• Tidak ada hasil yang ditemukan

Awliya' dalam al-Qur'an: analisis terhadap penafsiran shaikh Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab tafsirnya Aysar al-Tafasir.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Awliya' dalam al-Qur'an: analisis terhadap penafsiran shaikh Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab tafsirnya Aysar al-Tafasir."

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

AWLIYA

>’

DALAM AL-

QUR’AN

(Analisis terhadap Penafsiran Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jazairi

dalam Kitab Tafsirnya ”Aysar al-Tafa>sir”)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an

Oleh:

S a m a n i

Nim. F.120515251

PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAKSI

Al-Qur’an adalah Kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan Firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Di antara

tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman manusia

dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di

akhirat. Agar tujuan itu dapat di realisasikan maka al-Qur’an datang dengan

petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, aturan-aturan dan prinsip-prinsip baik yang bersifat global maupun terperinci yang eksplisit maupun implisit dalam berbagai persoalan maupun bidang kehidupan.

Ragam penafsiran terhadap makna awliya>’ dalam al-Qur’an QS.

al-Ma>idah 5: 51, yang dengan sengaja disalah artikan maknanya telah menginpirasi ummat Islam untuk bangkit dan menuntut dengan spirit

seakan-akan ayat tersebut baru saja diturunkan. Di antara mufassir ada yang berbeda

pendapat tentang makna awliya>’ sehingga perlu dipahami konteks makna ayat

tersebut dan dicermati lebih spesifik menggunakan analisis makna atau analisa

semantik ayat tersebut, memperhatikan muna>sabah dengan ayat sebelum dan

sesudahnya.

Haram bagi ummat Islam memilih pemimpin non muslim (kafir,

Yahudi dan Nasrani), jika hal itu dilakukan maka dia termasuk golongan

mereka, pahala amalnya dicabut, termasuk d}alim dan akan masuk neraka.

Boleh memilih pemimpin non muslim jika dalam keadaan terpaksa,

untuk melindungi aqidah dan dalam mengatur strategi untuk mengalahkan

mereka. Namun ketika memungkinkan untuk memilih Islam menjadi pemimpin, maka hal ini menjadi wajib. Statemen yang mengatakan bahwa non muslim lebih baik dari pada muslim yang korup merupakan statemen yang menyesatkan ummat. Ummat Islam jauh lebih hebat dan lebih baik daripada mereka sangat banyak, maka dari itu tidak ada alasan seorang muslim memilih pemimpin wilayahnya dari kalangan non muslim.

(7)

ABSTRACT

Qur’an is the Muslim holy book that is a collection of Word-the word

of God which was revealed to the Prophet Muhammad. One of the main

purposes is the revelation of the Qur’an to be human in the guidelines to

organize their lives in order to gain the happiness in the world and in the hereafter. In order to achieve that purpose, the Qur'an came with instructions, information, rules and principles of good that is global or detailed explicit or implicit in the various issues or areas of life.

There are various interpretations against the meaning of awliya>' in the

Qur'an. QS. Al-Maidah 5: 51, which deliberately misinterpreted its meaning.

It has inspired Muslims to rise up and demand with an effort as if the text has just been revealed. There are different opinions about the meaning of the awliya>' among the mufassir, so there is the need to understand the context of the meaning of the verse and the more specific meaning or analysis using

semantic analysis of the text, noting muna>sabah with the verses before and

after.

It is haram for Muslims to choose the leader from the non-Muslims

(Christians, Jews and heathens), if it is happened then he is belong to them, his

merits is going to be revoked, including d}alim and will go to hell. However

when possible to choose Muslim as the leader, then it becomes a mandatory measure. The statement said that non-Muslims are better than on a corrupt muslim is a misleading statement of the Muslims.

Muslims are far more powerful and better than those very much, therefore there is no reason a muslim to choose the leader of the territory from among the non-Muslims.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………. ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………. iii

ABSTRAKSI……….. iv

KATA PENGANTAR……… v

TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA……….. vi

DAFTAR ISI………... vii

BAB-I : PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang……….. 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah……… 7

C. Rumusan Masalah………. 8

D. Tujuan Penelitian………... 9

E. Kegunaan Penelitian..……… 9

F. Penelitian Terdahulu………... 10

G. Metode Penelitian……….. 11

H. Sistematika Pembahasan……….. 15

BAB-II : LANDASAN TEORI, ANALISIS SEMANTIK DANMUNA>SANBAH………. 16

A. Teori Semantik……….. 16

1. Definisi Semantik……… 16

2. Semantik al-Qur’an ……… 19

3. Teknik Penerapan Semantik……… 24

4. Urgensi Semantik dalam Penafsiran al-Qur’an…. 26 B. Teori Muna>sabah………. 27

1. Definisi Muna>sabah……… 27

2. Macam-macam Muna>sabah dalam al-Qur’an…... 30

3. Urgensi Ilmu Muna>sabah dalam Menafsirkan al-Qur’an………. 33

BAB-III : BIOGRAFI SYAIKH ABU BAKAR JA>BIR AL-JAZA>IRI>, METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AYSAR AL- TAFA>SI>R, TERM AWLIYA>’, KHALIFAH, IMA>M, AL-SULT}A>N DAN ULU> AL-AMRI SERTA AL-MULK. A. Biografi Syaikh Abu Bakar Ja>bir al-Jaza>iri>…………. 35

1. Nama dan Nasab beliau……….. 35

2. Di Madinah Munawwarah……….. 36

3. Aktivitas Beliau………... 37

4. Karya Tulis Beliau……… 37

5. Wafatnya ……….. 38

B. Metode dan Corak Tafsir……… 38

(9)

2. Ditinjau dari Segi Cara Penjelasan………. 41

3. Ditinjau dari Segi Keluasan Pembahasan……….. 41

4. Ditinjau dari Sasaran dan Tertib Ayat………….. 42

5. Corak Tafsir Aysar al-Tafa>si>r…... 43

C. Term Awliya>’………. 45

1. QS. Ali Imran 3: 28……….. 57

2. QS. al-Nisa>’4: 76……… 58

3. QS. al-Nisa>’4: 89.………... 59

4. QS. al-Nisa>’ 4: 139……….. 60

5. QS. al-Nisa>’ 4: 144……….. 60

6. QS. al-Ma>idah5: 51……….. 60

7. QS. al-Ma>idah5: 57……….. 61

8. QS. al-Ma>idah5: 81……….. 62

9. QS. al-Anfa>l 8: 72-73……….. 63

10.QS. al-Tawbah 9: 23……….. 64

11.QS. al-Tawbah 9: 71……….. 64

12.QS. al-Ra’d 13: 16……….. 65

13.QS. al-Mumtah}anah60: 1 ………. 66

14.QS. al- Jum’ah62: 6………. 67

D. Term Khali>fah……….. 68

E. Term Ami>r al-Mu’minin………. 71

F. Term al-Ma>lik……… 72

G. Term al-Ima>m………... 74

H. Term al-Sult}a>n………. 75

BAB-IV : PENAFSIRAN SYAIKH ABU> BAKARJA>BIRAL-JA>ZA>IRI> TERHADAP KATA AWLIYA> DALAM KITAB TAFSIR AL-AYSAR AL-TAFA>SI>R. A. Larangan Memilih Pemimpin Kafir……… 81

