• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian Masukan Energi Luar Rendah Dan Pertanian Berkelanjutan (LEISA) Serta Prospek Penerapannya Pada Usahatani Sayuran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pertanian Masukan Energi Luar Rendah Dan Pertanian Berkelanjutan (LEISA) Serta Prospek Penerapannya Pada Usahatani Sayuran"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERTANIAN MASUKAN ENERGI LUAR RENDAH DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN - LEISA

(LOW-EXTERNAL-INPUT AND SUSTAINABLE AGRICULTURE) SERTA PROSPEK

PENERAPANNYA PADA USAHATANI SAYURAN

Witono Adiyoga, Nani Sumarni dan Udin S. Nugraha

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung-40391

Dalam usaha mempertahankan dan meningkatkan produksi sayuran, kebijakan umum pengembangan

yang ditempuh pada dasarnya masih bertumpu pada teknik budidaya konvensional yang

mengutamakan penggunaan input berenergi tinggi. Sarana produksi tersebut dihasilkan dari

sumberdaya alam yang non-renewable dan secara ekonomis maupun ekologis cenderung semakin

mahal. Intensitas dan frekuensi penggunaan pupuk buatan, hormon tumbuh, dan pestisida yang

semakin meningkat, dikhawatirkan dapat menjadi ancaman yang serius terhadap kesehatan manusia

dan lingkungan hidup. Pada beberapa kasus, intensitas penggunaan input kimiawi ini malahan dapat

dapat menghambat pencapaian sasaran produksi sayuran (counterproductive). Beberapa kondisi

berikut ini bahkan mengindikasikan bahwa sistem pertanian konvensional bukan pilihan yang tepat

untuk meningkatkan produktivitas sayuran di negara-negara berkembang, karena:

1.

Pertanian konvensional dianggap gagal dalam melaksanakan misi ketahanan pangan.

Introduksi pupuk kimia dan pestisida sintetis pada kebanyakan kasus telah meningkatkan

output per hektar dan produksi total. Namun demikian, peningkatan produksi tersebut

pertumbuhannya cenderung semakin melambat, bahkan pada beberapa kasus

mengindikasikan adanya penurunan produksi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah: (a)

penurunan kesuburan tanah, (b) kerusakan biodiversitas dan lingkungan, (c) degradasi atau

kerusakan sumberdaya air, serta (d) peningkatan populasi hama dan resistensi.

2.

Kesalahan sistem. Akar masalah pertanian konvensional berasal dari introduksi pupuk dan

pestisida kimiawi yang telah menstimulasi sistem produksi untuk berperilaku independen

terhadap proses pengaturan alami dan sumberdaya lokal, namun sangta bergantung kepada

sumberdaya yang non-renewable. Keadaan ini telah mendorong berkembangnya pertanaman

monocropping dan spesialisasi wilayah dalam sistem pangan yang mengarah pada semakin

meningkatnya masalah hama dan pengelolaan hara, sejalan dengan rusaknya siklus alami.

Untuk memecahkan masalah ini, bahkan lebih banyak pupuk dan pestisida kimiawi harus

digunakan, sehingga terbentuklah suatu vicious circle.

3.

Pengaruh jangka panjang terhadap kesuburan lahan dan erosi tanah. Penurunan kesuburan

tanah dikompensasi oleh petani dengan meningkatkan aplikasi pupuk kimiawi. Hal ini malahan

memperberat permasalahan, karena salah satu penyebab penurunan kesuburan adalah

pengelolaan bahan organik tanah yang kurang tepat. Pada saat pupuk sintetis lebih banyak

menggantikan cara alami pengelolaan hara, seperti rotasi tanaman serta daur ulang bahan

organik, maka bahan organik tanah semakin tererosi. Hilangnya bahan organik akan

menyebabkan tanah menjadi lebih rentan terhadap erosi fisik (oleh angin dan air), kapasitas

retensi air menurun dan penyerapan unsur hara terganggu.

4.

Penurunan keamanan pangan dan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia.

Penggunaan pestisida berlebih, terutama di negara-negara berkembang, sudah menjadi

ancaman serius bagi kesehatan manusia, khususnya petani dan pekerja di sektor pertanian.

Pengaruh jangka panjang kadar/kandungan rendah berbagai jenis pestisida di dalam makanan

belum dapat diketahui secara pasti, namun risiko kesehatan yang ditimbulkannya jelas tinggi.

Penggunaan pestisida berlebih juga mengarah pada tertimbunnya substansi yang tidak

dikehendaki di dalam makanan, misalnya kandungan nitrat yang lebih tinggi karena

penggunaan pupuk nitrogen atau kandungan kadmium sebagai akibat dari kontaminasi fosfat.

5.

Hilangnya biodiversitas dan menurunnya kualitas lingkungan. Introduksi sistem pertanaman

(2)

2

sebesar 75% selama abad dua puluh (Pretty, 1995). Kehilangan habitat merupakan ancaman

utama terhadap biodiversitas dan kegiatan pertanian berpengaruh terhadap 70% spesies

burung dan 49% spesies tanaman yang terancam. Pengaruh langsung negatif dari pertanian

konvensional adalah polusi nitrat, fosfat dan pestisida terhadap air. Penelitian menunjukkan

bahwa 60% pupuk nitrogen yang diaplikasikan tidak diserap tanaman, tetapi hilang mencemari

air tanah dan aair permukaan.

Beberapa hal tersebut memberikan gambaran bahwa sistem produksi pertanian konvensional

cenderung menciptakan banyak sumber pencemaran yang mengakibatkan degradasi lingkungan dan

perusakan sumberdaya alam baik di tingkat lokal, nasional dan global. Pengkajian lebih lanjut

mengenai proporsi jumlah input-output selama beberapa tahun bahkan mengindikasikan bahwa sistem

konvensional menjadi semakin tidak efisien dan boros.

Argumentasi tersebut ditambah dengan isu pertanian berkelanjutan mendorong berbagai pihak untuk

mencari dan mempertimbangkan teknologi alternatif yang dipandang kompatibel dengan asas-asas

lingkungan, sehingga dapat tetap menjamin kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya

alam bagi generasi mendatang.

PERTANIAN LEISA

Salah satu teknologi alternatif yang semakin sering dijajagi penerapannya adalah Pertanian Masukan

Energi Luar Rendah dan Pertanian Berkelanjutan atau LEISA (Low-External-Input and Sustainable

Agriculture). LEISA merupakan teknik budidaya yang diarahkan agar dapat secara optimal

menggunakan sumber daya yang tersedia di lokasi setempat. Hal ini ditempuh melalui perpaduan

berbagai komponen sistem usaha tani, seperti tanaman, binatang, tanah, air, iklim, dan manusia,

sehingga komponen-komponen tersebut saling melengkapi dan sinergis satu sama lain. Metode LEISA

juga mengupayakan penggunaan input eksternal hanya bila diperlukan, yaitu untuk memenuhi

kebutuhan unsur hara yang defisien di ekosistem serta meningkatkan kinerja sumberdaya biologis,

fisik dan manusia yang tersedia. Penggunaan input eksternal diusahakan yang dapat didaur ulang

secara maksimal, dan berdampak negatif paling minimal bagi lingkungan.

