PENYAWAHAN TERUS MENERUS MEMACU PERECEPATAN PELAPUKANAN TANAH Rice‐field Cultivation Continuously was Accelerated Soil Weathering R. Sudaryanto Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Abstract
This research was aimed to find out the existence of soil acceleration development indication as the result of the cultivation which was done continuously and for a long period. This research was done by analyzing soil samples which were taken from non‐rice‐field soil and cultivated soil which had been used for 20 years, 30 years, and 40 years in cultivation intensity once a year, twice a year and three times a year. Those analyzed soils had the same primary substances. The sand and clay content in the soil was chosen as the indicator of the soil weathering acceleration because of rice‐field cultivation. From the data gathered, it was analyzed the connection with the cultivation length and cultivation pattern through the similarities of correlation and regression. The research result showed that: soil which was used continuously and for a long period would tend to decrease the sand content but increase the clay content in the soil. The increase of clay and the decrease of sand in the soil indicated the high soil weathering intensity which would fasten the soil development. Therefore, it is suggested that it is not needed to do puddling phase while land preparation phase, because puddling tend to mineral weathering, and if it is possible cultivation by no tillage soil system could be done. Keywords: sand and clay content in the soil, rice‐field cultivation, and soil development PENDAHULUAN
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk di Republik Indonesia. Beras pada umumnya diproduksi dari lahan sawah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 1986 luas lahan sawah di Indonesia 7,77 juta ha yang meningkat menjadi 8,52 juta ha pada tahun 1996, tetapi pada tahun 2002 lahan sawah di Indonesia menyusut menjadi 7,78 juta ha (Abdurachman et al., 2005). Di Pulau Jawa terjadi penyusutan luas lahan sawah dari 3,48 juta ha pada tahun 1988 menjadi 3,37 juta ha pada tahun 1999. Menurut Irawan (2004), dalam Abdurachman (2005), luas lahan sawah yang terkonversi di pulau Jawa selama 1978 ‐1998 mencapai 0,7 juta ha, yang berarti telah terjadi penyusutan sebesar 35 ribu ha/tahun. Penyusutan lahan sawah secara langsung akan menurunkan tingkat produksi beras.
Penggunaan lahan untuk sawah diduga dapat mempercepat penurunan kualitas tanah (degradasi tanah), terutama tanah yang
disawahkan secara terus menerus. Hal ini didasarkan pada penalaran dan beberapa hasil penelitihan sebagai berikut: Budidaya padi sawah mempunyai ciri khas yaitu: (1) pelumpuran pada saat penyiapan lahan, dan (2) penggenangan dan pengeringan pada saat pemeliharaan tanaman. Pada kenyataannya tanah sawah tidak hanya untuk menanam padi, pada musim kemarau tanah sawah juga digunakan untuk menanam palawija, ataupun diberakan, sehingga menghadirkan beberapa macam pola tanam, seperti sawah 3 kali, sawah 2 kali, dan sawah 1 kali. Tanah sawah 3 kali akan tergenang terus‐menerus sepanjang tahun. Tanah sawah 2 kali mengalami masa tergenang yang lebih lama dibandingkan masa kering, sedangkan sawah 1 kali, tanahnya mengalami masa tergenang lebih singkat dibandingkan masa keringnya. Akibat perbedaan pola tanam tersebut akan menyebabkan perubahan sifat fisik tanah (Hardjowigeno dkk., 2004).
Penyiapan lahan untuk budidaya padi sawah pada umumnya dilakukan sampai
terjadi pelumpuran. Penyiapan lahan seperti ini dapat menyebabkan penghalusan partikel tanah dan pengaruh pelumpuran ini terhadap sifat fisik tanah yang lain menjadi sangat spesifik (Prasetyo dkk., 2004).
