• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 ANALISA. 39 Universitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 5 ANALISA. 39 Universitas Indonesia"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 5

ANALISA

5.1. Kebutuhan Tata Kelola TI di Ditjen Migas

Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan kinerja lembaga pemerintah serta untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, instruksi untuk mengembangkan e-Government telah diwujudkan dengan munculnya berbagai inovasi dari organisasi pemerintah dengan memanfaatkan teknologi informasi terkini. Teknologi canggih telah mengambil alih mengerjakan tugas-tugas yang selama ini memerlukan waktu pelaksanaan yang panjang.

Tingkat pelayanan terhadap stakeholder merupakan suatu target yang akan selalu diperhatikan oleh semua instansi. Dinamika inilah yang membuat semua organisasi ingin meningkatkan performanya melalui penerapan teknologi informasi dalam kesehariannya. Bagi lembaga pemerintah, kebijakan untuk menerapkan e-government merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Berdasarkan pengamatan dan analisa penulis, anggaran Ditjen Migas untuk pelaksanaan program kerja khususnya yang terkait dengan TI terus mengalami peningkatan. Hal ini didukung oleh salah satu dari 10 Agenda Migas, yaitu “Peningkatan Akses Data Migas”, menjadi dasar bagi langkah-langkah yang diambil oleh Ditjen Migas. Selain 10 agenda migas tersebut, Undang-undang Migas No.22 tahun 2001, khususnya pada Pasal 41 ayat 1 yang berbunyi : “Tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang terkait”, serta pasal 42 yang berbunyi : “Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi : (b) pengelolaan data Minyak dan Gas Bumi” menjadi payung hukum dari pencanangan agenda tersebut.

Peningkatan dari anggaran belanja TI Ditjen Migas harus dapat meningkatkan performa dari Ditjen Migas, serta harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara administratif serta dapat diimplementasikan dengan baik pada tahap pengadaan maupun pada tahap pasca implementasi. Selain itu Ditjen Migas perlu untuk mengantisipasi terjadinya duplikasi kegiatan TI yang ada di Ditjen Migas. Untuk

(2)

mencegah hal tersebut, perlu adanya suatu perencanaan yang jelas, menyeluruh serta terukur, agar pemborosan tidak akan terjadi. Ditjen Migas juga harus memperhatikan perkembangan dari teknologi yang tidak hanya mengejar semata hanya dari sisi kecanggihan dan keterbaruannya saja, tapi juga dapat menolong dari sisi optimalisasi dari perangkat yang sudah ada.

5.2. Pola Tata Kelola berdasarkan Van Grembergen dan De Haes (2004) 5.2.1. Struktur

Struktur pengelola teknologi informasi di Ditjen Migas adalah dibawah unit eselon IV, yaitu Sub Bagian Pengelolaan Informasi (Gambar 4.2). Sub Bagian Pengelolaan Informasi memiliki tugas untuk melakukan pengumpulan bahan dan penelaahan, pelaksanaan, serta evaluasi atas pengelolaan sistem, jaringan, situs, penyajian informasi dan laporan pelaksanaan kerja rutin atau berkala Direktorat Jenderal, antara lain data statistik, pengelolaan internet dan website. Sedangkan unit eselon III yang menaungi sub bag pengelolaan informasi adalah Bagian Rencana dan Laporan yang memiliki tugas menyiapkan perencanaan kerja, ketatalaksanaan, akuntabilitas kinerja, pelaporan, serta pengelolaan sistem dan jaringan informasi Direktorat Jenderal. Fungsi dari Bagian Rencana dan Laporan adalah :

• Penyiapan koordinasi pengelolaan rencana kerja, pelaporan, dan sistem informasi Direktorat Jenderal;

• Pengelolaan sistem, jaringan dan situs informasi, serta penyajian informasi dan laporan pelaksanaan kerja rutin atau berkala;

• Penyiapan perencanaan kerja dan penganggaran, serta susunan kegiatan satuan kerja berbasis kinerja;

• Penyusunan rumusan ketatalaksanaan dan prosedur kerja; • Penyusunan rumusan akuntabilitas kinerja;

• Penyiapan bahan dan laporan untuk sidang, rapat koordinasi, dan rapat kerja pimpinan Direktorat Jenderal;

• Evaluasi penyelesaian perencanaan kerja, ketatalaksanaan, akuntabilitas kinerja, pelaporan, serta

• Pengelolaan sistem dan jaringan informasi di lingkungan Direktorat Jenderal. Tugas dan fungsi unit ini merupakan hasil dari reorganisasi Departemen ESDM, dimana Kepmen ESDM No.0030 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen ESDM menjadi dasarnya. Berbeda dengan struktur sebelumnya,

(3)

unit pengelola TI adalah unit eselon III yaitu Sub Dit Penerapan dan Pelayanan Informasi.

Akibat dari perubahan ini, fungsi pengelola TI hanya menjadi bagian dari Sub Bagian Pengelolaan Informasi, dimana didalamnya terdapat tugas-tugas non TI juga, yaitu antara lain penyusunan dan pencetakan buku statistik, serta pelaksanaan pelayanan informasi migas melalui penyertaan pameran. Hal tersebut terpetik dari wawancara berikut :

“Kalau dulu itu, unit TI itu adalah unit setingkat sub direktorat, eselon III, khusus mengenai masalah teknologi informasi, jadi dulu itu sudah sangat terstruktur, sudah bagus, bentuknya 1 unit eselon 3 dengan 3 seksi, untuk mengurusi khusus masalah TI. Kalo sekarang itu TI direduksi bukan hanya sekedar eselon IV atau III, malah hanya merupakan bagian fungsi Bagian Rencana dan Laporan, jadi menurut saya seyogyanya perlu dikembalikan ke bentuk semula, dalam arti berdiri sendiri dalam 1 subdit, itu akan lebih fokus, kalau sekarang tidak fokus, karena kerjaannya campuran.”

(Lampiran 7, hal.118, no. 2 ).

Berdasarkan analisa penulis, level dari pengelola TI yang semakin rendah serta tidak fokusnya tugas dari para pegawai yang memiliki latar belakang TI semakin mempersulit penerapan aturan-aturan tata kelola TI di Ditjen Migas.

5.2.2. Proses

Penulis akan mencoba menganalisis beberapa proses yang ada di Ditjen Migas, yaitu antara lain proses penyusunan rencana kerja, proses pelaksanaan pengadaan dan proses audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Departemen ESDM.

5.2.2.1.Proses Pengusulan Kegiatan dan Pengajuan Anggaran

Program pelaksanaan rencana kerja di Ditjen Migas telah memiliki prosedur yang jelas. Pelaksanaan anggaran tertuang dalam dokumen Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL). Proses penyusunan RKAKL hingga disahkan oleh Departemen Keuangan membutuhkan waktu yang panjang. Unit-unit yang terkait dalam proses penyusunan RKAKL ini antara lain unit pengusul kegiatan di Ditjen Migas (level eselon II), Biro Perencanaan dan Kerja Sama ESDM, Biro Keuangan ESDM, Bappenas dan Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan. Pada gambar 5.1 terlihat alur dari penyusunan RKAKL dengan tahapan kegiatan seperti terlampir. Dari diagram tersebut terlihat bahwa pada tahapan kegiatan no.5, unit eselon II Ditjen Migas mengajukan rencana kerjanya yang terdiri dari

(4)

kegiatan-kegiatan yang bersifat swakelola maupun kegiatan-kegiatan yang memerlukan dilakukannya pelelangan.

Gambar 5.1. Proses Penyusunan Rencana Kerja (SOP Ditjen Migas)

Namun pada pelaksanaan proses penyusunan kegiatan-kegiatan tersebut, khususnya kegiatan TI, kegiatan diusulkan tanpa melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan unit pengelola TI. Hal itu terlihat dari hasil wawancara sebagai berikut :

AM : “Jadi tidak ada semacam keharusan, bahwa unit-unit yang hendak mengadakan sistem atau barang terkait IT itu harus berkoordinasi dengan unit IT?”

AH : “Sebenarnya ada, harus, tapi ya kita itu, jadi kadang-kadang mereka melihat dari sisi kebutuhan dia, tidak melihat dari sisi struktur organisasinya, terus terang kalau sosialisasinya bagus kita tidak ada semacam seperti.. tapi karena tadi mereka melihat kebutuhan mereka sendiri, mereka buat dulu baru koordinasinya belakangan“

(Lampiran 3, hal 101, no. 4).

Usulan yang diajukan tersebut disertai oleh dokumen-dokumen pendukung kegiatan tersebut, antara lain dokumen Term Of Reference (TOR) serta dokumen Rencana Anggaran Belanja (RAB). Hal itu terlihat dari hasil wawancara berikut :

(5)

“Biasanya dari bagian kami (Bagian Rencana dan Laporan) yang menginventaris kegiatan-kegiatan yang diinisiatif oleh unit-unit untuk selanjutnya dimintakan persetujuan ke Ditjen Anggaran Departemen Keuangan melalui Biro Perencanaan (ESDM), Persyaratannya yah harus disiapkan Term Of Reference (TOR) dan juga Rencana Anggaran Belanja (RAB) oleh masing-masing user unit eselon III”

(Lampiran 3, hal.102, no.11).

Realisasi pelaksanaan kegiatan juga memiliki beberapa kategori yang digolongkan sesuai dengan jumlah besarnya anggaran yang dibutuhkan. Untuk kegiatan yang memerlukan anggaran dibawah 50 juta Rupiah (termasuk PPN), pelaksanaannya akan dilakukan dengan prosedur penunjukan langsung kepada penyedia layanan. Untuk kegiatan yang bernilai 50 sampai dengan 100 juta Rupiah, proses pelaksanaanya dilakukan melalui sistem pemilihan langsung, yaitu dengan mengumpulkan minimal 3 (tiga) pembanding dalam menentukan pemenangnya. Sedangkan kegiatan bernilai diatas 100 juta Rupiah akan dilaksanakan proses lelang secara terbuka dan transparan dan akan diumumkan melalui media massa maupun media web milik Ditjen Migas.