LEISA tidak diarahkan untuk memenuhi sasaran produksi maksimum dalam jangka pendek, tetapi

ditujukan untuk memperoleh produksi yang memadai dan stabil dalam jangka panjang. LEISA

berusaha untuk mempertahankan dan bila mungkin meningkatkan sumber daya alam dan

memanfaatkan semaksimal mungkin proses-proses alami. LEISA menggabungkan secara maksimal

pengetahuan dan praktek-praktek pertanian tradisional, praktek pertanian layak ekologi yang

dikembangkan di tempat-tempat lain, dan perkembangan ilmu-lmu pertanian mutakhir berwawasan

lingkungan.

Sistem LEISA yang dianggap sejalan dengan prinsip pertanian berkelanjutan dan umumnya dilakukan

oleh petani kecil seringkali diragukan kemampuannya untuk dapat memecahkan masalah kebutuhan

pangan. Rasa skeptis sering timbul sehubungan dengan kecukupan bahan organik dan tenaga kerja

untuk mendukung operasionalisasi sistem ini, serta produktivitas sistem yang relatif rendah. Sukar

untuk membuktikan apakah kritik tersebut valid atau tidak, karena ketersediaan data untuk komparasi

sangat terbatas. Walaupun demikian, beberapa kajian cenderung memberikan konfirmasi bahwa

kondisi lokal merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan sistem tersebut. Lebih jauh lagi

diindikasikan bahwa sistem LEISA yang sukses biasanya dikembangkan oleh petani (kecil) sendiri

sebagai respon terhadap tekanan penduduk, kesempatan pasar dan ketersediaan lahan yang semakin

langka.

(3)

3

Pergeseran dari sistem konvensional ke LEISA akan menimbulkan berbagai perubahan signifikan.

Salah satu perubahan yang paling nyata adalah komposisi penggunaan input. Bersamaan dengan

pengurangan penggunaan pupuk dan pestisida sintetis, peningkatan penggunaan input yang lain,

misalnya bahan organik dan tenaga kerja, dapat terjadi. Rotasi tanaman juga mungkin berubah dan

mempengaruhi produktivitas, variabilitas produksi, produksi total dan pendapatan (pada saat ini dan

masa yang akan datang). Hal-hal tersebut pada akhirnya akan berpengaruh terhadap ketahanan

pangan dan lingkungan. Perubahan- perubahan yang terjadi sering dipengaruhi dan mempengaruhi

perubahan sosial di dalam masyarakat. Beberapa isu yang perlu dicermati sehubungan dengan upaya

merealisasikan pergeseran paradigma dari sistem produksi konvensional ke sistem produksi rendah

input eksternal, diantaranya adalah: (1) input tenaga kerja, terutama berkaitan dengan perbedaan

intensitas penggunaan, (b) input-input lainnya yang bergeser titik berat sumbernya, dari off-farm ke

on-farm, (c) rotasi tanaman sebagai salah satu alat penting dalam pengendalian masalah hama penyakit

dan pemeliharaan kesuburan lahan, (d) hasil produksi atau produktivitas, serta (e) produksi total

usahatani.

Beberapa potensi dampak dari penerapan LEISA diantaranya adalah:

• Produktivitas jangka panjang

Melindungi dan mempertahankan kesuburan lahan mengandung implikasi jaminan kapasitas

produktif bagi generasi akan datang. Namun demikian, faktor utama yang akan menentukan

apakah petani akan tertarik untuk melakukannya akan sangat bergantung kepada manfaat yang

dapat dipetik dari perubahan tersebut. Oleh karena itu, keamanan dari status penguasaan lahan

merupakan faktor yang sangat menentukan. Jika keamanan status penguasaan lahan tidak

terjamin, tidak akan ada insentif bagi petani untuk menanamkan investasinya dalam metode

produksi yang akan memberikan pendapatan di masa depan. Petani akan lebih tertarik untuk

menerapkan sistem produksi yang dapat menghasilkan pendapatan dalam jangka pendek.

• Ketahanan dan stabilitas pangan

Prinsip diversifikasi di dalam LEISA memungkinkan adanya pengurangan risiko yang ditimbulkan

oleh variabilitas produksi. Hal ini mengimplikasikan kecilnya kemungkinan terjadi ledakan produksi

atau kegagalan produksi secara sekaligus dari semua cabang usaha yang dilakukan, sehingga

dapat berkontribusi terhadap ketahanan dan stabilitas pangan untuk konsumsi. Ketahanan pangan

tidak selalu dapat tercapai melalui swasembada pangan. Harga premium untuk produk LEISA

berpotensi untuk meningkatkan pendapatan petani, sehingga dapat pula berkontribusi secara tidak

langsung terhadap ketahanan pangan lokal atau rumah tangga. Karakteristik proses produksi

LEISA (ketergatungan rendah terhadap input eksternal) memungkinkan petani menekan biaya

produksi, sehingga dapat meningkatkan status ketahanan pangannya.

• Dampak lingkungan

Pengurangan penggunaan input sintetis berdampak langsung terhadap lingkungan, karena

kebutuhan enerji fosil non-renewable serta pencucian nitrogen dapat ditekan. Petani meningkatkan

kesuburan lahan dengan menggunakan pupuk kandang, limbah tanaman, kacang-kacangan dan

pupuk hijau serta pupuk alami lainnya. Petani LEISA lebih mengandalkan pengendalian hama

penyakit secara alami, daripada penggunaan pestisida sintetis yang dapat membunuh organisme

berguna, menyebabkan resistensi serta menimbulkan polusi air dan tanah. Teknik penyiapan lahan

(terasering, tanaman penutup tanah) dapat mengurangi erosi, pemadatan, salinitas dan degradasi

lahan, terutama melalui penggunaan rotasi tanaman dan bahan organik yang diarahkan untuk

memperbaiki kesuburan dan struktur tanah.

• Dampak sosial

Pengelolaan LEISA banyak mengandalkan pengetahuan lokal dari interaksi kompleks serta

keragaman kondisi antar lokasi yang cenderung kurang memihak areal produksi luas. Dengan

demikian, LEISA memiliki potensi untuk memperbaiki distribusi dan akses terhadap sumberdaya

produktif, yaitu lahan. Penerapan LEISA mengharuskan petani untuk melakukan eksperimentasi

(4)

4

teknik-teknik baru, memperkenalkan cara pengelolaan baru untuk tenaga kerja, serta menentukan

pilihan-pilihan tepat. Hal ini hanya dimungkinkan jika petani berpartisipasi dalam kegiatan penelitian

dan implementasinya. Komponen penelitian on-farm dapat mendukung perkembangan masyarakat

pedesaan dan menciptakan pengetahuan baru yang akan bermanfaat bagi semua petani.

