakatnya. Undang-undang Anti teror Indonesia dikritik banyak pihak karena pembatasan hak-hak warga negaranya tidak sepadan dengan jaminan perlindungannya sehingga rawan menjadi ajang 63. Misalnya dinyatakan Anas urbaningrum, Demokrasi di Indonesia Masih Prosedural Belum Substansial, Antara, diunduh dari http://www.antaranews.com/print/161374/demokrasi-di-indonesia-masih proseduralbelum-substansial.. 65.

(27) penyalahgunaan kekuasaan, tapi juga karena konteks Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun mengalami abuse of power, dari segi kerangka hukum dan peraturan masih kurang memadai, termasuk segi kapasitas aktor yang melaksanakannya apalagi. Dalam hal ini, sebagainya dinyatakan Wilkinson, dalam menanggulangi terorisme, negara harus tetap berada dalam koridor legal agar tindakannya tetap legitimate.64 Hal ini tentu saja tidak dapat diterapkan tanpa adanya perubahan mendasar khususnya aparat keamanan Indonesia, kepolisian, intelijen, dan militer. Tanpa itu, dilema ini akan terus berlangsung dan konsolidasi demokrasi di Indonesia yang dicapai dengan harga yang sangat mahal ini justru akan terancam, bukan saja karena overreaction dari aktor keamanan, tetapi juga karena underreaction dari pemerintah yang berpotensi memberi teroris legitimasi yang lebih besar.. 2.. Isu Hak Asasi Manusia Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan hak asasi manusia dan pada dasarnya penting karena merupakan masalah prinsip. Ada dimensi praktis yang harus menjadi pertimbangan dengan baik. Misalnya tindakan penembakan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah dalam operasi terorisme, biaya yang mahal dan cenderung tidak efisien yang memberikan kesan bahwa biaya jangka panjang mungkin lebih besar daripada manfaat jangka pendek.65. 64. Wilkinson, Paul, Terrorism versus Democracy: The Liberal State Response. (New York: Routledge, 2006), hlm. 61. 65 Steve Tsang (ed), Intelligence and Human Rights In The Era Of Global Terrorism, (London: Praeger Security International, 2007), hlm. 2.. 66.

(28) Pandangan yang demikian itu berpengaruh pula terhadap kebijakan serta politik hukum yang diambil Indonesia guna mewujudkan suatu sistem penangkal dan pemberantas bagi tindakan dan jaringan terorisme. Dalam perspektif hukum, terorisme dinobatkan sebagai suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Hal ini didukung pula oleh doktrin secara akademis, dimana terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”extra ordinary crime” . Kajian tentang hak asasi manusia (HAM) telah pula turut ambil bagian dalam menjustifikasi terorisme yang dikategorikan sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”. Mengingat kategori yang demikian, maka pemberantasan terorisme tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau penganiayaan. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan menjadi korbannya. Dengan demikian, menurut Muladi, upaya pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme memerlukan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure). Namun dalam menjalankan upaya-upaya yang telah ditetapkan lewat berbagai kebijakan yang diambil, seringkali masih menimbulkan perdebatan-perdebatan, baik perdebatan dalam konsepsi dan norma-norma hukum, sampai kepada perdebatan yang bersifat psikologis dan sosiologis. Perdebatan dalam hukum yang paling mudah ditemukan, misalnya kebijakan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku terorisme serta. 67.

(29) perintah tembak ditempat dalam rangka memburu pelaku terorisme yang tentu saja sudah bertentangan pula dengan prinsip supremsi hukum dan HAM. Sementara persoalan secara psikologis dan sosiologis, berbagai kasus terorisme yang terjadi selalu dikaitkan dengan suatu paham tertentu yang pada gilirannya menggiring memori kolektif bangsa untuk mendiskreditkan pihak tersebut, sekalipun hal itu masih memerlukan pembuktian. Indonesia merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, selama ini di Indonesia dalam penanganan terorisme misalnya dengan penyergapan, pengejaran, penembakan, maupun penangkapan oleh aparat keamanan cenderung menjadi lebih kendur. dikarenakan. tindakan-tindakan. aparat. sangat. berpeluang. melakukan pelanggaran HAM. Keinginan yang besar dalam gerakan kontra. terorisme. seringkali. berbenturan dengan bahkan terkesan. mengabaikan nilai-nilai HAM di dalamnya. Terdapat beberapa dugaan pelanggaran hukum dan ham yang kerap dilakukan oleh polisi dan Densus 88, dimana bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa penggunaan kekuatan berlebihan (excessive. use of force) yang. mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, penembakan salah sasaran (shooting innocent civilians), penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap. 66. 66 Kontras, Potret Buram Densus 88 Anti Teror Dalam Bingkai Hak Asasi Manusia, Diakses di http://www.kontras.org/buletin/indo/DENSUS.pdf, Pada 7 November 2016 Pukul 12.30 WIB. 68.

