• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01725

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01725"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PAPARAN AGRESI DAN BIAS ATRIBUSI PADA PELAKU PEMBUNUHAN

Wahyuni Kristinawati

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana yuni.kristi@gmail.com

Abstrak

Penelitian menyatakan adanya bias kognitif sosial yang memediasi hubungan antara paparan agresi dengan perilaku agresi atau perilaku bermasalah lainnya (Ablow, Measelle, Cowan, & Cowan, 2009; Baldry, 2007). Penelitian ini menemukan bahwa memiliki nilai proagresi memudahkan terbentuknya bias atribusi permusuhan. Atribusi yang bia s sangat rentan menimbulkan sikap tidak bertanggung jawab, erat dengan kemampuan strategi kognitif dan ketrampilan pengelolaan emosi. Atribusi yang bias tidak harus selalu didahului oleh perilaku tidak menyenangkan dari korban, tetapi kejadian tidak menyenangkan tersebut merupakan atribusi negatif yang diberikan oleh pelaku terhadap perilaku korban, yang memunculkan rasa tersinggung, ancaman terhadap kelompok, atau dendam. Bukan rasa tersinggung itu sendiri yang memberi dorongan untuk menyerang pengganggu, melainkan kondisi negatif luka psikologis si pelaku.

(2)

bertanggung jawab terhadap munculnya perilaku agresi. Namun perhatian studi tidak banyak dilakukan pada upaya untuk menggali bagaimana paparan agresi dapat menimbulkan bias kognisi sosial seperti itu? Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tulisan ini adalah: Bagaimana paparan agresi dan bias atribusi terjadi pada narapidana pelaku pembunuhan? Bagaimana pula integrasi aspek kognitif dan emosi dalam mengenali bias atribusi narapidana?

Paparan Agresi

Bandura (dalam Myers, 1988; Bartol 2002) mengidentifikasi tiga macam figur atau model agresi: anggota keluarga, teman sebaya dan komunitas, serta model simbolik dari media. Sebagai model penting bagi anak, diasumsikan bahwa orang tua yang agresif atau antisosial akan memiliki anak yang juga agresif atau antisosial pula. Konflik marital merupakan prediktor untuk memahami problem perilaku anak (Cummings & Davies, 2010). Setelah memasuki masa awal remaja, kelompok teman sebaya merupakan model yang dominan. Perilaku agresif pada remaja umumnya muncul pada komunitas dan kelompok yang memaparkan model agresif dan berkelahi merupakan atribut yang dihargai (Bartol, 2002).

(3)

menimbulkan efek psikologis yang mampu meningkatkan kecenderungan berperilaku agresi.

Bias Atribusi

Dalam konteks pendekatan kognisi sosial, Lochman dan Dodge (1994) membandingkan proses kognisi sosial antara anak dan remaja yang non-agresif, agresif, serta pelaku kekerasan serius. Studi tersebut menemukan bahwa semakin tinggi tingkat agresivitas, semakin terdistorsi proses kognisi sosial yang terjadi. Proses kognisi sosial yang terdistorsi dalam penelitian Lochman dan Dodge ini ditandai oleh tingginya bias dalam mempersepsi tanda sosial dan dalam memilih solusi permasalahan sosial yang dilematis.

Dodge (dalam Krahe, 2005) memaparkan hipotesis yang disebut hostile attribution model dan menemukan adanya bias atribusi bermusuhan (hostile attribution

bias) pada individu dengan agresivitas tinggi, yaitu, mereka ini cenderung

menginterpretasi perilaku ambigu sebagai kejahatan (hostile) dan ancaman dibandingkan dengan individu yang lebih rendah agresivitasnya. Bias atribusi bermusuhan ini mengaktifkan skrip agresif dan meningkatkan kemungkinan bahwa sebuah reaksi agresi akan dipilih dari sekian banyak kemungkinan respon yang dimiliki individu. Hal ini didukung oleh pernyataan Eron dan Slaby (dalam Bartol, 2003) sebagai berikut:

“Violent youth typically define social problem in hostile ways, adopt hostile goals, and seek few additional facts, generate few alternative solutions,

anticipate few concequences for aggression, and give high priority to their aggressive solutions” (hal. 192).

(4)

lebih tidak bisa langsung dilakukan dan lebih kompleks daripada solusi agresif karena memerlukan ketrampilan sosial yang efektif, sehingga lebih sulit dilakukan.