Pengalaman di negara-negara maju yang telah menerapkan LEISA secara luas menunjukkan adanya

trend yang cukup konsisten menyangkut karakteristik petani LEISA (dibandingkan dengan petani

konvensional), yaitu: (a) memiliki lahan garapan lebih sempit, (b) menerapkan pola tanam yang lebih

beragam, (c) mencapai produktivitas tanaman yang secara umum lebih rendah, dan (d) memiliki aset,

ekuitas, pendapatan kotor dan pendapatan bersih yang relatif lebih rendah. Karakteristik ini

mengimplikasikan beberapa hal sebagai berikut: (a) petani LEISA lebih sedikit membeli input dari luar,

karena kebutuhannya yang spesifik tidak dapat terpenuhi oleh pasar, (b) jika petani LEISA

menginginkan tingkat pendapatan yang setara dengan petani konvensional, maka perlu

mengembangkan sumber pendapatan tambahan, dan (c) petani LEISA yang lebih memiliki diversifikasi

usaha, cenderung lebih berpeluang untuk menurunkan/meminimalkan variabilitas pendapatan

tahunannya.

PROSPEK PENERAPAN LEISA PADA USAHATANI SAYURAN

Potensi keberhasilan atau prospek penerapan LEISA ini sebenarnya sukar untuk ditaksir. Beberapa

faktor yang perlu dicermati dalam mengevaluasi atau menaksir kelayakan LEISA, diantaranya adalah:

• Parameter-parameter yang merefleksikan “greater sustainability" tidak selalu mengimplikasikan

praktek budidaya LEISA;

• Pada prakteknya akan sukar untuk membedakan pengaruh antar faktor terhadap sistem usahatani,

pengenalan sistem LEISA mungkin bukan satu-satunya penyebab perubahan yang terjadi (sebagai

contoh, kondisi cuaca yang kurang menguntungkan selama bertahun-tahun);

• Beberapa parameter (misalnya, produktivitas atau hasil) perlu dirata-ratakan selama periode

tertentu, karena banyak faktor selain sistem pengelolaan LEISA yang berpengaruh terhadap

variabilitas produksi (misalnya, cuaca);

• Banyak perubahan yang terjadi hanya dapat diamati dalam jangka panjang (misalnya perubahan

produksi atau perubahan kualitas tanah);

• Oleh karena LEISA termasuk “an under-researched area”, kondisi-kondisi yang pada awalnya

tampak sukar mungkin dapat diatasi setelah diperoleh pengalaman yang memadai, atau

sebaliknya;

Penelitian LEISA yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian masih relatif terbatas ditinjau dari

cakupan topik maupun komoditasnya. Beberapa hasil penelitian LEISA diantaranya adalah: (a)

pemberian pupuk organik (ampas tebu ataupun bokasi jerami) dapat menurunkan pemberian 1500

kg/ha NPK 15-15-15 menjadi 500 kg/ha NPK 15-15-15 dan masih dapat meningkatkan hasil umbi

kering bawang merah; (b) teknik pengendalian hama dan penyakit LEISA (pengolahan tanah sempurna,

sanitasi, tumpangsari cabai merah-tomat, pemupukan 60 t/ha pupuk kandang kuda + 750 kg/ha NPK

16-16-16, penyemprotan insektisida 1 kali/minggu dan perangkap kuning) dapat menekan penggunaan

insektisida sebesar 50%, meningkatkan populasi fauna di dalam dan di atas permukaan tanah, serta

mempertahankan hasil cabai sebesar 5,87 t/ha dan tomat sebesar 23,82 t/ha; (c) pengurangan dosis

pupuk NPK 16-16-16 dari 750 kg/ha ke 250 kg/ha menurunkan pertumbuhan, hasil buah dan serapan

NPK cabai merah, namun penurunannya tidak menunjukkan beda nyata; dan (d) pengamatan tingkat

kesuburan tanah pada akhir percobaan menunjukkan kemungkinan untuk penanaman berikutnya,

tanpa penambahan pupuk kandang (Sumarni, 2003). Relatif terbatasnya jumlah penelitian serta

(5)

5

comprehensiveness pengkajian LEISA secara tidak langsung juga mencerminkan orientasi program

penelitian yang belum menempatkan topik tersebut pada skala prioritas utama.

Beberapa komponen teknologi Balai Penelitian Tanaman Sayuran (sampai 2005) yang diharapkan

dapat mendukung program pengembangan LEISA pada komoditas sayuran, diantaranya adalah:

Pemuliaan

Varietas Keterangan

Kentang

• Tenggo • Beradaptasi luas

• Hasil tinggi (lebih tinggi dari Granola) • Tahan penyakit busuk daun

• Bentuk dan kulit umbi baik

• LBr-40 (REPITA) • Beradaptasi pada daerah marginal sehingga dpt ditanam dengan input rendah • Tahan busuk daun (hanya perlu 3-4 kali aplikasi pestisida selama musim tanam • Amudra • Beradaptasi baik di ekosistem dataran tinggi

• Hasil tinggi

• Bentuk dan kulit umbi baik

• Manohara • Beradaptasi baik di ekosistem dataran tinggi • Hasil tinggi

• Bentuk dan kulit umbi baik

• Cipanas • Beradaptasi baik di ekosistem dataran tinggi • Hasil tinggi

• Toleran terhadap Phytopthora

• Granola • Beradaptasi baik di ekosistem dataran tinggi • Hasil tinggi

• Bentuk dan kulit umbi baik Cabai Merah

• Tanjung – 2 ( cabai besar)

• Asal seleksi individu tanaman dari populasi bersegresi di daerah Brebes • Umur mulai panen (hari setelah tanam) = + 58 hari

• Tinggi tanaman + 55 cm • Tipe tumbuh menyebar

• Posisi tangkai bunga saat anthesis merunduk • Warna mahkota bunga putih

• Warna buah muda hijau • Warna buah tua merah • Diameter buah + 1.3 cm

• Panjang buah + 11.2 cm (sedang) • Tebal kulit buah + 1.1 mm • Ujung buah runcing • Kadar capsaicin 2.4 mg/g • Berat 1000 biji 4.2 (gr)

• Penampang melintang buah agak bergelombang • Potensi hasil 6 – 19,9 (ton / ha)

• Agak peka terhadap hama penghisap daun (thrips) • Agak toleran terhadap penyakit antraknose • Keunggulan

(6)

6 o Umur panen genjah

o Panen serempak sehingga masa panen pendek o Dapat ditanam di dataran rendah – dataran tinggi

o Kualitas olahan kering baik (khususnya warna merah tidak berubah setelah diolah)

• Lembang – 1 (cabai keriting)

• Asal seleksi individu tanaman dari populasi yang bersegresi di daerah Pangalengan • Umur mulai panen (hari setelah tanam) + 63 hari

• Tinggi tanaman + 65 cm • Tipe tumbuh kompak

• Posisi tangkai bunga saat anthesis merunduk • Warna mahkota bunga putih

• Warna buah muda hijau • Warna buah tua merah

• Diameter buah + 0.8 (ramping) (cm) • Panjang buah + 11.8 (cm)

• Tebal kulit buah + 0.7 (mm) • Ujung buah runcing • Kadar capsaicin 1.2 (mg / g) • Berat 1000 biji 3,0 (gr)

• Penampang melintang buah bergelombang • Potensi hasil 5.6 – 19 (ton / ha)

