• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencitraan Diagnostik Kasus Asbestosis dan Diagnosis Diferensialnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pencitraan Diagnostik Kasus Asbestosis dan Diagnosis Diferensialnya"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

660

PENDAHULUAN

Dalam suatu lingkungan kerja, dapat ditemu-kan gangguan kesehatan akibat faktor kerja, termasuk gangguan organ paru. Gangguan paru dapat terjadi secara akut dan kronis, ber-hubungan dengan terhirupnya materi orga-nik maupun anorgaorga-nik dari tempat kerja. Ma-teri tersebut berupa bahan kimia, gas, debu, dan lainnya. Salah satu gangguan paru yang mungkin terjadi adalah pneumokoniosis.1

Pneumokoniosis adalah penyakit fi brotik jaringan parenkim paru yang disebabkan oleh terhirupnya debu anorganik dalam jangka lama. Penyakit yang termasuk dalam golongan pneumokoniosis adalah silikosis, pneumokoniosis penambang batu bara (coal

worker’s pneumoconiosis, CWP), asbestosis,

dan lainnya. Bahasan selanjutnya mengenai asbestosis, terutama mengenai pencitraan diagnostik dalam kaitannya untuk deteksi dini.2

Asbestosis adalah pneumokoniosis yang disebabkan oleh akumulasi Pajanan serat

asbestos. Gangguan lain yang dapat

disebabkan oleh asbestos adalah kanker paru dan mesotelioma.1 Istilah asbestosis pertama

kali dikemukakan oleh Cooke pada 1927, setelah pada 1906 dilaporkan kasus kematian akibat asbestos.3,4,5

Asbestos adalah kelompok mineral silikat fi brosa dari logam magnesium dan besi yang sering digunakan sebagai bahan baku industri tegel lantai dan atap.3 Asbestos telah

dikenal sejak zaman batu dan makin banyak digunakan setelah masa revolusi industri pada akhir abad ke-19. Produksi asbestos meningkat tajam hingga tahun 1970-an. Walaupun telah diketahui dapat mengganggu kesehatan, hingga kini asbestos masih banyak digunakan dalam industri dan konstruksi di negara berkembang.3,6,7 Negara maju, seperti

Amerika Serikat, telah melarang penggunaan asbestos sejak tahun 1970-an sampai 1980-an. Walaupun demikian, negara seperti Kanada dan Rusia masih mengekspor asbestos ke negara maju baru dan negara berkembang

seperti negara-negara di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, dan Afrika.1

EPIDEMIOLOGI ASBESTOSIS

Pajanan terhadap asbestos dibagi menjadi tiga kategori, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pajanan primer secara langsung terjadi pada penambang asbestos. Pajanan sekunder didapatkan pada pekerja industri yang menggunakan asbestos seperti pada pekerja konstruksi. Sedangkan Pajanan tersier adalah Pajanan non-okupasi yang disebabkan oleh polusi udara. Pajanan tersier tidak memiliki risiko yang signifi kan terhadap terjadinya asbestosis.3

Dalam studi di Amerika Serikat, asbestosis terdeteksi pada 10% pekerja penambang asbestos yang bekerja selama 10-19 tahun dan pada 90% pekerja yang telah bekerja selama lebih dari 40 tahun. Laju kematian asbestosis setelah tahun 1970 cenderung meningkat dan pada negara maju menurun setelah tahun 2000. Kini, CDC memperkirakan

Pencitraan Diagnostik Kasus Asbestosis dan

Diagnosis Diferensialnya

Andreas Erick Haurissa

Dokter Umum di Puskesmas Menjalin, Kecamatan Menjalin Kabupaten Landak, Kalimantan Barat

ABSTRAK

Asbestosis adalah salah satu pneumokoniosis yang sering terjadi dan menyebabkan banyak masalah kesehatan terutama pada mereka yang bekerja dalam Pajanan asbestos. Hal yang diperlukan untuk mencegah progresivitas asbestosis adalah tindakan pencitraan diagnostik untuk deteksi dini. Tetapi modalitas radiologi umum ternyata memiliki beberapa keterbatasan akurasi; oleh sebab itu diperlukan pertimbangan diag-nosis diferensial pneumokoniosis lainnya.

