• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Peran Gender dalam Keluarga Cina Benteng di Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Peran Gender dalam Keluarga Cina Benteng di Tangerang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

Analisis Peran Gender dalam Keluarga Cina

Benteng di Tangerang

Suryadi, Hariady, Elice Chandra

Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-5327630 San_zhong92@yahoo.com, hariady_92@ymail.com, sebastian_vero@yahoo.com

ABSTRACT

The main purpose of this study is to analyze the role of gender (gender roles) who lived by the 'Cina Benteng' family. In this study, authors used the qualitative methods and provide to all respondents with BSRI (Bem Sex Roles Inventory) test (a test of masculinity, femininity and androgynous). After observing and analyzing based on the source used. The author came to the conclusion that cultural background is one of the biggest thing for the respondent to undergo gender roles in the family and the gender roles of someone in some points aligned with the gender roles they lived. From the research data, 6 pairs of respondents indicated that the respondent of husband with high masculinity and wife with high femininity is the most appropriate respondent to undergo traditional gender roles.

Keywords: Cina Benteng , Family, Gender Role,BSRI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran gender yang dijalani oleh keluarga masyarakat Cina Benteng. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan memberikan tes BSRI (Bem Sex Roles Inventory) kepada semua responden (tes terhadap maskulinitas, femininitas dan androgyny). Setelah melakukan obsevasi dan menganalisis berdasarkan sumber yang digunakan. Penulis mendapatkan kesimpulan bahwa latar belakang kebuyaan merupakan salah satu faktor terbesar bagi responden dalam menjalani peran gender keluarga dan poin peran gender seseorang selaras dengan peran gender yang mereka jalani. Dari data peneltian , 6 pasang responden menunjukan bahwa responden suami dengan maskulinitas tinggi dan istri dengan feminitas tinggi merupakan responden yang paling sesuai untuk menjalani peran gender tradisional.

(2)

Pendahuluan

Masyarakat Cina Benteng merupakan suatu komunitas Tionghoa yang memiliki keunikan dari segi budaya dan historinya, menurut buku Etnik Tionghoa di Indonesia, menceritakan Kitab

Layang Parahyang yang berbahasa Sunda kuno mengisahkan pendaratan serombongan orang

Tiongkok di pantai utara Tangerang dan bermukim di sana. Itu sebabnya di kawasan ini terdapat nama-nama Pangkalan atau Teluk Naga, yang mengacu pada kali pertama kedatangan orang Tionghoa di Tangerang. Setelah tragedi Batavia tahun 1740, banyak orang Tionghoa di Batavia yang kemudian pindah bermukim di daerah Tangerang dekat daerah bekas benteng Belanda, hal ini dikemudian hari disebut sebagai cikal bakal terbentuknya sebutan “Cina Benteng” bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah tersebut .

Kebudayaan masyarakat keturunan Tionghoa yang dikenal sangat mementingkan peran gender oleh masing-masing individu. Dalam buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang menuliskan dalam kalangan Tionghoa keluarga mempunyai kedudukan amat penting sehingga ada yang menyamakannya dengan kuil, dan dalam kuil itu, sang ayah sebagai kepala keluarga menjadi kepalanya. Dari wawancara awal penulis ke daerah Tangerang ada pernyataan dari salah satu budayawan Cina Benteng yaitu bapak Oei Tjin Eng yang menyebutnya “Semodern apapun masyarakat Cina Benteng pasti tidak akan dapat menjalani kesetaraan gender dengan seutuhnya dan secara tidak langsung adanya didikan orangtua untuk mendidik salah satu anak laki-laki agar tetap tinggal dirumah orangtuanya untuk mempertahankan tradisi meja leluhur”. Namun dilain sisi dalam tesis Analisa Perubahan Sosial Masyarakat Sewan Lebak Wangi (Perbandingan Era Reformasi dan

