• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia 1945 atau UUD NRI 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia 1945 atau UUD NRI 1945"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia 1945 atau UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) berisi rumusan ketentuan bahwa Indonesia merupakan negara hukum dan hal itu menjadi konsep dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut menegaskan bahwa segala sesuatunya berada di bawah naungan hukum. Sebagai negara hukum, maka diperlukan penegakan hukum yang sehat dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan juga menjamin persamaan di hadapan hukum bagi setiap warga negara di Indonesia.1 Agar tercipta penegakan hukum yang sehat, maka hukum harus dipatuhi masyarakat karena, aturan hukum itu nilai-nilai dan kultur hukum rakyat banyak. Dalam pandangannya terhadap hukum, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa: Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan.2

Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib yang dikehendaki hukum dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan orang yang satu dengan orang yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaidah hukum. Barangsiapa yang

1 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm.33. 2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 20.

(2)

2

dengan sengaja melanggar suatu kaidah hukum akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran kaidah hukum) yang berupa hukuman.3 Ini merupakan penegakan hukum, penegakan hukum bertujuan untuk mencapai tujuan hukum. Melalui penegakan hukum, diharapkan tujuan hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya.4

Hukum menurut penulis adalah sesuatu yang bersifat supreme atau yang paling tinggi di antara lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Supremasi hukum dapat dimaknai bahwa asas legalitas merupakan landasan yang terpenting di dalam setiap tindakan, baik itu dilakukan individu maupun kelompok.5 Keberadaanya bersifat

parculierdan base on society artinya hukum itu hidup dan berkembang sesuai dengan

nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.6 Istilah supremasi hukum bahwa hukum ditempatkan pada yang tertinggi di antara dimensi-dimensi kehidupan yang lain.7 Secara yuridis Indonesia menerapkan hukum sebagai supremasi Negara sesuai dengan UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3). Hal ini tentunya berimplikasi pada setiap perbuatan warga Negara Indonesia yang harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.

Hukum yang berlaku di Indonesia terdiri dari hukum publik dan hukum privat. Salah satu jenis hukum publik adalah hukum pidana. Menurut G.A. van Hamel, hukum pidana adalah semua dasar dan aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam

3 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 39.

4 Dikdik M. Arief Mansyur, dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, hlm.12.

5 Ronny Rahman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2006, hlm.59. 6 Pujiyono, Kumpulan tulisan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm.66.

7 Muhamad Sadi, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2015, hlm.186.

(3)

3

menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde), yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.8

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan secara nasional berdasarkan UU No.1 Tahun 1946 dan menjadi induk peraturan positif yang berlaku di Indonesia.9 Dalam Pasal VI UU No.1 Tahun 1946 diatur bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor

Nederlands Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu, undang-undang juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda.

KUHP yang berlaku di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 jo UU Nomor 73 Tahun 1958, KUHP yang diberlakukan melalui asas konkordansi dengan Staatsblad 1915 Nomor 732 sejak tanggal 1 Januari 1918 di Hindia Belanda merupakan terjemahan Wetboek van

Strafrecht voor Nederlands Indie milik colonial Belanda dan diganti namanya menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.10 Di Negeri Belanda, undang-undang pidana ini berlaku sejak tahun 1886 sebagai pengganti dari

8 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, cet. 2, hlm.6.

9 Evi Desi Murtikasari, Implementasi Perma Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dalam KUHP Dalam Putusan Pengadilan. Vol. 3. No. 2, 2014, hlm.2.

10 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, cet. 2, hlm. 2.

(4)

4

Code Penal Prancis yang diundangkan tahun 1811, saat bangsa Belanda masih dijajah Prancis.

Beberapa ketentuan KUHP pun diubah setelah dikeluarkannya Perpu No. 16 Tahun 2012 tentang Beberapa perubahan dalam KUHP yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 tentang Pengesahan Undang-Undang Darurat dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Ketentuan yang diubah yaitu mengenai Tindak Pidana Ringan (Tipiring), mengenai Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 384 (keuntungan dari penipuan), 407 (pengrusakan ringan) dan 482 KUHP (penadahan ringan). Nilai objek perkara yang sebelumnya adalah dua puluh lima rupiah diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah.