Kata kunci: asbestosis, pneumokoniosis, kesehatan kerja, radiologi

ABSTRACT

Asbestosis is a pneumoconiosis that often causes health problems among workers with asbestos exposure. Early screening and radiological detection are needed to prevent progression of asbestosis. However, common x-ray radiological modalities have several limitation in accura-cies. Therefore, we need diff erential diagnosis on radiological fi ndings. Andreas Erick Haurissa. Diagnostic Imaging in Asbestosis and Its

Diff erential Diagnosis.

Key words: asbestosis, pneumoconiosis, occupational health, radiology

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 660

(2)

661

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

terdapat 1.290 kematian akibat asbestosis di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan rata-rata usia penderita sekitar 79 tahun.8 Kematian

akibat asbestosis merupakan 28% dari semua kasus kematian akibat pneumokoniosis.1

Namun, laju kematian akibat asbestosis seringkali menjadi bias oleh adanya kanker

paru dan mesotelioma.8 Pada studi The

Surveillance of Australian Workplace Based Respiratory Events (SABRE) ditemukan kasus

asbestosis sebanyak 10,2% dari 3.151 kasus penyakit paru okupasi.5

PATOFISIOLOGI ASBESTOSIS

Proses patofi siologi asbestosis diawali dengan inhalasi serat asbestos. Serat berukuran besar akan tertahan di hidung dan saluran pernapasan atas dan dapat dikeluarkan oleh sistem mukosiliaris. Serat berdiameter 0,5-5 mikrometer akan tersimpan di bifurcatio saluran, bronkioli, dan alveoli. Serat asbestos akan menyebabkan cedera sel epitel dan sel makrofag alveolar yang berusaha memfagosit serat. Beberapa serat akan masuk ke dalam jaringan intersisium melalui penetrasi yang dibawa oleh makrofag atau epitel. Makrofag yang telah rusak akan mengeluarkan reactive

oxygen species (ROS) yang dapat merusak

jaringan dan beberapa sitokin, termasuk

tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1,

dan metabolit asam arakidonat yang akan memulai infl amasi alveoli (alveolitis). Sel epitel yang terganggu juga mengeluarkan sitokin.1-4

Gangguan asbestos berskala kecil tidak akan menimbulkan gangguan setelah infl amasi terjadi. Namun bila serat terinhalasi dalam kadar lebih tinggi, alveolitis akan terjadi lebih intens, menyebabkan reaksi jaringan yang lebih hebat. Reaksi jaringan ini menyebabkan fi brosis yang progresif, yaitu pengeluaran sitokin profi brosis seperti fi bronektin,

fi broblast growth factor, platelet-derived growth factor, dan insulin-like growth factor yang akan

menyebabkan sintesis kolagen.4

MANIFESTASI KLINIS, DIAGNOSIS, DAN TERAPI ASBESTOSIS

Awitan gejala asbestosis biasanya akan timbul 20 tahun setelah Pajanan awal. Tanda dan gejala asbestosis kebanyakan tidak khas dan mirip penyakit paru restriktif lainnya. Gejala paling sering dan juga merupakan tanda awal adalah munculnya dispnea saat beraktivitas. Dispnea akan berkembang progresif lambat

dalam beberapa tahun. Dispnea tetap akan memburuk walaupun pasien tidak lagi terpapar asbestos. Gejala lainnya adalah batuk produktif atau batuk kering persisten, rasa sesak dan nyeri pada dada, serta adanya mengi.2,3

