• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORANG PALING BIJAKSANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ORANG PALING BIJAKSANA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA

etika tahun pelajaran baru dimulai, setiap orang kelihatan bersemangat, bersinar seperti murid-murid sekolah dasar, pada hari pertama sekolah. Apakah anda masih ingat ketika pertama kali masuk sekolah ? Nichiren Shonin juga mengalami hal yang sama ketika ia masih remaja. Waktu Nichiren Shonin berumur 55 tahun dan tinggal di Gunung Minobu, Ia menulis sebuah Surat Kepada Para Bhiksu Kuil Seicho JI, menjelaskan tentang masa mudanya, Ia pernah berdoa kepada Bodhisattva Kokuzo untuk menjadi “Orang Yang Paling Bijaksana di Jepang”. Mari kita membahas lebih jauh tentang apa makna sebenarnya dari menjadi orang bijaksana itu ?

Nichiren Shonin baru berumur 12 tahun pada tahun pertama di Tempuku (1233) ketika ia masuk ke sekolah Kuil Seicho Ji di puncak

ORANG PALING

BIJAKSANA

Oleh: YM.Bhiksu Jun’ichi Nakamura

K

Yakuomaro di Kuil Seichoji,

kemudian menjadi pendiri Nichiren Shu,

berdoa dan membuat sebuah

(2)

Gunung Kiyosumi. Sebagaimana halnya semua murid baru, Ia pasti mempunyai segudang impian dan harapan yang tinggi.

Rupang yang disemayamkan ditengah-tengah Aula Utama dari Kuil Seicho Ji adalah rupang Bodhisattva Kokuzo. Makna dari nama Bodhisattva ini adalah Gudang Kebijaksanaan Tak Terhingga bagaikan luasnya langit biru. Seseorang yang berdoa kepada Bodhisattva ini, orang itu akan dianugerahi keberuntungan, kebajikan dan kebijaksanaan. Apakah anda senang berdoa kepada Bodhisattva ini? Namun, jika doa yang dipanjatkan hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan pribadi, pasti tidak akan memperoleh jawaban.

Saya teringat sebuah cerita bahwa terdapat seorang anak laki-laki yang pulang kerumah dari sekolah setelah memperoleh nilai 100 dalam ujian. Ibu dari anak itu bertanya kepadanya, “Berapa banyak anak dalam kelas mu yang memperoleh nilai 100 ? Ibu itu tidaklah memuji anaknya atas prestasi yang telah dicapai tetapi ia mendoakan agar semua murid dalam kelas itu bisa menjadi murid yang terbaik. Saya tidak tahu apakah cerita itu benar atau tidak, tetapi bukankah ini suatu hal yang mungkin dalam hidup, anda setuju bukan? Dalam kehidupan yang penuh persaingan yang kita hadapi sekarang ini, orang yang berdoa dengan cara seperti ini akan mendapatkan kesuksesan.

Nichiren Shonin berdoa dan berjanji kepada Bodhisattva tersebut untuk menjadi “Orang

Yang Paling Bijaksana di Jepang” bukanlah sesuatu yang mudah, mengharapkan keberhasilan dibandingkan yang lain. Untuk menjadi “Orang Bijaksana” berarti menjadi orang yang penuh dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Tentu saja, kebijaksanaan yang dicari oleh Nichiren Shonin adalah kebijaksanaan dan pengertian mendalam dari Buddha, sering disebut sebagai “Kebijaksanaan Buddha.”

Mari kita mengupas lebih dalam makna dari “Kebijaksanan Buddha”, dalam kamus Buddhis y a n g d i s u s u n o l e h H a j i m e Nakamura, dijelaskan tentang makna dari “Kebijaksanaan” yang berarti, “Mampu melihat segala aspek dengan jelas dari semua hal dalam kehidupan, dan menyelesaikan proses Pencapaian Penerangan, bersamaan itu mampu menghubungkan pandangan yang benar terhadap segala aspek kehidupan tanpa meninggalkan prinsip kebenaran.”

Pengertian yang lebih singkat dalam kamus Buddhis yang sama, dijelaskan bahwa “Kebijaksanaan” juga berarti “Mengerti akan karunia yang diberikan oleh orang lain.”

Ini tidak berarti bahwa pengetahuan bukan sesuatu yang tidak penting. Kita dapat membayangkan bahwa kebijaksanaan mempunyai arti yang jauh lebih dalam daripada itu. Menyadari betapa pentingnya makna dari kata-kata itu, Nichiren Shonin dengan penuh kesungguhan hati berdoa kepada Bodhisattva Kokuzo.

Ajaran yang dibabarkan oleh Sang Buddha begitu luar biasa banyaknya dan mempunyai makna masing-masing, semua berjumlah 84,000 sutra. Setiap sutra-sutra ini mempunyai tujuan dan makna penting masing-masing. Nichiren Shonin memasuki Gudang Sutra yang luar biasa ini dengan tujuan mencari “Hati dari Ajaran Sesungguhnya Buddha Sakyamuni.”

Mengingat kembali masa mudanya, Nichiren Shonin menuliskan tentang JanjiNya kepada Bodhisattva Kokuzo dalam Surat “Ho’on Jo” (Risalah Tentang Balas Budi);

"Diantara berbagai macam sutra itu, pasti terdapat satu sutra yang merupakan Raja dari seluruh sutra. Semua dari sepuluh atau tujuh sekte Buddhisme berdebat satu sama lain, tentang sutra yang terunggul, tetapi tidak mencapai hasil. Ini seperti tujuh atau sepuluh orang semuanya berusaha mengurus pemerintah sebuah negara sekehendak hatinya dan meninggalkan rakyat dalam kekacauan. Merasa bingung bagaimana mengatasi dilema ini, Aku membuat sebuah Janji / Sumpah."

Nichiren Shonin sama seperti Maha Guru T’ien T’ai (538-597),

“Kebijaksanaan” yang berarti, “Mampu melihat segala aspek dengan jelas dari semua hal dalam kehidupan, dan menyelesaikan proses Pencapaian Penerangan, bersamaan itu mampu menghubungkan pandangan yang benar terhadap segala aspek kehidupan tanpa meninggalkan prinsip kebenaran.”

"[Dalam hati kepercayaan dan pelaksanaan untuk mencapai KeBuddhaan,] Murid-murid Nichiren haruslah mengurangi jam tidur dimalam hari dan waktu istirahat sepanjang hari, untuk mencapai KeBuddhaan atau mereka akan menyesal pada akhir hidupNya."

(3)

China. Buddhisme diperkenalkan ke Jepang pada tahun 538, dibawah pemerintahan kekaisaran Kinmei. Sebagaimana halnya di China, pada waktu itu, terdapat begitu banyak sutra yang tersebarluas, dan terdapat begitu banyak sekte Buddhisme, masing-masing diantara mereka saling bertentangan satu sama lain dan berusaha menjadi pemimpin dari semuanya.

Berdasarkan latar belakang ini, Maha Guru T’ien T’ai mulai memilih, mengelompokkan, dan merapikan seluruh sutra dan kemudian mendirikan Sekte Tendai yang berdasarkan pada Saddharma Pundarika Sutra. Nama pribadi T’ien T’ai adalah Chih-I atau Chigi, dan ia lebih dikenal orang pada waktu itu sebagai seorang “Maha Guru atau Arif Bijaksana.”

Saya akan mendiskusikan tentang struktur ajaran dari sekte ini pada kesempatan lain. Bagaimana pun, Maha Guru T’ien T’ai dan Nichiren Shonin, keduanya setuju dan menempatkan Saddharma Pundarika Sutra sebagai Ajaran Kebenaran dari Buddha Sakyamuni Abadi.

Nichiren Shonin mencapai tahap pemahaman ini, setelah melakukan pembelajaran selama 20 tahun mulai dari umur 12 sampai usia 32 tahun, ketika Ia kemudian mengumumkan bahwa Saddharma

Pundarika Sutra adalah Ajaran Terunggul dari Buddha Sakyamuni dan mendirikan Nichiren Shu (Sekte

Nichiren). Pencapaian pada tahap ini

adalah tidak dapat dibandingkan oleh siapapun.

Terdapat sebuah kalimat dari Bab Bodhisattva Muncul dari Bumi, Saddharma Pundarika Sutra, dikatakan, “Secara Terus Menerus Mendapatkan Kemajuan Siang dan Malam.” Nichiren Shonin mengunakan kalimat ini dalam banyak tulisanNya untuk para pengikut, dalam surat kepada Toki Jonin, dikatakan;

"[Dalam hati kepercayaan dan pelaksanaan untuk mencapai KeBuddhaan,] Murid-murid Nichiren haruslah mengurangi jam tidur dimalam hari dan waktu istirahat sepanjang hari, atau mereka akan menyesal pada akhir hidupNya."

Dalam surat ini, Ia mendorong

20 tahun melaksanakan pertapaan Buddhisme, meneliti dan bekerja keras, Nichiren Shonin, guru dari Ajaran Buddhisme bertekad bersama Maha Guru T’ien T’ai menyatakan bahwa Saddharma Pundarika Sutra adalah Ajaran Tertinggi dari Seluruh Ajaran Buddha Sakyamuni.

84,000

Sutra Dalam Buddhisme

erdasarkan fakta sejarah, ketika Nichiren Shonin berumur 16 tahun, ia secara resmi menjadi seorang bhiksu dan membuat janji agung. Pada waktu itu, namanya berubah dari Yakuomaro ke Rencho. Ia telah melaksanakan berbagai disiplin dan pelaksanaan yang keras, tanpa lelah melaksanakan 21 hari doa dan meditasinya.

Ketika Ia berhasil mencapai tujuanNya, Ia menulis sebuah surat pada tahun 1276 kepada Para Bhiksu di Kuil Seichoji, yang menjelaskan tentang pengalamanNya ketika masih muda;

"Aku telah menerima Permata Agung Kebijaksanan

B

agar pengikut dan murid-muridNya berkerja keras dan bersungguh-sungguh untuk mencapai Penerangan. Untuk mencapai tujuan itu bukanlah sesuatu hal yang mudah. Namun, penekanan tentang hal ini bukan dilandasi oleh sifat egoistik sama seperti halnya seorang ibu yang menginginkan kemajuan anaknya.