• Agak toleran terhadap hama penghisap daun (thrips) • Agak toleran terhadap penyakit antraknose

• Keunggulan

o Ukuran sesuai dengan preferensi konsumen. o Dapat ditanam di dataran medium – dataran tinggi Bawang Merah

• Kramat 1 • Asal hasil persilangan Maja dengan Lokal Cipanas • Umur panen : 60 hari

• Warna umbi: merah tua

• Produksi umbi: 24,3 ton/ha umbi kering • Keunggulan: produksi tinggi

• Daya adaptasi: cocok untuk dataran rendah • Kramat 2 • Asal hasil persilangan Maja dengan Lokal Cipanas

• Umur panen: 62 hari • Warna umbi: merah muda

• Produksi umbi: 24,3 ton/ha umbi kering • Keunggulan: produksi tinggi

• Daya adaptas: cocok untuk ketinggian ≤ 800 meter, • Ditanam pada musim penghujan / kering

Hama Penyakit

Pengendalian hama-hama penting pada tanaman cabai merah

• Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam

• Pengelolaan ekosistem yang baik akan mengakibatkan pertanaman sayuran memiliki “ketahanan lingkungan”. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan tanaman tidak sesuai (sinkron) dengan siklus perkembangan hama atau kurang sesuai secara nutrisi, iklim mikro tidak sesuai dan populasi musuh alami meningkat serta lebih beragam:

• Membersihkan kebun dari buah busuk terserang lalat kemudian dibenamkan dalam tanah agar telur dan larvanya terbunuh.

• Pengolahan tanah yang baik dapat mematikan pupa yang ada di dalam tanah dan memungkinkan hama tersebut terkena kondisi yang tidak menguntungkan seperti panas oleh sinar matahari maupun kondisi dingin.

(7)

7 • Pemupukan Berimbang: keseimbangan nutrisi (nitrogen, fosfor, dan kalium) dan

dosis penggunaan pupuk yang tepat adalah penting untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan melindungi serangan OPT.

• Penggunaan pupuk kandang yang matang dapat mengurangi serangan Gryllotalpha sp.

• Penggunaan mulsa plastik hitam-perak pada pertanaman cabai dapat mengurangi serangan hama T. parvispinus dan kutudaun persik (M. persicae). Penggunaan mulsa mampu mengurangi serangan hama karena mulsa menghalangi preferensi hinggap pada waktu terbang dengan adanya refleksi cahaya matahari yang dipantulkan mulsa dan mulsa dapat mengurangi persentase pembentukan pupa di dalam tanah.

• Menjaga kebersihan kebun (sanitasi) dapat mengurangi serangan A. ipsilon, Gryllotalpha

• Populasi hama biasanya meningkat pada kondisi kering (T. parvispinus, P. latus). Oleh karena itu pengairan yang cukup merupakan salah satu cara pengendalian yang tepat.

• Penanaman varietas tahan

• Beberapa klon cabai diketahui tahan/toleran terhadap serangan OPT cabai antara lain Tanjung – 2 dan Lembang – 1 toleran terhadap pengisap daun.

• Pemanfaatan musuh alami (predator)

• Penggunaan predator Menochilus sexmaculatus Fabricius (Tribus : Coccinellini) sebanyak 300 ekor/0.5 ha dan insektisida nabati ternyata dapat menekan populasi kutu kebul sebesar 70% dan penyakit virus kuning sebesar 10% (Kasus Lampung). Penggunaan predator M. sexmaculatus (1 ekor/tanaman) dan insektisida imidaklorpid 100 SL dapat mengurangi insiden penyakit virus kuning sebesar 72.18%)

• Pengendalian secara mekanis

• Ulat tanah (A. ipsilon) yang keluar pada senja dan malam hari dikumpulkan lalu dibunuh.

• Penggunaan perangkap

Penggunaan perangkap (feromonoid seks, perangkap likat dan perangkap ME) untuk mendeteksi dan memantau populasi hama (imago) sangat diminati di negara berkembang karena kepraktisannya. Perangkap tidak hanya penting sebagai alat untuk menetapkan perlu/tidaknya digunakan insektisida, tetapi juga penting untuk menetapkan kapan insektisida harus digunakan. Beberapa jenis perangkap yang dapat digunakan untuk hama – hama penting pada tanaman cabai merah antara lain :

• Perangkap likat warna biru atau putih untuk menekan serangan Thrips. Perangkap likat sebaiknya dipasang segera setelah tanaman cabai merah tumbuh. Jumlah perangkap yang dibutuhkan adalah sebanyak 40 buah/ha.

• Feromonoid seks S. exigua, S. litura dan H. armigera untuk menekan serangan ulat bawang. 40 buah perangkap/ha di pasang segera setelah tanaman cabai merah. Feromonoid seks dipasang di atas waskom yang diberi air sabun atau karton berperekat.

• Perangkap baki kuning untuk menekan serangan kutudaun. Jumlah perangkap yang diperlukan adalah sebanyak 40 buah/ha. Perangkap baki kuning diberi air sabun untuk menjebak kutudaun.

• Perangkap kuning dapat digunakan untuk menekan serangan lalat pengorok daun L. huidobrensis dan B. tabaci.

• Penggunaan

“companion planting” • Beberapa jenis tanaman dapat digunakan untuk mengurangi serangan kutu kebul antara lain tumpangsari antara cabai dengan tagetes. Penanaman jagung atau gandum di sekitar tanaman cabai.

• Tanaman tinggi yang berwarna kuning (misalnya jagung atau bunga matahari) dapat dipakai sebagai “border” yang merupakan “perangkap” (trap crop) di sekeliling pertanaman cabai. Kutu daun bersayap yang bermigrasi akan hinggap lebih dahulu pada trap krop tersebut.

• Penggunaan bio -pestisida

Beberapa jenis insektisida nabati yang diketahui efektif untuk mengendalikan OPT cabai merah

(8)

8

Nama Tumbuhan Bagian Tumbuhan Hama Sasaran

Melaleuca (Melaleuca bracteata) Daun B. dorsalis

Selasih (Ocium sanctum) Daun B. dorsalis

Mimba (Azadirachta indica) Daun dan Biji S. litura, M. persicae

Bengkuang (Pachyrrhyzus erosus) Biji H. armigera

Pahitan (Eupatorium inulifolium) Daun S. litura

Tagetes (Tagetes erecta) Daun S. litura, B. tabaci

Culan (Aglaia odorata, A. Harmsiana) Daun H. armigera

Eceng Gondok (Echinochlora crosgalli) Batang dan daun B. tabaci Campuran Serai, Mimba dan Lengkuas

(Andropogon nardus, Azadi-rachta indica dan Alpinia galanga)

Batang, Daun dan Rimpang

T. parvispinus

Sirsak (Annona muricata) Daun dan Biji S. litura, T. parvispinus dan H. Armigera

• Penggunaan umpan beracun

Umpan beracun yang terdiri dari dedak dan insektisida asefat dengan perbandingan 10:1 atau dedak dan insektisida asefat dengan perbandingan 20 :1 dapat digunakan untuk mengendalikan Gangsir dan ulat tanah. Umpan beracun diletakkan disekitar tanaman atau disekitar lubang yang dibuat oleh gangsir.