Tindak Pidana Ringan (Tipiring) merupakan tindak pidana yang masuk dalam buku ke-II KUHP yaitu tentang kejahatan dan perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak tujuh ribu lima ratus ribu rupiah (dengan penyesuaian) dan penghinaan ringan, kecuali pelanggaran lalu lintas.11 Tindak Pidana Ringan (Tipiring) merupakan tindak pidana yang paling sering terjadi dan pelakunya bisa dari kalangan masyarakat menengah ke bawah maupun menengah ke atas.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 hingga tahun 2011 besarnya nilai kerugian atas objek kejahatan belum juga mengalami perubahan yang

11 Sovia Hasanah, Tindak Pidana Ringan (Tipirng),

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5876e928ba1b4/tindak-pidana-ringan-tipiring, dikunjungi pada tanggal 29 Mei 2018 pukul 14.23.

(5)

5

tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Hal ini berdampak juga pada penggunaan pasal-pasal yang mengatur Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dalam KUHP yang tidak efektif, sehingga tidak pernah digunakan oleh Pengadilan. Hal tersebut dikarenakan hampir tidak ada lagi barang yang nilainya dua ratus lima puluh rupiah untuk kondisi sekarang ini, yang menyebabkan banyaknya perkara-perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring) seperti pencurian dengan nilai barang yang kecil menjadi sorotan masyarakat, karena sangat tidak adil apabila perkara-perkara seperti itu diancam dengan ancaman selama lima tahun penjara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP dan dirasa tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya. Permasalahan tersebut seringkali menyebabkan hakim dihadapkan pada suatu kasus yang belum diatur dalam suatu peraturan dan hal itu menyebabkan penegakan hukum menjadi sangat terhambat. Apabila ingin menggunakan peraturan terdahulu, sangat dirasakan tidak relevan lagi, karena peraturan tersebut sudah ketinggalan zaman dan tidak lengkap. Hal tersebut sangat membebani para penegak hukum terutama hakim yang harus mencari, menggali fakta dan menemukan hukum secara adil dengan menyesuaikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

Oleh karena itu, untuk menangani perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring), maka diperlukan pengkajian kembali terhadap pasal-pasal yang mengatur mengenai Tindak Pidana Ringan (Tipiring) agar dapat berlaku secara efektif dalam pelaksanaannya. Melihat permasalahan yang ada Mahkamah Agung pun menerbitkan Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP. Tujuan diterbitkannya Perma No.2 Tahun 2012, yaitu Mahkamah Agung memberikan batasan perkara yang dapat dimasukkan ke dalam

(6)

6

Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dengan menyesuaikan kondisi saat ini. Apabila nilai barang atau uang tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah yang sebelumnya dua ratus lima puluh rupiah untuk pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 384 (keuntungan dari penipuan), 407 (pengrusakan ringan) dan 482 KUHP (penadahan ringan).12 Selain itu, Perma No. 2 Tahun 2012 menentukan bahwa untuk perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dilakukan pemeriksaan dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.

Sebelum diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2012, seringkali kasus Tindak Pidana Ringan diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Biasa. Hal tersebut sangat merugikan terdakwa. Karena proses persidangan yang berlangsung sangat lama. Kasus yang dikategorikan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) seolah-olah merupakan kasus yang berat.

Setelah diterbitkan Perma No. 2 Tahun 2012 perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring) seharusnya diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat sesuai dengan yang disebutkan dalam Perma No. 2 Tahun 2012. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya seringkali acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara Pemeriksaan Singkat. Hal tersebut bertentangan dengan apa yang diatur dalam Perma tersebut. Dalam hal ini tujuan diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2012 yaitu, untuk semua perkara yang termasuk Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dapat diperiksa dengan prosedur yang lebih sederhana.

(7)

7

Untuk mendapatkan data dalam hal Tindak Pidana Ringan (Tipiring), seperti batas suatu perkara dapat dikatakan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), kekuatan mengikat Perma No.2 Tahun 2012, serta pelaksanaannya dalam Pengadilan Negeri Salatiga, penulis melakukan wawancara kepada salah satu hakim Pengadilan Negeri Salatiga yaitu Ibu Meniek Emelinna Latuputty, S.H.13 Beliau menjelaskan bahwa dalam KUHAP acara pemeriksaan dibagi menjadi 3, yaitu Acara Pemeriksaan Biasa, Acara Pemeriksaan Singkat, dan Acara Pemeriksaan Cepat. Tindak Pidana Ringan (Tipiring) itu merupakan tindak pidana yang proses acara pemeriksaannya menggunakan acara pemeriksaan cepat sesuai Pasal 205 ayat (1) KUHAP. Untuk proses pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Tipiring), tentunya memerlukan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan proses pemeriksaan dengan acara pemeriksaan singkat. Terhadap pelaku Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dapat dijatuhi pidana kurungan maksimal 3 bulan.

