(1)Pengertian Agribisnis
Pengertian agribisnis, menurut Soeharjo (Hernanto,1996), mencakup
semua kegiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian sampai pada
tata niaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya.
Berdasarkan konsep ini agribisnis digambarkan sebagai sistem yang terdiri dari
berbagai sub sistem, yaitu (a) subsistem pembuatan dan penyaluran sarana
produksi pertanian (farm supplies), (b) subsistem kegiatan produksi dalam
usahtani yang menghasilkan bermacam-macam produk pertanian, dan (c)
subsistem pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyaluran produk
pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya ke konsumen.
Dalam perkembangannya konsep agribisnis di atas kemudian disempurnakan
menjadi suatu konsep yang utuh, yang mengintegrasikan beberapa subsistem
dalam satu kesatuan, yaitu : (1) Subsistem agribisnis hulu (u p-stream
agribusiness), yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off-farm),seperti
bioteknologi; industri agrokimia (pupuk, pestisida); alat-alat pertanian; dan pakan
ternak. (2) Subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), seperti pembibitan
pembenihan, budidaya perikanan; peternakan; perkebunan; pertanian. (3)
Subsistem agribisnis hilir (down -stream agribusiness), yang meliputi kegiatan
pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan
industri bukan makanan. (4) Subsistem jasa-jasa penunjang, yang meliputi
kegiatan -kegiatan yang menunjang kegiatan sektor agribisnis, seperti
agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan/ keuangan.
Kaitan antar satu subsistem dengan subsistem lainnya sangat erat dan
penting, sehingga gangguan pada salah satu subsistem dapat menyebabkan
keseluruhan sistem itu terganggu. Oleh karena itu, memahami kaitan-kaitan ini
dan peranan lembaga-lembaga penunjangnya (seperti bank, koperasi, peraturan
pemerintah, angkutan, pasar dan lainnya)merupakan salah satu tujuan penting
dalam agribisnis. Demikian pula mengenai pelaku setiap subsistem dan teknologi
yang digunakan.
Dalam kegiatan agribisnis yang masih sederhana bentuknya, kegiatan
ketiga subsistem ini dilakukan oleh seorang pelaku (one person agribusiness).
Sarana produksi yang digunakan berasal dari hasil-hasil pertanian (kompos,
kotoran ternak), sedangkan proses pengolahan hasil usahataninya masih
(2)sederhana dan penjualannya masih terbatas ke pasar sekitarnya.
Dalam agribisnis yang telah berkembang mencapai tahap yang maju,
terdapat pembagian tugas yang mendasar antara berbagai fungsi karena corak
dan sifat pertanian yang semakin kompleks. Pembagian tugas ini sejalan dengan
penemuan dan penerapan teknologi baru serta meningkatnya pendapatan
konsumen.
Perkembangan Bisnis Sayuran Di Jawa Barat
Paparan tentang perkembangan bisnis sayuran di Jawa Barat akan
diawali dengan gambaran umum komoditas unggulan dan penggunaan lahan di
Jawa Barat. Penjelasan pada bab ini didasarkan pada data sekunder berupa
Jawa Barat Dalam Angka, data Profil Desa-desa kasus, serta referensi lain yang
relevan.
Jawa Barat merupakan daerah beriklim tropis dengan curah hujan tinggi
dan banyak jumlah hari hujan. Keadaan tersebut didukung oleh adanya lahan
subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai sehingga
menyebabkan sebagian besar dari luas penggunaan tanahn ya untuk pertanian.
Kondisi topografi daerah utara Jawa Barat merupakan dataran rendah
sedangkan daerah selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran
tinggi bergunung -gunung di sebelah tengah. Letak geografis dan batas-batas
Propinsi Jawa Barat dan lokasi studi dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1 .
Produk pertanian di Jawa Barat antara lain meliputi jenis tanaman
pangan, sayur-sayuran dan buah -buahan. Tanaman pangan terdiri dari jenis
padi-padian, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, sedangkan beberapa
jenis sayuran yang dominan antara lain: kentang, kubis, bawang daun, bawang
merah, petsai, dan kacang panjang. Secara umum di tahun 2003 areal tanaman
pangan di Propinsi Jawa Barat menurun, terutama untuk tanaman ubi, kedelai,
kacang hijau dan padi, sedangkan lahan untuk sayuran mengalami peningkatan,
terutama untuk kentang, kubis, kembang kol, cabe rawit, dan jamur.
Penggunaan lahan untuk pertanian di Jawa Barat tahun 1993 dan 2003 dapat
dilihat pada Tabel 1. Secara umum tanpa melihat per jenis tanaman,
penggunaan lahan untuk tanaman pangan di tahun 2003 mengalami penurunan
sebesar 92,6 persen dibanding tahun 1993, sedangkan luas lahan untuk sayuran
mengalami kenaikan delapan kali lebih besar. Secara khusus dengan melihat
(3)jenis tanaman sayuran kenaikan luas lahan hanya terjadi pada beberapa
komoditas yaitu bawang daun (Allium fistulosum), bawang merah (Allium cepa),
kentang (Solanum tuberosum), kubis (Brassica oleracea), wortel (Daucus carota
L.) dan jamur yang paling besar.
Tabel 1 Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 1993 dan Tahun 2003
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Tahun 1993
Luas (Ha)
Tahun 2003
Persen
Perubahan
1 Tanaman Pangan 48526643 3576639 - 92,6
2 Sayuran 208 878 1 966 240 841,3
Sumber : Jawa Barat dalam Angka, 1993 dan 2003
Pada lingkup Indonesia, Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu
propinsi penghasil sayuran terbesar di Indonesia selain Sumatera Selatan,
Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Hampir semua wilayah di Propinsi Jawa
Barat ini merupakan wilayah yang sangat baik dan potensial untuk
pengembangan berbagai komoditas pertanian, termasuk sayur-sayuran. Dari 16
kabupaten dan 9 kotamadya yang terdapat di wilayah administratif daerah Jawa
Barat, semuanya dapat menghasilkan komoditas pertanian, khususnya
komoditas sayuran. Jenis sayuran yang banyak dikembangkan secara komersial
di wilayah tersebut antara lain: bawang merah (Allium cepa), bawang putih
(Allium sativum), bawang daun (Allium fistulosum), kubis (Brassica oleracea),
kentang (Solanum tuberosum), petsai (Brassica rapa L.), wortel (Daucus carota
L.), kacang merah (Phaseolus vulgaris) , kacang panjang (Vigna unguiculata),
cabai (Capsicum annum L.), tomat (Lycopersion esculentum Miller), terung,
buncis (Phaseolus vulgaris), ketimun (Cucumis sativus L.), labu siam ( Sechium
edule (Jack) sw.), dan bayam ( Amaranthus tricolor L.).
Produksi sayuran di Jawa Barat di tahun 2003 meningkat, sedangkan
produksi pertanian untu k tanaman pangan mengalami penurunan. Tabel 2
menyajikan total produksi sayuran Jawa Barat pada tahun 2003 adalah sebesar
2,84 juta ton atau mengalami kenaikan sebesar 38,3 persen dari tahun 1993.
Sentra penghasil sayuran terbesar di Jawa Barat yaitu, Kabupaten Bandung
(34.70%), dan Kabupaten Garut (22.68%), Kabupaten Cianjur (10.54%) dan
Kabupaten Bogor (3.47%) dari produksi total Jawa Barat.
(4)Tabel 2 Jumlah Produksi Sayuran dan Tanaman Pangan (dalam Ton)
Tahun 1993 dan Tahun 2003
Sayuran Tanaman Pangan
N o Lokasi
Tahun
1993
Tahun
2003
Persen
Perubahan Tahun 1993 Tahun 2003
Persen
Perubahan
1. Jawa Barat 2060488 2849300 38,3 14100104 10818162 - 23,3
2. Bandung 518691 988758 90,6 861913 830383 -3,7
3. Bogor 100887 98771 -2,1 755808 590402 -21,9
4. Cianjur 254538 300296 18,0 671073 688762 2,6
5. Garut 337416 646238 91,5 1060264 1255485 18,4
Sumber: Jawa Barat dalam Angka, Tahun 1993 dan 2003
Kecuali Kabupaten Bogor ketiga kabupaten tersebut di tahun 2003 mengalami
kenaikan dalam produksi sayuran di Jawa Barat. Komoditas utama Jawa Barat
dan sangat berpengaruh pada produksi total sayuran adalah kubis, kentang,
tomat, dan wortel.
Kenaikan produksi sayuran Jawa Barat disisi lain diiringi dengan
penurunan jumlah pekerja sektor pertanian, dan penurunan areal tanam pada
sebagia n besar jenis sayuran, kecuali bawang daun (Allium fistulosum), bawang
merah (Allium cepa), kentang (Solanum tuberosum), kubis (Brassica oleracea),,
wortel (Daucus carota L.) dan jamur (). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa telah terjadi proses intensifikasi pada usahatani sayuran di Jawa Barat
selama sepuluh tahun terakhir.