Kita semua harus bersungguh-sungguh dengan sepenuh hati berjalan di Jalan Penerangan, yang tidak mudah dan akan bertemu dengan berbagai macam kesulitan selama perjalanan. Kita harus mempunyai tekad yang kuat, berdoa dan berjanji, kegagalan seperti apapun tidak akan mengagalkan upaya untuk mencapai tujuan, sekalipun tanpa ada seorang Bodhisattva yang membantu kamu mewujudkan janji tersebut.

Buddha dari Bodhisattva Kokuzo yang hidup secara langsung."

Ia kemudian menuliskan lebih jelas tentang pengalamanNya tersebut;

"Aku telah berdoa kepada Bodhisattva Kokuzo untuk menjadi

O

(4)

'Orang Yang Paling Bijaksana di Jepang.' Ia pasti sangat berwelas asih kepadaKu, karena Ia memberikanKu sebuah Permata Agung yang bersinar bagaikan Bintang Kejora yang mana aku terima dan simpan dalam lengan baju sebelah kananKu.

Bukan sebuah rupang kayu, tetapi bentuk tubuh hidup dari Bodhisattva. Saya ingin tahu seperti apakah wujud dari Bodhisattva itu. Bagi seseorang seperti diriku, hal seperti itu belum pernah aku alami, saya tidak bisa membayangkan seperti apa wujud dari Bodhisattva

yang tidak terhingga kepadaKu, Aku berjanji akan berusaha keras seumur hidup untuk menyebarluaskan hati kepercayaan kepada Odaimoku, tidak akan pernah berhenti atau melupakan tekadKu tersbut..”

Catatan:

Maha Guru T’ien T’ai (538-597):

China. Ia adalah seorang Bhiksu dan pendiri dari Sekte Tendai Buddhisme, yang berpusat pada Propinsi Hunan di masa dinasti Liang, Chen dan Zui. Ia menjadi seorang bhiksu pada usia 18. Ketika berusia 23 tahun, Ia telah melaksanakan Meditasi Samadhi Bunga Teratai dan mencapai Pencerahan. Ketika ia berusia 38 tahun, ia masuk ke Gunung T’ien T’ai dan tinggal disini, serta menyusun struktur Tendai Buddhisme setelah itu ia melaksanakan secara resmi filosofi dan pelaksanaannya. Maha Guru T’ien T’ai adalah seorang bhiksu yang unik, karena ia berusaha menyatukan seluruh Buddhisme, dan berdasarkan pada Saddharma Pundarika Sutra. Tiga Tulisan UtamaNya adalah

“Dalam rangka membalas budi kepada Bodhisattva Kokuzo yang telah memberikan pusaka yang tidak terhingga kepadaKu, Aku berjanji akan berusaha keras seumur hidup untuk menyebarluaskan hati kepercayaan kepada Odaimoku, tidak akan pernah berhenti atau melupakan tekadKu tersbut..”

Maksud dan Makna dari Saddharma Pundarika Sutra, Kata-kata dan Kalimat dari Saddharma Pundarika Sutra, dan Maha Konsentrasi dan Pemahaman (Ch. Fahua Hsuan’i, Fahua Wenchu and Hoho Chikuan; Jp. Hokke Gengi, Hokke Mongu and Maka Shikan). Tulisan-tulisan ini merupakan inti dari pemikiran dalam Tendai dan pelaksanaannya didasarkan pada Saddharma Pundarika Sutra. Bisa dikatakan bahwa seluruh risalah in merupakan inti dari Buddhisme Saddharma Pundarika Sutra. Kebanyakan fondasi Nichiren Shonin dalam pembelajaran Buddhisme berasal dari Maha Guru T’ien T’ai, dengan Tiga Tulisan Utama tersebut. Gassho, Namu Myoho Renge Kyo... Namu Myoho Renge Kyo.... Namu Myoho Renge Kyo.

MOKU

itu. Namun, seorang wanita yang sering datang kekuil saya, suatu saat memberitahukan kepada saya sebuah cerita, “Ketika saya dengan sungguh hati menyebut Odaimoku, Nichiren Shonin tersenyum kearah saya. Hal itu membuat saya sangat gembira dan penuh penghormatan.”

Saya ingat pernah membaca sebuah doa Buddhis yang ditujukan kepada Bodhisattva Kokuzo yang dilaksanakan pada waktu matahari terbit. Hal yang sama, Buddha Sakyamuni mencapai Penerangan Agung pada pagi hari sebelum matahari terbit. Dapat dikatakan hal yang sama pasti dialami oleh Nichiren Shonin pada waktu itu.

Nichiren Shonin kembali mengingat pengalaman masa mudaNya, Ia menjelaskan;

“Dalam rangka membalas budi kepada Bodhisattva Kokuzo yang telah memberikan pusaka

Kita harus hidup sesuai dengan

'Jalan' Nichiren Shonin, yang

m e n j a d i k a n S a d d h a r m a

Pundarika Sutra sebagai bagian

dari hidupNya

Dasar Hati Kepercayaan

Seluruh Penganut

(5)

Bimbingan Oleh:

YM.Bhiksuni Myosho Obata

(Bhiksuni Pembimbing Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Taiwan)

ada akhir tahun, tanggal 31 Desember, kita biasanya melaksanakan Upacara

“JOYA”. Hari ini, saya ingin

memberitahukan tentang apa itu Upacara “Joya”. Kita memulai upacara ini dengan menyebut O’daimoku “Namu Myoho Renge Kyo, kemudian kita akan memukul bel besar kuil sebanyak 108 kali. Di Jepang, kami menyebut acara ini “Joya No Kane." Kenapa Bel harus dipukul sebanyak 108 kali pada pelaksanaan "Joya No Kane" tersebut? Aku akan menjelaskan tentang hal ini. Secara umum orang mengatakan bahwa 108 berarti 108 hawa nafsu keinginan atau dalam Budhisme disebut 108 neraka. Angka 108 ini bermula di India, karena itu setiap kata-kata suci dan sakral harus disebut 108 kali. 108 rangkaian dalam sebuah O’juzu atau tasbih, dan juga dikatakan terdapat 108 ajaran dan 108 keinginan.

K e t i k a B u d d h i s m e diperkenalkan di China, maka bel kuil pun dipukul sebanyak 108 kali pada pagi dan sore hari. Kemudian disingkat menjadi 18 kali, tetapi hal ini juga berguna untuk membangunkan mereka, para bhiksu pada pagi hari dan pada siangnya untuk membuang segala ilusi. Di Jepang kebiasaan memukul bel ini dimulai pada akhir tahun dan awal tahun. Ini dilakukan

Joya no Kane

P

dengan makna berkeinginan untuk melepaskan semua keterikatan dan memulai sesuatu yang suci dan murni pada awal tahun. Jadi ketika kita membunyikan bel itu, juga berarti kita menghargai kebajikan yang kita terima dari Tiga Pusaka; Buddha, Dharma dan Sangha” dan para arwah leluhur kita. Selanjutnya juga kita berdoa untuk perdamaian dunia dan kebahagiaan bersama. Gassho. Catatan Redaksi:

"Joya No Kane"

adalah sebuah upacara yang cukup sakral karena semua kuil-kuil Buddhis pasti melaksanaknnya

Ket. Bel kuil besar yang dipukul 108 kali, hampir disemua kuil Buddhis memilikinya. pada akhir tahun. 108 Hawa Nafsu perhitungannya adalah Enam Panca Indera, Enam Dunia, dan Tiga Masa (lalu, sekarang dan akan datang).

Jadi Enam Panca Indera sebagai sumber masuknya hawa nafsu terdiri dari Mata, Telinga, Kuping, Hidung, Lidah, Mulut, dan Kulit; dan Enam Dunia, mulai dari Neraka, Binatang, Kemarahan, Keserakahan, Manusia, dan Surga; Sedangkan Tiga Masa adalah mencakupi segala karma pada masa lalu, sekarang dan akan datang. 6 x 6 x 3 menjadi 108 Hawa Nafsu. Demikianlah makna dari Joya No Kane ini. Gassho "Namu Myoho Renge Kyo."

(6)

ahun baru 2006 telah kita masuki dan disambut dengan sukacita. Tidak terasa waktu terus berjalan, dan setahun telah berlalu lagi. Satu hal yang seharusnya kita lakukan adalah mengingat kembali segala hal yang telah kita lakukan dan kita lalui dalam setahun ini, hal ini perlu kita lakukan untuk mengkoreksi diri kita sendiri. Berapa nilai hidup yang telah saya buat setahun ini ? apakah saya telah menjalankan hidup ini sesuai dengan Dharma Buddha atau saya masih mengikuti hawa nafsu sendiri ? Hidup hanya sementara dan tidak kekal, ketika kita lahir dalam keadaan tidak punya apa-apa selain tangisan seorang bayi begitu juga ketika kita akan meninggal juga tidak punya apa-apa selain kesedihan seorang manusia bahwa ia sudah akan pergi meninggalkan orang yang disayangi.

I n i l a h r e a l i t a h i d u p dan setiap orang tidak dapat menghindarinya, manusia harus dilahirkan, berkembang, sakit dan pada akhirnya harus meninggal, hal ini sudah menjadi Hukum Alam tidak mungkin kita lawan dan hindari. Jadi berapakah nilai hidup ini yang telah kita jalani ? Bernilai atau tidak

hidup ini tergantung bagaimana kita mencipta nilai kehidupan itu sendiri.

Saya ingin kita bersama-sama merenungkan dan memikirkan kembali perjalanan hidup kita dalam

MENGHARGAI

SETIAP WAKTU

Oleh: Josho S.Ekaputra

setahun ini. Hukum agama Buddha itu adalah Hon In Myo, jadi hal yang telah berlalu tidaklah penting tetapi bagaimana kita melangkah pada masa mendatang itu yang penting. Hidup didalam penyesalan dan keluhan mengenai apa yang telah terjadi tidaklah berguna sama sekali bahkan hal tersebut akan semakin membuat diri kita terjerumus didalam penderitaan yang lebih b e s a r. P e n y e s a l a n memang selalu datang terlambat, karena itu j a n g a n m e n u n g g u penyesalan itu datang terlebih dahulu, baru kita mau melakukan sesuatu dengan benar.

