• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Kritis Holistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Kritis Holistik"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

i

i MAKALAH

INTEGRASI PROSES KEPERAWATAN DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN DIDALAM KERANGKA KERJA HOLISTIK

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Keperawatan Kritis

Disusun Oleh :

Amalul Ahli 1033161001 Akhlun Naza 1033161003 M. Rezky Aryadie 1033161002

PROGRAM STUDI S1 KEP

KERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MH.THAMRIN JAKARTA

(2)

ii

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur yang sedalam-dalamnya kita curahkan kehadirat Allah SWT yang telah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, serta sholawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “ Integrasi proses keperawatan dan diagnosa keperawatan didalam kerangka kerja holistik ”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi syarat salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Kritis 1.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan bimbingan baik berupa moral, spiritual maupun material sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini, saya selaku penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari segi isi maupun cara penulisan. Oleh karena itu dengan rendah hati dan terbuka, penulis menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun dan bermanfaat untuk lebih baiknya karya ilmiah ini di kemudian hari.Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, memberikan informasi bagi teman-teman dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, 30 September 2017

(3)

iii

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI...iii BAB I PENDAHULUAN ...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan ...2 1.3 Manfaat ...3 BAB II PEMBAHASAN...4

2.1 Konsep Holistik : Pengalaman Pasien kritis ...4

2.2 Aspek - aspek Legal dalam keperawatan kritis...9

2.3 Prinsip pengelolaan Keperawatan kritis...22

BAB III PENUTUP...29

3.1 Kesimpulan...29

(4)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan kesehatan sedang dan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan serta bertambah kompleksnya masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Lingkungan pelayanan kesehatan yang terus berubah menjadikan tantangan tersendiri baik bagi pemberi pelayanan kesehatan maupun klien sebagai konsumen layanan kesehatan. Kepekaan petugas kesehatan terhadap kecepatan dan ketepatan layanan dengan mengembangkan berbagai inovasi merupakan kunci bagi tercapainya pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau

Keperawatan kritis merupakan area spesialistik dari keperawatan yang dikembangkan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan klien dengan masalah kesehatan akut dan mengancam jiwa yang memerlukan perawatan secara intensif (Urden, Stacy, & Lough, 2006). Perkembangan teknologi dan intervensi medis untuk pemulihan pasien-pasien kritis telah berdampak pada meningkatnya pengakuan akan pentingnya peran keperawatan dalam mengobservasi dan monitoring pasien-pasien kritis. Bahkan, dokter akan sangat tergantung pada perawat dalam mengawasi perubahan-perubahan yang terjadi pada pasien kritis termasuk melakukan penanganan awal ketika dokter tersebut tidak ada di tempat. Keyakinan keperawatan akan nilai-nilai holistik dan humanistik dalam pelayanan kesehatan sebetulnya sudah ditanamkan sejak masa Florence Nightingale yang hidup pada tahun 1820 sampai 1910 (Dossey, Keegan, & Guzzetta, 2000). Florence mengajarkan bahwa fokus keperawatan adalah keutuhan klien sebagai manusia (unity), kesehatan dan kebaikan (wellness), dan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya (Mariano, 2007). Namun, perkembangan keperawatan setelah masa Florence Nightingale banyak mengalami pasang surut dan lebih didominasi atau diarahkan oleh perkembangan kedokteran yang lebih

(5)

2

menekankan pada aspek-aspek biomedis. Hal inilah yang mendorong para pemikir dan ilmuwan keperawatan untuk merevitalisasi keyakinan keperawatan holistik dan mengimplementasikannya dalam tatanan praktik keperawatan secara nyata. Upaya-upaya yang ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut, diantaranya melalui penelitian-penelitian untuk pengembangan teori-teori keperawatan holistik, pengembangan terapi modalitas keperawatan berbasis keyakinan holistik, aplikasi konsep holistik ke tatanan nyata praktik keperawatan, serta pengembangan kurikulum pendidikan perawat

Mengingat pentingnya menggugah kesadaran dan motivasi perawat untuk merevitalisasi nilai-nilai keperawatan holistik dan menerapkannya diberbagai tatanan pelayanan keperawatan termasuk di area keperawatan kritis, maka diperlukan adanya upaya-upaya yang sungguhsungguh untuk menggali, memahami, dan mengimplementasikan nilai-nilai keperawatan holistik sekaligus melakukan evaluasi dan refleksi terhadap praktik-praktik layanan keperawatan yang sudah diberikan, apakah sudah bisa memenuhi kebutuhan klien secara komprehensif, utuh, dan berkualitas, sehingga kalaupun penyakitnya tidak bisa disembuhkan, namun klien dan keluarganya merasakan kepuasan akan layanan keperawatan yang diberikan. Makalah ini bertujuan menyajikan kajian-kajian tentang konsep dan nilai-nilai keperawatan holistik, serta upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam menerapkan nilai-nilai tersebut ke tatanan praktik keperawatan khususnya di area keperawatan kritis.

1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui dan memahami bagaimana Konsep holistik, aspek - aspek legal dan prinsip pengelolaan keperawatan kritis

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami Definisi konsep holistik keperawatan kritis 2. Mengetahui dan memahami Aspek - aspek legal keperawatan kritis 3. Mengetahui dan memahami Prinsip pengelolaan keperawatan kritis

(6)

3 1.3 Manfaat

a. Menambah wawasan mahasiswa tentang Konsep holistik pengalaman pasien dengan penyakit kritis, aspek - aspek legal dan prinsip pengelolaan keperawtan kritis

b. Mengetahui masalah-masalah konsep yang berkaitan dengan konsep holistik, aspek - aspek legal dan prinsip pengelolaan keperawatan kritis

(7)

4 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KONSEP HOLISTIK : PENGALAMAN PASIEN KRITIS

Kata “holistic” berasal dari bahasa Yunani “holos (whole, wholism)” yang berarti satu kesatuan yang utuh (Dossey, Keegan, & Guzzetta, 2000). Hal ini berarti manusia holistik adalah suatu kesatuan yang utuh, lebih dari atau bukan hanya merupakan gabungan dari beberapa komponen penyusunnya. Asosiasi Perawat Holistik Amerika (2007) mendefinisikan “keperawatan holistik” sebagai praktik keperawatan yang menekankan pada penyembuhan (healing) dari manusia secara utuh yang meliputi aspek badan (body), jiwa (spirit), dan pikiran (mind). Keperawatan holistik didedikasikan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan individu, masyarakat, dan lingkungan. Keperawatan holistik merupakan suatu pendekatan yang berpusat pada orang dengan menyertakan konsep-konsep holism, healing, dan transpersonal caring sebagai konsep inti. Praktik keperawatan holistik lebih menekankan pada perawatan mandiri (self-care), itikad kuat (intentionality), keberadaan atau menghadirkan diri secara utuh (presence), kesadaran penuh (mindfulness), dan menggunakan diri sebagai agen terapi, sebagai landasan bagi praktik keperawatan professional (Hess, Bark, & Southhard, 2010). Terdapat lima nilai inti dari keperawatan holistik, yaitu 1) filosofi holistik dan pendidikan, 2) etika holistik dan riset, 3) perawatan mandiri perawat, 4) komunikasi holistik, lingkungan terapetik dan mampu budaya, dan 5) proses caring holistik (Frisch, 2009).