Tabel 3 Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Pertanian
Tahun 1993 dan Tahun 2003
No. Lokasi Tahun 1993 (Persen) Tahun 2003 (persen)
1. Jawa Barat 37.71 34.87
2. Bandung 32.51 24.37
3. Bogor 20.59 19.09
4. Cianjur 59.48 60.63
5. Garut 59.03 46.30
(5)Pada tahun 1993 penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar
37.71% dan pada tahun 2003 terjadi penurunan menjadi 34.87%. Persentase
penduduk yang bekerja di sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel
tersebut terlihat bahwa Kabupaten Garut adalah wilayah yang paling banyak
terjadi penurunan jumlah pekerja pertanian sekitar 13 persen, sedangkan Cianjur
justru mengalami kenaikan sekitar 1 persen.
Perkembangan bisnis sayuran Jawa Barat ditelusuri dari perubahan jenis
komoditas pertanian yang diusahakan petani, yaitu dari tana man pangan ke
tanaman sayuran. Tanaman pangan dinilai sebagai tanaman yang menghasilkan
bahan makanan pokok, sehingga bertani dapat dikatakan sebagai cara hidup
atau cara memenuhi kebutuhan hidup. Berbeda dengan tanaman sayuran,
apalagi sayuran dengan nilai ekonomi tinggi, bertani dipandang sebagai cara
memperolah keuntungan sebesar-besarnya yang kemudian disebut sebagai
bisnis sayuran.
Secara umum petani sayuran Jawa Barat, memulai bisnis sayuran
dengan mencoba menanam sayuran lokal sebagai diversifikasi tanaman pangan.
Tanaman pangan belum bisa ditinggalkan selagi petani masih merasa tidak
aman bila tidak mempunyai persediaan beras, atau palawija. Seiring dengan
kemudahan transportasi, maka bahan pangan utama seperti beras dapat dengan
mudah dibeli di pasar atau warung. Pada saat itulah petani kemudian mengganti
semua tanaman pangan dengan sayuran lokal, seperti wortel, bawang daun,
seledri, lobak, kol/kubis, kentang, labu siam, buncis, tomat, kapri, sawi, timun, dll.
Sayuran dinilai mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding padi dan
palawija, karena selain itu siklus tanamnya bervariasi dari yang sangat cepat
misalnya 2 minggu sampai 6 atau 8 bulan seperti cabe, juga karena harga
jualnya lebih menguntungkan.
Kemajuan di bidang teknologi budidaya dan kemudahan dalam
transportasi dan telekomunikasi, mempermudah masuk benih-benih sayuran
impor sekaligus merupakan awal bagi bisnis sayuran yang sangat
menguntungkan sekaligus juga beresiko tinggi karena membutuhkan modal
yang besar. Meskipun ada perbedaan waktu dari satu lokasi ke lokasi yang lain,
namun secara umum dapat diperkirakan bahwa perubahan dari tanaman pangan
ke sayuran lokal terjadi sekitar tahun 80 -an, sedangkan masuknya benih impor
sekitar tahun 90 -an. Bisnis sayuran menjadi semakin banyak diminati oleh
(6)masyarakat sejak akhir tahun 90 hingga sekarang, sebagai alternatif sumber
pendapatan bagi para pengangguran korban PHK, pensiunan, dan pemilik
modal.
Komoditas unggulan di tiap lokasi berbeda -beda, na mun secara umum
untuk wilayah Barat dapat diwakili oleh komoditas unggulan enam kabupaten
sentra produksi sayuran dan dapat dilihat pada Tabel 4.
Wilayah Bogor yang topografinya berbukit-bukit, dataran tingginya
terdapat di sekitar lokasi “wisata puncak” sehingga jenis sayuran yang diproduksi
juga bervariasi. Kacang -panjang (Vigna unguiculata) dan ketimun (Cucumis
sativus L) .merupakan jenis sayuran dataran rendah sedangkan wortel (Daucus
carota L.) dan bawang daun (Allium fistulosum) merupakan sayuran . Kacang
panjang dan ketimun merupakan sayuran yang ditanam sebagai upaya
diversivikasi jenis tanaman selain menggantikan padi.
Tabel 4 Jenis Komoditas Unggulan untuk Sayuran Di Jawa Barat
No. Wilayah Komoditas Unggulan Tahun
1993
Komoditas Unggulan Ta hun
2003
1. Bogor Ketimun,Wortel, Kacang
panjang, Bawang Daun
Kacang Panjang, Ketimun,
Bawang daun
2. Cianjur Sawi, Bawang daun, Cabe,
Wortel
Sawi, Wortel, Bawang
Daun, Tomat
3. Bandung Kubis, Tomat Kubis, Kentang, Tomat
4. Garut Kentang, cabe, kubis,
tomat, dan wortel
Kentang, Tomat, Kubis
5. Sukabumi Petsai/sawi, Ketimun,
Tomat, Kubis
Petsai/sawi, Ketimun,
Kacang panjang, Tomat
6. Kuningan Bawang Merah, Bawang
Daun, Kentang, Tomat
Bawang Daun, Bawang
Merah, Kacang Merah,
Cabe Rawit
Sumber: Jawa Barat dalam Angka, 1993 dan 2003
Kacang panjang dan ketimun merupakan jenis sayuran yang diminati masyarakat
sebagai bagian dari menu sehari-hari, sehingga potensi pasarnya cukup b aik.
Kabupaten Cianjur terkenal dengan sawi dan wortelnya, bahkan banyak
petani di wilayah Cianjur dapat hidup berkecukupan dari hasil menanam wortel.
Kabupaten Garut dan Bandung terkenal dengan produksi kentang dan
(7)kubisnya, Kabupaten Sukabumi terkenal dengan sawi/petsai, serta Kabupaten
Kuningan dengan produksi bawang merah dan bawang daunnya. Keenam
kabupaten tersebut merupakan penghasil terbesar sayuran di propinsi Jawa
Barat.
Lahan yang diusahakan untuk usahatani sayuran sebagian besar
merupakan lahan sawah tadah hujan, pekarangan, dan kebun atau ladang.
Secara umum, lahan pertanian di Jawa Barat dapat dibagi menjadi dua macam
penggunaan lahan yaitu, lahan sawah dan lahan darat. Lahan sawah secara
rinci dapat dibedakan menurut jenis pengaira n, terdiri dari lahan irigasi teknis,
irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, tadah hujan, bukan PU, dan lainnya.
Lahan darat dibagi lagi menjadi pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, padang
rumput, hutan rakyat, hutan negara, rawa-rawa, tambak, kolam dan lain -lain.
Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Bogor. Bogor merupakan
wilayah yang potensial untuk pengembangan sektor pertanian. Komoditas
unggulan untuk Kabupaten Bogor antara lain timun, wortel, kacang panjang,
bawang daun. Beberapa Perusahaan Agrisnis di Kabupaten Bogor dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5 Perusahaan Agribisnis di Bogor
No. Perusahaan Tahun
Berdiri
Komoditas Pasar yang Dituju
1. Bina Sarana
Bakti
1994 Sayuran lokal seperti:
wortel, timun, oyong,
buncis, kacang merah,
bawang daun dll
Rumah Sakit, Gereja
dan orang -orang yang
mengkonsumsi
sayuran organic.
2. SM 1984 Bunga potong,
Edamame, okra, zukini,
nazubi dll
Supermarket dan
restaurant.
3. Joro 1992 Perusahaan penyedia
sarana produksi
pertanian
Perusahaan dan
komuditas.
Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber
.
Perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap eksis sampai saat ini.
Kehadiran perusahaan agribisnis sangat berpengaruh terhadap perkembangan
komoditas sayuran di Kabupaten Bogor. Komoditas yang diusahakan tidak jauh
(8)berbeda, tetapi mutu produk sangat diperhatikan setelah masuknya perusahaan
agribisnis tersebut.
Perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap eksis sampai saat ini.
Kehadiran perusahaan agribisnis sangat berpengaruh terhadap perkembangan
komoditas sayuran di Kabupaten Bogor. Komoditas yang diusahakan tidak jauh
berbeda, tetapi mutu produk sangat diperhatikan setelah masuknya perusahaan
agribisnis tersebut.
Masing -masing perusahaan tersebut punya kekhasan dalam kegiatan
usahanya. Perusahaan Bina Sarana Bakti (BSB) merupakan perusahaan yang
membudidayakan sayuran lokal dengan teknik pertanian organik. PT. Saung
Mirwan (SM) memperkenalkan komoditas baru seperti, okra (Abelmoschus
esculantus), edamame (Glycine max L.), zu chini (Cucumis sativus), nazubi,
buncis mini, cisito, dll. PT Joro merupakan perusahaan yang menyediakan
sarana produksi pertanian, khususnya untuk Green House.
Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Cianjur. Cianjur
merupakan sentra produksi sayuran di Jawa Barat. Dari total penduduk
Kabupaten Cianjur yang bekerja di sektor pertanian sebesar 60,6%. Produk
unggulan Kabupaten Cianjur adalah sawi, wortel, bawang daun, tomat. Saat ini
petani sudah membudidayakan komoditas eksklusif diantaranya tangho,
horinso, dan brokoli. Beberapa perusahaan agribisnis di Kabupaten Cianjur
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Cianjur
No. Perusahaan Tahun
Berdiri
Komoditas Pasar yang
dituju
1. Pacet Segar 1975 Bayam, kangkung, buncis mini,
wortel, selada keriting, kyuri,
zukini, okra
Supermarket,
restoran, hotel,
pasar lokal
2. Kem Farm 1987 Paprika, zukini, selada, brokoli,
tomat, wortel, kol, kentang
Supermarket
dan restoran
3. PT Agro Wisesa
Abadi
2000 Gherkin (timun Jepang) , buncis,
jagung.
Ekspor ke
Jepang
4. Bumi Insan
Cibodas
2003 Sayuran Jepang dan sayuran lokal Swalayan dan
restoran.
Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.
(9)Komoditas unggulan untuk sayuran di Kabupaten Cianjur sawi, wortel, bawang
daun, tomat. Kehadiran perusahaan-perusahaan Agribisnis di Kabupaten
Cianjur sangat bermanfaat bagi kemajuan usaha tani sayuran di daerah tersebut.
Perusahaan yang ada di daerah tersebut sebagian menjalin kemitraan
dengan petani dan pedagang pengumpul. Dengan kerjasama tersebut petani
menanam komoditas yang dibutuhkan perusahaan mitranya, dengan komoditas
yang tergolong masih baru, seperti tangho, brokoli, harinso, kyuri, nazubi dan
lain-lain.
Karena komoditas ini masih baru dan kurangnya informasi yang diterima
petani banyak petani yang mengalami kegagalan tetapi ada juga yang bertahan
dan berhasil mengembangkannya sampai sekarang. Petani yang tetap bertahan
menanam produk-produk eksklusif adalah petani yang memiliki kepastian pasar
biasanya bermitra dengan pedagan g pengumpul yang bermitra dengan
perusahaan.
Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Bandung. Kabupaten
Bandung merupakan wilayah yang paling besar menghasilkan hampir semua
jenis sayuran dan penyumbang terbesar terhadap total produksi sayuran di
Jawa Barat. Sebagian besar penduduknya (24.37 %) bermata pencaharian
sebagai petani, dengan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan
hortikultura khususnya tanaman sayuran.
Bisnis sayuran di Kabupaten Bandung mulai ditekuni oleh petani setelah
masuknya perusahaan-perusahaan suplier sayuran yang membantu petani
dalam pemasaran produknya. Perusahaan-perusahaan agribisnis di Kabupaten
Bandung dapat dilihat pada Tabel 7.
Banyaknya perusahaan suplier di Kabupaten Bandung sangat
meng-untungkan bagi petani dalam hal pemasaran, karena ada kemudahan dala m
pemasaran maka banyak petani yang beralih dari tanaman pangan ke tanaman
sayuran.
Jenis sayuran yang dibudidayakan petani juga mengalami
perkembangan. Komoditas yang dibudidayakan petani tidak lagi hanya tanaman
sayuran lokal tetapi tanaman yang mempunyai nilai bisnis yang tinggi. Petani
mulai menanam tanaman-tanaman eksklusif sesuai dengan permintaan pasar.
(10)Tabel 7 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Bandung
No. Nama
Perusahaan
Tahun
Berdiri
Komoditas Pasar yang Dituju
1. PD Hikmah 1970 Kentang, Kubis, Jagung, Teh Pasar tradisional
dan supermarket
2. PT Bimandiri
(perusahaan
penyalur)
Sesuai dengan pesanan pasar Supermarket
3. PT Joro 1992 Penyedia sarana produksi
tanaman hortikultura, Penyedia
jasa pelatihan budidaya
tanaman hortikultura
Supermarket dan
petani
4. PT Putri Segar 1993 Baby corn, baby kaelan, baby
lettuce, baby kyuri, beetroot,
brokoli,buncis, chuciwis, daun
gingseng, paprika, kabocha,
Supermarket,
Jakarta,
Bandung,
Surabaya
5. Koperasi Mitra
Suka Maju
1999 Paprika Supermarket dan
restoran, ekspor
Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.
Komoditas baru yang dikembangkan petani diantarannya adalah, paprika
(Capsicum annum L.), baby corn (Zea mays), baby kaelan (), baby lettuce, baby
kyuri, beetroot, brokoli (Brasica oleracea), buncis (Phaseolus vulgaris L),
chuciwis, daun gingseng, dan kabocha. Dengan bertambahnya jenis komoditas
baru ini sangat berpengaruh terhadap jumlah produksi tanaman sayuran.
Meskipun kubis, tomat dan kentang dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini
masih menjadi tanaman yang menjadi primadona petani tetapi produksinya
mengalami penurunan sebesar 10 %.
Teknik budidaya untuk komoditas baru tersebut lebih rumit, dan
membutuhkan modal yang besar. Bimbingan teknis dan kredit saprodi dari
perusahaan agribisnis tersebut menjadi hal yang menentukan keberhasilan
petani dalam berproduksi. Keberadaan PT Joro dalam sejarah pengembangan
agribisnis sangat penting terutama untuk sayuran yang membutuhkan biaya
tinggi seperti paprika. Keberhasilan para petani yang tergabung dalam Koperasi
Mitra Sukamaju adalah salah satu bukti tentang pentingnya peran perusahaan
dalam membantu petani mengembangkan bisnis sayuran.
(11)Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Garut. Kabupaten Garut
merupakan salah satu kabupaten penyumbang terbesar untuk sektor pertanian
Propinsi Jawa Barat. Selama kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 1993
sampai 2003 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan
dari 59.03% (tahun 1993) menjadi 46.30 % pada tahun 2003.
Sejak tahun 1970 telah ada satu perusahaan agribisnis yang
mengembangkan kubis dan kentang, namun bisnis sayuran di Kabupaten Garut
mulai berkembang sejak tahun 1994. Pada tahun tersebut PT Sartindo Utama
melakukan budidaya, pengolahan dan memasarkannya timun Jepang ke pasar
lokal dan ke Jepang
Perusahaan tersebut melakukan inovasi dalam bisnis sayuran baik dari
jenis produk maupun dari pemasarannya, pada saat petani lain menjalankan
usaha secara tradional dengan ko moditas dan pasar lokal. Komoditas unggulan
Kabupaten Garut antara lain Kentang (Solanum tuberosum), cabe (Capsicum
annum L.), kubis (Brassica oleracea), tomat (Lycopersion esculentum Miller) dan
wortel (Daucus carota L.),. Beberapa perusahan agribisnis sayuran yang
mempengaruhi perkembangan bisnis sayuran di Kabupaten Garut dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Garut
No. Nama
Perusahaan
Tahun
Berdiri
Komoditas Pasar yang di Tuju
1. PD Sukatani 1970 Kentang dan Kubis Pasar tradisional (Pasar
Cibitung, Pasar Caringin,
Pasar Tanggerang)
2. PD Sinar
Pusaka
1982 Kentang dan Kubis Pasar tradisonal dan pasar
induk Jakarta, Bogor,
Bandung, Tanggerang
3. PT Sartindo
Utama
1994 Mentimun Jepang Pasar Ekspor (Jepang)
4. PT Saung
Mirwan
1998 Lettuce, Okra,
Zukini, Nazubi,
Kyuri Edamame
Supermarket
Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.
Bisnis sayuran yang dijalankan PD Sukatani dan PD Sinar Pusaka masih
sederhana dan milik perorangan. Komoditas yang dihasilkan kedua perusahan
(12)tersebut adalah komoditas lokal yaitu kentang dan kubis. Modal dan lahan yang
digunakan untuk budidaya kentang dan kubis adalah milik pribadi, dan
pekerjanya diambil dari wilayah di sekitarnya dengan system upah harian. PT
Sartindo Utama merupakan perusahaan yang sudah cukup maju dan dikelola
dengan sistem yang modern. Ada pembagian kerja yang cukup jelas untuk
karyawannya. Berbeda dengan PD Sukatani dan PD Sinar Pusaka, PT Sartindo
Utama melakukan kerjasama dengan petani sekitar dalam memperoleh
komoditas selain dari hasil perusahaan sendiri. Petani mitra perusahaan ini
adalah para karyawan perusahaan dan pengawas kebun yang memiliki lahan
dan bersedia untuk membudidayakan timun Jepang. Tetapi PT Sartindo Utama
saat ini tidak mampu bertahan sehingga petani yang dulu bermitra kini bermitra
dengan perusahaan lain, karena saat penelitian dilakukan perusahaan ini tidak
lagi beroperasi.