Seorang Buddhis tidak menunggu datangnya akibat tetapi kita selalu harus senantiasa waspada terhadap sebab yang kita buat. “Manusia biasa takut akan

akibat, tetapi Buddha takut akan sebab." Kenapa kita mesti takut akan

akibat buruk jika kita tidak pernah berbuat sebab buruk?, Kenapa kita mesti terlena oleh akibat baik jika kita memang sudah sewajarnya menerima hal itu karena sebab baik yang kita buat ? Kebanyakan orang selalu berlebihan dalam hal ini,

Buddhisme adalah Kewajaran, dan

Buddha selalu mengajarkan kita untuk menerima segala sesuatunya dengan wajar, “ Terimalah penderitaan sebagai penderitaan dan jalanilah kebahagian secara kewajaran. “

Kita tahu bahwa untuk kita bisa menjadi seorang manusia bukanlah hal yang mudah, kita mesti melewati proses yang panjang ribuan kalpa untuk kita dapat terlahir sebagai manusia. Setalah kita lahir, apakah kita pernah menghargai hal ini ? Kita sering menyia-nyiakan hidup kita untuk sesuatu hal yang fana, kita

(7)

membuang-buang waktu kita untuk mengejar materi yang berlimpah-limpah, tetapi kita tahu bahwa ketika kita meninggal apakah semua itu dapat kita bawa ? sama seperti ketika kita lahir dalam keadaan telanjang, begitu juga ketika kita meninggal, kita tidak membawa apa-apa bahkan sehelai baju pun akan hancur setelah badan ini hancur. Nilai yang akan menemani kita kemanapun adalah Karma itu sendiri, jika kita selama hidup ini lebih banyak berbuat hal-hal buruk maka, karma buruklah yang akan menemani kita pada kehidupan mendatang begitu sebaliknya.

Hal yang tersulit bagi manusia adalah menerima Karma Buruk (Penderitaan), karena itu Buddha selalu berkata Bahwa Hidup ini penuh dengan penderitaan, tetapi itu bukan berarti bahwa tidak terdapat kebahagiaan. Hal mengenai kebahagiaan tidak perlu menjadi permasalahan bagi kita, tetapi hal penderitaan itu yang harus mampu kita lewati, karena itu Buddha ingin membawa kita keluar dari lingkaran penderitaan. Bicara soal bahagia adalah hal biasa, dan semua orang pasti tahu bagaimana menikmati kebahagiaan, tetapi penderitaan adalah hal yang selalu dihindari oleh setiap orang. “Menghargai hidup berarti kita bisa menghargai apa yang kita hadapi, apa yang kita dapat dan apa yang telah kita lalui “

Bagaimana mungkin kita mampu mencapai kebahagiaan jika kita sendiri tidak pernah menghargai hidup kita ? Menghargai hidup juga berarti kita menghargai semua hal yang terjadi baik itu penderitaan maupun kebahagiaan. Kedua hal ini ada untuk memperkaya hidup kita dan membuat kita menjadi lebih baik

Ada sebuah cerita bagaimana kita harus menghargai hidup itu : “ Ada sebuah benih pohon yang jatuh diatas sebuah batu karang dan batu karang

itu terletak ditepi laut yang ombaknya sangat besar. Benih tersebut jatuh diantara celah batu karang, dan karena itu ia mulai tumbuh..mula-mula keluar akarnya dan daun kecil, setelah beberapa hari batang pohon kecil itu semakin tumbuh lebih tinggi dan keluar dari celah batu karang. Tetapi apa yang terjadi begitu daun pohon kecil itu keluar dari celah tersebut langsung disapu oleh ombak sehingga daunnya patah….tetapi pohon kecil itu tidak berhenti begitu saja dari bekas patahan tumbuh lagi daun baru dan batang yang lebih besar…dan keluar dari celah batu karang lagi, kemudian disapu oleh ombak sehingga patah lagi.. hal ini berlangsung terus berpuluh-puluh tahun, tetapi pohon kecil itu tidak pernah mengeluh apalagi berteriak stress kenapa hidup ini begitu sulit, ia terus tumbuh, tumbuh, patah, tumbuh, patah, tumbuh….. semakin hari akar pohon tersebut makin kuat dan menerobos masuk kedalam batu karang dan batang pohonnya semakin kuat…30 tahun kemudian pohon kecil itu telah menjadi sebuah pohon yang kuat dan tidak patah lagi ketika ditimpa oleh ombak…setiap kali ombak datang menerpanya ia terima dengan gembira dan mengikuti irama ombak tersebut, jika ombak mengayunnya kesebelah kiri maka ia bergerak kesebelah kiri begitu sebaliknya… batang pohonnya menjadi lentur dan kuat bahkan angin topan tidak mampu mematahkannya..”

Inilah adalah sebuah cerita bagaimana sebuah pohon kecil berjuang untuk menghargai hidupnya walaupun ia berada ditempat yang sangat buruk. Pohon tersebut terdapat disebuah negara di Eropah dan menjadi simbol dari ketegaran untuk menghadapi kehidupan. Dari cerita pohon kecil itu dapat kita ambil hikmah bahwa hidup itu layak untuk kita nikmati dan hargai baik itu hal

buruk maupun baik, jika kita mampu mengikuti irama dari kehidupan tersebut maka penderitaan yang kita alami tidak lagi menjadi sebuah penderitaan tetapi telah menjadi sebuah nilai kebahagiaan yang justru membuat kita menjadi lebih kuat dan kuat. Belajar dari pohon kecil tersebut hendaknya kita juga bisa menghargai hidup ini. Setiap orang mempunyai potensi yang sama yakni bahwa setiap mahluk dapat mencapai kesadaran Buddha, karena kesadaran itu sendiri ada didalam diri setiap mahluk, oleh karena itu apakah hidup ini bahagia atau tidak maka sudah sepatutnya kita hargai dan nikmati.

Hidup menjadi lebih baik jika kita dapat menghargai, karena itu pada awal tahun ini kita harus merenungkan apakah selama ini kita telah menghargai hidup ini. Kita menjadi terlalu menderita karena kita hanya seperti burung Ukatangi, yang terus berbicara-berbicara tiada henti, mengeluh, mengerutu, mengkritik bahwa hidup ini susah… hidup menderita..hidup ini susah dan sebagainya tetapi kita tidak pernah mau mendengar orang lain. Karena itu jika kamu bisa berhenti melihat diri sendiri yang paling menderita, paling susah maka kamu bisa melihat hal lain yang ternyata lebih indah dan kamu tidak lebih menderita dari yang lainnya.

Mulailah awal tahun ini dengan memasang kancing yang benar di baju mu, berarti mulai dengan penuh kebajikan, kesadaran dan kebijaksanaan. Ingatlah karunia yang kita terima bukanlah sumber air yang tidak ada habisnya, tetapi terus melaksanakan Dharma Buddha adalah sumber dari segala sumber karunia. Koreksi diri, perbaiki dan melangkah dengan tegar hadapi masa depang dengan keyakinan yang semakin kuat kepada Buddha Sakyamuni, Nichiren Shonin dan Saddharma Pundarika Sutra, Gassho.

(8)

2. Penderitaan [Duhkha-Laksana/ Dukkha-Lakkhana]

Sang Buddha bersabda : “Segala sesuatu yang berkondisi adalah menderita. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.” (Dhammapada, 278).

esunyataan Mulia tentang adanya penderitaan adalah merupakan hal yang pertama dari Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha. Penderitaan merupakan kenyataan hidup, dimana selalu dialami oleh setiap orang dan merupakan salah satu tanda keberadaan.

Segala sesuatu yang tidak kekal juga mengalami penderitaan. Apa yang timbul hanya bersifat sementara, dimana akan rusak dan akhirnya mati. Kelahiran dan kematian yang berulang-kali merupakan suatu beban yang menyiksa, dimana mempengaruhi pikiran dan rasa tenteram kita sehingga merupakan penyebab penderitaan.

Dengan demikian, umur tua, sakit, dan kematian adalah kejadian ketidak-kekalan hidup yang merupakan bentuk dari penderitaan. Karena manusia sangat peduli terhadap usia muda, kesehatan, hubungan dan pemenuhan material dengan tanpa menyadari adanya ketidak-kekalan akan menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan. Disebutkan dalam sutra, bahwa para dewa sampai bergetar kebimbangan waktu Sang Buddha mengingatkan bahwa surga juga tidak kekal adanya.

Tiga Tanda Keberadaan

Alam Semesta

( BAGIAN. ii)

Seri Pelajaran Mahayana

Sumber : Berbagai bahan dan buku-buku Mahayana

Penerjemah dan rangkuman oleh : Josho S.Ekaputra

K

Apabila kita perinci secara detail maka akan terdapat 12 jenis penderitaan dimana masing-masing memiliki namanya sendiri yang dikaitkan dengan penyebab penderitaan yang ditimbulkannya, yaitu

1. Penderitaan dari kelahiran [jati-dukkha] 2. Penderitaan dari ketuaan [jara-dukkha] 3. Penderitaan dari kesakitan [byadhi-dukkha]

ini, sadarilah bahwa segala sesuatu itu tidak kekal dan akan musnah, karenanya wujudkan Kesatuan diri kita dengan Kekekalan dari Dunia Buddha dan Dharma itu sendiri. Banyak orang yang O'daimoku dengan sikap keterikatan akan hal-hal duniawi, tentu saja hal ini tidaklah menyentuh pada hakikat dari O'daimoku itu sendiri. Jika kita bisa mencapai tahapan ini maka kita akan terlepas dari segala bentuk penderitaan yang muncul dari keterikatan akan segala bentuk.

