• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dan Penyebaran Bandikut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dan Penyebaran Bandikut"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Sistematika zoologis Bandikut adalah sebagai berikut (Petocz 1994) (Gambar 1): Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mammalia Infraclass : Methatheria Superordo : Marsupialia Ordo : Peramelemorphia Famili : Peroryctidae Genus : Echymipera

Species : Echymipera kalubu

Gambar 1 Echymipera kalubu jantan

Bandikut memiliki ordo yang dibedakan dalam dua famili, yaitu Peramelidae (bandicoots and bilbies) memiliki empat genus, sepuluh spesies, dan Peroryctidae (Peroryctid bandicoots) mempunyai empat genus dan sebelas spesies (Lindenmayer 1997). Famili Peramelidae banyak terdapat di Australia,

(2)

sedangkan famili Peroryctidae terutama genus Echymipera banyak ditemukan di kepulauan Maluku dan New Guinea (Menzies 1991). Daratan New Guinea memiliki tiga genus (Peroryctes, Microperoryctes dan Rhynchomeles) dengan sebelas spesies merupakan endemik dan genus Echymipera yang merupakan pusat genus di New Guinea dengan empat spesies dan satu spesies diantaranya meluas sampai di bagian utara Australia. Genus lain (Isodoon) merupakan pusat genus di Australia dengan satu spesies juga penyebarannya meluas sampai ke New Guinea bagian selatan (Graeme & Maynes 1990).

Bandikut merupakan hewan nokturnal, soliter dan omnivora. Jumlah spesies Bandikut di dunia adalah sebanyak 21 spesies, sebagian besar hanya ditemukan di New Guinea dan sedikit di pesisir utara dan timur Australia. Secara umum daerah penyebaran Bandikut dari ketinggian 0-4300 meter dari permukaan laut pada habitat padang rumput alam, alang-alang, hutan terbuka, hutan hujan dataran rendah, hutan lebat, hutan lumut dan areal pepohonan (Menzies 1991).

Echymipera kalubu dikenal juga sebagai bandikut kepala hitam. Bagian kepala berwarna kehitaman dan memiliki warna yang lebih terang pada bagian tenggorokan dan pipi. Bandikut jenis ini mempunyai ciri rambut yang tajam, bagian punggung kehitaman dengan sejumlah variasi kuning kecoklatan sampai leher. Warna rambut coklat muda pada bagian ventral dan coklat gelap kehitaman dengan ujung lebih pucat. Moncong agak panjang, telinga ekor dan kaki pendek serta memiliki empat pasang gigi seri (Graeme & Maynes 1990). Telapak kaki belakang berwarna hitam dan tidak terlalu berkembang dengan sempurna dibanding Echymipera pada umumnya. Bobot badan jantan lebih besar daripada betina dengan kisaran 1483.75 g untuk jantan dan 850.71 g untuk betina (Warsono 2009). Spesies ini merupakan bentuk fauna peralihan antara Australia Utara dan New Guinea. Populasinya tersebar luas di dataran rendah pada habitat hutan tertutup, hutan terbuka, padang rumput dan semak belukar yang lebih kering di pulau Waigeo, Biak dan Yapen serta bagian utara, timur, Manokwari, Merauke dan selatan New Guinea dengan ketinggian 1550 m dari permukaan laut (Gordon et al. 1990; Warsono 2009; Yohanita 2009).

(3)

Anatomi dan Morfologi Organ Reproduksi Jantan

Sistem reproduksi hewan jantan secara umum terdiri atas sepasang testis, vas deferens, epididimis, kelenjar asesoris dan penis. Marsupial jantan memiliki saluran reproduksi yang terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, kelenjar prostat, kelenjar Cowper, penis dan glans penis yang berbentuk bhipid atau tunggal (Renfree 1993). Bagian-bagian organ reproduksi marsupial jantan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Saluran reproduksi Tammar Wallaby jantan (Macropus eugenii) (Sumber: Renfree 1993).

