• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum Islam terhadap hitungan weton dalam pelaksanaan Tajdidun Nikah: studi kasus di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum Islam terhadap hitungan weton dalam pelaksanaan Tajdidun Nikah: studi kasus di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HITUNGAN WETON DALAM PELAKSANAAN TAJDI<DUN NIKA<H

(Studi kasus di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban)

SKRIPSI

Oleh :

MUHAMMAD YUDA NIM : C71213130

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Abstrak

Skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton

Dalam Pelaksanaan Tajdi>><dun Nika<h (Studi Kasus di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban) merupakan penelitian yang dilakukan di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban‛. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana praktik hitungan weton dalam pelaksanaan tajdi<dun nikah masyarakat Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban?Bagaimana pendangan hukum Islam terhadap hitungan weton bagi masyarakat Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban dalam melaksanakan tajdi<dun nikah?

Data penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi dokumen dan wawancara. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, dimana penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif dan menggunakan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi hitungan weton merupakan sebuah sistem hitungan dalam kalender orang Jawa yang dilakukan untuk mengetahui masa depan yang mungkin terjadi dan dilakukan sebelum perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hitungan weton diperbolehkan dalam agama Islam, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan akidah dan syariat dalam hukum Islam. Terlepas dari prinsip halam haram dalam Islam weton termasuk dalam bidang Adat dan Muamalat dengan kaidah fiqih: pertama, Adat prinsip dasarnya segala sesuatu itu boleh untuk dikerjakan, kecuali yang memang telah diharamkan. Kedua, Muamalat prinsip dasarnya adalah asal segala sesuatu itu adalah halal, tidak ada yang haram kecuali jika ada nash yang shohih dan sharih dari pemilik Syariat Allah SWT, dengan demikian tradisi tersebut mendapatkan pengakuan dari syarak sebagai bentuk keefektifan adat istiadat dalam interpretasi hukum.

(7)

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

Latar belakang maslah……….……….. 1

Identifikasi Masalah………... 6

Batasan Masalah……… 6

Rumusan Masalah……….. 7

Kajian pustaka……… 7

Tujuan Penelitian……….. 9

Keguaan Hasil Penelitian………... 9

Definisi Operasional……… 10

Metode penelitian……….... 11

Sistematika Pembahasan………... 15

Bab II Tinjaun umum tentang Tajdiun Nikah dan Hitungan weton A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan...17

2. Hukum perkawinan...18

3. Rukun dan Syarat Pernikahan... 20

4. Tujuan Pernikahan... 22

B. Tajdidun Nikah 1. Pengertian Tajdi>dun Nik<ah... 24

2. Tajdi>>dun nika<h menurut Ulama... 25

(8)

4. Hukum Tajdi>dun Nik<ah... 27

C. Hitungan weton 1. Sejarah singkat kalender Jawa... 33

2. Kelender Jawa... 34

3. Perhitungan weton dan penetapan akad nikah... 38

D. Hukum Islam (Al Urf ) 1. Pengertian Urf... 42

2. Macam –macam Urf... 44

3. Kehujjahan Urf ... 45

Bab III Gambaran Umum Kondisi Masyarakat Desa Ngandong A. Gambaran umum desa Ngandong 1. Kondisi Geografis Desa Ngandong... 47

2. Demografi Desa Ngandong... 48

3. Pendidikan Masyarakat Desa Ngandong... 49

4. Sosial keagamaan... 49

B. Tradisi Pelaksanaan Weton Dalam Perkawinan Di Desa Ngandong 1. Pandangan tokoh masyarakat terhadap weton... 50

2. Pelaksanaan hitungan weton dalam tajdidu<n nika<h ... 54

(9)

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton... 68

Bab V Penutup

A. Kesimpulan

1. Prakrik pelaksanaan tajdidun nikah...72

2. Analisis hukum Dalam hukum Islam pelaksanaan hitungan

weton... 73

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang sempurna, karena segala macam pernik

kehidupan mahluk hidup termasuk kehidupan manusia itu telah diatur secara

terperinci oleh agama Islam. Termasuk di dalamnya mengenai hubungan antara

laki-laki dan perempuan. Kehalalan antara hubungan laki-laki dan perempuan

haruslah ditempuh dengan cara sah, yaitu pernikahan.

Penikahan menurut Undang- Undang No 1 tahun 1974 tentang

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.1 Maka dengan adanya

pernikahan, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang asal mulanya dilarang

oleh syariat Islam menjadi boleh dilakukan. Rasulullah SAW telah menjelaskan

bahwa pada kenyataannya nikah itu tidak hanya sekedar akad, akan tetapi setelah

pelaksanaan akad si pengantin harus menikmati dari akad tersebut.