Dalam pelaksanaan Kegiatan ini, semua kegiatan ini haruslah sejalan dengan Rencana Strategis dari Ditjen Migas, yaitu rencana kerja yang disusun untuk 5 tahun kedepan. Sedangkan untuk rencana tahunan, terlihat pada gambar 5.1 bahwa setelah kegiatan dikumpulkan oleh Biro Perencanaan, hasilnya akan dibahas bersama dengan Bappenas dan Departemen Keuangan dan akan ditetapkan melalui dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dimana penjabaran secara detailnya adalah dapat dilihat pada dokumen RKAKL.

Namun dalam pelaksanaan kegiatan di Ditjen Migas, tidak tertutup akan adanya tumpang tindih ataupun duplikasi kegiatan antar unit di Ditjen Migas sendiri. Hal ini disebabkan karena tidak adanya proses monitoring kegiatan-kegiatan yang diajukan oleh unit-unit, dan juga tidak diketahuinya kesinambungan kegiatan yang serta kemajuan dari sebuah program. Hal itu terpetik dari wawancara sebagai berikut :

“Seharusnya ada suatu sistem yang bisa diikutkan untuk melihat kesinambungan antara kegiatan dari tahun ke tahun, mungkin karena saat ini masih transisi, mungkin …. Dulu kita itu ada namanya proyek rutin..ee… anggaran rutin dan anggaran proyek, kemudian sekarang kita gabung jadi satu, lalu ada pemahaman setiap unit itu harus mengeluarkan suatu proyek, jadi dengan kuantitas begitu banyak, akhirnya kita

(6)

hanya tahu judulnya saja, kita tidak tahu didalamnya, memang perlu suatu sistem yang membuat kita mengetahui secara detail seperti apa kegiatan tersebut dan korelasinya dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya”

(Lampiran 4, hal.108, no. 17).

5.2.2.2.Proses Pelaksanaan Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa

Setelah Rencana Kerja disetujui oleh Ditjen Anggaran, Ditjen Migas akan membentuk Panita pelaksanaan proses pengadaan, dimana panitia ini yang akan melakukan tugas-tugas administratif dalam melaksanakan proses pengadaan barang dan jasa dibantu oleh para pengguna. Sedangkan sebagai wakil dari Ditjen Migas yang akan melakukan kontrak dengan para penyedia jasa, akan ditunjuk seorang Pejabat Pembuat Komitmen (P2K), selain itu juga P2K dapat memerintahkan untuk dilaksanakannya proses pengadaan. Pada gambar 5.2 terlihat proses pengadaan di Ditjen Migas. Setelah dibentuknya Panitia Pengadaan dan diangkatnya P2K, panitia akan mulai mengumumkan pengadaan tersebut ke media massa. Selama ini Ditjen Migas melakukan pengumuman melalui media cetak dan juga melalui situs web Ditjen Migas.

(7)

Setelah diumumkan, berikutnya adalah proses pengumpulan dokumen lelang yang akan dinilai oleh panitia pengadaan dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Keseluruhan proses yang berjalan mengikuti standar dari Keputusan Presiden No.80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Setelah melewati proses evaluasi, panitia mengumumkan pemenang dari proses pengadaan. Apabila sudah ditentukan pemenang, pihak penyedia jasa segera berkoordinasi dengan pengguna untuk mulai melakukan pembicaraan dengan pengguna mengenai spesifikasi pekerjaan yang lebih detail, bersiap untuk melakukan penyusunan kontrak. Pada saat inilah pembicaraan mengenai pekerjaan yang akan dilakukan dan layanan-layanan yang bersifat kritikal yang akan diberikan oleh penyedia jasa kepada pengguna pada saat implementasi dan masa garansi akan dibicarakan. Namun pada proses yang berjalan saat ini di Ditjen Migas, berdasarkan hasil pengamatan penulis, penyusunan dokumen perjanjian hanya menghasilkan sebuah dokumen kontrak tanpa dilengkapi dokumen lainnya, misalnya dokumen Service Level Agreement (SLA) Hal tersebut terungkap dari petikan wawancara sebagai berikut :

“Selama ini, SLA untuk pekerjaan IT sudah terjadi, tetapi memang yang masih kurang adalah pernyataan jelasnya didalam kontraknya yang belum begitu tersurat, dalam artian tidak tertulis, sehingga kita tidak tahu apa yang akan diberikan lagi… service apa lagi yang akan diberikan oleh si penyedia jasa tersebut terhadap user atau pengguna jasa”

(Lampiran 6, hal.115 no. 10).

Penyusunan kontrak diakhiri dengan tandatangan antara P2K dengan penyedia jasa, berdasarkan petikan wawancara berikut :

“Yang menyusun kontrak itu user bersama P2K (Pejabat Pembuat Komitmen), pada pokoknya itu tugas P2K untuk berkontrak dengan pihak ke-3, karena tidak mungkin seorang P2K menyusun sekian banyak kontrak sendiri, apalagi struktur P2K nya itu di Departemen kita kurang bagus, mustinya 1 direktorat memiliki 1 P2K, jadi lebih mengerti tupoksi masing-masing P2K tersebut”

(Lampiran 7, hal.119, no.4)

Namun dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan, ternyata walaupun SLA tidak berupa sebuah dokumen, tapi SLA tersebut tetap berjalan tanpa adanya suatu ketetapan yang mengikat. Hal tersebut tercermin dari petikan wawancara berikut :

(8)

“Itu ada (SLA), tapi mungkin itu hanya lisan saja, dan selama ini meskipun kegiatan sudah selesai, konsultan-konsultan yang bekerja bersama kita itu tetap misalnya kita meminta pada saat diluar jangka waktu yang sudah ada, bila ternyata masih ada kekurangan, dia tetap akan membantu. Mungkin diawal kontrak sudah dibicarakan tapi tidak tertulis”

(Lampiran 8, hal.124, no. 19).

Sebelum mengadakan penandatangan kontrak, terlebih dahulu panitia akan melakukan klarifikasi lingkup pekerjaan dan negosiasi biaya yang sebelumnya telah ditawarkan oleh pemenang tender Hal ini penting untuk dilaksanakan, mengingat jumlah biaya yang akan dikeluarkan harus seoptimal mungkin dan seimbang dengan barang atau jasa yang akan diterima oleh pengguna.

Menurut pengamatan penulis, Ditjen Migas mengasumsikan dokumen SLA telah disepakati dan terwakilkan dalam kontrak kerja dan juga berdasarkan pembicaraan sebelumnya antara pengguna jasa dengan penyedia jasa mengenai tingkat layanan yang akan diberikan pada saat implementasi maupun pada masa garansi.

5.2.2.3.Proses Audit Pelaksanaan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan di organisasi pemerintah akan dievaluasi (audit) oleh unit yang bertindak sebagai auditor. Departemen ESDM memiliki unit yang berfungsi sebagai auditor, yaitu Inspektorat Jenderal (Itjen). Pelaksanaan audit dilaksanakan pada semua unit Departemen ESDM termasuk Ditjen Migas. Secara spesifik, salah satu tugas dari Itjen adalah pelaksanaan pengawasan kinerja, keuangan, dan pengawasan untuk tujuan tertentu atas petunjuk Menteri ESDM. Berdasarkan tugas tersebut, dapat disampaikan bahwa pelaksanaan pengawasan Itjen meliputi pengawasan kinerja, pengawasan keuangan dan pengawasan-pengawasan lain yang ditentukan berdasarkan arahan Menteri ESDM (Lampiran 9, halaman 127, no.1).

Pengawasan akan kinerja unit merupakan pengawasan yang memperhatikan pencapaian pelaksanaan kinerja yang telah direncanakan sebelumnya dengan memperhatikan indikator-indikator kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan pengawasan kegiatan-kegiatan juga merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh unit Itjen, seperti terpetik pada wawancara berikut :

“Dua-duanya, jadi kinerja dan aplikasi (yang diperiksa), setahun itu inspektorat memeriksa 2 kali, saya kurang tahu persis, tapi ada yang salah satunya masalah kinerjanya, dan lainnya dari sisi aspek keuangnnya, administrasinya”

(9)

(Lampiran 4, hal.107, no.8).

Namun audit kinerja yang dilaksanakan oleh Itjen adalah audit kepada laporan mengenai Kinerja, yaitu Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), dimana LAKIP tersebut dilihat kesesuaiannya dengan Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga Negara. Itjen akan melihat kesesuaian dari laporan-laporan tersebut, apakah sudah sesuai dengan rencana dan juga melihat potensi penyebab permasalahan apabila tujuan kinerja tidak tercapai.

Dalam pelaksanaan audit kinerja TI, pelaksanaan audit baru pada audit pada pelaksanaan kegiatan pengadaan kegiatan TI. Hal ini terpetik dari wawancara sebagai berikut :

“Ada (yang memeriksa), biasanya dari eksternal Migas, yaitu dari Inspektorat Jenderal atau Pusdatin. Tapi biasanya teman-teman dari instansi tersebut melakukan monitor yang bersifat audit. Mereka memonitor pelaksanaan kegiatan melalui pengawasan berkas-berkas administrasi dan memonitor output dari sebuah kegiatan. Namun pelaksanaan dari aplikasinya tidak mereka monitor. Titik berat mereka hanya pada masalah pelaksanaan pengadaan kegiatannya saja”

(Lampiran 3, hal.104, no. 28).

Apabila terjadi permasalahan atau pelanggaran administrasi, tim Itjen akan memberikan memasukkan hal tersebut dalam berita acara pemeriksaan disertai rekomendasi perbaikan dari tim audit.

