TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HITUNGAN WETON DALAM PELAKSANAAN TAJDI<DUN NIKA<H
(Studi kasus di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban)
SKRIPSI
Oleh :
MUHAMMAD YUDA NIM : C71213130
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
Abstrak
Skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton
Dalam Pelaksanaan Tajdi>><dun Nika<h (Studi Kasus di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban) merupakan penelitian yang dilakukan di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban‛. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana praktik hitungan weton dalam pelaksanaan tajdi<dun nikah masyarakat Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban?Bagaimana pendangan hukum Islam terhadap hitungan weton bagi masyarakat Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban dalam melaksanakan tajdi<dun nikah?
Data penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi dokumen dan wawancara. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, dimana penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif dan menggunakan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi hitungan weton merupakan sebuah sistem hitungan dalam kalender orang Jawa yang dilakukan untuk mengetahui masa depan yang mungkin terjadi dan dilakukan sebelum perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hitungan weton diperbolehkan dalam agama Islam, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan akidah dan syariat dalam hukum Islam. Terlepas dari prinsip halam haram dalam Islam weton termasuk dalam bidang Adat dan Muamalat dengan kaidah fiqih: pertama, Adat prinsip dasarnya segala sesuatu itu boleh untuk dikerjakan, kecuali yang memang telah diharamkan. Kedua, Muamalat prinsip dasarnya adalah asal segala sesuatu itu adalah halal, tidak ada yang haram kecuali jika ada nash yang shohih dan sharih dari pemilik Syariat Allah SWT, dengan demikian tradisi tersebut mendapatkan pengakuan dari syarak sebagai bentuk keefektifan adat istiadat dalam interpretasi hukum.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Latar belakang maslah……….……….. 1
Identifikasi Masalah………... 6
Batasan Masalah……… 6
Rumusan Masalah……….. 7
Kajian pustaka……… 7
Tujuan Penelitian……….. 9
Keguaan Hasil Penelitian………... 9
Definisi Operasional……… 10
Metode penelitian……….... 11
Sistematika Pembahasan………... 15
Bab II Tinjaun umum tentang Tajdiun Nikah dan Hitungan weton A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan...17
2. Hukum perkawinan...18
3. Rukun dan Syarat Pernikahan... 20
4. Tujuan Pernikahan... 22
B. Tajdidun Nikah 1. Pengertian Tajdi>dun Nik<ah... 24
2. Tajdi>>dun nika<h menurut Ulama... 25
4. Hukum Tajdi>dun Nik<ah... 27
C. Hitungan weton 1. Sejarah singkat kalender Jawa... 33
2. Kelender Jawa... 34
3. Perhitungan weton dan penetapan akad nikah... 38
D. Hukum Islam (Al Urf ) 1. Pengertian Urf... 42
2. Macam –macam Urf... 44
3. Kehujjahan Urf ... 45
Bab III Gambaran Umum Kondisi Masyarakat Desa Ngandong A. Gambaran umum desa Ngandong 1. Kondisi Geografis Desa Ngandong... 47
2. Demografi Desa Ngandong... 48
3. Pendidikan Masyarakat Desa Ngandong... 49
4. Sosial keagamaan... 49
B. Tradisi Pelaksanaan Weton Dalam Perkawinan Di Desa Ngandong 1. Pandangan tokoh masyarakat terhadap weton... 50
2. Pelaksanaan hitungan weton dalam tajdidu<n nika<h ... 54
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton... 68
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
1. Prakrik pelaksanaan tajdidun nikah...72
2. Analisis hukum Dalam hukum Islam pelaksanaan hitungan
weton... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna, karena segala macam pernik
kehidupan mahluk hidup termasuk kehidupan manusia itu telah diatur secara
terperinci oleh agama Islam. Termasuk di dalamnya mengenai hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Kehalalan antara hubungan laki-laki dan perempuan
haruslah ditempuh dengan cara sah, yaitu pernikahan.
Penikahan menurut Undang- Undang No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.1 Maka dengan adanya
pernikahan, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang asal mulanya dilarang
oleh syariat Islam menjadi boleh dilakukan. Rasulullah SAW telah menjelaskan
bahwa pada kenyataannya nikah itu tidak hanya sekedar akad, akan tetapi setelah
pelaksanaan akad si pengantin harus menikmati dari akad tersebut.
Sebagaimana dimungkinkan terjadinya proses perceraian setelah
dinyatakan akad nikah tersebut. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki terhadap perempuan antara seorang suami terhadap istrinya
1
2
dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang saki>nah mawaddah
warah}mah.2
Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebgai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya. Setelah
masing-masing siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan
tujuan perkawinan.3 Sebagimana firman Allah SWT QS: An-Nisa ayat 1:
Artinya:
‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, lalu ia jadikan dari padanya jodohnya, kemudian dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali‛.4
Adapun pentingnya perkawinan bagi manusia, khususnya umat Islam
adalah sebagai berikut:
1. Melakukan perkawinan dapat membentuk keluarga dimana dalam
kehidupan tersebut dapat terlaksana dengan damai dan tentram serta
kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami dan istri
2. Perkawinan yang sah, dapat dapat diharapkan memperoleh keturunan
yang sah dalam masyarakat, sehingga kelangsungan hidup keluarga dan
keturunnnya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih
2 Sri Mulyati, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2004), 1. 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 6, ( Bandung : Alma’arif, 1990), 9
3
3. Terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang
merupakan inti dalam kehidupan bermasyarakat
4. Melaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Al- Quran dan Rasul merupakan Ibadah bagi orang
Islam.5
Mengingat begitu pentingnya peranan keluarga dalam kehidupan,
Islam memberikan anjuran kepada umatnya dalam hal pemeilihan
jodoh, yaitu: (a) keturunan(nasab) (b) harta (c) kecantikan (d) Agama.
Konsep ini sebagaimana dalam hadis Nabi :
َف َاهِنْيدِلَو َاَِِامََِِو َاهِبَسََِِو َاَِِامِل ٍعَبْرَِِ ُةَءْرَمْلا ُحِكْنُ ت
ا ْظ
تَبِرَت ِنْيِدلا ِتَاذِب ْرَف
َكَادَي
Artinya:
‚Wanita itu lazimnya dinikahi karena empat hal : karena hartanya keturunanya karena kecantikanya, karena agamanya, maka pilihlah
wanita karena agamanya({jika tidak) maka binasalah engkau‛{6
Karena begitu pentingnya pernikahan, tidak heran di setiap daerah
mempunyai tradisi sendiri yang sudah menjadi budaya dan mesti dilakukan
sebelum melangsungkan pernikahan. Salah satu tradisi orang tua di sebagian
masyarakat Jawa dan Madura terutama yang masih tinggal di daerah pedalaman
dan pedesaan adalah dalam menentukan calon jodoh atau pasangan hidup bagi
anaknya. Umumnya, masyarakat Jawa dan Madura masih tergantung
menggunakan patokan hitungan tanggal lahir yang disebut dengan weton yang
mempunyai arti penjumlahan hari-hari dalam seminggu (Senin, Selasa, Rabu,
5 Soemiati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, ( Yogyakarta: Liberti,
1999), 4.