Testis merupakan organ reproduksi primer tempat dihasilkannya spermatozoa yang akan membuahi oosit pada hewan betina sewaktu terjadi perkawinan dan fertilisasi. Testis mengandung lobuli testis yang membentuk saluran-saluran kecil yang disebut tubuli seminiferi tempat berlangsungnya proses spermatogenesis. Pada bagian mediastinum testis, tubuli bergabung membentuk rete testis kemudian melalui duktus eferens dihubungkan dengan bagian kepala epididimis (kaput epididimis).

Epididimis merupakan suatu struktur memanjang yang bertaut rapat dengan testis. Epididimis terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaput epididimis (kepala) membentuk suatu penonjolan yang dimulai pada ujung proximal testis

(4)

yang berfungsi dalam penyerapan cairan, korpus epididimis (badan) berada pada bagian tengah yang berfungsi dalam pematangan spermatozoa dan kauda epididimis (ekor) berada pada ujung distal dari testis yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan spermatozoa (Biscoe & Renfree 1987). Kauda epididimis merupakan tempat penyimpanan spermatozoa dan mengandung sekitar 75% total spermatozoa epididimis (Hafez 2000).

Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang tidak berpasangan dan mengelilingi pelvis uretra. Kelenjar ini menghasilkan sekresi alkalin yang memberikan bau khas pada cairan semen serta berfungsi mensekresikan cairan untuk membersihkan dan menetralisir uretra dari bekas urine dan kotoran-kotoran lain sebelum ejakulasi. Kelenjar Cowper merupakan sepasang kelenjar kecil yang terletak pada tiap sisi pelvis uretra.

Penis merupakan organ kopulatoris dan berfungsi sebagai tempat pengeluaran urine dan deposisi semen ke dalam saluran reproduksi betina. Penis mamalia memiliki tiga bagian cekungan yang terdapat pada sekitar penile uretra (Hafez 2000). Skrotum merupakan suatu kantong yang berfungsi untuk melindungi testis dan epididimis serta mempertahankan suhu yang lebih rendah daripada suhu badan yang diperlukan untuk proses spermatogenesis.

Pada Eastern barred bandicoot testes berada di luar dan dibungkus dengan skrotum. Perkembangan terjadi pada kelenjar-kelenjar asesoris, seperti kelenjar prostat yang berada subkutan dan terletak pada anterior kloaka (Gambar 3). Penis pada hewan ini berbentuk S dan berakhir pada glans penis yang berbentuk bhipid. Glans penis yang berbentuk bhipid kemungkinan berhubungan dengan bentuk vagina marsupial yang terdiri atas dua bagian, yaitu dua lateral vagina dan median vagina (Biscoe & Renfree 1987). Selanjutnya kantung kencing yang dimiliki hewan ini terletak pada bagian dorsal prostat (Seebeck 2001). Echymipera kalubu jantan ditandai dengan adanya dua buah testes yang terbungkus dalam skrotum menggantung keluar abdomen sekitar tiga cm dari anus. Saluran akhir alat reproduksi, saluran kencing dan saluran pembuangan kotoran bermuara dalam satu saluran anus mirip kloaka pada unggas (Warsono 2009).

(5)

A B

Gambar 3 Penampakan ventral saluran reproduksi Bandikut (Isoodon macrourus) jantan (A) selama musim tidak kawin (B) selama musim kawin. B: Bladder, P: Prostat, V: Vas deferens, M: Membranous urethra, T: Testis, E: Epididimis (Sumber: Thodunter & Gemmel 1987).

Morfologi Spermatozoa

Spermatozoa memiliki dua bagian utama yaitu kepala yang mengandung inti (nukleus) dan ekor (flagellum) (Gambar 4). Bagian ekor terdiri atas leher (neck piece), badan (middle piece), ekor utama (principal piece) dan ujung ekor (end piece).

Gambar 4 Struktur spermatozoa pada mamalia. a. Spermatozoa tikus. b. Spermatozoa manusia. H: Kepala, Ne: Leher, MP-EP: Ekor (MP: Middle piece, PP: Principal piece, EP: End piece) (Sumber: Toshimori 2009).