(30) Dilain sisi sangat dilematis dimana pelaku terorisme cukup berbahaya dan dilengkapi dengan persenjataan sementara aparat keamanan kerap terbentur oleh isu HAM. Namun demikian Hak asasi manusia memiliki peran sentral dalam pemenuhan semua aspek dari strategi kontra terorisme. Beberapa negara telah terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam melawan terorisme, sedangkan perlindungan hukum untuk mencegah penyiksaan sering diabaikan.67 Sekjen PBB Kofi Anan menekankan bahwa tindakan kontra terorisme yang efektif tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan tujuan, namun saling melengkapi dan saling memperkuat.68 Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang baik.69 Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundangundangannya belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksananya.70 Menurut. 67 Alex Conte, Human Rights in the Prevention and Punishment of Terrorism, Commonwealth Approaches: The United Kingdom, Canada, Australia, and New Zealand, (London : Springer, 2010), hlm 390. 68 Ibid, hlm 391. 69 Fuady, Munir. Perseroan terbatas paradigma baru. Cet. I. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2003). hlm. 40. 70 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor: Ghalia, 2008), hlm. 97.. 69.

(31) Lawrence Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum dari Stanford University, ada empat elemen utama dari sistem hukum (legal system), yaitu: a.. Struktur Hukum (Legal Structure). b.. Isi Hukum (Legal Substance). c.. Budaya Hukum (Legal Culture). d.. Dampak Hukum (Legal Impact). Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Pertama: Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Menurut Soekanto, faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: 1.. Faktor undang-undang Undang-undang (dalam arti materil) yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut, antara lain: a.. Tidak diikutinya dengan benar asas-asas berlakunya undangundang yang bersangkutan;. b.. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang yang bersangkutan;. 70.

(32) c.. Ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang mengakibatkan. kesimpangsiuran. dalam. penafsiran. serta. penerapannya. 2.. Faktor Penegak Hukum Penegak hukum mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum. Ada beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan penegakan hukum pada unsur penegak hukum ini. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri penegak hukum itu sendiri atau pun dari lingkungan luar, antara lain: a.. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;. b.. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi;. c.. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali membuat suatu proyeksi;. d.. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel;. e.. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.. 3.. Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana atau fasilitas yang dimaksud antara lain mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Dan lainlain. Sarana dan fasilitas ini mempunyai peranan penting dalam proses. 71.

(33) penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, penegak hukum tidak mungkin dapat menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang senyatanya. 4.. Faktor masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. Kompetensi hukum itu tidak mungkin ada, apabila masyarakatnya: a.. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, bahwa hak-hak mereka telah dilanggar atau diganggu;. b.. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingannya;. c.. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik;. d.. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya;. e.. Mempunyai pengalaman-pengalaman yang kurang baik dalam proses interaksi dengan berbagai unsur kalangan hukum formal.. 5.. Faktor Kebudayaan Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga diikuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).. 72.

(34) Kelima faktor ini akan sangat mempengaruhi apakah penegakan hukum tersebut akan berjalan lancar atau akan mengalami hambatan-hambatan tertentu. Akibat adanya berbagai faktor yang mengganggu, maka penegakan hukum sulit terwujud dalam bentuknya yang total.71 Apabila dipergunakan sarana penal/hukum pidana saja, maka ada keterbatasan didalamnya ditinjau dari sudut terjadinya kejahatan dan dari sudut hakikat berfungsi/bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Menurut Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negative), antara lain: a.. Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam atau keras disebut sebagai ultimum remedium;. b.. Secara. fungsional/pragmatis,. operasionalisasi. dan. aplikasinya. memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi, anatara lain: berbagai undang-undang organik, lembaga atau aparat pelaksana dan lebih menuntut biaya tinggi. c.. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif atau paradoksal dan memandang unsur/atau efek samping yang negative;. d.. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom (menanggulangi/menyembuhkan gejala). Jadi, hukum atau sanksi pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks diluar jangkauan hukum pidana;. 71. Ibid. 73.

