• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Agribisnis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Agribisnis"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Pengertian Agribisnis

Pengertian agribisnis, menurut Soeharjo (Hernanto,1996), mencakup

semua kegiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian sampai pada

tata niaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya.

Berdasarkan konsep ini agribisnis digambarkan sebagai sistem yang terdiri dari

berbagai sub sistem, yaitu (a) subsistem pembuatan dan penyaluran sarana

produksi pertanian (farm supplies), (b) subsistem kegiatan produksi dalam

usahtani yang menghasilkan bermacam-macam produk pertanian, dan (c)

subsistem pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyaluran produk

pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya ke konsumen.

Dalam perkembangannya konsep agribisnis di atas kemudian disempurnakan

menjadi suatu konsep yang utuh, yang mengintegrasikan beberapa subsistem

dalam satu kesatuan, yaitu : (1) Subsistem agribisnis hulu (u p-stream

agribusiness), yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off-farm),seperti

bioteknologi; industri agrokimia (pupuk, pestisida); alat-alat pertanian; dan pakan

ternak. (2) Subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), seperti pembibitan

pembenihan, budidaya perikanan; peternakan; perkebunan; pertanian. (3)

Subsistem agribisnis hilir (down -stream agribusiness), yang meliputi kegiatan

pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan

industri bukan makanan. (4) Subsistem jasa-jasa penunjang, yang meliputi

kegiatan -kegiatan yang menunjang kegiatan sektor agribisnis, seperti

agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan/ keuangan.

Kaitan antar satu subsistem dengan subsistem lainnya sangat erat dan

penting, sehingga gangguan pada salah satu subsistem dapat menyebabkan

keseluruhan sistem itu terganggu. Oleh karena itu, memahami kaitan-kaitan ini

dan peranan lembaga-lembaga penunjangnya (seperti bank, koperasi, peraturan

pemerintah, angkutan, pasar dan lainnya)merupakan salah satu tujuan penting

dalam agribisnis. Demikian pula mengenai pelaku setiap subsistem dan teknologi

yang digunakan.

Dalam kegiatan agribisnis yang masih sederhana bentuknya, kegiatan

ketiga subsistem ini dilakukan oleh seorang pelaku (one person agribusiness).

Sarana produksi yang digunakan berasal dari hasil-hasil pertanian (kompos,

kotoran ternak), sedangkan proses pengolahan hasil usahataninya masih

(2)

sederhana dan penjualannya masih terbatas ke pasar sekitarnya.

Dalam agribisnis yang telah berkembang mencapai tahap yang maju,

terdapat pembagian tugas yang mendasar antara berbagai fungsi karena corak

dan sifat pertanian yang semakin kompleks. Pembagian tugas ini sejalan dengan

penemuan dan penerapan teknologi baru serta meningkatnya pendapatan

konsumen.

Perkembangan Bisnis Sayuran Di Jawa Barat

Paparan tentang perkembangan bisnis sayuran di Jawa Barat akan

diawali dengan gambaran umum komoditas unggulan dan penggunaan lahan di

Jawa Barat. Penjelasan pada bab ini didasarkan pada data sekunder berupa

Jawa Barat Dalam Angka, data Profil Desa-desa kasus, serta referensi lain yang

relevan.

Jawa Barat merupakan daerah beriklim tropis dengan curah hujan tinggi

dan banyak jumlah hari hujan. Keadaan tersebut didukung oleh adanya lahan

subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai sehingga

menyebabkan sebagian besar dari luas penggunaan tanahn ya untuk pertanian.

Kondisi topografi daerah utara Jawa Barat merupakan dataran rendah

sedangkan daerah selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran

tinggi bergunung -gunung di sebelah tengah. Letak geografis dan batas-batas

Propinsi Jawa Barat dan lokasi studi dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1 .

Produk pertanian di Jawa Barat antara lain meliputi jenis tanaman

pangan, sayur-sayuran dan buah -buahan. Tanaman pangan terdiri dari jenis

padi-padian, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, sedangkan beberapa

jenis sayuran yang dominan antara lain: kentang, kubis, bawang daun, bawang

merah, petsai, dan kacang panjang. Secara umum di tahun 2003 areal tanaman

pangan di Propinsi Jawa Barat menurun, terutama untuk tanaman ubi, kedelai,

kacang hijau dan padi, sedangkan lahan untuk sayuran mengalami peningkatan,

terutama untuk kentang, kubis, kembang kol, cabe rawit, dan jamur.

Penggunaan lahan untuk pertanian di Jawa Barat tahun 1993 dan 2003 dapat

dilihat pada Tabel 1. Secara umum tanpa melihat per jenis tanaman,

penggunaan lahan untuk tanaman pangan di tahun 2003 mengalami penurunan

sebesar 92,6 persen dibanding tahun 1993, sedangkan luas lahan untuk sayuran

mengalami kenaikan delapan kali lebih besar. Secara khusus dengan melihat

(3)

jenis tanaman sayuran kenaikan luas lahan hanya terjadi pada beberapa

komoditas yaitu bawang daun (Allium fistulosum), bawang merah (Allium cepa),

kentang (Solanum tuberosum), kubis (Brassica oleracea), wortel (Daucus carota

L.) dan jamur yang paling besar.

Tabel 1 Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 1993 dan Tahun 2003

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) Tahun 1993 Luas (Ha) Tahun 2003 Persen Perubahan 1 Tanaman Pangan 48526643 3576639 - 92,6 2 Sayuran 208 878 1 966 240 841,3

Sumber : Jawa Barat dalam Angka, 1993 dan 2003

Pada lingkup Indonesia, Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu

propinsi penghasil sayuran terbesar di Indonesia selain Sumatera Selatan,

Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Hampir semua wilayah di Propinsi Jawa

Barat ini merupakan wilayah yang sangat baik dan potensial untuk

pengembangan berbagai komoditas pertanian, termasuk sayur-sayuran. Dari 16

kabupaten dan 9 kotamadya yang terdapat di wilayah administratif daerah Jawa

Barat, semuanya dapat menghasilkan komoditas pertanian, khususnya

komoditas sayuran. Jenis sayuran yang banyak dikembangkan secara komersial

di wilayah tersebut antara lain: bawang merah (Allium cepa), bawang putih

(Allium sativum), bawang daun (Allium fistulosum), kubis (Brassica oleracea),

kentang (Solanum tuberosum), petsai (Brassica rapa L.), wortel (Daucus carota

L.), kacang merah (Phaseolus vulgaris) , kacang panjang (Vigna unguiculata),

cabai (Capsicum annum L.), tomat (Lycopersion esculentum Miller), terung,

buncis (Phaseolus vulgaris), ketimun (Cucumis sativus L.), labu siam ( Sechium

edule (Jack) sw.), dan bayam ( Amaranthus tricolor L.).

Produksi sayuran di Jawa Barat di tahun 2003 meningkat, sedangkan

produksi pertanian untu k tanaman pangan mengalami penurunan. Tabel 2

menyajikan total produksi sayuran Jawa Barat pada tahun 2003 adalah sebesar

2,84 juta ton atau mengalami kenaikan sebesar 38,3 persen dari tahun 1993.

Sentra penghasil sayuran terbesar di Jawa Barat yaitu, Kabupaten Bandung

(34.70%), dan Kabupaten Garut (22.68%), Kabupaten Cianjur (10.54%) dan

Kabupaten Bogor (3.47%) dari produksi total Jawa Barat.

(4)

Tabel 2 Jumlah Produksi Sayuran dan Tanaman Pangan (dalam Ton)

Tahun 1993 dan Tahun 2003

Sayuran Tanaman Pangan

N o Lokasi Tahun 1993 Tahun 2003 Persen

Perubahan Tahun 1993 Tahun 2003

Persen Perubahan 1. Jawa Barat 2060488 2849300 38,3 14100104 10818162 - 23,3 2. Bandung 518691 988758 90,6 861913 830383 -3,7 3. Bogor 100887 98771 -2,1 755808 590402 -21,9 4. Cianjur 254538 300296 18,0 671073 688762 2,6 5. Garut 337416 646238 91,5 1060264 1255485 18,4 Sumber: Jawa Barat dalam Angka, Tahun 1993 dan 2003

Kecuali Kabupaten Bogor ketiga kabupaten tersebut di tahun 2003 mengalami

kenaikan dalam produksi sayuran di Jawa Barat. Komoditas utama Jawa Barat

dan sangat berpengaruh pada produksi total sayuran adalah kubis, kentang,

tomat, dan wortel.

Kenaikan produksi sayuran Jawa Barat disisi lain diiringi dengan

penurunan jumlah pekerja sektor pertanian, dan penurunan areal tanam pada

sebagia n besar jenis sayuran, kecuali bawang daun (Allium fistulosum), bawang

merah (Allium cepa), kentang (Solanum tuberosum), kubis (Brassica oleracea),,

wortel (Daucus carota L.) dan jamur (). Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa telah terjadi proses intensifikasi pada usahatani sayuran di Jawa Barat

selama sepuluh tahun terakhir.

Tabel 3 Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Pertanian

Tahun 1993 dan Tahun 2003

No. Lokasi Tahun 1993 (Persen) Tahun 2003 (persen)

1. Jawa Barat 37.71 34.87

2. Bandung 32.51 24.37

3. Bogor 20.59 19.09

4. Cianjur 59.48 60.63

5. Garut 59.03 46.30

(5)

Pada tahun 1993 penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar

37.71% dan pada tahun 2003 terjadi penurunan menjadi 34.87%. Persentase

penduduk yang bekerja di sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel

tersebut terlihat bahwa Kabupaten Garut adalah wilayah yang paling banyak

terjadi penurunan jumlah pekerja pertanian sekitar 13 persen, sedangkan Cianjur

justru mengalami kenaikan sekitar 1 persen.

Perkembangan bisnis sayuran Jawa Barat ditelusuri dari perubahan jenis

komoditas pertanian yang diusahakan petani, yaitu dari tana man pangan ke

tanaman sayuran. Tanaman pangan dinilai sebagai tanaman yang menghasilkan

bahan makanan pokok, sehingga bertani dapat dikatakan sebagai cara hidup

atau cara memenuhi kebutuhan hidup. Berbeda dengan tanaman sayuran,

apalagi sayuran dengan nilai ekonomi tinggi, bertani dipandang sebagai cara

memperolah keuntungan sebesar-besarnya yang kemudian disebut sebagai

bisnis sayuran.

Secara umum petani sayuran Jawa Barat, memulai bisnis sayuran

dengan mencoba menanam sayuran lokal sebagai diversifikasi tanaman pangan.

Tanaman pangan belum bisa ditinggalkan selagi petani masih merasa tidak

aman bila tidak mempunyai persediaan beras, atau palawija. Seiring dengan

kemudahan transportasi, maka bahan pangan utama seperti beras dapat dengan

mudah dibeli di pasar atau warung. Pada saat itulah petani kemudian mengganti

semua tanaman pangan dengan sayuran lokal, seperti wortel, bawang daun,

seledri, lobak, kol/kubis, kentang, labu siam, buncis, tomat, kapri, sawi, timun, dll.

Sayuran dinilai mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding padi dan

palawija, karena selain itu siklus tanamnya bervariasi dari yang sangat cepat

misalnya 2 minggu sampai 6 atau 8 bulan seperti cabe, juga karena harga

jualnya lebih menguntungkan.

Kemajuan di bidang teknologi budidaya dan kemudahan dalam

transportasi dan telekomunikasi, mempermudah masuk benih-benih sayuran

impor sekaligus merupakan awal bagi bisnis sayuran yang sangat

menguntungkan sekaligus juga beresiko tinggi karena membutuhkan modal

yang besar. Meskipun ada perbedaan waktu dari satu lokasi ke lokasi yang lain,

namun secara umum dapat diperkirakan bahwa perubahan dari tanaman pangan

ke sayuran lokal terjadi sekitar tahun 80 -an, sedangkan masuknya benih impor

sekitar tahun 90 -an. Bisnis sayuran menjadi semakin banyak diminati oleh

(6)

masyarakat sejak akhir tahun 90 hingga sekarang, sebagai alternatif sumber

pendapatan bagi para pengangguran korban PHK, pensiunan, dan pemilik

modal.

Komoditas unggulan di tiap lokasi berbeda -beda, na mun secara umum

untuk wilayah Barat dapat diwakili oleh komoditas unggulan enam kabupaten

sentra produksi sayuran dan dapat dilihat pada Tabel 4.

Wilayah Bogor yang topografinya berbukit-bukit, dataran tingginya

terdapat di sekitar lokasi “wisata puncak” sehingga jenis sayuran yang diproduksi

juga bervariasi. Kacang -panjang (Vigna unguiculata) dan ketimun (Cucumis

sativus L) .merupakan jenis sayuran dataran rendah sedangkan wortel (Daucus

carota L.) dan bawang daun (Allium fistulosum) merupakan sayuran . Kacang

panjang dan ketimun merupakan sayuran yang ditanam sebagai upaya

diversivikasi jenis tanaman selain menggantikan padi.

Tabel 4 Jenis Komoditas Unggulan untuk Sayuran Di Jawa Barat

No. Wilayah Komoditas Unggulan Tahun 1993

Komoditas Unggulan Ta hun 2003

1. Bogor Ketimun,Wortel, Kacang panjang, Bawang Daun

Kacang Panjang, Ketimun, Bawang daun

2. Cianjur Sawi, Bawang daun, Cabe, Wortel

Sawi, Wortel, Bawang Daun, Tomat

3. Bandung Kubis, Tomat Kubis, Kentang, Tomat 4. Garut Kentang, cabe, kubis,

tomat, dan wortel

Kentang, Tomat, Kubis

5. Sukabumi Petsai/sawi, Ketimun, Tomat, Kubis

Petsai/sawi, Ketimun, Kacang panjang, Tomat 6. Kuningan Bawang Merah, Bawang

Daun, Kentang, Tomat

Bawang Daun, Bawang Merah, Kacang Merah, Cabe Rawit

Sumber: Jawa Barat dalam Angka, 1993 dan 2003

Kacang panjang dan ketimun merupakan jenis sayuran yang diminati masyarakat

sebagai bagian dari menu sehari-hari, sehingga potensi pasarnya cukup b aik.

Kabupaten Cianjur terkenal dengan sawi dan wortelnya, bahkan banyak

petani di wilayah Cianjur dapat hidup berkecukupan dari hasil menanam wortel.

Kabupaten Garut dan Bandung terkenal dengan produksi kentang dan

(7)

kubisnya, Kabupaten Sukabumi terkenal dengan sawi/petsai, serta Kabupaten

Kuningan dengan produksi bawang merah dan bawang daunnya. Keenam

kabupaten tersebut merupakan penghasil terbesar sayuran di propinsi Jawa

Barat.

Lahan yang diusahakan untuk usahatani sayuran sebagian besar

merupakan lahan sawah tadah hujan, pekarangan, dan kebun atau ladang.

Secara umum, lahan pertanian di Jawa Barat dapat dibagi menjadi dua macam

penggunaan lahan yaitu, lahan sawah dan lahan darat. Lahan sawah secara

rinci dapat dibedakan menurut jenis pengaira n, terdiri dari lahan irigasi teknis,

irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, tadah hujan, bukan PU, dan lainnya.

Lahan darat dibagi lagi menjadi pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, padang

rumput, hutan rakyat, hutan negara, rawa-rawa, tambak, kolam dan lain -lain.

Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Bogor. Bogor merupakan

wilayah yang potensial untuk pengembangan sektor pertanian. Komoditas

unggulan untuk Kabupaten Bogor antara lain timun, wortel, kacang panjang,

bawang daun. Beberapa Perusahaan Agrisnis di Kabupaten Bogor dapat dilihat

pada Tabel 5.

Tabel 5 Perusahaan Agribisnis di Bogor

No. Perusahaan Tahun Berdiri

Komoditas Pasar yang Dituju

1. Bina Sarana Bakti

1994 Sayuran lokal seperti: wortel, timun, oyong, buncis, kacang merah, bawang daun dll

Rumah Sakit, Gereja dan orang -orang yang mengkonsumsi sayuran organic. 2. SM 1984 Bunga potong,

Edamame, okra, zukini, nazubi dll

Supermarket dan restaurant.

3. Joro 1992 Perusahaan penyedia sarana produksi pertanian

Perusahaan dan komuditas.

Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber

.

Perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap eksis sampai saat ini.

Kehadiran perusahaan agribisnis sangat berpengaruh terhadap perkembangan

komoditas sayuran di Kabupaten Bogor. Komoditas yang diusahakan tidak jauh

(8)

berbeda, tetapi mutu produk sangat diperhatikan setelah masuknya perusahaan

agribisnis tersebut.

Perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap eksis sampai saat ini.

Kehadiran perusahaan agribisnis sangat berpengaruh terhadap perkembangan

komoditas sayuran di Kabupaten Bogor. Komoditas yang diusahakan tidak jauh

berbeda, tetapi mutu produk sangat diperhatikan setelah masuknya perusahaan

agribisnis tersebut.

Masing -masing perusahaan tersebut punya kekhasan dalam kegiatan

usahanya. Perusahaan Bina Sarana Bakti (BSB) merupakan perusahaan yang

membudidayakan sayuran lokal dengan teknik pertanian organik. PT. Saung

Mirwan (SM) memperkenalkan komoditas baru seperti, okra (Abelmoschus

esculantus), edamame (Glycine max L.), zu chini (Cucumis sativus), nazubi,

buncis mini, cisito, dll. PT Joro merupakan perusahaan yang menyediakan

sarana produksi pertanian, khususnya untuk Green House.

Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Cianjur. Cianjur

merupakan sentra produksi sayuran di Jawa Barat. Dari total penduduk

Kabupaten Cianjur yang bekerja di sektor pertanian sebesar 60,6%. Produk

unggulan Kabupaten Cianjur adalah sawi, wortel, bawang daun, tomat. Saat ini

petani sudah membudidayakan komoditas eksklusif diantaranya tangho,

horinso, dan brokoli. Beberapa perusahaan agribisnis di Kabupaten Cianjur

dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Cianjur

No. Perusahaan Tahun Berdiri

Komoditas Pasar yang dituju 1. Pacet Segar 1975 Bayam, kangkung, buncis mini,

wortel, selada keriting, kyuri, zukini, okra

Supermarket, restoran, hotel, pasar lokal 2. Kem Farm 1987 Paprika, zukini, selada, brokoli,

tomat, wortel, kol, kentang

Supermarket dan restoran 3. PT Agro Wisesa

Abadi

2000 Gherkin (timun Jepang) , buncis, jagung.

Ekspor ke Jepang 4. Bumi Insan

Cibodas

2003 Sayuran Jepang dan sayuran lokal Swalayan dan restoran. Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.

(9)

Komoditas unggulan untuk sayuran di Kabupaten Cianjur sawi, wortel, bawang

daun, tomat. Kehadiran perusahaan-perusahaan Agribisnis di Kabupaten

Cianjur sangat bermanfaat bagi kemajuan usaha tani sayuran di daerah tersebut.

Perusahaan yang ada di daerah tersebut sebagian menjalin kemitraan

dengan petani dan pedagang pengumpul. Dengan kerjasama tersebut petani

menanam komoditas yang dibutuhkan perusahaan mitranya, dengan komoditas

yang tergolong masih baru, seperti tangho, brokoli, harinso, kyuri, nazubi dan

lain-lain.

Karena komoditas ini masih baru dan kurangnya informasi yang diterima

petani banyak petani yang mengalami kegagalan tetapi ada juga yang bertahan

dan berhasil mengembangkannya sampai sekarang. Petani yang tetap bertahan

menanam produk-produk eksklusif adalah petani yang memiliki kepastian pasar

biasanya bermitra dengan pedagan g pengumpul yang bermitra dengan

perusahaan.

Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Bandung. Kabupaten

Bandung merupakan wilayah yang paling besar menghasilkan hampir semua

jenis sayuran dan penyumbang terbesar terhadap total produksi sayuran di

Jawa Barat. Sebagian besar penduduknya (24.37 %) bermata pencaharian

sebagai petani, dengan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan

hortikultura khususnya tanaman sayuran.

Bisnis sayuran di Kabupaten Bandung mulai ditekuni oleh petani setelah

masuknya perusahaan-perusahaan suplier sayuran yang membantu petani

dalam pemasaran produknya. Perusahaan-perusahaan agribisnis di Kabupaten

Bandung dapat dilihat pada Tabel 7.

Banyaknya perusahaan suplier di Kabupaten Bandung sangat

meng-untungkan bagi petani dalam hal pemasaran, karena ada kemudahan dala m

pemasaran maka banyak petani yang beralih dari tanaman pangan ke tanaman

sayuran.

Jenis sayuran yang dibudidayakan petani juga mengalami

perkembangan. Komoditas yang dibudidayakan petani tidak lagi hanya tanaman

sayuran lokal tetapi tanaman yang mempunyai nilai bisnis yang tinggi. Petani

mulai menanam tanaman-tanaman eksklusif sesuai dengan permintaan pasar.

(10)

Tabel 7 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Bandung

No. Nama Perusahaan

Tahun Berdiri

Komoditas Pasar yang Dituju

1. PD Hikmah 1970 Kentang, Kubis, Jagung, Teh Pasar tradisional dan supermarket 2. PT Bimandiri

(perusahaan penyalur)

Sesuai dengan pesanan pasar Supermarket

3. PT Joro 1992 Penyedia sarana produksi tanaman hortikultura, Penyedia jasa pelatihan budidaya tanaman hortikultura

Supermarket dan petani

4. PT Putri Segar 1993 Baby corn, baby kaelan, baby lettuce, baby kyuri, beetroot, brokoli,buncis, chuciwis, daun gingseng, paprika, kabocha,

Supermarket, Jakarta, Bandung, Surabaya 5. Koperasi Mitra Suka Maju

1999 Paprika Supermarket dan

restoran, ekspor Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.

Komoditas baru yang dikembangkan petani diantarannya adalah, paprika

(Capsicum annum L.), baby corn (Zea mays), baby kaelan (), baby lettuce, baby

kyuri, beetroot, brokoli (Brasica oleracea), buncis (Phaseolus vulgaris L),

chuciwis, daun gingseng, dan kabocha. Dengan bertambahnya jenis komoditas

baru ini sangat berpengaruh terhadap jumlah produksi tanaman sayuran.

Meskipun kubis, tomat dan kentang dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini

masih menjadi tanaman yang menjadi primadona petani tetapi produksinya

mengalami penurunan sebesar 10 %.

Teknik budidaya untuk komoditas baru tersebut lebih rumit, dan

membutuhkan modal yang besar. Bimbingan teknis dan kredit saprodi dari

perusahaan agribisnis tersebut menjadi hal yang menentukan keberhasilan

petani dalam berproduksi. Keberadaan PT Joro dalam sejarah pengembangan

agribisnis sangat penting terutama untuk sayuran yang membutuhkan biaya

tinggi seperti paprika. Keberhasilan para petani yang tergabung dalam Koperasi

Mitra Sukamaju adalah salah satu bukti tentang pentingnya peran perusahaan

dalam membantu petani mengembangkan bisnis sayuran.

(11)

Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Garut. Kabupaten Garut

merupakan salah satu kabupaten penyumbang terbesar untuk sektor pertanian

Propinsi Jawa Barat. Selama kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 1993

sampai 2003 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan

dari 59.03% (tahun 1993) menjadi 46.30 % pada tahun 2003.

Sejak tahun 1970 telah ada satu perusahaan agribisnis yang

mengembangkan kubis dan kentang, namun bisnis sayuran di Kabupaten Garut

mulai berkembang sejak tahun 1994. Pada tahun tersebut PT Sartindo Utama

melakukan budidaya, pengolahan dan memasarkannya timun Jepang ke pasar

lokal dan ke Jepang

Perusahaan tersebut melakukan inovasi dalam bisnis sayuran baik dari

jenis produk maupun dari pemasarannya, pada saat petani lain menjalankan

usaha secara tradional dengan ko moditas dan pasar lokal. Komoditas unggulan

Kabupaten Garut antara lain Kentang (Solanum tuberosum), cabe (Capsicum

annum L.), kubis (Brassica oleracea), tomat (Lycopersion esculentum Miller) dan

wortel (Daucus carota L.),. Beberapa perusahan agribisnis sayuran yang

mempengaruhi perkembangan bisnis sayuran di Kabupaten Garut dapat dilihat

pada Tabel 8.

Tabel 8 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Garut

No. Nama

Perusahaan

Tahun Berdiri

Komoditas Pasar yang di Tuju

1. PD Sukatani 1970 Kentang dan Kubis Pasar tradisional (Pasar Cibitung, Pasar Caringin, Pasar Tanggerang) 2. PD Sinar

Pusaka

1982 Kentang dan Kubis Pasar tradisonal dan pasar induk Jakarta, Bogor, Bandung, Tanggerang 3. PT Sartindo

Utama

1994 Mentimun Jepang Pasar Ekspor (Jepang)

4. PT Saung Mirwan 1998 Lettuce, Okra, Zukini, Nazubi, Kyuri Edamame Supermarket

Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.

Bisnis sayuran yang dijalankan PD Sukatani dan PD Sinar Pusaka masih

sederhana dan milik perorangan. Komoditas yang dihasilkan kedua perusahan

(12)

tersebut adalah komoditas lokal yaitu kentang dan kubis. Modal dan lahan yang

digunakan untuk budidaya kentang dan kubis adalah milik pribadi, dan

pekerjanya diambil dari wilayah di sekitarnya dengan system upah harian. PT

Sartindo Utama merupakan perusahaan yang sudah cukup maju dan dikelola

dengan sistem yang modern. Ada pembagian kerja yang cukup jelas untuk

karyawannya. Berbeda dengan PD Sukatani dan PD Sinar Pusaka, PT Sartindo

Utama melakukan kerjasama dengan petani sekitar dalam memperoleh

komoditas selain dari hasil perusahaan sendiri. Petani mitra perusahaan ini

adalah para karyawan perusahaan dan pengawas kebun yang memiliki lahan

dan bersedia untuk membudidayakan timun Jepang. Tetapi PT Sartindo Utama

saat ini tidak mampu bertahan sehingga petani yang dulu bermitra kini bermitra

dengan perusahaan lain, karena saat penelitian dilakukan perusahaan ini tidak

lagi beroperasi.

Keanekaragaman komoditas sayuran di Kabupaten Garut bertambah

setelah PT Saung Mirwan masuk ke Kabupaten Garut. PT Saung Mirwan mulai

mengadakan kemitraan dengan petani pada tahun 1998, tetapi kemitraan ini

sempat terhenti selama satu tahun yaitu tahun 1999. Pada tahun 2000 PT Saung

Miwan kembali melanjutkan kemitraannya sampai sekarang. Melalui PT Saung

Mirwan petani yang menjadi mitranya belajar menanam tanaman yang baru dan

mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Tanaman -tanaman jenis baru ini sangat

diminati petani di Kabupaten Garut, karena ada kepastian pasar dan harganya

relatif lebih tinggi. Meskipun tanaman kentang tetap menempati urutan pertama

dari daftar sayuran yang diproduksi Kabupaten Garut tetapi jumlah produksi

mengalami penurunan sebesar 76.6 persen.

Proses Pengambilan Keputusan Petani Sayuran

Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang harus dilakukan

secara tepat oleh petani sayuran dalam memasarkan hasil pertaniannya, apakah

akan membawa keuntungan atau kerugian. Oleh karena itu, dalam proses

pengambilan keputusan petani harus dapat berfikir secara cepat dan tepat antara

lain dalam menentukan komoditas yang akan ditanam, penggunaan pestisida,

dan tujuan memasarkan hasil pertaniannya. Rakhmat (2001), mengemukakan

bahwa salah satu fungsi berfikir ialah menetapkan keputusan. Setiap keputusan

yang diambil akan disusul oleh keputusan -keputusan lainnya yang berkaitan.

(13)

Keputusan yang diambil seseorang beraneka ragam. dan umumnya memiliki

ciri-ciri : (1) Keputusan merupakan hasil berfikir, hasil usaha intelektual, (2)

Keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif, (3) Keputusan selalu

melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau

dilupakan.

Pada proses pengambilan keputusan bagi kebanyakan petani kecil yang

sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia menurut Soekartawi (1988),

adalah bagaimana petani dapat meningkatkan pendapatannya. Petani sering

dihadapkan pada berbagai aspek yang mempengaruhi, antara lain: (1) harga,

kondisi infrastruktur, teknologi, tersedianya masukan produksi, dan

kebijaksanaan pajak; (2) tersedianya fasilitas petugas pendampingan pertanian,

pemasaran, dan sebagainya. Kedua aspek tersebut mempengaruhi perubahan

atau penetapan dalam proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh petani.

Petani akan berupaya meningkatkan usahanya karena merasa didukung oleh

situasi yang menguntungkan dan sebaliknya akan menghindar dari suatu resiko

bila situasinya tidak menguntungkan.

Interaksi antara petani dengan perusahaan mitra dalam konteks pola

kemitraan melibatkan proses mental dan tindakan petani, yaitu (1) proses

pengambilan keputusan dalam setiap kegiatan, (2) aktivitas fisik atau tindakan

petani dalam proses produksi yang diarahkan oleh aturan yang telah ditetapkan

oleh perusahaan mitra, dan (3) pengalaman baru petani sebagai hasil interaksi

tersebut. Semua proses yang berlangsung dalam d iri petani baik mental maupun

tindakan tercakup da lam konsep perilaku petani. Bagian berikut ini akan

dikemukakan tinjauan literature yang dikelompokkan dalam subbab-subbab

mengenai perilaku petani dan tinjauan literatur mengenai proses belajar serta

keterlibatan petani dalam program kemitraan.

Petani dan Permasalahannya

Petani adalah golongan masyarakat yang mencari nafkah dan

menentukan cara hidup dengan cara mengolah tanah. Bertani adalah suatu

mata pencaharian dan suatu cara kehidupan, bukan suatu kegiatan usaha untuk

mencari keuntungan. Sebaliknya petani-petani yang mengerjakan pertanian

untuk penanaman modal kembali dan usaha, melihat tanahnya sebagai modal

dan komoditas, bukanlah petani akan tetapi pengusaha pertanian (Redfield,

1982). Petani selain sebagai individu yang tujuan produksinya terutama untuk

(14)

memenuhi kebutuhan -kebutuhan konsumsi keluarga, petani juga merupakan

bagian dari suatu masyarakat yang lebih luas dalam hal ini termasuk golongan

elit bukan-petani dan negara (Scott, 1983)

Aturan-aturan sosial dan lembaga-lembaga kapitalisme modern menurut

Scott menyebabkan munculnya perhitungan untung rugi, dan ekonomi uang

menyebabkan orang-orang menjadi individualistis sehingga golongan elit petani

dan bukan petani serta lembaga-lembaga desa kurang memperhatikan

kesejahteraan petani. Hal ini berbeda pada masa pra-kapitalis dimana elit petani

dan bukan petani serta lembaga -lembaga desa yang lebih bermoral dalam

membantu petani lain.

Berdasarkan dua definisi petani yang dikemukakan oleh Scott dan

Redfield maka petani adalah seseorang yang melakukan kegiatan bercocok

tanam (pertanian) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta menjadikan

kegiatan tersebut sebagai cara hidup. Sejalan dengan itu Wolf (1983)

mendefinisikan petani sebagai orang yang mengelola usaha tani untuk

kepentingan keluarganya dan bukan mencari keuntungan dalam arti ekonomi.

Dari definisi tersebut terlihat bahwa petani menghadapi dua jenis

lingkungan dalam kehidupannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan

fisik dan lingkungan sosial. Seperti yang dikemukakan Wolf (1983) bahwa petani

harus menghadapi tekanan ekotipe petani, tekanan dari sistem sosial kaum tani

dan tekanan dari masyarakat di luar komunitasnya. Selain itu, masalah abadi

petani adalah mencari keseimbangan antara tuntutan-tuntutan dari dunia luar

dengan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya.

“Peasants” adalah petani yang memiliki lahan yang sempit dengan

memanfaatkan sebagian terbesar dari hasil produksi pertaniannya untuk

kepentingan mereka sendiri sedangkan “farmers” menjual bagian terbanyak dari

hasil pertanian mereka. Dari data luas lahan yang dimiliki petani di Indonesia,

petani Indonesia dapat digolongkan sebagai “peasants” atau “subsistence

farmers” dan bukan “farmers” seperti petani di Amerika dan Eropa Barat

(Soetrisno, 1999). Akan tetapi, kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi komunitas

petani yang terisolasi maka perilaku petani Indonesia akan sangat beragam.

Perilaku individu petani dalam mengelola lahan yang beragam dapat

menjadi pendukung maupun penghambat penerapan teknologi dalam pola

kemitraan. Konsep pola kemitraan, beberapa landasan teknisnya mengadopsi

(15)

teknik pertanian modern, memiliki tantangan dalam penerapannya baik pada

petani subsisten maupun petani komersial.

Hubungan Sosial Petani, Keluarganya, dan Komunitasnya

Bahasan ini merujuk pada tulisan Wolf (1983), tentang aspek sosial

petani. Keluarga petani ada yang merupakan keluarga inti dan keluarga luas.

Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak mereka,

sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang merupakan gabungan dari

beberapa keluarga inti.

Pada keluarga petani bentuk keluarga yang dianut adalah keluarga luas

dan kelompok-kelompok yang lebih luas dari keluarga inti. Hal ini be rkaitan

dengan penyediaan tenaga kerja untuk bercocok tanam. Pekerjaan bercocok

tanam memungkinkan jumlah pekerja yang cukup banyak. Kalau kebutuhan

tenaga kerja tersebut tidak terpenuhi maka akan didatangkan dari luar keluarga

yang akan ikut menetap (p ekerja permanen) atau pekerjaan tersebut akan

dikerjakan oleh pekerja musiman (pekerja tidak tetap) atau dengan pola gotong

royong antar rumah tangga.

Semua kebutuhan pekerja permanen akan dipenuhi oleh petani pemilik.

Petani pemilik merupakan petani yang menguasai sumberdaya alam, tanah.

Dalam sistem ini sudah ada pembagian kerja yang jelas. Keluarga luas

berfungsi sebagai suatu organisasi untuk memusatkan sumberdaya alam dan

tenaga kerja. Keluarga luas juga berfungsi untuk mempertahankan keutuhan

tanah dan untuk menambah modal anggota keluarga. Agar modal terus

bertambah diperoleh dengan cara sebagian anggota keluarga bekerja di luar

sektor pertanian dan bertindak sebagai migran musiman. Keluarga luas juga

berfungsi sebagai jaminan keamanan sosial yang fleksibel dibandingkan dengan

keluarga inti. Karena pada keluarga inti daya hidupnya hanya tergantung pada

kemampuan satu orang saja sedangkan pada keluarga luas daya hidupnya di

tanggung oleh banyak individu.

Keluarga petani merupakan keluarga yang mempunyai kemampuan tinggi

untuk mengumpulkan sumberdaya. Pola sosialisasi yang dianut adalah

membuat anggota-anggotanya untuk tetap tergantung pada kelompoknya. Hal

ini dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaannya. Keluarga luas merupakan

keluarga yang mempunyai tanah yang luas jika dibandingkan dengan keluarga

(16)

inti. Pada keluarga luas tanah tidak dibagi-bagikan kepada anggota keluarga

sedangkan pada keluarga inti tanah akan habis dibagi-bagikan kepada

anggotanya. Keluarga luas mempunyai lebih banyak proses produksi bersama

antar anggota keluarga di tanah yang mereka miliki bersama, dan akan

menghasilkan produksi yang beraneka ragam. Keluarga inti tidak memiliki tanah

yang cukup luas untuk kegiatan bercocok tanam, untuk memenuhi kebutuhan

pangannya mereka menjual tenaga kerja yang mereka miliki (sebagai tenaga

upahan).

Adanya industrialisasi di pedesaan menyebabkan pembagian kerja

menjadi meningkat. Dengan adanya industrialisasi tenaga kerja yang tidak

mendapatkan pekerjaan di bidang pertanian akan berpindah ke sektor industri.

Fenomena ini menyebabkan kenaikan areal lahan pertanian dan jumlah modal

perkapita di pedesaan. Modal yang ada digunakan untuk memperbaiki teknik

pertanian modern yang menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin.

Apabila keluarga petani mendapatkan tekanan permasalahan akan

diselesaikan dengan cara membagi-bagikan sumberdaya keluarga yang mereka

miliki. Sistem saling berbagi di antara keluarga petani menghasilkan pola

tanam dengan menanam tanaman berumur pendek. Pada petani yang telah

menggunakan teknik-teknik baru (modern) dalam menghadapi permasalahan

dengan cara membiarkan masalah -masalah itu memilih sendiri sasarannya.

Orang yang berhasil dengan pertaniannya akan semakin berhasil sedangkan

yang tersisih akan semakin tersisih.

Untuk menjamin kelangsungan hid upnya dan untuk mengatasi berbagai

masalah petani biasanya hidup saling membantu dengan orang-orang di

sekitarnya. Upaya saling membantu ini muncul atas dasar pertimbangan praktis

yaitu suatu bentuk asuransi terhadap kesulitan yang akan dihadapi pada satu

waktu.

Selain petani bekerjasama dengan petani lain, petani juga bekerja sama

dengan pemerintah atau pedagang. Bentuk kerja sama ini berupa kelompok,

organisasi atau koalisi-koalisi petani. Koalisi petani adalah suatu kombinasi atau

persekutuan terutama yang bersifat sementara antara orang, golongan , negara,

terutama apabila menghadapi masalah atau tekanan dari atas-orang yang

mempunyai kekuasaan ekonomi, politik atau militer. Misalnya minta bantuan

untuk memasarkan produknya, menghadapi pejabat-pejabat pemerintah, dll.

(17)

Perkumpulan dibentuk antara orang-orang yang mempunyai kepentingan

yang sama. Hubungan yang dibentuk atas kepentingan yang beranekaragam

akan memberikan rasa aman dalam banyak konteks yang berlainan. Tetapi

ketika ada kepentingan ya ng satu berusaha untuk mengalahkan kepentingan

yang lain maka akan terjadi konflik. Bentuk kelompok ini akan bertahan lama

apabila kepentingan -kepentingan tersebut dapat diikat menjadi satu. Kelompok

yang terdiri dari satu kepentingan akan lebih supel ka rena kelompok tersebut

dapat digerakkan dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan yang

sama.

Bentuk hubungan yang lebih umum adalah hubungan patron-klien di

mana kelompok yang berkuasa akan mendominasi hubungan ini. Segala

kekuasaan akan terpusat pada pihak penguasa. Orang yang mempunyai

kekuasaan akan bertindak sebagai patron sedangkan klien adalah orang yang

dikuasai. Patron merupakan orang yang menguasai sumberdaya dalam proses

produksi.

Di dalam kegiatannya petani akan lebih mengutamakan

kepentingan-kepentingan jangka pendek yang lebih sempit daripada kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan

jangka panjang yang lebih besar. Kaum tani mempunyai kekuatan yang

potensial untuk digerakkan dan untuk melakukan aksi bersama akan tetapi tidak

mempunyai kemampuan untuk tetap mengorganisasi. Tipe koalisi petani sangat

mudah disesuaikan dengan perubahan -perubahan ekonomi dan sosial kearah

suatu tatanan neo teknik. Jadi apabila kita menginginkan petani untuk

mengubah cara berproduksi maka harus mengubah koalisi yang diikuti oleh para

petani. Karena petani akan mengikuti apa yang diajurkan apabila petani lain juga

mengikutinya.

Keterlibatan petani dalam pola kemitraan merupakan upaya petani

mengatasi masalah produksi dan pemasaran hasil dengan bekerja sama dengan

pihak lain yang dinilainya mempunyai sumberdaya yang lebih baik.

Perilaku Petani

Perilaku yang dimaksud di sini adalah tindakan petani dalam usaha

pemenuhan kebutuhan hidupnya. Petani melakukan adaptasi ekologis

(pemanfaatan lahannya), serta adaptasi sosial melalui pembentukan ikatan.

Pilihan perilaku atau tindakan petani sangat dipengaruhi oleh

(18)

pertimbangan-pertimbangan yang berasal dari status petani sebagai makhuk sosial dan petani

sebagai individu

Beberapa ahli, yaitu Scott (1983) dan Redfield (1983) memandang

perilaku petani yang sesuai dengan aturan sosial yang ada sebagai perilaku

moral. Ahli lain, yaitu Popkin (1986) dan Harjono (1987) memandang perilaku

petani yang komersiil mempertimbangkan secara rasional faktor-faktor yang

dapat menin gkatkan usahataninya sebagai perilaku rasional. Kedua kategori

perilaku tersebut bukan dimaksudkan untuk secara ekstrim membedakan antara

moral dan rasional, misalnya muncul pertanyaan apakah petani rasional itu tidak

bermoral atau petani moral itu tidak rasional, bukan demikian. Konsep perilaku

moral dan perilaku rasional muncul dari cara pandang yang berbeda tentang

perilaku petani, dimana yang satu melihat dari sisi moral petani, dan yang lain

melihat dari sisi rasionalitas petani.

Konsep rasionalitas dikemukakan Weber (Johnson, 1988) untuk

menganalisis secara obyektif mengenai makna subyektif tindakan individu, dan

juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang

berbeda. Weber menggolongkan rasionalitas tindakan individu sebagai: (1)

rasionalitas instrumental, (2) rasionalitas yang berorientasi nilai, (3) tindakan

tradisional dan (4) tindakan afektif. Berikut akan dikemukakan pilihan perilaku

petani /individu menurut beberapa ahli di atas.

Subsisten.

Karena usaha tani bukanlah usaha komersil melainkan untuk

pemenuhan kebutuhan hidup saja, maka petani tidak mengejar keuntungan

maksimal dari kerjanya. Subsistensi petani terlihat pada kecenderungannya

untuk lebih memilih tanaman pokok daripada tanaman pe rdagangan. Adaptasi

petani dengan lingkungan fisiknya tidak bersifat eksploitatif. Pernyataan Robert L

Neiro yang dikutip Wolf (1983) menyatakan bahwa seorang petani mungkin akan

menghentikan usaha-usaha produktifnya di ladang ketika kebutuhan minimum

kalorinya serta dana penggantiannya sudah terjamin. Petani tidak memiliki

alasan-alasan teknis ataupun sosial untuk menambah jam kerja melebihi

anggaran kerja harian mereka. Usaha produksi untuk memenuhi tingkat

minimum kalori dan untuk tingkat dana penggantian akan tergantung pada

rangsangan-rangsangan dan tuntutan-tuntutan sosial. Artinya standar

terpenuhinya kebutuhan petani mendapat pengaruh dari lingkungan sosialnya.

Bila individu -individu lain di lingkungan sosialnya berkembang kebutuhannya,

(19)

maka standar kebutuhan petani juga akan meningkat.

Kegiatan usahatani subsisten berimplikasi bahwa petani juga

menerapkan sistem “pemberaaan” pada tanah (tanah dibiarkan tidak ditanami

selama beberapa waktu) karena tidak dikejar oleh produksi besar-besaran dari

tanah. Kegiatan usahatani subsisten juga menerapkan diversifikasi pertanian

yaitu petani berupaya mengurangi dan meratakan resiko kegagalan panen

melalui penanaman beberapa jenis tanaman. Kedua metode ini yaitu

pemberaan dan diversifikasi tanaman berguna untuk menjaga kesuburan dan

kelestarian tanah. Perilaku subsisten ini tidak berarti menolak semua inovasi.

Inovasi yang ditolak oleh petani subsisten adalah yang mempunyai resiko tinggi.

Menolak Inovasi. Penolakan inovasi dilakukan karena kondisi krisis

subsistensi yang dihadapinya. Petani tidak berani mengambil resiko untuk

mencoba suatu inovasi karena akan mengancam kelanjutan hidup diri dan

keluarganya. Petani lebih memilih teknik pertanian yang selama ini mereka

lakukan dan dapat menjamin subsistensi mereka dari pada mencoba hal baru

yang belum dapat dipastikan hasilnya.

Terikat Tradisi. Penolakan inovasi juga terkait dengan keterikatan petani

pada tradisi yang selama ini mereka pegang. Keterikatan pada tradisi juga

mencirikan adanya ketergantungan petani pada komunitasnya. Terdapat

kecenderungan bahwa perilaku petani banyak ditentukan oleh kesepakatan

komunitas atau masyarakat di sekitar petani tersebut. Hal ini berarti juga

penetapan jenis tanaman dapat dilakukan dengan kesepakatan dalam komunitas

walaupun tidak secara eksplisit ditetapkan dalam komunitas namun ada

dorongan bagi petani untuk seragam dengan petani lainnya dalam komunitas

tersebut.

Petani berusaha menjaga hubungan baik dengan tetap berpegang pada

nilai tradisional untuk menjamin kebutuhan hidupnya (Wolf, 1983). Menurut Scott

(1983), petani memilih untuk menciptakan lembaga -lembaga yang dalam

keadaan normal menjamin orang-orang paling lemah agar terhindar dari

kehancuran ketika menghadapi masalah. Petani lebih memilih untuk

mempertahankan ketergantungan pada patron untuk menjamin subsistensi.

