• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN SEBARAN CARBON DI KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMETAAN SEBARAN CARBON DI KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

PEMETAAN SEBARAN CARBON

DI KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA

By. Lilik Budi Prasetyo Ida Bagus Ketut Wedastra Putri Tiara Maulida

Kerja Sama:

Fakultas Kehutanan – IPB dengan WWF Indonesia

(2)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 2

KATA PENGATAR

Penulis panjatkan puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Karunia dan lindungan-Nya, sehingga proses kegiatan identifikasi penutupan lahan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh di Selatan Papua dengan lokasi kajian di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dapat diselesaikan

Selatan Papua memiliki dinamika penutupan lahan yang dipengaruhi oleh musim dan kondisi geografis yang unik. Kondisi musim dipengaruhi oleh dua musim yaitu: musim basah dan kering yang dipengaruhi oleh kondisi tropis dan sub tropis.

Identifikasi penutupan lahan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh satelit sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi tutupan lahan pada tahun 1990, 2000 dan 2010. Masing-masing tahun merupakan komposit dari berbagai bulan akuisisi. Hasil analisis menunjukkan di lokasi kajian terdapat 18 kelas penutupan lahan, yang terdiri dari; hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa pasang surut, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan rawa sekunder, lahan pertanian, lahan terbuka, rawa, rawa pasang surut, savanna, semak belukar, semak belukar pasang surut, semak belukar rawa, perairan, dan tidak ada data (awan dan bayangan awan). Informasi penutupan lahan tersebut diintegrasikan dengan data perhitungan carbon sehingga diperoleh informasi perhitungan total carbon secara lanskap di Kabupaten Merauke.

Penyelesaian laporan ini sebagai akhir dari seluruh rangkaian kegiatan identifikasi penutupan lahan di selatan papua khususnya di Kabupaten Merauke menjadi tidak lengkap tanpa adanya kritik dan saran, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi kajian berikutnya.

Akhir kata, penulis mengucapkan banyak Terima kasih kepada para pihak yang telah membantu penyelesaiaan

Jakarta, September 2012

(3)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 3

DAFTAR ISI

Bab Keterangan Hal

.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh ... 3

2.2. Wahana dan Sensor Penginderaan Jauh ... 3

2.3. Stok Carbon (carbon pool) ... 4

2.4. Penginderaan Jauh untuk estimasi Potensi Stok Carbon ... 5

III. KONDISI UMUM KABUPATEN MERAUKE 3.1. Geografis ... 6 3.2. Jumlah Penduduk ... 6 3.3. Topografi ... 6 3.4. Iklim/Curah Hujan ... 8 3.5. Hidrologi ... 9 3.6. Geologi ... 9 3.7. Jenis Tanah ... 9 IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Kajian dan Data ... 10

4.2. Perangkat Lunak ... 11

4.3. Perangkat Keras ... 11

4.4. Harmonisasi Data ... 11

4.5. Pemrosesan Data/Citra ... 12

(4)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 4

4.7. Integrasi Perhitungan Carbon dengan Hasil Interpretasi ... 20

4.8. Diagram Alir ... 21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tipe penutupan lahan ... 22

5.2. Penutupan Lahan Tahun 1990 ... 23

5.3. Penutupan Lahan Tahun Tahun 2000 ... 25

5.4. Penutupan Lahan Tahun Tahun 2010 ... 26

5.5. Klasifikasi Penutupan Lahan ... 28

5.6. Analisis Perubahan Kandungan Carbon ... 29

VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

(5)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 5

No DAFTAR TABEL Hal.

3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kabupaten Merauke per 31

Desember 2011 ………... 7

3.2 Kelas Lereng lokasi studi ……….. 8

4.1 Rekapitulasi dara citra penyusun Kab. Merauke……… 12

5.1 Karakteristik tegakan/vegetasi di masing-masing kelas penutupan lahan ……….. 23

5.2 Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 1990 ……… 24

5.3 Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2000 ……… 25

5.4 Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2010 ……… 26

5.5 Rekapitulasi luasan deforestasi dan degradasi hutan ………. 28

5.6 Perubahan carbon stock vegetasi (above ground carbon stock). ………. 28

(6)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 6

No DAFTAR GAMBAR Hal.

2.1 Satelit Landsat ……… 4

3.1 Peta Lokasi Kajian Kegiatan Potensi Carbon di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua ……….. 6

4.1 Peta Lokasi Kajian dan Survey Lapangan Studi Carbon Selatan Papua …………. 10

4.2 Path Row untuk Kab.Merauke. ………. 12

4.3 Diagram Alir Pengolahan Data Citra Satelit Landsat. ……….. 15

5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Merauke tahun 1990 ………. 24

5.2 Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun 2000……….. 26

5.3 Penutupan lahan Kabupaten Merauke tahun 2010……….. 27

5.4 Degradasi hutan 1990 – 2010……… 28

(7)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 7

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim global telah dirasakan oleh manusia di berbagai belahan dunia. Perubahan disebabkan oleh kenaikan temperature atmosfer bumi, yang memicu dampak lingkungan global. Dampak tersebut antara lain kenaikan permukaan air laut yang disebabkan oleh melelehnya salju di kutub, dan ketidakpastian musim hujan dan kemarau. (IPCC, 2007). Kenaikan suhu bumi ini menjadi ancaman bagi kehidupan manusia dalam bentuk bencana cuaca yang ekstrim, kekeringan, banjir, tenggelamnya pulau-pulau, kelaparan, kesehatan, dan lain-lain.

Perdebatan penyebab kenaikan temperature bumi masih terus berlangsung. Sebagian ahli masih ada yang mempercayai bahwa kenaikan dan penurunan bumi adalah gejala alam. Namun para ahli yang tergabung di dalam panel expert IPCC mempercayai bahwa kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), yaitu karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitru oxide (NOx) dan Sulphur Oxida (Sox), yang dikeluarkan karena aktivitas manusia. Sumber GRK berasal dari berbagai aktivitas pembakaran bahan bakar fossil dari sector industry, rumah tangga, dan transportasi, serta emisi dari sector pertanian dan kehutanan. Negara maju penyumbang emisis GRK terbesar dari sector industry, sedangkan untuk Negara berkembang di belahan tropika, sumber emisi GRK banyak disebabkan oleh aktivitas pertanian dan kehutanan (deforestasi). Hilangnya hutan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi secara signifikan dalam perubahan iklim. Di sisi lain, kemungkinan memperluas penyimpanan karbon di hutan diidentifikasi sebagai cara yang lebih berpotensi dalam memitigasi perubahan iklim (FAO, 2001; deFries et al., 2000).

Setelah berakhirnya masa komitment Kyoto Protokol, skema REDD diusulkan Papua Nugini dan Costarica pada pertemuan COP 11 di Montreal, yang kemudian diadopsi pada COP 13 (2/CP 13) dan diakui dalam Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) pada Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties, COP) ke-15 dari UNFCCC (4/CP.15). Untuk Indonesia REDD+ telah digendakan secara nasional, sebagai salah satu skema Mitigasi yang akan diimplementasikan hingga pada level pemerintah daerah.