Pengendalian hama-hama penting pada tanaman bawang merah

Spodoptera exigua Tracer 120 SC (Spinozad:120gr/l) • Atabron 50 EC(klorfluazuron 50 gr/l) • Midic 20 F (Tebufenozoine) • Prodigy 100 EC (Diahridrazine) • SeNPV 15 larva

Larva terinfeksi digerus lalu kemudia diencerkan dengan 1 liter ir, ke dalam larutan tersebut ditambah agristik (perekat/perata) 1ml/l air

Larutan siap disemprot pada pertanaman bawang merah untuk memeperoleh larutan NPV sebanyak 1 tangki semprot (17 liter) diperlukan sebanyak 255 ekor larva exigua yang terinfeksi

Liriomiza huidobrensis Trigard 50 WP (Cyromazine)

• Agrimec 18 EC (Abamectin) • Padan 50 SP ( Kartap Hidroklorida) • Tracer 120 SC (Spinosad 120gr/l)

Pengendalian hama-hama penting pada tanaman kentang

Pthorimaea operculela Curacron 500 EC • Rampage 100 EC • Supracide 25 WP • Supracide 40 EC

• Pengendalian hayati : Hama ini dapat dikendaliakan dengan cara kultur teknis antara lain tidak menanam kentang pada musim panas, pengairan yang sesuai untuk

mencegah keretakan tanah yang memungkinkan masuknya ulat ke dalam umbi, guludan untuk menutup umbui, menggunakan feromoid seks untuk menangkap dan memonitor populasi hama di lahan, dan jika diperlukan dapat menggunakan insektisida selektif. Perlakuan insektisdia biologi seperti Bacillus thuringiensis atau Baculovirus dapat digunakan pada umbi-umbi di gunang, khususnya umbi bibit. Tanaman penolak seperti lantana membantu melindungi umbi-umbi di gudang penyimpanan

Myzus persicae Perfertion 400 (Dimetoat) • Buldok 25 EC (betasiflutrin) • Confedor 200 Sl (Imidakkloprid) • Fifronil (Regent 50 EL) 2 ml /l

(9)

9 Bemisia tabaci Confedor 200 SC (Imidacklorpid)

• Terlstar (bifentrin) • Termizidin (endosulfan) • Decis (deltametrin) Liriomiza huidobrensis Trigrad 50 EC (Cyromazine)

• Agrimec 18 EC( Abamectin) • Marshal 200 EC (Karfosulfan) • Tracer 120 ( Spinosid) • Buldok 40 EC) Betasiflutrin

Pengendalian penyakit penting pada tanaman cabai, bawang merah dan kentang

• Penyakit antraknose pada cabai disebab-kan oleh cendawan Colletrotricum gloeosporioides dan Colletrotichum capsici , bercak daun Cercospora (bdc) ( Cercospora capsici ).

• Pengendalian penyakit antraknose dilakukan dengan penyemprotan oleh : Fungisida kontak Clorotalonil (1 g/l ) interval 7 hari; Bio pestisida Agonal 866 (1g/l);Tigonal (1g/l);Phrogonal 866( 1g/l) dengan interval 7 hari.

• Pengedalian penyakit bdc dilakukan penyemprotan oleh fungisida sintetik difenoconazol (0.5-1g/l) intrval 7-10 hari dan digilir dengan Clorotalonil (1g/l) dan penggunaan fungidida sintetis tidak boleh lebih dari empat kali selama

pertumbuhantanaman dilapangan. Biopestisida Agonal 866, Tigonal 866 dan Phrogonal 866 dengan konsentrasi masing 1g/l. Penggunaan bio pestisida dapat digilir dengan pestisida sintetis apabila serangan penyakit mengalami ledakan.

• Penyakit bercak ungu ( Alternaria porii); penyakit antraknose (Colletotricum gloeosporioides ); penyakit moller (Fusarium oxysporum ); penyakit busuk daun basah (bdb) (Peronospora destructor); penyakit bercak daun Stemphylium bdS). (Stemphylium vesicarium) pada bawang merah

• Penyakit bercak ungu bdS,antraknose dikendalikan dengan melakukan penyemprotan dengan fungisida sintetis kontak Clorotalonil (1g/l);dengan interval 7 hari; fungidida sintetis sistemik difencinazole, cyproconazole, hexaconazole, propiconazole, imazalil dengan konsentrasi formulasi masing masing 1g/l.. Bio fungisida Agonal 866

(1g/l),Tigonal 866 (1g/l) Phrogonal 866 0.5-0.7 g/l) dengan interval 7 hari. Penggunaan fungisida sintetis sistemik tidak boleh lebih dari empat kali penyemprotan di dalam satu kali periode tanam, ini harus digilir dengan fungisida sintetis kontak untuk menghindari patogen resisten terhadap fungisida. Penggunaan biofungisida dapat digilir dengan fungisids sintetik kontak atau sistemik apabila akan terjadi ledakan penyakit menurut diseases forcasting.

• Penyakit emun buluk (P.destruktor ) dikendalikan dengan Clorotalonil (1g/l) dan fungisida oomycetes (Cymoxanil, metalaxyl, propomocarb, oxadixyl, dimethomorph) masing-masing dengan konsentrasi formulasi 1g/l) Pola penyemprotan sesuai denga pergiliran tersebut di atas.(biofungisida dan clorotalonil)

• Penyakit moller (F. oxysporum) dikendalikan dengan cara perlakuan bibit dengan fungisida sintetis kotak atau biofungisida dengan dosis 1g/kg bibit, rotasi tanaman, memilih bibit yang berkwalitas.

• Penyakit pada tanaman kentang ialah penyakit busuk daun (Phythopthora infestans ), bercak daun (Alternaria solani ),

• Penyakit busuk daun dikendalikan dengan fungisida oomycete

sistemik(cymoxanil,metalaxyl,propomocarb,oxadicxyl,dimethomorph masing (1g/l ) digilir dengan fungisida clorotalonil dan Agonal. 866 (1g/l).

• Penanaman varitas yang tahan.

• Penyakit bercak daun ( A. solani) dikendalikan dengan mempergunakan fungidsida sintetis sistemik (golongan triazole antara lain; ifenconazole,hexaconazole,tebukonazole imazalil) dan clorotalonil. Penggunaan fungisida sistemik tersebut harus digilir dengan clorotalonil

• Pengendalian penyakit nematoda kista emas ( Globodera rostochiensis) dengan mempergunakan varitas tahan Antinema,Specula, Target, Mario, Elvira,Granola, Miranda, Multa, Crista,Pirola..