(35) e.. Hukum atau sanksi hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol social yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya);. f.. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual atau personal, tidak bersifat struktural atau fungsional;. g.. Keefektifan pidana masih bergantung kepada banyak faktor, karena itu masih sering dipermasalahkan.. 2.1.3. Teori Hukum Sebagai Suatu Sistem Peraturan Pandangan dan tinjauan dari segi bentuknya, sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur (elemen). Unsur, komponen, atau bagian yang membentuk antara satu sama lain saling memiliki keterkaitan yang mengikat dan fungsional. Masing-masing kohesif satu sama lain, sehingga ketotalitasannya unit terjaga utuh eksistensinya. Jadi pengertian sistem, disamping dapat diterapkan pada hal yang bersifat “immaterial” atau suatu proses “immaterial”, juga dapat diterapkan pada hal yang bersifat material. Untuk yang bersifat “immaterial” penguraian atau penentuan “model”-nya lebih cenderung berfungsi sebagai alat analisis dan merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur atau metode. Sistem adalah suatu cara. yang. mekanismenya. berpatron. mekanismenya sering disebut otomatis.. 74. (berpola). dan. konsisten,. bahkan.

(36) Sementara itu menurut David Easton72 sistem adalah: Teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah). Easton juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut: 1) Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang terutama dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi. 2) Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat). Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output). Carl. D. Friedrich73 dalam buku “man and his Government” mengemukakan definisi sistem, yaitu: Apabila beberapa bagian yang berlainan dan berbeda satu sama lain membentuk suatu kesatuan, melaksanakan hubungan fungsional yang tetap satu sama lain serta mewujudkan bagian-bagian itu saling tergantung satu sama lain. Sehingga kerusakan suatu bagian mengakibatkan kerusakan keseluruhan, maka hubungan yang demikian disebut sistem.74 Sedangkan teori sistem menurut Michael Rush dan Philip Althoff75 menyatakan bahwa gejala sosial merupakan bagian dari politik tingkah laku yang konsisten, internal dan reguler dan dapat dilihat serta dibedakan, karena itu kita bisa menyebutnya sebagai: sistem sosial, sistem politik dan sejumlah sub-sub sistem yang saling bergantung seperti ekonomi dan politik. 72. Easton, David, dan Sahat Simamora (alih bahasa), Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 395. 73 Friedrich, Carl J, Man and His Government. (New York: McGraw-Hill, 1963), hlm. 235 74 Sukarna,. Sistem Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 19. 75 Rush, Michael dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1988), hlm. 19.. 75.

(37) Sebenarnya tiap-tiap sistem yang ada dalam masyarakat itu tidak otonom atau tertutup tetapi terbuka, dalam arti suatu sistem akan dipengaruhi oleh sistem yang lain. Setiap sistem akan menerima input dari sistem lainnya dan sistem akan memproses input tersebut dalam bentuk output bagi sistem lainnya. David Easton dalam karyanya A System Analysis of Political Life mencoba menggambarkan kemungkinan melihat kehidupan politik dari terminologi sistem. Sistem adalah konsep simulasi dari totalitas. Untuk melihat kehidupan sosial, sistem dapat bermakna kenyataan sosial yang terintegrasi dari kompleksitas berbagai unit yang ada serta bersifat interdependen.76 Jadi perubahan unit-unit sosial akan menyebabkan perubahan pada unit-unit lainnya dalam satu totalitas. Konsep sistem menyatakan bahwa sebuah sistem dapat ditetapkan sebagai sekumpulan elemen atau unsur yang berdiri di dalam interrelasi. Sistem dapat ditetapkan secara matematis dengan berbagai cara. Sebagai ilustrasi, dapat dipilih sistem dari persamaan-persamaan diferensial simultan. Tak ada pembicaraan masalah finalitas yang mendetail, tetapi dapat disampaikan tipe finalitas, antara lain: a.. Teleologi statis, berarti bahwa persesuaian berguna bagi tujuan tertentu.. b.. Teleologi dinamis, berarti kelangsungan proses-proses.. Ada tiga prasyarat untuk keberadaan isomorfik dalam bidang dan ilmu pengetahuan yang berbeda, yaitu adanya analogis-analogis, homologis, dan penjelasan. Analogis secara ilmiah mungkin kurang bermanfaat, namun homologis sebaliknya seringkali menghadirkan model-model bernilai, sehingga secara luas dapat diterapkan dalam fisika. Sementara secara filsafat, teori sistem 76 Susser, Bernard, Approaches to The Study of Politics. (New York: Macmillan Publishing Company. 1992), hlm.189.. 76.