(8)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 8

Deforestasi dan Degradasi hutan di Indonesia telah mengakibatkan besarnya sumbangan emisi pada dunia, oleh karena itu pendekatan mitigasi dengan mengamankan hutan yang ada adalah melalui REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation), yaitu penyelamatan hutan tersisa untuk mengurangi tingkat emisi Indonesia. REDD bertujuan untuk menyelamatkan hutan yang ada atau tersisa dengan mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan. Menyadari akan permasalahan tersebut WWF-Indonesia sebagai lembaga nirlaba bersama IPB dan ICRAF yang berbasis konservasi ekosistem memiliki tanggung jawab moral dalam mengurangi dampak akibat kerusakan lingkungan global termasuk mitigasi dalam mengurangi penyebab perubahan iklim. Salah satu langkah yang akan dilakukan oleh WWF adalah dengan melakukan “Kegiatan Analisis Estimasi Nilai Carbon (ton/Ha) berdasarkan tipe tutupan lahan di Kabupaten Merauke”, kegiatan ini dimulai dengan melakukan penghitungan potensi karbon baik itu aboveground, belowground, soil maupun necromass di lapangan, melakukan analisis terhadap tipe tutupan lahan di lapangan, mengekstrapolasi nilai carbon tingkat plot menjadi nilai carbon berdasarkan tipe tutupan lahan yang diperoleh.

Luasnya wilayah yang dikaji, menjadi kebutuhan akan suatu teknologi yang dapat memberikan informasi secara cepat dan mencakup wilayah yang besar, salah satu teknologi yang digunakan adalah sistem informasi geografis dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan penutupan lahan yang ada pada tahun lalu dan saat ini.

1.2. Tujuan

Tujuan kajian ini adalah mendukung pelaksanaan REDD di Kabupaten Merauke, dengan rincian kegiatan sebagai berikut :

a) Melakukan analisis penutupan lahan tahun 1990, 2000 dan 2010, dengan menggunakan teknologi remote sensing di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.

b) Menghitung potensi stok karbon diatas dan dibawah permukaan berdasarkan perhitungan luas penutupan lahan pada tahun 1990, 2000 dan 2010, yang didukung oleh survey kandungan karbon pada level plot.

(9)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh berasal dari kata Remote sensing memiliki pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan teknologi untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan objek yang dikajinya (Lillesand dan Kiefer, 1979). Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk mengindera/ menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekaman dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor), yang ditempatkan pada sebuah wahana (kendaraan).

2.2. Wahana dan sensor Penginderaan Jauh

Wahana untuk menempatkan sensor satelit berkembang dengan sangat cepat terutama setelah teknologi satelit. Sebelum teknologi satelit ditemukan, wahana penginderaan jauh ditempatkan pada balon udara, dan pesawat. Spesifikasi sensor ditempatkan pada satelit sangat tergantung dari misi satelit, yaitu untuk pemantauan sumberdaya alam (terrestrial), sumberdaya laut atau atmosfer. Sebuah sensor biasanya terdiri dari kumpulan sensor yang mempunyai kemampuan untuk menangkap rentang panjang gelombang yang berbeda-beda, dan biasanya disebut chanel/band. Satelit biasanya mempunyai satu band hingga ratusan bands (Hyperspectral). Salah satu satelit yang ditujukan untuk memantau sumberdaya alam adalah satelit Landsat. Satelit ini dikenal sebagai satelit sumber daya alam karena fungsinya adalah untuk memetakan potensi sumber daya alam dan memantau kondisi lingkungan. Satelit ini mempunyai 7 band. Landsat pada awalnya disebut dengan nama ERTS-1 (Earth Resource Technology Satellite) yang diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978 teat sebelum peluncuran ERTS-B. Tanggal 22 Juli 1975, NASA secara resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat sehingga ERTS-1 berubah menjadi Landsat 1 dan ERTS-B berubah menjadi Landsat 2. Landsat 2 berhenti beroperasi pada tahun 1981. Landsat 3 diluncurkan pada tanggal 5 Maret 1978 dan berhenti beroperasi pada tahun 1983. Landsat 4 diluncurkan pada Juli

(10)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 10

1982 dan Landsat 5 pada Maret 1984. Landsat 4 berhenti beroperasi pada tahun 1993. Landsat 6 gagal mencapai orbit karena terjadi kecelakaan yang dicoba diluncurkan pada tanggal 5 Oktober 1993. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Secara umum, karakteristik landsat adalah sebagai berikut:

1. Resolusi spectral

Resolusi spectral adalah jumlah bands yang ditempatkan pada sebuah satelit. Satelit Landsat 5 TM mempunyai 7 band, sedangkan TM 7 sebanyak 8 band. 2. Resolusi spasial

Resolusi spasial adalah ukuran terkecil kemampuan sensor untuk merekam sebuah obyek. Resolusi spasial Band 1, band 2, band 3, band 4, band 5 dan band 7 adalah 30 meter. Sedangkan band 6 yang menggunakan inframerah thermal memiliki resolusi spasial 60 meter.

3. Resolusi temporal

Resolusi temporal adalah periode waktu yang

dibutuhkan satelit untuk dapat merekam tempat yang sama. Untuk Landsat periode resolusi temporal 16 hari

2.3. Stok Karbon (Carbon Pool)

Stok karbon (carbon pool) adalah kandungan karbon yang terdapat pada vegetasi di atas permukaan, perakaran, serasah, bagian tumbuhan yang mati dan tanah. Pengukuran stok karbon di suatu daerah melibatkan pengukuran stok karbon dari 5 komponen tersebut. Karbon yang terdapat di dalam vegetasi (above dan under ground) adalah akumulasi carbon sebagai hasil dari akumulasi fotosintesa. Untuk pengukuran jumlah karbon di atas permukaan tanah (above ground

Gambar 2.1. Satelit Landsat 5 (sumber NASA)

(11)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 11

carbon stock) dapat dilakukan secara pengukuran langsung (destructive sampling) atau dengan pengukuran secara tidak langsung dengan pendekatan matematis (allometric).

2.4. Penginderaan Jauh untuk estimasi Stok Carbon

Untuk mengestimasi stok karbon pada suatu kawasan yang lebih luas diperlukan suatu cara untuk mengekstrapolasikan hasil pengukuran berbasis plot (dengan alometri) ke tingkat bentang alam. Salah satu metoda yang sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (inderaja).

Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan CO2 dan biomassa dalam umur tertentu yang dapat dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan (Heriansyah, 2005).

Stock karbon adalah jumlah absolut karbon yang berada di permukaan dan di dalam tanah dalam satu satuan waktu tertentu (Price et al., (1997), Kurz (1999), dan James (2005)). Dalam penelitian ini estimasi stock karbon dibatasi hanya yang terdapat pada vegetasi terestrial. Estimasi karbon stock dilakukan dengan menggunakan data luas tutupan vegetasi dikalikan dengan data biomassa dan faktor konversi biomass-karbon (IPCC, 1996). Data luas tutupan hutan diperoleh dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh.

(12)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 12

III. KONDISI LOKASI

3.1. Geografis

Secara geografis, Kabupaten Merauke terletak antara 50 – 90 Lintang Selatan dan 1370 - 1410 Bujur Timur. Kabupaten Merauke berbatasan langsung dengan Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel di sebelah utara, sedangkan untuk sebelah selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Arafura, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG). Luas wilayah Kabupaten Merauke mencapai 45.071 km2. Sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah, ketinggian bervariasi antara 0 sampai dengan 100 m di atas permukaan laut. Sejak tahun 2006 Kabupaten Merauke mempunyai 20 distrik yang terdiri dari 8 kelurahan dan 160 kampung/desa.