Mekanisme pelaksanaan Perma No. 2 Tahun 2012, ditujukan untuk perkara yang nilai kerugiannya maksimal dua juta lima ratus ribu rupiah, akan tetapi tidak semua perkara pencurian harus mengikuti kualifikasi Tindak Pidana Ringan (Tipiring) yang diatur dalam Perma No. 2 Tahun 2012, misalnya Pasal 363 KUHP, pencurian dengan kekerasan atau pencurian dengan pemberatan yang harus diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Biasa, walaupun kerugiannya dibawah dua juta lima ratus ribu rupiah. Kemudian apabila pelaku merupakan residivis, maka tidak dapat dimasukkan ke kategori Tindak Pidana Ringan (Tipiring).

13 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Salatiga, Ibu Meniek Emelinna Latuputty, S.H., pada hari Selasa, 7 Agustus 2018, pukul 14.40 WIB.

(8)

8

Perma No. 2 Tahun 2012 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung mengikat instansi yang ada dibawahnya termasuk Pengadilan Negeri Salatiga. Akan tetapi, terkait penentuan suatu perkara masuk ke Acara Pemeriksaan Biasa, Acara Pemeriksaan Cepat, maupun Acara Pemeriksaan Singkat sangat tergantung oleh keputusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Pengadilan Negeri hanya menerima perkara yang dilimpahkan serta memprosesnya sesuai dengan acara pemeriksaan yang ditentukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Penulis mengambil Perkara Nomor: 09/Pid.S/2016/PN.Slt untuk dijadikan bahan Penelitian. Adapun duduk perkara dalam putusan tersebut sebagai berikut, bahwa pada hari Sabtu tanggal 11 Juni 2016 sekitar pukul 07.30 WIB, Terdakwa bernama Sumei Bin Waris Darto Suristo melakukan pencurian di dalam kios penitipan barang yang terletak di Pasar Raya 1 jalan Jenderal Sudirman, Kota Salatiga. Perbuatan Terdakwa mmembuat korban mengalami kerugian sekitar satu juta dua pulah enam ribu rupiah. Terdakwa pun divonis bersalah oleh Hakim dan dijatuhi pidana penjara selama tiga bulan.

Dalam putusan tersebut, acara pemeriksaan yang dilaksanakan ialah Acara Pemeriksaan Singkat. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang diatur Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, bahwa untuk perkara yang nilai kerugiaannya dibawah dua juta lima ratus ribu rupiah merupakan perkara yang dapat dikategorikan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat dan terhadap Terdakwa atau Terpidana tidak boleh dilakukan penahanan.

(9)

9

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji mengenai penerapan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan denda, dengan judul, “IMPLEMENTASI PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN

(TIPIRING) (STUDI KASUS PERKARA NOMOR: 09/PID. S/2016/PN.SLT) ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penulisan ini:

Bagaimana implementasi penyesuaian batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Pengadilan Negeri Salatiga ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui implementasi penyesuaian batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Pengadilan Negeri Salatiga.

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian harus dipahami dan diyakini manfaatnya bagi pemecahan masalah yang diselidikinya. Untuk itu perlu dirumuskan secara jelas tujuan penelitian yang bertitik tolak dari permasalahan yang diungkap. Sebuah penelitian setidaknya harus memberi manfaat praktis pada kehidupan masyarakat tertentu. Manfaat penelitian dapat di tinjau dari dua segi yang saling berkaitan yaitu segi teoritis dan praktis. Dari penelitian ini diharapkan akan mendapat manfaat sebagai berikut:

(10)

10

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya dan khususnya terhadap hukum pelaksanaan pidana.

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan referensi bagi penelitian berikutnya.

c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan umum, serta dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum.

