• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Tomat ( Lycopersicum esculentum Hama dan Penyakit Tomat Hama tanaman tomat Ulat buah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Tomat ( Lycopersicum esculentum Hama dan Penyakit Tomat Hama tanaman tomat Ulat buah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tomat (Lycopersicum esculentum)

Tomat adalah sayuran yang penting dan terkenal secara luas di semua negara berkembang. Tomat termasuk dalam kelompok sayuran yang paling utama berdasarkan wawancara ilmuwan dalam sebuah studi yang dilansir TAC (Technical Advisory Committee) dari CGIAR (Consultative Group on

International Agricultural Research) (AVRDC 1991). Dalam ilmu botani,

tanaman tomat (Lycopersicum esculentum) termasuk ke dalam famili Solanaceae dan ordo Tubiflorae dari kelas Dicotyledonae dalam divisi Spermatophyta (subdivisi Angiospermae).

Tanaman tomat termasuk tanaman semusim (berumur pendek), artinya tanaman hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Tanaman tomat berbentuk perdu yang panjangnya mencapai ± 2 meter. Oleh karena itu tanaman tomat perlu diberi penopang atau ajir dari turus bambu atau kayu agar tidak roboh di tanah dan tumbuh secara vertikal (Rubatzky et al. 1999).

Jenis tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah tanah yang mengandung lempung (pH kisaran 5.5 sampai 6.5) dengan sistem tata air yang baik (air tidak boleh tergenang), karena akar tanaman tomat rentan terhadap kekurangan oksigen. Suhu optimum untuk tanaman tomat antara 20 oC dan 30 oC (Jones 2008).

Hama dan Penyakit Tomat Hama tanaman tomat

Ulat buah. Ulat penggerek buah (Helicoverpa armigera) merupakan hama perusak buah dengan cara memakan bagian dalamnya. Hama pada ini bersifat polifag dan cenderung lebih menyukai buah, walaupun dapat ditemukan pada daun tembakau. Di Indonesia, hama ini dapat ditemukan di dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 2000 mdpl. Larva yang lebih tua mempunyai corak warna yang bervariasi, kuning-kehijauan, hijau, kecoklatan hampir hitam, dengan sebuah garis terang melintang, tubuhnya tertutup oleh rambut-rambut

(2)

halus. Setengah dari abdomen larva instar akhir biasanya keluar dari lubang gerekan buah yang masih muda, tetapi larva yang lebih muda juga ditemukan pada daun tanaman (Kalshoven 1981).

Telur H. armigera berbentuk bulat dan jumlahnya banyak, biasanya diletakkan pada bagian tanaman yang tinggi. Setelah menetas, larva instar awal bergerak turun dan menggerek bagian buah yang masih muda, kemudian bekas gerekan menimbulkan infeksi sekunder oleh mikroorganisme. Larva jarang ditemukan melebihi 2 ekor pada bagian yang sama. Larva instar akhir kemudian bergerak turun ke tanah untuk berpupa. Lama siklus hidup H. armigera dari telur sampai imago berkisar 35 hari. Imago makan dan meletakan telur pada tanaman yang sedang berbunga. Imago betina mampu menghasilkan 1,000 telur (Kalshoven 1981).

Lalat pengorok daun. Lalat pengorok daun Liriomyza sp. termasuk subfamili Phyomyzinae, famili Agromyzidae dan ordo Diptera (Spencer & Steyskal 1986). Liriomyza sp. merupakan hama penting yang menyerang tanaman sayuran dan tanaman hias di Indonesia. Hama ini diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1991-1992 melalui jalur pengiriman bunga potong krisan (Rauf 1995). Gejala berupa liang korokan beralur warna putih bening pada bagian mesofil daun. Jumlah alur korokan pada satu daun kedelai bervariasi, bergantung pada jumlah larva yang menetas. Pada serangan lanjut, liang korokan berubah warna menjadi kecoklatan dan di dalamnya larva berkembang. Gejala tersebut merupakan ciri khas serangan lalat pengorok daun (Minkenberg dan van Lenteren

1986; Tapahillah 2002). Selama ini, upaya pengendalian yang umumnya

dilakukan terhadap hama lalat pengorok daun oleh petani adalah penggunaan insektisida dengan frekuensi penyemprotan 2-3 kali perminggu (Rauf 1999).

