• Tidak ada hasil yang ditemukan

B1J011059 12.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "B1J011059 12."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

II. TELAAH PUSTAKA

Chrysophyta merupakan salah satu divisio fitoplankton. Fitoplankton dikelompokkan ke dalam lima divisio yaitu Chrysophyta, Pyrrophyta, Chlorophyta, Cyanophyta, dan Euglenophyta. Semua divisio fitoplankton tersebut dapat hidup di air tawar dan air laut, kecuali Euglenophyta yang hanya hidup di air tawar (Sachlan, 1982). Peranan Chrysophyta di perairan adalah sebagai salah satu produsen primer. Dogiparti et al. (2013) menyatakan bahwa komunitas fitoplankton bertindak sebagai dasar dari jaring-jaring makanan di perairan. Divisio Chrysophyta dibagi menjadi tujuh kelas (Tabel 2.1.) berdasarkan kesamaan dalam pigmen fotosintesis, ketersediaan karbohidrat, penutup sel, dan heterokontous flagelata (Sze, 1986). Tabel 2.1. Karakteristik Kelas dari Divisio Chrysophyta

Kelas

Chrysophyceae Klorofil a, c1,

dan c2;

Prymnesiophyceae Klorofil a, c1,

dan c2;

Eustigmatophyceae Klorofil a Chrysolaminarin Tidak diketahui Heterokontous Raphidophyceae Klorofil a Tidak ada (hanya

lipid)

Periplast Flagel tunggal pada gamet jantan Bacillariophyceae Klorofil a, c1,

dan c2;

fukosantin karotenoid

Chrysolaminarin Frustula silika Heterokontous

Phaeophyceae Klorofil a, c1,

dan c2;

Pigmen fotosintesis Chrysophyta pada prinsipnya terdiri atas klorofil a, c1, c2, serta fukosantin karotenoid. Sel Chrysophyta akan berwarna cokelat keemasan pada saat pigmen yang dominan adalah fukosantin karotenoid. Ketersediaan karbohidrat Chrysophyta berupa polimer glukosa 1,3-β polimer glukosa yang sering

(2)

disebut chrysolaminarin. Penutup sel Chrysophyta bervariasi. Beberapa sel tidak ada penutup. Lainnya memiliki penutup eksternal hingga ke membran sel yaitu, scale

yang terdiri dari silika atau kalsium karbonat, serta dinding dan loricae yang terdiri dari selulosa. Tahap flagellasi di sebagian besar kelas adalah dalam bentuk heterokontous. Sel heterokontous memiliki dua flagela, satu flagela halus dan satu flagela dengan rambut tubular kaku yang disebut mastigonemes. Biasanya flagela mastigonemes lebih panjang dan menuju arah anterior, sedangkan flagela halus ke arah posterior (Sze, 1986).

Onyema (2007) menyatakan bahwa komposisi fitoplankton tidak selalu merata pada setiap lokasi di dalam suatu ekosistem, dan pada suatu ekosistem sering ditemukan beberapa spesies yang melimpah sedangkan yang lain tidak. Keberadaan fitoplankton sangat tergantung pada kondisi lingkungan perairan yang sesuai dengan hidupnya dan dapat menunjang kehidupannya. Hasil penelitian Persada (2013) di Waduk Penjalin didapatkan kelimpahan relatif tertinggi dari Divisio Chrysophyta dan Kelas Bacillariophyceae dimiliki oleh spesies Synedra acus. Barus (2002), menyatakan bahwa kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan tawar umumnya terdiri dari Kelas Bacillariophyceae (Diatom) dan Chlorophyceae (Ganggang hijau). Kelas Bacillariophyceae mempunyai kemampuan baik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berkembang biak dengan cepat.

Mc Naughton & Wolf (1992) menyatakan bahwa setiap ekosistem memiliki karakteristik yang berbeda pada komposisi spesies, komunitas, dan distribusi organismenya. Distribusi dalam pola ruang dan waktu mempunyai dua arti dasar. Pertama, distribusi merupakan hasil dari respon organisme-organisme dengan adaptasinya terhadap heterogenitas lingkungan dalam ruang dan waktu. Kedua, dalam distribusi, organisme bertindak sebagai pengubah atau pemodifikasi heterogenitas lingkungan.

Pola distribusi organisme bergantung pada sifat fisika dan kimia lingkungan maupun keistimewaan biologis organisme itu sendiri. Organisme memiliki batas toleransi tertentu terhadap faktor fisika dan kimia (Wulandari, 2009). Organisme yang toleran dalam berbagai kondisi akan terdistribusi luas, sedangkan yang mempunyai toleransi sempit hanya dijumpai pada kondisi yang sesuai (Krismono & Sugianti, 2007). Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa pola distribusi organisme di alam dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu random, mengelompok, dan seragam.