Pengendalian penyakit akibat bakteri pada cabai, bawang merah dan kentang

• Colletrotichum gloeosprorides

• Biopestisida : Pseudomonas fluorecens MBO 001 50 WP (PfMBO 001 WP) • Biopestisida Bacillus subtilis BE 001 50 WP (BsBE 001 50 WP)

(10)

10 • Biofungisida tersebut efektif untuk mengendalikan penyakit antraknose (Colletrotichum

gloeosprorides) pada cabai dengan dosis 0,7 –1 gram / liter

• Aplikasi disemprotkan pada tanaman menjelang berbuah (50 hari setelah tanam) dengan interval waktu aplikasi 1 minggu sekali

• Biofungisida ini ini aman, tidak toksik, mampu menekan penyakit setara dengan fungisida sintetik (Bion-M 1/48 WP)

• Dapat meningkatkan produksi buah sehat sebesar 40%-50% di lapangan dan dapat meningkatkan produksi bush sehat sebesar 66,73% di rumah kasa.

• Biopestisida Ampuh dikombinasikan dengan PfM BO 001.50 WP mampu

mengendalikan antracnose setara dengan fungisida sintetik Bion M 1/48 WP, sekitar 40% terhadap jumlah buah yang sehat juga terhadap bobot kering buah cabai • Xanthomonas

camppestris

Perlakuan seed (seed coat) dengan PfM BO 001 50 WP mengendalikan bakteri

Xanthomonas camppestris subsp vesicatoria pada biji cabai. Cara: 1 gram biopestisida PfM BO 001 50 WP + 10 ml aquadest steril sampai terbentuk pasta encer lalu biji dimasukan dan dicampur sampai rata. Selanjutnya dikering anginkan . Setelah kering masukkan ke dalam kantong alumunium foil dan kedap udara.

• Ralstonia solanacearum

Perlakuan seed (seed coat) dengan PfM BO 001 50 WP mengendalikan bakteri layu (Ralstonia solanacearum pada umbi bibit kentang. Cara: 1 gram biopestisida PfM BO 001 50 WP + 10 ml aquadest steril sampai terbentuk pasta encer lalu umbi kentang dimasukan dan dicampur sampai rata. Selanjutnya dikering anginkan. Setelah kering masukkan ke dalam kantong waring/net plastik dan disimpan di tempat yang dingin

• • Penggunaan mikroba berguna mikoriza dengan dosis 2,5-5 gr per tanaman bawang merah dapat meningkatkan hasil umbi dan jumlah anakan bawang merah.

• Perlakuan manajemen tanah dikombinasikan dengan mulsa plastik hitam perak mampu mengendalikan penyakit layu bakteri lebih dari 70 % dan meningkatkan hasil lebih dari 80 %

Strategi reduksi pestisida kimia sintetik dengan menggunakan biopestisida dari beberapa

grup/kelompok menurut jenis biota

• Indigenous Virus Group (Shallots – Hot peppers relay cropping)

SeMNPV (multi envelope nuclear polyhedrosis) – effectif menekan Spodoptera exigua Hbn. Pada komunitas bawang merah hingga 64% dan 61% pada S.litura. Penggunaan perangkap sex-pheromone sebagai indicator tingkat populasi hama terkait, menambah effisiensi penggunaan SeMNPV.

• Indigenous Beneficial Toxins Group

Biopestisida yang dibuat dari toksin indigenus (domestic) setelah diisolasi dan yang telah diuji secara mendalam dari masing masing fraksi potensial, serta dibubuhi macam-macam limbah sebagai carrier, secara umum disebut biotoksin dengan beberapa nama dagang ‘Bionok dan Biotok’. Beberapa komponen katalisator yang berbeda telah ditambahkan berasal dari limbah limbah yang banyak dan mudah diperoleh seperti kulit Garcinia. Jenis biotoksin yang digunakan untuk :

• Pada komunitas bawang merah :

Beda penekanan hama S.exigua pada komunitas bawang merah di Brebes, 78.02-94%; tinggi tanaman 3.19%, diameter beda 7.61% dan berat jenis beda 8.82% lebih kecil kekerasan 28.89% lebih rendah.

Perlakuan biotoksin pada bawang merah di lapangan dengan kondisi agro-ekosistem Pacet diperoleh hasil yang cukup baik bila dibandingkan dengan hasil insektisida kimia sintetik dan sangat berpengaruh terhadap pada berat basah, berat kering lokal ataupun berat kering eskip. Berat kering dari perlakuan petani masing-masing 98,4 g, 71,7g, dan 54,4 g lebih kecil dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan teknologi Balitsa yakni masing-masing 114,7 g, 95,8 g dan 99,5 g.

(11)

11 Biotoksin telah berhasil mengendalikan S.litura sebesar 31.78%, bilamana dikombinasikan dengan Bacillus thuringiensis kemampuan pengendalian meningkat hingga 55.56%. Laju fekunditas berhasil direduksi dengan perlakuan tersebut hingga 18-74%. Laju daya lulus hidup berhasil dihambat hingga 50-74%.

Pada konsentrasi LC50 5.8 x 10 -2 ppm biotoksin dapat terjadi mortalitas Bactrocera dorsalis.

Bactrocera dorsalis mempunyai siklus sebagai berikut: Lamanya telur 8 –10 hari, larva instar 1 berkisar 2 hari, larva instar 2 berkisar antara 2 hari, larva instar 3 berkisar 2 hari, larva instar 4 berkisar 2 hari, larva instar 5 berkisar 2 hari, mas pupa berkisar 11 – 12 hari. Periode telur sampai imago 9 sampai 10 hari.

Aplikasi Formula biotoksin mampu mempertahankan bahkan meningkatkan Indeks biodiversitas yang lebih tinggi dari pada yang terjadi dengan perlakuan insektisida kimia hal ini menunjukkan , Formula biotoksin merupakan biopestisida yang aman.

Pengaruh formulasi Bionok 001 terhadap serangga non seperti lebah (Aphis melifera) masih dalam tahap persiapan lahan karena percobaannya harus dilakukan di lapangan pada musim hujan, agar tanaman yang ditanam tidak mengalami kekeringan.

Percobaan dilaksanakan di kebun petani di Lembang. • Indigenous

Beneficial Fungi group

• Verticillium leucanii telah berhasil digunakan untuk menekan Thrips tabaci Lind. Pada tanaman bawang merah dan bawang putih, penekanan berkisar 56-60%, dengan menggunakan carrier ‘SDS’ .

• Dari hasil penelitian aplikasi biopestisida di Pakem, Jogyakarta ternyata Pf M

(Pseudomonas solanacearum M.) dikombinasikan dengan biopestisida Ampuh mampu menekan hama hama S.litura, Myzus persicae,dan lalat buah (Bactrocera dorsalis compleks) dan whitefly namun masih kurang mapu menekan Thrips parvispinus secara optimal.

• Trichoderma harsianum :

- mengandung exotoxin yaitu harzinopiridone yang berperan sebagai fungisida - mengendalikan penyakit utama pada bawang (Alternaria porii) dan anthracnose

dan Cercospora pada cabai; anthracnose pada mentimun; penyakit Pseudoperonospora cubensis pada mentimun.

- pengendali penyakit ‘soil borne diseases’ al Fusarium, Ralstonia, Rhizoctonia solani, Phytium, dll.

• Mekanisme kerja :

o Bekerja sebagai fungisida sistemik o Menghambat perkembangan mycelia o Menghambat sporulasi

• T.harsianum dan T. megaterium :

Berperan sebagai fermentor dalam proses fermentasi unsur unsur NPK dalam pupuk organik menyebabkan tanaman menjadi lebih kuat sistim jaringan hingga produksi menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa Trichoderma.