Menyadari kebahagiaan materi adalah semu belaka, dan penderitaan adalah bagian dari ilusi sehingga juga akan musnah. Apabila orang telah menyadari, bahwa diri hanyalah suatu nama yang menyenangkan untuk menampung segala faktor perubahan jiwa dan fisik, maka dia tidak akan terikat pada perasaaan takut dan tidak aman. Dia akan menemukan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, dan bersifat sopan, rendah hati, dan simpati, karena dia tidak perlu lagi mempertahankan segala sesuatunya. Menyadari kenyataan dari ketanpa-akuan merupakan tanda keberadaan ketiga. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah menderita, dan segala sesuatu yang tidak kekal dan menderita adalah tanpa inti adanya. Mereka yang menyadari kebenaran dari ketiga fakta keberadaan tersebut, akan mampu mengatasi penderitaan, karena pikiran mereka telah bebas dari khayalan dan kekekalan, kesenangan dan sifat keakuan.

Sang Buddha mengatakan,

“Kebebasan dari nafsu merupakan kebahagiaan di dunia, suatu keadaan yang mengatasi semua nafsu keinginan indrawi. Tetapi penghancuran kesombongan yang menganggap `Inilah Aku’, ini adalah kebahagiaan yang tertinggi.” (Udana, 10) Gassho.

4. Penderitaan dari kematian [marana-dukkha]

5. Penderitaan dari kesedihan [soka-dukkha]

6. Penderitaan dari ratap tangis [parideva-dukkha]

7. Penderitaan dari jasmani [Kayika-dukkha]

8. Penderitaan dari batin [domanassa-dukkha]

9. Penderitaan dari putus asa [upayasa-dukkha]

10.Penderitaan karena berkumpul dengan orang yang tidak disenangi [appiyehisampayoga-dukkha] 11.Penderitaan karena terpisah

dengan sesuatu yang dicintai [Piyehippayoga-dukkha]

12.Penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan [yampicchannalabhi-dukkha]

Diantara kedua-belas jenis penderitaan tersebut maka penderitaan atas kelahiran, kelapukan atau ketuaan, dan kematian adalah yang paling penting harus kita sadari. Menyadari bahwa penderitaan tersebut bersifat universal dan tidak dapat dihindari, maka akan menyebabkan seseorang lebih tenang dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga akan mampu menghadapi umur tua, sakit dan mati tanpa merasa ada beban dan kecewa. Hal ini juga mendorong manusia untuk mengatasi masalah penderitaan sebagaimana yang dialami oleh Pangeran Siddharta.

Adakalanya pada saat kita sedang berkonsentrasi terhadap sesuatu maka segala penderitaan dapat kita lupakan, apalagi pada saat sedang bersenang. Tetapi fenomena tersebut tidaklah langgeng adanya, dimana sesudah konsentrasi tersebut hilang atau kesenangan telah berlalu, maka kitapun mengingat kembali semua penderitaan yang kita alami.

3. Ketanpa-intian/Ketanpa-akuan [Anatman-laksana/ Anatta-lakkhana]

Sang Buddha bersabda: “Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.”

(Dhammapada , 279).

ita selalu berpikir bahwa kita mempunyai kepribadian atau diri yang nyata dan kekal, sehingga seseorang dapat hidup dengan mengalami berbagai pengalaman hidup. Tetapi Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada yang nyata, kekal dan kepribadian yang bebas atau sifat diri atau inti dari segala sesuatu. Ini merupakan tanda keberadaan ketiga.

Jika kekekalan dan kebebasan diri benar ada, seseorang seharusnya dapat mengidentifikasikannya. Ada orang yang menyatakan bahwa tubuh adalah diri, atau pikiran adalah diri. Tetapi kedua pernyataan tersebut salah adanya. Baik tubuh maupun pikiran tidaklah kekal, selalu berubah dan akan musnah, dimana tergantung banyak faktor untuk keberadaannya. Tidak ada tubuh ataupun pikiran yang kekal dan bebas adanya.

Seandainya tubuh adalah diri, maka dia akan mampu mengendalikan dirinya sendiri untuk menjadi perkasa atau adil. Tetapi tubuh cepat lelah, lapar dan sakit terhadap kebutuhannya, sehingga tubuh tidak dapat menjadi pribadi atau diri tersebut. Demikian juga, seandainya pikiran adalah diri, maka dia akan berbuat apa yang diinginkannya. Tetapi pikiran selalu menghindari apa yang ia tahu benar, dan berbuat apa yang ia tahu salah. Sehingga menjadi terganggu, tertarik dan bangga atas keinginannya. Oleh karena itu pikiran juga bukan merupakan diri tersebut. Ketika kita melaksanakan O'daimoku, hendaknya dengan sikap menyadari ketanpa-intian

(9)

2. Penderitaan [Duhkha-Laksana/ Dukkha-Lakkhana]

Sang Buddha bersabda : “Segala sesuatu yang berkondisi adalah menderita. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.” (Dhammapada, 278).

esunyataan Mulia tentang adanya penderitaan adalah merupakan hal yang pertama dari Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha. Penderitaan merupakan kenyataan hidup, dimana selalu dialami oleh setiap orang dan merupakan salah satu tanda keberadaan.

Segala sesuatu yang tidak kekal juga mengalami penderitaan. Apa yang timbul hanya bersifat sementara, dimana akan rusak dan akhirnya mati. Kelahiran dan kematian yang berulang-kali merupakan suatu beban yang menyiksa, dimana mempengaruhi pikiran dan rasa tenteram kita sehingga merupakan penyebab penderitaan.

Dengan demikian, umur tua, sakit, dan kematian adalah kejadian ketidak-kekalan hidup yang merupakan bentuk dari penderitaan. Karena manusia sangat peduli terhadap usia muda, kesehatan, hubungan dan pemenuhan material dengan tanpa menyadari adanya ketidak-kekalan akan menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan. Disebutkan dalam sutra, bahwa para dewa sampai bergetar kebimbangan waktu Sang Buddha mengingatkan bahwa surga juga tidak kekal adanya.

Tiga Tanda Keberadaan

Alam Semesta

( BAGIAN. ii)

Seri Pelajaran Mahayana

Sumber : Berbagai bahan dan buku-buku Mahayana

Penerjemah dan rangkuman oleh : Josho S.Ekaputra

K

Apabila kita perinci secara detail maka akan terdapat 12 jenis penderitaan dimana masing-masing memiliki namanya sendiri yang dikaitkan dengan penyebab penderitaan yang ditimbulkannya, yaitu

1. Penderitaan dari kelahiran [jati-dukkha] 2. Penderitaan dari ketuaan [jara-dukkha] 3. Penderitaan dari kesakitan [byadhi-dukkha]

ini, sadarilah bahwa segala sesuatu itu tidak kekal dan akan musnah, karenanya wujudkan Kesatuan diri kita dengan Kekekalan dari Dunia Buddha dan Dharma itu sendiri. Banyak orang yang O'daimoku dengan sikap keterikatan akan hal-hal duniawi, tentu saja hal ini tidaklah menyentuh pada hakikat dari O'daimoku itu sendiri. Jika kita bisa mencapai tahapan ini maka kita akan terlepas dari segala bentuk penderitaan yang muncul dari keterikatan akan segala bentuk.

Menyadari kebahagiaan materi adalah semu belaka, dan penderitaan adalah bagian dari ilusi sehingga juga akan musnah. Apabila orang telah menyadari, bahwa diri hanyalah suatu nama yang menyenangkan untuk menampung segala faktor perubahan jiwa dan fisik, maka dia tidak akan terikat pada perasaaan takut dan tidak aman. Dia akan menemukan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, dan bersifat sopan, rendah hati, dan simpati, karena dia tidak perlu lagi mempertahankan segala sesuatunya. Menyadari kenyataan dari ketanpa-akuan merupakan tanda keberadaan ketiga. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah menderita, dan segala sesuatu yang tidak kekal dan menderita adalah tanpa inti adanya. Mereka yang menyadari kebenaran dari ketiga fakta keberadaan tersebut, akan mampu mengatasi penderitaan, karena pikiran mereka telah bebas dari khayalan dan kekekalan, kesenangan dan sifat keakuan.

Sang Buddha mengatakan,

“Kebebasan dari nafsu merupakan kebahagiaan di dunia, suatu keadaan yang mengatasi semua nafsu keinginan indrawi. Tetapi penghancuran kesombongan yang menganggap `Inilah Aku’, ini adalah kebahagiaan yang tertinggi.” (Udana, 10) Gassho.

4. Penderitaan dari kematian [marana-dukkha]

5. Penderitaan dari kesedihan [soka-dukkha]

6. Penderitaan dari ratap tangis [parideva-dukkha]

7. Penderitaan dari jasmani [Kayika-dukkha]

8. Penderitaan dari batin [domanassa-dukkha]

9. Penderitaan dari putus asa [upayasa-dukkha]

10.Penderitaan karena berkumpul dengan orang yang tidak disenangi [appiyehisampayoga-dukkha] 11.Penderitaan karena terpisah

dengan sesuatu yang dicintai [Piyehippayoga-dukkha]

12.Penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan [yampicchannalabhi-dukkha]

Diantara kedua-belas jenis penderitaan tersebut maka penderitaan atas kelahiran, kelapukan atau ketuaan, dan kematian adalah yang paling penting harus kita sadari. Menyadari bahwa penderitaan tersebut bersifat universal dan tidak dapat dihindari, maka akan menyebabkan seseorang lebih tenang dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga akan mampu menghadapi umur tua, sakit dan mati tanpa merasa ada beban dan kecewa. Hal ini juga mendorong manusia untuk mengatasi masalah penderitaan sebagaimana yang dialami oleh Pangeran Siddharta.

Adakalanya pada saat kita sedang berkonsentrasi terhadap sesuatu maka segala penderitaan dapat kita lupakan, apalagi pada saat sedang bersenang. Tetapi fenomena tersebut tidaklah langgeng adanya, dimana sesudah konsentrasi tersebut hilang atau kesenangan telah berlalu, maka kitapun mengingat kembali semua penderitaan yang kita alami.