Keanekaragaman komoditas sayuran di Kabupaten Garut bertambah
setelah PT Saung Mirwan masuk ke Kabupaten Garut. PT Saung Mirwan mulai
mengadakan kemitraan dengan petani pada tahun 1998, tetapi kemitraan ini
sempat terhenti selama satu tahun yaitu tahun 1999. Pada tahun 2000 PT Saung
Miwan kembali melanjutkan kemitraannya sampai sekarang. Melalui PT Saung
Mirwan petani yang menjadi mitranya belajar menanam tanaman yang baru dan
mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Tanaman -tanaman jenis baru ini sangat
diminati petani di Kabupaten Garut, karena ada kepastian pasar dan harganya
relatif lebih tinggi. Meskipun tanaman kentang tetap menempati urutan pertama
dari daftar sayuran yang diproduksi Kabupaten Garut tetapi jumlah produksi
mengalami penurunan sebesar 76.6 persen.
Proses Pengambilan Keputusan Petani Sayuran
Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang harus dilakukan
secara tepat oleh petani sayuran dalam memasarkan hasil pertaniannya, apakah
akan membawa keuntungan atau kerugian. Oleh karena itu, dalam proses
pengambilan keputusan petani harus dapat berfikir secara cepat dan tepat antara
lain dalam menentukan komoditas yang akan ditanam, penggunaan pestisida,
dan tujuan memasarkan hasil pertaniannya. Rakhmat (2001), mengemukakan
bahwa salah satu fungsi berfikir ialah menetapkan keputusan. Setiap keputusan
yang diambil akan disusul oleh keputusan -keputusan lainnya yang berkaitan.
(13)Keputusan yang diambil seseorang beraneka ragam. dan umumnya memiliki
ciri-ciri : (1) Keputusan merupakan hasil berfikir, hasil usaha intelektual, (2)
Keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif, (3) Keputusan selalu
melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau
dilupakan.
Pada proses pengambilan keputusan bagi kebanyakan petani kecil yang
sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia menurut Soekartawi (1988),
adalah bagaimana petani dapat meningkatkan pendapatannya. Petani sering
dihadapkan pada berbagai aspek yang mempengaruhi, antara lain: (1) harga,
kondisi infrastruktur, teknologi, tersedianya masukan produksi, dan
kebijaksanaan pajak; (2) tersedianya fasilitas petugas pendampingan pertanian,
pemasaran, dan sebagainya. Kedua aspek tersebut mempengaruhi perubahan
atau penetapan dalam proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh petani.
Petani akan berupaya meningkatkan usahanya karena merasa didukung oleh
situasi yang menguntungkan dan sebaliknya akan menghindar dari suatu resiko
bila situasinya tidak menguntungkan.
Interaksi antara petani dengan perusahaan mitra dalam konteks pola
kemitraan melibatkan proses mental dan tindakan petani, yaitu (1) proses
pengambilan keputusan dalam setiap kegiatan, (2) aktivitas fisik atau tindakan
petani dalam proses produksi yang diarahkan oleh aturan yang telah ditetapkan
oleh perusahaan mitra, dan (3) pengalaman baru petani sebagai hasil interaksi
tersebut. Semua proses yang berlangsung dalam d iri petani baik mental maupun
tindakan tercakup da lam konsep perilaku petani. Bagian berikut ini akan
dikemukakan tinjauan literature yang dikelompokkan dalam subbab-subbab
mengenai perilaku petani dan tinjauan literatur mengenai proses belajar serta
keterlibatan petani dalam program kemitraan.
Petani dan Permasalahannya
Petani adalah golongan masyarakat yang mencari nafkah dan
menentukan cara hidup dengan cara mengolah tanah. Bertani adalah suatu
mata pencaharian dan suatu cara kehidupan, bukan suatu kegiatan usaha untuk
mencari keuntungan. Sebaliknya petani-petani yang mengerjakan pertanian
untuk penanaman modal kembali dan usaha, melihat tanahnya sebagai modal
dan komoditas, bukanlah petani akan tetapi pengusaha pertanian (Redfield,
1982). Petani selain sebagai individu yang tujuan produksinya terutama untuk
(14)memenuhi kebutuhan -kebutuhan konsumsi keluarga, petani juga merupakan
bagian dari suatu masyarakat yang lebih luas dalam hal ini termasuk golongan
elit bukan-petani dan negara (Scott, 1983)
Aturan-aturan sosial dan lembaga-lembaga kapitalisme modern menurut
Scott menyebabkan munculnya perhitungan untung rugi, dan ekonomi uang
menyebabkan orang-orang menjadi individualistis sehingga golongan elit petani
dan bukan petani serta lembaga-lembaga desa kurang memperhatikan
kesejahteraan petani. Hal ini berbeda pada masa pra-kapitalis dimana elit petani
dan bukan petani serta lembaga -lembaga desa yang lebih bermoral dalam
membantu petani lain.
Berdasarkan dua definisi petani yang dikemukakan oleh Scott dan
Redfield maka petani adalah seseorang yang melakukan kegiatan bercocok
tanam (pertanian) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta menjadikan
kegiatan tersebut sebagai cara hidup. Sejalan dengan itu Wolf (1983)
mendefinisikan petani sebagai orang yang mengelola usaha tani untuk
kepentingan keluarganya dan bukan mencari keuntungan dalam arti ekonomi.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa petani menghadapi dua jenis
lingkungan dalam kehidupannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan
fisik dan lingkungan sosial. Seperti yang dikemukakan Wolf (1983) bahwa petani
harus menghadapi tekanan ekotipe petani, tekanan dari sistem sosial kaum tani
dan tekanan dari masyarakat di luar komunitasnya. Selain itu, masalah abadi
petani adalah mencari keseimbangan antara tuntutan-tuntutan dari dunia luar
dengan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya.
“Peasants” adalah petani yang memiliki lahan yang sempit dengan
memanfaatkan sebagian terbesar dari hasil produksi pertaniannya untuk
kepentingan mereka sendiri sedangkan “farmers” menjual bagian terbanyak dari
hasil pertanian mereka. Dari data luas lahan yang dimiliki petani di Indonesia,
petani Indonesia dapat digolongkan sebagai “peasants” atau “subsistence
farmers” dan bukan “farmers” seperti petani di Amerika dan Eropa Barat
(Soetrisno, 1999). Akan tetapi, kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi komunitas
petani yang terisolasi maka perilaku petani Indonesia akan sangat beragam.
Perilaku individu petani dalam mengelola lahan yang beragam dapat
menjadi pendukung maupun penghambat penerapan teknologi dalam pola
kemitraan. Konsep pola kemitraan, beberapa landasan teknisnya mengadopsi
(15)teknik pertanian modern, memiliki tantangan dalam penerapannya baik pada
petani subsisten maupun petani komersial.
Hubungan Sosial Petani, Keluarganya, dan Komunitasnya
Bahasan ini merujuk pada tulisan Wolf (1983), tentang aspek sosial
petani. Keluarga petani ada yang merupakan keluarga inti dan keluarga luas.
Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak mereka,
sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang merupakan gabungan dari
beberapa keluarga inti.
Pada keluarga petani bentuk keluarga yang dianut adalah keluarga luas
dan kelompok-kelompok yang lebih luas dari keluarga inti. Hal ini be rkaitan
dengan penyediaan tenaga kerja untuk bercocok tanam. Pekerjaan bercocok
tanam memungkinkan jumlah pekerja yang cukup banyak. Kalau kebutuhan
tenaga kerja tersebut tidak terpenuhi maka akan didatangkan dari luar keluarga
yang akan ikut menetap (p ekerja permanen) atau pekerjaan tersebut akan
dikerjakan oleh pekerja musiman (pekerja tidak tetap) atau dengan pola gotong
royong antar rumah tangga.
Semua kebutuhan pekerja permanen akan dipenuhi oleh petani pemilik.
Petani pemilik merupakan petani yang menguasai sumberdaya alam, tanah.
Dalam sistem ini sudah ada pembagian kerja yang jelas. Keluarga luas
berfungsi sebagai suatu organisasi untuk memusatkan sumberdaya alam dan
tenaga kerja. Keluarga luas juga berfungsi untuk mempertahankan keutuhan
tanah dan untuk menambah modal anggota keluarga. Agar modal terus
bertambah diperoleh dengan cara sebagian anggota keluarga bekerja di luar
sektor pertanian dan bertindak sebagai migran musiman. Keluarga luas juga
berfungsi sebagai jaminan keamanan sosial yang fleksibel dibandingkan dengan
keluarga inti. Karena pada keluarga inti daya hidupnya hanya tergantung pada
kemampuan satu orang saja sedangkan pada keluarga luas daya hidupnya di
tanggung oleh banyak individu.