Sebagaimana dimungkinkan terjadinya proses perceraian setelah

dinyatakan akad nikah tersebut. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara

seorang laki-laki terhadap perempuan antara seorang suami terhadap istrinya

1

(11)

2

dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang saki>nah mawaddah

warah}mah.2

Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebgai jalan bagi

manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya. Setelah

masing-masing siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan

tujuan perkawinan.3 Sebagimana firman Allah SWT QS: An-Nisa ayat 1:

                       Artinya:

‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, lalu ia jadikan dari padanya jodohnya, kemudian dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali‛.4

Adapun pentingnya perkawinan bagi manusia, khususnya umat Islam

adalah sebagai berikut:

1. Melakukan perkawinan dapat membentuk keluarga dimana dalam

kehidupan tersebut dapat terlaksana dengan damai dan tentram serta

kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami dan istri

2. Perkawinan yang sah, dapat dapat diharapkan memperoleh keturunan

yang sah dalam masyarakat, sehingga kelangsungan hidup keluarga dan

keturunnnya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih

2 Sri Mulyati, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2004), 1. 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 6, ( Bandung : Alma’arif, 1990), 9

(12)

3

3. Terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang

merupakan inti dalam kehidupan bermasyarakat

4. Melaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Al- Quran dan Rasul merupakan Ibadah bagi orang

Islam.5

Mengingat begitu pentingnya peranan keluarga dalam kehidupan,

Islam memberikan anjuran kepada umatnya dalam hal pemeilihan

jodoh, yaitu: (a) keturunan(nasab) (b) harta (c) kecantikan (d) Agama.

Konsep ini sebagaimana dalam hadis Nabi :

َف َاهِنْيدِلَو َاَِِامََِِو َاهِبَسََِِو َاَِِامِل ٍعَبْرَِِ ُةَءْرَمْلا ُحِكْنُ ت

ا ْظ

تَبِرَت ِنْيِدلا ِتَاذِب ْرَف

َكَادَي

Artinya:

‚Wanita itu lazimnya dinikahi karena empat hal : karena hartanya keturunanya karena kecantikanya, karena agamanya, maka pilihlah

wanita karena agamanya({jika tidak) maka binasalah engkau‛{6

Karena begitu pentingnya pernikahan, tidak heran di setiap daerah

mempunyai tradisi sendiri yang sudah menjadi budaya dan mesti dilakukan

sebelum melangsungkan pernikahan. Salah satu tradisi orang tua di sebagian

masyarakat Jawa dan Madura terutama yang masih tinggal di daerah pedalaman

dan pedesaan adalah dalam menentukan calon jodoh atau pasangan hidup bagi

anaknya. Umumnya, masyarakat Jawa dan Madura masih tergantung

menggunakan patokan hitungan tanggal lahir yang disebut dengan weton yang

mempunyai arti penjumlahan hari-hari dalam seminggu (Senin, Selasa, Rabu,

5 Soemiati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, ( Yogyakarta: Liberti,

1999), 4.

(13)

4

Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad) dan hari dalam pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon,

Wage, Kliwon).7 Berikut hitungan hari dengan pasaranya:8

Hari Pasaran

Ahad = 5

Senin = 4

Selasa = 3

Rabu = 7

Kamis = 8

Jumat = 6

Sabtu =9

Legi = 5

Pahing = 9

Pon = 7

Wage = 4

Kliwon= 8

Pelaksanaan perhitungan diawali dengan hari kelahiran kedua mempelai

sehingga menemukan formula dalam akad pernikahan. Akan tetapi, ada kalanya

terdapat perhitungan yang tidak sesuai dengan keingingan pihak keluarga maka

dikemuadian hari dengan adat setempat diadakan tajdi>dun nika>h. Dalam

keyakinan mereka ketika tidak melaksanakan akan berdampak negatif bagi

keluarga mereka.

Dengan tujuan ketika melaksakan tajdi>dun nika>h adalah dalam rangka

menambah kebaikan dan unsur-unsur kehati-hatian untuk menjaga keharmonisan

dan kelanggengan berumahtangga. Unsur kehati-hatian inilah yang dipercaya

oleh sebagian masyakat khususnya masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong

7Ki Hudoyo Doyodipuro, Horoskop Jawa Misteri Pranata Mangsa (Semarang: Dahara prize,

1995), 3.