B. Konsekwensi Memilih Pemimpin non Muslim…….. 96

C. Bolehnya Memilih Pemimpin non Muslim…………. 104

D. Resiko Memilih Pemimpin non Muslim………. 105

E. Relevansi term Awliya>’ dengan term Khali>fah……. 111

F. Relevansi term Awliya>’ dengan term al-Ima>m……. 115

G. Relevansi term Awliya>’ dengan term al-Ami>r al-Mu’mini>n………. 115

H. Relevansi term Awliya>’ dengan term al-Mulk ……. 116

I. Relevansi term Awliya>’ dengan term al-Sult}a>n……. 119

BAB- V : PENUTUP……… 122

A. Kesimpulan……….. 122

B. Saran-saran……….. 125

(10)

1

BAB – I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kumpulan Firman Allah SWT yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW. Salah satu tujuan utama diturunkannya adalah

untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar

memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Agar tujuan itu dapat

direalisasikan maka al-Qur’an datang dengan petunjuk, prinsip-prinsip, azas

dan kaidah-kaidah serta aturan secara global sehingga perlu

penafsiran-penafsiran.

Ayat al-Qur’an yang tengah menjadi sorotan ummat Islam, ialah: QS.

al-Maida>h, 5: 51. Dalam ayat tersebut terdapat kata awliya>’ yang telah

menggerakkan jutaan ummat muslim. Ayat tersebut terdapat di dalam QS.

al-Maida>h, 5: 51.















Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang

Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah

pemimpin sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka

(11)

2

menjadi pemimpin, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang d}alim.1

Ayat tersebut, melarang kaum mukminin menjadikan orang kafir sebagai

pemimpin. Ada 2182 kali kata awliya>’ dalam al-Qur’an dengan bermacam

bentuk dan derivasinya. Di antaranya 28 ayat Makkiyah dan Madaniyah3 yang

akan kita jadikan sampling dalam tesis ini yang melarang menjadikan orang

kafir sebagai awliya>’.

Ibn Abbas RA dalam tafsirnya menjelaskan makna QS. Ali Imran, 3: 28,

jangan jadikan orang kafir sebagai orang kepercayaan dan pemimpin.4

Allah SWT melarang kaum mukminin untuk menjadikan orang kafir

sebagai waliy (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mukmin.

Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, kaum mukminin

menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam

masalah agama. Inilah mengapa Allah SWT memberikan pengecualian:

…kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari

mereka.5

Ibnu Katsir menjelaskan, dalam ayat ini: Allah SWT melarang

hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu

1 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Nala Dana, 2007), 155.

2 ‘Alami Za>dah Fayd}ulla>h bin Mu>sa> al-H}asani> al-Maqdisi>, Fath} al-Rah}man li T}a>lib A>ya>t al-Qur’a>n, Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyah, 2005), 783-787.

3 Ibid., 786.

4 Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Nala Dana, 2007), 66.

5 Abu> Ja’far Muh}ammad bin Jari>r al-Tabari>, Jami’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l ay> al-Qur’a>n (Beirut :

Mu’assasah al-Risalah, 1994), 6825.

(12)

3

musuh Islam.6 Kemudian Allah SWT mengabarkan bahwa mereka itu

adalah awliya>’ terhadap sesamanya, Allah mengancam dan memperingatkan

orang mukmin yang melanggar larangan ini, barang siapa di antara kamu

mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk

golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada

orang-orang yang d}alim.7

Berbagai jenis kitab tafsir yang telah lahir merupakan bukti nyata betapa

tingginya semangat serta perhatian ulama untuk menggali dan memahami

makna-makna dan ungkapan yang terkandung dalam al-Qur’an. Jika kita

perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadis secara teliti, mendalam dan

pemikiran yang cerdas, kita akan mendapatkan petunjuk-petunjuk yang jelas

tentang kewajiban memilih pemimpin yang seakidah dan tidak memilih

pemimpin non muslim mengingat negara kita penduduknya mayoritas muslim

sehingga memungkinkan untuk itu. Jika hal ini kita abaikan maka resiko yang

akan kita hadapi akan sangat berat, diantaranya: QS. al-Ma>idah 5: 51, akan

masuk dalam golongan orang kafir,8 tidak mendapat petunjuk dari Allah.9 QS.

al-Nisa>’, 4: 144, akan mendapat siksa,10 lepas dari pertolongan Allah,11

pahalanya tertolak,12 pahalanya akan hangus,13 mendapat siksa14 dan akan

masuk neraka.

6 Abu al-Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsi>r a1-Qur’a>n al-Ad}im (Kairo : Da>r Ihya’ al-Kutu>b

al-Arabiyah, tt), 155.

7 Abdullah bin Muh}ammad, Luba>b al-Tafsi>r min Ibn Katsi>r (Kairo: Muassasah Da>r al-Hila>l,

2012), 132.

8 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Nala Dana, 2007), 155-156.

9 Ibid., 191. 10 Ibid., 133. 11 Ibid., 66. 12 Ibid., 121.

(13)

4

Awliya>’ , dalam QS. al-Ma>idah, 5: 51 memiliki banyak makna antara

lain: pemimpin, wali, teman karib dan masih banyak lagi maknanya.

Perdebatan seputar kepemimpinan ini memanas seakan-akan ayat yang

dijadikan dalil, baru saja diturunkan. Sebagian kalangan berpendapat bahwa di

dalam al-Qur’an, Allah SWT melarang kaum mukmin untuk menjadikan non

muslim sebagai pemimpin, karena dikhawatirkan mereka akan berkhianat dan

membuat kerusakan dengan berbuat dosa di muka bumi namun dikalangan

ummat Islam sendiri ada yang memaknai lain yang menurut ra’yu mereka

makna awliya>’ bisa berbeda-beda tergantung dimana teks ayat tersebut berada

dan bagaimana korelasi antar ayat sebelum dan sesudahnya.

Seperti kita ketahui al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang tidak

boleh dihina isinya, karena semua isi dari al-Qur’an adalah benar. Allah SWT

telah memberikan penegasan bahwa tidak ada yang mengingkari al-Qur’an

selain golongan yang celaka.

Awliya>’ sering terdengar di telinga kaum muslim. Gelar ini menjadi suatu

yang sangat sakral dalam agama Islam karena Allah SWT telah menjelaskan

keistimewaan dan kelebihan para wali-Nya. Allah SWT, menyampaikan :





Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran mereka

dan tidak (pula) mereka bersedih hati.15

Dalam hadis Qudsi, Rasulullah SAW telah bersabda:

13 Ibid., 131. 14 Ibid., 155-156. 14 Ibid., 191. 15 Ibid., 289.

(14)

5

ِبْﺮَﳊِﺎ ُﻪُْـَذآ ْﺪََـﻓ ﺎًﻴَِو ِﱄ ىَدﺎَ ْ َ :َلﺎَ َﷲ ﱠنِﺐ

16

Allah SWT berfirman: Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, aku telah

mengumumkan perang kepadanya.