3. Ketanpa-intian/Ketanpa-akuan [Anatman-laksana/ Anatta-lakkhana]

Sang Buddha bersabda: “Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.”

(Dhammapada , 279).

ita selalu berpikir bahwa kita mempunyai kepribadian atau diri yang nyata dan kekal, sehingga seseorang dapat hidup dengan mengalami berbagai pengalaman hidup. Tetapi Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada yang nyata, kekal dan kepribadian yang bebas atau sifat diri atau inti dari segala sesuatu. Ini merupakan tanda keberadaan ketiga.

Jika kekekalan dan kebebasan diri benar ada, seseorang seharusnya dapat mengidentifikasikannya. Ada orang yang menyatakan bahwa tubuh adalah diri, atau pikiran adalah diri. Tetapi kedua pernyataan tersebut salah adanya. Baik tubuh maupun pikiran tidaklah kekal, selalu berubah dan akan musnah, dimana tergantung banyak faktor untuk keberadaannya. Tidak ada tubuh ataupun pikiran yang kekal dan bebas adanya.

Seandainya tubuh adalah diri, maka dia akan mampu mengendalikan dirinya sendiri untuk menjadi perkasa atau adil. Tetapi tubuh cepat lelah, lapar dan sakit terhadap kebutuhannya, sehingga tubuh tidak dapat menjadi pribadi atau diri tersebut. Demikian juga, seandainya pikiran adalah diri, maka dia akan berbuat apa yang diinginkannya. Tetapi pikiran selalu menghindari apa yang ia tahu benar, dan berbuat apa yang ia tahu salah. Sehingga menjadi terganggu, tertarik dan bangga atas keinginannya. Oleh karena itu pikiran juga bukan merupakan diri tersebut. Ketika kita melaksanakan O'daimoku, hendaknya dengan sikap menyadari ketanpa-intian

(10)

LATAR BELAKANG

ichiren Shonin menulis surat ini di Gunung Minobu pada tanggal 11 Januari 1276 untuk para Bhiksu di Kuil Seicho Ji. Ia telah berumur 55 tahun pada waktu itu.

Tiga belas halaman dari surat asli ini masih tersimpan dengan baik di Kuil Kuonji, Gunung Minobu. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa halaman (1 atau 2) yang hilang, hancur oleh waktu.

Surat kepada para Bhiksu Kuil Seichoji ini, dibuka dengan ucapan Selamat Tahun Baru dan dilanjutkan dengan permintaan beberapa dokumen yang berhubungan dengan Sekte Shingon dan Tendai. Surat ini kemudian dilanjutkan dengan kutipan kalimat berikut ini:

“Sejumlah bhiksu Shingon dengan penuh tantangan ingin melaksanakan acara debat keagamaan dengan diriKu. Saya membutuhkan beberapa dokumen sebagai persiapan bagi diriKu untuk menghadapi debat tersebut. Inilah sebabnya kenapa Saya memohon kebaikanmu mengenai hal ini dan tahun ini adalah tahun dimana kebenaran dan kepalsuan ajaran akan segera diungkapkan.”

Dapat dikatakan bahwa pada waktu itu Nichiren Shonin telah menemukan dan mengungkapkan kesalahan yang terdapat dalam ajaran dan filosofi dari Buddhisme Shingon.

Pada tahun 1274, dua tahun sebelum ditulisnya surat kepada para bhiksu Seicho Ji ini, 25,000 tentara Mongolia dan Korai (Korea), sebuah kekuatan gabungan yang besar telah mendarat di pantai bagian selatan, Jepang dan segera akan menyerbu daratan Jepang. Ini adalah sebuah peristiwa yang paling membahayakan dalam sejarah Jepang. Namun, sebuah badai topan yang datang mendadak, telah memaksa mundur pasukan mongolia dan korea itu dan Jepang terselamatkan. Peristiwa ini dalam sejarah Jepang dikenal sebagai Peristiwa Bun’ei.

Surat Kepada Para Bhiksu

Kuil Seicho Ji

N

Nichiren Shonin Writing Study Series

Terbitan : Nichiren Buddhist International Center, 29490 Mission Boulevard, Hayward, California

Naskah Asli : Tersimpan di Kuil Kuon Ji, Gunung Minobu Diterjemahkan oleh Josho S.Ekaputra

(11)

Pada tahun berikutnya, Kerajaan Mongolia kembali merencanakan untuk menduduki Jepang. Kali ini, Mongolia mengirimkan seorang utusan untuk meminta Jepang agar menyerahkan diri. Pemerintah Jepang menjawab hal itu dengan memenggal kepala utusan Mongolia tersebut di lapangan Tatsunokuchi. Shogun segera mengadakan persiapan militer untuk menghadapi serangan. Sebagaimana pada tahun 1276, pemerintah menempatkan tentara disepanjang pantai selatan Jepang dan membangun tembok penghalang di pantai tersebut sebagai upaya untuk melawan Mongolia.

Seluruh negara menjadi gelisah dihadapkan pada ancaman penyerangan Mongolia ini. Surat ini ditulis dalam suasana masyarakat yang seperti itu.

P e m e r i n t a h S h o g u n Kamakura meminta seluruh kuil dan tempat suci diseluruh negara— khususnya Kuil Shingon—untuk berdoa dan meminta perlindungan dalam menghadapi serangan ini. Nichiren Shonin mengkritik pemerintah dan mengingatkan bahwa doa yang didasarkan pada ajaran yang salah tidak akan menghasilkan apa-apa, tetapi akan menyebabkan keruntuhan dari negara. Berdasarkan pemikiran Nichiren Shonin itu, para Bhiksu Shingon menantang Beliau untuk debat ajaran, ini karena mereka merasa disalahkan atas terjadi penyerangan itu.

Pada tanggal 25 Oktober 1275, setahun sebelum surat ini ditulis, seorang Bhiksu Shingon bernama Gonin mengajukan petisi kepada Nichiren Shonin dengan sejumlah pertanyaan yang sulit dan menantang Beliau untuk debat secara pribadi. Sebagai jawabannya, Nichiren Shonin berkata debat pribadi tidak akan menghasilkan apa-apa dan keuntungan. Beliau mengusulkan

bahwa debat harus dilaksanakan dalam forum publik yang diatur secara resmi. Dalam membalas petisi yang diajukan oleh Gonin (ditulis pada tanggal 26 Desember 1275; naskah asili masih ada), Nichiren Shonin menekan tentang kebajikan yang terdapat dalam Saddharma Pundarika Sutra dan menunjukkan kesalahan dari ajaran Shingon dan Esoterik Tendai.

Dalam surat pengantar dari Ho-on-Jo (berjudul Ho-on-Jo Somon, tertanggal 26 Juli 1276), Nichiren Shonin menuliskan,... sejak Aku mendengar dari orang-orang dalam bahwa kemungkinan adanya sebuah debat keagamaan, Aku telah meminta sejumlah orang untuk mengumpulkan semua sutra dan berbagai komentar sutra untukKu.”

Selanjutnya, Ia menjelaskan dalam Surat kepada Para Bhiksu Kuil Seicho Ji, tentang hubungan antara Saddharma Pundarika Sutra dan penderitaan penganiayaan, dan memperingatkan para bhiksu Seichoji. Nichiren Shonin berpikir ingin juga menjelaskan tentang ajaranNya kepada para Bhiksu Kuil Seichoji karena itu Nichiren Shonin menuliskan dalam catatan, “Harap surat ini dibacakan dengan keras oleh Bhiksu Sado-ko Niko dono dan Suke Ajari Go-be dihadapan rupang dari Bodhisattva Kokuzo untuk seluruh Bhiksu Seichoji agar mendengarkannya. “

Oleh karena itu, tujuan dari Nichiren Shonin menulis surat ini adalah untuk mengumpulkan bahan-bahan dan dokumen yang diperlukan untuk menghadapi debat yang akan datang dan instruksi kepada para Bhiksu Seichoji. Ia juga dengan jelas mengungkapkan tentang kritikanNya terhadapa Sekte Shingon dalam surat ini.

Sekarang, Kuil Seicho Ji, telah menjadi bagian dari Nichiren Shu, dan merupakan tempat resmi

untuk pentabhisan para bhiksu-bhiksuni baru Nichiren Shu. Ini merupakan salah satu kuil terpenting yang mempunyai hubungan yang kuat dengan Nichiren Shonin, karena dikuil ini Nichiren Shonin menjadi seorang Bhiksu dibawah bimbingan Dozen Bo.

ISI GOSHO

olong ijinkan Aku untuk mengucapkan salam hangat kepada mu dalam suasana Tahun Baru ini. Sejak tahun lalu kamu tidak berkunjung ke Gunung Minobu, Aku sangat khawatir, tentang kemungkinan terjadinya hal buruk terhadap kamu. Namun, pastilah ada alasan yang sangat penting, kenapa kamu tidak dapat datang kesini?

Jika kamu dapat berkunjung ke Gunung Minobu, mohon kamu dapat membawa Risalah Tentang Sepuluh Tingkatan Pikiran (Juju shin-ron), Kunci Permata Untuk Gudang Gaib (Hizo-hoyaku), Risalah Ajaran Dua Eksoterik dan Esoterik (Nikyo-ron), dan komentar lainnya dari Sekte Shingon mulai dari Bhiksu Ise-ko dan bawalah mereka kepadaKu!

Sejumlah Bhiksu Shingon ribut ingin membuat rencana menantang Aku dalam sebuah acara debat ajaran. Aku membutuhkan dokumen-dokumen ini dalam rangka mempersiapkan diriKu dalam acara debat tersebut. Untuk alasan itu, Aku memohon kebaikan dari mu.

Tolong juga bawakan bersama mu, satu atau dua jilid dari Maka Shikan. Aku sangat menghargai jika mendapatkan Tendai Hokke Sho Gisan, Hokke Tendai Mongu Fushoki, dan pelajaran lainnya, jika memang ada. Dan, pinjamkan juga Shuyo Shu yang dimiliki oleh Kanchi-bo, murid dari Enchi-bo. Selanjutnya, Aku juga mendengar Ia juga mempunyai risalah lainnya. Aku akan secepat mungkin menulis surat

(12)

lagi dan sangat menghargai jika kamu dapat membawa semua dokumen itu untukKu.