Metode Penelitian

[image:4.612.100.549.413.518.2]

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan tujuan melakukan penemuan data yang detil dari fenomena yang jumlahnya tidak masal, dengan demikian diperoleh pemahaman yang holistik dan mendalam. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur. Subjek penelitian ini berjumlah 14 orang dengan karakteristik: pria, narapidana berusia 15-25 tahun. Tujuh dari 14 subjek merupakan narapidana kasus pembunuhan spontan (tidak berencana), sebagian besar merupakan pelaku penganiayaan yang menyebabkan kematian korban. Tujuh orang lainnya adalah narapidana kasus pembunuhan berencana. Karakeristik subjek adalah sebagai berikut:

Tabel 1.

Subjek pelaku pembunuhan spontan

Nama Usia saat wawancara Usia saat pembunuhan Vonis

Mus 24 tahun 19 tahun 10 tahun

Is 20 tahun 19 tahun 3 tahun

Virgo 23 tahun 20 tahun 4 tahun

Tono 26 tahun 20 tahun 15 tahun

Yosi 21 tahun 17 tahun Tidak dihukum

Hasan 23 tahun 22 tahun 8 tahun

[image:4.612.102.546.589.695.2]

Shendy 20 tahun 19 tahun 9 tahun

Tabel 2.

Subjek pelaku pembunuhan berencana

Nama Usia saat wawancara Usia saat pembunuhan Vonis

Bayu 20 tahun 19 tahun 20 tahun

Ivin 20 tahun 19 tahun 15 tahun

Misbah 15 tahun 14 tahun 8 tahun

Hanif 16 tahun 15 tahun 8 tahun

Idin 16 tahun 15 tahun 7 tahun

Nurul 18 tahun 17 tahun 6 tahun

(5)

Hasil Penelitian

Model Agresi dari Orang Tua. Enam dari 7 pelaku pembunuhan spontan memiliki model peran ayah yang agresif dan peran ibu yang tidak menuntut. Pada pelaku pembunuhan berencana, paparan agresi dari keluarga lebih banyak muncul dalam bentuk pengabaian.

Model Agresi dari Kelompok Teman Sebaya. Semua subjek terpapar model agresi dari kelompok sebayanya. Sementara itu model agresi dari media tidak terjadi pada seluruh subjek.

Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sebagian subjek mempunyai figur pria otoriter yang merasa berhak bertindak kepada pihak lain yang menjadi pihak subordinat, sementara reaksi yang mereka lihat pada ibu atau kakak perempuan adalah sikap pasif (diam, menangis), atau bahkan menyesuaikan diri untuk tidak menuntut, seperti diungkapkan oleh seorang ibu subjek:

„Kalau dia di sana (di rumah perempuan lain) ya kadang tidak (mengantar). Saya sadar diri kok, saya juga bisa pulang sendiri. Saya itu sudah terbiasa

ditinggal-tinggal. Bahkan kalau ditungguin terus rasanya tidak enak, saya

tidak bebas. Kalau orang bilang itu aneh.“

Dituturkan subjek lain, „Reaksi ibu ya cuma menangis itu. Gak berani.” Pengasuhan orang tua tidak menegaskan kekerasan sebagai cara yang salah dalam penyelesaian masalah.

Teman Sebaya yang Pro Agresi. Subjek memiliki lingkungan sosial yang terbiasa membawa atau menggunakan Senjata kemanapun pergi, berkelahi dan melukai sebagai solusi, dan membalas dendam. Penuturan subjek: ”Cuma sebagai temen... ya saya membantu temenku, bertikai sampai korban mati…”Sebagian subjek merasa bersalah tetapi tidak semua merasa menyesal: ””Menyesal itu tidak ada gunanya”, ”Garis kehidupan saya memang begini. Ya sudah dijalani saja”.

(6)

“Tidak terpikirkan (efeknya). Sering malah bingung sendiri itu, mbak. Tiap saya tanya begitu, terus teman-teman jawabnya ”Sudah, tidak usah diungkit”.

Bias Atribusi Eksternal. Alih-alih menyalahkan diri bersalah, subjek justru menyalahkan situasi atau pihak lain. Subjek menyatakan bahwa korban memang layak untuk dibunuh: „Korban memang layak menerima". Sebagian subjek lain menyalahkan situasi lain yang sebenarnya tidak terkait dengan kejadian.

Sebagian besar subjek meyakini bahwa harga diri terletak pada materi, sehingga relasi sosial tidak disertasi prinsip humanis. Hal ini menyebabkan apapun dilakukan untuk mencapai tujuan (materi) yang ingin dimiliki, sebagai berikut:

“Saya mikir dari dulu kalau nyari uang dengan cara yang baik itu susah. Saya seneng jalan pintas. Dan saya mikir orang-orang yang kerjanya baik itu

hasilnya dikit. Terus susah hidupnya. Niatnya baik, tapi malah tanggepannya

negatif sama orang lain. Ya dianggep negatif sama orang lain. Mereka mikirnya pasti buruk. Terus dipandang orang rendah”

Peran Emosi. Tindakan agresi subjek umumnya dilakukan tanpa pertimbangan dan perencanaan. Orang yang emosional seringkali menyerang sasaran lebih hebat dibanding yang sebenarnya mereka inginkan: “Maksud saya, mau saya hajar. Saya kasih pelajaran. Itu kan spontan. Emosi, trus tak hajar. Malah kebablasan. Mati”.