8 Http/Hitungan Perjodohan Pernikahan Berdasarkan Weton Jawa - INSAN CITA

(14)

5

Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban. Masyarakat Dusun Secang Desa

Ngandong secara umum adalah masyarakat yang memegang erat tradisi hitungan

weton sebagai tradisi dalam melaksanakan perkawinan, termasuk dalam

melaksanakan tajdi<dun nika>h.

Contoh perkawinan yang dilaksaanakn oleh pasangan Adi Rianto dan

Rini, sebagai salah seorang pasangan suami istri di Desa Ngandong. Pada awal

melangsungkan akad nikah secara hitungan weton dalam tradisi masyarakat

setempat kurang tepat dalam pelaksanaanya. Perhitungan weton dalam

praktiknya yakni menghitung hari kelahiran dari kedua calon mempelai, sehingga

menemukan hari yang tepat dalam hitungan weton untuk melangsungkan akad

nikah. Maka dari itu dengan tradisi tersebut harus melangsungkan pernikahan

lagi atau dalam istilah fikih disebut sebagai tajdi<dun nika>h, untuk itu penulis

tertarik untuk meneliti lebih dalam praktik perhitungan weton yang telah

mendarah daging dalam masyarakat dan bagaimana hukum Islam memandang

tradisi penyelenggaraan hitungan tersebut dalam melaksanaakn tajdi<dun nika<h.

Dengan demikian penulis akan menelaah permasalahan diatas dengan judul

‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton dalam Pelaksanaan Tajdi>><dun

Nika<h Di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten

(15)

6

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, maka dilakukan idenifikasi dan

batasan masalah sebagai berikut:

1. Deskripsi tentang hitungan weton

2. Praktik hitungan weton dalam perspektif masyarakat

3. Pengertian dan cara pelaksanaan tajdi<dun nika>h

4. Tinjauan Hukum Islam terhadap hitungan weton dalam pelaksanaan tajdi<dun

nika>h

C. Batasan Masalah

Pokok masalah diatas meliputi berbagai aspek bahasan yang masih

bersifat umum sehingga dapat terjadi berbagai macam masalah dan pemikiran

yang berkaitan dengan itu, sebagai tindak lanjut agar lebih praktis dan khusus

diperlukan batasan masalah yang meliputi:

1. Deskripsi praktik hitungan weton bagi masyarakat terhadap pelaksanaan

tajdi<dun nika>h

2. Tinjauan Hukum Islam terhadap hitungan weton dalam melaksanakan

tajdi<dun nika>h

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka masalah penelitian

(16)

7

1. Bagaimana praktik hitungan weton dalam pelaksanaan tajdi<dun nikah

masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten

Tuban?

2. Bagaimana pendangan hukum Islam terhadap hitungan weton bagi masyarakat

Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban dalam

melaksanakan tajdi<dun nikah?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran

hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin

pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada

pengulangan materi secara mutlak.

Untuk mengetahui validitas penelitian yang penulis lakukan, maka dalam

kajian pustaka ini, penulis akan menguraikan beberapa skripsi hasil para sarjana

syariah, yang mempunyai kemiripan tema tetapi perspektif bahasannya berbeda.

Hal ini penting untuk bukti bahwa penelitian ini merupakan penelitian murni,

yang jauh dari upaya plagiat. Adapun skripsi tersebut adalah :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Wiamul Umam pada tahun 2002 yang ditulis

dalam bentuk skripsi dengan judul ‚ Studi tentang persepsi pelaku Tajdidun

Nikah di Desa Ketetang Kecamatan Kwanyar Kebupaten Bangkalan terhadap

Tajdidun Nikah dalam membentuk keluarga sakinah‛ dalam penelitian ini

membahas tentang pelaku seorang tajdidun nikah dalam pendagan seorang

(17)

8

mereka yakini untuk mendatangkan ketentraman, menambah barokah dan

keharmonisan rumahtangga mereka.9

2. Penelitin dilakukan oleh Zubaidiyah pada tahun 2004 yang ditulis dalam

bentuk skripsi dengan judul ‚ Persepsi Masyarakat Muslim Desa Ngaseh

Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro tentang hitungan weton antara

calon suami istri terhadp keharmonisan rumah tangga: perspektif hukum

Islam‛ dalam penelitian ini membahas tentang hitungan weton dalam

menentukan pasangan calon suami dan istri dalam rangka menjaga tradisi

secara turun temurun yang mereka yakini bahwa bila hitungan weton tersebut

tidak dilakukan akan menimnbulkan musibah sakit, macetnya rizki, terjadi

pertengkaran terus menerus, cerai atau mati bagi orang yang tidak

menggunakann maupun keluarganya sedangkan dalam pandangan Islam tidak

didapati dengan jelas dalam hukum Islam.10

3. Ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zulfa Nailynnajah pada tahun