Pada pemeriksaan dapat ditemukan rhonki basal paru bilateral (pada 60% pasien) yang terdengar pada akhir fase inspirasi. Sering ditemukan pula jari tabuh (digital clubbing) pada 30-40% pasien dan pada asbestosis lanjut. Gangguan lain yang perlu diperhati-kan adalah adanya cor pulmonale, kegana-san yang terkait asbestosis, seperti kanker paru, kanker laring, bahkan kanker gaster dan pankreas.2,4

Pada pemeriksaan fungsi paru akan didapat-kan pola restriktif dengan penurunan kapa-sitas vital, kapakapa-sitas total paru, dan kapakapa-sitas difusi, dengan hipoksemia arterial. Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity, FVC) akan menurun <75%.1 Dapat juga didapatkan pola

obstruktif disebabkan fi brosis dan penyempi-tan bronkioli.4

Pada gambaran histopatologi dapat diperoleh gambaran parenkim paru yang kasar hingga adanya gambaran sarang lebah (honey-comb). Gambaran ini didapati bilateral, sering di lo-bus inferior. Secara mikroskopis didapati pen-ingkatan kolagen intersisial sehigga membuat fi brosis menjadi tebal. 3,4

Pada pemeriksaan radiologis, diagnosis

memerlukan adanya tanda fi brosis paru

pada pasien dengan Pajanan asbestosis yang bermakna. Fibrosis paru biasanya pertama kali diketahui melalui pemeriksaan radiografi

thorax, dan dapat dikonfi rmasi melalui

pemindaian CT beresolusi tinggi.3,4 Namun,

ada pasien dengan asbestosis radiografi s yang tidak menunjukkan gejala klinis asbestosis. Sebaliknya 10-20% pasien dengan bukti histopatologis fi brosis memiliki gambaran roentgen yang normal. 3

Diagnosis asbestosis dapat ditegakkan dengan adanya riwayat Pajanan asbestos, adanya selang waktu yang sesuai antara Pajanan dengan timbulnya manifestasi klinis, gambaran dari roentgen thorax, adanya gambaran restriktif dalam pemeriksaan paru, kapasitas paru yang terganggu, dan rhonki bilateral basal paru.9

Hingga kini tidak ada terapi yang efektif untuk asbestosis paru, terapi hanya bersifat suportif dan paliatif. Penggunaan anti infl amasi steroid dan kolkisin tidak bermanfaat.4

Gagal pernapasan dapat dibantu dengan pemberian oksigen tambahan. Yang perlu adalah pencegahan, yaitu menghentikan atau menghindari Pajanan asbestos. Para pekerja yang berisiko tinggi terhadap asbestosis, sangat dianjurkan agar melakukan pemindaian (screening) kesehatan minimal satu kali dalam satu tahun.2

PENCITRAAN DIAGNOSTIK ASBESTOSIS

Pemeriksaan radiologis atau pencitraan diagnostik sangat diperlukan dalam kasus

asbestosis karena tanda fi brosis dapat

ditemukan dengan modalitas radiologis. Pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis asbestosis paru adalah pemeriksaan roentgen dan pemindaian CT (CT-Scan).10

Pemeriksaan roentgen

Pada pemeriksaan roentgen dapat ditemukan beberapa gambaran radioopak kecil linier iregular, lebih banyak di basal paru (Gambar 1). Berdasarkan klasifi kasi ILO (International

Labour Organization) 1980, “gambaran opak

kecil iregular” adalah bayangan linier iregular di parenkim paru dan mengaburkan gambaran bronkovaskular paru.Selain itu sering pula ditemukan garis septal, yaitu penebalan fi brosa pada lobul-lobul. 3,9