Keluarga petani merupakan keluarga yang mempunyai kemampuan tinggi
untuk mengumpulkan sumberdaya. Pola sosialisasi yang dianut adalah
membuat anggota-anggotanya untuk tetap tergantung pada kelompoknya. Hal
ini dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaannya. Keluarga luas merupakan
keluarga yang mempunyai tanah yang luas jika dibandingkan dengan keluarga
(16)inti. Pada keluarga luas tanah tidak dibagi-bagikan kepada anggota keluarga
sedangkan pada keluarga inti tanah akan habis dibagi-bagikan kepada
anggotanya. Keluarga luas mempunyai lebih banyak proses produksi bersama
antar anggota keluarga di tanah yang mereka miliki bersama, dan akan
menghasilkan produksi yang beraneka ragam. Keluarga inti tidak memiliki tanah
yang cukup luas untuk kegiatan bercocok tanam, untuk memenuhi kebutuhan
pangannya mereka menjual tenaga kerja yang mereka miliki (sebagai tenaga
upahan).
Adanya industrialisasi di pedesaan menyebabkan pembagian kerja
menjadi meningkat. Dengan adanya industrialisasi tenaga kerja yang tidak
mendapatkan pekerjaan di bidang pertanian akan berpindah ke sektor industri.
Fenomena ini menyebabkan kenaikan areal lahan pertanian dan jumlah modal
perkapita di pedesaan. Modal yang ada digunakan untuk memperbaiki teknik
pertanian modern yang menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin.
Apabila keluarga petani mendapatkan tekanan permasalahan akan
diselesaikan dengan cara membagi-bagikan sumberdaya keluarga yang mereka
miliki. Sistem saling berbagi di antara keluarga petani menghasilkan pola
tanam dengan menanam tanaman berumur pendek. Pada petani yang telah
menggunakan teknik-teknik baru (modern) dalam menghadapi permasalahan
dengan cara membiarkan masalah -masalah itu memilih sendiri sasarannya.
Orang yang berhasil dengan pertaniannya akan semakin berhasil sedangkan
yang tersisih akan semakin tersisih.
Untuk menjamin kelangsungan hid upnya dan untuk mengatasi berbagai
masalah petani biasanya hidup saling membantu dengan orang-orang di
sekitarnya. Upaya saling membantu ini muncul atas dasar pertimbangan praktis
yaitu suatu bentuk asuransi terhadap kesulitan yang akan dihadapi pada satu
waktu.
Selain petani bekerjasama dengan petani lain, petani juga bekerja sama
dengan pemerintah atau pedagang. Bentuk kerja sama ini berupa kelompok,
organisasi atau koalisi-koalisi petani. Koalisi petani adalah suatu kombinasi atau
persekutuan terutama yang bersifat sementara antara orang, golongan , negara,
terutama apabila menghadapi masalah atau tekanan dari atas-orang yang
mempunyai kekuasaan ekonomi, politik atau militer. Misalnya minta bantuan
untuk memasarkan produknya, menghadapi pejabat-pejabat pemerintah, dll.
(17)Perkumpulan dibentuk antara orang-orang yang mempunyai kepentingan
yang sama. Hubungan yang dibentuk atas kepentingan yang beranekaragam
akan memberikan rasa aman dalam banyak konteks yang berlainan. Tetapi
ketika ada kepentingan ya ng satu berusaha untuk mengalahkan kepentingan
yang lain maka akan terjadi konflik. Bentuk kelompok ini akan bertahan lama
apabila kepentingan -kepentingan tersebut dapat diikat menjadi satu. Kelompok
yang terdiri dari satu kepentingan akan lebih supel ka rena kelompok tersebut
dapat digerakkan dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan yang
sama.
Bentuk hubungan yang lebih umum adalah hubungan patron-klien di
mana kelompok yang berkuasa akan mendominasi hubungan ini. Segala
kekuasaan akan terpusat pada pihak penguasa. Orang yang mempunyai
kekuasaan akan bertindak sebagai patron sedangkan klien adalah orang yang
dikuasai. Patron merupakan orang yang menguasai sumberdaya dalam proses
produksi.
Di dalam kegiatannya petani akan lebih mengutamakan
kepentingan-kepentingan jangka pendek yang lebih sempit daripada kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan
jangka panjang yang lebih besar. Kaum tani mempunyai kekuatan yang
potensial untuk digerakkan dan untuk melakukan aksi bersama akan tetapi tidak
mempunyai kemampuan untuk tetap mengorganisasi. Tipe koalisi petani sangat
mudah disesuaikan dengan perubahan -perubahan ekonomi dan sosial kearah
suatu tatanan neo teknik. Jadi apabila kita menginginkan petani untuk
mengubah cara berproduksi maka harus mengubah koalisi yang diikuti oleh para
petani. Karena petani akan mengikuti apa yang diajurkan apabila petani lain juga
mengikutinya.
Keterlibatan petani dalam pola kemitraan merupakan upaya petani
mengatasi masalah produksi dan pemasaran hasil dengan bekerja sama dengan
pihak lain yang dinilainya mempunyai sumberdaya yang lebih baik.
Perilaku Petani
Perilaku yang dimaksud di sini adalah tindakan petani dalam usaha
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Petani melakukan adaptasi ekologis
(pemanfaatan lahannya), serta adaptasi sosial melalui pembentukan ikatan.
Pilihan perilaku atau tindakan petani sangat dipengaruhi oleh
(18)pertimbangan-pertimbangan yang berasal dari status petani sebagai makhuk sosial dan petani
sebagai individu
Beberapa ahli, yaitu Scott (1983) dan Redfield (1983) memandang
perilaku petani yang sesuai dengan aturan sosial yang ada sebagai perilaku
moral. Ahli lain, yaitu Popkin (1986) dan Harjono (1987) memandang perilaku
petani yang komersiil mempertimbangkan secara rasional faktor-faktor yang
dapat menin gkatkan usahataninya sebagai perilaku rasional. Kedua kategori
perilaku tersebut bukan dimaksudkan untuk secara ekstrim membedakan antara
moral dan rasional, misalnya muncul pertanyaan apakah petani rasional itu tidak
bermoral atau petani moral itu tidak rasional, bukan demikian. Konsep perilaku
moral dan perilaku rasional muncul dari cara pandang yang berbeda tentang
perilaku petani, dimana yang satu melihat dari sisi moral petani, dan yang lain
melihat dari sisi rasionalitas petani.
Konsep rasionalitas dikemukakan Weber (Johnson, 1988) untuk
menganalisis secara obyektif mengenai makna subyektif tindakan individu, dan
juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang
berbeda. Weber menggolongkan rasionalitas tindakan individu sebagai: (1)
rasionalitas instrumental, (2) rasionalitas yang berorientasi nilai, (3) tindakan
tradisional dan (4) tindakan afektif. Berikut akan dikemukakan pilihan perilaku
petani /individu menurut beberapa ahli di atas.
Subsisten.
Karena usaha tani bukanlah usaha komersil melainkan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup saja, maka petani tidak mengejar keuntungan
maksimal dari kerjanya. Subsistensi petani terlihat pada kecenderungannya
untuk lebih memilih tanaman pokok daripada tanaman pe rdagangan. Adaptasi
petani dengan lingkungan fisiknya tidak bersifat eksploitatif. Pernyataan Robert L
Neiro yang dikutip Wolf (1983) menyatakan bahwa seorang petani mungkin akan
menghentikan usaha-usaha produktifnya di ladang ketika kebutuhan minimum
kalorinya serta dana penggantiannya sudah terjamin. Petani tidak memiliki
alasan-alasan teknis ataupun sosial untuk menambah jam kerja melebihi
anggaran kerja harian mereka. Usaha produksi untuk memenuhi tingkat
minimum kalori dan untuk tingkat dana penggantian akan tergantung pada
rangsangan-rangsangan dan tuntutan-tuntutan sosial. Artinya standar
terpenuhinya kebutuhan petani mendapat pengaruh dari lingkungan sosialnya.
Bila individu -individu lain di lingkungan sosialnya berkembang kebutuhannya,
(19)maka standar kebutuhan petani juga akan meningkat.
Kegiatan usahatani subsisten berimplikasi bahwa petani juga
menerapkan sistem “pemberaaan” pada tanah (tanah dibiarkan tidak ditanami
selama beberapa waktu) karena tidak dikejar oleh produksi besar-besaran dari
tanah. Kegiatan usahatani subsisten juga menerapkan diversifikasi pertanian
yaitu petani berupaya mengurangi dan meratakan resiko kegagalan panen
melalui penanaman beberapa jenis tanaman. Kedua metode ini yaitu
pemberaan dan diversifikasi tanaman berguna untuk menjaga kesuburan dan
kelestarian tanah. Perilaku subsisten ini tidak berarti menolak semua inovasi.
Inovasi yang ditolak oleh petani subsisten adalah yang mempunyai resiko tinggi.
Menolak Inovasi. Penolakan inovasi dilakukan karena kondisi krisis
subsistensi yang dihadapinya. Petani tidak berani mengambil resiko untuk
mencoba suatu inovasi karena akan mengancam kelanjutan hidup diri dan
keluarganya. Petani lebih memilih teknik pertanian yang selama ini mereka
lakukan dan dapat menjamin subsistensi mereka dari pada mencoba hal baru
yang belum dapat dipastikan hasilnya.