Perawat holistik harus terus berkarya untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat bagi dirinya dan orang lain. Mereka juga memiliki komitmen untuk mengembangkan praktik dan kebijakan yang lebih humanistik di tatanan pelayanan kesehatan. Perawat holistik menyadari akan pentingnya perawatan mandiri, mereka menghargai dirinya sendiri dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk merawat dirinya sendiri (Asosiasi Perawat Holistik Amerika, 2007). Perawatan mandiri dalam konteks ini adalah suatu proses aktif untuk mencapai

(8)

5

tingkat kesehatan dan kesejahteraan optimal melalui cara-cara saling melengkapi, mendukung, dan memberdayakan. Perawat holistik berkomitmen untuk belajar terus menerus, mengembangkan peribadi dan professional dalam rentang yang berkelanjutan

2.1.1 KARAKTERISTIK PASIEN DI UNIT PERAWATAN KRITIS

Seseorang yang masuk ke Unit Perawatan Kritis umumnya merupakan hal yang tidak diperkirakan sebelumnya. Situasi lingkungan yang asing, peralatan-peralatan yang kompleks, kondisi pasien kritis lain yang lebih dahulu dirawat, dan personel yang belum dikenal sebelumnya dapat merupakan sumber stress bagi pasien dan keluarganya. Pasien kritis adalah pasien yang beresiko tinggi mengalami masalah kesehatan yang mengancam jiwa baik aktual maupun potensial (Urden, Stacy, & Lough, 2006). Pasien-pasien tersebut memerlukan perawatan yang intensif dan pengawasan yang ketat dari para perawat dan petugas medis.

Perubahan-perubahan fungsi normal akibat dari perkembangan penyakit, obat-obat sedatif, alat-alat bantu termasuk ventilator mekanik, dapat berkontribusi terhadap kemungkinan perubahan status mental pasien (Urden, Stacy, & Lough, 2006). Gangguan tidur dan rangsangan yang berlebihan dari lingkungan dapat juga memperberat kemampuan kognitif pasien untuk memahami informasi, belajar, membuat keputusan, dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Hal ini berdampak pada ketentuan pengambilan keputusan, misalnya “informed consent”, yang tidak mungkin dilakukan oleh pasien sendiri, dan biasanya diwakili oleh keluarga terdekat.

Selain masalah kesehatan fisik yang mendominasi pasien-pasien kritis, masalah psykososial juga bisa terjadi pada pasien-pasien kritis. Masalah ini umumnya muncul akibat stressor tinggi dan kemampuan koping pasien terbatas untuk mengatasi permasalahan tersebut. Walaupun pengalaman pasien bervariasi dari individu ke individu, pasien dengan penyakit kritis minimal harus berhadapan dengan salah satu situasi sebagai berikut (Urden, Stacy, & Lough, 2006):

(9)

6  Ancaman kematian

 Ancaman bisa bertahan hidup namun dengan masalah sisa atau keterbatasan akibat penyakit -Nyeri atau ketidaknyamanan

 Kurang tidur

 Kehilangan kemampuan untuk mengekpresikan diri secara verbal karena terintubasi -Keterpisahan dengan keluarga/orang yang dicintai

 Kehilangan autonomy/kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari  Kehilangan control terhadap lingkungan

 Kehilangan peran yang biasa dijalankan  Kehilangan harga diri

 Kecemasan

 Bosan, frustasi, dan pikiran-pikiran yang negative  Distress spiritual

Berat ringannya efek stressor tersebut dan respon pasien yang dimunculkan, akan sangat tergantung pada faktor-faktor:

 Lamanya terpapar stressor (akut atau kronis)  Efek kumulatif dari stressor yang simultan  Sekuen/urutan datangnya stressor

 Pengalaman sebelumnya terpapar stressor dan keefektifan strategi koping  Besarnya dukungan sosial

Stress, apapun bentuknya baik itu fisik, psikologis, maupun sosial, dapat menimbulkan respon secara fisik. Beberapa literature mengungkap adanya hubungan antara interaksi pikiran/jiwa dan badan dengan respon kekebalan tubuh terhadap stress (Osho, 1994; Urden, Stacy, & Lough, 2006).

2.1.2 PERAWATAN HOLISTIK DAN MODEL SINERGI DI UNIT PERAWATAN KRITIS

Penerapan perawatan holistik memerlukan pertimbangan dari berbagai faktor baik individu maupun lingkungan yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan

(10)

7

pasien dan kemampuan koping dalam menghadapin situasi krisis seperti kondisi sakit baik akut maupun kronis. Untuk bisa memenuhi hal tersebut, perawat memerlukan dasar pengetahuan yang handal tentang anatomi fisiologi, proses penyakit, regimen tindakan, perilaku, spiritualitas, dan respon manusia. Perawat kritis tidak hanya mampu bekerja dengan teknologi tinggi, melainkan juga harus “tahu pasien” dalam artian memahami pasien seutuhnya agar bisa memberikan asuhan keperawatan yang humanistik, individual, dan holistik.

Nilai “presence” atau menghadirkan diri secara utuh untuk membantu pasien, merefleksikan salah satu aspek dari caring dalam keperawatan. Caring juga dapat meliputi mengidentifikasi masalah pasien secara dini, memutuskan dan melaksanakan intervensi yang tepat yang didasarkan pada pemahaman terhadap pengalaman pasien sebelumnya, aspek keyakinan dan budaya pasien, pola perilaku, perasaan, dan kecenderungan pasien. Penelitian yang dilakukan Jenny dan Logan (1996) mengungkap perilaku caring perawat menurut pasien adalah diantaranya mengurangi ketidaknyamanan, pembelaan (advocacy), member dukungan (encouragement), dan menghormati pasien sebagai individu yang unik. Seni dari caring memerlukan keterampilan dalam komunikasi dan hubungan interpersonal, komitment peribadi, dan kemampuan untuk menjalin hubungan saling percaya.