2011 yang ditulis dalam bentuk skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Motivasi pengulangan Perkawinan di Kelurahan Jemurwonosari

Kecamatan Wonocolo Surabaya‛. Dalam penelitian ini membahas tentang

pengulangan perkawinan karena ada dugaan gendam dalam perkawinan

tersebut namun hal itu tidak dapat dibuktikan secara nyata karena itu adalah

ghaib. Tidak diketahui pasti kebenarannya, akan tetapi hal ini yang

9

Wiamul Umam, “Studi tentang persepsi pelaku Tajdidun Nikah di Desa Ketetang Kecamatan Kwanyar Kebupaten Bangkalan terhadap Tajdidun Nikah dalam membentuk keluarga sakinah” (Skripsi-- IAIN Surabaya, 2002)

10

(18)

9

menjadikan wali tidak yakin dengan sahnya perkawinan yang pertama,

walaupun rukunnya telah terpenuhi.11

Sedangkan penelitian yang akan dibahas pada proposal ini berbeda dengan

penelitian terdahulu di atas yaitu ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan

Weton dalam Pelaksaan Tajdi>><dun Nika<h Di Dusun Secang Desa Ngandong

Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban‛ Dimana penulis akan membahas

tentang tinjauan hukum Islam terhadap hitungan weton dalam pelaksanaan

tajdi<dun nika>h dimana penulis akan meneliti motivasi dan pentingnya hitungan

weton sehingga melangsungkan tajdi<dun nika<h.

F. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan hitungan weton dalam praktik tajdi<dun nika<h

masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten

Tuban

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap hitungan weton bagi

masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten

Tuban dalam melaksanakan tajdi<dun nika<h

G.Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagai

berikut:

1. Secara Teoretis, hasil penelitian ini diharapakan berguna bagi pembangunan

Ilmu pengetahuan dan menambah wawasan pembaca pada umumnya, dan

11Zulfa nailynnajah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Motivasi Pengulangan Perkawinan di

(19)

10

khususnya bagi seluruh mahasiswa yang berkecimpung dalam bidang Ahwal

As-Syakhsiyah yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan Tajdi<dun Nikah

karena faktor hitungan weton Jawa

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapakan dapat memberi sumbangsih

keilmuan khususnya dalam pelaksanaan tajdi<dun nikah pada masyarakat Islam

di Indonesia dengan perhitungan weton Jawa

H. Definisi Operasional

Dalam memahami judul skripsi perlu adanya pendefinisian judul secara

operasional agar dapat diketahui secara jelas judul yang akan penulis bahas dalam

skripsi ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton dalam pelaksanaan

Tajdi>><dun Nika<h Di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan

Kabupaten Tuban‛

Agar menghindari terjadinya kesalah-pahaman dalam pengertian maksud

dari judul di atas, maka penulis memberikan definisi yang menunjukkan ke arah

pembahasan sesuai dengan maksud yang dikehendaki, dengan maksud dari judul

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hukum Islam : Seperangkat peraturan yang dirumuskan berdasar Al-Quran,

As-sunnah dan ijtihad para ulama ( Urf)

2. Tajdidun Nikah : Melaksanakan akad nikah yang kedua kalinya (bukan rujuk)

untuk memperbarui akad nikah yang pertama.

3. Hitungan Weton : Merupakan tradisi hitungan jawa yakni hitungan hari dan

(20)

11

I. Metode Penelitian

Metode sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji

kebenaran suatu pengetahuan agar sebuah karya ilmiah (dari suatu penelitian)

dapat mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dengan

menggunakan metode ilmiah.12 Adapun metode yang digunakan dalam

membahas skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan) yaitu penelitian yang

langsung terjun ke lapangan.13Penelitian ini dilakukan di Dusun Secang Desa

Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah masyarakat Dusun Secang Desa

Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban yaitu dua kasus

diantaranya adalah pasangan Mas Adi Riyanto dengan Mbak Rini dan

pasangan Bapak Taryoko dengan Ibu Murni yang terkait dalam pelaksanaan

pembaharuan akad nikah (tajdi<dun nika<h) disebabkan karena hitungan weton

yang kurang baik. Adapun pemilihan sasaran penelitian di daerah tersebut

adalah:

a. Kasus yang menjadi obyek penelitian yakni tentang hitungan weton dalam

pelaksanaan tajdi<dun nika<h tersebut, terjadi secara nyata di Dusun Secang

Desa Ngandong Kecamatan Granagan Kabupaten Tuban

12Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 51-52

.