Terikat Tradisi. Penolakan inovasi juga terkait dengan keterikatan petani
pada tradisi yang selama ini mereka pegang. Keterikatan pada tradisi juga
mencirikan adanya ketergantungan petani pada komunitasnya. Terdapat
kecenderungan bahwa perilaku petani banyak ditentukan oleh kesepakatan
komunitas atau masyarakat di sekitar petani tersebut. Hal ini berarti juga
penetapan jenis tanaman dapat dilakukan dengan kesepakatan dalam komunitas
walaupun tidak secara eksplisit ditetapkan dalam komunitas namun ada
dorongan bagi petani untuk seragam dengan petani lainnya dalam komunitas
tersebut.
Petani berusaha menjaga hubungan baik dengan tetap berpegang pada
nilai tradisional untuk menjamin kebutuhan hidupnya (Wolf, 1983). Menurut Scott
(1983), petani memilih untuk menciptakan lembaga -lembaga yang dalam
keadaan normal menjamin orang-orang paling lemah agar terhindar dari
kehancuran ketika menghadapi masalah. Petani lebih memilih untuk
mempertahankan ketergantungan pada patron untuk menjamin subsistensi.
Artinya kegiatan usaha tani juga dipengaruhi oleh patron tempat petani
bergantung.
(20)Dari tiga jenis pilihan perilaku tersebut diatas, apabila seseorang
bertindak subsisten, dan menolak inovasi, karena terikat tradisi maka Weber
menggolongkannya menjadi tindakan yang tradisional. Tindakan tradisional
merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat non rasional. Kalau seorang
individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar
atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional.
Pembenaran atas tindakan ini hanya karena merupakan kebiasaan. Apabila
kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini maka
kebia saan dan institusi mereka didukung oleh kebiasaan dan tradisi yang sudah
lama mapan sebagai kerangka acuan, yang diterima begitu saja tanpa
persoalan. Weber mengatakan bahwa tipe tindakan ini akan menghilang karena
meningkatnya rasionalitas instrumental.
Rasional (Komersial). Selalu ada perilaku ekonomi yang rasional dari
masyarakat, yang berarti tidak menolak pasar sebagai model alokasi sumber
ekonomi (Ismail, 1994 ). Artinya petani juga akan selalu bertindak rasional dalam
mengelola usaha taninya.
Pemikiran Scott (1983) dan Popkins (1986) tidak berbeda yaitu bahwa
petani berpikir rasional. Karena walaupun Scott (1983) berpendapat bahwa
petani gurem yang sering tidak dapat mengusahakan maksimalisasi dalam
usahataninya, tidak menambah resikopun adalah pemikiran rasional.
Konservatisme petani menurut persepsi Scott artinya juga rasional. Pemikiran
rasional petani adalah menghindari biaya beban yang lebih besar daripada yang
dipikulnya. Menurut Scott petani termiskin merasa dirinya aman selama masih
hidup dalam naungan desa dan komunitasnya yang akan membantunya pada
saat terkena musibah. Bagi petani sistem sosial dengan gotong-royong, gugur
gunung dan kelembagaan tradisional lainnya dirasakan tidak akan menambah
beban resiko yang harus ditanggungnya. Hal yang paling dikhawatirkan petani
adalah apabila keseimbangan yang menjamin ketenangan hidup walaupun
dalam keadaan miskin dikacaukan, karena perubahan keseimbangan mungkin
sekali akan memperbesar resiko hidupnya. Inilah yang menyebabkan petani
miskin kerap curiga terhadap pembaharuan, termasuk teknologi. Cenderung
bersifat konservatif dan berhati-hati, menunggu bukti yang meyakinkan dahulu,
baru bila perubahan itu ternyata menguntungkan akan diikuti petani. Pembuktian
seperti ini makan waktu dan meminta kesabaran. (Wiradi , 2000)
(21)Menginggat sikap petani yang demikian kita yang menginginkan
perbaikan nasib hidupnya harus mengerti dahulu bahwa sikap kehati-hatian
petani diakibatkan oleh ketidakpastian tentang resiko. Setiap usaha atau
pendekatan kepada petani miskin yang akan meningkatkan resiko pada akhirnya
akan mencapai titik yang akan membuat petani miskin memberontak.
Popkin (1986) berpendapat bahwa kaum ekonomi moral (seperti Scott,
1983; Wolf, 1983; Redfeild, 1983) terlalu lunak dalam memandang desa dan
ikatan patron -klien, dan terlalu keras pada potensi pasar, tidak melihat dimana
pasar-pasar dapat menguntungkan petani, dan tidak melihat faktor struktural
yang menentukan impak pasar (teknologi) terhadap petani.
Perilaku rasional individu adalah bagaimana orang-orang berbuat dalam
situasi-situasi yang memberikan alternatif-alternatif tertentu, dan bahwa mereka
mengejar tujuan-tujuan mereka secara rasional. Popkin (1986) kemudian
menyebutkan bahwa rasionalitas yang dimaksudkan adalah bahwa
individu-individu menilai hasil-hasil yang mungkin diperoleh yang berkaitan dengan
pilihan-pilihan mereka yang sesuai dengan kesukaan-kesukaan dan nilai-nilai
mereka. Evaluasi dilakukan menurut estimasi subyektif mereka. Kemudian
melakukan pilihan yang mereka yakini akan dapat memaksimumkan kegunaan
(utility) yang diharapkan.
Menurut Todaro (1980) rasionalitas adalah perlunya dilakukan subtitusi
metode -metode modern dalam bidang pemikiran, pelaksanaan kegiatan -kegiatan
produksi, distribusi, dan persiapan konsumsi di hari tua serta segenap praktek
tradisional lainnya. Menurut perdana menteri India Jawaharlal Nehru (Todaro,
1980) yang diperlukan oleh negara-negara berkembang adalah suatu
masyarakat yang gandrung akan teknologi dan ilmu pengetahuan. Yang
diperlukan bukan hanya teknik-teknik baru di bidang pertanian, pendirian
pabrik-pabrik maupun penyediaan sarana transportasi, melainkan juga berpikir
masyarakat modern. Teknik modern itu bukan hanya menyangkut soal
memperoleh ala t dan menggunakannya, melainkan juga sangat berkaitan
dengan proses-proses pemikiran modern yang melahirkannya. Seseorang tidak
akan menguasai peralatan modern dengan pemikiran kuno. Bila demikian
halnya maka negara -negara berkembang tidak akan berhasil menggapai
kemajuan yang berarti. Rasionalitas itu menghendaki adanya
pemikiran-pemikiran yang logis dalam perumusan berbagai macam strategi dan kebijakan
(22)ekonomi dan aneka rupa kesimpulan yang masuk akal serta yang berakar
sedalam mungkin pada ilmu pengetahuan dan fakta -fakta yang relevan.
Weber (Johnson, 1988) mengemukakan tentang tindakan rasional, yang
terbagi menjadi rasionalitas instrumental dan rasionalitas yang berorientasi nilai.
Rasionalitas instrumental adalah tingkat rasionalitas yang paling tinggi yang
meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar dan berhubungan dengan tujuan
tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya yang mencerminkan
pertimbangan individu atas efisiensi dan efektifitasnya. Dalam melakukan
tindakan ini individu mengumpulkan informasi, mencatat
kemungkinan-kemungkinan serta hambatan -hambatan, dan mencoba meramalkan
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu.
Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi
nilai. Tujuan-tujuan sudah ada dalam individu sehubungan dengan nilai-nilai
akhir yang ingin dicapai. Alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan
perhitungan yang sadar. Misalnya orang yang punya pengalaman merasa damai
karena kehadiran Tuhan bersamanya memilih alat seperti meditasi, berdoa,
menghadiri upacara di gereja untuk memperoleh pengalaman religius itu.
Apakah pengalaman itu dapat dicapai secara efektif, tidak dapat dibuktikan
secara obyektif.
Terbuka pada Inovasi. Kenyataan bahwa tidak ada masyarakat petani
yang terisolasi menyebabkan petani tidaklah merupakan komunitas yang berdiri
sendiri dan secara murni berperilaku yang terlalu bergantung pada tradisi.
Menurut L. Reynold seperti yang dikutip Ismail (199 4) petani bereaksi secara
positif terhadap peluang-peluang yang dapat meningkatkan pendapatan.
Perekonomian negara berkembang jauh dari perekonomian subsisten murni.
Rasio antara produksi dan konsumsi rumah tangga tidak pernah sama dengan
100%. Bisnis lokal tetap penting melalui perdagangan antar individu dan
keluarga. Masyarakat miskin dan buta aksara dapat melakukan perhitungan yang
tidak keliru mengenai keuntungan ekonomi. Mereka sangat tanggap terhadap
inovasi. Selain itu, terdapat bukti bahwa petani mengalami perubahan, yaitu
berani menghadapi resiko, dari petani subsisten menjadi petani komersial
dengan mutu bervariasi (Jarmie, 1994).