5.2.3. Mekanisme Hubungan

Dalam menciptakan tata kelola TI yang baik, hubungan antara struktur dan proses yang selaras sangat dibutuhkan. Keselarasan tersebut terwujud dalam sebuah mekanisme relasional antara struktur dan proses yang berjalan di Ditjen Migas. Bentuk mekanisme relasi yang dapat diidentifikasi di Ditjen Migas antara lain :

Tabel 5.1.Mekanisme Relasi di Ditjen Migas

No Nama Mekanisme Keterangan

1 Rapat Pimpinan Dihadiri oleh pimpinan Ditjen Migas hingga pejabat eselon IV

2 Rapat Koordinasi Dihadiri oleh pimpinan Ditjen Migas dengan unit atau para pegawai terkait

(10)

Tabel 5.1. Mekanisme Relasi di Ditjen Migas (Lanjutan)

No Nama Mekanisme Keterangan 3 Rapat Tim Task Force

IT Departemen ESDM

Dihadiri oleh pejabat atau pegawai dari seluruh unit Departemen ESDM yang memiliki tugas maintenance TI

4 Rapat Tim Counterpart Diadakan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pengadaan barang dan jasa, diikuti oleh ketua dan anggota tim counterpart serta tim penyedia jasa 5 Intranet Ditjen Migas Sarana bertukar informasi terkait dengan tugas

sehari-hari

6 Buletin Ditjen Migas Diterbitkan setiap 4 bulan sekali, berisi informasi mengenai kemigasan dari tiap unit di Ditjen Migas

Rapat pimpinan yang membahas seluruh permasalahan kemigasan diadakan sesuai arahan pimpinan. Menurut pengamatan penulis, mekanisme ini sebelumnya berjalan secara rutin membahas semua permasalahan yang ada di Ditjen Migas, dan berlangsung 1 (satu) kali setiap bulannya. Namun saat ini rapat pimpinan dilaksanakan apabila pimpinan merasa perlu untuk diadakan saja. Rapat hanya dihadiri oleh para pejabat/pemangku jabatan yang ada di Ditjen Migas, dari eselon I hingga eselon IV.

Rapat koordinasi adalah rapat yang dilaksanakan dalam rangka melakukan koordinasi pekerjaan kemigasan yang diikuti oleh pimpinan Ditjen Migas dan jajaran pegawainya yang terkait dengan isu yang akan dibahas. Selain itu pejabat atau pegawai unit lain dapat mengikuti rapat ini. Rapat ini dilaksanakan apabila menurut pimpinan perlu dilaksanakan.

Selain mekanisme rapat-rapat diatas, khusus mekanisme yang membahas mengenai TI di Departemen ESDM telah ada wadah khusus, yaitu tim task force IT yang dipimpin oleh Kepala Pusdatin Departemen ESDM. Rapat tim task force lebih spesifik mengenai perkembangan TI dan implementasi TI di unit-unit di Departemen ESDM. Berdasarkan pengamatan penulis, rapat-rapat task force sebelumnya membahas mengenai implementasi data warehouse ESDM, implementasi single internet connection di Departemen ESDM, penerapan National Single Windows dan beberapa isu-isu lainnya terkait dengan Information System/Information Technology (IS/IT).

(11)

Pentingnya sarana untuk melakukan pertukaran informasi dalam rangka mendapatkan informasi terbaru dalam melakukan pelayanan pemberian informasi kepada masyarakat telah disadari di Ditjen Migas. Ditjen Migas telah mengembangkan sebuah portal yang dapat menjadi ajang pertukaran informasi kemigasan, sehingga pegawai Ditjen Migas dapat mengambil data terkini dengan cepat tanpa dibatasi oleh keharusan datang ke kantor atau mendapatkan informasi tersebut pada jam kerja. Prinsip dari portal tersebut adalah portal knowledge management. Konsep tersebut telah dimanfaatkan oleh unit Direktorat Pembinaan Usaha Hulu Migas, sehingga mempermudah komunikasi data antar pegawai Ditjen Migas.

Mekanisme terakhir yang teridentifikasi oleh penulis adalah terbitnya Buletin Migas sebanyak 3 (tiga) kali setahun. Upaya untuk mensosialisasikan pemanfaatan TI melalui buletin migas merupakan suatu wacana yang masih akan direncanakan. Hal itu terlihat dari hasil wawancara sebagai berikut :

“Ada, melalui rapat-rapat saja. (Sosialisasi TI) bisa juga melalui surat edaran. Ada beberapa edaran yang kita sebarkan untuk memberikan informasi mengenai kondisi IT di Ditjen Migas. Selain itu, rencananya sih pemikiran mengenai IT juga mau kita dorong melalui Buletin Migas. Bisa juga yah, Kami punya Buletin Migas yang terbit setahun 3 kali Tapi ini baru rencana kami”

(Lampiran 3, hal.105, no.33).

5.3. Pola Tata Kelola berdasarkan Kerangka Weill and Ross

Kerangka kerja Weill and Ross (2004) melihat 5 hal penting terkait dengan jenis pengambilan keputusan TI, antara lain prinsip-prinsip TI, arsitektur TI, strategi infrastruktur TI, kebutuhan aplikasi bisnis dan investasi TI. Lima keputusan ini bukanlah keputusan yang terpisah, namun merupakan satu kesatuan yang mengalir. Pola tata kelola ini mencoba untuk menganalisa bagaimana keputusan tersebut diambil dan siapa yang mengambil keputusan terkait. Penulis mengidentifikasikan pola tersebut dalam matrik berikut :

(12)

Tabel 5.2. Matrik Governance Arrangement Ditjen Migas

DECISION IT PRINCIPLES IT ARCHITECTURE IT INFRASTRUCTURE

STRATEGIES

BUSINESS

APPLICATION NEEDS IT INVESTMENT Input Decision Input Decision Input Decision Input Decision Input Decision

BUSINESS MONARCHY Dirjen/ Menteri Setditjen Migas, Setjen Departe men ESDM IT MONARCHY Unit TI Unit TI FEUDAL FEDERAL Unit TI, Tiap Unit DUOPOLY Unit TI, Tiap Unit ANARCHY Tiap

Unit Tiap Unit Tiap Unit Tiap Unit

5.3.1. Principles

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip TI telah disampaikan oleh pengelola TI di Ditjen Migas dalam bentuk arahan/edaran kepada tiap unit. Selain itu juga terdapat RUSIM (Rencana Umum Pengembangan Sistem Informasi) yang menjadi arahan dalam pengembangan e-government di Departemen ESDM. Rusim ditandatangani pada tahun 2003, berisi mengenai rencana pengembangan aplikasi e-government dan infrastruktur yang dapat menjangkau seluruh unit Departemen ESDM. Proses pengembangan itu dilaksanakan secara bertahap, dimulai dari tahap persiapan (tahun 2004-2005), tahap pematangan (tahun 2005-2006), tahap pemantapan (tahun 2007-2008) dan tahap pemanfaatan (tahun 2009-2010). RUSIM tersebut menjadi sebuah Keputusan Menteri yang menjadi panduan dasar pelaksanaan kegiatan TI di Departemen ESDM dan juga di Ditjen Migas. Di Ditjen Migas sendiri, penerapan 10 Agenda Migas khususnya agenda no.6 – “Peningkatan Akses Data Migas” telah dicanangkan oleh pimpinan Ditjen Migas. Kegiatan yang akan mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut antara lain (1) mengembangkan jaringan intranet dan sistem informasi berbasis multi media (website,

(13)

buku informasi, dll) yang dapat diakses secara cepat, (2) pengembangan sistem perijinan berbasis web, (3) mengembangkan kerjasama dengan pihak perbankan (transfer dana secara online , ref: akses bid info-tender Wilayah Kerja), (4) Peningkatan peran serta BU/BUT (Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap) sub sektor migas secara aktif dalam membangun kemudahan akses data. (penyerahan data, sistem pelaporan), dan (5) melakukan kerjasama dengan instansi lain (link) untuk mendukung kemudahan akses data dan informasi (BKPM, Ditjen Pajak, Depnaker, BPH Migas, BPMigas, Pertamina, PGN, KKKS, dll).

Namun menurut pengamatan penulis, penerapan RUSIM maupun pelaksanaan 10 Agenda Migas masih terkendala dengan permasalahan implementasi dilapangan, kesulitannya adalah koordinasi dan kerjasama antar unit internal maupun dengan unit eksternal masih sulit dilaksanakan, selain itu juga ketika terjadi pergantian pimpinan, pimpinan yang baru mempunyai kebijakannya sendiri, sehingga kebijakan-kebijakan pimpinan sebelumnya cenderung tidak diteruskan dan tidak dapat dilaksanakan secara berkesinambungan.

5.3.2. Architecture

Arsitektur TI di Ditjen Migas masih belum tertata dengan baik. Masing-masing unit bisa mendapatkan masukan mengenai arsitektur TI untuk kebutuhan aplikasi mereka tidak hanya dari unit TI Ditjen Migas. Karena inisiasi program yang dapat dimulai dari level eselon 3 di setiap direktorat, ada beberapa unit yang mengembangkan arsitektur TI mereka sendiri. Hal itu terungkap dari hasil wawancara berikut :

AM : “Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, apakah sudah ada pemanfaatan TI di Subdit Penerimaan Negara?”

BH : “Sudah kita sudah membangun sistem monitoring lifting dan disitu kita sudah menggunakan teknologi informasi”

AM : “Sistemnya seperti apa? Apakah dia memonitor volume dari sumur- sumur?”

BH : “Iya betul, kita membangun 2 jenis sistem, yaitu sistem monitoring online lifting real time dan sistem monitoring online berbasis web yang non real time, untuk yang real time, sistem ini akan memonitor secara real time volume di custody transfer saat terjadi perkapalan atau bill of ladding, sedangkan untuk yang sistem monitoring lifting online berbasis web non real time akan memonitor lifting, cenderung

(14)

ke arah back alokasi sampai ke daerah penghasil. Jadi tetap yang dimonitor adalah lifting, tapi satunya real time, satunya tidak real time”

(Lampiran 8, hal.122, no.3).