Dari ayat dan hadis Qudsi di atas kita bisa menyimpulkan bahwa awliya>

memiliki keutamaan sebagai berikut: Tidak memiliki rasa takut atau khawatir,

tidak bersedih, Allah Ta’ala telah mengumandangkan perang kepada orang

yang memusuhi wali-Nya.

Demikianlah di antara sekian kelebihan dan sifat yang Allah SWT

berikan kepada awliya>’-Nya, sehingga tidak heran jika kaum muslimin sangat

menghormati awliya>’ ketika disebutkan di hadapannya.

Penjelasan dari ulama tentang sifat waliyulla>h atau awliya>’ agar tidak

salah dalam memasukkan seseorang sebagai waliyulla>h atau bukan, karena jika

tidak mengetahui hakikat sebenarnya siapa waliyulla>h atau awliya>’ akan

menyebabkan seseorang terjatuh dalam kesalahan yang sangat fatal. Berikut

adalah penjelasan dari sebagian ulama kita yang telah dikenali oleh sebagian

besar kaum muslimin:

Al-Imam al-Hafizd Ibnu Hajar al-Asqalani rah}imahulla>h, dalam

karyanya yang monumental, yaitu Fath}ul Ba>ri-sharah s}ahi>h al-Bukhari,

menjelaskan yang dimaksud dengan waliyulla>h atau awliya>’. Beliau

mengatakan :

ِﻪَِدﺎَِ ِﰲ ُﺺِْﺨُْﺒ ِﻪَِﺎَﻃ ﻰََ ُ ِﻇﺒَﻮُْﺒ ِﻪِﺎ ُِﱂﺎَْﺒ : ِﷲ ِِّﱄَﻮِ ُدﺒَﺮُﳌﺒ

16 Sah}i>h Bukharino. 38 (sanad sah}i>h).

(15)

6

Yang dimaksud dengan waliyullah atau awliya>’ adalah orang yang

mengetahui (memiliki ilmu) tentang Allah, senantiasa menjalankan ketaatan

kepada-Nya dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.17

Penjelasan ini beliau sampaikan ketika memberikan sharah} (penjabaran)

hadis riwayat al-Bukhari di atas. Penulis menghendaki dalam tesis ini suatu

kajian tafsir dengan menjadikan awliya>’ sebagai topik sentral, kemudian

mengumpulkan ayat-ayat terkait berdasarkan kronologi, mulai dari kesamaan

tema, urutan nuzul atau sebab nuzul, jika ada juga dilengkapi dengan korelasi

antar ayat dalam masing-masing surat. Untuk menghindari kesalahan konteks,

dibuat kerangka bahasan kemudian menafsirkannya melalui sumber dasar bi

al-riwa>yah sebagai langkah awal dan merupakan sumber utama tafsir

kemudian disimpulkan.18

Dari beberapa uraian di atas maka penulis merasa perlu untuk meneliti

tentang “Awliya>dalam al-Qur’an” (Analisis terhadap makna awliya>dalam

Tafsir Aysar al-Tafa>si>r karya Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jazayri>) untuk

menemukan gambaran pasti dari berbagai ragam pendapat di atas.

Sebelum membahas tesis ini lebih lanjut, maka perlu untuk menjelaskan

maksud judul. Hal ini untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman dalam

mengartikan judul tesis.

Judul tesis ini adalah: “Awliya>’ dalam al-Qur’an” (Analisis terhadap

Penafsiran Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri dalam kitab tafsirnya “Aysar

al-17

Imam al-Nawawi, Fath al- Ba>ri: 11/342-versi Maktabah Shamilah.

18 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung: Mizan Pustaka, 2013), 176.

(16)

7

Tafa>si>r). Agar pengertian lebih jelas dan terarah maka kami menjelaskan

kata-kata pokok dalam judul di atas, yaitu:

Awliya>’, 19 memiliki derivasi makna, pemimpin, penolong, orang dekat,

wali. Dalam hal ini diambil pemaknaan Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri

dalam Tafsir Aysar al-Tafa>si>r tentang larangan memilih pemimpin non

muslim.

Dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan judul di atas adalah

analisis semantik dan muna>sabah tentang makna awliya>’ menurut penafsiran

Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jazairi>.

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi masalah-masalah

sebagai berikut:

1. Metode dan corak Penafsiran tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r karya Shaikh Abu>

Bakar Ja>bir al-Jazairi.>

2. Ragam makna Awliya>dalam al-Qur’an menurut Shaikh Abu> Bakar Ja>bir

al-Jazairi> dalam tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r.

3. Prinsip, azas dan kaidah umum awliya>’ menurut Shaikh Abu> Bakar Ja>bir

al-Jazairi> dalam tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r.

4. Relevansi awliya>’ menurut Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jazairi> dalam tafsir

al-Aysar al-Tafa>si>r dengan term-term Khalifah, Amir Mu’minin,

al-Imam dan al-Sult}an serta al- Mulk dalam al-Qur’an.

19 Komarudin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 122.

(17)

8

Agar pembahasan terfokus pada permasalahan, penulis membatasi

penafsiran dengan menggunakan satu penafsiran saja, yaitu penafsiran Shaikh

Abu Bakar Ja>bir al-Jaza>iri> yang terdapat dalam kitab al-Aysar al-Tafa>si>r.

Obyek utamanya adalah ayat tentang awliya>’ sesuai dengan urut nuzul,

yaitu: QS. Ali Imran 3: 28. QS. al-Nisa>’ 4: 76, 89, 138-139, 144. QS.

al-Ma>idah, 5: 51, 57, 80, 81. QS. al-Anfa>l, 8: 72,73. QS. al-Tawbah, 9: 23, 71.

QS. al-Ra’d, 13: 16. QS. al-Mumtah}anah, 60: 1. QS. al-Jum’ah, 62: 6.

Delapan surat tersebut semuanya Madaniyah selanjutnya ayat ini akan

dikaji secara mendalam bagaimana makna dan penafsirannya versi Shaikh

Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri>.

Untuk mempermudah dalam memahami tokoh ini, maka perlu juga

mengkaji biografi dan latar belakang sosial serta pendidikannya, metode dan

corak penafsiran yang digunakan Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri> dalam

kitab tafsirnya al-Aysar al-Tafa>si>r.

C.Rumusan Masalah

Agar lebih fokus dan memudahkan dalam proses penelitian, maka perlu

dipaparkan beberapa rumusan masalah pokok sebagai berikut:

1. Bagaimana metode dan corak tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r karya Shaikh Abu>

Bakar Ja>bir al-Jaza>iri?

2. Apa pengertian awliya>’ dalam al-Qur’an menurut tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r

karya Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri>?

(18)

9

3. Bagaimana relevansi awliya>’ dalam tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r karya Shaikh

Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri> dengan term-term al-Khalifah, Amir Mu’minin,

al-Imam dan al-Sult}an serta al- Mulk dalam al-Qur’an?

D.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian tesis

ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui metode dan corak penafsiran tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r

karya Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri>.

2. Untuk menjelaskan pengertian awliya’ dalam tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r

karya Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri>.