(21)

12

b. Pihak-pihak yang menjadi obyek penelitian yakni dalam ini Mas Adi

Riyanto dengan Mbak Rini adalah masih merupakan keluarga peneliti

sedangkan obyek yang lainnya merupakan kerabat dan tetangga peneliti

oleh karena itu, mempermudah penelitian ini

c. Wilayah Desa tersebut merupakan daerah kelahiran peneliti. Sehingga telah

tercipta komunikasi yang baik dalam melakukan penelitian ini. Mengingat

penelitian ini adalah studi kasus yang membutuhkan penggalian data

secaraa mendalam

3. Data Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas maka data yang peneliti kumpulkan

adalah sebagai berikut:

a. Data mengenai gambaran umum tentang masyarakat Desa Ngandong

Kecamatan Granagan Kabupaten Tuban

b. Data mengenai status perkawinan dua pasangan yang melakukan

pembaharuan akad nikah karena hitungan weton.

c. Data mengenai proses pelaksanaan pembaharuan akad nikah karena

hitungan weton

4. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, sumber yang digunakannya itu

sumber data primer dan skunder, terdiri dari :

(22)

13

Sumber data primer adalah sumber data yang bersifat utama dan penting

yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang

diperlukan dan berkaitan dengan penelitian terdiri dari :

1). Pasangan suami istri yang melaksasnakan tajdi<dun nika<h karena faktor

hitungan weton

2). Kepala desa setempat yang mengetahui permasalahan tentang tajdi<dun

nika<h karena faktor hitungan weton

3). Tokoh masyarakat dan masyarakat setempat yang mengetahui

permasalahan tentang tajdi<dun nika<h karena faktor hitungan weton

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data dari bahan yang terkait dengan penelitian, mengumpulkan

dan meneliti data yang ada relevansinya dengan menelaah berbagai

pustaka dan media online yang mendukung sember data primer.

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari masyarakat Desa

Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban. Adapun metode

pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Interview (wawancara)

Yaitu cara melakukan tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan

berlandaskan dalam tujuan penelitian, hal ini dilakukan kepada tokoh

masyarakat yakni ulama setempat dan tokoh masyaraka yang mengatahui

(23)

14

b. Dokumentasi

Penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari catatan yang

berkaitan dengan penelitian ini, sehingga penulis dapat memahami,

mencermati dan menganalisis permasalahan hitungan weton dalam

pelaksanaan tajdidun nikah berdasarkan data yang diperoleh tersebut.

6. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan menguatkan data

kedalam pola kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditentukan

tema dan dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.14

Penelitian dalam hal ini yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu

suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dari wawancara

atau sumber-sumber tertulis. Dalam penelitian ini penulis menganalisis data

yang di dapat dengan menggunakan metode diantaranya:

a. Metode deskriptif analisis yaitu metode yang diawali dengan menjelaskan

atau menggambarkan data hasil penelitian, mengenai hitungan weton

dalam pelaksanaan tajdidun nikah

b. Pola berfikir deduktif yaitu berangkat dari premis-premis mayor atau

faktafakta umum, kemudian fakta fakta umum dimasukkan kedalam

premis khusus atau dituangkan dalam sebuah teori baru.

14Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rusda Karya, 2006),

(24)

15

J. Sistematika Pembahsan

Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan dalm

beberapa bab sebagai berikut:

Bab pertama adalah penbdahuluan yang memuat latar belakang masalah,

rumusan masalah, identifikasi dan batasan masalah, kajian pustaka, tujuan

penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional, metode penelitian dan

sistematikan pembahasan

Bab kedua membahas mengenai teori tentang perkawinan dan tajdi>dun

nikah dan konsep perhitungan weton dalam perkawinan Jawa, yang meliputi

konsep dasar perhitungan weton dan mengenai prinsip-prinsip dalam perkawinan

yang meliputi, pengertian tajdi<dun nika<h dan hukum tajdi<dun nika<h

Bab ketiga praktek perhitungan weton dalam masyarakat Dusun Secang

Desa Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban terhadap pelaksanaan

tajdi<dun nika<h, yang akan dibagi menjadi tiga sub bagian. Sub bagian yang

pertama mengenai pemaparan tentang kondisi geografis, kemudian sub kedua

tentang sosial keagamaan dan sub ketiga praktik dalam perhitungan weton

pelaksanaan tajdi<dun nika>h

Bab keempat analisis tinjaun hukum Islam terhadap praktik perhitungan

weton khususnya di masyarakat Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan

Grabagan Kabupaten Tuban dan pengaruhnya terhadap kehidupan rumahtangga.