Struktur kepala

Kepala spermatozoa berfungsi sebagai pembawa dan menjaga DNA hingga terjadinya fertilisasi. Bagian kepala spermatozoa terdiri atas daerah anterior yang terdapat akrosom dan daerah posterior yang terdapat selubung post

(6)

akrosom. Pembentukan akrosom terjadi pada tahap spermiogenesis dari proses spermatogenesis. Fase spermiogenesis terdiri atas fase golgi, fase cap (tudung), fase akrosomal dan fase pematangan atau maturasi (Senger 2005) (Gambar 5).

Akrosom adalah derivat dari apparatus golgi yang terbentuk sepanjang tahap awal spermatogenesis. Akrosom spermatozoa berfungsi dalam menginisiasi reaksi fisikokimia pada saat fertilisasi dan mengandung glikoprotein yang disekresikan oleh retikulum endoplasma serta apparatus golgi, termasuk enzim-enzim yang digunakan pada waktu penetrasi spermatozoa.

Pembentukan akrosom terjadi pada tahap spermiogenesis dari spermatogenesis. Fase spermiogenesis terdiri atas empat tahap (Gambar 6), yaitu:

Fase Golgi

Fase golgi merupakan tahap pertama dari pembentukan akrosom. Pada tahap ini terbentuk granula proakrosomal pada gelembung golgi yang kemudian bergabung membentuk butir akrosom tunggal dalam gelembung akrosomal. Sentriol proksimal akan bergerak dari sitoplasma ke dasar nukleus yang nantinya akan menjadi leher antara kepala dan ekor. Sentriol distal berkembang menjadi aksonema (flagella di ekor).

Fase Cap (Tudung)

Terjadi pergerakan butir akrosom ke arah anterior. Butir-butir akrosom akan memipih yang disebut inner dan outer akrosom serta terdapat membran. Ekor akan terbentuk dari sentriol distal. Spermatid akan bergerak ke arah lumen tubuli seminiferi.

Fase akrosomal

Akrosom kemudian akan berkembang menutup duapertiga area kepala. Kepala dan sitoplasma akan memanjang dan inti akan mengalami kondensasi. Terdapat mikrotubulus dari selubung yang akan menjadi postnuclear cap. Spermatid tertanam di sel sertoli dengan ekor yang menuju lumen tubuli.

(7)

A B

C D

Gambar 5 Tahapan fase spermiogenesis. A. Fase golgi, B. Fase cap (tudung), C. Fase akrosomal, D. Fase pematangan (maturation) (Sumber: Senger 2005).

Fase pematangan (maturation)

Spermatid akan memanjang dan akan dilepaskan ke lumen dan sisa sitoplasma akan bergerak ke arah posterior. Mitokondria akan mengelilingi flagella dari dasar inti sampai dengan sepertiga dari ekor. Granul kromatin yang berkondensasi akan diganti dengan protamin di dalam inti.

Struktur Ekor

Bagian ekor terdiri atas leher (neck piece), badan ekor (middle piece), ekor utama (principal piece) dan ujung ekor (end piece). Leher (neck piece) merupakan bagian yang paling pendek dan terletak antara kepala dan leher. Badan ekor (middle piece) merupakan bagian dari ujung bagian bawah leher hingga annulus (struktur pita yang melingkar antara bagian badan dan ekor utama). Ekor utama (principal piece) merupakan bagian terpanjang dari flagella mulai dari annulus hingga ujung atas dari bagian ujung ekor. Ujung ekor (end piece) merupakan bagian akhir dari ekor, bagian ini diawali dari berakhirnya selubung serabut (Garner & Hafez 2000).

(8)

Leher (connecting piece)

Leher adalah bagian terpendek dan terletak antara kepala dan ekor. Bagian utama adalah kapitulum yang merupakan bagian berkolom dan dan memiliki struktur serabut yang pekat. Pada bagian yang berkolom terdapat sentriol proksimal, dimana sentriol ini berperan dalam pembentukan aksonema selama spermiogenesis. Pada spermatozoa dewasa fungsi sentriol ini belum diketahui.