(13)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 13

3.2. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Merauke per tanggal 31 Desember 2011, menurut pendataan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah 239.943 Jiwa. Dari jumlah tersebut, Penduduk laki-laki mencapai 126.975 Jiwa dan perempuan mencapai 112.968 Jiwa. Jumlah Kepala Keluarga tercatat sebanyak 58.199 KK. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Distrik Merauke yang jumlahnya mencapai 110.819 Jiwa. Jumlah penduduk terkecil terdapat di Distrik Kaptel dengan jumlah penduduk sebanyak 1.824 Jiwa. Data tersebut dapat disajikan pada Tabel berikut ini :

Tabel 3.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kabupaten Merauke per 31 Desember 2011

No. Distrik Jumlah

Penduduk Jumlah KK Laki-Laki Perempuan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. KIMAAM TABONJI WAAN ILWAYAB OKABA TUBANG NGGUTI KAPTEL KURIK ANIMHA MALIND MERAUKE NAUKENJERAI SEMANGGA TANAH MIRING JAGEBOB SOTA MUTING ELIKOBEL ULILIN 7.153 5.765 4.492 5.511 5.185 2.854 2.053 1.824 15.386 2.410 10.483 110.819 2.280 15.666 19.979 9.076 3.868 5.622 4.596 4.921 3.742 3.007 2.333 2.982 2.742 1.489 1.086 934 8.204 1.261 5.507 58.531 1.168 8.286 10.664 4.897 2.060 2.927 2.520 2.635 3.411 2.758 2.159 2.529 2.443 1.365 967 890 7.182 1.149 4.976 52.531 1.112 7.380 9.315 4.179 1.808 2.695 2.076 2.286 1.587 1.367 1.085 1.269 1.181 673 402 372 4.153 511 2.746 25.805 532 4.213 5.169 2.495 927 1.339 1.140 1.233 Jumlah 239.943 126.975 112.968 58.199

(Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Merauke, 2011)

3.3. Topografi

Keadaan Topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa disepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan Topografinya bergelombang dengan kemiringan 0 – 8%. Kondisi Geografis Kabupaten Merauke yang relatif masih alami, merupakan tantangan serta peluang

(14)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 14

pengembangan bagi Kabupaten Merauke yang masis menyimpan banyak potensi ekonomi untuk menunjang pembangunan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. sebagai berikut ini :

Tabel 3.2. Kelas Lereng lokasi studi

Kelas Lereng Luas (Km2) Persentase Wilayah 0–3 % 5.598 12,42 Kimaam, Okaba,Kurik, Semangga. 3–8 % 30.513 67,70 Merauke, Tanah Miring, Jagebob, Sota. 8–12 % 18.960 19,88 Okaba, Kurik, Muting, Elikobel dan Ulilin,

Jumlah 45.071 100,00

Sumber : Bappeda Kabupaten Merauke, 2010

Kemudian berdasarkan peta dasar Kabupaten Merauke (Gambar 2) terlihat sebagian besar daerah merupakan areal dataran yang berada pada ketinggian antara 0–60 m diatas permukaan laut. Wilayah yang benar-benar datar tersebut berada sebagian besar pada daerah selatan dan tengah. Daerah tersebut merupakan sentra penduduk yang memulai usaha pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya dan konsentrasi pemukiman penduduk.

3.4. Iklim/Curah hujan

Kabupaten Merauke memiliki iklim yang sangat tegas antara musim penghujan dan musim kemarau. Menurut Oldeman (1975), wilayah Kabupaten Merauke berada pada zona (Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah antara 5 – 6 bulan.

Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus yang mana curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson Barat – Barat Laut (Angin Muson Basah) dan Muson Timur – Timur Tenggara (Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh kondisi Topografi dan elevasi daerah setempat.

Curah hujan pertahun di Kabupaten Merauke rata-rata mencapai 1.558,7 mm.Dari data yang ada memperlihatkan bahwa perbedaan jumlah curah hujan pertahun antara daerah Merauke Selatan dan bagian utara. Secara umum terjadi peningkatan curah hujan per tahun dari daerah Merauke Selatan (1000 - 1500) dibagian Muting, kemudian curah hujan dengan jumlah 1500 – 2000 mm/tahun terdapat di Kecamatan Okaba dan sebagian Muting, selebihnya semakin menuju ke Utara curah hujannya semakin tinggi. Perbedaan tersebut

(15)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 15

juga berlaku pada jumlah bulan basah yaitu semakin kebagian utara masa basah sangat panjang sedangkan pada bagian selatan terdapat masa basah yang relatif pendek.

Kondisi iklim yang demikian berpeluang untuk dua kali tanam. Musim hujan yang terjadi merupakan kendala terhadap kondisi jalan – jalan tanah yang setiap tahun mengalami kerusakan. Sementara disisi lain musim kemarau yang panjang justru mengakibatkan kekurangan air bersih dan air irigasi bagi masyarakat dan petani.

Berdasarkan data iklim yamg dikeluarkan oleh Kantor Meteorologi dan Geofisika Merauke menunjukkan bahwa kecepatan angin hanpir sama sepanjang tahun; di daerah pantai bertiup cukup kencang sekitar 4 – 5 m/det dan dipedalaman berkisar 2 m/det. Penyinaran matahari rata – rata di Merauke adalah 5,5 jam/hari pada bulan Juli dan yang terbesar 8,43 jam/hari pada bulan September, dengan rata – rata harian selama setahun sebesar 6,62 jam. Tingkat kelembapan udara cukup tinggi karena dipengaruhi oleh iklim Tropis Basah, kelembapan rata – rata berkisar antara 78 – 81%.

3.5. Hidrologi

Sungai – sungai besar yakni Bian, Digul, Maro, Yuliana, Lorents, dan Kumbe merupakan potensi sumber air tawar untuk pengairan dan digunakan sebagai prasarana angkutan antara kecamatan dan desa – desa. Sumber air tawar dari rawa – rawa, air permukaan dan air tanah cukup tersedia untuk dimanfaatkan. Di beberapa tempat air tanah mengandung belerang panas.

3.6. Geologi

Pantai selatan dibentuk oleh hutan sedimen, tergolong endapan alivium, di Utara pasir Kwarsa dan batu apung. Berdasarkan data tingkat kesuburan tanah tergolong rendah sampai sedang. Bahan tambang/mineral yang diduga ada minyak dan emas.

3.7. Jenis Tanah

Jenis tanah yang terdapat diwilayah Kabupaten Merauke terdiri atas tanah organosol, alluvial dan hidromorf kelabu yang terdapat didaerah – daerah rawa dan payau. Jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk buatan sedimen yang menyebar diwilayah distrik Okaba, Merauke dan Kimaam.

(16)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 16

IV. METODOLOGI

4.1. Lokasi Kajian dan Data

Lokasi Kajian berada pada lansekap Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Gambar 4.1). Untuk mendapatkan informasi penutupan lahan di lokasi kajian maka diperlukan data-data pendukung. Data pendukung tersebut terdiri dari data sekunder dan data primer yang terdiri dari data vektor dan data raster. Data sekunder dapat diperoleh melalui data-data yang sudah ada yang berasal dari instansi pemerintah, LSM, maupun instansi swasta dan lembaga penelitian lainnya yang telah melakukan kegiatan di lokasi kajian. Data raster yang digunakan adalah menggunakan citra satelit Landsat 5 dan atau Landsat 7. Untuk mendapatkan informasi jejak ekologi dan tresn perubahan yang terjadi, maka diperlukan kajian pada tahun sebelumnya serta kajian tahun terbaru.

(17)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 17

4.2. Perangkat Lunak

Perangkat lunak, merupakan sistem modul yang berfungsi untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan data yang diperlukan. Data hasil penginderaan jauh dan tambahan (data lapangan, peta) dijadikan satu menjadi data dasar citra, geografi. Data dasar tersebut dimasukkan ke komputer melalui unit masukan untuk disimpan dalam disket. Bila diperlukan data yang telah disimpan tersebut dapat ditayangkan melalui layar monitor atau dicetak untuk bahan laporan (dalam bentuk peta/gambar). Data ini juga dapat diubah untuk menjaga agar data tetap aktual (sesuai dengan keadaan sebenarnya).