Artinya kegiatan usaha tani juga dipengaruhi oleh patron tempat petani

bergantung.

(20)

Dari tiga jenis pilihan perilaku tersebut diatas, apabila seseorang

bertindak subsisten, dan menolak inovasi, karena terikat tradisi maka Weber

menggolongkannya menjadi tindakan yang tradisional. Tindakan tradisional

merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat non rasional. Kalau seorang

individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar

atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional.

Pembenaran atas tindakan ini hanya karena merupakan kebiasaan. Apabila

kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini maka

kebia saan dan institusi mereka didukung oleh kebiasaan dan tradisi yang sudah

lama mapan sebagai kerangka acuan, yang diterima begitu saja tanpa

persoalan. Weber mengatakan bahwa tipe tindakan ini akan menghilang karena

meningkatnya rasionalitas instrumental.

Rasional (Komersial). Selalu ada perilaku ekonomi yang rasional dari

masyarakat, yang berarti tidak menolak pasar sebagai model alokasi sumber

ekonomi (Ismail, 1994 ). Artinya petani juga akan selalu bertindak rasional dalam

mengelola usaha taninya.

Pemikiran Scott (1983) dan Popkins (1986) tidak berbeda yaitu bahwa

petani berpikir rasional. Karena walaupun Scott (1983) berpendapat bahwa

petani gurem yang sering tidak dapat mengusahakan maksimalisasi dalam

usahataninya, tidak menambah resikopun adalah pemikiran rasional.

Konservatisme petani menurut persepsi Scott artinya juga rasional. Pemikiran

rasional petani adalah menghindari biaya beban yang lebih besar daripada yang

dipikulnya. Menurut Scott petani termiskin merasa dirinya aman selama masih

hidup dalam naungan desa dan komunitasnya yang akan membantunya pada

saat terkena musibah. Bagi petani sistem sosial dengan gotong-royong, gugur

gunung dan kelembagaan tradisional lainnya dirasakan tidak akan menambah

beban resiko yang harus ditanggungnya. Hal yang paling dikhawatirkan petani

adalah apabila keseimbangan yang menjamin ketenangan hidup walaupun

dalam keadaan miskin dikacaukan, karena perubahan keseimbangan mungkin

sekali akan memperbesar resiko hidupnya. Inilah yang menyebabkan petani

miskin kerap curiga terhadap pembaharuan, termasuk teknologi. Cenderung

bersifat konservatif dan berhati-hati, menunggu bukti yang meyakinkan dahulu,

baru bila perubahan itu ternyata menguntungkan akan diikuti petani. Pembuktian

seperti ini makan waktu dan meminta kesabaran. (Wiradi , 2000)

(21)

Menginggat sikap petani yang demikian kita yang menginginkan

perbaikan nasib hidupnya harus mengerti dahulu bahwa sikap kehati-hatian

petani diakibatkan oleh ketidakpastian tentang resiko. Setiap usaha atau

pendekatan kepada petani miskin yang akan meningkatkan resiko pada akhirnya

akan mencapai titik yang akan membuat petani miskin memberontak.

Popkin (1986) berpendapat bahwa kaum ekonomi moral (seperti Scott,

1983; Wolf, 1983; Redfeild, 1983) terlalu lunak dalam memandang desa dan

ikatan patron -klien, dan terlalu keras pada potensi pasar, tidak melihat dimana

pasar-pasar dapat menguntungkan petani, dan tidak melihat faktor struktural

yang menentukan impak pasar (teknologi) terhadap petani.

Perilaku rasional individu adalah bagaimana orang-orang berbuat dalam

situasi-situasi yang memberikan alternatif-alternatif tertentu, dan bahwa mereka

mengejar tujuan-tujuan mereka secara rasional. Popkin (1986) kemudian

menyebutkan bahwa rasionalitas yang dimaksudkan adalah bahwa

individu-individu menilai hasil-hasil yang mungkin diperoleh yang berkaitan dengan

pilihan-pilihan mereka yang sesuai dengan kesukaan-kesukaan dan nilai-nilai

mereka. Evaluasi dilakukan menurut estimasi subyektif mereka. Kemudian

melakukan pilihan yang mereka yakini akan dapat memaksimumkan kegunaan

(utility) yang diharapkan.

Menurut Todaro (1980) rasionalitas adalah perlunya dilakukan subtitusi

metode -metode modern dalam bidang pemikiran, pelaksanaan kegiatan -kegiatan

produksi, distribusi, dan persiapan konsumsi di hari tua serta segenap praktek

tradisional lainnya. Menurut perdana menteri India Jawaharlal Nehru (Todaro,

1980) yang diperlukan oleh negara-negara berkembang adalah suatu

masyarakat yang gandrung akan teknologi dan ilmu pengetahuan. Yang

diperlukan bukan hanya teknik-teknik baru di bidang pertanian, pendirian

pabrik-pabrik maupun penyediaan sarana transportasi, melainkan juga berpikir

masyarakat modern. Teknik modern itu bukan hanya menyangkut soal

memperoleh ala t dan menggunakannya, melainkan juga sangat berkaitan

dengan proses-proses pemikiran modern yang melahirkannya. Seseorang tidak

akan menguasai peralatan modern dengan pemikiran kuno. Bila demikian

halnya maka negara -negara berkembang tidak akan berhasil menggapai

kemajuan yang berarti. Rasionalitas itu menghendaki adanya

pemikiran-pemikiran yang logis dalam perumusan berbagai macam strategi dan kebijakan

(22)

ekonomi dan aneka rupa kesimpulan yang masuk akal serta yang berakar

sedalam mungkin pada ilmu pengetahuan dan fakta -fakta yang relevan.

Weber (Johnson, 1988) mengemukakan tentang tindakan rasional, yang

terbagi menjadi rasionalitas instrumental dan rasionalitas yang berorientasi nilai.

Rasionalitas instrumental adalah tingkat rasionalitas yang paling tinggi yang

meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar dan berhubungan dengan tujuan

tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya yang mencerminkan

pertimbangan individu atas efisiensi dan efektifitasnya. Dalam melakukan

tindakan ini individu mengumpulkan informasi, mencatat

kemungkinan-kemungkinan serta hambatan -hambatan, dan mencoba meramalkan

konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu.

Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi

nilai. Tujuan-tujuan sudah ada dalam individu sehubungan dengan nilai-nilai

akhir yang ingin dicapai. Alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan

perhitungan yang sadar. Misalnya orang yang punya pengalaman merasa damai

karena kehadiran Tuhan bersamanya memilih alat seperti meditasi, berdoa,

menghadiri upacara di gereja untuk memperoleh pengalaman religius itu.

Apakah pengalaman itu dapat dicapai secara efektif, tidak dapat dibuktikan

secara obyektif.

Terbuka pada Inovasi. Kenyataan bahwa tidak ada masyarakat petani

yang terisolasi menyebabkan petani tidaklah merupakan komunitas yang berdiri

sendiri dan secara murni berperilaku yang terlalu bergantung pada tradisi.

Menurut L. Reynold seperti yang dikutip Ismail (199 4) petani bereaksi secara

positif terhadap peluang-peluang yang dapat meningkatkan pendapatan.

Perekonomian negara berkembang jauh dari perekonomian subsisten murni.

Rasio antara produksi dan konsumsi rumah tangga tidak pernah sama dengan

100%. Bisnis lokal tetap penting melalui perdagangan antar individu dan

keluarga. Masyarakat miskin dan buta aksara dapat melakukan perhitungan yang

tidak keliru mengenai keuntungan ekonomi. Mereka sangat tanggap terhadap

inovasi. Selain itu, terdapat bukti bahwa petani mengalami perubahan, yaitu

berani menghadapi resiko, dari petani subsisten menjadi petani komersial

dengan mutu bervariasi (Jarmie, 1994).

Keterbukaan pada inovasi ini sesuai

dengan pernyataan Popkin (1986) bahwa apabila petani sudah merasa

kondisinya aman artinya tidak terancam tingkat subsistensinya maka petani akan

(23)

berani bertaruh untuk melakukan investasi demi meningkatkan kondisi

kehidupannya bukan hanya untuk mempertahankan hidup.

Pilihan Perilaku Sebagai Suatu Konsep Kontinum.

Pilihan

perilaku/tindakan petani bergerak antara subsisten dan komersial, atau antara

menolak inovasi dan terbuka terhadap inovasi. Petani melakukan

pertimbangan-pertimbangan tertentu agar dapat mempertahankan pemenuhan kebutuhan

hidupnya. Pertimbangan tersebut adalah tingkat keuntungan yang akan diterima

dan norma atau nilai yang berlaku. Petani akan berusaha bertahan dengan

aturan lama sejauh aturan tersebut masih lebih menguntungkan (Harjono, 1999).

Harjono menunjukkan perubahan yang terlihat secara implisit adalah perubahan

tata nilai petani menjadi individualis. Sifat individualis yang tampak pada

keikutsertaan dalam usaha perbaikan fasilitas umum apabila fasilitas tersebut

dapat memberikan manfaat secara langsung terhadap dirinya. Sifat individualitas

juga terlihat pada diutamakannya ikatan kekerabatan dalam pengelolaan usaha

tani. Pemilik merasa tidak perlu memberi kerja pada orang lain melalui bagi hasil.

Perubahan lainnya adalah petani menjadi lebih komersial melalui diterimanya

sistem sewa pada pola hubungan pengelolaan lahan.

Strategi adaptasi yang dilakukan (perubahan yang terjadi): Intensifikasi

dan diversifikasi usaha pertanian (perubahan dalam strategi pemanfaatan lahan),

peralihan sistem bagi hasil menuju sistem sewa (perubahan dalam kontrol

terhadap lahan), peralihan ke sektor non pertanian, individualistik (perubahan

hubungan kerja).

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Petani

Petani memiliki dua strategi berlawanan untuk mengatasi dilema antara

kepentingan pribadi dan kepentingan sosial yaitu dengan memperbesar produksi

atau mengurangi konsumsi. Pemilihan strategi akan tergantung pada tatanan

sosial dan konteks tertentu. Setiap saat selalu akan ada sejumlah orang yang

akan mengambil resiko dikucilkan oleh masyarakatnya dengan tidak menaati

norma dan tradisi, sementara orang-orang lain akan memilih aman dengan sikap

mentaati norma-norma yang dianggap benar. Kenyataan variasi pemilihan

strategi tersebut sekaligus menyanggah bahwa kehidupan petani bersifat statis

(Wolf, 1983).

(24)

Dalam kaitannya dengan adopsi inovasi, Rogers (1995) mengemukakan

lima faktor yang mempengaruhi laju adopsi suatu sistem sosial yaitu: (1) ciri-ciri

inovasi, (2) tipe keputusan inovasi, (3) ciri sistem sosial, (4) sifat saluran

komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan inovasi dalam proses keputusan

inovasi, (5) gencarnya usaha agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi.

Penelitan Eko Setyanto (1993) menunjukkan bahwa pelaksanaan

program Supra Insus di desa dapat dikatakan kurang dapat berjalan seperti yang

diharapkan (gagal). Program Supra Insus yang tidak dilaksanakan oleh petani

adalah pemakaian ZPT (Zat Perangsang Tumbuh) pola tanam, dan pergiliran

varietas. Pada umumnya petani tidak menggunakan ZPT dikarenakan

membutuhkan biaya yang mahal. Disamping itu petani kurang merasakan

secara langsung manfaat dari ZPT tersebut. Sedang tidak berjalannya pergiliran

varietas dan pola tanam disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar kelompok

tani itu sendiri. Di samping itu tidak dapat berhasilnya secara maksimum

pelaksanaan program Supra Insus, dapat pula disebabkan oleh faktor

penyuluhan yang kurang intensif. Tidak dilaksanakannya pola tanam di desa

berkaitan dengan beberapa faktor terutama adalah kebiasaan petani yang sudah

turun temurun. Petani tidak mau menanggung resiko kegagalan disebabkan

menanam tanaman baru yang sulit untuk dipasarkan natinya sedangkan petani

memerlukan uang yang cepat.

Sebaliknya penelitian Yudisiani (1999) menunjukkan bahwa kegiatan

SLPHT berhasil karena : (1) materi SLPHT lebih menekankan pada aspek

kognitif. Materi ajaran merupakan materi yang sudah tidak asing lagi bagi petani.

Kurikulum belajar disesuaikan dengn kebutuhan petani. Petani bisa

mengaktualisasikan diri berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. (2) lokasi

belajar di tempat petani bekerja sehingga tidak menganggu pekerjaan mereka

Penelitian Yufrizal (1999) menunjukkan bahwa proyek penerapan SAPTA

Usaha Perikanan dikatakan berhasil ditandai dengan profil perilaku petani yang

menerapkan teknologi baru dan meninggalkan teknologi lama, teknologi baru

tersebut dalam penerapannya tidak memerlukan biaya yang mahal dan cara

penggunaannya mudah.

Tindakan sosial dibentuk bersama oleh sejumlah kekuatan (dorongan)

sosial dan membentuk (proses) interaksi sosial. Sejumlah kekuatan sosial

mencakup: (1) tindakan diatur melalui harapan yang didefinisikan secara sosial

(25)

(budaya); (2) tindakan ditentukan oleh karakteristik setiap orang yang

berinteraksi; (3) tarakteristik tersebut merupakan bagian posisi yang mereka

tempati dalam struktur sosial; (4) hubungan interpersonal, jaringan sosial juga

membentuk tindakan sosial; dan (5) interaksi mengambil tempat dalam konteks

struktur sosial yang lebih luas, integrasi fungsional (Soekanto, 1990).

Terdapat perbedaan pandangan Scott (1983) dan Popkin (1986) dalam

menilai individualitas petani. Menurut Popkin (1986), petani itu terutama

memperhatikan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarga mereka. Minat

pribadi petani akan atau tidak akan berkontribusi pada tingkat kolektif tergantung

pada keuntungan pribadi yang akan diperoleh bukan pertimbangan keuntungan

kolektif. Sementara Scott (1983) melihat kekuatan sosial yang mempengaruhi

perilaku petani.

Perbedaan perilaku petani baik secara moral maupun rasional

dipengaruhi oleh perbedaan dalam tingkat subsistensi petani, perbedaan struktur

komunitas petani serta perbedaan tingkat pengaruh kolonialisasi. Faktor lainnya

adalah bahwa petani mendapat pengaruh juga dari luar komunitas, di mana

petani menjaga integritas tradisinya dengan membuat kompromi-kompromi

(Redfield, 1983).

Oleh karena itu berikut adalah beberapa faktor yang akan mempengaruhi

perilaku petani yang kemudian akan dikaitkan dengan pengambilan keputusan

dalam pola kemitraan.

Karakteristik Petani

Petani memiliki karekteristik yang beragam. Karakteristik tersebut dapat

berupa karakter demografis petani, karakter sosial petani serta karakteristik

kondisi ekonomi petani itu sendiri. Di mana karaktersitik tersebutlah yang

membedakan tiap perilaku petani pada situasi tertentu.

Tingkat Subsistensi. Menurut Redfield (1983), tidak semua petani

merasakan hal yang sama terhadap pekerjaannya, tergantung pada: kepemilikan

tanah, kondisi ekonomi, kondisi ekologi (histories and ecological-economies).

Petani juga mengalami tekanan-tekanan kebutuhan yang berbeda-beda,

sehingga secara kritis perlu mencermati ciri-ciri khas petani dan nilai-nilai yang

dianutnya spesifik menurut waktu dan lokasi (Wolf, 1983).

(26)

Scott (1983) juga menyebutkan bahwa pola pengambilan keputusan

petani tergantung pada kondisi subsistensi petani, di mana petani diasumsikan

berada dalam kondisi yang rawan terhadap krisis subsistensi. Sehingga sedikit

saja kegagalan akan sangat membahayakan kelangsungan hidup petani, p etani

akan memilih menolak resiko dengan prinsip dahulukan selamat, dan melakukan

strategi pembentukan pengaturan bersama dalam bentuk desa serta

kecenderungan untuk mempertahankan ikatan patron-klien.

Wahono (1994) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar

merupakan hal penting yang diperjuangan oleh petani miskin dibandingkan

kebutuhan sosialnya. Petani miskin cenderung tidak mengalokasikan

anggarannya terlalu banyak pada kebutuhan sosial. Upaya -upaya menjalin

hubungan dengan petani lain, elit desa, atau pedagang, dan kegiatan sosial

lainnya lebih banyak didasarkan pada alasan ekonomi yaitu selalu dikaitkan

dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Umur Petan i. Karakteristik lain yang mungkin mempengaruhi adalah

umur petani. Sebagian besar petani Indonesia (76,2%) berusia sekitar 25 sampai

54 tahun, dan sebagian kecil (21,46%) berusia di atas 55 tahun (P3PK, 1998

dalam Soetrisno, 1999). Umur rata-rata petani Indonesia yang cenderung tua

dan hal itu sangat berpengaruh pada produktivitasnya. Lagi pula petani yang

berusia tua biasanya cenderung sangat konservatif dalam menerima inovasi

teknologi.

Modal Dan Tingkat Pendidikan Petani. Petani Indonesia pada

umumnya adalah petani gurem dengan modal uang dan barang terbatas serta

dan kepemilikan lahan yang sempit. Dengan modal terbatas dan tingkat

pendidikan yang masih rendah, berhadapan dengan lingkungan tropika yang

penuh risiko seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan dan

sebagainya, membuat para petani harus lebih berhati-hati dalam menerima

inovasi atau upaya-upaya pembaharuan. Karena apabila mereka gagal

memanfaatkan inovasi berarti seluruh keluarga mereka akan menderita.

Di Indonesia belum ada perlindungan atau asuransi yang dapat

melindungi kegagalan para petani. Hal-hal tersebut akan menempatkan para

petani Indonesia dalam kondisi yang dilematis. Untuk bisa “survive” pada abad

yang akan datang para petani Indonesia harus berani mengambil resiko untuk

berinovasi, karena akan menjamin peningkatan produktivitas mereka yang akan

(27)

mempengaruhi tingkat “survival” mereka dalam bersaing dengan petani-petani

dari negara lain.

Posisi Petani dalam Sistem Pelapisan Masyarakatnya . Perbedaan

status petani sebagai karakteriatik sosial ternyata mempengaruhi perilaku petani.

Petani lapisan atas dengan karakter khususnya telah memelopori penggunaan

teknologi modern. Karakter khusus tersebut antara lain kemampuan tenggang

rasa, dorongan keberhasilan serta semangat untuk menguasai masa depan.

Umumnya, karakter petani lapisan atas terbentuk dari peran yang dipegangnya

dalam lembaga-lembaga nasional serta hubungan langsung yang dimilikinya

dengan penyuluh pertanian (Soewardi, 1982). Selain itu, petani lapisan atas

cenderung menunjukkan kedinamisan petani yang lebih tinggi dibanding petani

lapisan bawah (Su mardjo, 1999).

Aksesibilitas Petani terhadap Fasililitas Kredit. Menurut Fembriarti

(1999), faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap penerapan intensifikasi

petani (menerapkan benih dan pupuk lebih dari 90%) adalah luas lahan garapan,

pengalaman dan pendapatan. Petani yang mendapatkan fasilitas kredit tingkat

intensifikasinya lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan fasilitas kredit.

Ciri Komunitas Petani

Pengaruh ciri komunitas petani adalah pengaruh kekuatan nilai sosial

dalam komunitas petani terhadap perilaku petani. Ada dua hal yang diduga

berpengaruh terhadap perilaku petani, yaitu: keketatan struktur komunitas petani

dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam komunitas tersebut.

James Scott (1983) mempunyai pandangan positif terhadap kekuatan

sosial dalam mengatur perilaku seseorang. Kewajiban-kewajiban serta kondisi

perbedaan stratifikasi tidak dianggap sebagai eksploitasi, sejauh masih sesuai

dengan norma. Proses historis akan sangat berpengaruh pada pembentukan

pola pikir dan sikap seseorang (petani) pada saat ini

Struktur Komunitas. Scott (1983), Popkin (1986), Hayami dan Kikuchi

(1987) mengemukakan adanya pengaruh struktur masyarakat dala m

menentukan perilaku ekonomi petani. Keketatan struktur komunitas tempat

petani itu berada sangat mempengaruhi seberapa kuat ikatan moral dan

tradisional mengarahkan perilaku petani tersebut. Ikatan dalam struktur yang

kuat tersebut memungkinkan diterapka nnya sanksi bagi tiap pelanggaran selain

(28)

memperkuat kontrol sosial bagi pelaksanaan aturan adat. Kekuatan sosial dari

etika subsistensi pada umumnya paling kuat di daerah-daerah di mana

bentuk-bentuk desa tradisional telah berkembang baik, yaitu desa otono m dan kohesif

(petani dapat mengatur sendiri urusan setempat). Kekuatan sosial dari etika

subsistensi paling lemah di daerah -daerah pemukiman baru.

Nilai-nilai Budaya. Orang dapat menarik inti dari gagasan vital dari

tingkah laku yang berpola sebagai pegangan. Di samping itu orang dapat

memperolah keyakinan dengan memahami sistem sosial yang membaku.

Nilai-nilai, gagasan vital dan keyakinan sebagai abstraksi dari sistem sosial yang

berlaku itulah yang diartikan sebagai kebudayaan yang kemudian menjadi

pedoman bagi pola tingkah laku masyarakat pendukungnya. Kebudayaan adalah

sistem nilai, gagasan dan keyakinan yang mendominasi cara pendukungnya

melihat, memahami dan memilah -milah gejala yang dilihatnya dan

merencanakan serta menentukan sikap dan perbuatan selanjutnya (Soerjani,

1987). Pada dasarnya kebudayaan diciptakan menjadi pedoman bagi tingkah

laku manusia. Dan karena kebudayaan dikonstruksikan secara sosial maka tidak

terlepas dari kepentingan -kepentingan agen terlibat.

Setiap kebudayaan mempunyai sifat-sifat hakikat sebagai berikut

(Soekanto, 1990): (1) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku

manusia; (2) Kebudayaan telah ada lebih dahulu mendahului lahirnya suatu

generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang

bersangkutan; (3) Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam

tingkah lakunya; (4) Kebudayaan mencakup aturan -aturan yang berisikan

kewajiban, tindakan -tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang

dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan. Oleh karena itu, nilai-nilai udaya

yang ada dalam komunitas petani dapat mempengaruhi perilaku petani, karena

pada umumnya petani selalu ingin seragam dalam masyarakatnya.

Pemahaman terhadap budaya lokal petani menjadi prasarat penerapan

teknologi dalam pembangunan pertanian. Kepekaan terhadap pengetahuan dan

budaya lokal penting agar pembangunan pertanian dapat dilakukan dengan

proses yang berkelanjutan (Soetrisno 1999).

(29)

Pengaruh dari Luar Komunitas Petani

Koentjaraningrat (1984) mengemukakan bahwa tidak ada desa yang

benar-benar terisolasi, komunitas desa selalu berhubungan dengan komunitas di

luar desanya, Hubungan ini berpengaruh terhadap perubahan kebudayaan, baik

nilai budaya maupun struktur sosialnya.

Redfield (1983) mengemukakan bahwa masyarakat petani bahwa

merupakan bagian fungsional dari sistem yang lebih luas. Masyarakat petani

merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagiannya mencakup

kebudayaan, tradisi dan struktur sosial yang terkait dengan kehidupan

sehari-hari. Bagian-bagian tersebut saling terkait dan mandiri.

Redfield (1983) menyebutkan bahwa terdapat tradisi besar dan tradisi

kecil. Pengertian tradisi kecil adalah berorientasi pada budaya desa, sedangkan

tradisi besar berotientasi pada budaya kota atau ”atas desa”. Kedua tradisi saling

terkait dimana yang satu mempengaruhi yang lain, hal ini terlihat dari adanya

pola perkembangan atau perubahan yang terjadi pada kedua tradisi tersebut.

Ke terkaitan dari kedua tradisi juga terlihat dari pola stratifikasi masyarakat desa

dimana terdapat perbedaan tingkat pengetahuan antara lapisan atas dan lapisan

bawah yang keduanya saling mempengaruhi dalam interaksi mereka. Hal inilah

yang memungkinkan masyarakat petani mendapat pengaruh dari kolonialisasi,

komersialisasi, dan modernisasi.

Hasil penelitian Fembriarti bahwa petani yang mengikuti penyuluhan

pertanian juga mempunyai peluang untuk menggunakan benih maupun pupuk

sesuai anjuran (Fembriarti, 2000). Penelitian ini menunjukkan pengaruh penyuluh

sebagai anggota di luar komunitas petani mempengaruhi perilaku petani.

Pola Kemitraan

Sejarah Pola Kemitraan

Pola kemitraan dalam agribisnis dalam sejarahnya berawal sejak awal

Pelita I di mana pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat/petani

dengan mengembangkan perkebunan rakyat-peninggalan pemerintah Belanda.

Pada tahun 1973 misalnya dikenal sebuah lembaga terpadu yang disebut

sebagai UPP (Unit Pelaksana Proyek) untuk mengemb angkan kebun -kebun

rakyat di beberapa lokasi seperti Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat

Sumatera Utara, Proyek Pengembangan Cengkeh di Lampung, dan Proyek

Gambar

Tabel 2  Jumlah Produksi Sayuran dan Tanaman Pangan (dalam Ton)  Tahun 1993 dan Tahun 2003
Tabel 4 Jenis Komoditas Unggulan untuk Sayuran Di Jawa Barat
Tabel 6   Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Cianjur
Tabel 7  Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Bandung
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-square menunjukkan bahwa pada penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan obesitas pada wanita

Logo adalah simbol yang biasanya dibuat sebagai ikon yang mempunyai karakteristik atau ciri khas. “Gethuk Kethek” belum mempunyai logo oleh karena itu perlu

Self efficacy memotivasi perilaku promosi kesehatan secara langsung dengan harapan efficacy dan secara tidak langsung dengan mempengaruhi hambatan dan

Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa pembuatan tape ubi kayu dilakukan dengan proses fermentasi, yang difermentasi oleh ragi Saccharomyces cerevisiae ,

Sebagaimana diketahui bahwa, sebagian besar input (calon mahasiswa) dari kedua Prodi tersebut adalah siswa Madrasah Aliyah dari berbagai kabupaten/kota di Provinsi

Menghasilkan Pejantan dan Induk Unggul pada Sapi Peranakan Ongole di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Anggota dari 4 Peneliti).. 2015 DIKTI (Penelitian Unggulan Perguruan

Bahwa apa yang dinyatakan Tergugat dalam angka (6) dan (7) merupakan pembohongan besar dan berusaha untuk melakukan pembodohan kepada staff, pegawai dan

Di PT Telkom, program knowledge management disebut Knowledge Management Kampiun sedangkan di PT INTI program ini disebut Knowledge Tree. Pada bagian ini akan dijelaskan 1)