Sehingga dapat diketahui bagaimana pandangan Islam dan sekligus sebagai

(25)

16

Bab kelima adalah penutup berupa kesimpulan yang berisi jawaban

(26)

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TAJDI><DUN NIKA<H DAN HITUNGAN

WETON

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkainan dalam literatur fiqih bahasa arab disebut dengan dua kata yaitu

nikah dan zawaj . kedua kata ini kata yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari

orang arab dan banyak terdapat dalam Alquran dan Al-Hadits Nabi.1 Kata na- ka-

ha banyak terdapat dalam Alquran dengan arti kawin, seperti dalam surat An-

Nisa ayat 3:

                                                      Artinya :

‚Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.‛2

Demikian pula banyak pula terdapat kata zawa>j dalam Alquran dalam arti kawin,

seperti surat Al- Ahzab ayat 37 :

1Amir Syarifudin Garis- Garis Besar Fiqih, ( Bogor : Kencana, 2003),73

2 Departemen Agama RI, Al- Jumanatul ali : Alquran dan terjemah, ( Bandung : CV Penerbit j-

(27)

18                                          Artinya :

‛Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya

(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.‛3

Secara arti kata nikah atau zawa>j berarrti ‚bergabung‛, ‚hubungan

kelamin‛ dan juga ‚akad‛. Dalam arti terminologis yakni akad atau perjanjian

yang mengandung maksud membolehkan hubunganh kelamin dengasn

menggunaikan lafazd na-ka-ha atau za- wa- ja.4 Adapun dalam istilah hukum

syariat, nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai suami istri

(termasuk hubungan seksual) antara seorang laki- laki dan seoerang perempuan

bukan mahram yang memenuhi persyatratan tertentu, dan menetapakan hak dan

kewajiban masing- masing demi membangun keluarga secara lahir dan batin.5

2. Hukum Perkawinan

Dalam fikih sunnah karangan Sayid Sabiq hukum perkawinan dibagi sebagai berikut:6

1. Wajib

Bagi yang sudah mampu untuk kawin, nafsunya telah mendesak dan takut

terjerumus dalam perzinaan wajiblah dia kawin. Karena menjauhkan diri dari

3Amir Syarifudin

Garis- Garis Besar Fiqih, 74.

4 Ibid, 74

5 M. bagir Al- hasbi, Fiqih Praktis, ( Bandung: Mizan, 2002), 3 .

(28)

19

yang haram adalah wajib, sedang untuk itu tidak dapat dilakukakan dengan baik

kecuali dengan jalan kawin. Firman Allah dalam surat An-nur :33

                  Artinya;

‚Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-Nya‛

2. Sunnah

Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin,

tetapi masih dapat menahan dirinya dari perbuatan zina, maka sunnah dia kawin.

Kawin baginya lebih utama dari bertekun ibadah, karena menjalani hidup sebagai

pendeta seedikit tidak dibenarkan oleh Islam. Thabrany meriayatkan dari Sa’ad

bin Abi Waqash bahwa Rasulllah SAW bersabda:

ِا َن

َللا

َا ه

ْب َد َل

َن ِبا

َرلا

ْ َب

ِنا َي ِة

ْا

َل َن

ِف َي

َة

َسلا

ْم

َح َة

Artinya:

‚Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah ( kawin) kepada kita‛

Baihaqi meriwayatkan hadist dari Abu Ummah baha Nabi saw bersabda:

َ ت َز َو

ُج ْو

َفا ِا

ِنء

ُمى

َك

ِثا ٌر ِب

ُك

ُم ْا

َُ

َم َم

َو

ََ َت

ُك

ْو ُن

َكاو

ُر ْ َب

ِنا َي

ِة

َنلا

َص

َرا

ى

Artinya:

‚Kawinlah kalian karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta- pendeta Nasrani‛

(29)

20

Bagi seorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya

kepada isterinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin

4. Makruh

Makruh kawin bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu

membelanjani isterinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak

mempunyai keinginan syahat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika

karena lemah syahat itu ia berhenti dari melakukan suatu ibadah atau menuntut

suatu ilmu

5. Mubah

Dan bagi laki- laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang

mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk

kawin, maka hukumnya mubah.