Namun dalam pelaksanaan sehari-hari, unit TI pun sering terlibat untuk mengambil input mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan teknologi informasi apabila diminta oleh suatu unit yang akan melakukan pengembangan sistem/aplikasi, hal itu tercermin dalam wawancara berikut :

“Sebenarnya untuk arsitektur masukannya itu dari unit TI, tapi ada beberapa bagian yang memiliki arsitektur sendiri karena program TI mereka itu tidak dikelola oleh pegawai Ditjen Migas. Ada beberapa aplikasi yang masih diserahkan kepada pihak luar untuk dikelola”

(Lampiran 5, hal.112, no.17). dan

“Wah perlu sekali (input atau rekomendasi), paling tidak kan (Unit TI) bisa memberi pengetahuan ke unit-unit yang ada di Ditjen Migas yang memanfaatkan teknologi informasi”

(Lampiran 7, hal.120, no.19)

Menurut pengamatan penulis, kurangnya koordinasi serta penegakan aturan tata kelola TI yang baik dari pimpinan merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Begitu pula dengan struktur pengelola TI yang hanya merupakan sebuah fungsi saja dari unit terkecil di Ditjen Migas (eselon IV), mengakibatkan tidak fokusnya tugas dari pegawai yang memiliki tugas untuk mengelola TI, diperparah lagi dengan kurangnya jumlah pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan TI.

5.3.3. Infrastructure Strategies

Dalam hal infrastructure strategies, unit TI Ditjen Migas sebagai pengelola TI bertindak sebagai pemberi input. Namun dalam pengambilan keputusan, keputusan diambil bersama-sama antara unit TI dengan unit bisnis. Hal tersebut terpetik dalam hasil wawancara berikut :

“Bisa dibilang seperti itu, tapi mereka akan terkendala apabila mereka harus membangun infrastruktur sendiri, pada akhirnya mereka akan meminta ke unit TI juga. Hal ini disebabkan karena unit diluar TI apabila memiliki sebuah kegiatan TI, selama kegiatan berjalan mungkin mereka bisa membiayai konsultan atau menyewa infrastruktur sendiri, tapi kalau kegiatan selesai, balik lagi ke unit TI. Tapi tidak

(15)

semua unit seperti itu, ada juga yang berkoordinasi dan menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh unit TI”

(Lampiran 5, hal.112,no. 21)

Menurut pengamatan penulis, kondisi dari infrastruktur Ditjen Migas saat ini terbilang cukup baik, karena sudah ada upaya untuk membangun fasilitas-fasilitas yang dapat mengakomodir penerapan aplikasi/sistem berbasis web maupun berbasis desktop application bagi para unit yang ada di Ditjen Migas, kesiapan tersebut terungkap dalam hasil wawancara berikut :

“Unit TI kami sudah memiliki Ruang Server, jaringan fiber optik ke setiap lantai, koneksi Internet yang dedicated, IP Publik, server yang siap pakai. Terutama itu sih. Khusus untuk koneksi internet kami siap”

(Lampiran 5, hal.112,no. 22)

5.3.4. Business Application Needs

Kebutuhan aplikasi di Ditjen Migas diusulkan dan disampaikan oleh masing-masing unit. Walaupun banyak kegiatan TI yang dilaksanakan setiap tahunnya, unit TI masih sulit untuk memonitor pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut. Tingginya nilai investasi TI seharusnya dapat menghasilkan manfaat yang seimbang dengan pengeluaran yang dilakukan. Pada saat pengajuan usulan kegiatan oleh unit-unit, seperti yang terlihat pada gambar 5.1, tugas untuk mengkoreksi masukan usulan kegiatan ada pada unit eselon IV, Sub Bagian Rencana Kerja, dimana unit pengelola TI juga berada dibawah unit eselon III Bagian Rencana dan Laporan. Namun tugas koreksi tersebut hanya menjadi tugas untuk mengumpulkan usulan kegiatan saja tanpa memperhatikan kesinambungan kegiatan tersebut. Hal ini terpetik dari hasil wawancara berikut :

“Seharusnya ada suatu sistem yang bisa diikutkan untuk melihat kesinambungan antara kegiatan dari tahun ke tahun, mungkin karena saat ini masih transisi, mungkin …. Dulu kita itu ada namanya proyek rutin..ee… anggaran rutin dan anggaran proyek, kemudian sekarang kita gabung jadi satu, lalu ada pemahaman setiap unit itu harus mengeluarkan suatu proyek, jadi dengan kuantitas begitu banyak, akhirnya kita hanya tahu judulnya saja, kita tidak tahu didalamnya, memang perlu suatu sistem yang membuat kita mengetahui secara detail seperti apa kegiatan tersebut dan korelasinya dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya”

(16)

Kesulitan dalam memonitor usulan kegiatan tersebut menyebabkan unit TI tidak bisa mengawasi kesinambungan atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh unit-unit di Ditjen Migas. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, koordinasi dengan unit pengelola TI baru terlaksana setelah kegiatan pengadaan berjalan dan pihak pengguna mengalami kesulitan dalam melaksanakan implementasi kegiatan mereka. Hal tersebut terungkap dari hasil wawancara sebagai berikut :

“Kebetulan sistem kita ada dua, web base dan scada, dan dua-duanya sudah terintegrasi dengan sistem yang ada di migas, terutama yang web, jadi kalau ada kendala seperti jaringan yang putus, itu bisa langsung berkoordinasi dengan tim IT dari Migas, apa errornya”

(Lampiran 8, hal.124, no.20).

Selain itu ada pula kegiatan di Ditjen Migas yang bersifat ad hoc dan tidak terencana dengan baik, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kinerja dikatakan baik apabila anggaran yang sebelumnya dianggarkan terserap habis. Akibatnya ketika ada kegiatan yang dilaksanakan karena anggapan tersebut diatas, kegiatan menjadi tidak terencana dan berdampak pada hasil kegiatan tidak digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena pada tahap perencanaan kurang memperhatikan keberlanjutan dari sistem yang dibangun, atau juga karena kesibukan dari pegawai yang harus melakukan pekerjaan rutin lainnya. Selain itu juga, menurut pengamatan penulis, penyebaran dan distribusi pegawai di Ditjen Migas kurang merata, dimana terdapat beberapa unit yang memiliki tugas yang banyak, namun memiliki pegawai yang sedikit, atau sebaliknya. Hal ini terungkap dari wawancara berikut :

AM : “Mengapa sampai (aplikasinya) tidak digunakan Pak? Apakah tidak sesuai dengan keinginan dari user?”

AH : “Ya tidak juga, rata-rata sudah sesuai dengan permintaan awal, namun pada saat pengembangan aplikasi, disitu terlihat kekurangan dari permintaan awal dari usernya sendiri, misalnya dalam hal penginputan data, mungkin mereka siap menginput data, tapi datanya ternyata belum siap, sedangkan kegiatan rutin yang bersifat manual juga tetap harus berjalan. Pada prinsipnya kan aplikasi itu dibuat untuk mempercepat proses manual, tapi seperti saya katakan tadi, apakah karena SDM masih manual kita ga tau”

(17)

5.3.5. Investment

Investasi teknologi informasi saat ini telah dilakukan oleh unit pengelola TI. Investasi yang dilakukan oleh unit diluar TI sebagian besar telah dikonsultasikan dengan unit TI, namun masih ada sebagian kecil unit yang memiliki infrastruktur TI sendiri, sehingga unit tersebut masih melakukan perawatan sendiri atas perangkat mereka.

Berdasarkan pengamatan penulis, investasi yang akan dilaksanakan oleh unit non TI sebagian besar telah dikoordinasikan oleh unit TI, namun koordinasi yang dimaksud masih bersifat non formal tanpa adanya aturan resmi. Misalnya apabila sebuah unit dalam kegiatannya ingin melakukan pembelian server, mereka dapat bertanya kepada pengelola TI mengenai ketersediaan tempat untuk penempatan server di ruang server.

Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa rencana investasi telah dikoordinasikan dan disepakati oleh unit TI dan unit bisnis, dimana unit bisnis sebelumnya telah menjajaki rencana investasi TI dan bagaimana penempatan dari perangkat atau pelaksanaan sistem yang akan berjalan nantinya.

Usulan-usulan kegiatan yang masuk, akan dikoordinasikan di Ditjen Migas, dimana Bagian Rencana dan Laporan akan menginventaris usulan yang masuk dari semua unit. Berdasarkan gambar 5.1, usulan yang masuk tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Migas, lalu dikirimkan ke Sekretariat Jenderal Departemen ESDM cq. Biro Perencanaan dan Kerja Sama untuk ditandatangani dan diusulkan kembali ke Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan.

5.4. Pola Tata Kelola berdasarkan ITGI

Berdasarkan research design (gambar 3.2) yang telah dirancang penulis, tata kelola ini melengkapi dari sisi proses tata kelola. Pola tata kelola berdasarkan kerangka kerja ITGI terdiri dari stakeholder value driver atau nilai-nilai yang diinginkan oleh para stakeholder sebagai pendorong utama pelaksanaan tata kelola TI, setelah itu akan dilakukan IT strategic allignment yang akan menjadi pendorong, lalu akan timbul outcome berupa IT Value Delivery dan Risk Management, setelah itu dilakukanlah performance measurement untuk mengetahui keseimbangan antara strategi TI dan strategi bisnis. Semua proses yang berjalan merupakan ruang lingkup dari resource management. Secara mendasar tata kelola TI menurut ITGI berfokus pada 2 (dua) hal, yaitu pemberian nilai tambah dan mitigasi dari resiko TI.