Pelumpuran tanah akan menghalusan partikel tanah dan selanjutnya akan berpengaruh pada sifat fisik tanah lain seperti: retensi air, berat volume dan permeabilitas tanah. Tanah porus dengan agregat yang strukturnya bagus karena pelumpuran akan menjadi masif (Sharma dan De Datta, 1985). Hal ini tentu saja akan menyebabkan perubahan ukuran pori tanah yang selanjutnya akan mempengaruhi pertukaran gas, retensi air dan transmisi air dan evaporasi dari dalam tanah. Sanchez (1993) menemukan bahwa 91–100 % dari volume pori dirusak oleh pelumpuran pada tanah bertekstur lempung debuan. Pori kapiler bertambah 2 kali lipat karena pelumpuran, dengan demikian akan mengubah retensi dan transmisi air (Taylor, 1978; Cheng, 1983). Tanah‐tanah yang bertekstur halus yang dilumpurkan juga akan berpengaruh pada retensi air. Menurut Farbrother (1970) pada tanah‐tanah bertekstur liat pengurasan lengas tanah oleh tanaman terhenti 25% berat tanah, sementara itu tanah jenuh air adalah kira‐kira 36% berat tanah.
Menurut Ghildyal, (1978) pelumpuran pada agregat yang baik dan tanah porus menyebabkan tanah menjadi masif dan berat volume meningkat bersama pengeringan karena penyusutan. Pengeringan menyebabkan tanah berlumpur menjadi keras dan padat serta retakan yang lebar dan dalam, tergantung pada kandungan dan sifat mineral liat. Misak et al., (2002) juga mengemukakan bahwa pelumpuran akan menyebabkan peningkatan berat volume tanah rata‐rata 3 – 6%,
Penurunan permeabilitas tanah akibat pelumpuran juga dilaporkan oleh Cheng
(1983) bahwa perkolasi menurun dari 9 ‐15 mm/hari menjadi 2 – 10 mm/hari jika sistem pola tanam di ubah dari padi – gandum menjadi padi – padi – gandum. Misak et al., (2002) juga melaporkan bahwa pelumpuran menyebabkan pemadatan tanah dan menimbulkan penurunan kapasitas infiltrasi rata‐rata 51%. Sementara sebelum itu Mikklesen dan Patrick (1968) melaporkan bahwa rata‐rata permeabilitas dan perkolasi akan berkurang menjadi 1/3 sampai dengan1/6 dari nilai aslinya setelah beberapa tahun secara terus menerus disawahkan.
Pada fase pemeliharaan tanaman pemberian air irigasi dilakukan secara periodik dengan cara penggenangan, kemudian air ditahan dalam petak dan dibiarkan hilang hanya melalui evapotranspirasi dan infiltrasi. Akibatnya terjadilah kondisi basah dan kering silih berganti secara periodik. Prasetyo dan Kasno (1998) menemukan bahwa hidratasi oksida Fe dan Mg silikat dan bahan organik terjadi pada lahan padi jika digenang dan proses hidratasi inilah yang memudahkan terjadinya pembengkaan tanah. Hasilnya adalah pengurangan gaya kohesi dalam agregat tanah dan mineral menjadi lebih lunak, mudah hancur atau terlarut serta akan mempermudah pelapukan mineral.
Kondisi basah dan kering yang silih berganti pada budidaya padi sawah akan menimbulkan suasana reduksi dan oksidasi yang silih berganti. Suasana redoks ini membuka kemungkinan untuk berlangsungnya proses pelapukan mineral yang disebut ferolisis. Menurut Brinkman (1970) pada suasana reduksi fero yang terbentuk akan mendesak kedudukan basa‐ basa lain seperti K, Na, Ca, dan Mg yang terdapat dalam kisi mineral. Sebaliknya pada saat kering fero akan teroksidasi menghasilkan feri dan ion hidrogen, dengan demikian aktivitas H+ tinggi, sehingga mineral
liat akan mengalami hidrolisis dan selanjutnya terjadilah pelapukan mineral.
Pelumpuran dan basah‐kering yang silih berganti merupakan faktor pembeda yang menonjol antara tanah sawah dengan tanah bukan sawah. Tanah sawah yang digunakan untuk budidaya padi sawah 3 kali, frekuensi pelumpuran dan penggenangannya lebih tinggi dari penggunaan lahan yang lain, sehingga diduga akan menyebabkan penurunan kualitas tanah (degradasi tanah).