3. Untuk menjelaskan hubungan antara awliya> dalam tafsir Aysar

al-Tafa>si>r karya Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri> dengan term-term

al-Khalifah, al-Amir al-Mu’minin, al-Imam dan al-Sult}an serta al-Mulk dalam

al-Qur’an.

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini, antara lain :

1. Dari segi teoritis, penelitian ini merupakan kajian kandungan ayat sehingga

diharapkan bisa memberikan konstribusi pemikiran dan memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan Islam khususnya tafsir al-Qur’an al-Kari>m.

(19)

10

2. Dari segi praktis, realisasi penelitian ini diharapkan bisa memberi

konstribusi dalam masalah-masalah politik, pemerintahan dan sosial

kemasyarakatan. Sebagai bahan dalam memahami al-Qur’an.

F. Penelitian Terdahulu

Sepanjang pengamatan penulis, studi mengenai Awliya>’ sudah banyak

dibahas oleh sejumlah kalangan. Akan tetapi, kajian mengenai Awliya>’ dalam

tafsir al-Aysar al-Tafa>si>r karya Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jazairi> dengan

pendekatan tematik yang di dasarkan pada tinjauan semantik dan muna>sabah

adalah sama sekali belum pernah ditemukan.

Diantara karya tulis yang membahas tentang makna awliya>’, wali dan

pemimpin dengan sudut pandang yang berbeda-beda diantaranya, yaitu:

Mafhu>m Waliyyal al-Amri ‘inda Muhammad Abduh yang ditulis oleh

Ali Zainal Abidin, 2010. Secara garis besar, karya ini menguraikan tentang

makna Waliy al-Amri yang membahas tentang tugas-tugas pemimpin

pemerintahan menurut perspektif Muhammad Abduh.

Karya serupa juga pernah ditulis oleh Abdullah al-Dumaiji dalam

Kitabnya al-Imamah al Uzhma yang memberikan wawasan ilmiah yang

sangat mendalam tentang konsep awliya>’ dalam al-Qur’an, mendeskripsikan

tentang beberapa konsep ima>mah yang salah satu butir kesimpulannya, Tidak

ada kemuliaan dan ketinggian derajat bagi ummat Islam, kecuali dengan

kembali berhukum kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya serta berjuang

(20)

11

menegakkan Khilafah Islamiah yang akan menjaga agama Islam dan

mengembalikan kemuliaan serta kehormatan ummat Islam.20

Interpretation M. Quraish Shihab and Interpretation Hamka

about Auliya>’ on al-Ma>idah verse 51, oleh .Akrobun Naim tentang perbedaan

penafsiran antara M. Quraish Shihab dan Hamka dalam menafsirkan QS.

al-Ma>idah 5: 51.21

G.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu jenis

penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi,

perhitungan statistik atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran

angka.

Kualitatif juga bermakna sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas,

nilai atau makna yang terdapat dibalik fakta. Untuk memahami makna dibalik

interaksi sosilal yang komplek hanya dapat diurai dengan cara interaksi

sosial.22

Dipilihnya penelitian kualitatif karena penelitian ini memiliki kelebihan

antara lain :

1. Memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang obyek yang akan

diteliti.

20 Abdullah bin Umar al-Dumaiji, al-Imamah al-Uzhma, Konsep Kepemimpinan dalam Islam

(Jakarta: Ummul Qura, 2016), 516-517.

21 Akrobun Naim,Interpretation M. Quraish Shihab and Interpretation Hamka about Awliya>’ on

al-Maidah verse51 (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014), Disertasi.

22 Sugiyono, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi (Bandung: Alfa Beta, 2016),226.

(21)

12

2. Mampu menciptakan laporan kepada setiap orang yang ada pada situasi

sosial yang akan dilteliti.

3. Mampu menggali sumber data dengan observasi partisipan secara

triangulasi.

4. Menghasilkan temuan pengetahuan, mengkonstruksi fenomena atau ilmu

baru.

5. Mampu mengkomunikasikan hasil penelitian kepada masyarakat luas.23

Menggunakan pendekatan library research (penelitian kepustakaan),

yaitu penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh

data penelitiannya.24

Metode analisa yang digunakan adalah deskreptik analisis dengan

pendekatan semantik dan muna>sabah yang berusaha mendeskripsikan makna

awliya>’ yang ada dalam al-Qur’an, sebagaimana temanya, maka aplikasi

ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam

ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup di

dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang

menafsirkan ayat-ayat tersebut.25

Dalam pengumpulan data digunakan metode dokumentasi. Metode ini

diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah, atau

dukumentasi tertulis lainnya.

Semua data primer dan sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai

dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam

23 Sugiyono, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi (Bandung: Alfa Beta, 2016), 225 24 Ibid.

25 Nasrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 31.

(22)

13

atas karya-karya yang memuat obyek penelitian dengan menggunakan analisis

isi, yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah-

nya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa

pernyataan.26

Selain itu analisis isi dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan

spesifik yang ada dalam benak (peneliti).

Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari

bahan-bahan tertulis berupa literatur berbahasa Arab, Indonesia dan Inggris

yang mempunya relevansi dengan permasalahan penelitian ini.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen

perpustakaan yang terdiri satu sumber data primer berupa kitab tafsir yaitu

kitab Aysar al-Tafa>si>r karya Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri>. Dipilihnya

kitab tafsir Aysar al-Tafa>si>r karya, Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jaza>iri karena

sistematis, mudah dalam pembahasan dan mudah difahami. Adapun

sumber-sumber lainnya yang akan dipakai sebagai data sekunder, sebagai berikut:

1. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m karya Ibn Kathir.

2. S}afwa>t al-Tafa>si>r karya Muhammad A>li al-S}abuni>.

3. Tafsi>r al-Mis}ba>h, M. Quraish Shihab.

4. al-Ima>mah al-Uzhma> ‘inda Ahl Sunnah wa al-Jama>’ah, karya Ulama besar

Makkah sebagai tesis yang mumtaz di Universitas Ummul Qura.27

26 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogjakarta: Rake Sarasin, 1993), 76.

27Abdullah al-Dumaiji, al-Ima>mah al-Uzhma>inda Ahl Sunnah wa al-Jama>’ah, terj. Umar Mujtahid (Jakarta: Ummul Qura, 2016), Tesis.

(23)

14

Mereka ini dipilih karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

menggunakan bahasa yang lugas dan sederhana serta menyebutkan segala

aspek yang terkait dengannya sehingga mudah untuk difahami.

a. Tafsi>r Ibnu Kathi>r merupakan karya terbaik dalam bidang tafsir bi

al-Ma’tsu>r, bahkan banyak ulama yang menyunting dan membuat

ringkasan terhadap kitab ini.

b. S}afwa>t al-Tafa>si>r merupakan saringan dari kitab-kitab tafsir sebelumnya

seperti tafsi>r al-Qurtubi dan tafsir Ibnu Katsi>r.

c. Sedangkan Tafsi>r al-Mis}ba>h, M. Quraish Shihab merupakan tafsir

berbahasa Indonesia yang dalam penafsirannya tidak lepas dengan

kondisi sosial yang ada sehingga pembaca lebih mudah memahaminya.

d. al-Ima>mah al-Uzhma> ‘inda Ahl Sunnah wa al-Jama>’ah, karya Ulama

Makkah, Abdullah al-Dumaiji, guru besar di fakultas da’wah sebagai

tesis yang mumtaz di Universitas Ummul Qura. Memberikan wawasan

ilmiah yang luas tentang konsep imamah yang berdasarkan pemikiran

teologi ahl al-sunnah wa al-jama>’ah.