(18)

Penulis telah memetakan proses-proses di Ditjen Migas dalam kerangka kerja ITGI sebagai berikut :

Gambar 5.3

Area Fokus ITGI Ditjen Migas

Dalam mendapatkan informasi mengenai stakeholder value, penulis telah mengidentifikasi para stakeholder yang ada di Ditjen Migas. Stakeholder yang dimaksud disini adalah semua pihak yang terlibat dengan kegiatan tugas dan fungsi Ditjen Migas. Stakeholder yang ada dibedakan atas external stakeholder dan internal stakeholder. External stakeholder antara lain adalah presiden, menteri, departemen atau organisasi pemerintahan lain yang terkait, para pelaku usaha kemigasan dan masyarakat umum. Sedangkan internal stakeholder adalah para pegawai yang ada di Ditjen Migas. Faktor yang menjadi pendorong penerapan tata kelola TI berdasarkan stakeholder value adalah :

• Kepmen No.939.K/73/MEM/2003 tentang Tim Pengembangan Rencana Induk Sistem Informasi Departemen Pertambangan dan Energi, didalamnya terdapat RUSIM (Rencana Induk Sistem Informasi) yang merupakan kebijakan pengembangan e-government di Departemen ESDM yang dilaksanakan sejak tahun 2004 sampai dengan 2010;

(19)

• Inpres No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e- Government (e-Government Development Framework) merupakan kebijakan yang menjadi dasar dari pembuatan RUSIM tersebut;

• Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP/26/M.PAN/2/2004, Organisasi pemerintah dituntut untuk memiliki kemampuan beradaptasi terhadap tuntutan dari masyarakat untuk menghasilkan layanan yang berkualitas;

• 10 Agenda Migas yang akan dituangkan dalam program-program dan kegiatan pokok di Ditjen Migas

• Keinginan untuk mendapatkan informasi yang cepat dan akurat, seperti terungkap dalam wawancara berikut :

“Ya iya, karena sekarang segala sesuatu harus base on informasi, jadi segala sesuatu sudah tidak manual lagi, jadi otomatis segala sesuatunya TI akan berperan penting”

(Lampiran 8, hal.124, no.22)

Upaya melakukan penyelarasan strategi bisnis dengan strategi TI, telah dituangkan dalam pencanangan 10 agenda Migas, khususnya pada agenda no.6, yaitu Peningkatan Akses Data Migas. Selain itu juga telah terdapat Rencana Induk Sistem Informasi (RUSIM) yang telah ditetapkan oleh Menteri ESDM melalui Keputusan Menteri. Namun kebijakan-kebijakan tersebut belum disosialisasikan dan diimplementasikan dalam bentuk-bentuk yang lebih detail, misalnya Standard Operation and Procedure (SOP).

Dalam Rencana Strategis Ditjen Migas, disampaikan program-program Ditjen Migas yang akan dilaksanakan selama 5 tahun. Menurut pengamatan penulis, implementasi Renstra tersebut masih bisa mengalami perubahan. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya perubahan dapat berasal dari internal Ditjen Migas atau Departemen ESDM sendiri, atau juga berasal dari situasi eksternal yang memaksa Ditjen Migas melakukan penyesuaian rencana. Menurut pengalaman penulis, pada tahun 2008 sempat dilaksanakan pemotongan anggaran dari Departemen ESDM oleh Departemen Keuangan, dimana pemotongan tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya krisis moneter global, sehingga dirasakan perlu untuk melakukan pemotongan anggaran departemen-departemen yang ada. Dengan terjadinya pemotongan anggaran TI, unit pengelola TI pun harus menyesuaikan

(20)

bagaimana pelayanan kepada stakeholder agar dapat terus berjalan walaupun anggaran yang ada menjadi jauh berkurang.

Setelah melakukan allignment antara strategi TI dan strategi bisnis, penulis mencoba mengidentifikasi IT Value Delivery, yaitu nilai yang didapatkan dari pelayanan TI. Diharapkan dengan penerapan TI yang berhasil, implementasi TI dapat membantu kegiatan administratif yang dilaksanakan oleh Ditjen Migas dalam kegiatannya sehari-hari. Berdasarkan pengamatan penulis, keefektifan penggunaan TI sangat membantu dalam pelaksanaan tugas unit, apabila memang unit tersebut sudah berkomitmen untuk menggunakan sistem/aplikasi yang mereka bangun. Hal tersebut terungkap dari wawancara berikut :

“Ya, sudah sangat membantu, terutama di bidang monitoring surat dinas, jadi keluar masuknya surat dinas, pemberian nomer surat dinas, monitoring surat dinas itu sudah sampai mana, perjalanan surat masuk disampaikan ke SDM (Direktur) atau ke Dirjen, macetnya dimana, itu salah satu fungsinya IT di Bagian Umum dan Kepegawaian”

(Lampiran 7, hal 118 no.1.1)

Dengan terbantunya kegiatan pegawai, dengan sendirinya tugas-tugas yang diberikan dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diharapkan.

Untuk dapat memberikan layanan yang baik, perlu upaya untuk mengantisipasi gangguan yang dapat mengganggu layanan. Dengan pendekatan ISO 27001, dalam melakukan upaya-upaya pengamanan, hal-hal yang perlu dilakukan antara lain :

• Melakukan pemahaman atas penyebab timbulnya permintaan keamanan informasi dan penyebab munculnya kebutuhan untuk menerapkan kebijakan dan tujuan pengamanan informasi;

• Melakukan implementasi dan kontrol operasi untuk melakukan manajemen resiko informasi dengan konteks bahwa resiko terhadap informasi merupakan ancaman terhadap organisasi;

• Melakukan monitoring dan mereview kinerja dan keefektifan manajemen sistem informasi;

• Melakukan pengembangan yang berkelanjutan dan pengembangan tersebut dilaksanakan berdasarkan pengukuran-pengukuran yang obyektif.

(21)

Upaya melakukan manajemen resiko terhadap kesinambungan data-data yang ada di Ditjen Migas belum dilaksanakan. Selain itu juga, pada pelaksanaan kegiatan TI yang melewati proses pengadaan masih memiliki kekurangan-kekurangan. Kekurangan yang terlihat pada awal pelaksanaan kegiatan adalah tidak adanya Service Level Agreement (SLA) yang menjadi dasar komitmen tertulis dari penyedia layanan terhadap pengguna layanan, dalam hal ini Ditjen Migas. Pendefinisian layanan purna jual didefinisikan dalam satu bagian dari kontrak, namun definisi tersebut hanya bersifat umum. Hal ini menyebabkan apabila terjadi permasalahan, tidak semua permasalahan mau ditangani oleh penyedia layanan, begitu juga dengan rentang waktu penanganan masalah yang tidak jelas, sehingga penanganan masalah bisa berjalan lama sehingga mengganggu kegiatan administratif di Ditjen Migas. Selain itu juga menurut pengamatan penulis, belum ada upaya untuk melakukan backup data untuk mengantisipasi terjadi resiko kehilangan data. Namun dalam upaya pembangunan ruang Network Operation Centre (NOC), unit TI telah berupaya menerapkan keamanan perangkat keras yang ada, antara lain telah adanya ruang server yang dilengkapi dengan alarm kebakaran, gas FM100, menggunakan finger scan, UPS dan lain-lain. Hal ini mencerminkan adanya upaya dari unit TI untuk melakukan implementasi infrastruktur jaringan dan server dengan menerapkan upaya antisipatif terhadap resiko-resiko yang mungkin terjadi.

Setelah melakukan proses risk management, berikutnya adalah melaksanakan pengukuran atas performa dari sistem yang berjalan saat ini. Dalam melakukan pengukuran ini, Ditjen Migas belum memiliki best practice yang menjadi panduan pengukuran performa pelaksanaan kegiatan. Hal itu terlihat dengan belum digunakannya penilaian kinerja, misalnya penerapan key performance indicator (KPI) dalam pelaksanaan tugas. Selain itu, saat ini belum dilakukan pengawasan oleh internal dalam hal pelaksanaan kegiatan pengadaan maupun kesinambungannya dengan kegiatan yang ada di Ditjen Migas, khususnya kegiatan TI.

Secara rutin, unit pelaksana TI melakukan penilaian performa berdasarkan jumlah keluhan dari pengguna TI. Belum ada mekanisme khusus yang mengukur performa sistem yang berjalan di Ditjen Migas. Selain memonitor keluhan pengguna TI di Ditjen Migas, penyerapan anggaran juga merupakan salah satu indikator kinerja yang diperhatikan oleh tiap unit. Berdasarkan anggapan tersebut, muncul pendapat bahwa apabila sebuah unit telah meminta anggaran tertentu, maka kinerjanya akan

(22)

dikatakan baik apabila anggaran yang diminta terpakai seluruhnya. Hal itu tercermin dari petikan wawancara sebagai berikut :

“Seharusnya ada suatu sistem yang bisa diikutkan untuk melihat kesinambungan antara kegiatan dari tahun ke tahun, mungkin karena saat ini masih transisi, mungkin …. Dulu kita itu ada namanya proyek rutin. … anggaran rutin dan anggaran proyek, kemudian sekarang kita gabung jadi satu, lalu ada pemahaman setiap unit itu harus mengeluarkan suatu proyek, jadi ...

(Lampiran 4, hal 108, no.17).

Upaya berikutnya adalah dengan melakukan manajemen sumber daya TI. Dalam melakukan perawatan dan pengelolaan TI di Ditjen Migas, diperlukan pegawai yang memiliki kemampuan TI dan juga dibutuhkan jumlah pegawai yang memadai. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah kemampuan pegawai TI yang terbatas harus mengelola infrastruktur TI yang beragam. Menurut pengamatan penulis, upaya peningkatan kemampuan pegawai TI dengan mengikuti pendidikan atau training-training sudah dilaksanakan, antara lain dengan mengikuti pendidikan formal di bidang TI atau mengikuti training-training dibidang TI, namun upaya tersebut tidaklah bersifat kontinyu. Pengalokasian training atau pelatihan saat ini masih merupakan domain unit SubBagian Kepegawaian, dimana pelatihan dibidang kemigasan masih mendominasi pelatihan yang ada. Kesulitan lainnya adalah tidak terfokusnya tugas dari pegawai TI yang harus mengerjakan tugas-tugas lain yang tidak terkait TI, antara lain penyusunan buku informasi dan statistik Migas, serta kegiatan penyertaan pameran untuk melakukan sosialisasi kemigasan.

5.5. Pola Tata kelola berdasarkan AS-8015

Australian Standard (AS) 8015 menyediakan kerangka kerja untuk tata kelola TI yang efektif bagi organisasi. AS-8015 merupakan sistem yang mengarahkan dan mengontrol kegunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk saat ini dan masa yang akan datang. Tugas utama dari pimpinan adalah melakukan evaluasi dan arahan terhadap rencana penggunaan ICT untuk mendukung organisasi serta monitoring pelaksanaan kegiatan yang berguna untuk mendukung tercapainya tujuan.