Pada kasus pembunuhan berencana, emosi pelaku lebih flat (dingin), bahkan salah satu subjek masih bisa mengungkapkan dengan bercanda:”“malah geli kalo ingat..yah, ada lucunya..jenasahnya itu jatuh” (tertawa), “Kalo didengar memang ngeri tetapi waktu itu biasa saja kok”

Kesimpulan

(7)

tersinggung pada pelaku yang memberi dorongan untuk menyerang pengganggu, melainkan kondisi negatif luka psikologis si pelaku yang lebih mendominasi suasana emsiu pelaku. Aspek emosi merupakan hal penting, namun perlu memperhatikan berapa lama subjek telah berada di dalam Lapas.

Daftar Pustaka

Ablow, J. C., Measelle, J. R., Cowan, P.A., & Cowan, C. P. (2009). Linking marital conflict and children‟s adjustment: the role of young children‟s perception. Journal of Family Psychology, 23(4), 485-499.

Bandura, A. (2001). Social cognitive theory: An agentic perspective. Annual review of psychology (Vol. 52, pp. 1-26). Palo Alto, CA: Annual Reviews.

Bartol, C.R. (2002). Criminal behavior, a psychosocial approach (6th ed). Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.

Bradshaw, C. P., Rodgers, C. R. R., Ghandour, L. A., & Garbarino, J. (2009). Social– cognitive mediators of the association between community violence exposure and aggressive behavior. School Psychology Quarterly, 24(3), 199-210.

doi:http://dx.doi.org/10.1037/a0017362

Calvette, E. & Orue, I. (2011) . Social information processing as a mediator between cognitive schemas and aggressive behavior in adolescents. Journal Abnormal Child Psychology, (40), 105–117. Doi 10.1007/s10802-011-9546-y

Dodge, K. A., Zelli, A. , Lochman, J. E., & Laird, R. D., (1999). The Distinction Between Beliefs Legitimizing Aggression and Deviant Processing of Social Cues: Testing Measurement Validity and the Hypothesis That Biased Processing Mediates the Effect of Beliefs on Aggression. Journal of Personality and Social Psychology. 77 (1), 150-166.

Krahe, B. (2005). Perilaku agresif. (H. P. Soetjipto & S. M. Soetjipto. Trans.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marcus, N. E., Lindahl, K. M. & Malik, N. M. (2001). Interparental conflict, children‟s social cognitions, and child aggression: a test of mediational model. Journal of Family Psychology, 15(2), 315-333.

McDonald, R. & Grych, J. H. (2006). Young children‟s appraisal of interparental conflict: measurement and links with adjustment problems. Journal of Family Psychology, 20(1), 88-99.

Gambar

Tabel 2. Subjek pelaku pembunuhan berencana

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tahap ini untuk mengetahui apakah pekerjaan yang dilakukan Apoteker sudah efektif perlu di evaluasi terhadap : Persentase kesesuaian antara stelling

Adanya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang tentang tentang Penetapan.. Status Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon yang juga

Sentra industri sangkar burung Desa Dawuhan Mangli, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember berada pada posisi Question Mark (Gambar 4) karena berada pada pasar dengan

Apibendrinus tyrimo duomenis, matyti, kad per pirmąjį apklausos etapą daugelis respondentų savo pasirengimą vertinimo procesui ir planavimui įvertino blogiau

fitur yaitu login, materi, tugas, forum , pengumuman, berita, data ajar, kelas siswa, kelas, pelajaran, pengguna, orangtua, siswa, guru, jadwal, absen, nilai telah

Rekomendasi standar iluminasi merupakan acu- an dalam mendesain pencahayaan ruang. Re- komendasi pada ruang kerja yang dikeluarkan oleh beberapa Negara di antaranya:

Nilai t hitung Kualitas Informasi (X2) sebesar 2.436 dengan tingkat signifikan sebesar 0.015 (p < 0,05), maka menolak Ho atau dengan kata lain hal ini menunjukkan ada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat lembaran karton hasil percobaan dari pulp TKKS 100%; dan dari campuran pulp TKKS (50%) dengan sludge (25%) dan kertas bekas