4
Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad) dan hari dalam pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon,
Wage, Kliwon).7 Berikut hitungan hari dengan pasaranya:8
Hari Pasaran
Ahad = 5
Senin = 4
Selasa = 3
Rabu = 7
Kamis = 8
Jumat = 6
Sabtu =9
Legi = 5
Pahing = 9
Pon = 7
Wage = 4
Kliwon= 8
Pelaksanaan perhitungan diawali dengan hari kelahiran kedua mempelai
sehingga menemukan formula dalam akad pernikahan. Akan tetapi, ada kalanya
terdapat perhitungan yang tidak sesuai dengan keingingan pihak keluarga maka
dikemuadian hari dengan adat setempat diadakan tajdi>dun nika>h. Dalam
keyakinan mereka ketika tidak melaksanakan akan berdampak negatif bagi
keluarga mereka.
Dengan tujuan ketika melaksakan tajdi>dun nika>h adalah dalam rangka
menambah kebaikan dan unsur-unsur kehati-hatian untuk menjaga keharmonisan
dan kelanggengan berumahtangga. Unsur kehati-hatian inilah yang dipercaya
oleh sebagian masyakat khususnya masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong
7Ki Hudoyo Doyodipuro, Horoskop Jawa Misteri Pranata Mangsa (Semarang: Dahara prize,
1995), 3.
8 Http/Hitungan Perjodohan Pernikahan Berdasarkan Weton Jawa - INSAN CITA
5
Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban. Masyarakat Dusun Secang Desa
Ngandong secara umum adalah masyarakat yang memegang erat tradisi hitungan
weton sebagai tradisi dalam melaksanakan perkawinan, termasuk dalam
melaksanakan tajdi<dun nika>h.
Contoh perkawinan yang dilaksaanakn oleh pasangan Adi Rianto dan
Rini, sebagai salah seorang pasangan suami istri di Desa Ngandong. Pada awal
melangsungkan akad nikah secara hitungan weton dalam tradisi masyarakat
setempat kurang tepat dalam pelaksanaanya. Perhitungan weton dalam
praktiknya yakni menghitung hari kelahiran dari kedua calon mempelai, sehingga
menemukan hari yang tepat dalam hitungan weton untuk melangsungkan akad
nikah. Maka dari itu dengan tradisi tersebut harus melangsungkan pernikahan
lagi atau dalam istilah fikih disebut sebagai tajdi<dun nika>h, untuk itu penulis
tertarik untuk meneliti lebih dalam praktik perhitungan weton yang telah
mendarah daging dalam masyarakat dan bagaimana hukum Islam memandang
tradisi penyelenggaraan hitungan tersebut dalam melaksanaakn tajdi<dun nika<h.
Dengan demikian penulis akan menelaah permasalahan diatas dengan judul
‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton dalam Pelaksanaan Tajdi>><dun
Nika<h Di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten
6
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka dilakukan idenifikasi dan
batasan masalah sebagai berikut:
1. Deskripsi tentang hitungan weton
2. Praktik hitungan weton dalam perspektif masyarakat
3. Pengertian dan cara pelaksanaan tajdi<dun nika>h
4. Tinjauan Hukum Islam terhadap hitungan weton dalam pelaksanaan tajdi<dun
nika>h
C. Batasan Masalah
Pokok masalah diatas meliputi berbagai aspek bahasan yang masih
bersifat umum sehingga dapat terjadi berbagai macam masalah dan pemikiran
yang berkaitan dengan itu, sebagai tindak lanjut agar lebih praktis dan khusus
diperlukan batasan masalah yang meliputi:
1. Deskripsi praktik hitungan weton bagi masyarakat terhadap pelaksanaan
tajdi<dun nika>h
2. Tinjauan Hukum Islam terhadap hitungan weton dalam melaksanakan
tajdi<dun nika>h
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka masalah penelitian
7
1. Bagaimana praktik hitungan weton dalam pelaksanaan tajdi<dun nikah
masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten
Tuban?
2. Bagaimana pendangan hukum Islam terhadap hitungan weton bagi masyarakat
Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban dalam
melaksanakan tajdi<dun nikah?
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran
hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin
pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada
pengulangan materi secara mutlak.
Untuk mengetahui validitas penelitian yang penulis lakukan, maka dalam
kajian pustaka ini, penulis akan menguraikan beberapa skripsi hasil para sarjana
syariah, yang mempunyai kemiripan tema tetapi perspektif bahasannya berbeda.
Hal ini penting untuk bukti bahwa penelitian ini merupakan penelitian murni,
yang jauh dari upaya plagiat. Adapun skripsi tersebut adalah :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Wiamul Umam pada tahun 2002 yang ditulis
dalam bentuk skripsi dengan judul ‚ Studi tentang persepsi pelaku Tajdidun
Nikah di Desa Ketetang Kecamatan Kwanyar Kebupaten Bangkalan terhadap
Tajdidun Nikah dalam membentuk keluarga sakinah‛ dalam penelitian ini
membahas tentang pelaku seorang tajdidun nikah dalam pendagan seorang
8
mereka yakini untuk mendatangkan ketentraman, menambah barokah dan
keharmonisan rumahtangga mereka.9
2. Penelitin dilakukan oleh Zubaidiyah pada tahun 2004 yang ditulis dalam
bentuk skripsi dengan judul ‚ Persepsi Masyarakat Muslim Desa Ngaseh
Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro tentang hitungan weton antara
calon suami istri terhadp keharmonisan rumah tangga: perspektif hukum
Islam‛ dalam penelitian ini membahas tentang hitungan weton dalam
menentukan pasangan calon suami dan istri dalam rangka menjaga tradisi
secara turun temurun yang mereka yakini bahwa bila hitungan weton tersebut
tidak dilakukan akan menimnbulkan musibah sakit, macetnya rizki, terjadi
pertengkaran terus menerus, cerai atau mati bagi orang yang tidak
menggunakann maupun keluarganya sedangkan dalam pandangan Islam tidak
didapati dengan jelas dalam hukum Islam.10
3. Ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zulfa Nailynnajah pada tahun
2011 yang ditulis dalam bentuk skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Motivasi pengulangan Perkawinan di Kelurahan Jemurwonosari
Kecamatan Wonocolo Surabaya‛. Dalam penelitian ini membahas tentang
pengulangan perkawinan karena ada dugaan gendam dalam perkawinan
tersebut namun hal itu tidak dapat dibuktikan secara nyata karena itu adalah
ghaib. Tidak diketahui pasti kebenarannya, akan tetapi hal ini yang
9
Wiamul Umam, “Studi tentang persepsi pelaku Tajdidun Nikah di Desa Ketetang Kecamatan Kwanyar Kebupaten Bangkalan terhadap Tajdidun Nikah dalam membentuk keluarga sakinah” (Skripsi-- IAIN Surabaya, 2002)
10
9
menjadikan wali tidak yakin dengan sahnya perkawinan yang pertama,
walaupun rukunnya telah terpenuhi.11
Sedangkan penelitian yang akan dibahas pada proposal ini berbeda dengan
penelitian terdahulu di atas yaitu ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan
Weton dalam Pelaksaan Tajdi>><dun Nika<h Di Dusun Secang Desa Ngandong
Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban‛ Dimana penulis akan membahas
tentang tinjauan hukum Islam terhadap hitungan weton dalam pelaksanaan
tajdi<dun nika>h dimana penulis akan meneliti motivasi dan pentingnya hitungan
weton sehingga melangsungkan tajdi<dun nika<h.
F. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan hitungan weton dalam praktik tajdi<dun nika<h
masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten
Tuban
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap hitungan weton bagi
masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten
Tuban dalam melaksanakan tajdi<dun nika<h
G.Kegunaan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagai
berikut:
1. Secara Teoretis, hasil penelitian ini diharapakan berguna bagi pembangunan
Ilmu pengetahuan dan menambah wawasan pembaca pada umumnya, dan
11Zulfa nailynnajah, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Motivasi Pengulangan Perkawinan di
10
khususnya bagi seluruh mahasiswa yang berkecimpung dalam bidang Ahwal
As-Syakhsiyah yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan Tajdi<dun Nikah
karena faktor hitungan weton Jawa
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapakan dapat memberi sumbangsih
keilmuan khususnya dalam pelaksanaan tajdi<dun nikah pada masyarakat Islam
di Indonesia dengan perhitungan weton Jawa
H. Definisi Operasional
Dalam memahami judul skripsi perlu adanya pendefinisian judul secara
operasional agar dapat diketahui secara jelas judul yang akan penulis bahas dalam
skripsi ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton dalam pelaksanaan
Tajdi>><dun Nika<h Di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan
Kabupaten Tuban‛
Agar menghindari terjadinya kesalah-pahaman dalam pengertian maksud
dari judul di atas, maka penulis memberikan definisi yang menunjukkan ke arah
pembahasan sesuai dengan maksud yang dikehendaki, dengan maksud dari judul
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukum Islam : Seperangkat peraturan yang dirumuskan berdasar Al-Quran,
As-sunnah dan ijtihad para ulama ( Urf)
2. Tajdidun Nikah : Melaksanakan akad nikah yang kedua kalinya (bukan rujuk)
untuk memperbarui akad nikah yang pertama.
3. Hitungan Weton : Merupakan tradisi hitungan jawa yakni hitungan hari dan
11
I. Metode Penelitian
Metode sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan agar sebuah karya ilmiah (dari suatu penelitian)
dapat mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dengan
menggunakan metode ilmiah.12 Adapun metode yang digunakan dalam
membahas skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan) yaitu penelitian yang
langsung terjun ke lapangan.13Penelitian ini dilakukan di Dusun Secang Desa
Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah masyarakat Dusun Secang Desa
Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban yaitu dua kasus
diantaranya adalah pasangan Mas Adi Riyanto dengan Mbak Rini dan
pasangan Bapak Taryoko dengan Ibu Murni yang terkait dalam pelaksanaan
pembaharuan akad nikah (tajdi<dun nika<h) disebabkan karena hitungan weton
yang kurang baik. Adapun pemilihan sasaran penelitian di daerah tersebut
adalah:
a. Kasus yang menjadi obyek penelitian yakni tentang hitungan weton dalam
pelaksanaan tajdi<dun nika<h tersebut, terjadi secara nyata di Dusun Secang
Desa Ngandong Kecamatan Granagan Kabupaten Tuban
12Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 51-52
.
12
b. Pihak-pihak yang menjadi obyek penelitian yakni dalam ini Mas Adi
Riyanto dengan Mbak Rini adalah masih merupakan keluarga peneliti
sedangkan obyek yang lainnya merupakan kerabat dan tetangga peneliti
oleh karena itu, mempermudah penelitian ini
c. Wilayah Desa tersebut merupakan daerah kelahiran peneliti. Sehingga telah
tercipta komunikasi yang baik dalam melakukan penelitian ini. Mengingat
penelitian ini adalah studi kasus yang membutuhkan penggalian data
secaraa mendalam
3. Data Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas maka data yang peneliti kumpulkan
adalah sebagai berikut:
a. Data mengenai gambaran umum tentang masyarakat Desa Ngandong
Kecamatan Granagan Kabupaten Tuban
b. Data mengenai status perkawinan dua pasangan yang melakukan
pembaharuan akad nikah karena hitungan weton.
c. Data mengenai proses pelaksanaan pembaharuan akad nikah karena
hitungan weton
4. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, sumber yang digunakannya itu
sumber data primer dan skunder, terdiri dari :
13
Sumber data primer adalah sumber data yang bersifat utama dan penting
yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang
diperlukan dan berkaitan dengan penelitian terdiri dari :
1). Pasangan suami istri yang melaksasnakan tajdi<dun nika<h karena faktor
hitungan weton
2). Kepala desa setempat yang mengetahui permasalahan tentang tajdi<dun
nika<h karena faktor hitungan weton
3). Tokoh masyarakat dan masyarakat setempat yang mengetahui
permasalahan tentang tajdi<dun nika<h karena faktor hitungan weton
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data dari bahan yang terkait dengan penelitian, mengumpulkan
dan meneliti data yang ada relevansinya dengan menelaah berbagai
pustaka dan media online yang mendukung sember data primer.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari masyarakat Desa
Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban. Adapun metode
pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Interview (wawancara)
Yaitu cara melakukan tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan
berlandaskan dalam tujuan penelitian, hal ini dilakukan kepada tokoh
masyarakat yakni ulama setempat dan tokoh masyaraka yang mengatahui
14
b. Dokumentasi
Penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari catatan yang
berkaitan dengan penelitian ini, sehingga penulis dapat memahami,
mencermati dan menganalisis permasalahan hitungan weton dalam
pelaksanaan tajdidun nikah berdasarkan data yang diperoleh tersebut.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan menguatkan data
kedalam pola kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditentukan
tema dan dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.14
Penelitian dalam hal ini yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu
suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dari wawancara
atau sumber-sumber tertulis. Dalam penelitian ini penulis menganalisis data
yang di dapat dengan menggunakan metode diantaranya:
a. Metode deskriptif analisis yaitu metode yang diawali dengan menjelaskan
atau menggambarkan data hasil penelitian, mengenai hitungan weton
dalam pelaksanaan tajdidun nikah
b. Pola berfikir deduktif yaitu berangkat dari premis-premis mayor atau
faktafakta umum, kemudian fakta fakta umum dimasukkan kedalam
premis khusus atau dituangkan dalam sebuah teori baru.
14Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rusda Karya, 2006),
15
J. Sistematika Pembahsan
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan dalm
beberapa bab sebagai berikut:
Bab pertama adalah penbdahuluan yang memuat latar belakang masalah,
rumusan masalah, identifikasi dan batasan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional, metode penelitian dan
sistematikan pembahasan
Bab kedua membahas mengenai teori tentang perkawinan dan tajdi>dun
nikah dan konsep perhitungan weton dalam perkawinan Jawa, yang meliputi
konsep dasar perhitungan weton dan mengenai prinsip-prinsip dalam perkawinan
yang meliputi, pengertian tajdi<dun nika<h dan hukum tajdi<dun nika<h
Bab ketiga praktek perhitungan weton dalam masyarakat Dusun Secang
Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban terhadap pelaksanaan
tajdi<dun nika<h, yang akan dibagi menjadi tiga sub bagian. Sub bagian yang
pertama mengenai pemaparan tentang kondisi geografis, kemudian sub kedua
tentang sosial keagamaan dan sub ketiga praktik dalam perhitungan weton
pelaksanaan tajdi<dun nika>h
Bab keempat analisis tinjaun hukum Islam terhadap praktik perhitungan
weton khususnya di masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan
Grabagan Kabupaten Tuban dan pengaruhnya terhadap kehidupan rumahtangga.