• Berpotensi sebagai fungisida ‘foliar application’ yang effektif

• Gleocladium sp.

• Berperan sebagai pengendali penyakit ‘soil born pathogens’ yang disebabkan oleh S- clerotium rolfsii (southern blight) pada tanaman bawang dan cabai

• Mekanisme : menghasilkan metabolit sekunder berupa polipeptida bersifat sebagai fungisida sistemik.

• Berpotensi sebagai biopestisida effektif khusus untuk penyakit target : tular tanah

(12)

12 • Peningkatan peran

predator

• Steinernema carpocapsae berhasil digunakan untuk menekan hama Helicoverpa pada tanaman cabai merah dan tomat. Nilai LC50 nematoda S. carpocapsae terhadap H. armigera adalah 1111.601 sedangkan LT50 adalah 69.851 jam bagi kepadatan 1000 ji. Sedangkan kepdatan nematoda S. carpocapsae yang efektif adalah 800 ji dan 1000 ji masing-masing dapat menyebabkan mortalitas sebesar 85% dan 95% pada 72 jam setelah aplikasi dan efikasinya setara dengan Bacillus thuringiensis.

• Predator Rhyncochoris sp. (Reduviidae). Belum begitu efefktif berperan dalam

komunitas cabai namun sangat promising sebagai pemangsa jenis jenis ulat Noctuidae, demikian pula dengan terjadinya perbedaan indeks biodiversitas yang terjadi sebesar 60.85% - 64.72%.

Agronomi

Kultur Teknis Cabai Merah

Ekosistem : Tipologi lahan kering dataran tinggi dan dataran medium. Waktu tanam : Akhir musim hujan/awal musim kemarau

Benih :

Sebelum disemai benih/biji direndam dalam air hangat (50°C) selama 1 jam. Tujuannya :

• Menyeleksi benih, benih yang terapung dibuang. • Mempercepat perkecambahan benih.

• Menghilangkan hama penyakit yang menempel pada kulit benih. Kebutuhan benih untuk 1 ha ± 300 – 400 g.

Pesemaian :

• Tempat pesemaian berupa bedengan berukuran lebar 1 m, diberi atap/naungan plastik transparan yang menghadap ke arah Timur.

• Media persemaian berupa campuran tanah dan pupuk kandang/kompos steril (1:1). • Benih disebar di permukaan bedengan dan ditutup lagi dengan daun pisang.

• Setelah benih berkecambah (± 7 hari sejak semai) tutup daun pisang dibuka, dan setelah bibit berumur 12-14 hari dipindahkan ke dalam bumbungan daun pisang dengan media yang sama (campuran tanah dan pupuk kandang steril). • Bibit siap ditanam di lapangan pada umur 4-5 minggu sejak semai.

Pengolahan tanah :

• Lahan dicangkul sedalam 30 cm.

• Dibuat bedengan-bedengan dengan lebar 1,2 m dan tinggi 30 cm, serta jarak antar bedengan 30 cm.

• Dibuat jalur-jalur tanaman. Tiap bedengan terdapat 2 baris tanaman dengan jarak antar barisan tanaman 60 cm. • Bila pH tanah kurang dari 5,5 dilakukan pengapuran dengan Dolomit (1,5 ton/ha) 3-4 minggu sebelum tanam. • Tanah dalam setahun diolah hanya 1 kali, untuk penanaman selanjutnya tidak perlu diolah lagi.

Pemupukan :

• Pupuk dasar terdiri atas pupuk kandang kuda (60 t/ha) dan pupuk NPK 16-16-16 (500 kg/ha) diberikan 7 hari sebelum tanam dengan cara dihamparkan pada jalur-jalur penanaman dan ditutup dengan tanah.

• Pupuk susulan yaitu NPK 16-16-16 (250 kg/ha) diberikan dengan cara dicor, yaitu dilarutkan dalam air (2 g/l) kemudian disiramkan pada lubang-lubang tanaman (100-200 ml per tanaman) setiap 2 minggu sekali, dimulai pada umur 1 bulan sesudah tanam.

(13)

13 • Penggunaan mikroba dekomposer (campuran Azotobacter, Bacillus sp, Pseudomonas fluorescent dan Trichoderma

sp) telah dicoba dengan cara dicampurkan dengan pupuk kandang (5 ml larutan mikroba/kg pupuk kandang), namun hasilnya tidak nyata meningkatkan hasil cabai merah.

Pemulsaan :

• Mulsa plastik hitam perak dipasang sesudah pemberian pupuk dasar (7 hari sebelum tanam).

• Sebelum dipasang mulsa, bedengan disiram dengan air sampai mencapai kapasitas lapang (lembab tapi tidak becek). • Kegunaan mulsa antara lain : menekan pertumbuhan gulma, memelihara kelembaban dan temperatur tanah, dan

struktur tanah.

Penanaman dan Sistem Tanam :

• Sistem tanam tumpangsari cabai merah + kubis lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem tanam cabai merah monokultur.

• Cabai merah ditanam dengan jarak tanam 60 cm x 70 cm.

• Kubis ditanam diantara tanaman cabai merah dalam barisan, 1 bulan sesudah tanam cabai merah.

Kultur Teknis Bawang Merah

Ekosistem : Tipologi lahan sawah dataran rendah.

Bibit : Umbi bibit harus berasal dari tanaman cukup tua (70-80 hari setelah tanam)

• Bibit telah disimpan 2,5 – 4 bulan dalam bentuk ikatan.

• Bibit berukuran sedang dengan diameter 1,5 – 1,8 cm (± 5 g per umbi), sehat, keras, dan permukaan kulitnya mengkilap.

• Kebutuhan bibit ± 1 ton/ha.

Pengolahan Tanah :

• Pada lahan bekas sawah, tanah dibuat bedengan terlebih dahulu dengan ukuran lebar 1,75 m, kedalaman parit 50-60 cm, dengan lebar parit 40-50 cm, dan panjang disesuaikan dengan kondisi lahan.

• Tanah yang telah diolah dibiarkan sampai kering, kemudian tanah bagian atas/permukaan bedengan diolah lagi sampai gembur.

• Bila pH tanah kurang dari 5,6 disarankan diberi kapur/dolomit 1-1,5 ton/ha minimal 2 minggu sebelum tanam. Cara Tanam dan Pemupukan :

• Sebelum tanam, lahan yang telah diolah diberi pupuk kandang (10 ton/ha) atau kompos ampas tebu atau bokasi jerami (5 ton/ha).

• Pupuk NPK (15-15-15) dosis 500 kg/ha diberikan 2 kali, yaitu 1 dan 3 minggu setelah tanam masing-masing ½ dosis. • Bawang merah ditanam dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm.

• Pemotongan ujung bibit dapat dilakukan untuk mempercepat keluarnya tunas.

Beberapa catatan berkenaan dengan komponen teknologi budidaya yang telah dihasilkan:

1.

Sebagian besar komponen teknologi tidak dirancang secara spesifik untuk keperluan LEISA.