Ada tiga tingkatan gambaran roentgen sesuai dengan perjalanan asbestosis. Pada tahap awal, dapat diperoleh gambaran pola retikular pada basal paru, ground-glass appearance, yang dapat menggambarkan proses alveolitis dan fi brosis intersisial. Tahap kedua ditandai dengan peningkatan bayangan opak kecil iregular menjadi pola intersisial yang luas. Pada tahap ini gambaran dapat mengaburkan batas jantung atau shaggy heart border (Gambar 2). Pada tahap akhir, dapat menjadi pola intersisial kasar dan honey-comb pada paru atas, namun gambaran ini jarang ditemukan.3,9 Dähnert menegaskan bahwa

dalam pemeriksaan roentgen jarang sekali ditemukan fi brosis masif; bila ada, biasanya terjadi di basal paru tanpa pergerakan ke hilus. Tidak ditemukan adenopati hilum ataupun mediastinal, yang membedakan asbestosis dengan silikosis atau CWP.9Selain itu sering

ditemukan pula penebalan pleura berupa plak pleura (Gambar 3) disertai fi brosis paru,

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 661

(3)

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

662

biasanya di lapangan paru bawah, terutama paru kiri di sekitar parakardial yang menutupi batas jantung kiri. Selain itu sering ditemukan juga karsinoma bronkogen.9,11,12

Pemeriksaan roentgen pada asbestosis bersifat non-spesifi k, yang dapat memberikan tingkatan positif-palsu yang tinggi. Tingkat keakuratannya berkisar antara 40-90%.3

Gambar 1 Roentgen toraks yang memperlihatkan

bayangan opak linear ireguler pada basal paru, mengindikasikan asbestosis ringan3

Gambar 2 Roentgen toraks laki-laki 54 tahun dengan

asbestosis: Terdapat gambaran opak linear kasar pada basal paru, cenderung meningkat pada paru kiri, batas jantung dan diafragma menjadi kabur (shaggy border sign) 3

Gambar 3 Gambaran plak pleura (tanda panah): Plak

bersifat simetris, terletak lateral dan dapat berada di sebelah atas diafragma12

Pemeriksaan CT-Scan

Pada pemeriksaan CT beresolusi tinggi (High

Resolution Computed Tomography, HRCT)

dapat ditemukan asbestosis tahap awal berupa gambaran opak bulat, kecil, intralobular; septa intralobular menebal (Gambar 4), adanya garis kurvilinear subpleura (Gambar 5), dan pita parenkimal. (Gambar 6) Penebalan septa

menunjukkan adanya fi brosis. Gambaran

honey-comb (Gambar 7) pada fase lanjut

dapat ditemukan, namun jarang. Seperti pada pemeriksaan roentgen, penemuan radiologis lebih sering ditemukan pada basal paru.3,9

Garis subpleura ditemukan 1 cm dari pleura. Biasanya garis berukuran 5-10 cm dan mungkin menunjukkan fi brosis di daerah bronkiolar dan atelektasis. Sedangkan pita parenkimal adalah bayangan opak linear tebal dengan ukuran 2-5 cm, yang melintasi paru dan menyentuh permukaan pleura. Pita parenkimal berhubungan dengan distorsi anatomis paru.3 Selain itu dapat ditemukan

pula gambaran pada pleura, yaitu penebalan pleura yang membentuk plak pleura. Penebalan ini bersifat bilateral, dan terdapat kalsifi kasi. (Gambar 8).13,14

CT-scan dinilai lebih sensitif mendeteksi

asbestosis dibandingkan dengan radiografi konvensional, terutama untuk menilai asbestosis awal. Tetapi penemuan pada

CT-scan tidak spesifi k hanya untuk asbestosis.