Orde Baru) menyatakan bahwa masyarakat Cina Benteng yang bermukim di Sewan Lebak Wangi,

adalah merupakan penjaga dan penerus tradisi dan adat istiadat leluhur Tionghoa, yang mana pada saat ini pada masyarakatnya telah terjadi perubahan-perubahan sosial. Tradisi yang telah diwariskan dari nenek moyangnya mulai ditinggalkan oleh etnis Tionghoa lainnya, terutama yang terjadi pada generasi mudanya yang saat ini mendapat banyak pengaruh dari lingkungan luar hidupnya di era majunya teknologi, sehingga mereka kurang menaruh perhatian pada hal-hal yang berbau tradisional. Dalam buku Manusia dan Kebudayaan Han dituliskan strerotip perempuan sebagai mahluk berstatus rendah dan tidak memiliki hak apapun sering digunakan untuk membicarakan masyarakat Han tradisional, bahkan dalam kita yili di tuliskan sebelum menikah mengikuti orang tua, setelah menikah mengikuti suami, menjanda mengikuti anak.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori peran gender yaitu teori yang menjelaskan maskulinitas dan femininitas seseorang yang menunjukan identitas manusia dalam lingkungan masyarakat. Teori peran gender berfokus pada sifat-sifat maskulinitas dan femininitas, seperti suami dan istri atau ayah dan ibu. Masih ada beberapa individu yang mempertahankan Traditional Gender

Attitude yaitu wanita mengikuti peran berdasarkan kedekatan perasaan sedangkan laki-laki masih

memegang prinsip sebagai pencari nafkah sekaligus mengatur rumah tangga, atau laki-laki lebih nyaman sebagi pelindung dan perempuan lebih nyaman untuk pengurus. Dalam teori gender

stereotype, pada tahun 1975 Sandra Bem menyanggah peran gender tradisional seperti wanita

mengambil peran dalam keluarga, orang-orang telah memberikan pandangan yang melekat bahwa hal tersebut merupakan kodrat wanita dalam mendidik dan merawat sama halnya laki-laki dalam kehidupan tradisional harus berlaku sebagai pencari nafkah. Maka dari itu Sandra Bem dan beberapa peneliti menciptakan istilah Androgyny yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Andros (laki-laki) dan

Gyne (wanita). Selain itu penulis juga menggunakan BSRI (Bem Sex Role Inventory) dan PAQ (personal Attributes questionaire) yaitu untuk poin diri setiap individu terhadap maskulinitas,

femininitas dan androgyny yang di miliki setiap individu tersebut. Dalam teori budaya dan peran gender dijelaskan bahwa manusia terlahir hanya memiliki sex namun belum memiliki gender. Budaya memiliki pengaruh sangat besar terhadap gender yang akan dijalani seseorang. Masyarakar akan terfokus pada peran yang dianggap sesuai dengan laki-laki dan wanita dalam lingkungan masyarakatnya. Dalam kaitan latar belakang budaya penulis juga menggunkan sumber-sumber konfusianisme dalam menjalani peran gender tradisional masyarakar Tionghoa.

Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Untuk itu penulis akan menggabungkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat dengan cara membaur dalam lingkungan masyarakat Cina Benteng di tangerang untuk melakukan observasi, wawancara dan tes BSRI (Bem

Sex Role Inventory). Agar pembahasan penelitian tidak meluas, maka penulis memfokuskan sasaran

penelitian hanya pada lingkungan keluarga masyarakat Cina Benteng. di Tangerang. Lingkup ini mencakup cara pandang masyarakat Cina Benteng akan peran gender di dalam keluarga, tradisi dan kebudayaan yang berkembang terkait dengan peran gender serta cara mereka menyikapi prinsip-prinsip tersebut di dalam budaya kemasyarakatan yang telah mengalami modernisasi. Ruang lingkup

(3)

ini diperjelas dengan cara penulis akan mewawancarai 6 pasangan responden berbeda generasi (3 Dewasa madya dan 3 Dewasa muda).

Hasil dan bahasan

1. Pandangan keluarga Cina Benteng terhadap peran gender

Setelah obsevasi didalam keluarga masyarakat Cina Benteng, penulis telah melakukan wawancara dan memberikan tes BSRI (Bem Sex Role Inventory) kepada semua responden. Oleh karena itu pada bab itu penulis akan menganalisis dan menjelaskan menerangkan hasil penelitian terhadap 2 generasi keluarga Cina Benteng.