Standar ini juga berguna untuk memberikan keyakinan kepada stakeholder, bahwa standar-standar telah diikuti, sehingga timbul kepercayaan bahwa tata kelola TI di organisasi telah berjalan dengan baik. Sistem ini dapat memberikan dasar untuk melakukan evaluasi dari tata kelola TI di organisasi tersebut.

(23)

Gambar 5.4

Model AS-8015 Ditjen Migas

Berdasarkan gambar pemetaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa business pressures dan business needs merupakan faktor penekan dalam melaksanakan tata kelola TI. Faktor-faktor business pressure antara lain adalah produk hukum yang telah dibahas sebelumnya pada tata kelola menurut Weill and Ross. Produk hukum tersebut misalnya adalah Instruksi Presiden, Ketetapan Menteri atau agenda-agenda yang dicanangkan oleh pimpinan di Ditjen Migas sendiri. Desakan akan kecepatan layanan informasi dan keakuratannya juga merupakan tuntutan dari stakeholder, karena industri migas adalah industri yang besar dan melibatkan banyak modal, namun juga memiliki resiko yang tinggi bila terjadi kesalahan. Sedangkan business need dari Ditjen Migas terciptanya kegiatan administratif yang bersih dan cepat dapat terlaksana, sehingga kelancaran tersebut dapat meningkatkan kinerja pegawai. Menurut pengamatan penulis, produk-produk hukum maupun kebijakan yang telah diterbitkan sebelumnya, belum diturunkan menjadi sebuah standar yang jelas, sehingga pelaksanaanya masih sulit dilakukan.

(24)

Dalam melaksanakan evaluasi, pimpinan melalui unit Bagian Rencana dan Laporan, dimana unit pengelola TI berada didalamnya, melaksanakan evaluasi atas kegiatan yang dilaksanakan di Ditjen Migas. Namun upaya untuk mengevaluasi kegiatan tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik, karena fungsi evaluasi tersebut hanya menjadi fungsi koordinasi usulan-usulan kegiatan saja untuk seterusnya dilanjutkan ke Biro Perencanaan Departemen ESDM untuk mendapatkan persetujuan Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan. Selain itu juga sulit untuk menemukan apabila terjadi duplikasi maupun tumpang tindih usulan-usulan kegiatan yang masuk. Sebaiknya dalam melakukan evaluasi ini, pimpinan dapat mengkaji bagaimana kondisi organisasi saat ini dan bagaimana kondisi yang diharapkan, lalu dilakukanlah upaya untuk menutupi kekurangan yang ada dan meningkatkan apa yang sudah berjalan dengan baik, sehingga organisasi dapat memiliki keunggulan yang kompetitif serta dapat meningkatkan kinerja dan akuntabilitas organisasi.

Pimpinan harus dapat memberikan arahan terhadap persiapan pelaksanaan dari kegiatan yang akan dilakukan, dimana arahan tersebut harus berdasarkan kepada regulasi yang berlaku maupun arahan dari pimpinan tertinggi. Pimpinan juga harus menyadari bahwa kegiatan yang akan dilaksanakan harus memiliki pengaruh terhadap kondisi saat ini, dimana tidak terjadi kondisi kontra produktif apabila sebuah kegiatan dijalankan, melainkan yang terjadi adalah saling melengkapi.

RUSIM dan Agenda Migas No.6 merupakan kebijakan yang mendukung terlaksananya proses bisnis. Namun seperti telah disampaikan sebelumnya, RUSIM dan Agenda Migas masih belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, dikarenakan belum adanya standar detil yang memandu pelaksanaan. Kesulitan kembali timbul apabila terjadi perubahan pimpinan yang dapat mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan kebijakan dari pimpinan sebelumnya..

Mekanisme monitoring dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen), Pejabat Pembuat Komitmen (P2K) dan Pejabat Penanggung Jawab Kinerja (Direktur/eselon II) hanya terhadap jalannya proses pelaksanaan kegiatan pengadaan, baik pengadaan TI maupun non TI. Monitoring yang dilakukan oleh Itjen adalah monitoring terhadap berjalannya proses kegiatan pengadaan. Itjen melakukan pengecekan kesesuaian antara dokumen-dokumen yang ada dengan hasil akhir dari pekerjaan yang dilaksanakan. Itjen juga melaksanakan pemeriksaan kinerja. Pemeriksaan atas kinerja, hanya berdasarkan LAKIP (Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah) saja. LAKIP merupakan laporan yang rutin dikeluarkan setiap tahunnya yang berisi

(25)

laporan pelaksanaan kegiatan yang direncanakan beserta pencapaiannya. Itjen akan mengeluarkan rekomendasi berdasarkan hasil audit tersebut hingga rekomendasi sanksi apabila ditemukan kesalahan dalam proses yang berjalan.

P2K dan Penanggung Jawab Kinerja juga melakukan pengawasan atas pelaksanaan dari kegiatan-kegiatan yang berjalan. Sebelum melakukan kontrak, P2K akan mengkaji terlebih dahulu kontrak yang akan ditandatangani. Namun dalam pelaksanaannya, P2K sering mengalami kesulitan dalam memahami kontrak-kontrak yang harus ditandatangani, karena saat ini P2K masih terpusat, dimana untuk seluruh direktorat hanya memiliki seorang P2K saja. Hal ini terpetik dalam wawancara sebagai berikut :

“Yang menyusun kontrak itu user bersama P2K (Pejabat Pembuat Komitmen), pada pokoknya itu tugas P2K untuk berkontrak dengan pihak ke-3, karena tidak mungkin seorang P2K menyusun sekian banyak kontrak sendiri, apalagi struktur P2K nya itu di Departemen kita kurang bagus, mustinya tiap direktorat memiliki 1 orang P2K, jadi lebih mengerti tupoksi masing-masing P2K tersebut”

(Lampiran 7, hal. 119 no.4).

Sedangkan Penanggung Jawab Kinerja memonitor sejauh mana pelaksanaan kegiatan berjalan.

5.6. Tingkat Maturitas berdasarkan DS1 Cobit 4.1

Pada Cobit 4.1 DS1, tujuan yang ingin dicapai adalah yaitu untuk mencapai terwujudnya komunikasi yang efektif antara pengelola TI dengan penyedia jasa mengenai komitmen akan pelayanan TI yang dimungkinkan melalui perjanjian yang terdokumentasi dan juga persamaan persepsi dalam pendefinisian pelayanan TI dan kualitas pelayanannya. Termasuk di dalamnya adalah pengawasan layanan dan pelaporan yang periodik kepada stakeholder yang berisi pencapaian dari kualitas layanan. Proses ini juga memungkinkan untuk mengetahui keselarasan antara kebutuhan bisnis dengan pelayanan TI. Menurut Cobit, upaya-upaya yang harus dilakukan antara lain :

• Melakukan formalisasi perjanjian internal dan external yang selaras dengan permintaan dan kapabilitas yang diberikan;

• Memberikan laporan mengenai pencapaian tingkat layanan;

• Mengidentifikasikan dan mengkomunikasikan permintaan layanan yang baru atau yang telah direvisi kedalam perencanaan strategis.

(26)

Keberhasilan dari upaya tersebut menurut Cobit dapat diukur dari :

• Berapa persen dari stakeholders yang terpuaskan atas tercapainya tingkat layanan dengan tingkat yang dijanjikan;

• Jumlah layanan yang terlaksana tidak ada dalam katalog;

• Jumlah rapat formal yang membahas peninjauan kembali atas SLA setiap tahunnya.

Diharapkan pada akhirnya, kepuasan pengguna terhadap layanan yang terlaksana dapat terwujud. Selain itu juga diharapkan terjadinya kesesuaian antara permintaan layanan dengan strategi organisasi, akan lebih baik lagi bila terjadi kesepahaman dan trasparansi mengenai biaya pengadaan terkait layanan TI, keuntungan yang akan didapatkan, strategi, kebijakan-kebijakan dan tingkat layanan yang akan dilaksanakan oleh masing-masing pihak.

Tahap Delivery and Support 1, terdiri atas beberapa control objective, yaitu : DS1.1. Service Level Management Framework;

DS1.2. Definition of Services; DS.1.3 Service Level Agreements;

DS1.4.Operating Level Agremeents (OLA);

DS1.5 Monitoring and Reporting of Service Level Achievements; DS1.6 Review of Service Level Agreements and Contracts.

Penulis telah melakukan wawancara dan melakukan pengukuran tingkat kematangan dengan menggali sejauh mana dan bagaimana point-point tersebut dilaksanakan. Penulis melakukan penghitungan score tingkat kematangan dengan menggunakan metode yang digunakan oleh ITGI, yaitu dengan memberikan nilai-nilai tertentu dengan ketentuan sebagai berikut :

0 = tidak ada kegiatan seperti yang ditanyakan 1 = Ada, dilakukan secara adhoc atau tidak teratur 2 = Ada, prosesnya secara teratur dilaksanakan

3 = Ada, prosesnya secara teratur dilaksanakan dan terdokumentasi

4 = Ada, prosesnya secara teratur dilaksanakan, terdokumentasi dan terukur 5 = Ada, prosesnya secara teratur dilaksanakan dan diperbaiki terus menerus

Proses penentuan score berdasarkan hasil wawancara yang dapat dilihat pada Lampiran 2 – halaman 95, yang berisi analisis kondisi Maturity Level dari Delivery and Support (DS1) di Ditjen Migas.

(27)

Berdasarkan hasil interview, penulis telah mengelompokkan hasilnya sebagai berikut :

Tabel 5.3. Maturity Level DS1 Ditjen Migas

Control Objective Temuan Score

DS1.1. Service Level Management

Framework

Layanan sudah terdefinisikan dengan baik dalam sebuah Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang nantinya akan menjadi dasar pembuatan kontrak, namun SLA dan OLA masih merupakan satu kesatuan dengan kontrak dan merupakan sebuah bagian saja dari kontrak tersebut. Proses pembuatan KAK dan kontrak ini sudah teratur dilaksanakan, terdokumentasi dan terukur dengan baik.