(38) umum dalam bentuk perkembangannya, akan menggantikan apa yang dikenal dengan teori kategori. Setiap sistem memiliki tujuan (Goal), entah hanya satu atau mungkin banyak. Tujuan inilah yang menjadi pemotivasi yang mengarahkan sistem. Tanpa tujuan, sistem menjadi tak terarah dan tak terkendali. Tentu saja, tujuan antara satu sistem dengan sistem yang lain berbeda. Dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya. Dalam hal sistem, definisi sistem yang dikemukakan mengandung implikasi yang sangat berarti terhadap hukum terutama berkaitan dengan aspek:77 1.. Keintegrasian;. 2.. Keteraturan;. 3.. Keutuhan;. 4.. Keteror-ganisasian;. 5.. Keterhubungan komponen satu sama lain; dan. 6.. Ketergantungan komponen satu sama lain.. Dalam beberapa literatur bahwa pandangan terhadap hukum sebagai sebuah sistem bukanlah suatu hal baru. Sebagian ahli hukum memiliki keyakinan bahwa teori hukum yang mereka kemukakan di dalamnya terdapat sistem. Hukum merupakan sistem, ini berarti bahwa hukum itu adalah sebuah tatanan, dimana. 77 Ludwig Von Bertalanffy, General System theory: Foundations, Development, Applications, Resvised Edition, (New York: Goerge Braziller, 1968).. 77.

(39) hukum merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari komponenkomponen yang saling kohesif satu sama lain. Dalam rangka mencapai tujuan hukum, maka kesatuan dari komponen maupun unsur hukum tersebut perlu bekerjasama menurut rencana dan pola yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam sebuah sistem hukum yang baik tidak boleh terjadi pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih di antara bagianbagian yang ada. Jika hal tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikan hingga tidak berlarut. Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan sub-sistem. Kesemuanya itu bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleksitas unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas-asas hukum dan pengertian hukum. Hans Kelsen menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak). Teori tangga menggambarkan dasar berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang diatasnya. Kaidah-kaidah hukum dan norma-norma hukum tentang deradikalisasi yang termuat dalam Perpres no 46 tahun 2010 tersebut tidak ada acuan secara jelas dari peraturan diatasnya, selain itu sebagai norma hukum di bawah undang-undang seharusnya lebih lengkap dan aplikatif, akan tetapi kenyataan saat ini tidak demikian. Persoalan legal formal tersebut berimplikasi menjadi penghambat. 78.