3. Rukun dan Syarat Pernikahan

Sahnya suatu perkawinan menurut hukum Islam dilaksanakan dengan

memenuhi syarat-syarat dan yang dimaksud dengan rukun perkawinan ialah

hakikatnya itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak

mungkin dilaksanakan. Sedang yang dimaksud syarat ialah sesuatu yang harus

(30)

21

Kalau salah satu syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu

tidak sah.7

Adapun yang termasuk rukun perkawinan, artinya hakikat dari suatu

perkawinan supaya perkawinan itu dapat dilaksanakan ialah:

1. Calon suami

Syarat dari calon suami adalah:8

a. Beragama Islam Syarat dari calon suami

b. Laki-laki

c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Calon istri

Syarat dari Calon istri adalah:

a. Tidak ada halangan syar’i yaitu: tidak bersuami, bukan mahram, tidak

dalam sedang iddah.

b. Merdeka, atas kemauan sendiri

c. Jelas orangnya

d. Tidak sedang ihrom haji.

3. Wali nikah

7Soemeyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty

1999), 88.

(31)

22

Syarat dari wali nikah adalah merdeka, sehat berakal dan beragama islam,

baik itu penganut Islam atau bukan seorang wali tidak disyaratkan adil, kecuali

melampaui batas-batas kesopanan yang berat.9

4. Dua orang saksi

Adapun syarat saksi yaitu :

a. Mukallaf dan dewasa

b. Muslim, orang yang bukan muslim tidak boleh menjadi saksi

c. Saksi harus mengerti dan mendegar perkataan ijab kabul.

d. Adil

e. Saksi yang hadir minimal dua orang

Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang saksi yang

menyaksikan akad nikah tersebut. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:

ََ ِن

َك

َحا

ِا

ََ ِب

ٍلْدَعِبَدِاَشَو َِِو

Artinya: ‛Nikah itu tidak sah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang

adil‛.10

4. Tujuan Pernikahan

Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu

yang akan melakukanya, karena lebih bersifat subyektif. Namun demikian ada

juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan

9Ibid, 33

(32)

23

melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan

lahir dan batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.11

Sabda Nabi Muhammad saw:

َف َاهِنْيدِلَو َاَِِامََِِو َاهِبَسَِلَو َاَِِامِل ٍعَبْرَِِ ُةَءْرَمْلا ُحِكْنُ ت

َكَادَي تَبِرَت ِنْيِدلا ِتَاذِب ْرَفْظا

Artinya:

‚Wanita itu lazimnya dinikahi karena empat hal : karena hartanya keturunanya karena kecantikanya, karena agamanya, maka pilihlah

wanita karena agamanya({jika tidak) maka binasalah engkau‛{12

Menurut Amir Syarifudin tujuan dan hikmah perkawinan diantaranya sebagai

berikut:13

1. Untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan

dating. Hal ini terkihat dari surat An- Nisa ayat 1:

                                               Artinya:

‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.‛

11Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat(Bandung : CV Pustaka Setia 1999), 12

(33)

24

2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan

rasa kasih saying. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat Ar-Rum

ayat 21:                                     Artinya:

‚Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.‛

B. Tajdi>dun Nik<ah

1. Pengertian Tajdi>dun Nik<ah

Agar lebih jelas dalam memahami pengertian tajdi<dun nika<h maka perlu

mendapatkan penjelalasan yang cukup tentang definisi tajdi<dun nika<h yang

populer dimasyarakat.

Kata tajdid dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari kata ‚ Jadda

yujaddu tajdidan. Kata- kata itu berasal dari fiil al- Madhi jaddada yang

bermakna dasar memperbarui.14 Menurut Abu Baiquni dan Arni Fauziana,

memberikan definisi tentang Tajdi>dun adalah memperbarui, yang dimaksud ialah

memperbarui atau menghidupkan kembali nilai- nilai keagamaan sesuai dengan

14Ali maksum dan Zainal Abidin Munawwir, Al- Munawwir (Surabaya : Pustaka Progressif,

(34)

25

Al- Quran dan Sunnah Rasul(hadis), setelah mengalami pergeseran nilai ajaran

karena khufarat dan bid’ah dilingkungan umat Islam.15

Dari definisi diatas dapat dirumuskan bahwa pengertian tajdi<dun nika<h

adalah memperbarui ikatan yang dilakukan oleh pasangan suami istri dalam

upaya untuk menjaga unsur kehati-hatian untuk membina keluaraga yang

harmonis.