Perangkat lunak yang digunakan adalah Erdas IMAGINE, ArcGIS, Er Mapper dan Microsoft Office

4.3. Perangkat Keras

Perangkat keras: berupa komputer beserta instrumennya (perangkat pendukungnya). Data yang terdapat dalam Sistem Pengolahan Citra diolah melalui perangkat keras. Perangkat keras dalam Pengolahan Citra terbagi menjadi tiga kelompok yaitu:

 Alat masukan (input) sebagai alat untuk memasukkan data ke dalam jaringan komputer. Contoh: Scanner, digitizer, CD-ROM, FlashDisk.

 Alat pemrosesan, merupakan sistem dalam komputer yang berfungsi mengolah, menganalisis dan menyimpan data yang masuk sesuai kebutuhan, contoh: CPU, tape drive, disk drive.

 Alat keluaran (ouput) yang berfungsi menayangkan informasi geografi sebagai data dalam proses SIG, contoh: plotter, printer.

Untuk kegiatan survey lainnya diperlukan Lembar Survey, GPS, Kompas dan Kamera Foto.

4.4. Harmonisasi Data

Harmonisasi data dimaksudkan untuk membuat suatu database data yang akan dipergunakan memiliki batas landsekap yang sama, posisi koordinat/DATUM yang sama, serta informasi attribut data yang sama dan mudah diakses serta digunakan kembali.

(18)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 18

4.5. Pemerosesan Data/Citra

Kabupaten Merauke, tersusun dari 6 scene citra satelit (Gambar 4.2), sehingga langkah awal dari tahapan proses klasifikasi adalah proses mosaic. Proses ini dilakukan setelah secara geografi citra telah terkoreksi dengan data dasar vector. Hal ini penting dilakukan agar hasil dari klasifikasi dapat diintegrasikan dengan data lain. Daftar scene yang digunakan disajikan pada Tabel 4.1.

Gambar 4.2. Path Row untuk Kab.Merauke.

Tabel 4.1. Rekapitulasi dara citra penyusun Kab. Merauke. No. Jenis Citra Path –

Row Tgl Perekaman Sumber

Tahun 1990

1 Landsat 5 TM 100 – 065 20-Nov-90 NASA – USGS

2 Landsat 5 TM 100 – 066 20-Nov-90 NASA – USGS

3 Landsat 5 TM 101 – 065 11-Sep-91 NASA – USGS

4 Landsat 5 TM 101 – 066 11-Nov-90 NASA – USGS

5 Landsat 5 TM 102 – 065 25 Oktober 1987 NASA – USGS

6 Landsat 5 TM 102 – 066 06 Juni 1991 NASA – USGS

Tahun 2000

1 Landsat 7 ETM+ 100 – 065 22 Oktober 2000 NASA – USGS

(19)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 19

No. Jenis Citra Path –

Row Tgl Perekaman Sumber

3 Landsat 7 ETM+ 101 – 065 26 Agustus 2000 NASA – USGS

4 Landsat 7 ETM+ 101 – 066 10 Agustus 2000 NASA – USGS

5 Landsat 7 ETM+ 102 – 065 16 Mei 2001 NASA – USGS

6 Landsat 7 ETM+ 102 – 066 16 Mei 2001 NASA – USGS

No. Tahun 2009

1 Landsat 5 TM 100 – 065 03 Juli 2009 NASA – USGS

2 Landsat 5 TM 100 – 066 03 Juli 2009 NASA – USGS

3 Landsat 5 TM 101 – 065 30 Oktober 2009 NASA – USGS

4 Landsat 5 TM 101 – 066 19 Februari 2010 NASA – USGS

5 Landsat 5 TM 102 – 065 12-Apr-09 NASA – USGS

6 Landsat 5 TM 102 – 066 12-Apr-09 NASA – USGS

Bila diperhatikan detil kombinasi scene untuk setiap periode tahun tidak sama, bahkan tersebar dalam dua iklim yang berbeda, misalnya campuran scene yang diambil pada bulan Juni (kemarau) dan November (penghujan). Hal ini tidak bias dihindari karena ketersediaan scene yang terbatas.

Setelah menjadi satu mosaic, pross dilanjutkan. Diagram alir pengolahan data citra disajikan pada Gambar 4.3.

4.5.1. Koreksi Citra (Image Rectification)

Citra satelit asli dapat mengandung berbagai kesalahan dalam geometri dan radiometri (cosmetic appearance). Oleh karena itu penting untuk memperbaiki citra sebelum memulai interpretasi. Hal ini biasanya melibatkan pengolahan awal citra satelit asli untuk mengkoreksi distorsi geometrik, koreksi radiometrik dan kalibrasi dan menghilangkan kebisingan dari data (atmosferik). Proses ini juga disebut sebagai rektifikasi citra.

Koreksi geometrik dilakukan karena adanya distorsi yang disebabkan oleh kelengkungan bumi, ketidaksamaan gerak penyiaman (scanner) dan gerak rotasi bumi, koreksi ini dilakukan dengan merubah posisi aktual citra, tetapi nilai intensitasnya tetap tidak berubah. Kemudian dilakukan resampling, yaitu citra ditransformasikan kepada citra yang tidak mengalami distorsi pada posisi yang sama. Nilai intensitasnya diperoleh dari hasil interpolasi nilai-nilai piksel disekitarnya. Kesalahan geometrik dapat dikoreksi

(20)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 20

melalui lintasan satelit atau informasi GCP (ground control point) yang terlihat pada citra atau data referensi yang ada, seperti: perpotongan jalan atau garis pantai atau bentuk sungai.

Pengkoreksian citra dalam kajian ini menggunakan metode orde polinimial dengan minimum titik kontrol sebanyak 16 titik kontrol (cubic GCP).

4.5.2. Koreksi Atmosfer

Menurut Energi yang berasal dari sumbernya atau energi yang diterima sensor dipengaruhi oleh atmosfer (hamburan, pantulan dan penyerapan). Gangguan atmosfer ini perlu dikoreksi, terutama objek-objek yang gelap atau tingkat keabuan yang rendah seperti air.

Untuk evaluasi subjektif (Kualitatif) dari sebuah citra, koreksi atmosfer tidak terlalu penting, akan tetapi untuk mendapatkan informasi secara kuantitatif maka koreksi atmosfer sangat penting dilakukan. Teknik koreksi atmosferik terdiri dari 3 cara, yaitu:

1. Teknik dark pixel saturation

2. Tehnik histogram matching/adjustment 3. Teknik mathematical modeling

(21)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 21

Gambar 4.3. Diagram Alir Pengolahan Data Citra Satelit Landsat. Koreksi Geometrik

Harmonisasi Data

Koreksi Atmosferik

Penajaman Citra

(RGBI dan PCA)

Klasifikasi Citra Tidak Terbimbing (Unsupervised Classification) Klasifikasi Citra Terbimbing (Supervised Classification) Area sampel (Training Area) Pemotongan Citra Aku sis i d an H arm on is as i Citra Satelit Landsat 5 Tahun 1990 Citra Satelit Landsat 5 Tahun 2000 Citra Satelit Landsat 5 Tahun 2010 Survey Lapangan Tidak Teliti

Peta

Penutupan

Lahan

Uji Ketelitian Klasifikasi (Confusion Matrix) P en g o lah a n Aw al Data Klasi fik a si d an Uj i

Uji Ketelitian Hasil Klasifikasi terhadap Hasil Survey Lapangan H asi l A n al isi s

Analisis

Perhitungan

Stok Carbon

PETA POTENSI SEBARAN CARBON

(22)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 22

Pada Kajian ini mempergunakan teknik/metode penyesuaian histogram (histogram adjustment). Asumsi yang melandasi metode ini adalah nilai piksel terendah tiap saluran seharusnya bernilai 0. Apabila nilai lebih besar dari nol (>0), maka dihitung sebagai bias atau offset, dan koreksi dilakukan dengan cara menghilangkan bias tersebut, yaitu mengurangi keseluruhan nilai spektral pada saluran asli dengan nilai biasnya masing-masing.