Demikianlah beberapa kitab yang menjadi sumber utama tulisan ini.

Dengan menyebut kitab tersebut, tidaklah berarti bahwa

kitab-kitab tafsir lainnya diabaikan sama sekali. Kitab-kitab-kitab itu tetap di gunakan

sebagai sumber rujukan khususnya dalam melengkapi dan mempertajam

analisis serta bahasan.

(24)

15

H.Sistematika Pembahasan.

Untuk memudahkan dalam pembahasan penelitian ini maka perlu untuk

menjabarkan sistematikanya. Berikut ini adalah penjelasan tentang sistematika

pembahasan dalam penelitian ini yang terdiri dari:

Bab pertama, pendahuluan yang merupakan gambaran secara umum dari

keseluruhan pembahasan tesis, meliputi: latar belakang masalah, identifikasi

masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan

penelitian, kajian pustaka/penelitian terdahulu, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

Bab kedua, teori semantik dan muna>sabah.

Bab ketiga, penyajian data, biografi Shaikh Abu> Bakar Ja>bir al-Jazairi>,

metode dan corak penafsiran, terminologi awliya>’ dan term-term al-Kha>lifah,

Amir al-Mu’mini>n, al-Ima>m dan al-Sult}an serta al-Mulk.

Bab empat, Analisis data, terminologi awliya>’, al-Kha>lifah, Amir

al-Mu’mini>n, al-Ima>m dan al-Sult}an serta al-Mulk.

Bab kelima, berisi penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

(25)

1

BAB-II

LANDASAN TEORI

ANALISIS SEMANTIK DAN MUNA>SABAH

A.Teori Semantik

1. Definisi Semantik

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang

berarti tanda atau lambang. Akar kata sema adalah s dan m sangat mirip

dengan kata ةم dari kata مس )و( yang juga berarti tanda akar katanya adalah

)و( س dan م Kata kerja sema adalah semaino yang berarti menandai atau

melambangkan. Tanda atau lambang yang dimaksud disini adalah

tanda-tanda linguistik. Padanan dalam bahasa Arab adalah ilmu al-dila>lah yang

berasal dari kata ةلاد-لدي -لد yang berati menunjukkan seperti dalam

al-Qur’an 1 ةراج ىلع مكلدأ ل .

Semantik merupakan cabang sistematik bahasa yang menyelidiki

makna atau arti (dalam linguistik lazimnya tidak dibedakan).2Semantik

adalah bagian dari struktur bahasa (Language structure) yang berhubungan

dengan makna ungkapan dan makna suatu wicara atau sistem penyelidikan

makna dan arti dalam suatu bahasa pada umumnya. Semantik juga banyak

1

QS. al-Sa>ff, 61:10.

2

(26)

2

membicarakan ilmu makna, sejarah makna, bagaimana perkembangannya

dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.3

Pendapat yang sama, bahwa semantik merupakan bahasa terdiri dari

struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan obyek

dalam pengalaman dunia manusia. Semantik adalah studi tentang hubungan

antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbul

dalam aktifitas bicara.4

Semantik mempunyai hubungan dengan disiplin ilmu lain. Misalkan

saja manusia, boleh saja manusia menjadi kajian antropologi, biologi,

kedokteran dan psikologi serta sosiologi. Begitu juga dengan makna yang

menjadi obyek dari semantik, karena persoalan makna bukan saja menjadi

obyek dari ahli yang bergerak dalam semantik. Semantik sebagai ilmu

mempelajari kemaknaan didalam bahasa sebagai makna apa adanya (das

sein) dan hanya terbatas pada pengalaman manusia saja. Jika dibandingkan

dengan kajian psikologi, maka mengkaji tentang kebermaknaan jiwa yang

ditampilkan gejala jiwa, baik itu ditampilkan secara verbal maupun non

verbal. Jadi semantik lebih bersifat verbal, kalimat yang dapat diucapkan

secara lisan.5

Menurut Toshihiko Izutsu, semantik adalah kajian analitik terhadap

istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya

sampai pada pengertian konseptual weltanscauung atau pandangan dunia

3

Ahmad Fawaid, Semantik al-Qur’an Pendekatan Teori Dila>lat al-Fa>z terhadap kata Z}alal dalam al-Qur’an (Surabaya: Tesis, 2013), 73.

4

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta, 2001),7.

5

(27)

3

masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Pandangan ini tidak saja

sebagai alat berbicara dan berfikir, akan tetapi lebih penting lagi, yakni

pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.6

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa semantik adalah sub disiplin

linguistik yang membicarakan tentang makna bukan bahasa. Dengan kata

lain semantik berobjekkan makna.7 Dengan menerapkan analisis semantik

ini atas al-Qur’an orang ingin mengungkap pandangan dunia kitab ini, yakni

bagaimana dunia wujud, menurut kitab suci ini dibangun, apa

unsur-unsurnya dan bagaimana satu unsur dihubungkan dengan yang lain.8

Adapun pada kenyataannya tujuan untuk mempelajari semantik adalah

untuk memahami hakekat manusia itu sendiri melalui pengkajian isi

mentalnya yang tercermin pada pemahamannya tentang gejala dunia dan

isinya. Oleh karena sifat akseologinya yang luas, maka perlu ditetapkan

tujuan seseorang mempelajari semantik. Tujuan itu tergantung kepada setiap

orang yang mempelajarinya.9

Semantik dinyatakan sebagai ilmu makna pada tahun 1990-an dengan

munculnya karya Breal yang berjudul Essay de Semantique, sebelumnya

karya Stern 1931 dengan judul Meaning and Change with Special Reference

to the English Language.10

6

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husain, dkk.(Yogjakarta: Tiara – wacana,2003), 3.

7

Luthfiyah Romziana, Konsep Jahiliah dalam al-Qur’an (Pendekatan Semantic) (Surabaya: 2014

8

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husain, dkk.(Yogjakarta: Tiara wacana), xi.

9

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta, 2001),23. 10

(28)

4

Monumen terpenting dalam perkembangan semantik munculnya

pemikiran Ferdinand de Saussure dengan judul Cours de Linguistque

General. Diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Wade Baskin dengan

judul Course in General Linguistic dan di terjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat dengan judul Pengantar Linguistik

Umum. Menurut Saussure, bahasa merupakan system tanda (language is a

system of sign that expressidea) yang saling berhubungan, merupakan satu

kesatuan (the whole unified) membentuk struktur.11

Saussure menampilkan konsep baru dalam bidang teori dan penerapan

studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa dan arti kata. Pada

waktu tertentu disebut dengan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat

diskriptif dan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa yang

disebut dengan pendekatan diakronis.