Badan (midpiece)

Bagian ini dimulai dari ujung bawah bagian leher hingga annulus (struktur pita yang melingkar antara bagian badan dan ekor utama). Ciri dari bagian ini adalah adanya mitokondria yang tersusun heliks sebagai sumber energi untuk pergerakan spermatozoa dan selubung mitokondria. Membran mitokondria sangat stabil dan tahan terhadap tekanan selama pergerakan flagella.

Ekor utama (principal piece)

Ekor utama adalah bagian terpanjang dari flagella yang dimulai dari annulus hingga ujung atas bagian ujung ekor. Pada bagian ini terdapat selubung serabut, struktur skeletal yang mengelilingi aksonema dan serabut tebal. Fungsi selubung serabut mirip dengan serabut tebal yaitu untuk mengontrol pergerakan flagella.

Ujung ekor (endpiece)

Bagian ini merupakan bagian akhir dari ekor, dimana bagian ini diawali dari berakhirnya selubung serabut. Ujung ekor merupakan tempat berakhirnya elemen aksonema yang ditandai dengan adanya mikrotubul subunit A tanpa dyenin dan ketiadaan mikrotubul subunit B.

Spermatogenesis dan Tahapan Tubuli Seminiferi

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa yang diawali terbentuknya spermatogonia yakni sel germinal di dalam tubuli seminiferi. Spermatogenesis terjadi dalam struktur ekstensif tubuli seminiferi dari testis. Tubuli seminiferi dilapisi oleh epitel seminiferi dan mengandung cairan lumen, dimana spermatozoa dilepaskan sepenuhnya terbentuk. Epitel seminiferi terdiri dari dua tipe sel dasar, yaitu somatik dan sel-sel germinal. Germinal sel

(9)

ditemukan pada tahapan yang berbeda dari dasar tubuli hingga lumen dan dikelilingi oleh sitoplasma dari sel somatik dan sel Sertoli (Hess 1999).

Gambar 6 Proses spermatogenesis pada mamalia (Sumber: Anonim 2010).

Spermatogenesis terbagi atas tiga fase, yaitu fase proliferasi, meiosis dan spermiogenesis (Hess 1999; Senger 2005; Dreef et al. 2007). Fase proliferasi merupakan fase pertama, dimana spermatogonium adalah sel yang paling matang dan terletak di sepanjang dasar epitel seminiferi. Pada tahap mitosis, spermatogonia yang berkumpul di membran basalis (spermatogonia tipe A) membelah empat kali untuk membentuk 16 sel yang selanjutnya disebut spermatogonia tipe B. Spermatogonia B merupakan tahap terakhir pada pembelahan secara mitosis. Tahap ini menghasilkan sel untuk memasuki fase kedua, yaitu spermatosit preleptotene yang akan bergerak menjauhi dasar tubuli seminiferi dan mendekati sertoli junction (Gambar 7) (Hess 1999).

Fase meiosis terjadi proses reduction-division, yang merupakan mekanisme biologis dimana sebuah sel germinal tunggal dapat meningkatkan kandungan DNA-nya, kemudian membagi dua kali untuk menghasilkan empat sel

(10)

germinal individu yang mengandung untai tunggal setiap kromosom atau setengah jumlah kromosom yang biasanya ditemukan dalam sel-sel tubuh (Hess 1999). Tahap pembelahan meiosis, terjadi sintesis DNA serta pembelahan spermatosit primer yang mengandung 23 pasang kromosom menjadi spermatosit sekunder yang mengandung 23 pasang kromosom. Spermatosit ini akan mengalami pembelahan meiosis kedua untuk memproduksi spermatid dengan jumlah kromosom 23. Proses meiosis diperpanjang selama jangka waktu yang panjang, karena itu spermatosit ditemukan di setiap tahap spermatogenesis dan dua jenis spermatosit yang berbeda dapat diamati dalam beberapa tahap (Gambar 7).