4.5.3. Penajaman Citra (Image Enhancement)

Penajaman citra bertujuan untuk memperbaiki penampakkan citra secara visual dengan meningkatkan perbedaan nyata diantara objek dalam citra. Penajaman ini dilakukan sebelum proses interpretasi atau klasifikasi citra. Hal ini membantu dalam penafsiran yang lebih baik dari gambar dan dalam memisahkan satu jenis fitur yang lain. Penajaman citra melibatkan penggunaan sejumlah fungsi manipulasi statistik dan citra yang disediakan dalam perangkat lunak pengolah citra. Ini termasuk peningkatan kontras, histogram equalization, kepadatan mengiris, penyaringan spasial, citra rasio, transformasi warna, fusi gambar, dll.

Pada kajian ini menggunakan metode kombinasi warna Merah, Hijau, Biru dan Intensity (color composite/RGBI) dan Perbandingan nilai spektral (spectral rationing).

Metode kombinasi warna adalah pengabungan nilai spektral dari kanal/band pada tingkat keabuan yang terdapat pada citra satelit sehingga menghasilkan pengabungan warna merah, hijau, biru serta peningkatan intensitas pada kanal yang menjadi fokus perhatian, pada kajian ini kombinasi yang digunakan adalah kombinasi kanal 4(R), 5(G), 3(B) dan 5(I), kanal 5(R), 4(G), 2(B) dan 4(I), dan kanal 7(R), 4(G), 2(B),dan 7(I).

Metode perbandingan nilai spektral dilakukan dengan melakukan proses secara statistik dari nilai spektral yang terdapat pada kanal/band citra sehingga menghasilkan karakteristik spektral/warna dari objek yang ada. Metode perbandingan nilai spektral menggunakan analisis komponen utama (PCA).

4.5.4. Klasifikasi Citra dan koreksi awan (a) Klasifikasi Citra

klasifikasi citra satelit untuk identifikasi penggunaan/penutupan lahan, dilakukan dengan integrasi beberapa metode pendekatan, yaitu:

(23)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 23

1. Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) adalah klasifikasi berdasarkan perbedaan nilai spektralnya. Dilakukan dengan membagi nilai digital pada citra kedalam 255 kelas dan dilakukan secara automatisasi oleh peringkat lunak yang digunakan.

2. Klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan menggunakan input data/informasi acuan yang dianggap benar (hasil Penajaman citra RGBI, Analisis PCA, hasil pengamatan lapangan dan referensi peta lainnya).

3. Klasifikasi Kombinasi (hibrid classification). hasil kedua klasifikasi tersebut, kemudian digabungkan sehingga dalam analisis dan klasifikasi citra telah mempertimbangkan masukan keterpisahan nilai spektral dan data informasi lapangan.

Pada analisis klasifikasi citra penutupan lahan menggunakan metode kombinasi (hybrid classification), hasil klasifikasi tidak Terbimbing digunakan sebagai salah satu acuan dalam pengambilan areal contoh (training area), selain Komposit RGBI dan PCA pada proses klasifikasi Terbimbing (supervised classification).

Hasil dari klasifikasi belum dapat membedakan berbagai tipe hutan dan derajad gangguan terhadap ekosistem hutan. Untuk mendapatkan kelas tipe hutan, hasil klasifikasi dioverlay dengan peta tipe ekosistem yang telah dibangun oleh WWF sebelumnya. Dari overlay ini didapatkan berbagai tipe hutan, yaitu hutan lahan kering dataran rendah, hutan rawa, hutan rawa pasang surut dan mangrove.

Derajad gangguan hutan (hutan primer dan sekunder), sulit dilakukan dengan menggunakan klasifikasi digital, sehingga untuk menentukan primer dan sekunder untuk penutupan lahan tahun 2000 dan 2010 dilakukan setelah klasifikasi (Post classification). Logika yang digunakan adalah penutupan hutan karena regrowth dari tahun sebelumnya disebut hutan sekunder.

(b) Koreksi awan

Masalah utama untuk komparasi data hasil klasifikasi adalah keberadaan awan. Untuk mengatasi hal ini dan menghindari komparasi yang bias, maka dilakukan analisis spasial sbb:

(24)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 24

1. Land cover yang berada di bawah awan pada tahun 2000 akan sama dengan 1990, apabila land cover pada tahun 2010 sama dengan 1990.

2. Pada tahap akhir, semua penutupan awan dan bayangan awan (tidak ada data), disamakan untuk semua tahun analisis (1990, 2000dan 2010).

4.5.5. Uji Ketelitian/Validasi Hasil Analisis klasifikasi Citra Satelit

Uji ketelitian sangat penting dalam setiap hasil penelitian dari setiap jenis data penginderaan jauh. Tingkat ketelitian data sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data penginderaan jauh. Uji ketelitian analisis untuk identifikasi penutupan lahan dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) Akurasi pengambilan sampel area (area sampling accuracy) dan (2) Akurasi Pengambilan sampel titik/data survey lapangan (point sampling accuracy)

a. Uji Akurasi Pengambilan Area Contoh (Area Sampling Accuracy)

Accuracy assessment citra hasil klasifikasi dapat dilakukan dengan matrik kekeliruan (confusion matrix). Matrik ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel hasil klasifikasi citra dengan jumlah piksel dalam area pengambilan contoh (training area) pada proses klasifikasi yang mempresentasikan data hasil interpretasi dari kelas yang sama sebagai pembanding dengan hasil proses klasifikasi. Sehingga dapat diperoleh tingkat akurasi dari pengambilan contoh area (user accuracy) dan juga akurasi dari proses klasifikasi yang dilakukan (producer accuracy).

b. Uji Akurasi Pengambilan Titik Contoh (Point Sampling Accuracy)

Uji ketelitian/kebenaran analisis dan klasifikasi dalam penggunaan/penutupan lahan digunakan pendekatan metode tingkat akurasi pengambilan titik contoh (point sampling accuracy) berdasarkan matrik kekeliruan (confusion matrix) untuk menguji kebenaran hasil deteksi dan klasifikasi pada citra dengan kondisi dilapang. Uji ketelitian analisis dalam deteksi tutupan lahan antara hasil analisis dengan kondisi di lapang digunakan pendekatan pengambilan contoh acak terstratifikasi (stratified random sampling). Uji ketelitian ini mengikuti metode seperti yang telah disarankan oleh Sutanto, (1994) dengan tahapan: (i) melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik sampel yang dipilih dari

(25)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 25

setiap kelas penggunaan/penutupan lahan. Setiap jenis penggunaan/penutupan lahan diambil beberapa sampel area didasarkan atas homogenitas kenampakannya dan diuji kebenarannya di lapangan, (ii) menilai kecocokan hasil analisis citra inderaja dengan kondisi sebenarnya di lapangan, dan (iii) membuat matrik perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada setiap jenis penggunaan/penutupan lahan dari hasil analisis data digital citra satelit, sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Ketelitian analisis dibuat dalam beberapa kelas X yang dihitung dengan rumus (Sutanto, 1994):

Dimana:

MA : Ketelitian analisis/klasifikasi Xcr : Jumlah pixel/site kelas yang benar

Xo : Jumlah pixel/site kelas X yang masuk ke kelas lain (ommision) Xco : jumlah pixel/site kelas X tambahan dari kelas lain (commision)

4.6. Survey Lapangan

Dalam klasifikasi citra penginderaan jauh satelit, survey lapangan (ground truth) merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di lapangan seperti jenis penutup lahan dan atau penggunaan lahan yang sesungguhnya. Data lapangan ini digunakan sebagai dasar dalam interpretasi citra satelit yang mewakili daerah tersebut sehingga dapat mendukung dalam proses pembuatan peta penggunaan/penutup lahan.