Pertama, dari ke 12 responden penulis mendapat kesimpulan bahwa budaya merupakan pola hidup, batas tingkah laku , sistem kemasyarakatan serta proses belajar bagi masyakat Cina Benteng. Hal tersebut di buktikan oleh 6 pasang responden yang setuju bahwa peran budaya dalam keluarga memiliki peran penting, terutama responden D istri mengatakan bahwa budaya merupakan batas tingkah laku seseorang. Ruang lingkup keluarga 6 pasang responden juga secara tidak langsung adanya keterkaitan terhadap konfusianisme, seperti: meskipun setiap responden memiliki poin BSRI yang berbeda, namun mereka setuju bahwa peran gender suami dan isri harus dibedakan. Hal tersebut selaras dengan ajaran konfusianisme dimana dalam kitab Liji dituliskan bahwa suami istri “harus dibedakan.” Data lain yang mengacu pada ajjran konfusianisme juga adalah dimana 6 pasang responde setuju bahwa laki-laki tidak membicarakan hal didalam rumah dan perempuan tidak membicarakan hal diluar rumah. Data lainnya penulis juga menemukan bahwa 6 responden suami setuju bahwa laki-laki sebagai pemegang keputusan dalam keluarga,akan tetapi tetap dibicarakan dengan istri sebelumnya. Dalam kitab Sishu bab Mengzi menyatakan “Seorang anak perempuan ketika akan berangkat menikah, sang ibu memberi petuah-petuahnya. Ketika akan berangkat, diantar sampai dipintu lalu dinasehati “anakku yang berangkat menikah, berlakulah hormat, berlakulah hati-hati, janganlah berlawanan dengan suamimu.” Memegang teguh sifat menurut didalam kelurusan itulah jalan suci seorang wanita.” Dalam buku zhongqiu di tuliskan “ unsur yang: matahari sebagai tuan rumah, unsur yin: bulan sebagai penentu keturunan.” Dari 2 data ini terlihat bahwa konfusianisme telah menghormati peran seorang istri dalam keluarga.

Dewasa ini, dari 6 pasang responden penulis mendapatkan kesimpulan bahwa umur,lama pernikahan dan perbedaan usia pasangan tidak mempengaruhi maskulinitas dan feminimitas seseorang terbukti responden B laki-laki dewasa madya yang notabene berumur lebih muda (46) memiliki poin maskulinitas jauh lebih tinggi yaitu sebesar 77,5% dibandingkan responden c laki-laki dewasa madya yang memiliki poin maskulinitas hanya 56,667% sedangkan pembuktian bahwa lama pernikahan dan perbedaan usia pasangan tidak mempengaruhi feminimitas dan androgyny adalah pasangan responden C dewasa madya yang berusia laki-laki 73 dan perempuan 65 memiliki perbedaan umur sebesar 8 tahun memiliki poin maskulin,feminim,dan androgyny yang hampir sama yaitu laki-laki (maskulin 56,667,feminim 69,167,dan androgyny 55) dan perempuan (maskulin 60,feminim 73,684,dan androgyny 63,33) sedangkan pasangan responden B dewasa madya yang berusia laki-laki 46 tahun dan wanita 44 tahun memiliki perbedaan umur sebesar 2 tahun memiliki point (maskulin 77,5,feminim 63,333,dan androgyny 58,333) dan perempuan (maskulin 31,667, feminin 85,833,androgyny 58,333) hal ini membuktikan walaupun responden A laki-laki dewasa madya memiliki usia yang lebih tua dan memiliki pasangan yang jauh lebih muda itu yaitu 8 tahun tidak membuktikan ia memiliki sifat-sifat maskulin seperti dominan,kuat,dan agresif lebih besar dari responden B laki-laki dewasa madya yang memilki umur yang lebih muda dan memiliki perbedaan usia dengan pasangan yang lebih pendek yaitu 2 tahun.

Selain hal yang diatas dari data yang penulis miliki menumkan bahwa tingkat pendidikan juga tidak berpengaruh terhadap pola peran gender yang mereka jalani sebagai bukti adalah Responden A wanita pasangan dewasa muda memilih tetap menjadi ibu rumah tangga walaupun dia memiliki pendidikan setingkat strata satu bahkan dia memiliki poin feminim 76,667% , terutama sifat feminin yaitu fokus terhadap keluarga.