Keterampilan interpersonal sangatlah diperlukan oleh perawat dalam mengaplikasikan perawatan holistik. Wysong dan Driver (2009) melakukan penelitian tentang keterampilan apa saja yang perlu dimiliki oleh perawat di unit kritis menurut persepsi pasien, hasilnya mengungkap beberapa atribut kemampuan interpersonal, yaitu:

 Ramah, ceria, senyum,gembira  Perduli, baik, kasih sayang  Percaya diri

 Memperlakukan pasien sebagai manusia  Mencintai pekerjaan

(11)

8  Berjiwa humor

 Memiliki waktu untuk pasien  Terorganisir

 Memiliki ingatan yang baik  Rapih penampilan fisik

 Baik dalam bertutur/menggunakan bahasa  Pendengar yang baik

 Menyenangkan/memberikan kenyamanan  Kontak emosional

Disamping atribut skill interpersonal, ada atribut berpikir kritis yang penting dimiliki oleh seorang perawat kritis, diantaranya:

 Mampu membuat keputusan klinis yang akurat

 Dapat mengkaji situasi dan mengambil tindakan yang tepat  Menggunakan akal sehat (logika)

 Memberikan jawaban dan informasi yang jelas  Menawarkan saran dan arahan

 Memberikan penjelasan tentang prosedur tindakan, kondisi klinis, dan pengobatan.

Sejak tahun 1999, Asosiasi Perawat Kritis Amerika telah mengembangkan dan menerapkan model yang disebut “Synergy Model” untuk mengaitkan antara praktik perawat kritis tersertifikasi dengan luaran pelayanan keperawatan (Relf & Kaplow, NA). Model sinergi menjelaskan praktik keperawatan berdasar pada kebutuhan dan karakteristik pasien daripada berdasarkan penyakit dan terapi modalitas. Premis atau keyakinan yang mendasaari adalah bahwa kebutuhan dan karakteristik pasien dan keluarga akan mempengaruhi dan mengarahkan karakteristik dan kompetensi perawat. Karena setiap pasien memiliki karakteristik unik dalam situasi klinis tertentu, perawat harus merespon dengan karakteristik dan kompetensi yang unik pula. Apabila karakteristik pasien cocok dengan kompetensi yang ditampilkan perawat, maka luaran pasien yang optimal dan

(12)

9

sinergi bisa tercapai. Dua ajaran utama dari model ini, yaitu; karakteristik pasien merupakan perhatian utama bagi perawat, dan kompetensi perawat merupakan hal terpenting bagi pasien.

Meskipun setiap pasien dan keluarga memiliki keunikan, namun mereka memiliki kesamaan kebutuhan dan pengalaman dalam suatu rentang continuum dari rendah ke tinggi. Semakin berat gangguan pasien, semakin kompleks permasalahan yang dialami pasien. Praktik keperawatan ditentukan oleh kebutuhan pasien dan keluarga. Asuhan keperawatan merupakan refleksi perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga. Model sinergi berfokus pada kontribusi unik dari keperawatan terhadap asuhan pasien dengan menekankan pada peran professional perawat.

Ada 8 karakteristik pasien dan 8 kompetensi perawat yang bersinergi dalam suatu rentang continuum dari competent ke ahli, serta mencerminkan hubungan yang harmonis antara pasien dan keluarga, dan pasien dan perawat. Model tersebut seperti tergambar dalam gambar berikut:

Gambar 1: Hubungan antara pasien/keluarga dan perawat dan Model Sinergi (Relf & Kaplow, NA)

(13)

10

2.2 ASPEK - ASPEK LEGAL DALAM KEPERAWATAN KRITIS

Merupakan aspek mengenai hak dan tanggung jawab legal terkait dengan praktik keperawatan kritis yang merupakan hal penting bagi perawat dan pasien.

Perawat ruang intensif/kritis harus memberikan pelayanan keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal kesehatan. Perawat ruang kritis harus bekerja sesuai dengan aturan yang ada (standar rumah sakit/standar pelayanan maupun asuhan keperawatan).

Adapun beberapa aspek legal dalam keperawatan kritis : 2.2.1 AREA HUKUM

Menurut Morton & Fontaine (2009) terdapat tiga area hukum yang mempengaruhi praktik perawat perawatan kritis, yaitu hukum adminstrasi, hukum sipil, dan hukum pidana.

A. Hukum Adminstrasi

Hukum adminstrasi merupakan suatu konsekuensi hukum dan regulasi negara bagian dan federal yang terkait dengan praktik perawat. Di negara bagian terdapat suatu badan legislasi yang berfungsi untuk mengukuhkan akta praktek perawat. Dalam tiap akta tersebut, praktik keperawatan didefinisikan, dan kekuasaannya didelegasikan pada lembaga negara bagian biasanya disebut dengan State Board of Nursing. Lembaga ini berfungsi menyusun regulasi yang mengatur mengenai bagaimana penafsiran dan implementasi dari akta praktek perawat seharusnya. B. Hukum Sipil

Hukum sipil merupakan area kedua hukum yang mempengaruhi praktik keperawatan. Salah satu area khusus hukum sipil, hukum kerugian, membentuk landasan dari sebagian besar kasus sipil yang melibatkan perawat.

(14)

11 C. Hukum Pidana

Area ketiga hukum yang relevan dengan praktik keperawatan adalah hukum pidana. Berbeda dengan hukum sipil, dimana individu yang satteru menuntut individu yang lain, hukum pidana terdiri atas kasus tuntutan hukum yang diajukan oleh negara bagian, pemerintah federal atau setempat terhadap perawat. Dalam hal ini yang termasuk kasus pidana adalah penyerangan dan pemukulan, pembunuhan akibat kelalaian, dan pembunuhan murni.

Di Indonesia pengaturan sanksi pidana secara umum diatur dalam beberapa pasal pada KUH Pidana dan pengaturan secara khusus dapat dijumpai pada pasal 190-200 UU Nomor 36 Tahun 190-2009 tentang Kesehatan. Oleh sebab itu, undang-undang kesehatan memungkinkan diajukannya tuntutan kepada tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian ketika menjalankan tugas pelayanan kesehatan. Tuntutan itu dapat berupa gugatan untuk membayar ganti rugi kepada korban atau keluarganya. Adapun dasar peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang kesehatan yaitu Pasal 58 ayat (1) yang berbunyi. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya

2.2.2 PRINSIP ETIK DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Sebagaimana yang tercermin dalam model pengambilan keputusan, prinsip-prinsip etika yang relevan harus dipertimbangkan ketika dilema etik muncul. Terdapat beberapa prinsip-prinsip etik yang terkait dam pengaturan perawatan kritis, prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan hormat dan martabat bagi semua yang terlibat dalam pengambialn keputusan.