Bentuk perkembangan diskriptif adalah bahasa yang obyeknya adalah

kata dan arti kata. Arti sebuah kata tidak permanen tetapi mengalami

perubahan terus menerus, dibuktikan dengan melihat kamus, dimana sebuah

kata dapat mengalami perubahan makna setiap saat.12

2. Semantik al-Qur’an

Periode awal penafsiran al-Qur’an mengenai semantik ini dipelopori

oleh seorang sarjana yang bernama Muqa>til Ibn Sulaima>n (w. 150/767).

Karya utama yang menjadi fokus ulasan sebagai babak awal dari kesadaran

11

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 4.

12

(29)

5

semantik tersebut berjudul al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir fi> al-Qur’a>n al Kari>m dan al-Tafsi>r Muqa>til Ibn Sulaima>n.13

Meskipun karya tafsir Mujahid dalam poin tertentu melampaui apa

yang telah dilakukan Muqa>til Ibn Sulaima>n, namun dalam hal kesadaran

semantik belum banyak menyentuh ranah tersebut. Adapun Sarjana yang

senada dengan Muqa>til Ibn Sulaima>n adalah Harun Ibn Musa (w.170/786)

dalam karyanya berjudul al-Wujh wa al-Naza>ir fi> al-Qur’a>n al Kari>m. selain itu Jahiz (w. 255/866), Ibn. Qutaiba (w. 276/898) dan Abd Qahir

al-Jurjani (w. 471/1079) generasi yang menyempurnakan tentang kajian

tersebut.

Muqa>til Ibn Sulaima>n menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qur’an

di samping memiliki arti yang definitif, juga memiliki beberapa alternatif

makna lainnya. Salah satu contohnya adalah kata yad yang memiliki arti

dasar atau leksikal tangan. Menurut Muqa>til Ibn Sulaima>n, ayat tersebut

jika terdapat dalam konteks pembicaraan ayat (al-Qur’an) akan memiliki

tiga arti alternatif, yaitu:14

a. Tangan secara fisik sebagai anggota tubuh, seperti dalam al-Qur’an Surat

al-A’ra>f, 7: 108.







13

M. Nur Kholis Setiawan,Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur’an (Jakarta: Kencana,2008) 120.

14

(30)

6

Dia mengeluarkan tangannya, maka ketika itu juga tangan itu menjadi

putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya.15

b. Kedermawanan, QS. al-Isra>’, 17: 29 dan QS. al-Ma>idah, 5: 64.

…..

Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu ….16

….

orang-orang Yahudi berkata: Tangan Allah terbelenggu…17

c. Perbuatan atau aktifitas, QS. Ya>si>n 36: 35 dan QS. al-Hajj 22: 10.







Supaya mereka dapat makan dari buahnya dan dari apa yang di usahakan

oleh tangan mereka maka mengapakah mereka tidak bersyukur?18









Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh

kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah

penganiaya hamba-hamba-Nya.19

Penjelasan di atas berasumsi bahwa makna tidak semata-mata terletak

pada kosakata tersebut. Selain itu istilah yang juga menambah arti penting

dari aspek semantik adalah siya>q konteks. Meski istilah ini belum

disinggung dalam karya Muqa>til Ibn Sulaima>n akan tetapi istilah lain yang

15

Depatemen Argama RI,al-Qur’an dan Terjemahnya(Jakarta:CV. Nala Dana, 2007), 219.

(31)

7

senada dengan ini telah disebutkan yaitu al-mawdi’ atau diterjemah dalam

ranah linguistik sebagai posisi.20

Menelaah kosakata dalam hubungannya dengan konteks, apalagi

dikaitkan dengan al-Qur’an maka kemudian didapatkan sebuah kesimpulan

bahwa dalam al-Qur’an setidaknya terdapat tiga jenis kosakata. Pertama,

kosa kata yang hanya memiliki satu makna. Kedua, kosakata yang memiliki

dua alternatif makna dan Ketiga, kosakata yang memiliki banyak

kemungkinan arti selaras dengan konteks dan struktur dalam kalimat yang

memaknainya.21

Kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh

beberapa pakar mufassir klasik, diantaranya ialah al-Fara’ (w. 210/825)

dengan karya tafsirnya Ma’a>ni al-Qur’an, Abu Ubaidah, al-Sajistani>, dan

al-Zamakhsyari>. Kemudian dikembangkan lagi oleh Amin al-Khuli yang

kemudian teori-teorinya diaplikasi oleh Aysah Bint al-Syati>’.22 Kemudian

gagasan Amin al-Khuli dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang

dikenal dengan Teori Semantik al-Qur’an.23

Teori semantik yang diaplikasikan dalam kajian al-Qur’an terdapat

dua bentuk analisis, yakni analisis diakronik dan analisis sinkronik.

Diakronik berasal dari bahasa Yunani dia yang berarti melalui dan kronos

yang berarti waktu, artinya: mempelajari bahasa sepanjang masa, selama

20

M. Nur Kholis Setiawan,Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur’an (Jakarta: Kencana,2008) 126-127.

21

Ibid., 128.

22

Aisyah Bint al-Syathi’, al-Tafsi>r al-Baya>n li al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo: Da>r al-Ma’arif, 1990), 98.

23

(32)

8

bahasa itu masih digunakan oleh penuturnya. Menurut Toshihiko Izutsu,

diakronik secara etimologi adalah pandangan terhadap bahasa, yang pada

prinsipnya menitik beratkan pada usur waktu. Dengan demikian, secara

diakronik kosa kata adalah sekumpulan kata yang masing-masing tumbuh

dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas.24

Adapun cirri-ciri Linguistik diakronik adalah sebagai berikut:

a. Linguistik diakronik menelaah bahasa tanpa ada batasan waktu.

b. Bersifat vertikal, karena melakukan perbandingan bahasa dari masa-

ke masa,

c. Bersifat historis dan komparatif,

d. Perkembangan dan perubahan struktural bahasa dapat diketahui secara

jelas.

Sedangkan analisis sinkronik secara h}arfiyah berasal dari bahasa

Yunani dari akar kata syn yaitu bersama dan kronos adalah waktu, artinya

mempelajari suatu bahasa dengan suatu bahasa pada suatu kurun waktu.25

Jadi analisis sinkronik adalah analisis terhadap system kata statis yang

merupakan satu permukaan dari perjalanan sejarah suatu bahasa sebagai

konsep yang di organisasikan dalam sebuah jaringan yang rumit. Dengan

analisis ini diperoleh struktur-struktur, makna-makna tertentu yang pada

gilirannya, bersama analisis diakronik, akan membawa pada suatu

24

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husain, dkk.(Yogjakarta: Tiara- wacana, 2003), 32.

25

(33)

9

weltanschauung (pandangan dunia) dari obyek kajian dalam hal ini

pandangan dunia al-Qur’an.26

Ciri-ciri linguistik Sinkronik secara garis besar ada tiga, yaitu:27

a. Dari segi waktu, linguistik sinkronik menelaah bahasa pada waktu

tertentu, dikhususkan dan terbatas.

b. Bersifat deskriptif, adanya penggambaran bahasa apa adanya pada

masa tertentu.

c. Bersifat horizontal dan mendasar, karena tidak ada perbandingan

bahasa dari masa kemasa.