Tahun ini akan menjadi tahun dimana ajaran yang benar dan salah dari Buddhisme akan terungkap secara jelas.

Beritahukan kepada Joken-bo dan Gijo-bo, “Nichiren telah berulang kali terancam oleh kematian. Dua kali Beliau diasingkan, di Semenanjung Izu dan Pulau Sado. Sekali Ia hampir dihukum pancung di Tatsunokuchi. Namun, semua ini bukan karena sebuah kejahatan yang Ia lakukan didalam masyarakat. “

Ketika Aku masih muda, Aku telah mengalami sebuah pengalaman dimana Aku telah mendapatkan Permata Kebijaksanaan Agung dari Bodhisattva Kokuzo. Aku berdoa kepada Kokuzo untuk membuat diriKu menjadi seorang laki-laki yang paling bijaksana di Jepang dan Ia mengabulkan hal itu.

Karena Ia memberikan Aku sebuah Permata Kebijaksanaan Agung yang bersinar bagaikan Bintang Keora dan Aku menerima itu ditangan kananKu, Aku membaca semua sutra-sutra Buddhisme dan bisa menemukan keunggulan atau kelemahan dari antara delapan sekte dan seluruh sutra-sutra.

Diantara berbagai sekte Buddhisme, Sekte Shingon khususnya yang paling salah, karena ia dengan jelas menentang Saddharma Pundarika Sutra. Namun, sejak ini menjadi pokok yang penting dalam Buddhisme, Aku mulai dengan jelas mengungkapkan segala pokok kesalahan dari ajaran Sekte Zen dan Nembutsu.

Aku akan mendiskusikan

tentang berbagai kesalahan dari sekte-sekte Buddhisme di India dan China dalam kesempatan lain. Namun, alasan orang-orang di Jepang melupakan ajaran kebenaran dari Saddharma Pundarika Sutra adalah sedikit kuil di negara ini yang mengajarkan Saddharma Pundarika Sutra tanpa mencampurinya dengan ajaran dari Sekte Shingon, ini bagaikan bayangan yang mengikuti tubuhnya, para pengikut ajaran seperti itu akan jatuh kedalam dunia iblis, tanpa kecuali. Ritual esoterik, telah menjadi dasar pelaksanaan ajaran Delapan Bagian dari Sekte Shingon, bercampur dengan pelaksanaan yang benar dari Saddharma Pundarika Sutra. Hal yang sama, pelaksanaan yang benar dari Saddharma Pundarika Sutra bercampur dengan ajaran Tanah Suci yang bersumber dari Sutra Tanah Suci. Dalam upacara pemindahan Dharma dari para sarjana Sekte Tendai, upacara Shingon mendominasi, sedangkan Saddharma Pundarika Sutra ditempatkan diposisi nomor dua. Kenyataannya, meskipun Sutra Shingon adalah ajaran sementara dan lebih rendah dibandingkan dengan ajaran dari Sutra Karangan Bunga dan Sutra Kebijaksanaan. Maha Guru Dharma Jikaku dan Kobo telah berbuat kesalahan fatal ketika mereka menyatakan bahwa Sutra Shingon adalah sama atau lebih unggul dari prinsip dalam Saddharma Pundarika Sutra. Oleh karena itu, mereka dalam Upacara Buka Mata untuk gambar atau rupang Buddha dilaksanakan dengan mudra dan mantra dari Buddha yang didasarkan pada Sutra Buddha Matahari Agung. Sebagai hasilnya, semua rupang kayu dan gambar atau

lukisan dari para Buddha diseluruh Jepang tidak berjiwa dan buta. Lebih buruk lagi, Raja Iblis Surga Ke-Enam telah masuk kedalam gambar atau rupang ini membuat mereka dapat menghancurkan siapa saja yang memuja atau membuat persembahan untuknya. Inilah kenapa kehidupan kenegaraan sekarang ini berada diambang kehancuran.

Ajaran sesat dari Sekte Shingon masuk ke Kamakura dan akan menghancurkan seluruh negara. Sekte Zen dan Tanah Suci bersama seluruh orang-orang terhormat didalamnya semua telah terjerumus dalam pandangan salah.

Aku tahu bahwa jika aku mengumumkan hal ini, ini akan menyebabkan Aku kehilangan hidupKu. Namun, Aku merasa ini adalah tujuan kenapa Bodhisattva Kokuzo mengabulkan keinginan dan doaKu. Sehingga, pada tanggal 28 April 1253, disisi selatan dari Aula Jibutsudo Hall di Kuil Seicho-ji, Aku mulai membicarakan keyakinan ini kepada Joen-bo dan beberapa bhiksu terpelajar lainnya mengenai segala kesalahan itu. Setiap waktu dan lebih dari dua puluh tahun sejak itu, Aku tidak pernah berhenti menyebarkan ajaran kebenaran Buddhisme.

Akibatnya, sejak awal ketika Aku mengungkapkan kebenaran, Aku telah diburu, dan pada waktu lain Aku mengalami pembuangan dan pengasingan. Pada masa lampau, Bodhisattva Sadaparibhuta mendapatkan penganiayaan tongkat dan batu, sekarang Nichiren harus menghadapi pedang.

Seluruh orang-orang di Jepang, bijaksana atau tidak, dari para pejabat pemerintah sampai rakyat biasa diseluruh negara, berkata bahwa Nichiren tidak dapat dibandingkan dengan kebijaksanaan dari para sarjana, guru, maha guru, dan orang-orang suci dimasa lalu. Oleh karena itu, Aku menunggu waktu yang "Ketika Aku masih muda, Aku telah mendapatkan Permata

Kebijaksanaan Agung dari Bodhisattva Kokuzo. Aku berdoa kepada Kokuzo untuk membuat diriKu menjadi seorang laki-laki yang paling bijaksana di Jepang dan Ia mengabulkan hal itu. Permata Kebijaksanaan itu bersinar seperti Bintang Kejora ditanganKu"

(13)

tepat untuk mengusir mereka yang mencurigaiKu untuk kali terakhir dan selamanya. Melihat gempa bumi besar yang terjadi pada periode Shoka (1257), diikuti oleh komet besar pada periode Bun’ei (1264), Aku menyadari bahwa Aku harus mempelajari dan menguji semua sutra dan komentar-komentar lainnya secara menyeluruh. Setelah itu, Aku membuat beberapa ramalan: “Aku merasa bahwa bangsa kita akan mengalami dua bencana mengerikan. Akan terjadi konflik bersenjata dalam negara dan serangan dari negara asing. Konflik dalam negara akan terjadi di Kamakura, dalam wujud perselisihan antara keluarga Hojo Yoshitoki. Serangan negara asing, bisa saja datang dari arah keempat arah manapun juga. Namun, Aku merasa bahwa serangan yang kejam itu kemungkinan akan datang dari arah barat. Satu-satunya alasan kenapa semua ini terjadi adalah karena semua orang, seluruh penganut Buddhis diseluruh Jepang, tanpa kecuali, terjerumus dalam penyimpangan ajaran Buddhisme. Sebagai hasilnya, Dewa Bonten dan Taishaku akan menyebabkan negara lain menyerang kita.

“Jika seluruh negara terus tidak memperhatikan kata-kata Nichiren, negara ini mungkin tidak akan terlindungi lagi, meskipun jika mempunyai seratus, seribu atau sepuluh ribu jenderal perkasa seperti yang terdapat dalam sejarah; Taira-no-Masakado, Fujiwara Sumitomo, Abe-no-Sadato, Fujiwara Toshihito, atau Sakanoue-no-Tamura tidak akan dapat bertahan.

“Jika ramalanKu tidak benar, kemudian orang-orang dapat percaya pada pandangan salah dari Sekte Shingon, Nembutsu, dan lain-lain.”

Aku khusus mengingatkan mereka yang berada di Gunung Kiyosumi bahwa jika mereka tidak memperlakukan Aku dengan baik sama seperti mereka terhadap orang

tua atau Tiga Pusaka Buddhisme [Buddha, Dharma, dan Sangha], mereka akan menjadi pengemis seumur hidup dan akan jatuh kedalam neraka penderitaan yang tidak terputus-putus.

Ini karena ketika Raja kejam, Tojo Saemon Kagenobu, yang senang berburu rusa dan binatang lainnya yang dijaga oleh Kuil Seicho-ji dan mencoba memaksa para bhiksu yang tinggal dalam kuil untuk menjadi penganut Nembutsu, Aku menjadi musuhnya dan mereka mendukung tuan tanah itu. Aku telah membuat sumpah, dengan berkata, “Jika kedua kuil di Kiyosumi dan Futama menjadi kepemilikan dari Tojo, Aku akan membuang Saddharma Pundarika Sutra!” Kemudian, Aku membuat sumpah dengan kedua tangan kepada Buddha Sakyamuni. Aku terus berdoa dan dalam setahun kedua kuil ini terlepas dari kepemilikan Tojo, Bodhisattva Kokuzo tidak akan pernah melupakan hal ini. Bagaimana bisa kalian semua merendahkan diriKu dan melupakan perlindungan dari langit?

Orang bodoh akan berpikir bahwa Aku memberikan sebuah kutukan kepada mereka ketika Aku mengatakan hal ini. Namun, itu tidaklah benar. Aku hanya mengingatkan kalian bahwa sangatlah memalukan jika kalian jatuh kedalam neraka penderitaan yang tak terputus-putus setelah kalian meninggal.

Biarawati dalam keluarga dari tuan tanah, sangat mudah dipengaruhi dan diancam oleh orang lain. Hal yang sangat disesalkan adalah ia telah melupakan hutang budi kepada

orang lain dan akan terjatuh kedalam dunia iblis setelah ia meninggal. Namun, ia pernah berbuat kebaikan besar kepada ayah dan ibuKu, jadi Aku akan mendoakan agar ia dapat diselamatkan dari alam baka.