(40) BNPT dalam melaksanakan program deradikalisasi secara efektif. Tidak adanya aturan secara jelas dan kuat membatasi ruang gerak koordinasi, belum adanya sinkronisasi program kerja antara lembaga terkait, saat ini fungsi koordinasi antara pemangku kepentingan terkait Undang-Undang Terorisme baik pada jajaran pemerintahan pusat maupun instansi daerah tidak berjalan maksimal dikarenakan fungsi koordinasi belum sampai pada tingkat pimpinan kementerian kelembagaan. karena. aturan. hukum. yang. mengatur. fungsi. koordinasi. penanggulangan terorisme tersebut masih pada tingkat peraturan Presiden. Berdasarkan justifikasi teoritikal yang digunakan sasaran yang akan dicapai bahwa berkerjanya hukum sebagai suatu sistem dilandaskan pada penerapan aturan hukum di dalam suatu kebijakan yang berdaya guna dan memberikan kemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari kerangka pembentukan hukum di dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia yang berorientasi pada keadilan dan kemanfaatan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.78 Perkataan lain. hukum. yang dibuat. haruslah. disesuaikan. dengan. perkembangan dinamika dan memperhatikan aspek keadilan79 dan memberikan perlindungan untuk menciptakan tertib hukum, di sinilah fungsi hukum sebagai aturan. Fungsi hukum harus bersifat otonom (autonomous law) dan responsif (responsive law).80. 78. Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 92, bahwa konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam konsep yang demikian, pelaksanaan pembangunan hukum mempunyai fungsi sebagai pemelihara dalam ketertiban dan keamanan, sebagai sarana pembangunan, sarana penegak keadilan, dan sarana pendidikan masyarakat. 79 John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hlm. 3, bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi tidak peduli betapapun efesien dan rapinya harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. 80 Philippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, Harper Torchbooks, (New York, Hagerstown, San Francisco, London, 1978), hlm. 16.. 79.

(41) Adanya pandangan agar hukum dapat membentuk dan merubah suatu keadaan dalam masyarakat sebenarnya telah lama dikembangkan oleh Roscoe Pound dengan teori yang terkenal “law as a tool of social engineering”.81 Atas dasar pendekatan dan pengkajian filsafat hukum inilah maka hukum yang akan dibangun dalam rangka menanggulangi terorisme akan tetap berlandaskan nilai ideologi, nilai budaya, nilai historis, nilai sosiologis dan nilai yuridis.. 2.2. Kerangka Konseptual 2.2.1. Tindak Pidana Terorisme Usaha menanggulangi tindak pidana terorisme memerlukan kerja keras. dari Pemerintah Indonesia melalui aparat penegak hukumnya dan peran serta masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana terorisme. Menurut Sudarto tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dan juga merupakan suatu pengertian yuridis. Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti ”strafbaar feit” dan hingga saat ini pembentuk undangundang senantiasa menggunakan istilah tindak pidana dalam peraturan perundangundangan.82 Secara dogmatif masalah pokok yang berhubungan dengan Hukum Pidana ada 3 (tiga) hal, yaitu: a.. Perbuatan yang dilarang. b.. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.. c.. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar itu.. Pengertian Tindak Pidana Terorisme menurup Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah. 81. Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law , 1999, hlm. 138 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), hlm. 38-39. 82. 80.

(42) Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang adalah: Tindak Pidana Terorisme adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Pasal 5 dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur hal yang menarik dan bersifat khusus, yaitu : Tindak Pidana Terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 tersebut dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak dapat berlindung di balik latar belakang, motivasi, dan tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan penghukuman terhadap pelakunya. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain. Pengecualian tindak pidana terorisme dari tindak pidana politik yang ada di Indonesia, ternyata berbeda dengan yang ada di negara lain. Sebagai perbandingan misalnya yang diatur dalam Undang-Undang Terorisme di Negara Inggris, Kanada, dan Singapura. a.. Negara Inggris, Terorism act 2000. UK. Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri : 1.. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan,. 81.

(43) menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi seseorang tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik. 2.. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik.. 3.. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideologi.. 4.. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak.. b.. Negara Kanada, (Departemen of Justice, 2002 : 2) Tindak pidana terorisme merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan politik, agama atau ideologi yang mengancam masyarakat atau keamanan nasional dengan pembunuhan, secara serius menyakiti atau membahayakan seseorang, menyebabkan hak milik menjadi rusak secara serius, menyakiti atau dengan mengganggu barang-barang yang berguna, fasilitas atau sistem.. c.. Negara Singapura Negara Singapura juga memasukkan dalam peraturannya mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme yang menyangkut ”terrorist act often contain elements of warfare, politics and propaganda”, yang artinya suatu kejahatan yang bermotif politik yang dilakukan dengan. 82.