Sehingga dapat diketahui bagaimana pandangan Islam dan sekligus sebagai
16
Bab kelima adalah penutup berupa kesimpulan yang berisi jawaban
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TAJDI><DUN NIKA<H DAN HITUNGAN
WETON
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkainan dalam literatur fiqih bahasa arab disebut dengan dua kata yaitu
nikah dan zawaj . kedua kata ini kata yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari
orang arab dan banyak terdapat dalam Alquran dan Al-Hadits Nabi.1 Kata na- ka-
ha banyak terdapat dalam Alquran dengan arti kawin, seperti dalam surat An-
Nisa ayat 3:
Artinya :
‚Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.‛2
Demikian pula banyak pula terdapat kata zawa>j dalam Alquran dalam arti kawin,
seperti surat Al- Ahzab ayat 37 :
1Amir Syarifudin Garis- Garis Besar Fiqih, ( Bogor : Kencana, 2003),73
2 Departemen Agama RI, Al- Jumanatul ali : Alquran dan terjemah, ( Bandung : CV Penerbit j-
18 Artinya :
‛Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.‛3
Secara arti kata nikah atau zawa>j berarrti ‚bergabung‛, ‚hubungan
kelamin‛ dan juga ‚akad‛. Dalam arti terminologis yakni akad atau perjanjian
yang mengandung maksud membolehkan hubunganh kelamin dengasn
menggunaikan lafazd na-ka-ha atau za- wa- ja.4 Adapun dalam istilah hukum
syariat, nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai suami istri
(termasuk hubungan seksual) antara seorang laki- laki dan seoerang perempuan
bukan mahram yang memenuhi persyatratan tertentu, dan menetapakan hak dan
kewajiban masing- masing demi membangun keluarga secara lahir dan batin.5
2. Hukum Perkawinan
Dalam fikih sunnah karangan Sayid Sabiq hukum perkawinan dibagi sebagai berikut:6
1. Wajib
Bagi yang sudah mampu untuk kawin, nafsunya telah mendesak dan takut
terjerumus dalam perzinaan wajiblah dia kawin. Karena menjauhkan diri dari
3Amir Syarifudin
Garis- Garis Besar Fiqih, 74.
4 Ibid, 74
5 M. bagir Al- hasbi, Fiqih Praktis, ( Bandung: Mizan, 2002), 3 .
19
yang haram adalah wajib, sedang untuk itu tidak dapat dilakukakan dengan baik
kecuali dengan jalan kawin. Firman Allah dalam surat An-nur :33
Artinya;
‚Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-Nya‛
2. Sunnah
Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin,
tetapi masih dapat menahan dirinya dari perbuatan zina, maka sunnah dia kawin.
Kawin baginya lebih utama dari bertekun ibadah, karena menjalani hidup sebagai
pendeta seedikit tidak dibenarkan oleh Islam. Thabrany meriayatkan dari Sa’ad
bin Abi Waqash bahwa Rasulllah SAW bersabda:
ِا َن
َللا
َا ه
ْب َد َل
َن ِبا
َرلا
ْ َب
ِنا َي ِة
ْا
َل َن
ِف َي
َة
َسلا
ْم
َح َة
Artinya:‚Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah ( kawin) kepada kita‛
Baihaqi meriwayatkan hadist dari Abu Ummah baha Nabi saw bersabda:
َ ت َز َو
ُج ْو
َفا ِا
ِنء
ُمى
َك
ِثا ٌر ِب
ُك
ُم ْا
َُ
َم َم
َو
ََ َت
ُك
ْو ُن
َكاو
ُر ْ َب
ِنا َي
ِة
َنلا
َص
َرا
ى
Artinya:‚Kawinlah kalian karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta- pendeta Nasrani‛
20
Bagi seorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya
kepada isterinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin
4. Makruh
Makruh kawin bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu
membelanjani isterinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak
mempunyai keinginan syahat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika
karena lemah syahat itu ia berhenti dari melakukan suatu ibadah atau menuntut
suatu ilmu
5. Mubah
Dan bagi laki- laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk
kawin, maka hukumnya mubah.
3. Rukun dan Syarat Pernikahan
Sahnya suatu perkawinan menurut hukum Islam dilaksanakan dengan
memenuhi syarat-syarat dan yang dimaksud dengan rukun perkawinan ialah
hakikatnya itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak
mungkin dilaksanakan. Sedang yang dimaksud syarat ialah sesuatu yang harus
21
Kalau salah satu syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu
tidak sah.7
Adapun yang termasuk rukun perkawinan, artinya hakikat dari suatu
perkawinan supaya perkawinan itu dapat dilaksanakan ialah:
1. Calon suami
Syarat dari calon suami adalah:8
a. Beragama Islam Syarat dari calon suami
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Calon istri
Syarat dari Calon istri adalah:
a. Tidak ada halangan syar’i yaitu: tidak bersuami, bukan mahram, tidak
dalam sedang iddah.
b. Merdeka, atas kemauan sendiri
c. Jelas orangnya
d. Tidak sedang ihrom haji.
3. Wali nikah
7Soemeyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang – Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty
1999), 88.
22
Syarat dari wali nikah adalah merdeka, sehat berakal dan beragama islam,
baik itu penganut Islam atau bukan seorang wali tidak disyaratkan adil, kecuali
melampaui batas-batas kesopanan yang berat.9
4. Dua orang saksi
Adapun syarat saksi yaitu :
a. Mukallaf dan dewasa
b. Muslim, orang yang bukan muslim tidak boleh menjadi saksi
c. Saksi harus mengerti dan mendegar perkataan ijab kabul.
d. Adil
e. Saksi yang hadir minimal dua orang
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang saksi yang
menyaksikan akad nikah tersebut. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
ََ ِن
َك
َحا
ِا
ََ ِب
ٍلْدَعِبَدِاَشَو َِِو
Artinya: ‛Nikah itu tidak sah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang
adil‛.10
4. Tujuan Pernikahan
Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu
yang akan melakukanya, karena lebih bersifat subyektif. Namun demikian ada
juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan
9Ibid, 33
23
melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan
lahir dan batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.11
Sabda Nabi Muhammad saw:
َف َاهِنْيدِلَو َاَِِامََِِو َاهِبَسَِلَو َاَِِامِل ٍعَبْرَِِ ُةَءْرَمْلا ُحِكْنُ ت
َكَادَي تَبِرَت ِنْيِدلا ِتَاذِب ْرَفْظا
Artinya:
‚Wanita itu lazimnya dinikahi karena empat hal : karena hartanya keturunanya karena kecantikanya, karena agamanya, maka pilihlah
wanita karena agamanya({jika tidak) maka binasalah engkau‛{12
Menurut Amir Syarifudin tujuan dan hikmah perkawinan diantaranya sebagai
berikut:13
1. Untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan
dating. Hal ini terkihat dari surat An- Nisa ayat 1:
Artinya:
‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.‛
11Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat(Bandung : CV Pustaka Setia 1999), 12
24
2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan
rasa kasih saying. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat Ar-Rum
ayat 21: Artinya:
‚Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.‛
B. Tajdi>dun Nik<ah
1. Pengertian Tajdi>dun Nik<ah
Agar lebih jelas dalam memahami pengertian tajdi<dun nika<h maka perlu
mendapatkan penjelalasan yang cukup tentang definisi tajdi<dun nika<h yang
populer dimasyarakat.
Kata tajdid dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari kata ‚ Jadda
yujaddu tajdidan. Kata- kata itu berasal dari fiil al- Madhi jaddada yang
bermakna dasar memperbarui.14 Menurut Abu Baiquni dan Arni Fauziana,
memberikan definisi tentang Tajdi>dun adalah memperbarui, yang dimaksud ialah
memperbarui atau menghidupkan kembali nilai- nilai keagamaan sesuai dengan
14Ali maksum dan Zainal Abidin Munawwir, Al- Munawwir (Surabaya : Pustaka Progressif,
25
Al- Quran dan Sunnah Rasul(hadis), setelah mengalami pergeseran nilai ajaran
karena khufarat dan bid’ah dilingkungan umat Islam.15
Dari definisi diatas dapat dirumuskan bahwa pengertian tajdi<dun nika<h
adalah memperbarui ikatan yang dilakukan oleh pasangan suami istri dalam
upaya untuk menjaga unsur kehati-hatian untuk membina keluaraga yang
harmonis.
2. Tajdi>>dun nika<h menurut Ulama
Hadist Salamah, beliau berkata :
ِها َلوُسَر اَي ُتْلُ ق ُعِياَبُ ت َََأ ُةَمَلَس اَي ِِ َلاَقَ ف ِةَرَجَشلا َتََْ ملسو هيلع ها ىلص ََِِنلا اَنْعَ ياَب
ْدَق
ِناَثلا َِِو َلاَق ِلَوَِا ِِ ُتْعَ ياَب
Artinya :
‚Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu.
Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : ‚Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at? Aku menjawab : ‚Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).‛ Nabi SAW
berkata : ‚Sekarang kali kedua.‛ (H.R Bukhari)16
Dalam hadits ini diceritakan bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at
kepada Nabi SAW, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan sekali
lagi bersama-sama dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai’at
Salamah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh al-Muhallab. Karena itu,
bai’at Salamah kali kedua ini tentunya tidak membatalkan bai’atnya yang
pertama. Tajdi>d nika>h dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi
bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara
15 Abu Baiquni dan Arni fauziana, kamus istilah Agama Islam, ( Surabaya : Arloka, 1995), 180
.
26
pihak. Pendalilian seperti ini telah dikemukakan oleh Ibnu Munir sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri. Ibnu Munir berkata :
‚Dipahami dari hadits ini (hadits di atas) bahwa mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad pertama, ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah yang berpendapat demikian (mengakibatkan fasakh).‛
Mengomentari pernyataan Ibnu Munir yang mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah
berpendapat mengulangi akad nikah dan akad lainnya dapat mengakibatkan
fasakh akad pertama, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Aku mengatakan : “Yang shahih di sisi ulama Syafi’iyah adalah mengulangi
akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama,
sebagaimana pendapat jumhur ulama.”17
3. Faktor terjadinya tajdi>dun nika>h
Pelaksanaan tajdi>du>n nika>h ini merupakan kepercayaan individu
masyarakat yang menginginkan rumahtangganya lebih harmonis dan tidak ada
kendala, faktor yang mempengaruhi terjadinya tajdi>dun nika>h didalam
masyarakat secara umum sebagai berikut:18
a. Ihtiyati (berhati- hati )
Masyarakat mempunyai keperyacayaan bahwasanya dalam mengarungi rumah
tangganya setiap manusia memiliki kesalahan dahn mungkin saja terjadinya
pertengkaran yang tidak disengaja menyebut kata- kata talaq dan mereka
tidak menyadari hal tersebut dengan demikian demi menjaga tali
perkawinanya maka sebagian masyarakat melakukan tajdi>dun nika>h sebgai
bentuk kehati-hatian dalam perkawinannya.
17
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 199
18Anggaraini, Analisis hukum Islam terhadap tajdid nikah di Desa Pandean Banjar Kemanten
27
b. Tajammul (memperindah)19
Kepercayaan masyarakat dengan pelaksananan tajdi>dun nika>h yakni apat
menambah keberkahan pada perkawnannya, menjadikan keluarga lebih
harmonis
c. Adat (kebiasaaan)
Dalam adat jawa memiliki kearifan dalam menyikapai suatu problem
termasuk dalam perkwinan kebiasaan dan kepercayaan masyakatat masih
kental dengan upacaya adat istiadat sebgai contoh dengan perhitungan weton
antara calon mempelai, dalam praktiknya ada beberapa hari akad perkawinan
yyang disebabkan oleh hitungan weton dalam kepercayaan mereka kurang
baik dan mengharuskan adanya tajdi>dun nika>h
4. Hukum Tajdi<dun Nika<h
Untuk menngetahui hukum tajdi<dun nika<h tidak terlepas dari prinsip halal
dan haram dalam Islam, yakni terbagi menjadi tiga bagian dalam masalah Adat,
Muamalat dan Ibadah. Ada kaidah-kaidah fiqih yang berbeda diantara ketiga hal
tersebut antara lain:20
a. Adat
Kaidahnya menyataka bahwa ‚Dalam persoalan adat pada prinsipnya segala
sesuatu itu boleh untuk dikerjakan, kecuali yang memang telah diharamkan
b. Mu’amalat
19http/hakamabbas.blogspot. co.id/2014/02/faktor-terjadinya-tajdidun.html?m=1, diakses pada
tanggal 27 Maret 2017, 07:12
28
Dalam Mu’amalat berlaku kaidah bahwa ‚ Asal segala sesuatu itu adalah
halal. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang shoheh (tidak
cacat periwayatanya) dan sharih (jelas maknanya) dari pemilik syariat (Allah
SWT) yang mengharamkannya‛
c. Ibadah
‚ Suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali disyariatkan oleh Allah‛
Sedangkan hukum asal Ibadah dinyatakan bahwa hukum asal dalam masalah
ibadah adalah tauqif yakni mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah
ditentukan oleh syariat. Karena itu tidak dibenarkan beribadah kepada Allah
kecuali dengan peribadatan yang telah disyariatkan oleh Allah dalam
Kitab-Nya dan melalui penjelasan Rasul-Kitab-Nya, Muhammad SAW. Hal ini karena
Ibadah adalah hak murni Allah yang Ia tuntut dari hamba-Nya berdasarkan
sifat Rububiyah-Nya terhadap mereka. Tata cara, sifat, dan ber-taqorub
(melakukan pendekatan diri kepada Allah) dengan Ibadah hanya boleh
dilakukan dengan cara yang telah disyariatkan dan diizinkan-Nya.
Karena itulah dalam masalah Ibadah kita tidak boleh membuat tata cara yang
baru, melainkan harus sesuai dengan tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya. Dari
ketiga kaidah tersebut itulah kita akan menetukan, apakah pelaksanaan tajdi<dun
nika>h itu halal atau haram. Sebelum menentukan halal atau haram perbuatan
tajdi<dun nika>h maka kita harus pahami terlebih dahulu, termasuk dari katageori
apakah tajdi>dun nika>h tersebut. Apakah masuk wilayah, Adat, Mu’amalat
29
persoalan tersebut, agar kita dapat menentukan dengan benar dan tepat mengenai
hukum melaksanakan tajdi<dun nika>h itu sendiri yaitu sebagai berikut:
1) Pelaksanaan tajdi<dun nika<h dari kaca mata Ibadah.
Untuk melaksanakan Ibadah harus ada perintah ‚karena masalah Ibadah itu
semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan melainkan dari jalan
wahyu‛. Atau dalam bahasa lain sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah
bahwa ‚Ibadah yang diwajibkan dan dicintai Allah tidak dapat ditunaikan
kecuali dengan syariat‛.
Adapun masalah pernikahan adalah bagian dari ibadah, sebab didalamnya
ada perintah ada larangan serta ada tata cara, syarat dan rukun didalam
melaksanakan perkawinan. Sedangkan istilah tajdi<dun nika>h atau Pembaharuan
Nikah didalam ajaran Islam tidak dikenal dan tidak pernah ada perintah
ataupun petunjuk dari Allah maupun Rasul-Nya, mengenai pelaksanaan
tajdi<dun nika>h. Untuk mengatasi persoalan didalam rumah tangga, apabila
suami istri sudah tidak dapat disatukan kembali, Islam telah memberikan satu
jalan keluar yang terbaik yaitu melalui jalan Talak apabila ingin berpisah dari
pasangannya dan Rujuk apabila ingin kembali. Bagaimana pula tata cara
seseorang dapat melakukan Talak dan Rujuk, itupun didalam ajaran Islam telah
diatur dengan sangat sempurna. Dan kita umat Islam tidak dibenarkan
membuat aturan dan tata cara tersendiri.
Maka sesuai dengan kaidah fiqih dan hukum asal Ibadah sebagaimana
tersebut diatas dapat dipastikan bahwa hukum melaksanakan tajdi<dun nika<h
30
termasuk perbuatan yang mengada-ngada serta membuat tata cara baru dalam
masalah ibadah, yang jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana
sabda Rasulullah : 21
َم ْن
َا
ْح
َد
َث
ِف ْي
َما
ُهْنِم َسْيَلاَنِرْمَا
ُهَ ف
ٌدَرَو
Artinya :
‚Barangsiapa yang membuat cara baru dalam urusan Kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia tertolak‛
2). Pelaksanaan tajdi<dun nika>h dari kaca mata Adat dan Mu’amalat
Adapun mengenai adat dan Mu’amalat, berlaku kaidah fiqih bahwa
asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada nash yang melarangnya. Karena
sumber masalah Adat dan Mu’amalat bukan dari Syar’i , tetapi justru manusia
itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan.22 Syar’i dalam hal ini
tugasnya adalah untuk membetulkan dan meluruskan, mendidik dan mengakui
kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan
madorot.
Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Taymiyah bahwa ‚ Adat Istiadat
itu adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam urusan dunia
yang mereka butuhkan. Prinsip dasar hukumnya adalah tidak ada larangan.
Tidak ada larangan padanya kecuali apa-apa yang dilarang Allah Swt.
Demikian itu karena, perintah dan larangan adalah kewenangan syariat Allah
SWT‛.
21Bukhari, Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah, Juz.I,), 11
31
Dari beberapa keterangan diatas bahwa hukum tajdi<dun nika<h atau
dalam bahasa adat yakni ‚ nganyari kawin‛ lebih condong kepada tradisi
masyarakat yang membudaya secara turun menurun untuk melaksanakan
tajdidun nikah. Pelaksanaan tajdidun nikah ini dalam rangka agar menjaga
keharmonisan bahtera rumahtangga mereka dan sebagai bentuk kehati-hatian.
Karena itulah untuk menetukan hukum melaksanakan tajdi<dun nika>h sebagai
suatu tradisi juga harus melihat maksud dan tujuan dilaksanakannya tajdi<dun
nika>h.
Tajdi<d Al-nika>h merupakan tindakan sebagai lambang membuat
kenyaman hati dan ikhtiati (kehati-hatian) yang diperintah dalam agama
sebagaimana kandungan sabda Nabi Muhammad SAW:
ُل َََلْا
ُمَرَلْاَو ٌَِّ ب
ِتاَهِبَشُما َقَتا ِنَمَف ِشاَنلا َنِمٌرْ يِثِك َنُهُمَلْعَ ي ََ ٌتاَهِبَتْشُم ٌرْوُما اَمُهَ نْ يَ بَو ٌَِّ ب
)ىراخبلاا اور(ِهِضْرِعَو ِهِنْيِدِلَاَرْ بَتْسَاْدَقَ ف
Artinya:
‚Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan diantara kedunaya terdapat hal musyabihat/ samar-samar, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barang siapa yang menjaga hal-hal musyabihat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. (H.R Bukhari).23
Menurut Ibnu Munir, beliau memberikan suatu hukum dari tajdi<dun
nika>h adalah boleh, karena mengulangi lafad akad nikah dalam nikah yang kedua
tidak merusak pada akad yang pertama. Kemudian dikuatkan oleh argument
32
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqolani, Menyatakan bahwa menurut jumhur
ulama bahwa tajdi<dun nika>h tidak merusak akad yang pertama. Dan beliau juga
menambahi perkataan bahwa yang shohih disisi ulama Syafi’iyah adalah
mengulangi akad nikah atau akad lainya tidak mengakibatkan fasahk akad
petama, sebagaimana pendapat jumhur ulama.24
Akan tetapi ada juga ulama Syafiiyah yang berpendapat bahwa tajdi<dun
nika>h dapat membatalkan nikah sebelumnya antara lain Yusuf Al-Ardabili
al-Syafii, ulama terkemuka mazhab Syafi sebagaimana perkataan beliau dalam
kitabnya Al-anwar li A’mal sebagai berikut:
‚Jika seorang suami memperbarui nikah kepada istrinya, maka wajib memberi
mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbarui nikah termasuk
mengurangi hitungan talak kalau dilakukan sampai tiga kali maka diperlukan
muhallil‛.25
Menurut A. Masduki Machfudh adalah boleh dan tidak merusak pada
akad yang terjadi, karena memperbarui akad itu hanya sekedar keindahan (
Al-tajammul) atau berhati-hati. Hal ini juga diungkapkan oleh A.Qusyairi Ismail,
bahwa hukum asal memperbarui akad nikah itu boleh karena bertujuan hati-hati,
agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan atau bertujuan tajammul (upaya
menaikkan prestise/ menjaga gengsi).26
24Ahmad bin Ali bin Hajar al-asqolani, Fathul Barri Juz XIII (Sarah Shohi Bukhori, Darul Fikri
1780),199
25Yusuf al-ardabili al-syafii, Al-anwar,juz II, (Dar al-dhiya’),441
33
Dari keterangan di ata bisa dsimpulkani bahwa hukum tajdi<dun nik<ah
diperbolehkan dengan tujuan untuk memperindah dan sebagai unsur kehati-
hatian dengan syarat atas persetujuan suka rela antara kedua belah pihak.
C. Hitungan Weton dalam Perkawinan
1. Sejarah Singkat Kalender Jawa
Orang jawa telah mengenal Islam sejak zaman prahistori srat Ramayana
yang berasal dari abad ke 9, menunjukkan bahwa orang jawa kuno telah memeluk
agama hindu dan buda. Kedua agama tersebut sangat mewarnai dan menjadi jiwa
bagi orang jawa secara menyeluruh hingga abad ke 15
Pada akhir abad ke 15 terjadi gelombang pengislaman secara
besar-besaran di Jawa, yakni prabu Brawijaya V, raja yang diakui sebagai raja terakhir
Raja Majapahit, masuk Agama Islam atas bimbingan sunan Kalijaga. Prinsip
agenging aji membuat rakyat Jawa mengikuti apa keyakinan dan Agama
Rajanya. Apalagi kemudian disusul berdirinya Demak sebagai kerajaan yang
menggunakan Kitab suci Alqran sebagai undang-undang kerajaaan.
Agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa namun
kuatnya tradisi Jawa membuat Islam mau tak mau harus berakulturasi. Akhirnya
wujud akulkturasi tersebut menjadi ajaran khas jawa.27 Termasuk salah satu dari
tradisi masyarakat yang tinggal dipulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa
Timur juga mengenal kalender Jawa yang khas. Kelender khas ini dinamakan
kalender Jawa sampai sekarang Jawa masih banyak dipakai. Kelender Jawa dapat
27M. heriwijaya, Islam Kejawen,( Yogyakarta : perpustakaan nasional Ri: catalog dalam terbitan,
34
ditemukian dengan mudah, misalnya dalam kalender harian yang diganti setiap
makhir tahunnya. Kalender Jawa diperkirakan mulai dipakai sekitar tahun 78
masehi, yang mendasarkan pada peredaran dua benda kosmik raksasa, yakni
bulan dan matahari. Jadi kalender Jawa disusun berdasarkan perpaduan antara
peredaran bulan dan peredaran matahari.
2. Kalender Jawa
Kalender Jawa memiliki 12 bulan yang namanya ialah Suro, sapar, Mulud,
Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Puasa, Sawal, hapir serta
Besar. Setiap bula dalam kelender jawa memiliki hari yang berlainan jumlahnya.
Jumlah hari masing- masing bulan terlampir pada tabel berikut:28
Urutan Nama bulan Jumlah hari
1 Suro 30 hari
2 Sapar 29 hari
3 Mulud 30 hari
4 Rabingulakir 29 hari
5 Jumadilawal 30 hari
6 Jumadilakir, 29 hari
7 Rajab, 30 hari
8 Ruwah 29 hari
9 Puasa 30 hari
35
10 Sawal 29 hari
11 Hapir 30 hari
12 Besar 29 hari
Selain pembagian waktu dalam hitungan bulan, kalender jawa juga mengenal
empat macam pembagian waktu dengan patokan pertihungan yang lain yakni
windu, wuku, pranoto ,wongso atau mangsa dan hari pasar. Rincian pembagian
waktunya sebagai berikut:
1. Windu yang terdiri dari 8 tahun
2. Wuku yang terdiri 30 pilihan
3. Pranoto mongso atau mamgsa yang terdiri dari 12 pilihan
4. Hari pasar yang terdiri 5 pilihan
Setiap tahun dalam windu mempunyai nama yakni, alip, ehe, jimawal, Je,
Dal, Be, Wawu dan Jimakir urutan dari tahun dalam satu windu tertera pada
tebel berikut:29
Urutan tahun Nama
Pertama Alip
Kedua Ehe
Ketiga Jimawal
Keempaat Je
Kelima Dal
36
Keenam Be
Ketujuh Wawu
Kedelapan Jimakir
Kemudian neptu hari, pekan bulan dan tahun dalam jawa:30
Neptu hari dan pekan
Hari Pasaran
Ahad = 5
Senin = 4
Selasa = 3
Rabu = 7
Kamis = 8
Jumat = 6
Sabtu =9
Legi = 5
Pahing = 9
Pon = 7
Wage = 4
Kliwon= 8
Neptu bulan
Nama bulan Neptu\
Suro 7
Sapar 2
30Raden soemodidjojo, Kitab Primbon Bentaljemur Adamakna ( Yogyakarta : CV Buana Raya,
37
Mulud 3
Rabingulakir 5
Jumadilawal 6
Jumadilakir 1
Rajab 2
Ruwah 4
Puasa 5
Sawal 7
Dulkaidah 1
Besar 3
Neptu tahun
Nama Neptu
Alip 1
Ehe 5
Jimawal 3
Je 7
Dal 4
Be 2
Wawu 6
38
3. Perhitungan Weton Jawa dan Penetapan Akad Nikah
Dalam adat masyarakat sebelum melaksanakan akad perkawinan yakni dengan
tradisi perhitungan weton sesuai dengan hari kelahiran dari kedua mempelai,
kemudian neptu hari dan pekan (pasaran) dari kelahiran calon suami istri masing-
masing dijumlahkan, hasilnya dibagi 9 dan dicatat berapa sisa dari calon suamai
dan beberapa dari calon istri. Berikut perhitungan untuk perkawinan sesuai
dengan neptu dan pekan dari masing- masing calon mempelai.31
1 dan 1 yakni berarti baik,
saling mencintai
4 dan 4 Sering sakit
1 dan 2 Baik 4 dan 5 Banyak mengalami godaan
1 dan 3 kuat tetapi rejekinya
jauh
4 dan 6 Banyak rejeki
1 dan 4 banyak celakanya 4 dan 7 Melarat
1 dan 5 Bercerai 4 dan 8 Mengalamai banyak rintangan
1 dan 6 Sulit kehidupan 4 dan 9 Salah satu kalah
1 dan 7 Banyak musuh 5 dan 5 Mengalami keberuntungan
terus menerus
1 dan 8 Sengsara 5 dan 6 Murah rejeki
1 dan 9 Tempat berlindung 5 dan 7 Mata pencaharianya tetap
terus ada
2 dan 2 Selamat, rejeki banyak 5 dan 8 Mengalami banyak rintangan
39
2 dan 3 Salah satu meninggal
terlebih dahulu
5 dan 9 Murah rejeki
2 dan 4 Banyak mengalami
godaan
6 dan 6 Banyak celaka
2 dan 5 Banyak celaka 6 dan 7 Rukun damai/ tentram
2 dan 6 Cepat menjadi kaya 6 dan 8 Banyak musuh
2 dan 7 Banyak anak yang mati 6 dan 9 Sengsara
2 dan 8 Murah rejeki 7 dan 7 Terhukum oleh isterinya
2 dan 9 Banyak rejeki 7 dan 8 Terhalang karena dirinya
sendiri
3 dan 3 Melarat 7 dan 9 Perjodohanya kekal
3 dan 4 Banyak celakanya 8 dan 8 Dicintai oleh orang lain
3 dan 5 Cepat bercerai 8 dan 9 Banyak celakanya
3 dan 6 Mendapat anugrah 9 dan 9 Susah rejeki
3 dan 7 Banyak celakanya
3 dan 8 Salah satu meninggal
dahulu
3 dan 9 Banyak rejeki
Contoh
Diumpamakan kelahiran suami hari jumat Kliwonn neptu hari dan pekan
(pasaran) adalah 6 dan 8. Jika hasil penjumlahanya itu dibagi 9 maka sisanya
40
pekan(pasaran) adalah 6 dan 9. Jika dijumlahkan dan dibagi 9 maka akan bersisa
6. Sisa keduanya adalah 5 dan 6 yang jatuh pada : Murah rejeki, itu pertanda
baik.32 Begitu dan seterusnya ketika menggunakan perhitungan weton dalam
perkawinan untuk melaksanakan akad perkawinan antara calon suami dan istri
sebagai tradisi masyarakat Jawa. Setelah menghitung hari lahir kemudian
menentukn hari pelaksanaan untuk hari akad nikah dengan rumusan sebagai
berikut:
Hari Selasa Wage 2- 2 1<>- 2 – carukan hari Senin
Rabu Kliwon 2 1 – 1 2 2< 7 carukan hari Rabu
Kamis Legi – 2 4 1 –< 4 2 carukan hari Selasa
Jumag Pahing 2< 7 2 1 – 1 2 carukan hari Jumat
Sabtu Kliwon 6 1 4< 1 – 2 2 carukan hari Minggu
Minggu Wage 1 3 - -< 4 1 - carukan hari Senin
Senin Kliwon 1< 1 – 5 1 – 4 carukan hari Jumat
Selasa Legi 4 1 – 1 2< - - carukan hari Selasa
Rabo Pahing 1 – 2 2 6 1< 4 carukan hari Rabu
Kamis Pon 7 2 1 – 1 2 2< carukan hari Kamis
Jumat Wage 4 - - 4 1 – 1 carukan hari Minggu
41
Sabtu Kliwon 2 7 1 4< 1 – 2 carukan hari Senin
Ahad Legi – 1 4 - -< 4 1 carukan hari Selasa
Senin Pahing 1 –< 4 2 – 2 4 carukan hari Sabtu
Selasa Pon 1 – 1 4 - -< 4 carukan hari Rabu
Rebo Wage 4 1< 1 – 4 1 – carukan hari Sabtu
Kamis Pahing 4< 1 – 2 2 6 1 carukan hari Jumat
Jumat Legi 1 – 4 1< 1 – 4 carukan hari Senin
Sabtu Pahing – 4 1 – 2< 8 3 carukan hari Selasa
Ahad Pon 1 – 5 1 – 4 1< carukan hari Kamis
Senin Wage 1 – 1 2< - - 4 carukan hari Senin
Selasa Kliwon 1< 1 – 4 1 – 4 carukan hari Jumat
Rabo Legi – 4 1< 1 – 5 1 carukan hari Minggu
Kamis Pahing 1 4< 1 – 2 2 7 carukan hari Sabtu
Jumat Pon 2 – 2 4 1 -< 4 carukan hari Rabu
Sabtu Wage 4 2 – 2 4 1 -< carukan hari Kamis
Ahad Kliwon 2 4< 1 4 1 – 2 carukan hari Sabtu
42
Selasa Pahing 4 1< 1 – 5 1 – carukan hari Sabtu
Rabo Pon 1 – 2 2 4< 1 4 carukan hari Selasa
Kamis Wage 1 – 4 1< 1 – 5 carukan hari Senin
Jumat Kliwon 1 4 1 – 2 2 4< carukan hari Kamis
Sabtu Legi 4< 1 4 1 – 2 2 carukan hari Jumat
Ahad Pahing 2 4< 1 4 1 – 2 carukan hari Sabtu
Senin Pon 1 – 4 1 – 4 1< carukan hari Kamis
Keterangan caruk’an (a<<<<>) tanda kecil diatas, caru’an merupakan hari yang tidak
boleh dipakai dalam pelaksanaan akad nikah dan tanda (-) merupakan hari yang
tidak boleh digunakan hitungan dimulai dari jumat ( 2 – 2 1< - 2 -) hari pertama
adalah angka 2.33 Proses pertitungan dimulai dari hari kelahiran masing- masing
mempelai kemudian digabungkan antara calon mempelai.
D. Hukum Islam (Urf)
1. Pengertian Urf
Secara umum, adat dapat dipahami sebagai tradisi lokal (local custom) yang
mengatur interaksi masyarakat. Dalam ensiklopedi disebutkan bahwa adat adalah
‚kebiasaan‛ atau ‚tradisi‛ masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Kata ‚adat‛ di sini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang
43
mempunyai sanksi, seperti ‚hukum adat‛, dan mana yang tidak mempunyai
sanksi, seperti disebut sebagai sebuah tradisi.34
Dilihat dari segi bahasa kata Urf berasal dari bahasa Arab, masdar dari
kata
ًافْرُع ُفِرْعَ ي َفَرَع
sering diartikan sesuatu yang dikenal. Adapun kata adat jugaberasal dari bahasa Arab yang mengandung arti pengulangan suatu peristiwa
tetapi terlepas dari penilaian baik dan buruknya (netral). Adapun kata Urf lebih
cenderung kepada kualitas (baik buruknya) sehingga tidak ada perbedaan prinsip
antara adat dan ‘urf, karena keduanya sama-sama mengacu kepada peristiwa
yang berulang kali dilakukan sehingga diakui dan dikenal orang.35 Menurut
istilah ahli syarak, secara umum tidak ada perbedaan antara Urf dan Adat, dua
kata tersebut adalah sinonim yang berarti Urf bisa disebut juga dengan Adat.36
Adapun yang dikehendaki dengan kata Adat dalam karya ilmiah ini adalah
Adat yang tidak mempunyai sanksi yang disebut dengan tradisi. Kata Urf juga
mempunyai arti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah
dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya.37
Dari segi terminilogi, kata Urf mengandung makna sesuatu yang menjadi
kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan
yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal
dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika
34Ensiklopedi Islam, Jilid I, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 21.
35Sapiudin Shidiq, Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 98
36Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1993), 134.
44
mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.38 Dalam
kajian Usul ikih, ‘Urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tentram. Kebiasaan yang telah
berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan, baik yang bersifat
khusus maupun yang bersifat umum. Dalam konteks ini, istilah ‘urf sama dan
semakna dengan istilah al-‘a>dah (adat istiadat).39
2. Macam-Macam ‘Urf
Macam-macam ‘urf ditinjau dari berbagai aspeknya dapat dibagi menjadi:
a. Dari segi obyeknya Urf (adat istiadat)40
1. Al-‘urf al-lafz}i adalah sebuah adat atau kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan ungkapan tertentu dalam meredaksikan sesuatu, sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam fikiran
masyarakat
2. Al-‘urf al-‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muamalah keperdataan, yang dimaksud dengan
‚perbuatan biasa‛ adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.
b. Dari segi cakupannya, ‘urf dibagi dua, yaitu al-‘urf al-‘a>mm (adat yang bersifat umum) dan al-‘urf al-kha>s{ (adat yang bersifat khusus)
1. Al-‘urf al-‘a>mm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi
sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.41
38Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2011), 209.
39Amir Syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta: Zikarul Hakim, 2004), 98
45
2. Al-‘urf al-kha>s{ (khusus), ialah kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok
orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di
sembarang tempat.42
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syarak, ‘urf dibagi dua yaitu ‘urf al-s{ah}i>h (adat yang dianggap sah) dan al-’urf al-fa>sid (adat yang dianggap rusak).
1. Al-‘urf al-s{ah}i>h adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang
tidak bertentangan dengan dalil syara’ tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib
2. Al-‘urf al-fa>sid adalah suatu kebiasaan yang telah berjalan dalam
masyarakat, tetapi kebiasaan itu bertentangan dengan ajaran Islam atau
menghalalkan yang haram dan sebaliknya, seperti perbuatan-perbuatan
mungkar yang telah menjadi tradisi pada sebagian masyarakat
3. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama banyak yang sepakat dan menerima ‘urf sebagai dalil dalam mengistinbathkan hukum, selama ia merupakan ‘urf shahih dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, baik berkaitan dengan ‘urf al-‘a>mm maupun ‘urf al-kha>s}. Dalam pandangan al-Qarawi (w.684 H/ 1258 M), seorang ahli fikih mazhab Maliki, seorang mujtahid yang hendak menetapkan suatu hukum harus
lebih dahulu memperhatikan kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat
sehingga hukum yang ditetapkannya tidak bertentangan dan menghilangkan
kemaslahatan yang telah berjalan dalam masyarakat tersebut.43
41Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2011), 210.
42Sapiudin Shidiq,Ushul Fikih, (Ja