A. Menghargai otonomi (facilitate autonomy)

Suatu bentuk hak individu dalam mengatur kegiatan/prilaku dan tujuan hidup individu. Kebebasan dalam memilih atau menerima suatu tanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Prinsip otonomi menegaskan bahwa seseorang

(15)

12

mempunyai kemerdekaan untuk menentukan keputusan dirinya menurut rencana pilihannya sendiri. Bagian dari apa yang didiperlukan dalam ide terhadap respect terhadap seseorang, menurut prinsip ini adalah menerima pilihan individu tanpa memperhatikan apakah pilihan seperti itu adalah kepentingannya. (Curtin, 2002). Permasalahan dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan Rumah SAkit, ekonomi, tersedianya informsi dan lain-lain. Contoh: Kebebasan pasien untuk memilih pengobatan dan siapa yang berhak mengobatinya sesuai dengan yang diinginkan.

B. Kebebasan (freedom)

Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan atau paksaan pihak lain (Facione et all, 1991). Bahwa siapapun bebas menentukan pilihan yang menurut pandangannya sesuatu yang terbaik. Contoh : Klien dan keluarga mempunyai hak untuk menerima atau menolak asuhan keperawatan yang diberikan.

C. Kebenaran (Veracity)  truth

Melakukan kegiatan/tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang tidak bertentangan (tepat, lengkap). Prinsip kejujuran menurut Veatch dan Fry (1987) didefinisikan sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Suatu kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang lain. Kebenaran merupakan hal yang fundamental dalam membangun hubungan saling percaya dengan pasien. Perawat sering tidak memberitahukan kejadian sebenarnya pada pasien yang memang sakit parah. Namun dari hasil penelitian pada pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu tentang kondisinya secara jujur (Veatch, 1978). Contoh : Tindakan pemasangan infus harus dilakukan sesuai dengan SOP yang berlaku dimana klien dirawat.

(16)

13 D. Keadilan (Justice)

Hak setiap orang untuk diperlakukan sama (facione et all, 1991). Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua individu. Artinya individu mendapat tindakan yang sama mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan kehidupan seseorang. Prinsip dari keadilan menurut beauchamp dan childress adalah mereka uang sederajat harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka. Ketika seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar, maka menurut prinsip ini harus mendapatkan sumber-sumber yang besar pula, sebagai contoh: Tindakan keperawatan yang dilakukan seorang perawat baik dibangsal maupun di ruang VIP harus sama dan sesuai SAK

E. Tidak Membahayakan (Nonmaleficence)

Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau membahayakan orang lain.(Aiken, 2003). Contoh : Bila ada klien dirawat dengan penurunan kesadaran, maka harus dipasang side driil.

F. Kemurahan Hati (Benefiecence)

Menyeimbangkan hal-hal yang menguntungkan dan merugikan/membahayakan dari tindakan yang dilakukan. Melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain. Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain/pasien. Prinsip ini sering kali sulit diterapkan dalam praktek keperawatan. Berbagai tindakan yang dilakukan sering memberikan dampak yang merugikan pasien, serta tidak adanya kepastian yang jelas apakah perawat bertanggung jawab atas semua cara yang menguntungkan pasien.Contoh: Setiap perawat harus dapat merawat dan memperlakukan klien dengan baik dan benar.

G. Confidentiality

Yang dimaksud confidentiality adalah menjaga privasi atau rahasia klien, segala sesuatu mengenai klien boleh diketahui jika digunakan untuk pengobatan klien

(17)

14

atau mendapat izin dari klien. Sebagai perawat kita hendaknya menjaga rahasia pasien itutanpa memberitahukanya kepada orang lain maupun perawat lain.

Perawat memiliki komitmen menyeluruh tentang perlunya mempertahankan privasi dan kerahasiaan pasien sesuai kode etik keperawatan. Beberapa hal terkait isu ini yangsecara fundamental mesti dilakuakan dalam merawat pasien adalah :

 Jaminan kerahasiaan dan jaminan pelayanan dari informasi kesehatan yang diberikanharus tetap terjaga

 Individu yang menyalahgunakan kerahsiaan, keamanan, peraturan dan informasi dapatdikenakan hukuman / legal aspek

2.2.3 INFORMED CONSENT

Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis terhadap suatu hal yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent dinyatakan valid jika memenuhi tiga elemen yaitu : pasien harus kompeten atau sadar untuk menyetujui, pasien harus diberikan informasi yang adekuat sehingga mampu mengambil keputusan, dan pasien pada saat pengambilan keputusan harus bebas dari ancaman atau paksaan (Khan, Haneef, 2010).

Menurut Kepmenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami penyakit menyal sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.

Namun, pada beberapa keadaan, persetujuan tindakan tersebut tidak diperlukan. Sebagai contoh keadaan darurat yang tidak membutuhkan persetujuan tindakan dan pasien dapat melepaskan haknya untuk memberikan persetujuan tindakan dengan menyatakan ia tidak menginginkan informasi mengenai rencana terapi atau prosedur (Morton, 2009).

(18)

15

Menurut Iwanowsky (2007), pengkajian dari kompetensi pasien untuk memberikan informed consent merupakan isu yang terpisah. Sebuah hasil survei yang cukup unik dilakukan pada Swedish Acute Coronary Trialist mengenai pendapat tentang kompetensi pasien gawat darurat, bahwa sebanyak 86% dari mereka berpikir bahwa pasien SKA tidak akan mampu menerima informasi dengan baik terkait penjelasan tentang informed consent itu sendiri. Namun, 68% dari mereka berpikir bahwa jumlah informasi yang biasanya mereka berikan kepada pasien sudah cukup banyak. Hasil ini sepertinya menunjukkan apa yang banyak dipikirkan dan dirasakan oleh physicians lainnya diluaran sana khususnya dalam memberikan informed consent : seperti halnya pasien yang berkurang kompetensinya, bahkan yang lebih parah lagi kebanyakan dari mereka tidak membacakan lembar informed consent ini. Jadi poin yang terpenting dari hasil penelitian ini adalah bahwa defisit dari kompetensi seorang pasien tidak mudah untuk dideteksi dengan pemeriksaan medis rutin.