Kutukebul. Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan kelompok serangga yang berukuran kecil berwarna putih dan bertubuh lunak. Kutukebul mampu mengeluarkan lapisan lilin berwarna putih dari kelenjar khusus yang ada di bagian abdomen. Nimfa maupun imago kutukebul biasanya memiliki lapisan lilin dengan berbagai bentuk. Lapisan lilin ini dapat digunakan untuk identifikasi karena penampilan dan pola dari lapisan lilin dapat berbeda antara satu spesies dengan spesies lain (Botha et al. 2000).

(3)

Serangga ini merupakan hama penting karena serangga ini tidak hanya dapat menyebabkan kerusakan langsung, tetapi juga karena kerusakan tidak langsung. Kerusakan langsung yang dimaksud adalah selain menghisap bahan makanan, kutukebul juga menginjeksikan racun ke dalam jaringan tanaman (Watson 2007) yang dapat menyebabkan tanaman inang layu, kerdil dan bahkan mati (Botha

et al. 2000). Sedangkan kerusakan tidak langsung adalah adanya beberapa spesies

juga dapat berperan sebagai vektor penyakit yang dapat menyebabkan tanaman inang menguning dan mengeriting (Hodlle 2004).

Penyakit tanaman tomat

Hawar daun (Phytophthora infestans). Hawar daun merupakan penyakit

yang penting, khususnya pada musim hujan. penyakit ini disebabkan oleh

P. infestans. Gejalanya adalah pada daun bercak hitam kecoklatan mulai timbul

pada anak daun, tangkai atau batang dan akan meluas dengan cepat, sehingga dapat menyebabkan kematian. Bagian bercak paling luar akan berwarna kuning pucat yang beralih ke bagian yang berwarna hijau biasa. Perkembangan bercak akan terhambat bila kelembaban berkurang, tetapi bercak akan berkembang kembali bila kelembaban meningkat. Pada buah, penyakit juga dapat timbul pada semua stadia perkembangan. Bercak yang berwarna hijau kebasah-basahan meluas menjadi bercak yang bentuk dan tidak beraturan (Semangun 2000).

Usaha pengendalian penyakit di pegunungan hanya terbatas pada pemilihan waktu tanam dan pemakaian fungisida. Sampai saat ini, belum ada varietas tomat komersial yang mempunyai ketahanan cukup terhadap hawar daun. Serangan hawar daun menurun pada musim kemarau (Semangun 2000).

Bercak cokelat (Alternaria solani). Penyakit bercak cokelat, atau bercak kering, merupakan penyakit daun yang umum dan tersebar luas di berbagai negara. Gejala yang ditimbulkan mula-mula pada daun timbul bercak-bercak kecil, bulat atau bersudut cokelat tua sampai hitam sebesar kepala jarum sampai diameter ±4 mm. Jaringan nekrotik sering tampak seperti kulit, mempunyai lingkaran-lingkaran terpusat sehingga tampak seperti papan sasaran (target

(4)

Meskipun bercak sangat terbatas, tampak bahwa penyakit mempunyai pengaruh fisiologi di luar bercak, daun akan cepat menjadi tua, layu, atau gugur sebelum waktunya (Semangun 2000).

Cendawan A. solani mempertahankan diri dari musim ke musim pada tanaman sakit, sisa-sisa tanaman sakit, atau biji. Di dalam jaringan daun sakit miselium dapat bertahan selama satu tahun atau lebih. Dalam suhu kamar konidium dapat tetap hidup selama 17 bulan. Konidium dapat berkecambah pada suhu 6-34°C. Suhu optimumnya adalah 28-30ºC, didalam air pada suhu ini konidium sudah berkecambah dalam waktu 35-45 menit. A. solani menginfeksi daun atau batang dengan langsung menembus kutikula. Pembentukan konidium terjadi pada bercak yang bergaris tengah ±3 mm dan diperlukan banyak embun atau hujan yang sering (Semangun 2000).