Gamsu dkk., menunjukkan bahwa diagnosis asbestosis memerlukan penemuan tiga macam gambaran.15

Gambar 4 Gambaran CT-scan pada paru inferior yang

menunjukkan garis septa menebal (panah putih) dan gambaran opak intralobular subpleura (anak panah hitam). Ditemukan juga plak pleura difragmatika yang terkalsifi kasi pada bagian kiri3

Gambar 5 Gambaran CT-scan pada inferior paru yang

menunjukkan gambaran opak kurvilinier subpleura (anak panah putih) dan garis intersisial yang menebal (anak panah hitam) 3

Gambar 6 Gambaran CT scan resolusi tinggi pada bagian

medial paru menunjukkan pita parenkimal (ditunjuk dengan anak panah)3

Gambar 7 Gambaran CT scan menunjukkan asbestosis

lanjut: Terdapat perusakan jaringan berupa honey-comb (anak panah) 12

Gambar 8 Gambaran CT scan pada mediastinal window

setingkat vena cava inferior suprahepatica, menunjukkan penebalan pleura (panah) pada lobus bawah di kedua paru, mengindikasikan adanya plak pleura13

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 662

(4)

663

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012 Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan resonansi magnetik (magnetic

resonance imaging, MRI) jarang dilakukan.

Bekkelund dkk.(1998) menyebutkan MRI lebih sensitif dibandingkan radiografi konvensional dalam menemukan fi brosis subklinis pada 17 pasien.16 Weber dkk. menemukan sensitivitas

MRI untuk deteksi klasifi kasi plak sebesar 88%; MRI dapat menilai lebih baik adanya penebalan pleura dan efusi pleura.17

Pemeriksaan radiologi nuklir

Pemeriksaan asbestosis dengan pencitraan nuklir pernah dilakukan dengan Gallium-67, namun sudah tidak dilakukan lagi dengan adanya CT-Scan. Gallium-67 dapat membantu mendiagnosis asbestosis pada pasien dengan radiografi normal. Gallium-67 dapat menandakan aktivitas infl amasi karena isotop ini dapat diambil oleh makrofag alveolar.18 PENCITRAAN DIAGNOSTIK PADA DIAGNOSIS DIFERENSIAL ASBESTOSIS

Asbestosis paru perlu dibedakan dari penyakit paru akibat bahan debu lain yang digolongkan dalam pneumokoniosis. Pneumokoniosis dapat digolongkan fi brotik (asbestosis, silikosis, pneumokoniosis pekerja tambang batu bara, beriliosis, talkosis) dan non-fi brotik (inhalasi oksida besi dan partikel barium sulfat). Yang akan dibahas adalah silikosis, inhalasi debu batu bara, beriliosis, dan talkosis, serta perbedaaannya dengan pneumonia interstisial.

Silikosis

Silikosis disebabkan oleh inhalasi kristalin silikon dioksida (silika). Pada gambaran radiografi s dan CT-scan silikosis sederhana (Gambar 9 dan 10) dapat ditemukan pola bayangan opak kecil, dan bulat ireguler di lobus superior dan media, dibedakan dari asbestosis yang cenderung di lobus inferior. Pada gambaran awal dapat ditemukan gambaran fi brosis tipis di sekitar bronkovaskular, hingga menjadi noduler pada fase lanjut. Gambaran lainnya adalah kelenjar hilus dapat membesar disertai kalsifi kasi tipis (gambaran kulit telur, egg shell

apperance).11,13

Keadaan silikosis akut (Gambar 11) memberikan gambaran konsolidasi atau pemadatan bilateral dan/atau tampakan ground-glass yang lebih sering di regio perihilus. Pada

CT-scan dapat ditemukan noduler sentrilobular

bilateral dengan opasitas ground-glass dan

konsolidasi, serta retikulasi intralobular (crazy

paving).9,13

Gambar 9 Gambaran silikosis sederhana dengan nodul

kecil di kedua paru terutama di bagian superior dan media paru13

Gambar 10 Gambaran CT scan pasien yang sama dengan

Gambar 9, didapatkan gambaran nodul13

Gambar 11 Gambaran CT scan pada silikosis akut dengan

tampakan ground-glass dan penebalan septal interlobular (anak panah hitam)13

Pneumokoniosis penambang batu bara (coal worker’s pneumoconiosis, CWP)