4

DS1.2. Definition of Services

Layanan TI disesuaikan dengan Rencana Strategis Organisasi dan terdokumentasi serta selalu ditinjau

4

DS.1.3 Service Level Agreements

Ditjen Migas hanya berpedoman kepada kontrak saja, tidak ada dokumen SLA

0

DS1.4.Operating Level Agremeents (OLA)

Tidak ada OLA 0

DS1.5Monitoring and Reporting of Service Level Achievements

Setelah kegiatan pembangunan/pengembangan diserahterimakan, proses pemantauan pelaksanaan layanan dilaksanakan oleh pengguna dimana pengawasannya bersifat ad hoc

1

DS1.6 Review of Service Level Agreements and Contracts

Kontrak diperiksa secara berkala, baik oleh panitia pengadaan dan juga oleh Inspektorat Jenderal. Namun pembahasan layanan yang diberikan oleh penyedia jasa setelah dilakukannya serah terima (pada masa garansi) hanya antara pengguna dengan penyedia jasa

1

Rata – rata 1,6

Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata, didapatkan nilai rata-rata sebesar 1,6. Berdasarkan temuan ini, penulis mencoba untuk mengidentifikasi kondisi yang diprediksi oleh ITGI melalui sebuah “Maturity Model”. Karena nilai rata-rata yang didapatkan adalah “1,6”, penulis akan membandingkan kondisi saat ini dengan ITGI level 2 (tabel 5.4), yaitu sebagai berikut :

(28)

• Ada kesepakatan atas tingkat layanan yang akan diberikan oleh penyedia jasa, tetapi kesepakatan tersebut bersifat informal dan tidak direview kembali

• Laporan atas tingkat layanan tidak lengkap dan mungkin menyesatkan atau tidak relevan untuk para pengguna

• Laporan atas tingkat layanan berdasarkan kepada skill dan inisiatif individu

• Koordinator service level telah ditunjuk dengan responsibility yang jelas, namun otoritasnya terbatas

• Jika ada proses untuk menyesuaikan ke SLA, sifatnya adalah sukarela dan tidak dipaksakan atau tidak memiliki aturan

Berdasarkan analisa dari Cobit untuk maturity model level 2 untuk DS1, penulis mencoba untuk menganalisa kesesuaian kondisi tersebut dengan temuan dari hasil interview dan pengamatan penulis.

Tabel 5.4. Analisa Maturity Level DS1 Ditjen Migas

No. Kondisi Menurut Cobit untuk Maturity Level “2”

Analisa Kondisi Saat ini

1 Ada kesepakatan atas tingkat layanan yang akan diberikan oleh penyedia jasa, tetapi kesepakatan tersebut bersifat informal dan tidak direview kembali

Selama ini semua layanan yang diberikan hanya tertuang dalam kontrak, hal itu terpetik dari wawancara berikut : “Kalau menurut saya, segala sesuatu harus dituangkan didalam kontrak, kalau diluar itu kan tidak dalam formula kontrak nanti bagaimana pelaksanaannya? Karena pekerjaan itu dasarnya kontrak. Kontrak dan lampirannya yah..”

(Lampiran 7, hal.119, no.8)

Namun kesepakatan mengenai layanan pada masa garansi disepakati secara informal, terlihat dari hasil wawancara berikut :

“Itu ada, tapi mungkin itu hanya lisan saja, dan selama ini meskipun kegiatan sudah selesai, konsultan-konsultan yang bekerja bersama kita itu tetap misalnya kita meminta pada saat diluar jangka waktu yang sudah ada, bila ternyata masih ada kekurangan, dia tetap akan membantu. Mungkin diawal kontrak sudah dibicarakan tapi tidak tertulis”

(29)

No. Kondisi Menurut Cobit Analisa Kondisi Saat ini untuk Maturity Level “2”

(Lampiran 8, hal.124, no.19) dan

“Ya rata-rata sih masih bagus pelayanannya, karena sejak awal kita sudah meminta apabila kegiatan sudah selesai, mereka harus tetap mensupport kami. Tapi itu juga tergantung kontraknya, ada yang masa garantinya 6 bulan, ada juga 1 tahun”

(Lampiran 4, hal.108, no.14) 2 Laporan atas tingkat

layanan tidak lengkap dan mungkin menyesatkan atau tidak relevan untuk para pengguna

Layanan yang diberikan pada masa implementasi hingga munculnya serah terima, dapat dikatakan berjalan dengan baik.

“Terdokumentasi. Setiap hasil pekerjaan yang disampaikan oleh si penyedia jasa, itu selalu dibuatkan dalam bentuk berita acara hasil serah terima pekerjaan. Itu artinya dokumentasi itu sudah dalam bentuk berita acara nantinya, dan selain dalam bentuk laporan juga”

(Lampiran 6, hal.115, no.13)

Namun layanan yang telah memasuki masa pemeliharaan tidak memiliki bentuk laporan.

“Ya pada pekerjaan tertentu kan ada masa pemeliharaannya, kalau masa pemeliharaan masih tanggung jawab mereka terhadap P2K atau yang berkontrak. Tapi jika ada pekerjaan yang tidak memiliki masa pemeliharaan, user pasti akan ikut mengawasi, karena si pengguna ini juga memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan ini”

(Lampiran 6, hal.115, no.16) 3 Laporan atas tingkat

layanan berdasarkan kepada skill dan inisiatif individu

Laporan dimasa implementasi akan tertata dengan baik, hal itu tercermin dari wawancara berikut :

“Ya, hasilnya itu terukur. Mereka dalam pelaksanaan pekerjaan, misalnya mereka membuat pekerjaan itu dalam 3 laporan, misalnya laporan pendahuluan sampai apa, itu

(30)

Tabel 5.4. Analisa Maturity Level DS1 Ditjen Migas (Lanjutan)

No. Kondisi Menurut Cobit Analisa Kondisi Saat ini untuk Maturity Level “2”

nanti hasilnya musti mencapai titik itu. Demikian juga misalnya dilaporan pertengahan harus mencapai berapa persen dari pekerjaan. Setelah titik itu baru mereka dianggap mereka bisa menyelesaikan pekerjaan, disebut juga sebagai laporan akhir”

(Lampiran 6, hal.115, no.14) 4 Koordinator service level

telah ditunjuk dengan responsibility yang jelas,

namun otoritasnya terbatas

Peran dari pengelola TI adalah mengelola infrastruktur Ti yang ada di Ditjen Migas, namun pengelola TI tidak memiliki kewenangan dalam melakukan tata kelola TI pada unit-unit yang ada di Ditjen Migas

”Ya perannya (Unit pengelola TI) sebenarnya significant, namun tidak memiliki kewenangan yang kuat. Kewenangannya antara lain dalam hal sumber informasi kebijakan migas ke public melalui web site Migas, dan juga kewenangan dalam pengelolaan koneksi internet dan ruang server. Hanya itu saja kewenangannya, yang lainnya tidak ada”

(Lampiran 3, hal.105, no.32) 5 Jika ada proses untuk

memberikan layanan sesuai dengan standar SLA, sifatnya adalah sukarela dan tidak dipaksakan atau tidak memiliki aturan

Layanan akan diberikan oleh penyedia layanan, namun lingkup layanan termasuk pada layanan di masa garansi kegiatan tersebut telah disepakati diawal sebelum melakukan kontrak.

“Itu ada (perjanjian akan layanan), tapi mungkin itu hanya lisan saja, dan selama ini meskipun kegiatan sudah selesai, konsultan-konsultan yang bekerja bersama kita itu tetap misalnya kita meminta pada saat diluar jangka waktu yang sudah ada, bila ternyata masih ada kekurangan, dia tetap akan membantu. Mungkin diawal kontrak sudah dibicarakan tapi tidak tertulis”

(Lampiran 8, hal.124, no.19)

(31)

No. Kondisi Menurut Cobit Analisa Kondisi Saat ini untuk Maturity Level “2”

tambahan, dimana penyedia jasa berharap akan dipertimbangkan kembali untuk menjadi pelaksana kegiatan yang sama ditahun berikutnya..

Ya tentunya ada ya, cuma jenis sanksinya mungkin sanksi ringan ya, misalnya kalau dia malas datang, ya mungkin tahun depan lagi dia pingin lelang kita harus mencermati perusahaan dimaksud.

(Lampiran 7, hal.120, no.17)

5.7. Rekomendasi Cobit

Berdasarkan pola pikir yang disampaikan pada bab III Metodologi Penelitian, langkah selanjutnya adalah penulis akan menganalisa rekomendasi dari Cobit untuk meningkatkan tahap DS1-Define and Manage Service level yang didapatkan dari Maturity Model DS1 di level ke-3. Berikut ini adalah rekomendasi yang telah diterjemahkan oleh penulis, sehingga sesuai dengan kebutuhan dari Ditjen Migas, yaitu :

• Ditjen Migas harus melakukan pendefinisian tanggung jawab beserta kewenangan yang jelas bagi pemikul tanggung jawab, baik itu pengelola TI, pengguna TI maupun penyedia layanan;

• Dalam setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa, Ditjen Migas perlu melaksanakan proses kesepakatan Service Level Agreements dengan penyedia jasa untuk menjamin layanan pada masa garansi berjalan dengan baik dan layanan yang diterima sesuai dengan kebutuhan.

