• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. munculnya Strukturalisme Levi-Strauss dan Posmodernisme. Semenjak itu, saling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. munculnya Strukturalisme Levi-Strauss dan Posmodernisme. Semenjak itu, saling"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mencari hubungan antara antropologi budaya dan sastra atau sebaliknya tidaklah begitu sulit jika dilihat dari sudut pandang antropologi, terlebih setelah munculnya Strukturalisme Levi-Strauss dan Posmodernisme. Semenjak itu, saling hubungan antara antropologi budaya dan sastra, baik pada tataran teoritis maupun pada tataran kajian fenomena empiris, menjadi semakin jelas dan kuat. Sebagai sebuah disiplin yang perkembangannya sangat ditentukan oleh data yang ditampilkan dalam bentuk etnografi, tulisan atau karya tulis tentang kebudayaan satu atau beberapa suku bangsa tertentu, maka antropologi budaya memang tidak akan pernah terlepas dari sastra, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagaimana halnya sastra lisan, sastra dalam bentuk yang tertulis (dalam hal ini novel) juga dapat diperlakukan sebagai objek material, baik sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan tertentu, ataupun sebagai salah satu unsur kebudayaan yang sedang dipelajari. Lewat penelusuran atas dimensi-dimensi dan implikasi-implikasi antropologis teks-teks sastra atau, singkatnya, dengan mengembangkan antropologi sastra sebagai paradigma penelitian, mungkin tidak cuma bisa ditemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat memperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan seputar masalah kebudayaan masyarakat tertentu.

(2)

Memang, dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber literer seperti mitos-mitos, dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis sastra lisan lainnya merupakan suatu praktik yang sudah secara umum diterima (acceptable). Suatu hal yang lumrah apabila dalam kasus masyarakat yang “melek huruf”, para ahli antropologi beralih kepada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar atau karya-karya sastra. Tidak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula sebagai sumber data antropologis; teks-teks sastra diperlakukan sebagai dokumen kultural. Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu mengasumsikan bahwa persepsi-persepsi pengarang terhadap dunia ─ terhadap alam, terhadap relasi -relasi sosial ─ telah terbentuk oleh lingkungan budayanya.

Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara historis, ciri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama, melalui psikologi analitik Jung, kedua melalui antropologi kultural. Tradisi pertama, menelusuri jejak-jejak psikologis, tipologi pengalaman yang tampil secara berulang, sebagai ketaksadaran rasial, seperti mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Tradisi yang kedua menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada umumnya terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam karya sastra gejala ini tampak melalui deskripsi pola-pola naratif, tipologi tokoh-tokoh (Ratna, 2004:354).

Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita

(3)

itu sendiri. Barthes (2004:152) menyebutkan bahwa mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Karya sastra jelas bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah manifestasi mitos itu sendiri.

Frye (Junus, 1981:92) membagi mitos atas dua bagian yaitu, mitos pengukuhan (myth of concern) dan mitos pembebasan (myth of freedom). Yang pertama, mempertahankan apa yang terwujud, sedangkan yang kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah terwujud. Dengan begitu, karya sastra juga bukan sesuatu yang rasional, yang melihat segalanya dengan suatu pertimbangan yang jernih, segala sesuatu dalam karya sastra dapat bersifat mitos. Kalau karya sastra tersebut merupakan mitos pembebasan, segala sesuatu yang telah terwujud dan mapan akan dilihat sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang mesti dilawan dan ditiadakan. Sebaliknya, bila karya sastra itu merupakan mitos pengukuhan maka segala yang baru akan dianggap tidak baik dan jahat.

Lebih lanjut, Sikana (2008:140) mendefinisikan mitologi sebagai himpunan cerita yang mengisahkan asal usul ; termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian alam, penciptaan cakrawala, kisah-kisah fantasi, keajaiban, magik, heroisme, tragedisme, dan juga aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan ini termasuk agama, adat istiadat, pantang larang, kebiasaan-kebiasaan, amalan budaya, dan corak penganut spiritual. Hal-hal tersebut dapat ditemukan dalam sebuah karya sastra.

Mitologi Jawa yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini hendaknya ditafsirkan sebagai pengetahuan tentang dunia mite orang Jawa. Beberapa mite itu

(4)

menjadi mitos bagi kelayakan hidup perseorangan dalam masyarakat yang mewakili mite tesebut. Mite orang Jawa yang paling menonjol adalah cerita wayang yang bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Mungkin kalau dilacak lebih jauh dunia mite orang Jawa berasal dan boleh jadi berakar pada mitologi Hindu yang membawa tradisi cerita kedua epos tersebut.

Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan. Sastra terjadi dalam konteks sosial sebagai bagian dari kebudayaan yang menyiratkan masalah tradisi, konvensi, norma, genre, simbol, dan mitos. Hal itu terjadi karena sastrawan dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat (Wellek dan Austin, 1985:120). Sastra yang ditulis pada suatu waktu kurun tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah karyanya selaku warga masyarakat dan menyapa pembaca yang juga sama-sama dengannya merupakan warga masyarakat tersebut. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistem masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Luxemburg, dkk. (1989:26) menyatakan bahwa sastra dipergunakan sebagai sumber dalam menganalisa sistem masyarakat.

Sumardjo (1982:39), pernah menyatakan tentang adanya kebangkitan kembali kebudayaan Jawa dalam kesusastraan Indonesia. Maksudnya, karya sastra dapat dipandang sebagai sumber informasi tentang manifestasi budaya Jawa. Menurut Suseno (2003:1), salah satu ciri khas kebudayaan Jawa tersebut terletak pada kemampuan luar biasanya mempertahankan keasliannya di tengah membanjirnya gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme

(5)

dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi kebudayaan Jawa hanya akan menemukan identitasnya. Kebudayaan Jawa, termasuk filsafat Jawa, merupakan bagian dari kebudayaan luhur masyarakat dan bangsa yang harus tetap lestari dan berkembang.

Sebagai salah satu aspek kebudayaan, novel selalu hadir dan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu apa yang dikisahkan dan bagaimana pengarang menuturkan kisah. Lalu, Chatman (1978:19) membagi studi terhadap cerita (fiksi) ke dalam dua bagian pokok. Pertama, studi isi (content) dan kedua, studi wacana (discourse). Baik isi maupun cara pengarang menyampaikan isi dalam novelnya, secara serempak akan dilihat dalam satu kesatuan pembahasan.

Menurut Rosidi (1995:119) adalah wajar apabila dalam karya-karya seorang sastrawan ditemukan latar belakang kehidupan, pendidikan, dan kebudayaan penulisnya. Dan keragaman latar belakang budaya para penulis Indonesia telah memberikan warna-warni mozaik yang menyusun keindahan sastra Indonesia.

Dilihat dari segi budaya yang mengasuhnya, Kuntowijoyo hidup dalam dua budaya besar: Yogyakarta dan Surakarta. Sebagaimana yang dikatakan Wangsitalaja (Anwar, 2007:9), kedua budaya itu sama-sama berlatar kejawen, tetapi memiliki sejumlah perbedaan bahkan pertentangan. Budaya Yogyakarta bersifat “serba seadanya-gagah-maskulin-aktif”, sedangkan budaya Surakarta bersifat “kenes-penuh bunga-feminin-kontemplatif”. Kedua warna budaya yang kental ini merasuki karya-karya Kuntowijoyo, berdialektika dengan budaya Barat dan peradaban Islam yang intensif digeluti dan dihidupinya.

(6)

Sastra Indonesia sendiri, yang mula-mula memperlihatkan pengaruh sastra Belanda yang kuat, seperti nampak pada karya para pengarang Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, kemudian memperlihatkan kaki-langit yang lebih luas; sementara pengaruh sastra Islam melalui bahasa Arab ─ meskipun tidak menonjol ─ tetap merupakan nada dasar, kecuali pada beberapa orang pengarang seperti Hamka. Kehidupan, kepercayaan, cita-cita yang terdapat dalam Islam, dengan mudah akan dijumpai dalam berbagai karya sastra Balai Pustaka, bahkan juga karya sastra para sastrawan Pujangga Baru, dan Angkatan ’45. Meskipun untuk waktu yang lama keislaman ini tidak muncul secara sadar dan menonjol, tetapi ia tetap jelas menjadi latar belakang hampir setiap karya sastra yang ditulis. Pada dua-tiga dasawarsa yang terakhir ini, nampak bahwa keislaman telah muncul secara lebih sadar dalam kehidupan sastra Indonesia seperti tampak dalam karya-karya Bahrum Rangkuti, A.A. Navis, dan Kuntowijoyo.

Keanekaragaman karya sastra nasional Indonesia tidaklah memperlihatkan mozaik yang berdasarkan agama saja, melainkan juga berdasarkan keanekaragaman budaya dan kesenian. Kehidupan masing-masing suku bangsa yang mempunyai adat-istiadat yang berlainan, jenis kesenian yang berbeda, memberi kemungkinan untuk memperkaya keindahan mozaik itu.