Tahap spermiogenesis merupakan tahap dimana setiap spermatid dibentuk kembali secara fisik oleh sel sertoli dengan menghilangkan beberapa sitoplasma; mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid untuk membentuk satu kepala yang padat dan megumpulkan sisa sitoplasma dan membran sel pada salah satu ujung dari sel untuk membentuk ekor (Gambar 6). Fase spermiogenesis terdiri dari tiga tahapan secara umum, yaitu: inti memanjang dan kromosom berkondensasi, aparatus golgi menghasilkan lisosom seperti granul dan sel membentuk ekor panjang yang dilapisi mitokondria (Hess 1999).

Epitel tubuli seminiferi dari marsupial terdiri atas lapisan-lapisan germinal sel dan sel-sel Sertoli (Biscoe & Renfree 1987). Lebih lanjut dikatakan bahwa siklus di dalam tubuli seminiferi dapat dikelompokkan berdasarkan tahapan spermatogenesis yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi pada testis. Lapisan epitel tubuli seminiferi testis terdiri atas spermatogonia, spermatosit dan spermatid. Pada proses spermatogenesis terjadi proses diferensiasi spermatogonia (diploid) menjadi spermatozoa (haploid). Pembentukan spermatozoa dari spermatogonia terjadi melalui beberapa tahapan tertentu yang ditandai dengan perubahan sel-sel spermatogenik (Biscoe & Renfree 1987).

Proses spermatogenesis merupakan proses yang dikendalikan oleh susunan syaraf pusat, melalui poros hipotalamus-hipofisis dan juga secara lokal pada testis. Kelenjar hipofisis anterior mensekresikan hormon gonadotropin Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) di bawah pengaruh GnRH dimana FSH mempunyai peranan terhadap perkembangan sel-sel sertoli, sedangkan LH berperan terhadap sel-sel Leydig dalam memproduksi dan

(11)

mensekresikan testosterone. Testosterone yang dihasilkan akan berdifusi ke tubuli seminiferi untuk mengatur spermatogenesis dan bertugas memelihara sel-sel Sertoli. Sel sertoli merupakan sel-sel pemelihara sel-sel-sel-sel spermatogenik (Senger 2005).

Gambar 7 Perkembangan sel-sel germinal pada tahapan spermatogenesis tikus (Sumber: Dreef 1999).

Parameter Kualitas Spermatozoa

Evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui kualitas spermatozoa meliputi evaluasi makroskopis dan mikroskopis. Evaluasi makroskopis meliputi volume semen, warna, konsistensi (kekentalan) dan pH (derajat keasaman). Evaluasi mikroskopis meliputi gerakan massa, motilitas, konsentrasi, morfologi dan abnormalitas spermatozoa.

Volume semen bagi setiap individu bervariasi tergantung pada perbedaan umur, bangsa, nutrisi, libido dan kondisi dari individu itu sendiri. Warna semen umumnya berkaitan erat dengan konsentrasi dan konsistensi. Semakin tinggi konsentrasi spermatozoa dapat mengakibatkan meningkatnya konsistensi dan kepekaan warna semen.

(12)

pH (derajat keasaman) dapat mempengaruhi daya tahan spermatozoa. Semakin rendah atau semakin tinggi dari pH normal dapat menyebabkan kematian spermatozoa. pH semen normal bervariasi antara 6.5-6.9 dengan rata-rata 6.75. Variasi pH semen kemungkinan dipengaruhi oleh konsentrasi asam laktat yang dihasilkan dalam proses akhir metabolisme. Metabolisme spermatozoa dalam keadaan anaerobik akan menghasilkan asam laktat yang tertimbun dan meningkatkan atau menurunkan derajat keasaman.

Konsentrasi spermatozoa penting untuk diketahui karena hal ini sebagai kriteria penentu kualitas semen. Derajat kekeruhan spermatozoa ditentukan oleh konsentrasi spermatozoa. Semakin banyak konsentrasi spermatozoa menyebabkan semakin keruh warna semennya.