Kenyataannya, Saddharma Pundarika Sutra, adalah sutra yang mana Yang Maha Agung, Buddha Sakyamuni, menyatakan bahwa ia adalah Buddha yang telah mencapai Penerangan Agung pada masa lampau yang tak terbatas. Lebih lagi, Sariputra dan murid-murid dari tingkatan Shravaka dan Pratyekabuddha, yang berpikir bahwa mereka tidak akan memperoleh penerangan, telah ditentukan akan menjadi para Buddha pada masa mendatang. Mereka yang tidak percaya akan ajaran dari sutra ini akan terjatuh ke dalam neraka avici. Aku tidak menyatakan ini menurut pikiran sendiri. Buddha Segala Pusaka yang muncul untuk membuktikan kebenaran dari segala yang dibabarkan dalam Saddharma Pundarika Sutra adalah kebenaran. Terlebih lagi, seluruh para Buddha yang datang dari sepuluh penjuru dunia untuk mendengarkan Saddharma Pundarika Sutra, mengeluarkan lidah mereka sampai ke Surga Brahma, mereka melakukan semua itu untuk menegaskan tentang kebenaran dari ajaran Saddharma Pundarika Sutra.

Terlebih lagi, Saddharma Pundarika Sutra telah mengajarkan Bodhisattva Muncul dari Bumi yang tak terhingga jumlahnya, Bodhisattva Manjusri dan Bodhisattva Avalokitesvara, Raja Surga Brahma, Raja Sakra, Dewa Matahari dan Bulan, Empat Raja Langit, Sepuluh Dewa "Upacara Buka Mata untuk gambar atau rupang Buddha yang dilaksanakan dengan mudra dan mantra Buddha dari Sutra Buddha Matahari Agung, mengakibatkan semua rupang kayu dan gambar atau lukisan dari para Buddha diseluruh Jepang tidak berjiwa dan buta. Hanya Saddharma Pundarika Sutra yang dapat memberikan jiwa kepada rupang atau gambaran para Buddha."

(14)

Dewi, dan semua dewa-dewi surga yang telah berjanji kepada Buddha Sakyamuni bahwa mereka semua akan melindungi seseorang yang percaya dan melaksanakan Saddharma Pundarika Sutra. Kemudian, tidak ada Jalan lain untuk mencapai KeBuddhaan selain menganut dan melaksanakan Saddharma Pundarika Sutra, hanya sutra ini yang mengungkapkan tentang semua ajaran yang mencakup masa lalu dan akan datang. Ini adalah pandangan dari orang-orang yang benar-benar percaya dan melaksanakan Saddharma Pundarika Sutra. Aku tidak pernah melihat atau mengetahui tentang Propinsi Tsukushi, Kyushu, dan Aku tidak juga mengetahui tentang Kerajaan Mongolia. Aku membuat semua ramalan ini tentang serangan dari Mongolia berdasarkan pemahamanKu terhadap seluruh sutra-sutra. Hal yang sama, seseorang yang secara jelas melupakan hutang budi yang mereka peroleh dari Yang Maha Agung, Buddha Sakyamuni, akan terjatuh ke dalam neraka avici.

Kamu mungkin merasa aman sekarang, tetapi tunggu dan lihatlah yang terjadi kemudian. Seluruh Jepang akan terkurung oleh kesedihan yang sama seperti Pulau Iki dan Tsushima.

Ketika tentara Mongolia menyerang Propinsi Awa, para bhiksu yang terjerumus dalam ajaran sementara dan menolak untuk mendengarkan ajaran sesungguhnya akan terjatuh dalam kengerian dan akhirnya terjatuh dalam Neraka Avici. Dan mereka akan mengatakan, “Apa yang dikatakan Bhiksu Nichiren

adalah benar adanya.” Sungguh menyedihkan!

Tanggal 11 Januari 1276

Untuk Para Bhiksu Kuil Seicho Ji, Propinsi Awa

Nichiren (tanda tangan teratai) Catatan: Harap surat ini dibacakan dengan keras oleh Bhiksu Sado-ko Niko dono [Niko Shonin] dan Suke Ajari Go-be dihadapan rupang dari Bodhisattva Kokuzo untuk seluruh Bhiksu Seichoji agar mendengarkannya.

"Tidak ada Jalan lain untuk mencapai KeBuddhaan selain menganut dan melaksanakan Saddharma Pundarika Sutra, hanya sutra ini yang mengungkapkan tentang semua ajaran yang mencakup masa lalu dan akan datang. Inilah cara pandangan orang-orang yang benar-benar percaya dan melaksanakan Saddharma Pundarika Sutra."

REDAKSI: Nichiren Shonin masuk kebhiksuan pada umur 16 tahun pada tanggal 8 oktober 1237 di Kuil Seicho Ji, dibawah bimbingan dari Bhiksu Dozen-bo, dan diberi nama Buddhis Zesho-bo Rencho. Pada waktu itu Ia melakukan pelatihan yang sangat keras, Ia meditasi selama 21 hari tanpa makan dan minum dan berdoa kepada Bodhisattva Kokuzo untuk mendapatkan Kebijaksanaan dan Keberuntungan. Rupang Bodhisattva Kokuzo ini dipahat oleh Bhiksu Fushigi pada tahun 771, dengan tinggi 1 1/2 inci. Dihadapan rupang inilah Rencho berdoa dan bermeditasi untuk mendapatkan Jalan bagi pembelajarannya untuk menemukan Ajaran Sejati dari Buddha Sakyamuni.

Pada hari ke 21, Rencho mendapatkan "Permata Kebijaksanaan" dari Bodhisattva Kokuzo, yang bersinar terang bagaikan Bintang Venus ditangan kananNya, dan ini sekaligus mengabulkan permintaan Ia untuk menjadi orang yang paling bijaksana di Jepang. Sejak saat ini Ia dapat memahami dan mengerti seluruh ajaran Sang Buddha, keunggulan dan kelemahannya serta menemukan ajaran sejati dalam Saddharma Pundarika Sutra.

Sekarang Kuil Seicho Ji adalah salah satu kuil terpenting Nichiren Shu, seluruh calon bhiksu atau bhiksuni akan ditabhis disini, sebagaimana halnya Nichiren Shonin pada waktu itu. Di Kuil ini juga Nichiren Shonin pertama kali mendirikan ajaran Nichiren dan pembabaran Dharma yang pertama. Pada Aula utama terdapat rupang Bodhisattva Kokuzo yang lebih besar. Menurut sejarah, rupang ini dipahat dari kayu yang sama menjadi tiga rupang oleh Bhiksu Tenzui, keponakan dari Shogun Tokugawa Ieyasu. Dua rupang lainnya terdapat di Gunung Muramatsu di Hitachi, dan Yanaitsu di Aizu. Gassho

BODHISATTVA KOKUZO

(Bodhisattva Kebijaksanaan)

(15)

Catatan :Riwayat hidup Nichiren Shonin yang tepat dapat kita baca dari berbagai macam surat dan catatan masa lalu dan penelitian sejarah lainnya. Tetapi disini terdapat berbagai macam cerita legenda sehubungan dengan kehidupan Nichiren Shonin, dan akan Saya tuangkan dalam tulisan ini.

Legenda Nichiren Shonin

Oleh YM.Bhiksu. Gyokai Sekido

Sumber: Nichiren Shu News, terbitan Nichiren Shu Headquaters dan Kaigai Fukyo Koenkai

Dirangkum dan diterjemahkan oleh Josho S.Ekaputra

LEGENDA (BAG.5)

NICHIREN SHONIN

Dari Nara ke Koyasan

urat Nichiren dari Gunung M i n o b u t a h u n 1 2 7 8 , memberitahukan kita bahwa Rencho pernah belajar di kuil-kuil Kamakura, Kyoto, Gunung Hiei, Kuil Onjo-ji, Gunung Koya, Kuil Tennoji dan lain-lain. Tidak ada catatan tentang kegiatan Beliau dikuil-kuil ini, namun kita mengetahui secara garis besar perjalananNya. Ia dikatakan ingin pergi ke Sakai setelah pertemuan dengan Tuan Egawa. Kemudian, Ia kembali ke Nara sekali lagi sebelum pergi ke Gunung Koya. Di Sakai, Rencho bertemu dengan orang-orang dari kampung halamannya, dan ia sangat bahagia mendengar kabar tentang orangtua dan gurunya. Segera, ia kembali ke Nara untuk melanjutkan pembelajaran di Kuil Toshodaiji dengan sambutan yang baik. Kuil ini didirikan oleh Çhien-chen, seorang bhiksu China, yang datang ke Jepang pada tahun 749 atas undangan dari Kaisar Shomu.

Kemudian, Rencho ingin pergi ke Kuil Yakushiji, dalam perpustakaan kuil ini, ia membaca “Semua Naskah-naskah Buddhisme.” Ia dengan sungguh hati belajar enam sekte Buddhisme yang terkenal pada

masa Nara. Pada waktu itu, Rencho telah berusia 28 tahun pada tahun 1249. Terakhir ia berkeinginan pergi ke Gunung Koya, dimana Kuil Kongobuji yang dibangun oleh Bhiksu Kukai berada. Kukai (774-835), seorang bhiksu tinggi pada periode Heian, pendiri dari Sekte Shingon. Pada masa itu Gunung Hiei

dan Gunung Koya adalah pusat dari Buddhisme di Jepang.

Kukai memutuskan untuk membangun Kuil Kongobuji di Gunung Koya karena berdasarkan pada pengalamannya di China. Konon, katanya ketika ia membawa sebuah altar dari China, terbang melewati samudera dan mendarat Ket. Rupang 33 Dewa Pelindung yang disemayamkan di Kuil Gokokuji, Shimabara, Daerah Administrasi Nagasaki. Kuil ini dibangun tahun 1615 oleh Tuan Shimabara. Kepala kuil pertama dari kuil ini adalah Nichiyo Shonin, orang korea. Nichiyo Shonin terkenal sebagai satu dari tiga orang guru ahli kaligrafi Nichiren Shu pada masa itu.

(16)

di Gunung Koya. Karena itu Ia memutuskan untuk membangun kuil disini. Ibunya begitu gembira dan ia ingin pergi gunung Koya dengannya, tetapi wanita tidak boleh pergi ke Gunung Koya pada waktu itu. “Kenapa aku tidak boleh naik keatas gunung, dimana anakku akan membangun sebuah kuil?” tanya ibu Kukai dan ia memutuskan dengan berbagai cara untuk memanjat keatas gunung.

Gunung mulai bergemuruh ketika ia mulai memanjat keatas. Kemudian nyala api pun menyerang dia. Kukai mengangkat sebuah batu untuk melindungi ibunya. Ibunya mengambil batu lain, dan tanda jejak tangannya tertinggal menjejak diatas batu sebagai wujud kemarahan atas ketidakadilan terhadap kaum wanita. Rambunya merah berantakan, mata melotot penuh merah darah, dan ia kelihatan seperti seorang iblis.

Dikatakan, sebelum Rencho sampai kekuil ia, menemukan dua buah batu, satu yang diangkat oleh Kukai dan satu lagi oleh ibunya. Rencho merasa prihatin, kenapa seorang bhiksu tinggi seperti Kukai tidak dapat menyelamatkan ibunya sendiri. Hanya Saddharma Pundarika Sutra yang dapat menyelamatkan kaum wanita.

Munculnya “33 Dewa Pelindung “

etelah kembali ke Kyoto dari Gunung Koya, Rencho kembali mengunjungi Gunung Hiei. Dikatakan munculnya 33 Dewa Pelindung, erat kaitannya denganNya ketika tinggal di gunung ini. Legenda mengatakan, ketika tinggal di Gunung Hiei, seorang asing muncul di taman ketika Rencho membaca sutra. 33 orang yang berbeda muncul ditaman selama 30 hari berturut-turut.

Suatu hari, Rencho bertanya kepada orang tersebut dengan sopan, siapakah mereka ? Ia memberitahukan

kepada Rencho, “Kami adalah ’33 Dewa Pelindung' Saddharma Pundarika Sutra.” Ketika Buddha Sakyamuni membabarkan Saddharma Pundarika Sutra di Gunung Gridrakuta, banyak dewa-dewi yang berjanji melindungi penganut dari Saddharma Pundarika Sutra. 33 Dewa Pelindung yang muncul dihadapan Rencho, membuktikan janji itu. Mereka, dewa-dewi itu memperkenalkan diri mereka masing-masing. Rencho menulis nama mereka dan meminta seorang pelukis untuk melukiskan gambar mereka. Daftar nama ke 33 Dewa Pelindung itu adalah ditulis sendiri oleh Rencho dan lukisan mereka dipersembahkan kepada Kuil Myokai-ji di Daerah Administrasi Shizuoka dan Kuil Rissho-ji di Daerah Administrasi Yamanashi.

3 3 D e w a P e l i n d u n g adalah dewa-dewi yang muncul untuk melindungi seseorang yang mempertahankan Saddharma Pundarika Sutra selama 30 hari penuh. Pada dewa-dewi ini sudah dikenal sejak periode Heian (794 1185). Dikatakan bahwa kepercayaan ini dimulai oleh Saicho (767–822), pendiri dari Sekte Tendai, persembahan doa di Gunung Hiei kepada para dewa-dewi diseluruh negara untuk melindungi Buddhisme.

N i c h i r e n S h o n i n juga mengambil kepercayaan kepada 33 Dewa Pelindung ini. Demikian juga ajaran ini diambil oleh Nichizo (1269–1342), yang melakukan penyebarluasan ajaran Nichiren Shonin di Kyoto. Nichizo adalah orang yang pertama kali ditugaskan oleh Nichiren Shonin untuk menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra di Kyoto. “Dewa Pelindung telah meninggalkan negara karena orang-orang telah membuang hati kepercayaan kepada Saddharma Pundarika Sutra,” tulis Nichiren Shonin dalam “Rissho Ankoku Ron” (Risalah Menyebarkan Perdamaian

ke seluruh negara melalui penegakkan Ajaran Sesungguhnya).

Berdasarkan pernyataan Nichiren Shonin tersebut, Nichizo merekomendasikan kepercayaan kepada “33 Dewa Pelindung” yang disimpan di Gunung Hiei, dan menjadi rahasia bagi orang-orang. Dengan mengadopsi kepercayaan kepada 33 Dewa Pelindung ini, Nichizo berusaha menyebarluaskan misinya. Sejak itu, kepercayaan kepada 33 Dewa Pelindung menjadi sangat terkenal, dan rupang mereka dibuat dimana-mana, dan aula untuk mereka pun didirikan. Orang-orang berharap untuk “kebaikan dunia ini” harus mengunjungi aula ini. Dipercaya bahwa setiap dewa itu melindungi mereka setiap hari, sebulan penuh.

Tempat Abu keluarga, dimana kuil Nichiren yang ada saat sekarang ini, selalu mencantumkan nama dari 33 Dewa Pelindung itu, terpulang pada kita untuk percaya atau tidak. BERSAMBUNG...

(17)

Seri Penjelasan Saddharma Pundarika Sutra

Oleh: YM.Bhiksu Shokai Kanai

Sumber Acuan: Buku "The Lotus Sutra" By Senchu Murano Diterjemahkan oleh: Josho S.Ekaputra

RINGKASAN

ada saat itu sebuah stupa yang terdiri dari tujuh pusaka muncul dari dalam tanah dan melayang di angkasa di hadapan Sang Buddha. Suara pujian yang keras terdengar dari dalam stupa tersebut, “Bagus, bagus, apa yang telah Kau, Buddha Sakyamuni, babarkan adalah benar semuanya.”

Melihat kejadian supranatural ini, para peserta pesamuan begitu terkejut dan bertanya-tanya mengapa semua ini terjadi. Sang Buddha pun menjelaskan bahwa Buddha Segala Pusaka atau Buddha Taho berada di dalam stupa tersebut dan Ia selalu hadir ketika Saddharma Pundarika Sutra dibabarkan, dan Ia memuji kebenaran dari ajaran tersebut.

M e m e n u h i k e i n g i n a n para peserta pesamuan, Buddha Sakyamuni memancarkan seberkas sinar dari bulatan putih yang terletak di antara kedua alisNya. Cahayanya menyebabkan para Buddha dari kesepuluh penjuru dunia berkumpul di hadapan Buddha Sakyamuni dan Taho. Pada saat itu, Buddha Sakyamuni memurnikan tempat tersebut. Ia mengulangi hal ini tiga kali.

K e m u d i a n B u d d h a Sakyamuni naik ke angkasa untuk

BAB XI

Munculnya Stupa Pusaka

membuka pintu stupa tersebut.

Buddha Taho menawarkan separuh tempat dudukNya. Karena tempat duduk kedua Buddha tersebut terlalu tinggi untuk dilihat oleh para peserta pesamuan, Sakyamuni mengangkat mereka ke angkasa dengan kekuatan supranaturalNya.

K e m u d i a n I a b e r k a t a kepada mereka, “Aku akan segera memasuki Nirvana. Apakah ada yang bersedia membabarkan Saddharma Pundarika Sutra ini di dunia setelah kemokshaan-Ku? Aku ingin menyerahkannya kepada seseoarang agar ajaran ini dapat terus berlanjut.”

PENJELASAN

anyak kejadian supranatural yang terungkap dalam bab ini. Kita tidak seharusnya menanggapi bahwa semua itu hanyalah tahayul belaka, karena semua kejadian supranatural di dalam Saddharma Pundarika Sutra memiliki makna tersendiri. Buddha Sakyamuni mencoba menjelaskan bahwa kebenaran mampu melampaui batasan ruang dan waktu.

Kita bermaksud menilai segala sesuatunya berdasar apa yang telah kita pelajari, tapi kebijaksanaan Buddha terlampau sukar untuk

dipahami hanya dengan pengetahuan kita semata. Kita harus melihat melampaui pengetahuan kita dan mencoba memahami kebijaksanaan Buddha. Inilah sebab utama mengapa peserta pesamuan diangkat ke angkasa dan tinggal di sana. Mulai dari bab 11 hingga 22 semuanya dibabarkan di angkasa.

“Pada saat itu sebuah stupa yang terdiri dari tujuh pusaka muncul dari dalam tanah dan melayang di angkasa.” (P.181, L.3):

Ketika seorang Buddha muncul, stupa atau istanaNya juga berpindah sebagaimana Ia berpindah.

P

Gambar

Gambar  bunga  dilukiskan  pada  atap  dan  pintu  dorongnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dari aspek pengelolaan Saung Angklung Ujdo telah mampu menunjukan pada masyarakat luas bahwa potensi budaya lokal dapat dikembangkan dalam suatu program wisata seni dan budaya

Sehubungan dengan hal di atas, Perseroan akan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (“RUPSLB”) pada tanggal 3 Juni 2021 dan oleh karenanya Perseroan

Huruf konsonan h (termasuk ふ fu) menunjukkan sesuatu yang bersih, ringan, cepat, atau kecil. Lalu, huruf konsonan p menunjukkan sesuatu yang tajam, ringan, mungil,

Imbalan yang dialihkan dalam suatu kombinasi bisnis diukur pada nilai wajar, yang dihitung sebagai hasil penjumlahan dari nilai wajar pada tanggal akuisisi atas seluruh aset

Hid#n': Pada hidun tidak ditemukan adan+a kelainan( tulan hidun simetris kanan dan kiri( )*sisi se)tum nasi teak di tenah( muk*sa hidun lembab( tidak ditemukan adan+a

5o'#g Reg#o !gen strutural$ merupakan bagian yang mengkode urutan nukleotida *NA. +ada prokariot tidak ada sekuens penyisip ! intervening  sequences atau intron% yang

Makalah dengan judul “ Timer atau Counter 0 dan 1 ” menjelaskan tentang Timer /Counter sebagai suatu peripheral yang tertanam didalam microcontroller

berkutik saat ditangkap Unit Reskrim Polsek Loano Polres Purworejo karena diduga sudah menganiaya And I Setiawan alias Kancil (31) warga Dusun Beru Tengah RT 02 RW 05