Kecurigaan munculnya fenomena yang mengindikasikan adanya degradasi tanah, khususnya tanah‐tanah yang disawahkan telah dikemukakan oleh Adiningsih (1992) yang menemukan adanya penurunan produksi padi yang disebabkan oleh degradasi tanah. Degradasi tanah oleh Rossiter (2001) didefinisikan sebagai hilangnya fungsi dari tanah atau penurunan kapasitas tanah untuk menyediakan yang terbaik bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Larson dan Pierce (1991) degradasi adalah penurunan kualitas tanah sedangkan peningkatan kualitas tanah disebut agradasi.
Pelumpuran, penggenangan dan pengeringan pada budidaya padi sawah dalam kurun waktu yang lama, diduga akan memacu perubahan sifat fisik tanah. Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya indikasi perubahan sifat fisik tanah akibat penyawahan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis sampel tanah yang diambil dari tanah bukan sawah, tanah yang telah disawahkan selama 20 tahun, 30 tahun dan 40 tahun pada intensitas penyawahan 1 kali setahun, 2 kali setahun dan 3 kali setahun. Tanah‐tanah yang diamati tersebut mempunyai bahan induk yang sama.
Penelitian ini dilakukan di Daerah Irigasi Bendung Colo Timur, yang sumber airnya
diperoleh dari Waduk Gajahmungkur Wonogiri Jawa Tengah. Desa Kriwen merupakan sawah yang telah disawahkan 3 kali selama 20 tahun dan sawah di wilayah Desa Combongan merupakan sawah yang telah disawahkan 3 kali selama 40 tahun. Kedua desa tersebut termasuk wilayah Kecamatan Sukoharjo. Desa Nguter Kecamatan Nguter teridentifikasi merupakan desa yang lahan sawahnya telah disawahkan 3 kali selama 30 tahun.
Parameter yang diamati (indikator) dan cara analisisnya disajikan dalam Tabel 1. Analisis data parameter yang diamati untuk melihat hubungan antara parameter dengan lama penyawahan dan pola tanam dilihat melalui grafik korelasinya. Kajian keeratan antara parameter yang diamati dengan lama penyawahan, dilihat dari koefisien korelasi dan persamaan regresi.
Tabel 1. Parameter sifat fisik tanah dan cara analisisnya yang diamati dalam penelitian
No. Parameter Satuan
Metode Analisis/Alat Pengukur 1 2 3 4 Berat volume Tekstur tanah meliputi: a. Kandungan pasir b. Kandungan liat Air tersedia (available water) Permeabilitas tanah gram/cm3 % % % cm/jam Ring sampler Metode Pipet Metode pipet Kalkulasi Permeameter HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati dengan lama penyawahan dan pola tanam, data parameter terkait disusun dalam bentuk matrik. Kandungan fraksi Pasir Dalam Tanah (%) Data kandungan fraksi pasir dalam tanah disajikan dalam Tabel 2, Gambar grafik 1 dan Gambar diagram 2. Hubungan korelasi antara kandungan fraksi pasir dalam tanah dengan lama penyawahan dan pola tanam disajikan Gambar 3 (lihat Lampiran).
Berdasarkan koefisien korelasi antara kandungan pasir dalam tanah dengan lama penyawahan dapat dijelaskan bahwa kandungan pasir tanah berkoralasi negatif atau mempunyai hubungan berbanding terbalik dengan lama penyawahan, dan pola tanam hubungan tersebut cukup signifikan. Dari persamaan regresi di atas terlihat bahwa kandungan pasir cenderung menurun sebesar 0,297% per tahun. Sedangkan pada tanah bukan sawah kandungan pasir tanah juga cenderung menurun, tetapi jauh lebih kecil, yaitu 0,095% per tahun.