Keterbukaan pada inovasi ini sesuai
dengan pernyataan Popkin (1986) bahwa apabila petani sudah merasa
kondisinya aman artinya tidak terancam tingkat subsistensinya maka petani akan
(23)berani bertaruh untuk melakukan investasi demi meningkatkan kondisi
kehidupannya bukan hanya untuk mempertahankan hidup.
Pilihan Perilaku Sebagai Suatu Konsep Kontinum.
Pilihan
perilaku/tindakan petani bergerak antara subsisten dan komersial, atau antara
menolak inovasi dan terbuka terhadap inovasi. Petani melakukan
pertimbangan-pertimbangan tertentu agar dapat mempertahankan pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Pertimbangan tersebut adalah tingkat keuntungan yang akan diterima
dan norma atau nilai yang berlaku. Petani akan berusaha bertahan dengan
aturan lama sejauh aturan tersebut masih lebih menguntungkan (Harjono, 1999).
Harjono menunjukkan perubahan yang terlihat secara implisit adalah perubahan
tata nilai petani menjadi individualis. Sifat individualis yang tampak pada
keikutsertaan dalam usaha perbaikan fasilitas umum apabila fasilitas tersebut
dapat memberikan manfaat secara langsung terhadap dirinya. Sifat individualitas
juga terlihat pada diutamakannya ikatan kekerabatan dalam pengelolaan usaha
tani. Pemilik merasa tidak perlu memberi kerja pada orang lain melalui bagi hasil.
Perubahan lainnya adalah petani menjadi lebih komersial melalui diterimanya
sistem sewa pada pola hubungan pengelolaan lahan.
Strategi adaptasi yang dilakukan (perubahan yang terjadi): Intensifikasi
dan diversifikasi usaha pertanian (perubahan dalam strategi pemanfaatan lahan),
peralihan sistem bagi hasil menuju sistem sewa (perubahan dalam kontrol
terhadap lahan), peralihan ke sektor non pertanian, individualistik (perubahan
hubungan kerja).
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Petani
Petani memiliki dua strategi berlawanan untuk mengatasi dilema antara
kepentingan pribadi dan kepentingan sosial yaitu dengan memperbesar produksi
atau mengurangi konsumsi. Pemilihan strategi akan tergantung pada tatanan
sosial dan konteks tertentu. Setiap saat selalu akan ada sejumlah orang yang
akan mengambil resiko dikucilkan oleh masyarakatnya dengan tidak menaati
norma dan tradisi, sementara orang-orang lain akan memilih aman dengan sikap
mentaati norma-norma yang dianggap benar. Kenyataan variasi pemilihan
strategi tersebut sekaligus menyanggah bahwa kehidupan petani bersifat statis
(Wolf, 1983).
(24)Dalam kaitannya dengan adopsi inovasi, Rogers (1995) mengemukakan
lima faktor yang mempengaruhi laju adopsi suatu sistem sosial yaitu: (1) ciri-ciri
inovasi, (2) tipe keputusan inovasi, (3) ciri sistem sosial, (4) sifat saluran
komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan inovasi dalam proses keputusan
inovasi, (5) gencarnya usaha agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi.
Penelitan Eko Setyanto (1993) menunjukkan bahwa pelaksanaan
program Supra Insus di desa dapat dikatakan kurang dapat berjalan seperti yang
diharapkan (gagal). Program Supra Insus yang tidak dilaksanakan oleh petani
adalah pemakaian ZPT (Zat Perangsang Tumbuh) pola tanam, dan pergiliran
varietas. Pada umumnya petani tidak menggunakan ZPT dikarenakan
membutuhkan biaya yang mahal. Disamping itu petani kurang merasakan
secara langsung manfaat dari ZPT tersebut. Sedang tidak berjalannya pergiliran
varietas dan pola tanam disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar kelompok
tani itu sendiri. Di samping itu tidak dapat berhasilnya secara maksimum
pelaksanaan program Supra Insus, dapat pula disebabkan oleh faktor
penyuluhan yang kurang intensif. Tidak dilaksanakannya pola tanam di desa
berkaitan dengan beberapa faktor terutama adalah kebiasaan petani yang sudah
turun temurun. Petani tidak mau menanggung resiko kegagalan disebabkan
menanam tanaman baru yang sulit untuk dipasarkan natinya sedangkan petani
memerlukan uang yang cepat.
Sebaliknya penelitian Yudisiani (1999) menunjukkan bahwa kegiatan
SLPHT berhasil karena : (1) materi SLPHT lebih menekankan pada aspek
kognitif. Materi ajaran merupakan materi yang sudah tidak asing lagi bagi petani.
Kurikulum belajar disesuaikan dengn kebutuhan petani. Petani bisa
mengaktualisasikan diri berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. (2) lokasi
belajar di tempat petani bekerja sehingga tidak menganggu pekerjaan mereka
Penelitian Yufrizal (1999) menunjukkan bahwa proyek penerapan SAPTA
Usaha Perikanan dikatakan berhasil ditandai dengan profil perilaku petani yang
menerapkan teknologi baru dan meninggalkan teknologi lama, teknologi baru
tersebut dalam penerapannya tidak memerlukan biaya yang mahal dan cara
penggunaannya mudah.
Tindakan sosial dibentuk bersama oleh sejumlah kekuatan (dorongan)
sosial dan membentuk (proses) interaksi sosial. Sejumlah kekuatan sosial
mencakup: (1) tindakan diatur melalui harapan yang didefinisikan secara sosial
(25)(budaya); (2) tindakan ditentukan oleh karakteristik setiap orang yang
berinteraksi; (3) tarakteristik tersebut merupakan bagian posisi yang mereka
tempati dalam struktur sosial; (4) hubungan interpersonal, jaringan sosial juga
membentuk tindakan sosial; dan (5) interaksi mengambil tempat dalam konteks
struktur sosial yang lebih luas, integrasi fungsional (Soekanto, 1990).
Terdapat perbedaan pandangan Scott (1983) dan Popkin (1986) dalam
menilai individualitas petani. Menurut Popkin (1986), petani itu terutama
memperhatikan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarga mereka. Minat
pribadi petani akan atau tidak akan berkontribusi pada tingkat kolektif tergantung
pada keuntungan pribadi yang akan diperoleh bukan pertimbangan keuntungan
kolektif. Sementara Scott (1983) melihat kekuatan sosial yang mempengaruhi
perilaku petani.
Perbedaan perilaku petani baik secara moral maupun rasional
dipengaruhi oleh perbedaan dalam tingkat subsistensi petani, perbedaan struktur
komunitas petani serta perbedaan tingkat pengaruh kolonialisasi. Faktor lainnya
adalah bahwa petani mendapat pengaruh juga dari luar komunitas, di mana
petani menjaga integritas tradisinya dengan membuat kompromi-kompromi
(Redfield, 1983).
Oleh karena itu berikut adalah beberapa faktor yang akan mempengaruhi
perilaku petani yang kemudian akan dikaitkan dengan pengambilan keputusan
dalam pola kemitraan.
Karakteristik Petani
Petani memiliki karekteristik yang beragam. Karakteristik tersebut dapat
berupa karakter demografis petani, karakter sosial petani serta karakteristik
kondisi ekonomi petani itu sendiri. Di mana karaktersitik tersebutlah yang
membedakan tiap perilaku petani pada situasi tertentu.
Tingkat Subsistensi. Menurut Redfield (1983), tidak semua petani
merasakan hal yang sama terhadap pekerjaannya, tergantung pada: kepemilikan
tanah, kondisi ekonomi, kondisi ekologi (histories and ecological-economies).
Petani juga mengalami tekanan-tekanan kebutuhan yang berbeda-beda,
sehingga secara kritis perlu mencermati ciri-ciri khas petani dan nilai-nilai yang
dianutnya spesifik menurut waktu dan lokasi (Wolf, 1983).
(26)Scott (1983) juga menyebutkan bahwa pola pengambilan keputusan
petani tergantung pada kondisi subsistensi petani, di mana petani diasumsikan
berada dalam kondisi yang rawan terhadap krisis subsistensi. Sehingga sedikit
saja kegagalan akan sangat membahayakan kelangsungan hidup petani, p etani
akan memilih menolak resiko dengan prinsip dahulukan selamat, dan melakukan
strategi pembentukan pengaturan bersama dalam bentuk desa serta
kecenderungan untuk mempertahankan ikatan patron-klien.