E. Keaslian Penelitian

Penulis menyatakan bahwa penulisan yang berjudul Implementasi Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Pengadilan Negeri Salatiga merupakan hasil karya asli penulis, bukan merupakan duplikasi maupun plagiasi dari karya penulis lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan membandingkan penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terlebih dahulu, oleh Ayu Susilowati, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan judul Penerapan Perma No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

(11)

11

Penulisan ini berbeda dengan penulisan yang dibuat oleh Ayu Susilowati, karena penulisan yang dibuat oleh Ayu Susilowati berfokus pada penyebab tidak dilaksanakannya Perma No. 2 Tahun 2012 dalam Perkara Nomor:25/Pid.B/2016/PN.Smg. Sedangkan penulis lebih berfokus pada dasar pertimbangan Hakim dan Jaksa Penuntut Umum yang tidak menerapkan Perma No. 2 Tahun 2012 terhadap Perkara Nomor: 09/Pid.S/2016/PN.Slt terhadap pelaku Tindak Pidana Ringan (Tipiring), sehingga menyebabkan kerugian terhadap pelaku Tindak Pidana Ringan (Tipiring).

Oleh karena itu, keaslian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penulisan ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritisi yang sifatnya konstruktif (membangun).

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sehubungan dengan judul penelitian di atas, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitan deskriptif yaitu penelitian bersifat pemaparan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

(12)

12

2. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan penulis dalam penulisan ini adalah yuridis normatif yang berfokus pada peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang berkaitan dengan tindak pidana ringan (tipiring). Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal juga dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan atau

Statute Approach. Dalam metode pendekatan peraturan

perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.14 Peneliti bukan saja melihat kepada bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan juga menelaah materi muatannya, dengan mempelajari dasar ontologisnya.

2. Pendekatan Kasus

Pendekatan kasus atau Case Approach dalam peneltian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenamedia, 2014, Cet. 9, hlm.137.

(13)

13

yang dilakukan dalam praktik hukum.15 Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan.

3. Bahan Hukum

Data-data yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder yang meliputi:

1. Bahan hukum primer.

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.16 Bahan hukum primer yang digunakan penulis meliputi:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP.

c. Nota Kesepakatan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung

15 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Peneltian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2012, Cet. 6, hlm. 321.

(14)

14

Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif.

d. Putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor: 09/Pid. S/2016/PN.Slt.. 2. Bahan hukum sekunder, meliputi:

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.17 Bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, majalah, hasil penelitian, internet, opini para sarjana hukum, praktisi hukum dan surat kabar yang relevan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.

3. Bahan hukum tersier, meliputi:

Bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum atau Black Law Dictionary.

4. Unit Amatan dan Unit Analisis

Dalam tulisan ini, unit amanat yaitu Perkara Nomor: 09/Pid.S/2016/PN.Slt, sedangkan unit analisisnya untuk mendapatkan tujuan dan kejelasan bentuk proses acara pemeriksaan persidangan setelah Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Referensi

Dokumen terkait

ila plat indeks berputar berlawanan arah berarti menam-bah sudut putar sebesar $/: putaran, sehingga gigi yang akan terjadi ialah.. : 1 $/: @ : 7 : 1 $ 7

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa motivasi dan komitmen berpengaruh terhadap Prestasi Kerja perawat Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta Dari hasil ini

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh model pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs) terhadap kemampuan pemecahan masalah

Melalui hasil penelitian dapat diketahui bahwa Peranan POLRI dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Senjata Api oleh Masyarakat Sipil di Kota Surakarta, dalam hal ini

Pada batuan yang bersifat permeabel ilit dapat terbentuk dalam jumlah yang cukup banyak, kehadiran ilit pada sumur MT-4 terdapat dalam jumlah relatif sedang (maksimum 10% dari total

DATA LAMARAN DATA LAMARAN [ALTERNATIF] [BOBOT KRITERIA] [LAMARAN PEKERJAAN] TEAM REKRUTMEN PELAMAR KERJA 1 INPUT LAMARAN MASUK & SELEKSI ADMINISTRASI 5 PERHITUNGAN + 1 LAMARAN

Pada pembelajaran seni budaya berbasis pendidikan multikultural terdapat tiga aspek yang nantinya akan dapat mensukseskan pendidikan multikultural, ketiga aspek

Terkait dengan penelitian yang diangkat oleh penulis rasa kecemasan juga akan timbul dengan melihat media massa dengan pemberitaan yang terjadi ditengah-tengah