Tabel 2. Hubungan antara kandungan pasir dalam tanah (%)dengan lama penyawahan dan penggunaan lahan Penggunaan Lahan Lama Penyawahan (tahun) 20 30 40 Bukan sawah 37,4 37,0 35,5 Sawah 1 kali 32,0 32,0 29,2 Sawah 2 kali 29,2 29,1 25,4 Sawah 3 kali 22,5 22,2 18,4
Penyawahan akan menurunkan kandungan faksi pasir, melalui pelumpuran. Pelumpuran akan terjadi merusak agregat makro menjadi agregat yang lebih kecil, bahkan pelumpuran dapat mencerai‐beraikan tanah ke dalam partikel tunggal dan gesekan antar partikel tunggal dan antara partikel tanah dengan alat pengolah tanah akan memungkinkan terjadinya penghalusan partikel tanah (disintegrasi). Sementara itu penggenangan dan pengeringan yang silih berganti akan memungkinkan terjadinya proses ferolisis (dekomposisi). Kedua proses tersebut diduga akan memacu pelapukan mineral fraksi pasir, menjadi mineral fraksi liat.
Statement di atas ditunjang oleh Wilding et al., (1983) yang mengatakan bahwa ketahanan mineral terhadap pelapukan dipengaruhi oleh (a) Perbedaan unsur penyusun, (b) Perbedaan lingkungan pelapukan dan (c) Ukuran mineral.
Argumentasi di atas didukung oleh hasil penelitian Chaundhary dan Ghildyal (1969) yang melaporkan bahwa pelumpuran dapat menurunkan diameter agregat dari 1,70 mm menjadi 0,30 mm. Selanjutnya Ghildyal (1978) melakukan penelitian sendiri di laboratorium menggunakan agregat yang berukuran lebih kecil dari pasir kasar. Pelumpuran dapat memecahkan kira‐kira 40% dari agregat tersebut ke dalam fraksi yang berukuran kurang dari 0,05 mm.
Secara tidak langsung argumen di atas juga didukung oleh Sharma dan De Datta (1985), mereka melaporkan bahwa tanah bertekstur lempung berliat jika dilumpurkan akan mengalami perubahan distribusi ukuran pori tanah. Tanah tersebut jika dilumpurkan pori berukuran >30µm (pori makro) berkurang sampai 87%, pori berukuran 0,6 – 30 µm (pori kapiler). dan pori berukuran <0,6 µm (pori mikro) meningkat sekitar 7 – 52%. Sementara itu Plaster (2004) menyatakan penurunan ukuran pori disebabkan oleh penurunan ukuran partikel penyusun tanah. Dari kedua hal ini dapat disimpulkan bahwa pelumpuran akan cenderung menurunkan kandungan fraksi pasir dalam tanah, atau dengan kata lain pelumpuran dapat menghaluskan partikel tanah.
Kandungan fraksi Liat Dalam Tanah (%) Hubungan antara kandungan fraksi liat dalam tanah dengan lama penyawahan dan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 3; Gambar 4; dan Gambar 5. Sementara grafik korelasi antara kandungan fraksi liat dalam tanah dengan lama penyawahan disajikan dalam Gambar 6 (lihat Lampiran).
Berdasarkan koefisien korelasi antara kandungan fraksi liat dalam tanah dengan lama penyawahan dapat dijelaskan bahwa kandungan liat tanah pada berbagai macam pola tanam berkorelasi positif atau mempunyai hubungan berbanding lurus
dengan lama penyawahan, hubungan tersebut signifikan.
Tabel 3. Hubungan antara kandungan fraksi liat dalam tanah (%) dengan lama penyawahan dan pola tanam Pola Tanam Lama Penyawahan (tahun) 20 30 40 Bukan sawah 18,9 21,3 22,1 Sawah 1 kali 25,4 25,4 28,8 Sawah 2 kali 26,3 26,3 29,6 Sawah 3 kali 34,9 36,4 42
Dari persamaan regresinya terlihat jika tanah disawahkan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama maka kandungan fraksi liat cenderung meningkat sebesar 0,304% per tahun. Sedang pada tanah bukan sawah kandungan liat juga cenderung meningkat, tetapi peningkatannya lebih kecil (0,16% per tahun).
Menurut Brinkman (1985) fraksi liat di dalam tanah dapat berasal dari endapan sedimen bersama fraksi yang lain, tetapi juga dapat berasal dari pelapukan batuan sedimen, atau mungkin juga berasal dari pelapukan mineral primer atau ditransformasi dari mineral liat yang lain. Ada beberapa proses pelapukan mineral yang dijelaskan oleh Brinkman (1982) yang antara lain adalah: Hidrolisis, Pelarutan oleh asam kuat dan cheluviasi, Ferrolysis, dan Transformasi liat dalam kondisi alkalin.