Pada CWP, biasanya ditemukan gambaran opak noduler kecil (1-5 mm), sering di lobus atas paru fi brosis masif dan progresif.9 Saat

pe-meriksaan radiologis (Gambar 12), ditemukan mirip tampakan pada silikosis.13

Gambar 12 Gambaran CT scan seorang pekerja tambang

batu bara; anak panah menunjukkan gambaran sentrilobular dan kepala panah menunjukkan nodul13

Beriliosis

Beriliosis adalah penyakit paru granulomatus kronis karena Pajanan debu berilium. Tampakan radiologisnya tidak khas. Fase akut dapat memberi gambaran edema dan perdarahan berupa bayangan suram pada paru dan pembesaran limfonodus hilus dan mediastinal bilateral (Gambar 13). Pada CT-scan juga dapat dilihat adanya pembesaran hilus (Gambar 14).Pada stadium kronis, gambaran menjadi granuler atau noduler fi brotik yang dapat mencapai ukuran 1 cm.11,13

Gambar 13 Gambaran roentgen toraks pasien dengan

beriliosis: Tampak pembesaran limfonodus hilus13

Gambar 14 Tampak pembesaran hilus paru (anak panah

melengkung)13

Talkosis

Talk adalah magnesium silikat hidrat yang digunakan di pabrik kulit, karet, tekstil, dan tegel keramik. Pada gambaran roentgen thorax didapatkan gambaran umum yang tampak kabur, nodulasi, dan gambaran retikuler seperti asbestosis, tetapi tidak

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 663

(5)

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

664

terdapat penebalan pleura. Biasanya dapat terbentuk limfadenopati hilus. Pada CT-scan (Gambar 15) didapati nodul-nodul kecil difus, adanya massa perihilus, dan emfi sema.11,13

Gambar 15 Talkosis pada pasien 52 tahun yang bekerja

dalam usaha pemrosesan magnesium silikat selama 8 tahun; pada bronkus utama, tampak konsolidasi padat dengan bronki dilatasi, emfi sema perisikatrisial (anak panah), dan penebalan septal interlobular (kepala panah) pada lobus superior kedua paru13

Pneumonia inserstisial

Akira dkk. meneliti perbedaan gambaran

CT-scan pada asbestosis dan fi brosis paru idiopatik

(misalnya pada pneumonia interstisial). Mereka mendapatkan bahwa pada asbestosis paru terdapat obstruksi bronkial pada regio subpleura. Sedangkan pada fi brosis paru idiopatik lebih jelas ditemukan dilatasi bronkiolus (Gambar 16).19

SIMPULAN

Peranan pencitraan diagnostik dengan modalitas radiologi pada kasus asbestosis cukup penting, disesuaikan dengan anamnesis, pemeriksaan fi sik, dan pemeriksaan penunjang lain. Perlu dipertimbangkan penyebab gangguan paru akibat kerja lain, yaitu pneumokoniosis yang sering kali menyerupai asbestosis.

Gambar 16 Pasien pria 58 tahun dengan fi brosis paru

idiopatik: Tampak dilatasi brionkiolus (anak panah)19

DAFTAR PUSTAKA

1. Johanning E. Occupational and Environmental Lung Disease: Overview for Family Physicians. Dalam: Lomax JD, Johanning E. Occupational Medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001; 121.

2. Shellito J. Occupational/Inhalational/Environmental Disease. Dalam: Ali J, Summer W, Levitzky M. Pulmonary Pathophysiology. USA: Lange Medical Books, 1999; 151. 3. Chun S. 2008. Asbestosis. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/352900-overview. Diakses pada 9 Desember 2011.

4. Varkey B. Asbestosis. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/295966-overview. Diakses pada 9 Desember 2011.

5. Park EK, Hannaford-Turner KM, Hyland RA, Johnson AR, Yates DH. Asbestos-related occupational lung diseases in NSW, Australia and potential exposure of the general population. Ind

Health. 2008 Dec;46(6):535-40.