Tanaman harus diberi pupuk yang seimbang agar menjadi lebih tahan. Untuk mencegah terbawanya penyakit oleh biji dan agar tidak terjadi banyak infeksi pada bibit, pembibitan jangan terlalu lembap atau rapat (Semangun 2000).

Penyakit layu Fusarium (Fusarium oxysporum). Di Indonesia penyakit layu Fusarium mulai mendapat perhatian pada tahun 1970-an. Gejala pertama dari penyakit ini adalah menjadi pucatnya tulang-tulang daun, terutama daun-daun sebelah atas, kemudian dengan tangkai merunduk dan akhirnya tanaman menjadi layu secara keseluruhan (Anonim 1976). Kadang-kadang kelayuan didahului dengan menguningnya daun, terutama daun bagian bawah. Jika tanaman sakit itu dipotong dekat pangkal batang atau dikelupas dengan kuku atau pisau akan terlihat suatu cincin cokelat dari berkas pembuluh. Pada serangan berat, gejala terdapat pada bagian tanaman bagian atas juga. F. oxysporum dapat bertahan lama dalam tanah. Tanah yang sudah terinfestasi sukar dibebaskan kembali dari jamur ini. Cendawan menginfeksi pada akar, terutama melalui luka-luka, lalu menetap dan berkembang di berkas pembuluh. Akibatnya, pengangkutan air dan hara tanah terganggu yang menyebabkan tanaman menjadi layu (Semangun 2000).

Penyakit berkembang pada suhu tanah 21-33°C. Suhu optimumnya adalah 28°C. Kelembaban tanah yang membantu tanaman, ternyata juga membantu perkembangan patogen. Seperti kebanyakan F. oxysporum, patogen ini dapat hidup pada pH tanah yang luas variasinya (Semangun 2000).

(5)

Cara pengendalian penyakit layu Fusarium adalah dengan penanaman varietas yang tahan. Usaha untuk mengendalikan penyakit dengan meningkatkan suhu tanah dengan menggunakan mulsa plastik memberikan banyak harapan, namun masih memerlukan banyak penelitian untuk dapat dianjurkan dalam praktek di lapangan (Djauhari 1987).

Penyakit kuning. Penyakit kuning pada tanaman tomat disebabkan oleh

Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) yang termasuk genus patogen

Geminivirus. Virus ini ditularkan oleh kutukebul Bemisia tabaci. Gejala penyakit kuning berupa daun muda menjadi kekuningan dan keriting, sedangkan daun yang lebih tua akan menggulung ke atas dan mengalami malformasi. Gejala kuning berkembang dari bagian atas ke bagian bawah tanaman. Pada umumnya daun yang terserang menjadi kerdil dan buah akan masak lebih awal. Penyakit ini dapat menimbulkan kerusakan berat pada pertanaman tomat di Indonesia, dengan persentase kehilangan hasil berkisar antara 20-100% (Sudiono dan Yasin 2006). Peningkatan epidemiologi penyakit kuning di lapangan disebabkan oleh beberapa faktor seperti transportasi bagian tanaman yang terinfeksi ke lokasi baru, ekstensifikasi pertanian ke area baru, serta migrasi vektor yang dapat menularkan virus dari satu tanaman ke tanaman lainnya (Semangun 2000).