Biasanya, memperoleh persetujuan tindakan dari pasien atau keluarga adalah tanggung jawab dokter, namun perawat sering diminta untuk menyaksikan penandatanganan formulir persetujuan tersebut. Pada kasus ini perawat bersaksi bahwa tanda tangan pada formulir persetujuan tersebut adalah tanda tangan pasien atau keluarga. ketika perawat menyaksikan seluruh penjelasan dokter mengenai sifat terapi yang direncanakan, resiko, manfaat, dan kemungkin akibat perawat dapat memberikan catatan pada formulir persetujuan tersebut atau pada catatan perawat yang menyebutkan “prosedur disaksikan” (Morton, 2009).

2.2.4 DOKUMENTASI

Pepatah lama menyatakan bahwa, tidak melakukan dokumetasi berarti tidak benar-benar melakukan keperawatan. Menurut hukum, jika sesuatu tidak di dokumentasikan, berarti pihak yang bertanggung jawab tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Jika perawat tidak melaksanaknnya atau menyelesaikan suatu aktivitas atau mendokumentasikannya secara tidak benar,dia dapat dituntut melakukan kelalaian atau malpraktik. Dokumentasikeperawatan harus dapat

(19)

16

dipercaya secara legal, yaitu harus memberika laporanyang akurat mengenai perawatan yang diterima klien. Tappes, weiss, danwhitehead (2001) menyatakan bahwa dokumentasi dapat dipercaya apabila memenuhi hal-hal sebagai berikut:

a. Dilakukan pada periode waktu yang sama, perawatan didokumentasikan pada waktu perawatan diberikan.

b. Akurat, laporan yang akurat ditulis mengenai apa yang dilakukan oleh perawat dan bagaimana klien berespons.

c. Jujur, dokumentasi mencakup laporan yang jujur mengenai apa yang sebenarnya dilakukan atau apa yang sebenarnya diamati.

d. Tepat, apa saja yang dianggap nyaman oleh sesorang untuk dibahas dilingkungan umum didokumentasikan.

2.2.5 ISU & MASALAH LEGAL DALAM KEPERAWATAN KRITIS

1) KEPUTUSAN TINDAKAN MEMPERTAHANKAN HIDUP

Bagi pasien yang menderita masalah kesehatan yang menyangkut kelangsungan dan kualitas hidup diperlukan keputusan yang tidak mengesampingkan hak-hak dari pasien. Masalah-masalah kritis seperti koma, kematian otak, CPR dan DNR biasanya banyak memerlukan keputusan yang menyangkut dilema etik. Keputusan yang diambil oleh tenaga medis harus sesuai dengan keinginan dan keputusan yang telah disepakati dengan keluarga.

2) MASALAH KEMATIAN DAN MENJELANG AJAL A. Patient self- determinatioan Act

Perawat dan pasien harus lebih awal dalam mendiskusikan surat resmi (advance directives) dari pasien ketika kesehatan pasien masih dalam kondisi yang lebih baik tidak dalam masa keritis. Hal ini dikarenakan keputusan yang akan diambil akan lebih banyak membutuhkan waktu untuk mendiskusikan proses pembuatan keputusan. Perawat harus menghormati keputusan dan keingnan pasien dalam mengakhiri hidupnya, perawat juga harus menghormati persepsi pasien mengenai

(20)

17

kualitas hidup dalam perawatan diakhir hidupnya dan menurut keyakinan atau adat dar masing – masing pasien.

B. Advance directive

Pengajuan surat resmi adalah komunikasi spesifik tentang tindakan medic yang dipilih oleh pasien.beberapa tipe pengajuan surat resmi yang biasa ada yaitu surat perintah untuk melakukan DNR, perintah menghentikan kehidupan, surat wasiat dll.hal ini penting bag perawat untuk mengetahui jenis surat atau perintah yang ditandatangani atau dimiliki pasien dan pengajuan itu harus didikuti. Jika hal ini tidak dipatuhi atau dilaksanakan akan mengakibatkan gugatan.

3) TRANSPLANTASI ORGAN DAN JARINGAN

Metode bedah semakin berkembang dan terapi obat immunosupresive semakin efektif dalam meningkatkan jumlah maupun jenis organ dan jaringan yang berhasil ditransplantasikan.

Profesi perawatan kritis harus memastikan bahwa keputusan untuk menarik perawatan diri dibuat secara terpisah dari keputusan untuk menyumbangkan organ. Disamping itu, donor jantung setelah kematian sering dilakukan dalam operasi. anggota perawatan kritis perlu membuat rencana perawatan pasien meninggal sebagai mana mestinya. pendonor harus meninggal sesuai dengan kebijakan rumah sakit yang ditentukan sebelum pengadaan organ. Tidak adanya proses pengadaan organ menjadi penyebab langsung kematian.

4) WRONGFUL DEATH

Menurut Urden (2010), wrongful death merupakan kematian pasien yang disebabkan oleh kelalaian dari petugas kesehatan profesional ataupun dari organisasi rumah sakit tersebut.

Contoh Kasus :

Tn. B, 67 tahun, datang ke rumah sakit dengan COPD stadium akhir, hipoksemia, dan retensi karbondioksida dan memakai bantuan oksigen menggunakan nasal

(21)

18

kanul. Keadaan Umum Tn.B sudah sangat buruk. Perawat M datang dan kemudian langsung melepaskan oksigen pasien dan mulai memindahkan pasien ke ruangan sebelah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ruangannya yang sekarang. Keluarga meminta agar oksigen tetap dipasang, tapi Perawat M mengatakan bahwa ruangannya sangat dekat. Setelah pasien dipindahkan ke bed di ruangan yang baru tersebut, pasien didapati berhenti bernapas.

Dari kasus diatas menunjukkan kelalaian perawat karena melakukan pemindahan pasien tanpa memasang oksigen dimana perawat tersebut tampak mengabaikan keadaan umum pasien dan hal yang sangat mendasar dari kebutuhan dasar manusia yaitu oksigenasi.

Oleh karena itu, untuk menghindari liabilitas wrongful death, penting sekali bagi perawat untuk memperhatikan keadaaan akut dan kritis dari pasien, mengenali tanda dan gejala dari komplikasi ataupun sesuatu yang membahayakan pasien, dan kewenangan untuk melindungi pasien (Urden, 2010).

5) KELALAIAN DALAM KEPERAWATAN KRITIS

Kasus kelalaian dapat terjadi di berbagai tatanan dalam praktek keperawatan,. Kasus-kasus seperti ini berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan ilmu maupun kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan, termasuk di dalamnya dalam ranah praktek keperawatan kritis. Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4) unsur, yaitu:

A. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu. Seorang perawat perawatan kritis bertanggung jawab secara legal dalam merawat pasien dalam kondisi apapun. Jika perawat tersebut gagal memberikan perawatan sebagaimana mestinya sesuai dengan kondisi pasien, perawat tersebut dianggap melakukan pelanggaran pada kewajibannya.