Berdasarkan data lapangan yang ada, dapat diketahui bahwa ada perbedaan atau tidak antara peta, citra, dengan hasil survey lapangan. Perbedaan itu dapat terjadi karena adanya perbedaan antara waktu perekaman citra dengan waktu pengambilan data lapangan. Titik-titik sample pada citra diambil dengan memperhatikan aspek keberadaan obyek. Semua titik sampel mewakili semua obyek yang ada pada citra.

Tahapan yang dilakukan untuk melaksanakan survey lapangan: 1. Perencanaan dan Persiapan.

 Pengenalan lokasi survey pada citra dengan syarat mudah dikenal dan diidentifikasi di lapangan sebagai lokasi pengukuran posisi pada citra penginderaan jauh satelit dan interpretasi citra penginderaan jauh. Lokasi suatu titik umumnya ditentukan oleh garis

MA =

Xcr pixel Xcr + Xo +Xco

(26)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 26

lintang (latitude) dan bujur (longitude) atau dalam format UTM (East/West) untuk posisi dua dimensi. Hasil klasifikasi citra merupakan informasi awal yang diperoleh sebagai acuan untuk merencakan lokasi titik survey yang akan dituju, kemudian pencatatan dilakukan dengan menggunakan formulir survey (Lampiran 1).

 Persiapan peralatan pengukuran.  Merencanakan rute

2. Pelaksanaan Pengamatan.

Hasil Perencanaan dan Persiapan dilanjutkan dengan pelaksanaan pengamatan di lokasi yang telah dipersiapkan. Titik Survey yang diamati dimulai dengan titik survey atau pengamatan yang jaraknya lebih dekat dengan posisi awal. Pengambilan titik-titik di sepanjang perjalanan menuju titik survey dilakukan pada kondisi penutupan lahan mengalami perbedaan. Tujuan dari pengambilan titik-titik koordinat serta tipe penutupan lahan diantara titik survey dilakukan untuk membantu memberikan informasi lebih pada hasil pengamatan dan perbaikkan citra hasil interpretasi penutupan lahannya.

Pengambilan foto lokasi dengan memperhatikan antara nomor foto pada kamera dengan nomor lokasi titik survey serta posisi koordinatnya, hal ini untuk membantu proses pelaporan antara posisi koordinat dari hasil pengamatan lapangan dengan foto lokasi pengamatan.

4.7. Integrasi Perhitungan Carbon Dengan Hasil Klasifikasi

Pengukuran karbon pada biomass hidup (living biomass) dilakukan dengan menkonversi luas tutupan hutan dikalikan dengan faktor volume vegetasi. Total berat karbon yang didapat dikalikan dengan faktor konversi karbon-CO2 (CFS, 2000).

Persamaan-persamaan tersebut (Rokhmatuloh dan Rudy P. Tambunan, 2010) dapat dilihat seperti dibawah ini:

Total Volume Vegetasi = volume vegetasi x 1,454 x 0,396

Total Biomass = luas tutupan vegetasi x total volume vegetasi Total Carbon = total biomass x 0,5

(27)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 27

4.8. Perubahan penutupan lahan

Analisis dilakukan dengan teknik overlay. Dari proses overly, selain diketahui perubahan setiap land cover secara kuantitatif juga diketahui distribusi spasialnya. Analisis juga ditujukan untuk identifikasi degradasi hutan. Deradasi hutan didefinisikan adalah daerah yang mengalami perubahan dari hutan primer ke sekunder.

(28)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 28

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tipe Penutupan Lahan

Terdapat 17 tipe penutupan lahan. Berdasarkan hasil survey lapangan, kondisi struktur vegetasi masing-masing penutupan lahan disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Karakteristik tegakan/vegetasi di masing-masing kelas penutupan lahan.

no Tipe penutupan Lahan Karakteristik

1 Hutan lahan kering primer

Hutan yang tumbuh di lahan yang tidak terendam, karena lokasinya lebih tinggi. Dari survey diketahui bahwa struktur vegetasi hutan lahan kering bisa sangat beragam atau didominasi oleh species tertentu. Paling tidak ada 3 tipe, yaitu hutan campuran (Anisoptera sp., Syzygium sp., Vatica

papuana, Elaeocarpus sp., Sterculia sp., Knema tomentella),

hutan yang didominasi Acacia (Acacia mangium and Acacia

auriculiformis), dan hutan yang didominasi oleh Myrtaceae (

Melaleuca leucadendron, Eucalyptus pellita, Myristica fatua and Syzygium catastega )

2 Hutan lahan kering sekunder

Hutan lahan kering yang terganggu, atau hasil dari proses suksesi alami. Lahan didominasi oleh pohon berdiameter kecil . Struktur vegetasi sangat dipengaruhi oleh tegakan awal. Untuk pohon berdiameter besar dapat didominansi oleh Myrtaceae, Ryparosa fasciculate atau Syzygium catastega.

3 Hutan rawa primer

Hutan rawa tumbuh pada lahan yang secara periodic/permanen tergenang, karena lokasi berdekatan dengan sungai dan lebih rendah. Kerapatan pohon (dbh >30cm) dapat mencapai 100 pohon/ha. Species yang ditemukan adalah Eucalyptus pellita,

Carallia brachiata, Gmelina moluccana, Decaspermum fruticosum, Calophyllum inophyllum, Barringtonia racemosa, Cryptocarya palmarensis, Flindersia pimenteliana, Acacia auriculiformis, Melaleuca leucadendron dan species palma: Leopoldinia piassaba dan Licuala rumphi.

4 Hutan rawa sekunder

Hutan rawa terganggu atau yang terjadi karena proses suksesi. Gangguan utama pada hutan rawa adalah api, yang digunakan

masyarakat untuk membuka lading/meremajakan padang

penggembalaan. Terdapat 3 tipe hutan rawa sekunder, yaitu hutan rawa sekunder dengan vegetasi campuran, hutan rawa sekunder yang didominasi oleh Melaleuca dan yang didominasi oleh Myrtaceae.

5 Hutan rawa pasang surut

Ekosistem ini selain mengalami perendaman permanent/periodic, juga mendapat pengaruh dari

pasang/surut air laut. Pada saat survey lapangan dijumpai dua tipe hutan rawa pasang surut, yaitu hutan rawa pasang

(29)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 29

no Tipe penutupan Lahan Karakteristik

surut yang didominasi oleh Eucalyptur pellita, dan didominasi oleh Melaleuca leucodendron

6 Mangrove primer

Mangrove yang belum terganggu. Species yang dapat dijumpai adalah Avicennia officinalis, Heritiera littoralis, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora

7 Mangrove sekunder

Mangrove yang mengalami gangguan/pemanenan, atau hasil dari pross suksesi . Terdapat 4 tipa, yaitu didominasi oleh Avicennia alba, Avicennia officinalis dan Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal dan Avicennia marina

8 Savanna Savana didominasi oleh rumput, dan secara periodic terendam

pada musim penghujan karena relative lebih rendah serta datar.

9 Semak belukar rawa

Semak belukar rawa adalah tahap awal dari proses suksesi, setelah terjadinya gangguan (api). Struktur vegetasi yang terbentuk beragam sesuai dengan tegakan asli. Dari data survey lapangan terdapat 4 tipe belukar rawa dengan dominansi species yang berbeda, yaitu belukar dengan dominansi Acacia sp, keluarga palma, Melaleuca dan campuran berbagai species (Musa sp, Garcinia sp, Glochidion sp serta Sonneratia)

10 Semak belukar pasang surut Semak belukar yang dipengaruhi oleh pasang surut laut.

11 Semak belukar

Semak belukar merupakan suksesi awal dari lahan pertanian yang diberakan. Species pionir yang ditemukan adalah Alstonia actinophylla, Aglaia sp., Alphitonia sp., Euodia sp. dan Timonius sp

12 Rawa Lahan yg tergenang dalam/dangkal, dapat ditutupi oleh vegetasi.

13 Rawa pasang surut Lahan yg tergenang dalam/dangkal, dapat ditutupi oleh vegetasi, yang mendapat pengaruh pasang surut laut..