Motilitas atau daya gerak spermatozoa ditentukan setelah melakukan penampungan semen. Faktor yang mempengaruhi motilitas spermatozoa terbagi menjadi dua, yaitu faktor endogen yang meliputi umur sperma, maturasi sperma, penyimpanan energi (ATP), agen aktif dan faktor eksogen yang meliputi biofisik dan fisiologi, cairan suspensi dan adanya rangsangan hambatan (Ax et al. 2000). Pengamatan motilitas spermatozoa dapat dilakukan menggunakan mikroskop dengan lensa objektif 40X pada ulasan semen di atas objek glass yang ditutup cover glass. Motilitas spermatozoa berperan dalam penentuan kualitas semen karena akan berkaitan erat dengan kemampuan spermatozoa dalam melakukan aktivitas fertilisasi.

Gerakan merupakan cerminan dari motilitas spermatozoa. Semakin aktif dan semakin banyak bergerak ke depan maka nilai dari gerakan tersebut semakin baik. Gerakan individu yang progresif akan menyebabkan spermatozoa menjadi semakin cepat bertemu dengan ovum. Gerak melingkar atau mundur yang terjadi pada spermatozoa menunjukkan bahwa terjadi cold shock, penurunan suhu secara mendadak, panas yang berlebihan, adanya bahan-bahan kimia dan benda asing.

Secara morfologi abnormalitas spermatozoa dikategorikan menjadi abnormalitas primer (berkaitan dengan kepala sperma dan akrosom), sekunder (berkaitan dengan keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (berkaitan dengan kerusakan ekor) (Ax et al. 2000). Barham dan Pennington (2009) membagi abnormalitas atas abnormalitas primer dan abnormalitas

(13)

sekunder. Abnormalitas primer merupakan bentuk-bentuk perubahan yang terjadi pada proses spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi. Bentuk-bentuk abnormalitas ini antara lain kepala yang terlampau besar (macrocephalus) dan kecil (microcephalus), kepala pendek dan melebar, ekor ganda dan ekor melingkar (coiled), putus atau terbelah. Abnormalitas sekunder terjadi setelah spermatozoa meninggalkan tubuli seminiferi, selama perjalanan melalui epididimis, ejakulasi atau penampungan ejakulat termasuk pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang cepat, kontaminasi dengan air, urin dan antiseptik. Bentuk-bentuk abnormalitas ini meliputi kepala tanpa ekor, bagian tengah yang melipat, adanya butiran-butiran sitoplasmik proksimal atau distal dan selubung akrosom yang lepas.

Gambar

Gambar 1 Echymipera kalubu jantan
Gambar 2 Saluran reproduksi Tammar Wallaby jantan (Macropus eugenii) (Sumber:
Gambar 4 Struktur spermatozoa pada mamalia. a. Spermatozoa tikus. b. Spermatozoa manusia
Gambar 5 Tahapan fase spermiogenesis. A. Fase golgi, B. Fase cap (tudung), C. Fase akrosomal, D
+3

Referensi

Dokumen terkait

Adapun hasil kajian dalam tulisan ini adalah: pemangkasan bentuk bertujuan untuk membentuk kerangka tanaman kopi agar tanaman kuat dan tanaman seimbang dalam membentuk

II. atau dalam rangka penyidikan. Kegiatan penyelidikan dilakukan untuk mencari dan menemukan Tindak Pidana. Kegiatan penyelidikan dilakukan untuk mencari dan menemukan Tindak

Pendidikan merupakan suatu bentuk investasi nasional untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi modern,

Optimisme memberikan sumbangan efektif sebesar 65,4% pada terbentuknya regulasi diri lansia di masa pensiun pada PP BRI (Persatuan Pensiunan Bank Rakyat

Analisa dan kontrol tegangan dilakukan dengan 3 tahap, yaitu tahap akibat beban pelaksanaan, tahap akibat segmen tengah (closure), dan tahap akibat beban service

Menurut Sugiono (2011) metode eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan utuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang

Berdasarkan data hasil observasi dari tabel 2 menunjukkan keterampilan mengadakan variasi dapat dipaparkan bahwa mahasiswa Pendidikan Biologi dalam praktik mengajar

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sikap tentang diskon produk fashion terhadap pembelian impulsif pada pada Mahasiswi