(22)

19 Contoh Kasus :

Seorang pasien yang dirawat di ICU dan baru saja dilakukan pemasangan chest tube pada shift malam. Pada saat itu perawat lalai dalam melakukan monitoring pasien dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00, ketika dilakukan pengecekan kembali pada pukul 03.00 didapatkan keadaan pasien memburuk, pasien mengalami penurunan kesadaran, oksimetri buruk, dan tanda-tanda vital dalam keadaan jelek. Kemudian klien mengalami henti nafas dan henti jantung, dan kemudian segera dilakukan resusitasi pada pasien. Namun, ternyata pasien tetap tidak terselamatkan

B. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban

Pelanggaran kewajiban merupakan kegagalan untuk bertindak secara konsisten sesuai standar perawatan (Urden, 2010). Menurut Morton & Fontaine (2009), kelalaian terbukti benar atau salah dengan membandingkan perilaku perawat dengan standar perawatan. Pada umumnya, kelalaian dapat berupa kelalaian biasa atau kelalaian berat. Kelalaian biasa menunjukkan kecerobohan profesional, sedangkan kelalaian berat menunjukkan bahwa perawat tersebut secara sengaja dan sadar mengabaikan resiko bahaya yang telah diketahui pasien.

C. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.

D. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya menurunkan “Proximate cause”

6) EUTHANASIA

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami

(23)

20

seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145). Euthanasia sering di sebut juga dengan istilah mercy killing / a good death (mati dengan tenang) .

Istilah untuk pertolongan medis adalah agar kesakitan atau penderitaan yang di alami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya . Hal ini dapat terjadi karna pertolongan dokter atas permintaan pasien atau keluarganya karna penderitaan yang sangat hebat, dan tiada akhir ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pengbatan seperlunya . Euthanasia pada hakikatnya adalah pencabutan nyawa seseorang yang menderita penyakit parah atas dasar permintaan atau kepentingan orang itu sendiri. Euthanasia masih menimbulkan problem keagamaan, hokum, dan moral di semua budaya dan tradisi keagamaan

Euthanasia adalah kematian yang dialkukan sebelum waktunya yang biasa dilakukan pada akhir kehidupan, masih banyak dibicarakan orang . euthanasia biasanya berhubungan dengan pasien yang tak mempunyai harapan lagi sedangkan pasien tersebut sangat menderita.

Suatu aspek yang penting tentang euthanasia adalah bahwa pengakhiran hidup atau mengabaikan suatu tindakan yang dapat memperpanjang hidup seseorang, yang dilaksanakan atas permintaan pasien yang bersangkutan . secara prinsip dapat dapat dikatakan bahwa pasien yang bersangkutan adalah satu-satunya yang dapat menyatakan bahwa hidupnya lebih lanjut baginya tak ada artinya dan tak diharapkan lagi.

(24)

21 Ada empat metode euthanasia:

 Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.

 Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujuikarena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental

 Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapatditanyakan persetujuan,.

 Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia.

Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:

 Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian

 Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis

(25)

22

2.3 PRINSIP PENGELOLAAN KEPERAWATAN KRITIS

Pasien kritis dengan perawatan di ruang ICU (Intensive Care Unit) memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Mengenali ciri-ciri dengan cepat dan penatalaksanaan dini yang sesuai pada pasien beresiko kritis atau pasien yang berada dalam keadaan kritis dapat membantu mencegah perburukan lebih lanjut dan memaksimalkan peluang untuk sembuh (Gwinnutt, 2006 dalam Jevon dan Ewens, 2009).Comprehensive Critical Care Department of Health-Inggris merekomendasikan untuk memberikan perawatan kritis sesuai filosofi perawatan kritis tanpa batas (critical care without wall), yaitu kebutuhan pasien kritis harus dipenuhi di manapun pasien tersebut secara fisik berada di dalam rumah sakit (Jevon dan Ewens, 2009). Hal ini dipersepsikan sama oleh tim pelayanan kesehatan bahwa pasien kritis memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring penilaian setiap tindakan yang dilakukan.Dengan demikian pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau terjadinya penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab, 2007).

2.3.1 DEFINISI KEPERAWATAN KRITIS

Ilmu perawatan kritis adalah bidang keperawatan dengan suatu fokus pada penyakit yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Perawat kritis dapat ditemukan bekerja pada lingkungan yang luas dan khusus, seperti departemen keadaan darurat dan unit gawat darurat (Wikipedia, 2013)

Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang menghadapi secara rinci dengan manusia yang bertanggung jawab atas masalah yang mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat profesional yang resmi yang bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis dan keluarga-keluarga mereka menerima kepedulian optimal (American Association of Critical-Care Nurses).

(26)

23

Keperawatan kritis adalah suatu bidang yang memerlukan perawatan pasien yang berkualitas tinggi dan konperhensif. Untuk pasien yang kritis, waktu adalah vital. Proses keperawatan memberikan suatu pendekatan yang sistematis, dimana perawat keperawatan kritis dapat mengevaluasi masalah pasien dengan cepat.

Proses keperawatan adalah susunan metode pemecahan masalah yang meliputi pengkajian, analisa, perencanaan ,implementasi, dan evaluasi. The American Asosiation of Critical care Nurses (AACN) menyusun standar proses keperawatan sebagai asuhan keperawatan kritikal.

2.3.2 Konsep Dasar Keperawatan Kritis menurut AACN

Scope critical care nursing menurut AACN (American Association of Critical Care Nurse) dibagi 3 :

a. The critically ill patient

Masalah yang aktual dan potensial mengancam kehidupan pasien dan membutuhkan observasi dan intervensi mencegah terjadinya komplikasi. Pasien sakit kritis didefinisikan sebagai pasien yang beresiko tinggi untuk masalah kesehatan aktual atau potensial mengancam jiwa. Semakin sakit kritis pasien, semakin besar kemungkinan dia adalah untuk menjadi sangat rentan, tidak stabil dan kompleks, sehingga membutuhkan kewaspadaan

b. The critical-care nurse

Perawat perawatan kritis praktek dalam pengaturan dimana pasien memerlukan pengkajian yang kompleks, terapi intensitas tinggi dan intervensi berkesinambungan. Perawat perawatan kritis mengandalkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk memberikan perawatan kepada pasien dan keluarga dan menciptakan lingkungan yang menyembuhkan, manusiawi dan peduli.

(27)

24 c. The critical-care environment

Keistimewaan perawatan intensif dikembangkans ebagai konsekuensi dari epidemi polio dari tahun 1950-an, ketika ventilasi mekanik luas diperlukan. Sejak itu teknologi yang tersedia untuk mendukung pasien sakit kritis telah menjadi lebih canggih dan kompleks, dan pentingnya unit perawatan intensif(ICU) dalam sistem kesehatan.

2.3.3 Konsep keperawatan kritis

1. Tujuan

Untuk mempertahankan hidup (maintaining life).

2. Pengkajian

Dilakukan pada semua sistem tubuh untuk menopang dan mempertahankan sistem-sistem tersebut tetap sehat dan tidak terjadi kegagalan.Pengkajian meliputi proses pengumpulan data, validasi data, menginterpretasikan data dan memformulasikan masalah atau diagnosa keperawatan sesuai hasil analisa data. Pengkajian awal didalam keperawatan itensif sama dengan pengkajian umumnya yaitu dengan pendekatan system yang meliputi aspek bio-psiko-sosial-kultural-spiritual, namun ketika klien yang dirawat telah menggunakan alat-alat bantu mekanik seperti Alat Bantu Napas (ABN), hemodialisa, pengkajian juga diarahkan ke hal-hal yang lebih khusus yakni terkait dengan terapi dan dampak dari penggunaan alat-alat tersebut.

3. Diagnosa keperawatan

Setelah melakukan pengkajian, data dikumpulkan dan diinterpretasikan kemudian dianalisa lalu ditetapkan masalah/diagnosa keperawatan berdasarkan data yang menyimpang dari keadaan fisiologis. Kriteria hasil ditetapkan untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan yang diformulasikan berdasarkan pada kebutuhan klien yang dapat diukur dan realistis.

(28)

25

Ditegakkan untuk mencari perbedaan serta mencari tanda dan gejala yang sulit diketahui untuk mencegah kerusakan/ gangguan yang lebih luas.

4. Perencanaan keperawatan

Perencanaan tindakan keperawatan dibuat apabila diagnosa telah diprioritaskan. Prioritas maslah dibuat berdasarkan pada ancaman/risiko ancaman hidup (contoh: bersihan jalan nafas tidak efektif, gangguan pertukaran gas, pola nafas tidak efektif, gangguan perfusi jaringan, lalu dapat dilanjutkan dengan mengidentifikasi alternatif diagnosa keperawatan untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan (contoh: resiko infeksi, resiko trauma/injury, gangguan rasa nyaman dan diagnosa keperawatan untuk mencegah, komplikasi (contoh: resiko konstifasi, resiko gangguan integritas kulit). Perencanaan tindakan mencakup 4(empat) umsur kegiatan yaitu observasi/monitoring, terapi keperawatan, pendidikan dan tindakan kolaboratif. Pertimbangan lain adalah kemampuan untuk melaksanakan rencana dilihat dari keterampilan perawat, fasilitas, kebijakan dan standar operasional prosedur. Perencanaan tindakan perlu pula diprioritaskan dengan perencanaan ini adalah untuk membuat efisiensi sumber-sumber, mengukur kemampuan dan mengoptimalkan penyelesaian masalah.

5. Implementasi

Semua tindakan dilakukan dalam pemberian asuhan keperawatan terhadap klien sesuai dengan rencana tindakan. Hal ini penting untuk mencapai tujuan. Tindakan keperawatan dapat dalam bentuk observasi, tindakan prosedur terntentu, tindakan kolaboratif dan pendidikan kesehatan. Dalam tindakan perlu ada pengawasan terus menerus terhadap kondisi klien termasuk evaluasi prilaku.

Ditujukan terapi gejala-gejala yang muncul pertama kali untuk pencegahan krisis dan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama sampai dapat beradaptasi dengan tercapainya tingkat kesembuhan yang lebih tinggi atau terjadi kematian.

(29)

26 6. Evaluasi

Evaluasi adalah langkah kelima dalam proses keperawatan dan merupakan dasar pertimbangan yang sistematis untuk menilai keberhasilan tindkan keperawatan dan sekaligus dan merupakan alat untuk melakukan pengkajian ulang dalam upaya melakukan modifikasi/revisi diagnosa dan tindakan. Evaluasi dapat dilakukan setiap akhir tindakan pemberian asuhan yang disebut sebagai evaluasi proses dan evaluasi hasil yang dilakukan untuk menilai keadaan kesehatan klien selama dan pada akhir perawatan. Evaluasi dicatatan perkembangan klien. Dilakukan secara cepat, terus menerus dan dalam waktu yang lama untuk mencapai keefektifan masing-masing tindakan/ terapi, secara terus-menerus menilai kriteria hasil untuk mengetahui perubahan status pasien.

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pasien kritis prioritas pemenuhan kebutuhan tetap mengacu pada hirarki kebutuhan dasar Maslow dengan tidak meninggalkan prinsip holistic bio-psiko-sosio dan spritual.

Keperawatan kritis harus menggunakan proses keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan :

A. Data akan dikumpulkan secara terus – menerus pada semua pasien yang sakit kritis dimanapun tempatnya.

B. Indentifikasi masalah/kebutuhan pasien dan prioritas harus didasarkan pada data yang dikumpulkan.

C. Rencana asuhan keperawatan yang tepat harus diformulasikan.

D. Rencana asuhan keperawatan harus diimplementasikan menurut prioritas dari identifikasi masalah atau kebutuhan.

(30)

27 7. Dokumentasi Keperawatan

Dokumentasi adalah catatan yang berisi data pelaksanaan tindakan keperawatan atau respon klien terhadap tindakan keperawatan sebagai petanggungjawaban dan pertanggunggugatan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan perawat kepada pasien dari kebijakan. Dokumentasi keperawatan merupakan dokumentasi legal dalam sistem pelayanan keperawatan, karena melalui pendokumentasikan yang baik, maka informasi mengenai keadaan kesehatan klien dapat diketahui secara berkesinambungan.