(3)

Beberapa indeks yang dapat digunakan untuk menggambarkan pola distribusi organisme di alam yaitu Indeks Dispersi (Ludwig & Reynolds, 1988), Indeks Distribusi Poisson (Ludwig & Reynolds, 1988), dan Indeks Morisita (Morisita, 1959

dalamBrower & Zar, 1977). Iwao (1968) menyatakan bahwa Indeks Morisita adalah indeks yang paling sering digunakan untuk mengukur pola sebaran suatu spesies. Indeks Morisita banyak digunakan dalam penelitian ekologi karena memiliki keuntungan yaitu tidak bergantung pada jenis penyebaran, jumlah sampel, serta ukuran nilai rataan (Michael, 1994). Penggunaan Indeks Morisita dalam penelitian fitoplankton salah satunya dilakukan oleh Samsidar et al. (2013). Hasil analisis distribusi horizontal fitoplankton di perairan Rawa Aopa menggunakan Indeks Morisita didapatkan pola distribusi fitoplankton pada 3 stasiun penelitian adalah seragam. Pola penyebaran secara seragam menunjukkan bahwa fitoplankton yang ditemukan pada setiap stasiun yang diamati masih dapat beradaptasi terhadap perubahan kualitas yang terjadi.

Goldman & Horne (1983) menyatakan bahwa faktor pendukung pertumbuhan fitoplankton sangat kompleks dan saling berinteraksi antara faktor fisika dan kimia perairan. Faktor-faktor tersebut seperti intensitas cahaya, oksigen terlarut, stratifikasi suhu, serta ketersediaan zat hara nitrogen dan fosfat. Widianingsih et al. (2007) menyebutkan bahwa fitoplankton memiliki distribusi dan kelimpahan yang berbeda-beda di dalam perairan dan bergantung pada kondisi perairan. Kondisi perairan tersebut meliputi kecerahan, suhu, kedalaman, kecepatan arus, dan arah arus.

Kecerahan merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Besar nilai penetrasi cahaya dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis (Barus, 2002). Total padatan tersuspensi atauTotal suspended solid (TSS) juga akan mempengaruhi nilai penetrasi cahaya matahari. TSS yang tinggi dapat menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, sehingga akan mengganggu proses fotosintesis dan menyebabkan turunnya oksigen terlarut (Sumawidjaja, 1974).

Oksigen terlarut atauDissolved Oxygen(DO) sangat penting bagi organisme-organisme akuatik yaitu untuk respirasi (Odum, 1993). DO akan berbanding terbalik dengan beberapa faktor fisika dan kimia perairan lainnya sebagai contoh oksigen terlarut akan meningkat pada suhu yang rendah dan akan berkurang seiring dengan kenaikan suhu (Fujaya, 2000). Peningkatan suhu perairan sebesar 1oC menyebabkan

(4)

terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat (Effendi, 2003). Kandungan oksigen terlarut yang digunakan untuk menguraikan bahan organik di perairan dapat diukur dengan BOD. Wardhana (1995) menyatakan bahwabiological oxygen demand(BOD) merupakan kebutuhan oksigen biologis untuk mendekomposisi bahan organik menjadi karbondioksida dan air oleh mikroba aerob. Proses dekomposisi bahan organik menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa asam organik yang akan menurunkan pH (Pitoyo & Wiryanto, 2002). Air dapat bersifat asam atau basa tergantung pada besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air (Asmawi, 1994 dalam Kusrini, 2006). Organisme perairan dapat hidup ideal dalam kisaran pH antara asam lemah sampai dengan basa lemah. Kondisi perairan yang bersifat asam kuat ataupun basa kuat akan membahayakan kelangsungan hidup biota, karena akan menggangu proses metabolisme dan respirasi (Satino, 2010).

Suhu air mempunyai peranan dalam mengatur kehidupan biota perairan, terutama dalam proses metabolisme. Kenaikan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, yang selanjutnya akan mengakibatkan turunnya kelarutan oksigen dalam air. Oleh karena itu, pada kondisi tersebut organisme akuatik seringkali tidak mampu memenuhi kadar oksigen terlarut untuk keperluan proses metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003).

Zat hara merupakan zat-zat yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses dan perkembangan hidup organisme seperti fitoplankton (Girsang et al., 2013). Nitrat, fosfat, dan silika merupakan contoh zat hara yang umumnya di temukan di perairan tawar dan berperan dalam menyuburkan suatu perairan (Simanjuntak, 2009). Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama dan siap digunakan oleh organisme di perairan yang terbentuk dari penguraian protein dalam organisme yang telah mati (Odum, 1993).