14 Lahan terbuka Lahan dengan penutupan vegetasi sangat rendah

15 Lahan pertanian Lahan yang ditanami berbagai tanaman pangan (ubi) dan polowija

16 Perairan Sungai

5.2. Penutupan lahan tahun 1990.

Mozaic landsat TM 5 tahun 1990, yang digunakan untuk membangun data penutupan lahan direkam pada bulan Nopember, sehingga data citra satelit sangat dominan dipengaruhi oleh air. Rawa, Rawa pasang surut dan belukar pasang surut mendominasi penutupan lahan Kabupaten Merauke, sedangkan luas savanna sangat kecil (0.60 ha). Hutan lahan kering dan hutan rawa, (primer dan sekunder), masing-masing sebesar 13.44% dan 11.99%. Rincian detil disajikan pada Tabel 5.2. Rawa, Rawa pasang surut, dan semak belukar rawa banyak tersebar di Kecamatan Kimaam dan Okaba. Sedangkan hutan lahan kering dataran rendah terdapat di Kecamatan Muting.

(30)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 30

Tabel 5.2. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 1990

No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %

1 Hutan lahan kering primer 515,818.80 11.04

2 Hutan lahan kering sekunder 112,397.22 2.40

3 Hutan rawa primer 355,199.22 7.60

4 Hutan rawa sekunder 538,745.67 11.53

5 Hutan rawa pasang surut 21,631.14 0.46

6 Mangrove primer 379,876.23 8.13

7 Mangrove sekunder 0.00 0.00

8 Savanna 0.63 0.00

9 Semak belukar rawa 355,443.66 7.60

10 Semak belukar pasang surut 638,416.17 13.66

11 Semak belukar 6,756.75 0.14

12 Rawa pasang surut 759,297.96 16.24

13 Rawa 562,233.51 12.03

14 Lahan terbuka 171,805.23 3.68

15 Lahan pertanian 7,805.25 0.17

16 Perairan 38,606.04 0.83

17 Tidak ada data 210,197.34 4.50

Total 4,674,230.82 100.00

(31)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 31

5.3. Penutupan lahan tahun 2000

Berbeda dengan kondisi tahun 1990, kondisi tahun 2000 relatif lebih kering,sehingga rawa dan rawa pasang surut banyak berkurang, sehingga memperluas permukaan yang ditumbuhi semak belukar. Fenomena ini dapat terlihat jelas di Kecamatan Kimaam (P. Dolak).

Untuk penutupan hutan tidak banyak mengalami perubahan. Hutan rawa primer menurun, diikuti dengan meningkatnya hutan rawa sekunder. Demikian juga untukhutan lahan kering primer, dibandingkan dengan tahun 1990, megalami penurunan, berubah menjadi hutan lahan kering sekunder (Tabel 5.3).

Tabel 5.3. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2000 No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %

1 Hutan lahan kering primer 441731.16 9.45

2 Hutan lahan kering sekunder 185,919.21 3.98

3 Hutan rawa primer 272,736.81 5.83

4 Hutan rawa sekunder 712,124.19 15.24

5 Hutan rawa pasang surut 256,576.86 5.49

6 Mangrove primer 213,576.75 4.57

7 Mangrove sekunder 94,434.66 2.02

8 Savanna 87,854.49 1.88

9 Semak belukar rawa 695,767.77 14.89

10 Semak belukar pasang surut 975,563.91 20.87

11 Semak belukar 18,591.21 0.40

12 Rawa pasang surut 237,794.40 5.09

13 Rawa 155,846.61 3.33

14 Lahan terbuka 20,343.24 0.44

15 Lahan pertanian 33,732.54 0.72

16 Perairan 61,439.67 1.31

17 Tidak ada data 210,197.34 4.50

Total 4,674,230.82 100.00

(32)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 32

5.4. Penutupan lahan tahun 2010

Pada tahu 2010, luasan hutan primer terus menyusut, berganti menjadi hutan sekunder (Tabel 5.4). Distribusi penutupan lahan disajikan pada Gambar 5.4.

Tabel 5.4. Rekapitulasi luas masing-masing penutupan lahan tahun 2010

No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %

1 Hutan lahan kering primer 331,822.08 7.10

2 Hutan lahan kering sekunder 294,543.18 6.30

3 Hutan rawa primer 190,672.92 4.08

4 Hutan rawa sekunder 803,227.41 17.18

5 Hutan rawa pasang surut 319,092.93 6.83

6 Mangrove primer 116,567.73 2.49

(33)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 33

No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %

7 Mangrove sekunder 180,210.69 3.86

8 Savanna 0.00 0.00

9 Semak belukar rawa 788,253.21 16.86

10 Semak belukar pasang surut 1,027,321.74 21.98

11 Semak belukar 10,988.46 0.24

12 Rawa pasang surut 24,898.32 0.53

13 Rawa 208,874.52 4.47

14 Lahan terbuka 77,083.47 1.65

15 Lahan pertanian 48,031.74 1.03

16 Perairan 42,445.08 0.91

17 Tidak ada data 210,197.34 4.50

Total 4,674,230.82 100.00

(34)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 34

5.5. Perubahan penutupan lahan

Proses perubahan penutpan lahan banyak dipengaruhi oleh iklim, terutama untuk semak belukar dan rawa. Namun untuk penutupan hutan, eksploitasi/pemanenan sangat berpengaruh, sehingga menghilangkan atau menurunkan kualitas tegakan hutan. Proses tebang pilih akan menyebabkan degradasi hutan, sedangkan tebang habis akan menyebabkan deforestasi. Perubahan luasan hutan disebabkan oleh dua hal ini disajikan pada Tabel 5.5.

.

Tabel 5.5. Rekapitulasi luasan deforestasi dan degradasi hutan

Proses 1990-2000 2000-2010 1990-2010

Degradasi hutan 123,888.06 216,728.82 379,123.56

Deforestasi hutan 212,240.16 284,527.98 218,252.43

Distribusi degradasi dan deforestasi disajikan pada Gambar 5.4 dan 5.5.

(35)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 35

5.6. Analisis Perubahan kandungan karbon

(a) Above ground carbon stock

Perubahan penutupan lahan disebakan oleh iklim atau aktivitas manusia menyebabkan perubahan kandungan karbon di vegetasi (above ground carbon stock/ABG). Total ABG pada tahun 2010 mencapai kurang lebih 277.9 juta ton, menurun dari tahun 2000, tetapi mempunyai trend naik dari tahun 1990 (Tabel 5.6.)

Tabel 5.6. Perubahan carbon stock vegetasi (above ground carbon stock).