Sebagai contoh, berbagai varietas sayuran dirakit berdasarkan kondisi penggunaan input eksternal

optimum. Dengan demikian, berbagai varietas sayuran tersebut kemungkinan akan menunjukkan

respon yang kurang optimal jika dibudidayakan menggunakan metode LEISA.

2.

Berbagai komponen teknologi tersebut pada umumnya belum diverifikasi di tingkat petani pada

skala non-penelitian (luas), terutama disebabkan oleh kendala non-teknis, misalnya berkaitan

(14)

14

dengan ketidak-mampuan penyediaan bibit atau produksi massal biopestisida. Sebagai

konsekuensi dari keterbatasan ini, informasi mengenai kelayakan teknis dan finansial serta

konsistensi keragaan teknologi bersangkutan menjadi tidak lengkap.

3.

Berbagai komponen teknologi tersebut tidak didukung oleh informasi mengenai diseminasi atau

status dan profil adopsinya di tingkat petani. Dengan demikian, berbagai komponen teknologi

tersebut sampai saat ini seolah-olah masih relevan, up to date dan sesuai dengan permasalahan

yang dihadapi petani. Sementara itu, mungkin saja beberapa komponen teknologi sebenarnya

sudah obsolete, bahkan sebelum diadopsi oleh petani.

Terlepas dari berbagai kelemahan yang masih terkandung dalam komponen-komponen teknologi yang

telah dihasilkan, perlu disadari bahwa ketersediaan teknologi pada dasarnya hanya merupakan salah

satu faktor penentu keberhasilan penerapan LEISA. Oleh karena potensi masalah dan sumberdaya

yang tersedia untuk memecahkan masalah tersebut sangat beragam, maka penerapan metode LEISA

pun akan sangat beragam dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Sebagai contoh, di suatu lokasi yang

ketersediaan bahan organik dan tenaga kerja pertanian cukup berlimpah, penggunaan kompos sebagai

salah satu upaya untuk memelihara kesuburan lahan akan lebih tepat dibandingkan dengan rotasi

tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa kendala penerapan LEISA antar lokasi akan sangat berbeda dan

beragam. Dengan demikian, penentuan kesesuaian penerapan LEISA harus mengacu kepada

pertimbangan-pertimbangan agro ekologis (ketersediaan sumberdaya alam, kelayakan teknis

usahatani, ekspektasi masalah hama penyakit dan variabilitas hasil), ekonomis (kebutuhan tenaga

kerja, keuntungan bersih usahatani, produktivitas jangka panjang dan kemungkinan pemasaran hasil

atau harga premium), sosial (sistem kepercayaan, status penguasaan lahan, hambatan-hambatan

sosial dan minat investasi swasta) serta kelembagaan (institusi penghasil teknologi, transfer teknologi,

pasar, kelembagaan petani dan kelembagaan finansial usahatani).

(15)

15

IMPLIKASI PENGEMBANGAN LEISA

Semakin meningkatnya kesadaran konsumen global dan nasional terhadap kualitas makanan dan

lingkungan hidup, mengharuskan produsen sayuran di Indonesia untuk lebih mempertimbangkan

penerapan sistem produksi yang akrab lingkungan. Beberapa hal yang perlu diperbaiki untuk

mendukung pengembangan LEISA diantaranya adalah:

1.

Upaya penyamaan persepsi diantara para pakar, pengambil keputusan, petugas lapangan,

dunia usaha, LSM serta masyarakat tentang pertanian berkelanjutan berwawasan lingkungan.

Beberapa pihak masih menganggap bahwa LEISA identik dengan pertanian primitif, tradisional

dan subsisten serta produktifitas rendah, sehingga tidak akan dapat mengejar ketahanan

pangan.

2.

Perubahan bertahap kebijakan pemerintah agar tidak lagi mengutamakan pencapaian sasaran

produksi sayuran jangka pendek, sehingga dapat menghindarkan petani dari ketergantungan

terhadap penggunaan masukan produksi berenergi tinggi, seperti pupuk buatan dan pestisida.

Secara eksplisit memasukkan LEISA sebagai bagian sentral dari kebijakan pembangunan

pertanian secara keseluruhan.

3.

Perhatian lebih serius terhadap kearifan dan pengalaman masyarakat tradisional dalam

memanfaatkan dan mengelola ekosistem secara berlanjut, sebagai bagian yang perlu diterima

serta dipertimbangkan di berbagai kegiatan penelitian maupun perakitan rekomendasi

teknologi budidaya sayuran.

4.

Memperkuat dukungan peraturan perundang-undangan terhadap pelaksanaan pertanian

berkelanjutan berwawasan lingkungan serta sosialisasi dan implementasinya di lapangan .

5.

Meningkatkan dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan terhadap konsep LEISA

berdasarkan prioritasi yang tegas serta pemanfaatan optimal pendekatan partisipatoris.

Kendala utama adopsi LEISA pada dasarnya adalah kelayakan ekonomisnya. Pengembalian dari

penerapan LEISA harus cukup atraktif dibandingkan dengan sistem konvensional maupun kegiatan

off-farm. Sementara itu, pemerintah perlu pula mempertimbangkan kemungkinan bahwa biaya untuk

mendukung pengembangan LEISA akan lebih murah jika dibandingkan dengan biaya untuk

memperbaiki kerusakan sumberdaya alam akibat eksploitasi sistem konvensional. Pengalaman di

negara maju menunjukkan bahwa faktor terpenting yang dapat menjamin keberhasilan penerapan

LEISA adalah perilaku dari pengambil keputusan. LEISA harus didiskusikan secara terbuka dengan

mempertimbangkan setiap keunggulan dan kelemahannya, serta tetap memposisikannya sebagai

salah satu alternatif sistem produksi .

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanapun, Gambar 9 tetap dapat digunakan sebagai acuan dalam menganalisis pengaruh penambahan barium karbonat pada arang bakau untuk media padat pada proses karburising padat

Dimana jumlah H 2 O yang terkondensasi setelah proses pembakaran tergantung dari besarnya kadar air dalam briket tersebut, apabila kadar air yang terkandung

Masukan atau input dari sistem informasi barang yang masuk yang nantinya akan menghasilkan berupa laporan data barang masuk yang ada di gudang, langkah

Salah satu metode yang bisa digunakan adalah Profile Matching, yaitu sistem pendukung keputusan yang dilakukan dengan cara membandingkan antara kriteria calon lokasi

Kelas kuliah terintegrasi dikandung maksud ada- lah ruang kelas perkuliahan ataupun kegiatan perku- liahan yang memiliki koneksi dengan pihak luar un- tuk mendapatkan materi

sebaliknya selalu positif. Artinya pesan-pesan yang disampaikan ditanggapi oleh komunikan sehingga komunikasi dapat dikatakan efektif. e) Saluran : media komunikasi yang lebih

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kotoran ayam broiler lebih baik daripada kotoran ayam kampung, dikarenakan pada dasarnya ayam broiler selalu diberi pakan

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu bahwa peraturan KKLD yang mengalami 3 kali perubahan mulai dari penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban