• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Parasit Pembangunan D 902007008 BAB X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Parasit Pembangunan D 902007008 BAB X"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 10

EPI LOG:

PERGI UNTUK KEM BALI

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan Banyak cerita yang mestinya kau saksikan Di tanah kering bebatuan

Tubuhku tergoncang di atas batu jalanan Hati tergetar menampak kering rerumputan Perjalanan ini pun seperti jadi saksi

Gembala kecil menangis sedih

Kawan coba dengar apa jawabnya Ketika ku tanya mengapa

Bapak ibunya telah lama mati Ditelan bencana tanah ini

Sesampainya di laut kukabarkan semuanya Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari Tetapi semua diam, tetapi semua bisu

Tinggallah ku sendiri terpaku menatap langit

Barangkali di sana ada jawabnya M engapa di tanahku terjadi bencana

M ungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

(2)

P

erjalanan studi tentang Perilaku M emburu Rente atau KKN sebagai Parasit Pembangunan ini telah sampai di garis akhir. Kini tiba saatnya saya melihat ulang apakah tujuan perjalanan studi ini telah tercapai. Sebagai pedoman untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja, saya harus melihat tujuan penelitian seperti yang sudah dirumuskan dalam Bab 1 (halaman 20: “apa (what), siapa (who), kapan (when), di mana (where), mengapa (why), dan bagaimana (how) perilaku memburu rente atau, secara lebih sempit, KKN itu terjadi” dan telah dijabarkan ulang secara lebih mendalam dan lebih luas dalam bab 3. Dalam bab itu, khususnya tabel 3.1 (halaman 80) dituliskan bahwa tujuan penelitian ada lima, yaitu:

[1] mengenali modal sosial komunitas terpilih;

[2] menggali pengetahuan, sikap dan praktik beberapa warga terpilih terhadap KKN;

[3] menggambarkan proses terjadinya KKN; [4] memahami alasan melakukan KKN; dan [5] merenungi dampak KKN.

M asing-masing tujuan ini telah dicoba-jawab melalui serangkaian metode pengumpulan data dan analisis. Pertanyaan apa itu perilaku memburu rente dijawab melalui studi literatur dan telah dipaparkan dalam bab 2. Pertanyaan lainnya telah dijawab dan diuraikan dalam bab 4 sampai 8.

(3)

Seksi kedua bab ini mendiskusikan implikasi dari berbagai temuan yang dihasilkan oleh penelitian ini. Implikasi yang dirumuskan merupakan kombinasi antara temuan penelitian dan kelemahan studi. Implikasi studi ini kemudian dibedakan menjadi dua, yaitu implikasi kebijakan dan implikasi bagi studi (penelitian) lanjutan. Yang pertama, merupakan beberapa pemikiran yang direkomendasikan kepada para pembuat kebijakan (Eksekutif & Legislatif) untuk dipertimbangkan bagi revisi UU dan PP yang sudah ada. Yang kedua, yaitu penelitian lanjutan, mengandung dua unsur, yaitu implikasi metodologis, yang merupakan penelitian lanjutan berdasarkan kelemahan metodologi yang teridentifikasi dalam studi ini, dan implikasi teoritis, yang merupakan rekomendasi untuk studi lanjutan berdasarkan proposisi dan atau hipotesis yang dirumuskan atau ditemukan dalam studi ini.

Akhirnya, bab ini ditutup dengan semacam ungkapan “Berpisah untuk Berjumpa” atau “Pergi untuk Kembali”. Penelitian, apalagi di bidang yang kontroversial seperti Perilaku M emburu Rente (PM R) yang disederhanakan dan dipersempit (tetapi tidak terbatas) menjadi Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini tampaknya tidak akan pernah terpisah dari kehidupan manusia yang berupaya untuk “selalu memperbaiki tingkat kesejahteraannya”.

TEM UAN EM PIRI S

Seperti diuraikan dalam alinea sebelumnya, seksi temuan empiris ini memunculkan kembali hubungan antara tujuan penelitian, berbagai cara pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan (tujuan) penelitian, dan ditambah dengan hasil atau temuannya. Temuan yang sebenarnya telah diuraikan dalam bab 4 sampai bab 8 itu di sini diringkas, untuk diambil sarinya, ke dalam tabel 10.1, dan dijabarkan secara garis besar sebagai berikut.

M odal Sosial

(4)

Saling ketergantungan (saling percaya) antar tetangga terjadi terutama dalam persoalan-persoalan sosial umum, seperti menjaga keamanan lingkungan, membantu warga yang punya hajat maupun yang sedang tertimpa kemalangan (kecelakaan, sakit dan kematian). Singkatnya, komunitas ini memiliki modal sosial pengikat (bonding social capital) yang masih kuat.

M odal Sosial Strukturalnya juga baik, dalam arti masyarakat cenderung menyerahkan berbagai urusan sosial, bahkan pribadi, kepada para pemimpin struktural. Di aras kampung inilah masyarakat mengharapkan para pemimpin formal yang dipilih benar-benar menjadi ‘pelayan’ untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan mereka. Tetapi justru di sini pulalah ironi itu terjadi. Beberapa kasus yang diungkap menunjukkan bahwa para pemimpin formal cenderung menyalah-gunakan harapan warga demi kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu di tabel 10.1 disebutkan bahwa modal sosial struktural (bridging social capital) komunitas ini masih relatif bagus, tetapi cenderung menurun karena disalahgunakan oleh para elit.

(5)

Tabel 10.1. Tujuan Penelitian, Cara M engumpulkan Data dan Temuan Studi

TUJUAN CARA MENGUMPULKAN

DATA HASI L STUDI

Modal Sosial Survei Komunitas & Survei Rumahtangga

 Modal sosial kognitif (bonding social capital) bagus;

 Modal sosial struktural (bridging social capital) bagus cenderung menurun

 Pengetahuan KKN: bervariasi menurut pendidikan dan pergaulan;

 Sikap terhadap KKN: bervariasi menurut pekerjaan dan pengalaman;

 Praktik KKN: semua pernah melakukan KKN.

Proses KKN FGD, W awancara Mendalam & Observasi Langsung

 Menurunkan prosedur operasi standar;

 Menurunkan standar kualitas;

 Membatasi partisipan dengan berbagai cara.

Alasan KKN FGD & Wawancara Mendalam

 Mempertahankan hidup (survival);

 Kenyamanan hidup (comfort/

(6)

KKN) yang sedang menjadi diskursus di tengah komunitas yang berjejaring itu. Akibatnya, orang semacam itu lebih tahu yang dimaksud dengan KKN daripada orang lain, yang meskipun memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi tetapi kurang berjejaring secara luas.

Kemudian, pekerjaan dan pengalaman hidup mewarnai sikap mereka terhadap KKN itu. M ereka yang bekerja di luar rumah cenderung bersikap positif atau pro terhadap KKN. Demikian pula mereka yang pernah terlibat dengannya, atau bahkan diuntungkan oleh perilaku itu, cenderung setuju atau pro atau sekurang-kurangnya ‘tergantung situasi dan kondisi’ yang dihadapi. Sebaliknya, mereka yang belum pernah bersentuhan dengannya, cenderung anti KKN.

M enariknya, semua partisipan FGD pernah melakukan KKN, terlepas dari umur, pendidikan, pekerjaan maupun bervariasinya sikap mereka. Para tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan, seperti para pemimpin formal, guru, serta pemuka agama, pun pernah melakukan KKN dan tidak ada indikasi bahwa mereka ingin menghentikan praktik seperti itu, ketika menghadapi situasi yang perlu, atau terpaksa harus, diselesaikan dengan cara KKN. M elalui FGD ini diperoleh 3 konsep penting yang menjadi komponen PM R (KKN), yaitu sikap permisif (permissiveness), ketidakpedulian (ignorance), dan ketidakberdayaan (disableness atau powerlessness).

(7)

Proses M emburu Rente

Perilaku memburu rente dilakukan oleh individu di aras mikro berdasarkan kebiasaan generasi sebelumnya dan terutama respons masyarakat sekitarnya. Ketika para tetangga mendiamkannya, maka perilaku itu dilakukan terus, meskipun merugikan para tetangganya. Pada aras meso dan makro juga demikian, para agensi berperilaku berdasarkan kebiasaan dan respons lingkungan. Yang berbeda di kedua aras ini dari aras mikro adalah terjadinya kerjasama antara berbagai agensi untuk memperoleh rente itu, melalui pengadaan barang dan atau jasa bagi yang membutuhkan. Proses memburu rente itu sering menggunakan salah satu atau kombinasi antara berbagai modus berikut.

1. M engkamuflasekan prosedur operasi standar (SOP); 2. M enurunkan standar kualitas barang dan atau jasa; dan 3. M embatasi partisipan.

Ketiga modus ini sesungguhnya merupakan komponen pasar gelap (black market) atau ekonomi bawah tanah (underground economy).

Yang pertama tampak dalam pengadaan barang dan atau jasa, lebih khusus lagi lisensi, seperti SIM , ijasah, dan lain-lain. Seperti telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, banyak SIM, ijasah sarjana dan pasca sarjana, dan jenis lisensi lain, yang diterbitkan oleh agensi yang diberi wewenang untuk itu, dengan cara mengkamuflase prosedur operasi standarnya1. Yang kedua merupakan akibat dari modus yang

pertama. Ketika SOP-nya dijungkir-balikkan, maka kualitas barang dan jasa yang dihasilkan atau disediakan sangat pantas diduga sebagai di bawah standar. Yang ketiga berhubungan utamanya dengan proses tender. M anuver kunci di dalam proses ini bisa dilakukan oleh 2 agensi pokok, yaitu pemimpin proyek (tender) dan salah satu peserta tender. Partisipan tender bisa dibatasi dengan berbagai cara apabila sudah

1 Dari pemerintahan otoriter Orde Baru kita belajar bahwa kebiasaan masyarakat atas

(8)

terjadi kongkalikong (kerjasama) antara kedua agensi pokok dalam lelang itu.

Alasan M emburu Rente

Berbagai alasan terjadinya perilaku memburu rente bisa dilihat dari status sosial ekonomi (SSE) para pelaku memburu rente, dan atau posisi mereka dalam transaksi. Karena SSE para pelaku memburu rente itu mengikuti SSE masyarakat, yang terdiri dari rendah, menengah dan atas, maka alasan perilaku memburu rente (PM R) juga bisa diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:

1. Bertahan hidup (survival);

2. Kenyamanan hidup (comfort atau convenience); dan 3. Kenikmatan (pleasure atau greeds).

Ketiga alasan ini oleh Congleton (1989) disebut sebagai status games, yaitu permainan atau perilaku yang ditujukan untuk memperjuangkan statusnya di dalam ruang sosial.

M emburu rente sebagai strategi bertahan hidup ini dilakukan oleh 2 kelompok agensi, yaitu mereka yang miskin dan mereka yang tidak berdaya melawan arus utama (mewakili sisi penawaran) dan mereka yang terpaksa (mewakili sisi permintaan). Mereka yang miskin memandang pekerjaan sebagai penjual jasa sebagai salah 1 cara untuk bertahan hidup atau bahkan membebaskan diri dari kemiskinannya. M eskipun demikian, dalam transaksi memburu rente, mereka adalah pelaku aktif yang membuat transaksi bisa terjadi. Sedangkan mereka yang terpaksa adalah agensi yang tidak punya pilihan jalan keluar kecuali KKN (memburu ente), seperti ditangkap polisi di jalan, membayar persen (suap) untuk mencairkan anggaraan proyek pengadaan barang dan atau jasa.

(9)

berikutnya akhirnya dilakukan karena terbiasa. Ketika berbagai kesalahan dilakukan secara berulang dan terus menerus, maka yang terjadi adalah salah kaprah. Evolusi itu juga terjadi pada alasan perilaku memburu rente itu, yaitu dari tujuan untuk bertahan hidup naik tingkat menjadi memperjuangkan atau mempertahankan kenyamanan dan akhirnya memburu kenikmatan, ketika proses memburu rente itu digambarkan dalam jangka panjang sebagai kontinum, dengan asumsi

ceteris paribus.

Perilaku memburu rente untuk kenyamanan dan kenikmatan, tentu saja, tidak dilakukan dalam keadaan terpaksa. Dari sisi penawaran, para pelaku dengan sadar mendesain proses pengadaan barang dan atau jasa, seperti diuraikan pada subseksi sebelumnya, untuk memperoleh rente bagi kenyamanan dan kenikmatan mereka. Dilihat dari SSE-nya mereka ini masuk dalam kelas menengah dan atas, oleh karena itu yang paling menonjol justru unsur ketamakan atau kerakusannya. Demikian juga dari sudut permintaan, keterlibatan mereka dalam perilaku memburu rente didasarkan pada alasan pragmatis dengan 3 kata kunci, yaitu “enak, mudah, dan cepat”, apalagi kalau ditambah dengan bonus “murah”.

Para pihak yang terlibat dalam transaksi memburu rente bisa berdalih macam-macam, tetapi muara dari semua itu adalah alasan pragmatis. Alasan pragmatis itu bisa diwakili oleh tiga kata yang sudah disampaikan sebelumnya, yaitu ‘mudah, cepat dan enak’. Dari sudut permintaan, pencari barang dan atau jasa mendapatkan kemudahan untuk memperolehnya dan dalam hidup sehari-hari, barang dan atau jasa itu telah memudahkan mereka untuk melakukan aktivitas masing-masing. Dari sudut penawaran, para pemburu rente mendapatkan kemudahan dalam meningkatkan taraf hidupnya sendiri, keluarga inti dan kelompoknya.

Dampak M emburu Rente

(10)

beberapa bab sebelumnya. Semua dampak negatif itu, seperti ditunjukkan dalam tabel 10.1, bisa dianalogikan sebagai barang atau benda, yang dijelaskan dalam uraian berikut. Di aras mikro, perilaku memburu rente bisa diandaikan sebagai bendungan yang bocor, dalam bahasa Jawa disebut kriwikan, atau sebagai barang atau benda adalah benda yang cacat (defect). Karena dianggap kecil, ia tidak diperhatikan atau bahkan diabaikan. Kesalah-kaprahan yang dilakukan oleh 1 atau sedikit orang, seperti membakar sampah, melepasliarkan hewan piaraan, naik kendaraan bermotor bagi anak di bawah umur, tinggallah sebagai tindakan salah kaprah. Kerusakannya kecil, sehingga bisa diabaikan.

Dalam aras yang lebih besar (meso), kebocoran atau kriwikan

itu tentu semakin besar, sebagai efek akumulasi, menjadi benthet atau retak (cracking). Ingat dalam bab 9 disebutkan bahwa perilaku yang mengutamakan ‘enak, mudah dan cepat’ itu bersifat menular, maka pada aras meso ini tingkat kerusakannya semakin membesar dan sudah sangat signifikan untuk diatasi. Namun, karena para elit aras ini sibuk dengan urusan sendiri atau bahkan, dalam studi ini, menjadi pelaku perusakan (memburu rente) itu, maka kerusakan akibat PM R itu cenderung diabaikan juga.

(11)

IM PLIKASI

Studi ini telah menunjukkan bahwa perilaku memburu rente telah, sedang, dan tampaknya akan terus dilakukan oleh berbagai agensi (individu, perusahaan, lembaga) di semua ranah (sphere) masyarakat sipil, baik di ranah negara, pasar, publik maupun privat. Perilaku ini berdampak pada keuntungan, baik materiil (uang atau barang) maupun non-materiil (pekerjaan atau keringanan/pembebasan hukuman), bagi mereka, tetapi merugikan masyarakat atau kepentingan umum. M anufer berbagai agensi dari ranah privat dan pasar untuk mempengaruhi para agensi di ranah publik dan ranah negara, sering kali disertai dengan tiga unsur penting, yaitu suap, persekongkolan atau kongkalikong, dan mengutamakan saudara, teman, dan kelompok, atau secara populer disebut sebagai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

I mplikasi Kebijakan

Setelah studi ini menemukan sesuatu atau merasa menemukan sesuatu, seperti diungkapkan pada bab-bab sebelumnya dan diulas kembali dalam seksi sebelumnya, pertanyaan berikut yang sering muncul adalah “selanjutnya apa”? Seksi berikut adalah upaya untuk menjawab pertanyaan ini.

(12)

Namun, masyarakat umum sudah menyadari bahwa penyebab utama dari tingginya tingkat korupsi di negara ini (ranking 118 dari 174 negara di tahun 2012) adalah rendahnya kesadaran dan ketaatan hukum para penyelenggara negara. Budiarto Shambazy (2013) menggambarkan para parasit itu ke dalam anekdot ‘trias corruptica’, dengan memodifikasi sebutan 3 cabang kekuasaan negara itu menjadi ‘legisla-thieves, execu-thieves, dan judica-thieves’. Hal ini menandakan bahwa masalahnya justru terletak pada kualitas aparat negaranya. Di dalam banyak kasus, para birokrat negara tidak jarang justru menjadi pemeras atau parasit bagi masyarakat yang seharusnya diabdi. M ereka menjadi seperti pagar makan tanamannya sendiri. Piliang (2013) memberi nama Parasit Hukum bagi para hakim yang telah terbukti memperjual-belikan keadilan, seperti mantan Ketua M ahkamah Konstitusi yang ditangkap tangan oleh KPK pada awal Oktober 2013 lalu.

Oleh karena itu, resolusi yang bisa ditawarkan, atau lebih tepatnya, yang bisa diingatkan adalah sebuah resolusi normatif (atau barangkali bisa dianggap sebagai lib service, karena semua orang sudah tahu), yaitu:

Pertama, “hancurkan lingkaran setan KKN”, melalui salah satu alternatifnya, yaitu sistem rekrutmen aparat negara dan para pejabatnya secara obyektif dan transparan berdasarkan asas meritokrasi, yang harus bebas dari KKN pula. Di sini diperlukan pemimpin yang tegas, jujur, bersih, kreatif dan bebas dari kepentingan kelompok primordial tertentu. Sistem lelang jabatan seperti yang dipraktikkan di DKI Jakarta adalah salah 1 contoh, yang telah menghasilkan para pejabat yang lebih baik kinerjanya daripada para pejabat yang dipilih dengan cara sebelumnya.

(13)

melakukan tugas eksekutif, seperti menerbitkan SI M dan mengurus berbagai perlengkapan kendaraan bermotor. Di Australia tugas ini dilakukan oleh Department of Road and Transport atau Departemen Perhubungan di Indonesia. Kepolisian, sebagai lembaga negara, termasuk Korlantas (Korps Lalu Lintas) di dalamnya, semestinya bertindak sebagai penegak hukum lalu lintas saja.

UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, yang kini sedang berlaku, juga memberi kekuasaan ‘mutlak’ kepada Polri untuk menyusun berbagai Peraturan Kapolri yang belum diatur secara jelas dalam UU itu. Salah 1 blunder yang tampaknya sengaja dimasukkan dalam UU ini adalah Pasal 81(5): c, tentang syarat lulus ujian (SIM ) adalah [a] ujian teori, [b] ujian praktik, dan/atau [c] ujian keterampilan melalui simulator. Ujian teori dan praktik untuk mendapatkan SIM adalah proses universal di semua negara, dan keduanya, kalau dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sudah cukup untuk menguji keterampilan atau kompetensi para pemohon.

Ketiga, kalau tidak mungkin untuk menempatkan Polri ke Bidang Yudikatif dan membebaskannya dari tugas-tugas eksekutif, maka sistem penerbitan SIM harus direkayasa sedemikian rupa supaya SIM yang diterbitkan benar-benar menjadi artefak anti korupsi seperti diungkapkan oleh Sarwono (2013). Sayangnya, hal ini bisa tercapai, jika dan hanya jika, para aparat yang bertugas untuk memroses pencetakan SIM tidak terkontaminasi oleh mental calo seperti yang sekarang mendominasi proses itu.

I mplikasi M etodologis

(14)

oleh Diskusi Kelompok Terfokus, W awancara M endalam, dan Observasi Langsung maupun Observasi Partisipatif. Semua cara itu telah dilakukan seteliti dan sehati-hati mungkin untuk memperoleh informasi yang akurat. Namun, kami menemui beberapa kelemahan yang bisa diperbaiki dalam penelitian selanjutnya.

Data tentang modal sosial, misalnya, yang berhubungan dengan Profil Rumahtangga dan Profil Lembaga dikumpulkan melalui non-random survey, yaitu berdasarkan accidental sampling atau

convenience sampling. Anggota komunitas yang dicacah hanyalah rumahtangga yang berhasil ditemui oleh para asisten peneliti selama bulan Juni 2010. M etode pengumpulan data dengan cara ini, meskipun

justified menurut konteks waktu dan tempat, memiliki kelemahan dalam memenuhi unsur data yang baik, yaitu acak (random) dan mewakili semua unsur (representative). Akibatnya, studi ini hanya mampu menghasilkan beberapa indikasi, bukan generalisasi, tentang modal sosial komunitas.

Usulan resolusi bagi penelitian selanjutnya adalah [1] apabila tetap menggunakan survei, kiranya lebih baik apabila menggunakan teknik sampling yang mengakomodasi kedua unsur keacakan (randomness) dan keterwakilan (representativeness), seperti sampling acak sistematis (systematic random sampling); [2] sensus rumahtangga adalah resolusi yang paling baik bagi pengumpulan data, khususnya di suatu komunitas yang tidak terlalu besar. Sensus ini akan membebaskan data dari adanya kesalahan sampling (sampling error), apalagi kalau data itu kemudian akan dianalisis secara kuantitatif.

(15)

persoalan efisiensi dengan prinsip bertanyalah hanya tentang informasi yang dibutuhkan, tidak lebih tidak kurang. Ketiga, pilot survey juga bermanfaat untuk merumuskan berbagai kode terhadap alternatif jawaban yang kelak digunakan untuk proses pengolahan data, mulai dari pemberian kode (coding), mengentri data (entrying), membersihkan data (cleaning), dan analisis (analysing). Implikasi dari kelemahan ini kiranya jelas, yaitu selalu dimulai dengan penelitian pendahuluan (pilot survey) untuk melancarkan proses penelitian.

Prinsip trianggulasi sumber dalam studi ini kurang terpenuhi secara optimum, karena tidak semua pemangku kepentingan (stake holders) berhasil diwawancarai. Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan di bawah standar yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, sebaiknya tidak hanya diteliti dari sudut pandang beberapa lulusan dan beberapa pengajar, tetapi juga pimpinan dan pengurus yayasannya.

Resolusi yang bisa saya usulkan bagi penelitian selanjutnya adalah memetakan dan mewawancarai wakil dari semua pemangku kepentingan. Bahkan, apabila memungkinkan, peneliti juga perlu mewawancarai komponen masyarakat yang pro maupun kontra terhadap fenomena yang sedang diamati. Dengan cara demikian pendapat, sikap maupun praktik dari semua pemangku kepentingan di dalam suatu fenomena yang diamati bisa menghasilkan gambaran yang lebih holistik.

(16)

Implikasi bagi penelitian selanjutnya kiranya jelas, bahwa wanita harus dimasukkan sebagai partisipan yang sama pentingnya dengan laki-laki. Terlebih lagi, apabila kesetaraan jender belum terjadi di tengah komunitas yang diteliti, FGD terpisah perlu diadakan khusus untuk para partisipan wanita. Hal ini seirama juga dengan perkembangan sistem pencari penghasilan rumahtangga yang telah bergeser dari satu orang pencari nafkah (singlebread winner system) menjadi dua orang pencari nafkah (double bread winner system).

Selanjutnya, prinsip metode campuran (mixed methods) antara deduktif kuantitatif dan induktif kualitatif dalam studi ini kiranya baru kelihatan dalam metode pengumpulan data, belum ditunjukkan dalam metode analisis datanya. Oleh karena itu, bagi penelitian selanjutnya sangat dianjurkan, sedapat mungkin, untuk menggabungkan kedua metode ini. Konsekuensinya, cara berfikir holistik (menyeluruh) harus sudah diterapkan di dalam proses penelitian, mulai dari pra-proposal, proposal, pengumpulan data, pengolahan data sampai dengan analisisnya. Saya meyakini bahwa metode campuran ini tidak hanya akan memperkaya referensi bagi seluruh anggota komunitas ilmiah dalam memahami fenomena apa pun yang diamati, tetapi juga bisa membantu menyatukan kembali dua mazhab (yang saling mengklaim dirinya paling ilmiah dan paling penting), yang telah dipisahkan oleh tembok egoisme masing-masing. Bukankah keduanya merupakan dua sisi mata uang dari satu koin yang sama?

I mplikasi Teoritis

Terlepas dari berbagai kelemahan studi, interpretasi kami terhadap data empiris dalam studi ini telah menghasilkan beberapa proposisi atau hipotesis atau konsep berikut, yang perlu untuk ditindaklanjuti juga dengan penelitian lebih lanjut:

(17)

mewakili sisi permintaan. Kemudian, tatkala menelusuri berbagai proses memburu rente melalui FGD, wawancara mendalam, dan pengamatan langsung, studi menguatkan hubungan patron-klien itu. Patron adalah pihak yang berkuasa untuk menentukan bagaimana aturan main itu dilakukan, dan klien adalah pihak yang tidak bisa memilih kecuali mengikuti apa yang dikehendaki oleh patron. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara patron dan klien dalam proses memburu rente ini kemudian kami kategorikan ke dalam pemburu rente aktif (patron) dan pemburu rente pasif (klien).

Pemburu rente aktif adalah pihak yang mendesain bagaimana transaksi itu terjadi dan menjadikan pemburu rente pasif menghadapi 2 pilihan dikotomis yang tidak seimbang, antara cepat atau lama, mudah atau sulit, dan enak atau susah. Karena pilihannya ada 2 antara ‘cepat, mudah, enak’ versus ‘lama, sulit, susah’, maka klien cenderung untuk mengambil pilihan pertama. M enurut prosedur operasi standar (SOP) proses pengadaan barang dan atau jasa itu seharusnya hanya 1 skenario, yaitu relatif lebih ‘lama, sulit dan susah’. Para patron sebenarnya terikat pada sumpah untuk melaksanakan proses pengadaan barang dan atau jasanya menurut SOP, tetapi karena mereka memiliki pamrih atau dalam bahasa Jawa melik, dan melik iku nggendhong lali (pamrih itu membawa lupa), maka para patron itu melupakan sumpahnya dan melaksanakan pekerjaan mereka di bawah SOP.

(18)

Tabel 10.2. Klasifikasi Pemburu Rente menurut M odus dan Ranah

Sumber: Ditabulasi-silangkan dari Gambar 1.1 (Janoski, 1998).

Kelompok minoritas memiliki modal sosial lebih tinggi daripada kelompok mayoritas. Ketika sedang berupaya untuk mencari penjelas mengapa ada sedikit orang yang bersikap anti KKN dan belum pernah melakukannya, studi ini mengidentifikasi adanya kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Agensi dari kelompok minoritas cenderung memiliki modal sosial baik (good social capital) yang lebih tinggi daripada agensi dari kelompok mayoritas. Hal ini mungkin berhubungan dengan mentalitas ‘aji mumpung’ para elit dari kelompok mayoritas untuk mendapatkan kekuasaan (politik dan ekonomi) bagi dirinya dan kelompoknya, dengan mengabaikan atau bahkan menyingkirkan kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas mungkin menyadari keminoritasannya sehingga memacu mereka untuk lebih terlibat dalam kelompoknya dan menekankan diri kepada kualitas hidup. Studi sebelumnya di komunitas lain juga menengarai

2 The state sphere involves legislative (law making), executive (law implementing), and

judicial (law and constitution evaluating) (1998: 12).

3 Public sphere is the most important but difficult item to classify because it involves a

wide range of organizations. There are at least 5 types of voluntary associations operating in the public sphere: political parties, interest groups, welfare associations (a complex category in its own right), social movement, and religious bodies (1998: 14).

4 The market sphere consists of private and a few public organizations that are angaged

in the instrumental creation of income and wealth through the production of goods and services. This includes private firms and corporations engaged in business activities, and necessarily this also includes institutions that are directly involved in this process. It also includes stock markets, employer federations, professional associations, consumer groups, and the trade unions (1998: 14).

5 The private sphere consists of family life, networks of friends and acquaintances, and

(19)

bahwa kelompok minoritas cenderung memiliki modal sosial yang lebih tinggi daripada kelompok mayoritas (Setyaningrum, 2013).

Perilaku memburu rente sebagai perjuangan status (status game). M engamati berbagai agensi pemburu rente, terutama dari sudut pandang status sosial ekonomi (SSE) mereka, studi ini melihat bahwa keterlibatan mereka dalam PM R didorong oleh gradasi keinginan untuk tetap hidup (survival), kenyamanan (comfort), atau kenikmatan (pleasure). Jadi, PM R sebenarnya dilakukan untuk memperjuangkan status (status game). Dalam perjuangan mereka itu para agensi (dalam ranah privat, negara, publik dan pasar) cenderung berpikir, bersikap dan bertindak hedonis, yaitu lebih mementingkan yang ‘Enak, M udah, dan Cepat’, daripada mendahulukan yang ‘Baik dan Benar’ menurut aturan main. Prinsip ‘enak, mudak dan cepat’ ini didukung oleh sekurangnya 3 konsep, yaitu permisif terhadap kesalahan (permissive), mengabaikan aturan main dan orang-orang atau pihak yang dirugikan (ignorance), sekaligus menggiring pihak lain menjadi pihak yang lemah (disable atau powerless) seperti dalam hubungan patron – klien. Proposisi ini, menurut saya, menjadi penjelas penting bagi menjamurnya perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Kampung Papringan maupun Kota Adikarta. Oleh karena itu, banyak penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi atau menegasi proposisi ini.

(20)

yang semakin membesar dan dalam jangka panjang akhirnya menjadi

grojogan.

Perilaku memburu rente sebagai masalah kelembagaan. Studi ini telah mengenali bahwa perilaku memburu rente telah terjadi dalam jangka panjang, mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, sampai Orde Reformasi sekarang ini. Salah satu persamaan yang diperjuangkan oleh masyarakat dari berbagai jaman itu adalah perjuangan untuk memperbaiki status, melalui penguasaan berbagai jenis modal, yang oleh Bourdieu dibedakan menjadi modal ekonomi (uang dan harta), modal sosial, modal budaya dan modal simbolik (pendidikan).

(21)

Uraian di atas, yang diringkas kembali dari bab 9, adalah suatu cara pandang yang ditawarkan oleh studi ini untuk memahami perilaku memburu rente. Cara pandang ini merupakan varian dari konsep W illiamson (2000), yang membagi kelembagaan menjadi 4 level. Studi ini, secara eksplisit, memisahkan antara aras teknis (how things done), aras politis (rule of the game), dan aras sosial budaya (norms, values, taboos, beliefs) dalam memahami berbagai fenomena sosial, khususnya perilaku memburu rente yang melibatkan berbagai agensi di semua ranah. Oleh karena itu, studi selanjutnya perlu mengkritisi dan memperbaiki konsep ini supaya dapat dioperasionalisasikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, atau sebaliknya dianulir dan dibuang ke tempat sampah.

Selanjutnya, seandainya kita ini benar-benar berada di dunia neoklasik, maka manusia (di ranah privat dan di pasar) itu, semestinya berfikir rasional dan bertindak demi kesejahteraannya sendiri (self interested). Sedangkan berbagai agensi di ranah negara dan publik, di sisi lain, diandaikan memiliki sifat benevolens, yang berpikir dan bertindak untuk dan hanya demi kebaikan bersama. Tetapi, studi ini telah menunjukkan bahwa negara dan publik ternyata tidak selalu berpikir dan bertindak demi kebaikan bersama. Aktor-aktor dalam kedua ranah ini, telah, sedang, dan tampaknya akan terus berperilaku sebagai predator atau bahkan parasit bagi masyarakat untuk kemakmuran diri dan kelompoknya. Dalam proses memburu rente itu dipaparkan bahwa berbagai agensi (representasi dari aktor di 3 ranah) mendesain sistem, tepatnya sistem alternatif, untuk memperoleh penghasilan ekstra melalui rekayasa (kongkalikong) di aras teknis (pelaksanaan), di aras politik (perumusan peraturan atau kebijakan), dan bahkan di aras sosial budaya dengan menyalahgunakan budaya (norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan) sebagai sumber acuan untuk keuntungan kelompoknya sendiri.

(22)

mengambang atau istilah dalam studi ini ‘tergantung situasi dan kondisi’, dan sekitar 10 – 15 persen di sebelah kanan adalah sub-populasi yang anti-KKN atau anti-PM R. M emperhitungkan berbagai alasan yang disampaikan oleh para pihak yang terlibat dalam PM R, baik dari sudut permintaan maupun penawaran, ternyata bisa diabstraksikan sebagai mentalitas terabas dengan pedoman “enak, mudah dan cepat”. Lalu, mentalitas ini terbukti memiliki efek demonstrasi, dalam arti semakin banyak orang yang meniru untuk berperilaku yang sama. Konsekuensinya, distribusi populasi yang semula normal kemudian menjadi miring ke kiri, karena semakin banyak orang yang semula mengambang, kemudian menjadi pro-KKN atau pro-PM R.

Akibatnya, negara ini masuk ke dalam istilah yang dicetuskan oleh Krueger tahun 1974, yaitu sebagai masyarakat pemburu rente (rent seeking society) atau masyarakat yang koruptif, kolutif, dan nepotif. Hal ini juga didukung oleh data tentang ranking korupsi negeri berdasar Pancasila ini yang masih menjulang tinggi. Tahun 2005 Indonesia berada pada ranking 137 bersama 6 negara lain dari 158 negara yang disurvei, tahun 2008 berada pada peringkat 126 bersama 7 negara lain dari 180 negara yang disurvei, dan tahun 2012 berada pada urutan 118 bersama 4 negara lain, dari 174 negara yang disurvei (Transparency International, 2012: 21).

(23)

banyak pertanyaan yang masih menanti untuk dijawab dalam sejumlah penelitian lanjutan yang tidak ada batasnya.

Gambar

Tabel 10.1. Tujuan Penelitian, Cara Mengumpulkan Data dan Temuan Studi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Apabila Saudara tidak hadir atau tidak dapat menunjukan dokumen asli kualifikasi sesuai dengan apa yang diupload pada aplikasi SPSE, sampai dengan waktu tersebut

[r]

[r]

[r]

[r]

Durian Sebatang (Lapen) Kec.. M.Si