3. Teknik Penerapan Semantik

Untuk menerapkan teknik analisis semantik diakronik dan sinkronik,

diperlukan beberapa cakupan momentum linguistik yang dapat diuraikan

sebagai berikut:

a. Makna Dasar (grundbedeutung)

Makna dasar adalah kandungan kontekstual dari kosakata yang

akan tetap melekat pada kata tersebut meskipun kata tersebut

dipisahkan dari konteks pembicaraan kalimat. Dalam kasus al-Qur’an

misalnya kata Kita>b di dalam maupun di luar al-Qur’an artinya sama.

Kata Kita>b sepanjang dirasakan secara actual oleh masyarakat

penuturnya menjadi satu kata, mempertahankan makna fundamental

yaitu Kita>b dimanapun ditemukan. Kandungan unsur semantik ini

26

Chafid Wahyudi, Pandangan Dunia al-Qur’an Tentang Taubah, Aplikasi Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an (Yogjakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2002), 28.

27

(34)

10

tetap ada pada kata tersebut dimanapun diletakkan dan bagaimana

digunakan. Jadi makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata

itu sendiri yang selalu terbawa dimanapun kata tersebut diletakkan.

b. Makna Relasional (relational bedeutung)

Makna rasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan

dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata

tersebut pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi

yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam system

tersebut.28 Contoh pada kata kita>b dalam makna dasar ketika kata

tersebut dihubungkan dengan kata ahl menjadi ahl al-Kita>b maka kata

kitab telah bermakna kitab milik orang Yahudi dan Nasrani.

c. Struktur Batin

Struktur batin secara general mengungkap fakta pada dataran

yang lebih abstrak dan riil, sehingga fakta tersebut menimbulkan

kekaburan dalam dataran manapun dan semua ciri struktural dapat

diungkap dengan jelas ke permukaan. Sedangkan analisis batin yang

terdapat dalam al-Qur’an secara definitif adalah mengungkap

kecenderungan kosa kata dalam al-Qur’an dalam ayat tertentu dengan

konteks yang menyertainya.29

28

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husain, dkk.(Yogjakarta: Tiara- wacana,2003), 12.

29

(35)

11

d. Medan Semantik

Dalam bahasa ada banyak kosa kata yang memiliki sinonim,

terlebih dalam bahasa Arab. Aspek budaya terkadang juga masuk

kedalam aspek kebahasaan, meskipun kosa kata itu sama namun

penggunaannya berbeda. Bidang semantik, memahami jaringan

konseptual yang terbentuk oleh kata-kata yang berhubungan erat,

sebab tidak mungkin kosa kata akan berdiri sendiri tanpa ada kaitan

dengan kosa kata lain.30

4. Urgensi Semantik dalam Penafsiran al-Qur’an

Semantik sebagai salah satu pendekatan untuk mengungkap gagasan

yang ada di dalam al-Qur’an melahirkan banyak paradigma yang merupakan

cara pandang dan kerangka berfikir seseorang dalam membaca, membedah

dan menganalisa objek yang dikaji dalam al-Qur’an.

Pengkaji al-Qur’an yang menggunakan pendekatan semantik dalam

analisis penafsiran al-Qur’an beralasan bahwa selain hanya untuk

kepentingan analisis juga untuk memahami variasi dan konteks makna kata

dari kata-kata kunci (key terms)dalam al-Qur’an. Jadi cara yang terbaik

dalam meneliti al-Qur’an mencoba menguraikan katagori semantik.31

Untuk mengurai tema-tema kunci dalam al-Qur’an yang berbahasa

Arab, semantik memberikan sejumlah prosedur dalam mengurai keragaman

subtansif makna bahasa Arab tersebut. Oleh karena itu, analisis semantik

30

Moh. Yardo, Ah}sa>n Taqwi>m dalam Wordview al-Qur’an, Sebuah Pendekatan Semantik al

-Qur’an, 15.

31

(36)

12

bertujuan untuk menyelaraskan makna al-Qur’an sesuai dengan konteks

pragmatiknya dan dinamika historikalitasnya serta penyelarasan makna

dalam konteks dialektika universalitas makna dan lokalitas pemahaman dan

penafsiran al-Qur’an.32

Sehingga nantinya dari pendekatan semantik akan didapatkan gagasan

al-Qur’an yang totalitas sesuai dengan pandangan dunia al-Qur’an itu

sendiri. Karena al-Qur’an yang diturunkan bagi kepentingan manusia

mempunyai fungsi penting sebagai hidayah, mengharuskan pemahaman

yang tepat atas ajaran-ajaran yang dikandungnya, sesuai maksud yang

dikehendaki Allah SWT.

B.Teori Muna>sabah.

1. Definisi Muna>sabah

Secara etimologi muna>sabah berarti persesuaian atau hubungan atau

relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu

dengan ayat atau surat yang sebelum atu sesudahnya.

Ilmu muna>sabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat

atau surah yang satu dengan ayat atau surah yang lain. Oleh karena itu,

sebagian pengarang menamakannya dengan Ilm Tana>sub aya>t wa

al-suwa>r yang artinya menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah yang

satu dengan yang lain.33

32

Yayan Rantikawati dan Dadan Rusmana,Metodologi Tafsir al-Qur’an Strukturalisme,Semantik, Semiotika dan Hermeneutik (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 253.

33

(37)

13

Menurut istilah, Ilmu muna>sabah ialah ilmu untuk mengetahui alasan

alasan penertiban dari bagian-bagian al-Qur’an yang mulia.34

Dilihat dari segi terminologi muna>sabah dapat diartikan sebagai

keserupaan atau kedekatan makna antara satu ayat dengan ayat lainnya

dalam satu surat, kumpulan ayat dalam satu surat dengan lainnya dalam

surat yang lain, antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau

dapat juga antara satu surat dengan surat yang lain.35

Nasr Hamid Abu Zayd, memahami muna>sabah antar ayat dan surat

adalah bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagiannya saling

berkaitan. Mengaitkan antar ayat dan surat itu adalah tugas seorang mufassir

karenanya mufassir mempunyai peranan penting dalam menangkap

cakrawala teks. Jadi mufassir mengungkapkan dialektika bagian-bagian teks

melalui dialektika mufassir selaku pembaca dengan teks.36

Adapun ulama al-Qur’an menggunakan kata muna>sabah untuk dua

makna. Pertama, hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat-ayat

al-Qur’an. Hal ini mencakup banyak ragam, diantaranya adalah hubungan

kata demi kata dalam satu ayat, hubungan ayat dengan ayat sesudahnya,

hubungan kandungan ayat dengan fa>shilah atau penutupnya dan hubungan

surah dengan surah berikutnya serta hubungan awal surah dengan dengan

penutupnya. Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat yang lain,

34

Abdul Djalal H.A, Ulumul Qur’an, cet.5 (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), 154.

35 Manna al-Qat{t}an, Mabahits fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993), 97. 36

(38)

14

seperti pengkhususannya, penetapan syarat terhadap ayat lain yang tidak

bersyarat. Sebagai contoh: QS. al-Ma>idah 5: 3.