(4)

2 .Profil Responden

Tabel 1 Responden A Responden A ( ( ( (Dewasa Madya)))

Responden A(Suami) Responden A (istri)

Usia 46 tahun 44 tahun

Lama Pernikahan 24 tahun 24tahun

Riwayat Pendidikan SMA SD

Pekerjaan Wira Swasta Ibu Rumah Tangga

Jumlah Anak 3 3

Tinggal Bersama Orangtua mertua

Poin Maskulinitas 77,5 31,667 Poin Femininitas 63,333 85,833 Poin Androgyny 58,333 58,333 Tabel 2 Responden B Responden B ( ( ( (Dewasa Madya)))

Responden B(Suami) Responden B(Istri)

Usia 73 tahun 65tahun

Lama Pernikahan 41 tahun 41tahun

Riwayat Pendidikan SD SD

Pekerjaan Pensiun Wira Swasta

Jumlah Anak 3 3

Tinggal Bersama Orangtua Mertua

Poin Maskulinitas 56,7 60

Poin Femininitas 69,167 73,684

(5)

Tabel 3 Responden C

Responden C

((

(Dewasa Madya)

Responden C(Suami) Responden C(istri)

Usia 46 tahun 39 tahun

Lama Pernikahan 15 tahun 15 tahun

Riwayat Pendidikan SMA SMA

Pekerjaan Wira Swasta Wira Swasta

Jumlah Anak 1 1

Tinggal Bersama Orang tua Mertua

Poin Maskulinitas 75 71,667 Poin Femininitas 73,333 61,667 Poin Androgyny 66,667 67,5 Tabel 4 Responden D Responden D ( (( (Dewasa Muda)))

Responden D(Suami) Responden D(Istri)

Usia 31tahun 33 tahun

Lama Pernikahan 6 tahun 6 tahun

Riwayat Pendidikan S1 S1

Pekerjaan Pegawai Swasta Ibu Rumah Tangga

Jumlah Anak 2 2

Tinggal Bersama Orangtua Mertua

Poin Maskulinitas 73,333 39,167

Poin Femininitas 58,333 76,667

(6)

Tabel 5 Responden E Responden E ( ( ( (Dewasa Muda)

Responden E(Suami) Responden E(Istri)

Usia 26 tahun 23 tahun

Lama Pernikahan 2 tahun 2 tahun

Riwayat Pendidikan S1 S1

Pekerjaan Pegawai Swasta Pegawai Swasta

Jumlah Anak - -

Tinggal Bersama Orangtua Mertua

Poin Maskulinitas 64,912 58,167 Poin Femininitas 61,404 65 Poin Androgyny 68,519 65 Tabel 6 Responden F Responden F ( (( (Dewasa Muda)))

Responden F(Suami) Responden F(Istri)

Usia 35 tahun 36 tahun

Lama Pernikahan 2 tahun 2 tahun

Riwayat Pendidikan SMA SMA

Pekerjaan Pegawai Swasta Pegawai Swasta

Jumlah Anak 2 2

Tinggal Bersama Mertua Mertua

Poin Maskulinitas 71,667 76,67

Poin Femininitas 67,5 75

(7)

3. Analisis data penelitian

3.1 Tingkah laku dan peran gender responden masih diperkuat oleh kepercayaan budaya.

Dalam data penelitian penulis melakukan beberapa analisa yaitu sifat dan peran gender responden masih diperkuat oleh kepercayaan terhadap kebudayaan.Dalam ajaran konfusianisme dijelaskan bahwa “maka, bila kepatuhan istri yang wajib ini digenapi, kemudian akan terpelihara kerukunan/kehamonisan didalam keluarga; maka akan lestarilah kehidupan keluarga itu.” Dari data penelitian, 6 responden istri masih tetap menggurusi sebagian besar pekerjaan rumah. Dari data penelitian juga menerangkan 10 dari 12 reponden setuju bahwa peran keluarga ideal adalah suami sebagai kepala keluarga / pencari nafkah dan istri sebagai ibu rumah tangga. Dari 6 pasang responden penulis mendapatkan kesimpulan bahwa, jika suami ikut mengerjakan pekerjaan rumah itu hanyalah membant. Meskipun responden F istri yang memiliki poin maskulin lebih tinggi dari suaminya, tetapi masih menghormati pemikiran tradisional yaitu menghargai martabat suami. Oleh karena itu responden F isrti merasa tidak nyaman karena suami yang tinggal bersama orangtuanya. Keenam pasang responden juga aktif secara langsung dalam mengajarkan budaya Cina Bentung kepda anak-anak mereka, bahkan menjadikan budaya sebagai landasan hidup mereka. Dari semua data ini penulis mendapatkan kesimpulan bahwa budaya membuat mereka memisahkan peran gender suami dan isti, juga membuat tidak dapat setara namun saling melengkapi.

3.2 Pengaruh Gender Stereotype responden sangat besar terhadap peran gender suami dan istri Dikarenakan sistem tradisional yang masih menunjukan bahwa laki-laki harus memiliki maskulinitas yang tinggi, maka dari itu penulis mendapat kesimpulan bahwa responden C suami berusaha memanipulasi poin maskulinitas. Faktor pendukung kesimpulan tersebut adalah pada pertanyaan tes BSRI ke 52 (lebih senang mengandalkan diri sendiri) responden C mengisi “sering”. Akan tetapi responden C istri menyanggah pernyataan tersebut dikarenakan suaminya masih sering meminta bantuan istri dalam perkerjaannya, bahkan istri sering mengomentari hal tersebut. Dari data ke enam pasang responden dapat diambil kesimpulan bahwa istri yang bereinginan sendiri utuk ikut bekerja adalah istri yang memiliki poin maskulinitas yang lebih tinggi dari suami (responden B, C, F istri). Dalam gender streotype menjelaskan bahwa sifat maskulinitas adalah ambisius, dominan dan suka bersaing. Akan tetapi, istri yang memiliki feminnitas tinggi (responden A dan D istri) akan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, dikarenakan sifat feminitas adalah fokus terhadap rumah dan keluarga. Responden dengan androgyny yang tinggi (pasangan responden E), meskipun responden E istri setuju akan peran gender tradisional, namun masih mengambil keputusan yang berkaitan dengan anak . suami pun demikian, meskipun setuju akan peran gender tradisional, namun masih mengizinkan istri untuk ikut mengambil keputusan dalam keluarga. Suami dengan feminitas yang tinggi (responden B dan C suami) akan mengizinkan istri untuk dapat bekerja dan membantu suami dalam mencari nafkah, dikarenakan mereka memiliki sifat-sifat feminin yaitu kooperatif. Suami yang memiliki maskulinitas yang lebih rendah dari istri juga akan mengizinkan istri untuk membantu dalam mencari nafkah, faktor penyebabnya adalah sifat maskulinitas istri seperti dominan dan mandiri. Sedangkan suami yang memiliki poin maskulinitas yang tinggi (respnden A dan D suami) akan mudah membagi peran dengan sang istri, dikarenakan pertama sifat maskulinitas yaitu sebagai pemimpin dan pemegang keputusan dan kedua suami yang lebih tegas dari sang istri.

Dari data lapangan suami dengan maskulinitas tinggi dengan isrti dengan femininitas tinggi (pasangan responden A dan D) akan mudah menjalani sistem kekeluargaan Cina Benteng, yaitu tinggal bersama dengan orangtua sang suami. Responden yang lainnya (pasangan responden B, C dan E) merasa tidak nyaman jika tinggal bersama orangtua sang suami. Suami yang memiliki maskulinitas tinggi (responden A dan D suami) juga tidak mengizinkan istri untuk mencampuri urusan pekerjaannya, dikarenakan sifat maskulinitasnya yaitu mandiri dan percaya diri. Sedangkan suami yang memiliki femininitas lebih tinggi dari istri (responden B, C dan F istri) akan memperbolehkan istri mencampuri pekerjaan istri, faktor pendukung hal tersebut ialah sifat kooperatif feminin. Meskipun responden C suami menyatakan istri tidak boleh mencampuri urusan pekerjaan suami, namun hal tersebut disanggah oleh istri. Responden C istri menyatakan “suami saya sering meminta saya untuk membantu pekerjaannya.” Suami dengan poin androgyny yang tinggi menunjukan bahwa dikarenakan mengerti sang istri lebih kritis dari suami, jadi dia mau menerima kritikan dari istri. Kondisi ini selaras dengan sifat androgynynya, dimana seseorang dengan sifat androgyny merupakan seseorang yang mudah mengubah pola tingkah laku, oleh karena itu mereka mudah dalam mengatasi perubahan kondisi dalam masyarakat.

Dalam hal harapan terhadap anak hanya suami dengan maskulin yang tinggi dan istri dengan femininitas tinggi (pasangan responden A dan D) mengajari anak setelah menikah untuk dapat tetap

(8)

tinggal bersama orangtua. Respoden yang lain akan membiarkan anak memutuskan sendiri setelah menikah akan tetap atau tidak tinggal besama orangtua.

Simpulan dan Saran

Simpulan dan Saran

Setelah menganalisis data penulis mendapatkan kesimpulan bahwa poin peran gender seseorang dan latar belakang kebudayaan memiliki pengaruh sangat penting dalam peran gender seseorang dalam kehidupan berkeluarga. Tidak hanya dewasa tua, akan tetapi dewasa muda reponden juga masih selaras dalam peran gender tradisional. Meskipun masing-masing responden memiliki poin peran gender yang berbeda, tetapi ke 6 pasang responden masih setuju bahwa suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Dari kesimpulan tersebut menyatakan bahwa ke 6 pasang responden masih menggunakan peran gender tradisional dalam peran gender yang mereka jalani. Faktor latar belakang kebudayaan menyebabkan mereka tetap mempertahankan peran gender tradisional. Penulis juga mendapatkan kesimpulan bahwa dalam permasalahan keluarga ke 6 pasang responden berusaha kebahagian keluarga berada dalam pikiran orang lain, namun masalah dalam keluarga hanya diatasi didalam keluarga sendiri. Peran gender yang paling sesuai dalam menjalani peran gender tradisional adalah suami dengan maskulinitas tinggi dengan istri dengan femininitas tinggi. Suami dengan maskulinitas tinggi akan memberikan peran yang lebih sedikit dibandingkan dengan suami yang memiliki poin feminin atau androgyny yang tinggi. Hal tersebut mengacu terhadap sifat peran gender mereka, yaitu maskulin memiliki sifat dominan yang lebih besar dibandingkan feminin dan androgyny, jadi seseorang dnegan maskulinitas juga akan mengatur peran gender dalam keluarga. Akan tetapi hal itu tidak terjadi kepada istri dengan femininitas tinggi. Meskipun sifat mengatur lebih tinggi dibandingkan suami, tetapi istri masih menjadikan suami sebagai pemimpin rumah tangga, faktor penyebabnya adalah faktor latar belakang yang masih sangat kuat. Faktor latar belakang budaya menyebabkan laki-laki setelah menikah harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Faktor sifat femininitas menyebabkan istri lebih memilih untuk tidak ikut bekerja dan fokus terhadap rumah dan keluarga. Hal tersebut tidak terjadi dengan istri yang memiliki maskulinitas dan androgyny yang tinggi, mereka lebih memilih untuk bekerja dan merawat anak secara bersama-sama. Dari penelitian ini penulis mendapatkan kesimpulan bahwa meskipun 6 pasang responden tidak dapat menjalankan kesetaraan gender dengan seutuhnya, tapi secara tidak langsung tidak hanya memberikan peran pendamping terhadap istri. Ke 6 pasang responden memilih dengan sendirinya peran gender dan kebudyaan yang akan mereka jalani. Penulis menyarankan penelitian lebih lanjut dalam ruang lingkup topik sejenis dengan sebaran responden yang lebih luas (penelitian kuantitatif dengan jumlah responden besar), untuk memungkinkan hasil penelitian memiliki generalisasi yang lebih kuat. Lebih lanjut, penelitian dengan topik serupa pada kelompok-kelompok masyrakat atau komunitas lain tentu akan menjadi bahan studi banding yang menarik, yang memperkaya kajian penulis dalam pembelajaran ini. Terakhir, penulis berharap tulisan ini bisa menginspirasi komunitas yang diteliti untuk memandang penting isu kesetaraan gender, dalam arti menerapkannya tanpa menghilangkan kekayaan budaya Tionghoa.

Referensi

扶跃辉,陈峰. 国外关于家庭对儿童性别角色社会化影响研究的新进展[J]. 上海师范大学教育学 院.2006,(35) 宋丽丽,邹 萍.大学生性别角色双性化研究综述[J]. 大连大学人文学院.2006,(3) 刘博宇 , 陈利. 关于性别角色认同研究的深层思考[J]. 大连大学人文学院.2004,(6):27 李威撰.性別角色女人進步 男人卡住[J]. 台灣立報.2013.

(美)艾托奥 (Etaugh, C.A.) & 布里奇斯(Bridges, S.J.)..女性心理学[M]. 北京:北京大学出版 社,2003. 彭克勇.礼记[M]. 南京市:东南大学出版社, 2010. 彭林.仪礼[M]. 香港: 中华书局出版社, 2012. (美)迈尔斯 (Myers, D. G.). 社会心理学[M]:第 8 版.北京:人民邮电出版社, 2010. 罗慧兰.女性心理学北京[M]:中国国际广播出版社.2002. 萧放等者.中秋[M].上海:上海古籍出版社.2008.

(9)

于曉平和林幸台. 角色楷模课程对高中数理资优女生性别角色、生涯自我效能与生涯发展影响 之研究[J]:台湾:国立台中教育大学特殊教育学系. 2010 年,55(1)

Bird, G & Melville, K .(1994). Families and Intimate Relationships. Virginia: Virginia Polytechnic and State University.

(10)

Birkel, G. (2007). The BEM Sex Role Inventory Test as a self-scoring page. Retrieved mei 20, 2012, from http://garote.bdmonkeys.net/bsri.html.

Matsumoto,D & Juang,L.(2004). Culture and psychology. San Francisco: San Francisco State University.

Özkan,T & Lajunen. (2005). Masculinity, Femininity, and the Bem Sex Role Inventory in Turkey. Turkey: Kluwer Academic Publishing. 57(1)

Gondomono. (2013). Manusia dan Kebudayaan Han. Jakarta : PT.Kompas Media Nusantara. Matakin. (2011). Li Ji. Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan.

Matakin. (2013). Si shu. Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan.

Nio, J.L. (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: PT Gramedia.

Rafael Raga Maran. (2010). Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Dasar Budaya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sugianta,A.Lisa,M.. (2012). Analisa Perubahan Sosial Masyarakat Sewan Lebak Wangi (Perbandingan Era Reformasi dan Orde Baru). Jakarta: Binus University.

Wibisono, Lily. (Ed.). (2006). Etnik Tionghoa di Indonesia. Jakarta: PT.Intisari Mediatama.

Riwayat Penulis

Suryadi, lahir di kota Koba, 18 mei 1992. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMA 1 Koba pada tahun 2010

Hariady, lahir di kota Pangkal pinang, 15 november 1992. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMA Santo Yosef pangkal pinang pada tahun 2010.

Elice Chandra, menamatkan pendidikan S2 di Universitas Indonesia dalam bidang psikologi perkembangan pada tahun 2004 dan menamatkan pendidikan S1 di Universitas Tarumanagara dalam bidang teknik arsitektur pada tahun 1998. Ia memperdalam pendidikan bahasa Mandarin di College of

Language and Culture of Jinan University di Guangzhou dan pelatihan pengajar bahasa mandarin di Beijing Language and Culture University, Tiongkok.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari pengembangan virtual laboratory sebagai sistem monitoring usaha mahasiswa adalah membangun sistem yang dapat membantu Dosen untuk memantau (monitoring)

Kemudian hipotesis yang diajukan adalah Ada hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dengan motivasi belajar pada siswa

Berdasarkan latar belakang masalah dan kajian-kajian pendukung lain, maka pembahasan akan difokuskan pada pengendalian kualitas proses untuk beberapa variabel

1) Meneruskan kehidupan demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama, memperbolehkan

Sifat/karakter garis dalam hubungannya sebagai elemen tata letak, garis memiliki kemampuan Sifat/karakter garis dalam hubungannya sebagai elemen tata letak, garis memiliki

Secara umum, jenis soal yang digunakan dalam mendesain tes keterampilan menyimak bahasa Arab di atas memiliki tujuan utama yatu untuk melatih kemampuan menyimak pelajar bahasa

Pengaruh beberapa hasil simulasi adaptasi yang dilakukan terhadap tingkat kenyamanan termal kategori agak hangat periode 1961–1990, 2021–2050, dan 2071–2100 pada skenario emisi

Penelitian bertujuan untuk mengkaji saluran pemasaran bandeng meliputi besarnya biaya, keuntungan, margin pemasaran serta efisiensinya, mengetahui apa saja faktor-faktor yang