Fosfat merupakan faktor penting untuk pertumbuhan fitoplankton dan organisme lainnya. Fosfat sangat diperlukan sebagai transfer energi dari luar ke dalam sel organisme (Effendi, 2003). Fosfat merupakan salah satu unsur penting bagi metabolisme dan pembentukan protein. Fosfat yang diserap oleh organisme perairan adalah dalam bentuk ortofosfat (Hutchinson, 1967).

Raymond (1980) menyatakan bahwa fitoplankton Divisio Chrysophyta menggunakan silika untuk membentuk dinding selnya dan konsentrasi silika di perairan akan menurun drastis bila terjadi ledakan populasi fitoplankton. Silika

(5)

termasuk salah satu unsur penting bagi makhluk hidup, terutama Diatom dari kelas Bacillariophyceae yang membutuhkan silika untuk membentukfrustule(dinding sel). Keberadaan silika pada perairan tidak menimbulkan masalah karena tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup (Effendi, 2003).

Kecepatan dan arah arus di perairan danau maupun waduk tidak begitu mempengaruhi kelimpahan dan distribusi fitoplankton karena perairan tersebut termasuk perairan tergenang. Berbeda dengan perairan laut, distribusi maupun kelimpahan fitoplanktonnya lebih dipengaruhi arus. Astuti et al. (2012), menyatakan bahwa perbedaan arah pergerakan dan kecepatan arus di perairan laut menyebabkan perubahan fluktuasi kelimpahan fitoplankton khususnya Diatom (Chrysophyta) dan menyebabkan fitoplankton tersebut terdistribusi pada tempat tertentu.

Kelimpahan dan distribusi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan (Soedibjo, 2006). Oleh karena itu, analisis korelasi dibutuhkan untuk mengetahui besarnya hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan perairan terhadap kelimpahan dan distribusi fitoplankton. Sugiyono (2004) menyatakan bahwa dalam analisis korelasi terdapat suatu angka yang disebut dengan koefisien determinasi. Koefisien determinasi dapat menjelaskan besar pengaruh variabel bebas (kondisi lingkungan perairan) terhadap variabel terikat (kelimpahan dan distribusi fitoplankton). Hasil penelitian Putri (2014) pada tahun 2013 di Waduk P.B. Soedirman, didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,89 dengan koefisien determinasi sebesar 79,3% antara kelimpahan Chrysophyta dengan total N, total P, dan rasio total N dengan total P. Koefisien korelasi sebesar 0,89 menunjukkan bahwa hubungan kondisi perairan (total N, total P, dan rasio total N dengan total P) dengan kelimpahan Chrysophyta adalah kuat. Koefisien determinasi sebesar 79,3% menunjukkan bahwa kelimpahan Chrysophyta sebesar 79,3% dipengaruhi oleh total N, total P, dan rasio total N dengan total P, sedangkan sisanya (20,7%) dipengaruhi oleh faktor lain.

Gambar

Tabel 2.1. Karakteristik Kelas dari Divisio Chrysophyta

Referensi

Dokumen terkait

Data observasi yang dilakukan pada kegiatan pembelajaran ini adalah observasi pratindakan, observasi ini untuk melihat bagaimana aktifitas belajar siswa terhadap pembelajaran

prosedur pelayanan sangat sederhana tidak berbelit-belit sehingga pemohon jasa layanan tidak ada yang merasa bingung karena dari awal sampai selesai pelayanan

Menurut Haris Mudjiman (2009: 20-21) kegiatan- kegiatan yang perlu diakomodasikan dalam pelatihan belajar mandiri adalah sebagai berikut: 1) adanya kompetensi-

Proses penyaringan rekrutmen calon guru baru di SMAIT Nur Hidayah Surakarta sudah dilaksanakan dengan baik dalam melakukan proses penyaringan, yaitu dimulai dari

Pengolahan kayu Gmelil1a arborea Roxb dengan penggunaan natrium sulfit (Na2S03) dengan proses kimia panas l11ekanis (CTMP) pada penelitian ini menghasilkan pulp

Dwelling Time adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu petikemas (container) dibongkar dan diangkat (unloading) dari kapal sampai petikemas tersebut.. meninggalkan terminal

Dalam menghadapi permasalahannya tersebut, siswa sebenarnya sudah mendapatkan dukungan dari wali kelas sebagai significant other yang ada di sekolah yang dapat

Banyak hal yang diatur dalam konstitusi mengenai HAM, salah satunya dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) dan 29 ayat (2) UUD 1945 memberikan kebebasan kepada warga negara untuk