6. Attaran A, Boyd DR, Stanbrook MB. Asbestos mortality: a Canadian export. CMAJ. 2008 Oct 21;179(9):871-4. 7. West JB. Pulmonary Pathophysiology 7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2008; 131.

8. National Center for Health Statistics. Asbestosis: Number of deaths by sex, race, and age, and median age at death, U.S. residents age 15 and over, 1995–2004. Tersedia di http://www2a. cdc.gov/drds/WorldReportData/pdf/2007T01-01.pdf. Diakses pada 9 Desember 2011.

9. Dähnert, W. Radiology Review Manual 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2011; 454-5.

10. Ross RM. The clinical diagnosis of asbestosis in this century requires more than a chest radiograph.Chest. 2003 Sep;124(3):1120-8.

11. Kusumawidjaja K. Kelainan Paru Akibat Lapangan Kerja. Dalam Ekayuda I. Radiologi Diagnostik Sjahriar Rasjad Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005; 160-1. 12. O’Reilly KM, Mclaughlin AM, Beckett WS, Sime PJ. Asbestos-related lung disease. Am Fam Physician. 2007 Mar 1;75(5):683-8.

13. Chong S, Lee KS, Chung MJ, Han J, Kwon OJ, Kim TS. Pneumoconiosis: comparison of imaging and pathologic fi ndings. Radiographics. 2006 Jan-Feb;26(1):59-77. 14. Webb, WR. Pleura, Chest Wall, and Diaphragm. Dalam: Webb WR, Brant WE, Major NM. Fundamentals of Body CT 3rd ed. Philadelphia: Saunders, 2006: 151.

15. Gamsu G, Salmon CJ, Warnock ML. CT quantifi cation of interstitial fi brosis in patients with asbestosis: a comparison of two methods. AJR Am J Roentgenol. Jan 1995;164(1):63-8. 16. Bekkelund SI, Aasebo U, Pierre-Jerome C. Magnetic resonance imaging of the thorax in the evaluation of asbestosis. Eur Respir J. Jan 1998;11(1):194-7.

17. Weber MA, Bock M, Plathow C, Wasser K, Fink C, Zuna I, et al. Asbestos-related pleural disease: value of dedicated magnetic resonance imaging techniques. Invest Radiol. Sep 2004;39(9):554-64.

18. Lambert R, et al. Gallium-67 Thoracic Scan and Pleural Disease in Asbestos Workers. J NucI Med. 1986. 26:600-3.

19. Akira M, Yamamoto S, Inoue Y, Sakatani M. High-resolution CT of asbestosis and idiopathic pulmonary fi brosis. AJR Am J Roentgenol. 2003 Jul;181(1):163-9.

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 664

Gambar

Gambar 13  Gambaran roentgen toraks pasien dengan  beriliosis: Tampak pembesaran limfonodus hilus 13
Gambar 16  Pasien pria 58 tahun dengan fi brosis paru  idiopatik: Tampak dilatasi brionkiolus (anak panah) 19

Referensi

Dokumen terkait

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam

 Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari uji yang diambil dari organ tubuh

6,13 Pada pasien ini diagnosis granulomatosis Wegener ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis berupa purpura multipel diskret dan saddle nose serta pada pemeriksaan histopatologi

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis timbulnya benjolan- benjolan di bagian belakang telinga kiri yang mudah berdarah, tidak nyeri dan tidak gatal, adanya riwayat

Diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan karakteistik gambaran klinis yang khas yaitu gambaran polisiklik, bagian tepi lesi tampak lebih aktif dibanding bagian

OCT membantu memberikan gambaran reaksi inflamasi di bilik mata depan, melihat kondisi makula, melihat membran epiretina, traksi vitreomakula, sebagai manifestasi yang

konvensional memerlukan waktu yang cukup lama (&gt;48 jam) sehingga biasanya terapi diberikan berdasarkan gambaran klinis penderita dan riwayat penyakit tanpa menunggu

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam