• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ikan gabus (Channa stirata)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ikan gabus (Channa stirata)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan gabus (Channa stirata)

Ikan gabus (Channa stirata) adalah sejenis ikan buas yang hidup di air tawar. Ikan ini dikenal dengan banyak nama di berbagai daerah, seperti aruan, haruan, kocolan, dan sebagainya. Dalam bahasa Inggris disebut dengan berbagai nama common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead,

striped snakehead dan juga aruan. Channa striata, merupakan jenis ikan

perairan umum dengan habitat utama di muara-muara sungai, danau bahkan ikan ini dapat hidup dalam kondisi air kotor dan kekeringan karena memiliki alat pernapasan yang disebut labyrinth. Ikan gabus tersebar diseluruh Indonesia, terutama di perairan Kalimantan Selatan. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah ikan gabus (Channa striata) yang tertangkap dari perairan Kalimantan Selatan setiap tahunnya semakin meningkat dari tahun 2000 sebanyak 40.432,2 ton menjadi 50.192,2 ton pada 2001 dan tahun 2002 sebanyak 50.167,5 ton (BPS Kalimantan Selatan 2005).

Menurut Khairuman & Amin (2003), ikan gabus terdiri dari berbagai jenis spesies yakni: (1) ikan gabus (Ophiocephalus striatus) dengan ciri utamanya punggung yang berwarna coklat dan dapat mencapai ukuran panjang tubuh maksimal 90 cm; (2) ikan kehung (Ophiocephalus melanoptus) cirri-ciri spesies ini adalah warna tubuh agak coklat kehitaman, bobot tubuhnya dapat mencapai 750 gram dan ukuran panjang tubuh maksimum adalah 65 cm; (3) ikan kerandang (Ophiocephalus pleurophtalmus) ciri spesies ini adalah warna tubuhnya agak kuning dan coklat kehitaman dengan perut warnanya agak putih. Bobot tubuh maksimal 0,5 kg panjang tubuh maksimal 40 cm; (4) Ikan unggui (Ophicephalus bankanensis) dikenal di Palembang dan memiliki punggung berwarna coklat sementara perutnya warnanya lebih terang. Bobot maksimumnya adalah 1 kg per ekor dengan panjang 24 cm; (5) Spesies yang

terakhir adalah ikan toman (Ophicepalus micropeltes) banyak terdapat di Sumatera Utara, di Palembang dan di pulau Jawa ikan ini disebut dengan ikan

buhung atau tobang. Saat muda ikan ini berwarna merah namun jika sudah

dewasa berganti warna hijau kebiruan dan bercampur ungu serta ikan jenis ini dapat mencapai 3 kg per ekor dengan panjang sekitar 64 cm.

Secara umum kondisi fisiologis ikan dari lima species ikan dari Ikan gabus memiliki isi usus yang didominasi oleh sisa daging ikan dan udang (99,9%, 100%) hal ini menunjukkan bahwa mereka karnivora murni. Tingkat kematangan

(2)

gonad pada ikan gabus mencapai tingkat III-IV, ikan bujuk dan serandang mencapai tingkat IV. Jumlah telur ikan gabus antara 728-1.735 butir/g dengan berat antara 149-421,3 g. Habitat ikan gabus di Kabupaten Muba berupa hutan rawa, sedangkan di Kabupaten Muara Enim berupa tanaman air (graminea) dengan sedikit tumbuhan tingkat tinggi. Ikan serandang mempunyai habitat pada perairan air gambut yang berwarna hitam (Litbang 2010).

Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan produk hasil olahan daging ikan yang berbentuk padat yang dihasilkan melalui proses pengeluaran sebagian besar kadar air dan seluruh atau sebagian dari kadar lemak daging ikan tersebut (Hutuely 2001). Tujuan pengurangan kadar air adalah untuk menghambat proses pembusukan sebab penurunan kadar air berkorelasi dengan aktivitas mikroba.

Prinsip dasar yang digunakan dalam pengolahan tepung ikan adalah pemasakan, pemisahan air dan lemak, pengeringan dan penggilingan (Trisnohardjokusumo 2001). Pada tahap pemasakan akan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan air dan minyak mudah dikeluarkan dari bahan, apabila dalam proses perebusan terjadi ketidaksempurnaan seperti kurang matang ataupun terlalu matang maka proses pengeluaran air dan minyak akan menjadi lebih sulit. Setelah mengalami pemasakan ikan akan di press untuk mengeluarkan air dan minyak yang terkandung di dalamnya, pada tahap ini akan terjadi penurunan kadar air sekitar 50% dan penurunan kadar minyak sekitar 4–5%, apabila proses pengepresan tidak maksimal maka akan terjadi ketengikan dalam kurun waktu yang lebih cepat demikian juga dengan aktivitas mikroba yang akan menjadi lebih cepat. Pengeringan merupakan proses lanjutan untuk mengurangi kadar air padatan yang diperoleh pasca pengepresan, pada skala industri digunakan suhu mencapai 5000 C namun pemanasan pada suhu lebih dari 1000 C sudah dapat menguapkan air yang terkandung dalam padatan tersebut, pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai kisaran 6%-9%. Tahap akhir dari pembuatan tepung ikan adalah penggilingan merupakan proses penghalusan padatan yang diperoleh dari rangkaian proses sebelumnya, pada tahap inilah padatan akan berubah bentuk menjadi tepung (Trisnoharjono 2001).

Mutu tepung ikan dinilai berdarkan tiga aspek utama yaitu kandungan kimia, mikrobiologi, dan organoleptik (Trisnoharjono 2001). Mutu tepung yang dihasilkan sangatlah bergantung terhadap mutu bahan baku sebab nilai gizi produk tepung ikan tidak berbeda jauh dengan nilai gizi daging ikan yang menjadi

(3)

bahan baku tepung tersebut. Namun adanya proses pengolahan menyebabkan adanya perubahan komposisi senyawa kimia (Hutuely 2001). Standar mutu tepung ikan telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional Indonesia, yang dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Standar Nasional Indonesia tepung ikan Parameter Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3

Air 10 12 12

Protein kasar (%) min 65 55 45

serat kasar (%) min 1,5 2,5 3

Abu (%) maks 20 25 30

Lemak (%)maks 8 10 12

Ca (%) 2,5-5,0 2,5-6,0 2,5-.0

P (%) 1,6-3,2

NaCl (%) maks 2 3 5

Salmonella ( per 25 g sampel ) negatif negatif negatif

Nilai minimum organoleptik 7 6 6

Sumber : Standar Nasional Indonesia (1992)

Cookies

Cookies merupakan kue kering yang manis dan memiliki ukuran yang

kecil. Cookies dapat diklasifikasikan berdasarkan konsistensi adonannya, yaitu

press cookies dan bar cookies. SNI 01-2973-1992 menyatakan bahwa cookies

merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah jika dipatahkan, dan penampang potongannya bertekstur padat (BSN 1992).

Berdasarkan ketetapan Badan Standarisasi Nasional (1992) SNI 01-2973-1992 cookies harus memenuhi syarat mutu. Syarat mutu cookies dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu cookies Komponen Syarat Mutu

Kadar air Maksimum 5%

Kadar protein Minimum 9% Kadar lemak Minimum 9,5% Kadar karbohidrat Minimum 70% Kadar abu Maksimum 1,5% Logam berbahaya Negatif

Serat kasar Maksimum 0,5% Kalori per 100 g Minimum 400 Jenis tepung Terigu

Bau dan rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal

(4)

Komposisi utama dalam pembuatan cookies adalah gula, lemak telur dan tepung. Secara umum bahan penyusun cookies dapat dikelompokkan menjadi bahan pengikat yaitu tepung, air, susu, dan telur serta produk cokelat dan bahan pelembut meliputi gula, shortening, baking powder dan kuning telur (Annova 1989).

Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan

cookies seperti pada tahap pencampuran adonan, jumlah adonan, lama

pengadonan, dan kecepatan pengadukan (Annova 1989). Sebelum pemasukan tepung sebaiknya dibentuk adonan berkonsistensi krim yaitu campuran lemak telur dan gula. Lama pemanggangan ideal adalah pada suhu 180-2500 C selama 16-20 menit (Manley 2001).

Fortifikasi Seng dan Besi

Fortifikasi pangan adalah penambahan zat gizi tertentu ke dalam bahan makanan tertentu, yang bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi makanan (Rosanna 2009). Fortifikasi pangan merupakan metode yang umum digunakan sebagai upaya dalam menanggulangi masalah gizi, terutama zat gizi mikro. Amerika merupakan negara pertama yang melakukan fortifikasi, yaitu pada tahun 1920 dengan dikeluarkannya peraturan tentang fortifikasi garam dengan zat iodium (Rosanna 2009). Kelebihan metode fortifikasi pangan dalam mengatasi masalah gizi adalah populasi sasarannya luas, tidak diperlukan sarana program khusus dalam pemberian, serta tingkat penerimaan dan tingkat kesinambungannya tinggi (Rosanna 2009). Fortifikasi zat besi sendiri telah berhasil menurunkan prevalensi anemia defisiensi besi secara drastis di Swedia dan Eropa dengan menggunakan tepung sebagai bahan pangan pembawa. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan fortifikasi antara lain pemilihan pangan pembawa, bentuk fortifikan, penetapan dosis, stabilitas dan interaksi dalam pangan, bioavailabilitas fortifikan, absorpsi fortifikan dalam tubuh, pertimbangan toksisitas, biaya fortifikasi dan daya terima pangan yang difortifikasi serta monitoring dan evaluasi program fortifikasi tersebut (Muchtadi

et al 1995).

Produk pembawa fortifikan, harus mempunyai beberapa syarat tertentu, antara lain: kecil kemungkinan dikonsumsi secara berlebihan, mempunyai stabilitas yang bagus selama penyimpanan, ukuran penyajian dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan fortifikan yang ditambahkan dan dikonsumsi secara teratur dalam jumlah yang relatif konstan (Fitriani 2001). Pangan pembawa harus

(5)

bersifat stabil terkait warna, rasa dan penampilannya setelah difortifikasi. Selain itu, harus dapat menahan dosis dari zat gizi yang ditambahkan setelah pangan mengalami proses lanjut ataupun saat dimasak tidak menimbulkan resiko keracunan bagi orang yang mengkonsumsinya (Fitriani 2001). Selain syarat-syarat tersebut Muchtadi et al (1995) menyatakan berdasarkan AMA/FNB (American Medical Association/Food and Nutrition Board ) syarat yang harus dipenuhi oleh zat gizi yang akan difortifikasikan adalah dapat dimanfaatkan tubuh secara maksimal oleh tubuh, penambahannya tidak mengganggu keseimbangan zat gizi esensial lainnya, harganya relatif murah , dan tidak terpengaruh inhibitor yang mungkin terdapat dalam bahan pangan pembawa. Variabel lain yang perlu diperhatikan adalah pangan pembawa hendaknya harus dapat dikonsumsi secara merata oleh kelompok sasaran (Mutchadi et al 1995).

Dalam melakukan fortifikasi Fe dan Zn terdapat sejumlah bentuk kimia dari mineral ini yang dapat digunakan sebagai fortifikan, seperti fero sulfat, fero fumarat, fero sakarat , seng sulfoksida, seng fumarat, seng sulfat, dan seng glukonat. Pemilihan bentuk senyawa dari mineral tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti bioavailabilitas, harga, keamananan, kelarutan, dan pengaruhnya terhadap organoleptik (Muchtadi et al 1995). Selain itu perlu dipertimbangkan interaksinya dengan zat gizi dan fortifikan lainnya . bioavailabilitas berbagai senyawa Fe dapat dilihat dalam Tabel 3

Tabel 3 Bioavailabilitas berbagai senyawa Fe No Klasifikasi Senyawa besi Ketersediaan

tikus Manusia

1 Larut air Fero Sulfat 100 100

2 Larut air Fero Glukonat 97 89

3 Larut air Feri Amonium Sitrat 107 NA 4 Larut air Feri Amonium Sulfat 99 NA 5 Sedikit larut air Fero Suksinat 119 92 6 Sedikit larut air Fero Fumarat 95 100 7 Sedikit larut air Fero Sakarat 92 75 8 Tidak Larut air Feri Ortofosfat 6 - 46 31 9 Tidak larut air Fero Pirofosfat 45 39 10 Tidak larut air Besi Elemental 76 13 – 90

Sumber Mutchadi et al 1995

Senyawa Fe yang akan digunakan dalam fortifikasi ini adalah Fero Sulfat, hal ini didasarkan pada Zimmermann (2005) yang menyatakan bahwa

(6)

berdasarkan kriteria harga dan pengaruhnya terhadap penampakan maka Fero Sulfat merupakan bentuk senyawa kimia yang paling sesuai digunakan sebagai fortifikan terutama untuk produk olahan tepung seperti cookies, mie dan pasta. Senyawa Zn yang digunakan adalah Zn sulfat hal ini sesuai dengan pernyataan Herman et al 2002 yang menyatakan bahwa berdasarkan kelarutan dalam adonan dan penyerapannya Zn dalam bentuk senyawa Zn sulfat lebih baik digunakan sebagai fortifikan jika dibandingkan dengan bentuk senyawa Zn oksida, hal ini terkait juga dengan interaksinya dengan bentuk senyawa Fe yang digunakan. López de Romaña, Lönnerdal, dan Kenneth H Brown (2003) yang menyatakan bahwa Zn sulfat dapat digunakan dalam fortifikasi terhadap produk yang mengandung terigu dan aman untuk dikonsumsi oleh orang sehat. Fortifikasi Fe dan Zn akan dilakukan terhadap cookies dengan didahului dengan mikrokapsulasii untuk meminimalisir dampak fortifikan terhadap mutu organoleptik pangan pembawa fortifikan.

Kebutuhan dan peranan protein, Fe dan Zn pada anak

Protein merupakan salah satu dari beberapa zat gizi makro yang dibutuhkan oleh manusia terutama anak untuk dapat bertahan hidup, hal ini terkait dengan sejumlah fungsi protein di dalam tubuh, protein merupakan komponen struktural dan fungsional dalam tubuh. Almatsier 2006 menyatakan bahwa semua enzim, zat pembawa, hormon, dan matriks ekstraselular tersusun atas protein, selain itu protein juga berperan dalam sistem pertahanan tubuh (immunoglobulin dan fibrinogen). Terkait dengan fungsinya sebagai komponen struktural dan fungsional maka pada periode anak kebutuhan protein hendaknya terpenuhi dengan baik, sebab pada tahap anak akan terjadi pertumbuhan fase cepat (Arisman 2004). Kekurangan zat gizi menyebabkan keterlambatan pertumbuhan yang dapat bersifat permanen hingga kematian (Manan 2004). Apabila terjadi kekurangan asupan protein dan hal ini berkepanjangan maka akan timbul masalah gizi berupa KEP yang akan bermanifestasi terhadap munculnya penyakit infeksi (Arisman 2004).

Sebagaimana peran vital zat gizi makro protein, Fe dan Zn juga memiliki peranan penting di dalam pemeliharaan fungsi tubuh. Marliyati dan Kustiah (2008) menyatakan bahwa Fe merupakan salah satu elemen kunci dalam proses metabolisme tubuh. Di dalam tubuh Fe memiliki sejumlah peranan seperti pembawa oksigen dan karbondoksida, pembentukan sel darah merah, katalisasi dalam sintesis vitamin A, sintesis purin, sintesis jaringan kolagen, dan

(7)

detoksifikasi toksik di hati (Murray 2009). Defisiensi dari mineral ini dapat bermanifestasi pada anemia gizi besi. Seperti halnya Fe, Zn juga memiliki peranan yang vital di dalam tubuh. Beberapa aktivitas vital tubuh seperti respon imun, fungsi neurologi, sintesis DNA dan RNA, pembentukan jaringan mata, intergritas fungsi lambung dan pembentukan sel darah putih dan reproduksi memerlukan Zn di dalam prosesnya. Defisiensi mineral ini dapat menyebabkan kekurangan mineral Pb, hambatan perumbuhan, hambatan perkembangan, hambatan, kematangan seks, kurangnya nafsu makan, rendahnya daya tahan tubuh, dan gangguan sistem syaraf (WNPG 2004)

Formulasi suatu bahan pangan hendaknya memperhatikan kebutuhan zat gizi pada kelompok target, hal ini untuk mencegah terjadinya masalah gizi. Di Indonesia sendiri dalam standarisasi penentuan kebutuhan zat gizi mengacu pada WNPG, dalam hal ini digunakan WNPG 2004. Angka kecukupan zat gizi untuk kelompok anak dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari)

Balita (per orang per hari)

0 – 6 bulan 7–11 bulan 1–3 tahun 4–6 tahun

Berat Badan (kg) 6.0 8.5 12 18 Tinggi badan (cm) 60 71 90 18 Enegi (kkal) 550 650 1000 1550 Protein (g) 10 16 25 39 Vitamin A (RE,µg) 375 400 400 450 Tiamin (mg) 0.2 0.4 0.5 0.8 Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6 Piridoksin (mg) 0.1 0.3 0.5 0.6 Niacin (mg) 2 4 6 8 Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9 1.2 Asam Folat (mg) 65 80 150 200 Vitamin C (mg) 40 50 40 45 Kalsium (mg) 200 400 500 500 Fosfor (mg) 100 225 400 400 Besi (mg) 0.3 10 7 9 Seng (mg) 5.5 7.5 8.2 9.7 Iodium (µg) 90 120 90 120

(8)

Wuehler et al (2008) menyatakan dosis suplementasi Zn pada anak usia pra sekolah sebesar 3 mg/hari memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kadar Zn plasma dan menurunkan angka diare dan penyakit infeksi pada kelompok usia ini. Angka toksisitas Zn dikhawatirkan adalah pada tingkat suplementasi 23 mg/hari (Wuehler et al 2008).

Mikrokapsulasi

Mikrokapsulasi adalah suatu proses penyalutan bahan-bahan inti yang berbentuk cair atau padat dengan menggunakan suatu bahan penyalut khusus yang membuat partikel-partikel inti mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang dikehendaki. Bahan penyalut yang berfungsi sebagai dinding pembungkus bahan inti tersebut dirancang untuk melindungi bahan-bahan terbungkus dari faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas bahan tersebut (Rossana 2009).

Zat aktif yang terkurung di dalam mikrokapsul disebut inti atau core, dimana inti ini dapat berwujud padat atau cair dengan sifat permukaan hidrofilik atau hidrofobik, sedangkan dinding penyalut mikrokapsul disebut skin atau

shell, atau film pelindung. Zlotkin et al (2001) menyatakan bahwa proses

mikrokapsulasi bahan-bahan inti tersebut dibungkus oleh dinding polimer tipis. Proses mikrokapsulasi umumnya bertujuan untuk menghasilkan partikel-partikel padatan yang telah dilapisi oleh bahan penyalut tertentu.

Terminologi mikrokapsulasi kadang-kadang dipakai untuk menggantikan istilah enkapsulasi yang berarti proses atau mekanisme perlindungan atau penyelaputan. Kedua terminologi tersebut menunjukkan mekanisme penyelaputan material inti (core) dengan suatu dinding. Dikatakan sebagai mikrokapsulasi karena bentuknya yang kecil, yang berukuran kurang dari atau sama dengan 100 mikron Pada umumnya mikrokapsul mempunyai ukuran antara 5 sampai 200 mikrometer (Desai KGh dan Park 2005).

Industri makanan menerapkan teknik enkapsulasi ini dengan berbagai alasan yaitu untuk menjaga kestabilan dari bahan inti. Mikrokapsul merupakan “food processor” yang berarti mikrokapsul digunakan untuk melindungi komponen-komponen yang sensitif (mudah menguap), melindungi flavor dan aromanya, dan mengubah bahan berbentuk cairan menjadi padatan dengan tujuan mempermudah penanganannya (Fitriani 2001).

Proses enkapsulasi yang telah dikembangkan saat ini sangat banyak, antara lain metode spray drying, penyelaputan dengan suspensi udara, extrusion dan spray cooling atau spray chilling (Yudha 2008).

(9)

Pada pembuatan mikrokapsulasi biasanya digunakan anticaking agent yang bertujuan untuk mencegah penggumpalan pada padatan (produk) yang dihasilkan oleh proses. Anticaking agent adalah padatan berbentuk bubuk atau kristal yang ditambahkan ke dalam produk pangan bubuk yang bersifat higroskopis menghambat kecenderungan untuk menggumpal. Anticaking agent ini umumnya merupakan bahan kimia yang bersifat inert dan sebagian besar tidak larut dalam air, tetapi mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menyerap uap air. Konsentrasi efektif dari anticaking agent umumnya maksimum sebesar 2%. Penambahan dilakukan dengan pencampuran ke dalam produk yang sudah berbentuk bubuk (Yudha 2008).

Anticaking yang efektif adalah yang mampu melekat pada produk

bubuk dan mempengaruhi sifat permukaannya. Pola pelekatan dari anticaking tersebut dapat berupa penutupan permukaan secara lengkap sampai dengan penutupan yang menyebar. Mekanisme dari anticaking diantaranya adalah (1) mengabsorbsi kelebihan uap air, (2) membentuk lapisan pada permukaan produk, dan (3) mencegah terbentuknya “jembatan” diantara molekul-molekul air pada produk. Umumnya penambahan anticaking dalam suatu produk bubuk tidak mengganggu penampakan dari produk dan sulit untuk dilihat secara visual. Hal ini dikarenakan konsentrasi anticaking yang ditambahkan sangat kecil dibandingkan dengan campuran bubuk yang dimasuki atau produk memiliki penampakan opaque (Yudha 2008).

Gambar

Tabel 1 Standar Nasional Indonesia tepung ikan
Tabel 3 Bioavailabilitas berbagai senyawa Fe  No   Klasifikasi  Senyawa besi  Ketersediaan
Tabel 4  Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak     balita (per orang per hari)

Referensi

Dokumen terkait

membuat laporan hasil kunjungan ke Museum Negeri Bengkulu menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sedangkan sumber belajar untuk kelas kontrol adalah buku

DAN salah satu perkara yang paling saya tekankan di sini ialah mempelajari dengan mereka yang telah berjaya dan mampu tunjuk ajar anda ke arah yang lebih sukses dalam bidang

Penelitian ini diharapkan berguna untuk petani/peternak dalam meningkatkan pemanfaatan feses babi menjadi produk yang memiliki nilai dibandingkan bila dibiarkan

Pidana penjara yang dijatuhkan hakim ini patut dipertanyakan apakah pidana penjara dapat menimbulkan efek jera pada di terpidana mengingat banyak kasus kekerasan dalam rumah

Demikianlah, jika al-Quran senantiasa dijadikan sebagai paradigma berpikir, maka al-Quran akan mampu membimbing akal pikiran untuk mampu berpikir dengan benar,

Iz usporedbe dijagrama se jasno vidi da je slučaj prigušenja na ulazu u kompresor puno povoljniji u smislu zadrţavanja što veće termodinamičke efikasnosti, u odnosu

Berdasarkan penjelasan di atas yang dimaksud judul skripsi “Amalan Keagamaan Dalam Mengatasi Kecemasan Ibu Hamil Menjelang Persalinan (Studi di RSIA Bunda

Hasil observasi peningkatan kemampuan membaca awal kata anak melalui permainan kliping abjad pada kategori sangat tinggi, untuk aspek I, mengenal konsep huruf