Keanekaragaman budaya tersebut ditemukan dalam novel-novel Kuntowijoyo. Novel-novel Kuntowijoyo ini bukan jenis karya sastra yang meremehkan gagasan atau pesan yang ingin disampaikan. Gagasan dan pesan bergulir dalam jalinan narasi realis yang berupaya menggali makna hidup dalam dinamika sejarah dan perubahan

(7)

sosial budaya masyarakat. Sebagai tambahan, Anwar (2007:53) mengemukakan bahwa karya Kuntowijoyo dikatakan sebagai karya di mana “visi menggelindingkan narasi”.

Kuntowijoyo merupakan figur yang menunjukkan realitas budaya Jawa. Dilihat dari latar belakang pendidikannya beliau adalah sejarawan. Akan tetapi, karya-karyanya menunjukkan bahwa beliau juga merupakan cendikiawan, agamawan, dan budayawan. Gelar tersebut melekat karena ia banyak sekali memberikan kontribusi pada bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial, dan pengintegrasian ilmu agama dan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam. Dalam membicarakan tentang alur pemikiran yang dilontarkan beliau, dapat dibahas dari sastra yang ia goreskan pada karya-karyanya. Kuntowijoyo merefleksikan gagasan filosofisnya tersebut melalui karya-karyanya yang bercorak transendental (religius) dan profetik (mengutamakan kebebasan manusia). Sastra yang bercorak transendental dapat dilihat dalam novelnya Khotbah di Atas Bukit (1976), Impian Amerika, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, serta kumpulan puisinya yang berjudul Suluk Awang-Uwung. Sementara itu, sastra yang bersifat profetik yakni, Pasar, Mantra Penjinak Ular, Makhrifat Daun Daun Makhrifat, dan yang terakhir Wasripin dan Satinah. Novel Wasripin dan Satinah ( 2003 ) merupakan karya terakhir Kuntowijoyo sebelum virus meningo enchepalitis merenggut nyawanya pada tanggal 22 Februari 2005.

Novel-novel Kuntowijoyo yang akan dianalisis pada kesempatan ini adalah Pasar (1972, terbit ulang 1994 & 2002), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin

(8)

dan Satinah (2003). Kekayaan masalah-masalah kebudayaan Jawa dalam karya sastra tersebut, menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti tentang mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo? 2. Bagaimanakah filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo?

3. Bagaimanakah representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memperkaya khasanah pembicaraan atau kajian sastra dan budaya. 2. Memaparkan keterikatan atau hubungan kebudayaan dengan sastra.

3. Mengungkapkan dan mendeskripsikan novel-novel Kuntowijoyo secara luas

(9)

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. 2. Menganalisis filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. 3. Menguraikan nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan untuk merangsang penelitian sastra Indonesia yang selama ini berfokus pada penelitian intrinsik dan struktural. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kajian budaya Jawa dan novel-novel Kuntowijoyo.

2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia dan puitika sastra Indonesia.

3. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penelitian-penelitian berikutnya, baik penelitian novel-novel Kuntowijoyo maupun penelitian karya sastra Indonesia lainnya.

(10)

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membantu masyarakat untuk memahami nilai budaya, mitos, dan filsafat Jawa.

2. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan daerah masing-masing.

3. Memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan nilai pasar wajar yang mewakili nilai dari kedua metode penilaian yang digunakan, dilakukan rekonsiliasi dengan terlebih dahulu melakukan

Pengujian pengaruh skala pada nilai kuat geser memerlukan data tegangan geser (τ), kohesi (c) dan sudut gesek dalam (ϕ) batuan Tuff sehingga dapat dibuat kurva tegangan geser

Setelah Anda paham tentang bagaimana membedakan antara merencanakan SDM dalam pembangunan proyek bisnis dan SDM dalam implementasi bisnis rutin, selanjutnya

Hal ini menunjukkan bahwa metode gynogenesis yang telah dilakukan di Balai Benih Ikan (BBI) Punten Batu Ma- lang sudah tepat. Jumlah kromosom dari ketiga macam contoh yang diuji

Adapun alasan lain adalah dengan jarangnya orang menulis tentang sejarah berdirinya suatu sekolah tinggi ataupun perguruan tinggi, sehingga didalam penelitian maupun penulisan

Salah satu cara untuk mendiagnosis penyakit Diabetic retinopathy adalah melakukan segmentasi pada pembuluh darah citra retina, namun citra retina yang diperoleh dari dataset

Pembuatan perangkat lunak dengan cara kerja sistem dimulai ketika sensor loop mendeteksi mobil yang tepat berada diatas kawat lilitan, data dari sensor itu dikirim ke

Kelemahan penggunaan teknik ini adalah relatif sukar, jumlah protoplas yang dihasilkan tidak banyak, keefektifannya dibatasi hanya pada sel-sel yang dapat diplasmolisa