2.3.4 Prinsip keperawatan kritis

Pengatasan pasien kritis dilakukan di ruangan unit gawat darurat yang disebut juga dengan emergency department sedangkan yang dimaksud dengan pasien kritis adalah pasien dengan perburukan patofisiologi yang cepat yang dapat menyebabkan kematian. Ruangan untuk mengatasi pasien kritis di rumah sakit dibagi atas Unit Gawat Darurat (UGD) dimana pasien diatasi untuk pertama kali, unit perawatan intensif (ICU) adalah bagian untuk mengatasi keadaan kritis sedangkan bagian yang lebih memusatkan perhatian pada penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah koroner yang disebut unit perawatan intensif koroner (Intensive Care Coronary Unit= ICCU). Baik UGD, ICU, maupun ICCU adalah unit perawatan pasien kritis dimana perburukan patofisiologi dapat terjadi secara cepat yang dapat berakhir dengan kematian. Sebenarnya tindakan pengatasan kritis ini telah dimulai di tempat kejadian maupun dalam waktu pengankutan pasien ke Rumah Sakit yang disebut dengan fase prehospital. Tindakan yang dilakukan adalah sama yakni resusitasi dan stabilisasi sambil memantau setiap perubahan yang mungkin terjadi dan tindakan yang diperlukan. Tiap pasien yang dirawat di ICU memerlukan evaluasi yang ketat dan pengatasan yang tepat dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu kelainan pada pasien kritis dibagi atas beberapa rangkai kerja:

1. Prehospital, meliputi pertolongan pertama pada tempat kejadian resusitasi cardiac pulmoner, pengobatan gawat darurat, teknik untuk mengevaluasi, amannya transportasi, akses telepon ke pusat.

(31)

28

2. Triage, yakni skenario pertolongan yang akan diberikan sesudah fase keadaan. Pasien-pasien yang sangat terancam hidupnya harus diberi prioritas utama. Pada bencana alam dimana terjadi sejumlah kasus gawat darurat sekaligus maka skenario pengatasan keadaan kritis harus dirancang sedemikian rupa sehingga pertolongan memberikan hasil secara maksimal dengan memprioritaskan yang paling gawat dan harapan hidup yang tinggi.

3. Prioritas dari gawat darurat tiap pasien gawat darurat mempunyai tingkat kegawatan yang berbeda, dengan demikian mempunyai prioritas pelayanan prioritas yang berbeda. Oleh karena itu diklasifikasikan pasien kritis atas:

a. Exigent, pasien yang tergolong dalam keadaan gawat darurat 1 dan memerlukan pertolongan segera. Yang termasuk dalam kelompok ini dalah pasien dengan obstruksi jalan nafas, fibrilasi ventrikel, ventrikel takikardi dan cardiac arest.

b. Emergent, yang disebut juga dengan gawat darurat 2 yang memerlukan pertolongan secepat mungkin dalam beberapa menit. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah miocard infark, aritmia yang tidak stabil dan pneumothoraks.

c. Urgent, yang termasuk kedalam gawat darurat 3. Dimana waktu pertolongan yang dilakukan lebih panjang dari gawat darurat 2 akantetapi tetap memerlukan pertolongan yang cepat oleh karena dapat mengancam kehidupan, yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah ekstraserbasi asma, perdarahan gastrointestinal dan keracunan.

d. Minor atau non urgent, yang termasuk ke dalam gawat darurat 4, semua penyakit yang tergolong kedalam yang tidak mengancam kehidupan

(32)

29 BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pasien kritis yang dirawat di Unit Perawatan Intensif merupakan sosok manusia yang utuh dan unik yang sedang mengalami gangguan/masalah kesehatan yang kompleks. Cara pandang perawat terhadap pasien akan menentukan pola interaksi dan pendekatan ke pasien secara keseluruhan. Berkembang pesatnya teknologi dibidang perawatan intensif seyogyanya tidak menggeser pandangan folosofis perawat terhadap pasien dan keluarga dan mengurangi interaksi caring antara perawat dan pasien/keluarga. Keyakinan dan nilai-nilai keperawatan holistik bisa dijadikan landasan penguat untuk menerapkan nilai-nilai caring yang menjadi inti/ruhnya keperawatan. Model Sinergi, memberikan ilustrasi konkrit tentang penerapan nilai-nilai caring yang holistic dalam kontek membangun hubungan interaksi yang harmonis antara perawat dan pasien/keluarga dalam upaya mencapai tujuan bersama, yaitu kesehatan dan kesejahteraan bagi pasien dan keluarganya yang merupakan cita-cita luhur dari profesi keperawatan.

3.2 Saran

Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca khususnya mahasiswa keperawatan dapat memperoleh ilmu yang lebih tentang “Integrasi proses keperawatan dan diagnosa keperawatan didalam kerangka kerja holistik”

Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber literature yang layak digunakan untuk mahasiswa.Jika anda ingin membuat suatu kesimpulan yang baik dan benar dalam pembuatan makalah atau karya tulis ilmiah, anda harus memperhatikan beberapa cara dan perlu mengingatnya diantaranya yaitu memahami isi materi dari makalah atau karya tulis ilmiah sehingga didapatkan suatu kesimpulan dari pemahaman yang telah diserap.

(33)

30

DAFTAR PUSTAKA

Frisch, N.C. (2009). Standard for holistic nursing practice: A way to think about our care that includes complementary and alternative modalities. Diakses tanggal 29 Desember 2009 dari

http://www.nursingworld.org/ojin/topic15/tpc15_4.html

Hendrik. (2011). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC

Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

http://www.scribd.com/doc/243508922/Bab-II-Prespektif-Kep-Kritis#scribd (Diakses tanggal 30/09/2017)

http://www.en.wikipedia.org/wiki/Critical_care_nursing (Diakses 30/09/2017

Gambar

Gambar 1: Hubungan antara pasien/keluarga dan perawat dan Model Sinergi (Relf

Referensi

Dokumen terkait

POKJA Pembangunan Jembatan Gunung Lingai Lempake Tepian UNIT LAYANAN PENGADAAN.

Hasil penelitiаn yаng telah dilаkukаn di PT Segаr murni utаmа menghasilkan pengaruh dari kualitas kehidupan kerja karyawan terhadap komitmen organisasi memiliki pengаruh

Demikian pula kadar bilirubin total pada neonatus yang menderita hiperbilirubinemia yang mengalami hemolisis maupun yang tidak hemolisis pada saat sebelum diberikan

Dengan demikian, restitusi yang diajukan kepada pelaku ditolak oleh hakim karena penganiayaan yang terbukti bukanlah penganiayaan yang menyebabkan kematian korban

Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot 100 bulir empat varietas tanaman padi dengan bobot tertinggi terdapat pada varietas Inpari 32 yang berbeda nyata dengan varietas

Ruang lingkup penelitian ini adalah mencermati perubahan kelimpahan dan struktur komunitas Fitoplankton di daerah sekitar reklamasi perairan pantai Seruni Kabupaten

akhirnya menjadi konsumen yang loyal terhadap bank Syariah Mandiri. Berkaitan dengan proses segmentasi, maka dalam penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis-sosiologis yang bersifat deskriptif, yakni mengkaji dan melihat bagaimana suatu peraturan perundang-undangan yang