Pengelolaan penyakit ini, lebih ditekankan pada pengelolaan vektor

B. tabaci. Beberapa teknik pengendalian B. tabaci yang dapat dilakukan adalah

secara budi daya dengan cara sanitasi lahan, penggunaan mulsa plastik, dan varietas resisten (kerapatan bulu daun rendah). Parasitoid yang berpotensi mengendalikan B. tabaci antara lain: Encarsia formosa, E. lutea, Eretmocerus

mundus, dan E. haldemani. Sedangkan predator yang cukup potensial adalah dari

famili Anthocoridae dan Miridae (Hemiptera), Chrysopa (Chrysopidae), Syrphidae, Formicidae, Coccinellidae, dan Araneida (laba-laba). Cendawan entomopatogen yang berpotensi sebagai musuh alami B. tabaci antara lain:

Verticillium lecanii, Paecilomyces fumosoroseus, P. farinosus, dan Beauveria bassiana (Indrayani 2005).

Penyakit klorosis. Penyakit klorosis pada tanaman tomat dilaporkan telah banyak menyerang di beberapa sentra produksi tomat seperti Cianjur, Garut, Sukabumi, dan Malang (Fitriasari 2010; Anjarsari 2011). Penyakit klorosis telah

(6)

menyebabkan kehilangan hasil yang cukup signifikan karena kualitas buah tomat menjadi menurun dan masak sebelum waktunya. Gejala awal penyakit klorosis yakni terdapatnya warna klorosis dan kekuningan di jaringan antara tulang daun (Hirota et al. 2010), kemudian berkembang menjadi bintik-bintik nekrotik kecil dan berwarna keunguan (Wisler et al. 1998). Pada gejala lanjutan daun akan menjadi kaku dan agak menggulung ke bawah. Perkembangan gejala dimulai dari bagian bawah ke bagian atas tanaman. Penyakit klorosis disebabkan oleh patogen berupa virus, yaitu TICV (Tomato infectious chlorosis virus) dan ToCV (Tomato

chlorosis virus). TICV ditularkan ke dalam jaringan tanaman oleh kutukebul Trialeurodes vaporariorum (Duffus et al. 1996) sedangkan vektor ToCV adalah B. tabaci, T. abutilonea (Wisler et al. 1998), dan T. vaporarium (Wintermantel &

Wisler 2006). TICV dan ToCV dapat menginfeksi tanaman tomat secara tunggal maupun bersamaan (Fitriasari 2010).

Pengendalian OPT

Pada umumnya, pengendalian OPT dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengendalian secara konvensional dan pengendalian bersifat ramah lingkungan. Pengendalian OPT dengan cara konvensional yaitu hanya menggunakan pestisida kimia sintetis sedangkan pengendalian OPT yang bersifat ramah lingkungan yaitu teknik yang lebih memperhatikan keamanan lingkungan dalam pengendalian, dengan membatasi penggunaan pestisida sintetis serta memadukannya dengan pengendalian hayati (Perum Perhutani KPH Randublatung 2009).

Terdapat beberapa keuntungan maupun kerugian dari kedua tindakan pengendalian tersebut. Pada pengendalian OPT secara konvensional, keuntungannya yaitu mudah dalam mengaplikasikan, ampuh dalam menurunkan populasi hama, serta mudah diperoleh, sedangkan kerugiannya antara lain: dapat menimbulkan resistensi hama sasaran terhadap pestisida, mematikan organisme bukan sasaran, mencemari lingkungan, serta dapat menimbulkan keracunan bagi manusia. Tindakan pengendalian OPT yang bersifat ramah lingkungan memiliki beberapa keuntungan antara lain: tidak mencemari lingkungan, dapat melestarikan

(7)

agroekosistem, serta keuntungan hasil yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pestisida kimia sintetis, sedangkan kerugiannya yaitu sulit memastikan akan keberhasilannya, memerlukan waktu untuk memperlihatkan keberhasilannya, serta terbatas penyebarannya (Oka 1995).

Konsep PHT merupakan perpaduan yang serasi dari berbagai macam metode pengendalian yang bertujuan untuk mengelola populasi hama dalam tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi. Strategi PHT lebih menekankan pada penerapan teknik pengendalian nonkimiawi. Menurut Oka (1995), strategi atau langkah dari beberapa metode pengendalian dapat dilakukan yaitu: (1) penggunaan varietas resisten, (2) penggunaan kultur teknis dengan memanipulasi ekologi melalui pergiliran tanaman, sanitasi selektif, pengelolaan air dan (3) penggunaan musuh alami berupa predator dan parasitoid.

Pengembangan dan penerapan PHT memerlukan tiga komponen utama yaitu teknologi PHT, jalinan informasi, dan proses pengambilan keputusan. Teknologi PHT meliputi berbagai teknik yang diterapkan untuk mengelola agrosistem agar sasaran PHT dapat tercapai. Proses pengambilan keputusan pengendalian hama harus dilakukan dengan menggunakan informasi yang cukup lengkap, monitoring dan memperhatikan ambang pengendalian (Arifin 1992). Preferensi petani dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman merupakan bagian penting dalam keberhasilan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu.

Analisis Usaha Tani

Menurut (Soekartawi 2002) ilmu usaha tani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumber daya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).

(8)

Efisiensi usaha tani dapat diukur dengan cara menghitung efisiensi teknis, efisiensi harga, dan efisiensi ekonomis. Umumnya petani tidak mempunyai usaha tani, sehingga sulit bagi petani untuk melakukan analisis usaha taninya. Petani hanya mengingat-ingat cash flow (anggaran arus uang tunai) yang mereka lakukan walaupun sebenarnya ingatan itu tidak terlalu jelek, karena mereka masih ingat bila ditanya beberapa output yang mereka peroleh dan beberapa input yang mereka gunakan. Tentu saja teknik pengumpulan datanya harus baik dan benar (Soekartawi 2002).

Perlunya analisis usaha tani memang bukan untuk kepentingan petani saja tetapi juga untuk penyuluh pertanian seperti Penyuluh Pertanian Lapang (PPL), Penyuluh Pertanian Madya (PPM) dan Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), serta mahasiswa atau pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk analisis usaha tani (Soekartawi 2002). Dalam banyak pengalaman analisis usaha tani yang dilakukan petani atau produsen memang bertujuan mengetahui atau meneliti (Soekartawi 1990).

Usaha tani pada skala usaha yang luas umumnya bermodal besar, berteknologi tinggi, manajemennya modern, lebih bersifat komersial, dan sebaliknya usaha tani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya tradisional, lebih bersifat usaha tani sederhana dan sifat usahanya subsisten, serta lebih bersifat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan sehari-hari (Soekartawi 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel diatas terdapat beberapa item penilaian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bagaimana kondisi kerja kantor, sarana dan prasana yang dimiliki,

Aplikasi fuzzy logic controller untuk pengereman kereta api di stasiun yang digunakan untuk membantu masinis dalam mengambil keputusan terkait persentase kekuatan pengereman

yang menjadi masalah sebenarnya adalah: langkanya pekerjaan yang cocok dengan kemampuan {skill} pencarian kerja: atau tidak adanya keseimbangan antara jumlah penduduk {terutama

Pelaksanaan kegiatan yang dibiayai DAK Bidang Pendidikan untuk SD/SDLB harus selesai dan dilaporkan paling lambat 1 (satu) bulan setelah uang diterima 100% (seratus

Berdasarkan lembar observasi kemampuan mencocok gambar pada kelompok B pada siklus I pertemuan 1 hasil dicapai 31% dan siklus I pertemuan 2 hasil yang dicapai 40% ini

Tujuan pendirian BUMDes Bungin adalah meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat

Semakin sedikitnya jumlah kristal ZrO 2 pada partikel dengan ukuran template yang lebih besar dapat ditunjukkan pada hasil analisa XRD di Gambar 4.22. Pada hasil

Pengujian kemampuan interpolasi sirkular dilakukan dengan menginputkan program NC- Code untuk membentuk suatu pola yang terdiri dari busur-busur lingkaran.Kemudian, NC-Code