….

diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging

hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,…37

Ayat di atas menjelaskan aneka macam makanan diantaranya adalah

darah. Tetapi dalam, QS. al-An’a>m 6: 145, dinyatakan:





Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan

kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,

kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging

babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih

atas nama selain Allah…38

Bahwa yang haram adalah darah yang mengalir. Oleh karena itu ,ada

munasabah antara ayat al-Ma>idah dan al-An’a>m yang disebut diatas.39

Teori muna>sabah ini bersifat ijtihadi, yakni diperlukan usaha yang

sungguh-sungguh dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau antar

surah dalam al-Qur’an yang logis dan dapat diterima oleh akal sehat.

Mayoritas mufassir memandang pentingnya usaha yang sungguh-sungguh

tersebut dengan mengacu pada suatu kenyataan bahwa tidak semua ayat

37

Depatemen Argama RI,al-Qur’an dan Terjemahnya(Jakarta:CV. Nala Dana, 2007), 142.

38

Ibid., 198.

39

(39)

15

mempunyai saba>b nuzul, apalagi tidak semua saba>b nuzul dinilai sahih.

Disinilah pentingnya muna>sabah untuk mengungkap suatu makna ayat

dalam penafsiran al-Qur’an.40

Begitu pentingnya muna>sabah diketahui dan difahami dalam

menafsirkan al-Qur’an. Untuk menentukan makna yang menjadi sarana

pemersatu antar kalam maka dibutuhkan langkah-langkah untuk membentuk

hubungan di antara ayat maupun surat dalam al-Qur’an. Adapun

langkah-langkah tersebut, diantaranya:

a. Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek

pencarian.

b. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan pembahasan

di dalam suatu surat.

c. Menentukan tingkatan uraian-uraian tersebut, apakah ada hubungannya

atau tidak.

d. Dalam mengambil kesimpulan, hendaknya memperhatikan

ungkapan-ungkapan kebahasaan secara benar.

2. Macam-macam Muna>sabah dalam al-Qur’an

Pembahasan tentang muna>sabah sangat mengandalkan pemikiran

bahkan imajinasi atau kenyataan yang terjadi. Karena bisa saja banyak

ragam hubungan yang dapat terjadi, tergantung dari mufassir yang

menghubungkannya. Para ulama setuju bahwa semua ayat dalam al-Qur’an

harus dicarikan muna>sabahnya. Yang perlu untuk dicari muna>sabahnya

40

(40)

16

adalah hubungan antar ayat dan surat yang belum jelas.41 Hubungan yang

dicari bisa penggalan ayat dengan lanjutan penggalannya, bisa juga antara

ayat dengan ayat berikutnya.42

Muna>sabah jika dilihat dari segi sifatnya, yakni mengacu pada tingkat

kejelasan dan kesamaran makna, maka dapat dikatagorisasikan menjadi:

a. Dhahir Irtibhath, adalah kesesuaian bagian-bagian al-Qur’an (ayat

maupun surat) yang terjalin secara jelas dan kuat. Adanya kesatuan unsur

pembentuk hubungan antar ayat maupun surat secara redaksionis.

Misalnya, QS. al-‘Ashr 103: 2-3.

















Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih dan

nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati

supaya menetapi kesabaran.43

b. Khafiy al-Irtibath, hubungan yang terjadi antara dua ayat atau surah

secara samar, sehingga jika difahami hanya melalui makna redaksinya

akan menunjukkan tidak ada hubungan. Seolah-olah kedua ayat maupun

41

Ahmad Rasyid, Munasabah dalam al-Qur’an,Konstruksi Pemahaman Makna Korelatif (Surabaya UINSA, 2006), 15.

42

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 247.

43

(41)

17

surat tersebut berdiri sendiri dan tidak adanya keterkaitan kuat dengan

ayat maupun surat sebelum dan sesudahnya.44

Adapun mufassir menggunakan kata muna>sabah untuk dua

makna. Pertama, hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan

ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini mencakup banyak ragam, di antaranya adalah:

hubungan kata demi kata dalam satu ayat, hubungan ayat dengan ayat

sesudahnya, hubungan kandungan ayat dengan fashilah atau penutupnya

dan hubungan surat dengan surat berikutnya serta hubungan awal surat

dengan penutupnya. Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat yang

lain, seperti pengkhususannya, penetapan syarat terhadap ayat lain yang

tidak bersyarat.45

Ahmad Rasyid menjelaskan dari hasil penelitiannya, bahwa

muna>sabah dalam al-Qur’an jika ditinjau dari materinya maka ada tiga

macam bentuk:

Pertama, muna>sabah dalam satu ayat, adalah adanya keterkaitan

atau hubungan antara kalimat-kalimat al-Qur’an dalam satu ayat.

Keterkaitan makna dalam satu ayat al-Qur’an dapat dipahami pada dua

bentuk (antar kata dengan kata selainnya, satu ayat dengan fashilah/

penutupnya).46

Kedua, muna>sabah antar ayat, hubungan atau persambungan antara

ayat yang satu dengan ayat yang lain. Keterkaitan makna antara dua ayat

44

Ahmad Rasyid, Munasabah dalam al-Qur’an, Konstruksi Pemahaman Makna Korelatif (Surabaya : UINSA, 2006), 15.

45

Ibid., 244.

46

(42)

18

atau lebih merupakan bentuk hubungan konteks pembahasan yang

terbentuk dari keterkaitan kalimat dalam satu ayat. Muna>sabah antar ayat

ini dapat terbentuk antara lain: di-„athaf-kan atau tidak di-athaf-kan ayat

yang satu pada ayat lainnya, penggabungan dua hal yang semakna, dua

hal yang kontradiktif dan perpindahan pembicaraan.47

c. Muna>sabah antar surat , hubungan yang terjalin antara surat yang satu

dengan surat yang lain. Pada dasarnya kandungan suatu surat memiliki

keterkaitan yang kuat antara sub tema yang satu dengan yang lain. Hal ini

dapat dipahami bahwa penamaan suatu surat yang ada dalam al-Qur’an

merupakan indikasi adanya keterkaitan dengan makna yang terdapat pada

ayat-ayat yang dikandungnya. Sehingga nama surat merupakan

kesimpulan universal bagi setiap perincian ayat-ayat di dalamnya.

Berik

Referensi

Dokumen terkait

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian

Juga ditegaskan bahwa orang-orang Yahudi harus menjalankan hukum dalam kitab suci mereka, yaitu Tawrat, sebab Tawrat itu diturunkan Allah dengan mengandung sistem hukum yang menjadi

menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut,

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Pada ayat tadi tersurat perintah kepada Nabi s.a.w. agar menjelaskan kepada masyarakat Arab bahwa Ia adalah salah seorang yang ditunjuk sebagai Rasulullah untuk

Artinya: Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali

Ṭ abarī menafsirkan lafal al-furqān dengan mengambil penakwilan dari riwayat Ibn Abbās, Abū Aliyah, dan Mujāhid yang mengatakan bahwa al-furqān yang diturunkan Allah kepada

Apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas merupakan pemberitahuan bahwa agama maupun amal ibadah seseorang tidak akan diterima kecuali bila sesuai dengan syari’at