• Perlu dilaksanakannya Operational Level Agreement antara unit pengelola TI dengan unit-unit internal Ditjen Migas, namun kesepakatan itu harus disesuaikan dengan kapabilitas dan kemampuan yang dimiliki oleh pengelola TI saat ini; • Apabila SLA telah diterapkan, perlu untuk melakukan pengujian tingkat layanan

yang berjalan dan mengukur tingkat kepuasan pengguna TI. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat layanan yang diterima oleh Ditjen Migas. Apabila terjadi gangguan, perlu dikembangkan prosedur untuk memecahkan permasalahan tersebut secara formal;

(32)

• Unit pengelola TI di Ditjen Migas perlu untuk melakukan pendokumentasian layanan dan tingkat layanan yang telah ditetapkan bersama dengan penyedia layanan maupun unit-unit internal Ditjen Migas dengan menggunakan proses pendokumentasian yang standar;

• Menselaraskan keinginan pengadaan layanan dan tercapainya tingkat layanan dengan perencanaan organisasi dan ketersediaan dana;

• Membuat perencanaan strategis TI yang sesuai dengan visi misi organisasi. Hasil dari perencanaan tersebut harus disepakati bersama dan dilaksanakan oleh seluruh unit yang ada di Ditjen Migas;

• Perlu diadakannya pelatihan TI bagi pegawai yang memiliki tugas mengelola TI serta menambah jumlah pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan teknologi informasi.

5.8. Rekomendasi berdasarkan Best Practice IT-IL Versi 3

Setelah penulis mendapatkan rekomendasi dari COBIT, penulis akan menggunakan sebuah referensi yang diterbitkan oleh ISACA, yaitu dokumen pemetaan COBIT 4.1 ke IT-IL Versi 3. Pemetaan tersebut dapat dilihat secara detail pada Lampiran 1 halaman 87 – Mapping DS1 ke IT-IL Versi 3. Penulis menggunakan best practice IT-IL untuk karena IT-IL menyediakan kumpulan best practice yang lengkap dan rinci untuk lingkup manajemen layanan TI yang spesifik dan proses-proses terkait. Dalam upaya mendapatkan rekomendasi dari IT-IL yang sesuai dengan kebutuhan Ditjen Migas, penulis akan mengelompokkan masing-masing best practice sesuai dengan tahap-tahap Delivery and Support (Cobit), mulai DS1 hingga DS 6. Namun penulis akan membatasi dan menseleksi masukan yang sesuai bagi Ditjen Migas, yaitu masukan bagi pengguna layanan saja dan bukan masukan bagi penyedia layanan (service provider). Berikut ini adalah hasil pengelompokkan tersebut.

(33)

5.8.1. Membuat Framework Manajemen Service Level (DS1.1)

Berdasarkan referensi mapping Cobit ke IT-IL Versi 3 dari ISACA, berikut ini adalah best practice IT-IL pada control objective DS 1.1 sebagai berikut :

BEST PRACTICE IT-IL COBIT

Service Strategy Service Design

Membuat

Framework

Manajemen

Service Level

1. Dalam upaya membuat kerangka kerja manajemen service level, Ditjen Migas harus memahami fungsi dari setiap unit yang ada dalam organisasi serta proses apa saja yang berjalan didalamnya. Proses yang baik memiliki kriteria antara lain terukur (measureable), memiliki hasil yang spesifik, hasil dapat teridentifikasi dan dapat dihitung serta memiliki kejadian yang spesifik.

2. Untuk meningkatkan kinerja pelayanan internal, organisasi TI perlu untuk melakukan pengembangan aset hingga kapasitas maksimum dalam penggunaannya. Organisasi TI perlu untuk memprioritaskan pengembangan dan pengelolaan layanan mereka serta aset fisik yang dimiliki.

3. Apabila jenis layanan yang dibutuhkan telah jelas, organisasi TI dan pengguna layanan perlu untuk bersiap diri agar mampu melakukan eksekusi layanan tanpa menemui hambatan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan cara melakukan identifikasi Critical Success Factor (CSF), menetapkan tujuan yang hendak dicapai, melakukan penentuan prioritas atas inisiatif

Tabel 5.5. Rekomendasi IT-IL terhadap DS 1.1 COBIT

1. Dalam melakukan kesepakatan atas tingkat layanan antara penyedia layanan dengan pengguna layanan, perlu diperhatikan bentuk SLA yang paling cocok, agar semua kebutuhan layanan untuk internal pengguna layanan terpenuhi dengan baik. Bentuk SLA yang umum antara lain Service-based SLA, Customer-base SLA dan Multi-level SLA

2. Unit TI perlu untuk menjaga hubungan relasi dengan para pengguna jasa dan juga dengan penyedia jasa. Aktifitas yang dapat dilakukan antara lain adalah

- Memastikan bahwa penyedia layanan memberikan layanan sesuai dengan katalog layanan;

- Fleksibel dan tanggap terhadap kebutuhan end-user;

(34)

end-Tabel 5.5. Rekomendasi IT-IL terhadap DS 1.1 COBIT (Lanjutan) BEST PRACTICE IT-IL COBIT

Service Strategy Service Design

yang ada dan melakukan reposisi organisasi TI sebagai penyedia layanan bagi internal organisasi.

Dengan melakukan analisa CSF, akan dapat diketahu proses apa yang sudah berjalan baik dan proses apa yang dapat membantu tercapainya tujuan, serta juga dapat menentukan proses apa yang belum berjalan dengan baik dan harus diperhatikan. Tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk melakukan penentuan prioritas atas inisiatif yang ada, proses ini sangat penting karena dalam melakukan penentuan prioritas, sebuah organisasi perlu melihat kondisi external maupun internal organisasi serta melakukan penyesuaian dengan visi dan misi organisasi.

4. Pengelola TI harus memahami kebutuhan dari pengguna layanan TI di Ditjen Migas, sehingga layanan yang didapatkan dari penyedia layanan eksternal dapat memberikan nilai bagi Ditjen Migas

5. Ditjen Migas perlu untuk mempertahankan visibilitas dan kontrol atas layanan yang akan diterima, sehingga layanan dapat sesuai dengan permintaan awal

6. Melakukan pengukuran kualitas tingkat layanan selama berjalannya proses implementasi dan masa garansi, serta menyepakati tolok ukur dari pengukuran yang akan dilaksanakan

user dan mencoba menggali umpan dengan

melakukan survei pengamatan, wawancara dan metode lainnya;

- Memastikan bahwa penyedia layanan mengerti akan tanggung jawab mereka dan bersedia melaksanakan komitmen sesuai kesepakatan.

(35)

5.8.2. Definisi Layanan (DS 1.2)

Berdasarkan referensi mapping Cobit ke IT-IL Versi 3 dari ISACA, berikut ini adalah best practice IT-IL pada control objective DS 1.2 sebagai berikut :

Tabel 5.6. Rekomendasi IT-IL terhadap DS 1.2 COBIT

BEST PRACTICE (IT-IL)

COBIT

Service Strategy Service Design

Definisi Layanan TI

1. Dalam mendapatkan layanan dari penyedia layanan, Ditjen Migas harus memperhatikan Portofolio layanan dari penyedia layanan, dimana dokumen tersebut dapat menggambarkan layanan serta support yang akan diberikan selama masa implementasi maupun masa garansi layanan di Ditjen Migas. Dalam dokumen tersebut sebaiknya terdapat gambaran dari kinerja, biaya dan resiko dari layanan-layanan yang akan diambil serta solusi-solusi yang dirancang bagi pengguna layanan

2. Untuk meningkatkan kinerja pelayanan internal, organisasi TI perlu untuk melakukan pengembangan aset hingga kapasitas maksimum dalam penggunaannya. Organisasi TI perlu untuk memprioritaskan pengembangan dan pengelolaan layanan mereka serta aset fisik yang dimiliki.

3. Melakukan manajemen portofolio layanan. Manajemen portofolio layanan digunakan untuk melakukan tata kelola investasi dalam manajemen layanan di seluruh organisasi dan mengelola layanan-layanan tersebut agar menjadi bernilai. Dengan kata lain, SPM adalah berisi tentang proses pengelolaan investasi untuk mengembangkan layanan baru, memperbaiki

1. Tujuan melakukan service design adalah mencapai tujuan organisasi dengan memperhatikan aspek kualitas, kesesuaian dengan peraturan, resiko keamanan, terwujudnya layanan TI yang efektif dan terwujudnya kesesuaian antara layanan dengan kebijakan organisasi;

2. Menyeimbangkan business requirement dengan tersedianya sumber daya. Dibutuhkan seorang

Development Manager yang mengarahkan

proses ini. Manager tersebut harus memperhatikan fungsionalitas dari layanan yang ada dan sumber daya yang mengelola layanan tersebut;

3. Melakukan identifikasi dan dokumentasi atas business requirement. Perlu adanya kesepakatan dan dokumentasi atas semua permintaan yang muncul. Untuk melakukan langkah ini, perlu dilakukan :

Gambar

Gambar 5.1. Proses Penyusunan Rencana Kerja (SOP Ditjen Migas)
Gambar 5.2. Proses Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa
Tabel 5.1.Mekanisme Relasi di Ditjen Migas
Tabel 5.1. Mekanisme Relasi di Ditjen Migas (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : a.bahwa untuk tertib administrasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah serta untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 151 Peraturan Pemerintah

diperkenalkan program pemanfaatan bahan bakar nabati ethanol yang dikenal dengan nama Pro-Alcohol dengan pemberian sejumlah insentif kepada industri produsen

Hasil penelitian yang ditinjau dari penyusunan fakta, pengisahan fakta, penulisan fakta, dan penekanan fakta yang dilakukan oleh Kompas.com terhadap Pembatasan Bbm

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui untuk memberikan ijin kepada pihak Program Studi Sistem Informasi Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus

Pada tahun 1992, di Indonesia hanya terdapat satu Bank Umum Syariah.. yaitu Bank Muamalat Indonesia dan enam Bank Perkreditan

!aerah gurun banyak terdapat di daerah tropis dan berbatasan dengan padang rumput. Keadaan alam dari padang rumput kearah gurun biasanya makin jauh makin gersang. urah hujan rendah

Oleh karena teater merupakan alat transmisi nilai tradisi, perubahan nilai-nilai bermasyarakat layak untuk diamati, demikian juga kehadiran pertunjukan teater Indonesia..

Stainless Steel adalah suatu baja yang mengandung lebih dari 11 % kromium, biasanya diantara 11,5% - 27%, dan stainless steel juga mengandung nikel, vanadium,