Wahono (1994) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar
merupakan hal penting yang diperjuangan oleh petani miskin dibandingkan
kebutuhan sosialnya. Petani miskin cenderung tidak mengalokasikan
anggarannya terlalu banyak pada kebutuhan sosial. Upaya -upaya menjalin
hubungan dengan petani lain, elit desa, atau pedagang, dan kegiatan sosial
lainnya lebih banyak didasarkan pada alasan ekonomi yaitu selalu dikaitkan
dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Umur Petan i. Karakteristik lain yang mungkin mempengaruhi adalah
umur petani. Sebagian besar petani Indonesia (76,2%) berusia sekitar 25 sampai
54 tahun, dan sebagian kecil (21,46%) berusia di atas 55 tahun (P3PK, 1998
dalam Soetrisno, 1999). Umur rata-rata petani Indonesia yang cenderung tua
dan hal itu sangat berpengaruh pada produktivitasnya. Lagi pula petani yang
berusia tua biasanya cenderung sangat konservatif dalam menerima inovasi
teknologi.
Modal Dan Tingkat Pendidikan Petani. Petani Indonesia pada
umumnya adalah petani gurem dengan modal uang dan barang terbatas serta
dan kepemilikan lahan yang sempit. Dengan modal terbatas dan tingkat
pendidikan yang masih rendah, berhadapan dengan lingkungan tropika yang
penuh risiko seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan dan
sebagainya, membuat para petani harus lebih berhati-hati dalam menerima
inovasi atau upaya-upaya pembaharuan. Karena apabila mereka gagal
memanfaatkan inovasi berarti seluruh keluarga mereka akan menderita.
Di Indonesia belum ada perlindungan atau asuransi yang dapat
melindungi kegagalan para petani. Hal-hal tersebut akan menempatkan para
petani Indonesia dalam kondisi yang dilematis. Untuk bisa “survive” pada abad
yang akan datang para petani Indonesia harus berani mengambil resiko untuk
berinovasi, karena akan menjamin peningkatan produktivitas mereka yang akan
(27)mempengaruhi tingkat “survival” mereka dalam bersaing dengan petani-petani
dari negara lain.
Posisi Petani dalam Sistem Pelapisan Masyarakatnya . Perbedaan
status petani sebagai karakteriatik sosial ternyata mempengaruhi perilaku petani.
Petani lapisan atas dengan karakter khususnya telah memelopori penggunaan
teknologi modern. Karakter khusus tersebut antara lain kemampuan tenggang
rasa, dorongan keberhasilan serta semangat untuk menguasai masa depan.
Umumnya, karakter petani lapisan atas terbentuk dari peran yang dipegangnya
dalam lembaga-lembaga nasional serta hubungan langsung yang dimilikinya
dengan penyuluh pertanian (Soewardi, 1982). Selain itu, petani lapisan atas
cenderung menunjukkan kedinamisan petani yang lebih tinggi dibanding petani
lapisan bawah (Su mardjo, 1999).
Aksesibilitas Petani terhadap Fasililitas Kredit. Menurut Fembriarti
(1999), faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap penerapan intensifikasi
petani (menerapkan benih dan pupuk lebih dari 90%) adalah luas lahan garapan,
pengalaman dan pendapatan. Petani yang mendapatkan fasilitas kredit tingkat
intensifikasinya lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan fasilitas kredit.
Ciri Komunitas Petani
Pengaruh ciri komunitas petani adalah pengaruh kekuatan nilai sosial
dalam komunitas petani terhadap perilaku petani. Ada dua hal yang diduga
berpengaruh terhadap perilaku petani, yaitu: keketatan struktur komunitas petani
dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam komunitas tersebut.
James Scott (1983) mempunyai pandangan positif terhadap kekuatan
sosial dalam mengatur perilaku seseorang. Kewajiban-kewajiban serta kondisi
perbedaan stratifikasi tidak dianggap sebagai eksploitasi, sejauh masih sesuai
dengan norma. Proses historis akan sangat berpengaruh pada pembentukan
pola pikir dan sikap seseorang (petani) pada saat ini
Struktur Komunitas. Scott (1983), Popkin (1986), Hayami dan Kikuchi
(1987) mengemukakan adanya pengaruh struktur masyarakat dala m
menentukan perilaku ekonomi petani. Keketatan struktur komunitas tempat
petani itu berada sangat mempengaruhi seberapa kuat ikatan moral dan
tradisional mengarahkan perilaku petani tersebut. Ikatan dalam struktur yang
kuat tersebut memungkinkan diterapka nnya sanksi bagi tiap pelanggaran selain
(28)memperkuat kontrol sosial bagi pelaksanaan aturan adat. Kekuatan sosial dari
etika subsistensi pada umumnya paling kuat di daerah-daerah di mana
bentuk-bentuk desa tradisional telah berkembang baik, yaitu desa otono m dan kohesif
(petani dapat mengatur sendiri urusan setempat). Kekuatan sosial dari etika
subsistensi paling lemah di daerah -daerah pemukiman baru.
Nilai-nilai Budaya. Orang dapat menarik inti dari gagasan vital dari
tingkah laku yang berpola sebagai pegangan. Di samping itu orang dapat
memperolah keyakinan dengan memahami sistem sosial yang membaku.
Nilai-nilai, gagasan vital dan keyakinan sebagai abstraksi dari sistem sosial yang
berlaku itulah yang diartikan sebagai kebudayaan yang kemudian menjadi
pedoman bagi pola tingkah laku masyarakat pendukungnya. Kebudayaan adalah
sistem nilai, gagasan dan keyakinan yang mendominasi cara pendukungnya
melihat, memahami dan memilah -milah gejala yang dilihatnya dan
merencanakan serta menentukan sikap dan perbuatan selanjutnya (Soerjani,
1987). Pada dasarnya kebudayaan diciptakan menjadi pedoman bagi tingkah
laku manusia. Dan karena kebudayaan dikonstruksikan secara sosial maka tidak
terlepas dari kepentingan -kepentingan agen terlibat.
Setiap kebudayaan mempunyai sifat-sifat hakikat sebagai berikut
(Soekanto, 1990): (1) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku
manusia; (2) Kebudayaan telah ada lebih dahulu mendahului lahirnya suatu
generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bersangkutan; (3) Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam
tingkah lakunya; (4) Kebudayaan mencakup aturan -aturan yang berisikan
kewajiban, tindakan -tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang
dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan. Oleh karena itu, nilai-nilai udaya
yang ada dalam komunitas petani dapat mempengaruhi perilaku petani, karena
pada umumnya petani selalu ingin seragam dalam masyarakatnya.
Pemahaman terhadap budaya lokal petani menjadi prasarat penerapan
teknologi dalam pembangunan pertanian. Kepekaan terhadap pengetahuan dan
budaya lokal penting agar pembangunan pertanian dapat dilakukan dengan
proses yang berkelanjutan (Soetrisno 1999).
(29)Pengaruh dari Luar Komunitas Petani
Koentjaraningrat (1984) mengemukakan bahwa tidak ada desa yang
benar-benar terisolasi, komunitas desa selalu berhubungan dengan komunitas di
luar desanya, Hubungan ini berpengaruh terhadap perubahan kebudayaan, baik
nilai budaya maupun struktur sosialnya.
Redfield (1983) mengemukakan bahwa masyarakat petani bahwa
merupakan bagian fungsional dari sistem yang lebih luas. Masyarakat petani
merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagiannya mencakup
kebudayaan, tradisi dan struktur sosial yang terkait dengan kehidupan
sehari-hari. Bagian-bagian tersebut saling terkait dan mandiri.
Redfield (1983) menyebutkan bahwa terdapat tradisi besar dan tradisi
kecil. Pengertian tradisi kecil adalah berorientasi pada budaya desa, sedangkan
tradisi besar berotientasi pada budaya kota atau ”atas desa”. Kedua tradisi saling
terkait dimana yang satu mempengaruhi yang lain, hal ini terlihat dari adanya
pola perkembangan atau perubahan yang terjadi pada kedua tradisi tersebut.
Ke terkaitan dari kedua tradisi juga terlihat dari pola stratifikasi masyarakat desa
dimana terdapat perbedaan tingkat pengetahuan antara lapisan atas dan lapisan
bawah yang keduanya saling mempengaruhi dalam interaksi mereka. Hal inilah
yang memungkinkan masyarakat petani mendapat pengaruh dari kolonialisasi,
komersialisasi, dan modernisasi.
Hasil penelitian Fembriarti bahwa petani yang mengikuti penyuluhan
pertanian juga mempunyai peluang untuk menggunakan benih maupun pupuk
sesuai anjuran (Fembriarti, 2000). Penelitian ini menunjukkan pengaruh penyuluh
sebagai anggota di luar komunitas petani mempengaruhi perilaku petani.
Pola Kemitraan
Sejarah Pola Kemitraan
Pola kemitraan dalam agribisnis dalam sejarahnya berawal sejak awal
Pelita I di mana pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat/petani
dengan mengembangkan perkebunan rakyat-peninggalan pemerintah Belanda.
Pada tahun 1973 misalnya dikenal sebuah lembaga terpadu yang disebut
sebagai UPP (Unit Pelaksana Proyek) untuk mengemb angkan kebun -kebun
rakyat di beberapa lokasi seperti Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat
Sumatera Utara, Proyek Pengembangan Cengkeh di Lampung, dan Proyek