Kondisi yang dipersyaratkan untuk berlangsungnya proses ferolisis yaitu kondisi basah dan kering yang bergantian dipenuhi oleh tanah sawah. Oleh karena adanya ferolisis inilah maka dekomposisi mineral pada tanah sawah berlangsung lebih efektif dan akan membentuk liat. Perubahan ukuran partikel tanah menjadi lebih halus akan menurunkan porositas total tanah (Plaster, 2004), dan kemudian diikuti perubahan sifat fisik yang lain seperti, peningkatan berat volume, penurunan permeabilitas, peningkatan retensi air dan penurunan transmisi air (Taylor, 1973; Cheng, 1983).
Tanah yang sering dilumpurkan akan menyebabkan konduktifitas hirolik tanah jenuh dan perkolasi menurun (De Datta, 1981; Gupta dan Janggi, 1972; Wickham dan Singh, 1978).
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan sifat fisik tanah pada tanah yang disawahkan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama. Perbedaan tersebut antara lain pada kandungan pasir, kandungan liat, serta penurunan kandungan pasir dan peningkatan lengas.
Kandungan pasir tanah yang disawahkan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama, cenderung menurunan sebesar 0,297% per tahun, sedang pada tanah bukan sawah penurunan kandungan pasir lebih kecil (0,095 % per tahun).
Kandungan liat di dalam tanah yang disawahkan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama cenderung meningkat 0,304% per tahun. Sedang pada tanah bukan sawah peningkatan kandungan liat relatif kecil (0,16 % per tahun).
Penurunan kandungan pasir dan peningkatan lengas yang lebih cepat dibandingkan tanah yang tidak disawahkan secara terus‐menerus dan dalam waktu yang lama dapat menjadi indikator lajunya pelapukan tanah. Pelapukan tanah umumnya diikuti pelepasan unsur hara, dimana unsur hara ini akan segera hilang dari dalam lapisan tanah karena diserap oleh akar tanaman dan tercuci oleh air perkolasi. Selanjutnya hal ini akan memacu pula penurunan tingkat kesuburan tanah.
Dari kesimpulan di atas disarankan agar penyiapan lahan untuk tanah sawah tidak perlu sampai terjadi pelumpuran. Bahkan bila memungkinkan penyiapan lahan sawah dilakukan tanpa olah tanah (TOT).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, Wahyunto dan R. Shofiyati. 2005. Kriteria Biofisik Dalam Penetapan Lahan Sawah Abadi di Pulau Jawa. Jurnal Litbang Pertanian 24(4) : 131‐136. Adiningsih, S. 1992. Peranan efisiensi
penggunaan pupuk untuk melestarikan swa sembada pangan. Pidato pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitanak, Badan Litbang Pertanian, Dept. Pertanian. Bogor.
Brinkman, R. 1970. Ferolysis, a hidromorphyc soil forming process. Geoderma 3:199‐ 206.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1985. Chemical kinetics of wetland rice soil relative to soil fertility. In Wetland Soil: Characterization, Clasification, and Utilization. IRRI. Los Banos, Laguna. Philippines.
Cheng, Y.S. 1983. Drainage of paddy soils in Taihu lake region and its effects. Soil Res. Rep. 8, inst. Soil Sci., Academia Sinica, Nanjing, China. pp. 1‐18.
De Datta, S.K. 1981. Principles and practics of rice production. John Wiley and Sons. New York. 618 hal.
Farbrother, H.G. 1970. Investigations into the irrigation practices of the Sudan Gezira. The pattern of soil moisture changes under irrigation. Pages 105‐117 in Cotton Growth in the Gezira environment. A Symposium to mark the 50th anniversary of the Gazira research station. Siddiq, M.A. and L.C. Hughes (eds). Agric. Research Corp., Wad Medani. Sudan. Ghilddyal, B.P. 1978. Effects of Comparations
and puddling on Soil Physical Properties and Rice Growth. In Soils and Rice. IRRI, Los Banos, Philipphines pp 317‐336. Gupta, R.K., and I.K. Jaggi. 1979. Soil physical
conditions and paddy yield as influenced by depth of puddling. Journal Agronomy Crop Science. 148:329‐336.