(44) propaganda-propaganda. Dalam perundang-undangan terorismenya, Singapura juga mengatur perlindungan terhadap diplomat-diplomat negara asing dan fasilitas-fasilitas internasional. Ketentuan pengaturan tindak pidana terorisme dengan motif-motif politik sebagaimana terdapat di Inggris, Kanada dan Singapura sebagaimana tersebut di atas, kemungkinan didasarkan pada pandangan bahwa kejadian-kejadian terorisme yang seringkali terjadi banyak dilatarbelakangi faktor politik, bahkan agama atau ideologi tertentu. Sedangkan untuk negara Indonesia yang multi etnis dan multi agama, terorisme tidak didasarkan pada faktor politik, agama maupun ideologi tetapi terfokus pada cara untuk melakukan tindak pidana terorisme yaitu kekerasan dan ancaman kekerasan yang mempunyai akibat luar biasa yaitu hilangnya nyawa manusia atau rusaknya harta benda dan menimbulkan rasa takut terhadap manusia secara luar biasa. Pemerintah Republik Indonesia dibebani oleh amanat sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni, agar negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional, trans-nasional apalagi yang bersifat internasional. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang bersandar kepada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dirumuskan dalam suatu Undang-Undang yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam mengatasi tindak pidana terorisme. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang. 83.

(45) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa: Tindak Pidana Terorisme adalah perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Dr. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subyektif dalam strafbaar feit, yaitu:83 1.. 2.. Unsur Objektif dari strafbaar feit, adalah : a.. Perbuatan orang.. b.. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.. c.. Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.. Unsur Subyektif dari Strafbaar feit adalah: a.. Orang yang mampu bertanggung jawab.. b.. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang akan dibahas dalam dua bagian yaitu: kesatu, unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme, dan kedua, tindak pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme. Sanksi hukuman untuk pelaku tindak pidana terorisme diatur tersendiri, karena perbuatan terorisme sangat luas sekali pengertiannya yaitu termasuk perusakan lingkungan hidup. Di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UndangUndang dinyatakan bahwa pengertian tindak pidana terorisme yaitu: 83. Sudarto, Ibid, hlm. 41.. 84.

(46) “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Sanksi hukuman untuk pelaku tindak pidana terorisme diatur tersendiri, karena perbuatan terorisme sangat luas sekali pengertiannya yaitu termasuk perusakan lingkungan hidup. Didalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.” 84 Termasuk juga perbuatan terorisme sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, yaitu: a.. Menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;. 84. Ibid. 85.

(47) b.. Menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;. c.. Melawan. hukum. menghancurkan,. merusak,. mengambil,. atau. memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; d.. Menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;. e.. Melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;. f.. Melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;. g.. Menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak;. h.. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;. 86.

(48) i.. Dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;. j.. Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;. k.. Melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;. l.. Melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;. m. Melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan. kerusakan. atas. pesawat. udara. tersebut. yang. menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan; n.. Melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya. 87.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil nilai kekuatan tarik tertinggi pada pengujian tarik didapatkan pada proses tempering dengan temperatur 300°C dengan holding time selama 30 menit yaitu sebesar

Ari Prasetyo mengungkapkan, apabila dalam sebuah gendhing menggunakan pancer lebih dari satu, maka pada tabuhan pancer yang dimaksud adalah balungan maju kembar yang

Justeru, kajian ini penting untuk memperkenalkan kritikan fitrah yang telah dikemukakan oleh Sohaimi Abdul Aziz sebagai satu bentuk kritikan sastera yang berasaskan

Berdasarkan hasil penelitian dan bahasan dapat disimppulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara infeksi virus hepatitis C kronik dengan kualitas hidup pasien PGK

Dan mengacu pada situasi ekonomi Indonesia saat ini dan kondisi industri pakaian jadi skala kecil dan menengah di Semarang pada khususnya yang terus mengalami penurunan, maka

Dengan menggunakan sistem pracetak ini, merupakan solusi yang baik dan tepat untuk membangun gedung bertingkat dengan waktu yang cepat karena komponen struktur

Pada teori dinyatakan bahwa ketika Total Assets Turnover (TATO) dan Fixed Assets Turnover (FATO) naik, maka Net Profit Margin (NPM) akan mengalami kenaikan dan begitu pula

Melaksanakan interaksi edukatif pada dasarnya tidak bisa dilakukan dengan gegabah dan diluar kesadaran kita, apalagi tidak adanya rencana tujuan, karena