No Tipe Penutupan

Lahan

Carbon per

Ha

Luas (Hektar) Kandungan karbon vegetasi

1990 2000 2010 1990 2000 2010

1 Hutan lahan kering

primer 144.75 515,818.80 441731.16 331,822.08 74,664,771.30 63,940,585.41 48,031,246.08 2 Hutan lahan kering

sekunder 89.76 112,397.22 185,919.21 294,543.18 10,088,774.47 16,688,108.29 26,438,195.84 3 Hutan rawa primer 200.23 355,199.22 272,736.81 190,672.92 71,121,539.82 54,610,091.47 38,178,438.77

(36)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 36 No Tipe Penutupan Lahan Carbon per Ha

Luas (Hektar) Kandungan karbon vegetasi

1990 2000 2010 1990 2000 2010

4 Hutan rawa sekunder 92.34 538,745.67 712,124.19 803,227.41 49,747,775.17 65,757,547.70 74,170,019.04 5 Hutan rawa pasang

surut 124.81 21,631.14 256,576.86 319,092.93 2,699,782.58 32,023,357.90 39,825,988.59 6 Mangrove primer 116.79 379,876.23 213,576.75 116,567.73 29,216,280.85 16,426,187.84 13,613,945.19

7 Mangrove sekunder 37.03 0 94,434.66 180,210.69 0 0 6,673,201.85

8 Savanna 2.79 0.63 87,854.49 0.00 1.76 245,114.03 0.00

9 Semak belukar rawa 19.85 355,443.66 695,767.77 788,253.21 7,055,556.65 13,810,990.23 15,646,826.22 10 Semak belukar pasang

surut 14.77 638,416.17 975,563.91 1,027,321.74 9,429,406.83 14,409,078.95 15,173,542.10 11 Semak belukar 4.31 6,756.75 18,591.21 10,988.46 29,121.59 80,128.12 47,360.26

12 Rawa pasang surut 0 759,297.96 237,794.40 24,898.32 0 0 0.00

13 Rawa 0 562,233.51 155,846.61 208,874.52 0 0 0.00

14 Lahan terbuka 0 171,805.23 20,343.24 77,083.47 0 0 0.00

15 Lahan pertanian 1.41 7,805.25 33,732.54 48,031.74 11,005.40 47,562.88 67,724.75

16 Perairan 0 38,606.04 61,439.67 42,445.08 0 0 0.00

17 Tidak ada data 0 210,197.34 210,197.34 210,197.34 0 0 0.00

4,674,230.82 4,674,230.82 4,674,230.82 254,066,006.42 278,040,752.82 277,866,488.69

(b) Below ground carbon stock.

Below ground carbon stock adalah jumlah carbon di dalam tanah, serasah dan nekromasa. Total below ground stok carbon, terus meningkat dari tahun 1990. Pada tahun 2010 mencapai kurang lebih 466 juta ton (Table 5.7). Bila dibandingkan dengan aboveground, total kandungan karbon below ground lebih tinggi.

Tabel 5.7. Perubahan below ground carbon stock

No Tipe Penutupan

Lahan

Carbon

per Luas (Hektar) Kandungan karbon tanah

Ha 1990 2000 2010 1990 2000 2010

1 Hutan lahan kering

primer 119.5 515,818.80 441,731.16 331,822.08 61,640,346.60 52,786,873.62 39,652,738.56 2 Hutan lahan kering

sekunder 128.21 112,397.22 185,919.21 294,543.18 14,410,447.58 23,836,701.91 37,763,381.11 3 Hutan rawa primer 106.43 355,199.22 272,736.81 190,672.92 37,803,852.98 29,027,378.69 20,293,318.88 4 Hutan rawa sekunder 135.63 538,745.67 712,124.19 803,227.41 73,070,075.22 96,585,403.89 108,941,733.62 5 Hutan rawa pasang

surut 132.32 21,631.14 256,576.86 319,092.93 2,862,232.44 33,950,250.12 42,222,376.50 6 Mangrove primer 81.24 379,876.23 213,576.75 116,567.73 30,861,144.93 17,350,975.17 9,469,962.39 7 Mangrove sekunder 87.94 0 94,434.66 180,210.69 0 8,304,584.00 15,847,728.08

(37)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 37

No Tipe Penutupan

Lahan

Carbon

per Luas (Hektar) Kandungan karbon tanah

Ha 1990 2000 2010 1990 2000 2010

9 Semak belukar rawa 123.23 355,443.66 695,767.77 788,253.21 43,801,322.22 85,739,462.30 97,136,443.07 10 Semak belukar pasang

surut 86.67 638,416.17 975,563.91 1,027,321.74 55,331,529.45 84,552,124.08 89,037,975.21 11 Semak belukar 89.3 6,756.75 18,591.21 10,988.46 603,377.78 1,660,195.05 981,269.48

12 Rawa pasang surut 0 759,297.96 237,794.40 24,898.32 0 0 0.00

13 Rawa 0 562,233.51 155,846.61 208,874.52 0 0 0.00

14 Lahan terbuka 0 171,805.23 20,343.24 77,083.47 0 0 0.00

15 Lahan pertanian 98.12 7,805.25 33,732.54 48,031.74 765,851.13 3,309,836.82 4,712,874.33

16 Perairan 0 38,606.04 61,439.67 42,445.08 0 0 0.00

17 Tidak ada data 0 210,197.34 210,197.34 210,197.34 0 0 0.00

(38)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 38

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Beberapa point dapat diambil dari analisis trend perubahan penutupan lahan dan perhitungan kandungan karbon adalah sbb:

a. Perubahan lahan yang terjadi, selain disebabkan oleh aktivitas manusia, juga disebabkan oleh perubahan iklim, terutama di daerah yang mengalami pengaruh pasang surut sungai dan laut.

b. Aktivitas kegiatan lebih banyak menyebabkan degradasi hutan, dibandingkan dengan deforestasi.

c. Berdasarkan pengukuran karbon pada level plot, maka total kandungan karbon vegetasi di atas permukaan tanah (above ground) adalah sebesar 277.9 juta ton, mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan kandungan karbon tahun 1990.

d. Total kandungan di bawah permukaan (below ground carbon), lebih besar dibandingkan dengan above ground, yaitu sebesar 466 juta ton.

Dari data yang dihasilkan masih ada beberapa kelemahan, diantaranya adalah keberadaan awan dan variasi kombinasi scene yang diambil pada musim yang berbeda, sehingga menyulitkan analisisnya.

(39)

Pemetaan Sebaran Carbon di Kabupaten Merauke, 2011 Page | 39 DAFTAR PUSTAKA

Lillesand.T.M. and R.W.Kiefer, 1979, Remote Sensing and Image Interpretation, John Willey and Sons, New York.

Rokhmatuloh dan Rudy P. Tambunan, 2010, Model Perhitungan Karbon Terestrial dan Aplikasinya di Indonesia, Departemen Geografi FMIPA UI.

Gambar

Gambar 2.1.  Satelit Landsat 5  ( sumber NASA )
Gambar 3.1. Peta Lokasi Kajian Kegiatan Potensi Carbon di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua
Tabel  3.1.  Jumlah  Penduduk  Berdasarkan  Jenis  Kelamin  Di  Kabupaten  Merauke  per  31  Desember  2011
Gambar 4.1. Peta Lokasi Kajian dan Survey Lapangan Studi Carbon Selatan Papua
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh penerapan good corporate governance yang diproksikan dengan komite audit,

Faktor lain yang menyebabkan Down Syndrome pada anak yang bersekolah di YPAC Palembang yaitu faktor usia ayah saat ibu hamil menunjukan usia ayah yang berusia

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dan memahami penyebab putusnya perkawinan di tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan juga untuk mengetahui

didasar pada dokumen sumber dan dokumen pendukung berikut ini : “Pencatatan terjadinya piutang didasarkan atas faktur penjualan yang didukung dengan surat order pengiriman dan

Daftarkan seorang administrator ke sistem dengan mendaftarkan sidik jari atau kata sandi untuk satu ID pengguna.. Pengguna > Pengguna Baru > Hak: Admin >

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia ( Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) yang mewajibkan sertifikasi ISPO

Base WO <F6> otvara prozor u kojem je moguće podešavanje osnovne nul točke.. Radno područje

BNI00000034729 Muhammad Fauzan NasrullahJl Gang Semeru no.95 002 Kampung Enam Tarakan Timur Kota Tarakan Kalimantan Utara 10220... ANGGREK 015 Karang Anyar Tarakan Barat Kota