Hardjowigeno, S., H. Subagyo, dan M. Luthfi Rayes. 2004. Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah. dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Larson, W.E., and F.J. Pierce, 1991. Conservation and Enhancement. In Evaluation for Suatainable Land Management in the Developing World. pp. 175 – 203. Int. Board for Soil Res. and management, Bangkok, Thailand.
Mikklesen, D.S., and W.H. Patrick Jr. 1968. Fertilizer use on rice. Pages 403‐432. in Changing patterns in fertilizer use. Soil Sci. Soc. Am. Medison, Wisconsin. Misak, R.F., J.M. Al‐Awadhi, S.A. Omar, A.
Shahid. 2002. Soil Degradation et Area Kabd Norten‐west Kuwait Cyty. Journal land Degradation and Development. 13:403 – 415 (2002).
Prasetyo, B.H., J. Sri Adiningsih, Kasdi Subagyono dan R.D.M. Simanungkalit. 2004. Mineralogi, Kimia, Fisika dan Biologi Tanah Sawah. dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Puslitanag. Departemen Pertanian. Bogor.
Rossiter, D.G., 2001. Introduction to Land Degradation, Conservation and Rehabilitation. Land Degradation and Desertification Website (International Union of Soil Sciences). http://www.nhq.nrcs.usda.gov/WSR/lan
ddeg/papers.htm.
Sanchez. P.A, 1976. Properties and Management of Soil in the Tropics. A Wiley‐Interscience Publication John Wiley and Sons, New York. London. Sydney. Toronto. 618 hal.
Sharma, P.K. and S.K. De Datta. 1985. Effects of puddling on soil physical properties leaching losses and growth and grain yield of lowland rice. Soil Sci. Soc. A.J. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1985. Effects of puddling on soil
physical properties and processes. in Soil and Rice. IRRI. Los Banos. Philipines. Pages 217‐234.
Subagyo,K., F. Agus, dan S. Sukmana. 1994. Sifat Fisisk Tanah Mineral di Beberapa Lokasi di Sumatra dan hubungannya dengan pencetakan sawah. dalam Risalah Hasil Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Sawah Irigasi di Sumatra. BPPP, Deptan. Bogor.
Taylor, H.M. 1972. Effect of drying on water ritention of a puddled soil. Soil Sci. Sco. Am, Proc. 36:972‐973.
Wilding, L.P. , N.E. Smeck and G.F. Hall. 1983. Pedogenesis and Soil Taxonomy, Concepts and Interaction. Elsevier, Amsterdam‐Oxford‐New York.
L G G Sains T ana h – Ju rnal Ilmu Ta na h da n Agroklimatologi 6( 1) 20 09 Lampiran. Grafik, d Gambar 1. Grafik ant lama peny Gambar 4. Grafik ant lama peny diagram dan grafi tara kandungan pas yawahan dan pola t tara kandungan liat yawahan dan pola t ik korelasi kandun sir dengan tanam Gam t dengan tanam Gam ngan pasir serta li mbar 2.Diagram anta lama penyaw mbar 2.Diagram anta lama penyaw at dalam tanah ara kandungan pas wahan & pola tanam ara kandungan liat wahan & pola tanam kandun gan p asir ( % ) 4 kandungan liat (%) ir dengan m Gamb dengan m Gamb 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 10 g p () La y = 0,304 R² = 0 10 20 30 40 50 0 10 Lam bar 3. Korelasi anta penyawahan bar 6. Korelasi anta penyawahan y = ‐0,297x + 35,8 R² = 0,567 20 30 ama Penyawahan (t 4x + 21,26 0,488 20 30 ma Penyawahan (tah ara kandungan pasi n & pola tanam ara kandungan liat n & pola tanam 4 40 50 tahun) 40 50 hun) ir dengan lama dengan lama Penyaw ahan Te ru s Men erus Mema cu Per cepatan.... Sudar yanto