2. Tajdi>>dun nika<h menurut Ulama

Hadist Salamah, beliau berkata :

ِها َلوُسَر اَي ُتْلُ ق ُعِياَبُ ت َََأ ُةَمَلَس اَي ِِ َلاَقَ ف ِةَرَجَشلا َتََْ ملسو هيلع ها ىلص ََِِنلا اَنْعَ ياَب

ْدَق

ِناَثلا َِِو َلاَق ِلَوَِا ِِ ُتْعَ ياَب

Artinya :

‚Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu.

Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : ‚Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at? Aku menjawab : ‚Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).‛ Nabi SAW

berkata : ‚Sekarang kali kedua.‛ (H.R Bukhari)16

Dalam hadits ini diceritakan bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at

kepada Nabi SAW, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan sekali

lagi bersama-sama dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai’at

Salamah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh al-Muhallab. Karena itu,

bai’at Salamah kali kedua ini tentunya tidak membatalkan bai’atnya yang

pertama. Tajdi>d nika>h dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi

bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara

15 Abu Baiquni dan Arni fauziana, kamus istilah Agama Islam, ( Surabaya : Arloka, 1995), 180

.

(35)

26

pihak. Pendalilian seperti ini telah dikemukakan oleh Ibnu Munir sebagaimana

disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri. Ibnu Munir berkata :

‚Dipahami dari hadits ini (hadits di atas) bahwa mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad pertama, ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah yang berpendapat demikian (mengakibatkan fasakh).‛

Mengomentari pernyataan Ibnu Munir yang mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah

berpendapat mengulangi akad nikah dan akad lainnya dapat mengakibatkan

fasakh akad pertama, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :

“Aku mengatakan : “Yang shahih di sisi ulama Syafi’iyah adalah mengulangi

akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama,

sebagaimana pendapat jumhur ulama.”17

3. Faktor terjadinya tajdi>dun nika>h

Pelaksanaan tajdi>du>n nika>h ini merupakan kepercayaan individu

masyarakat yang menginginkan rumahtangganya lebih harmonis dan tidak ada

kendala, faktor yang mempengaruhi terjadinya tajdi>dun nika>h didalam

masyarakat secara umum sebagai berikut:18

a. Ihtiyati (berhati- hati )

Masyarakat mempunyai keperyacayaan bahwasanya dalam mengarungi rumah

tangganya setiap manusia memiliki kesalahan dahn mungkin saja terjadinya

pertengkaran yang tidak disengaja menyebut kata- kata talaq dan mereka

tidak menyadari hal tersebut dengan demikian demi menjaga tali

perkawinanya maka sebagian masyarakat melakukan tajdi>dun nika>h sebgai

bentuk kehati-hatian dalam perkawinannya.

17

Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 199

18Anggaraini, Analisis hukum Islam terhadap tajdid nikah di Desa Pandean Banjar Kemanten

(36)

27

b. Tajammul (memperindah)19

Kepercayaan masyarakat dengan pelaksananan tajdi>dun nika>h yakni apat

menambah keberkahan pada perkawnannya, menjadikan keluarga lebih

harmonis

c. Adat (kebiasaaan)

Dalam adat jawa memiliki kearifan dalam menyikapai suatu problem

termasuk dalam perkwinan kebiasaan dan kepercayaan masyakatat masih

kental dengan upacaya adat istiadat sebgai contoh dengan perhitungan weton

antara calon mempelai, dalam praktiknya ada beberapa hari akad perkawinan

yyang disebabkan oleh hitungan weton dalam kepercayaan mereka kurang

baik dan mengharuskan adanya tajdi>dun nika>h

4. Hukum Tajdi<dun Nika<h

Untuk menngetahui hukum tajdi<dun nika<h tidak terlepas dari prinsip halal

dan haram dalam Islam, yakni terbagi menjadi tiga bagian dalam masalah Adat,

Muamalat dan Ibadah. Ada kaidah-kaidah fiqih yang berbeda diantara ketiga hal

tersebut antara lain:20

a. Adat

Kaidahnya menyataka bahwa ‚Dalam persoalan adat pada prinsipnya segala

sesuatu itu boleh untuk dikerjakan, kecuali yang memang telah diharamkan

b. Mu’amalat

19http/hakamabbas.blogspot. co.id/2014/02/faktor-terjadinya-tajdidun.html?m=1, diakses pada

tanggal 27 Maret 2017, 07:12

(37)

28

Dalam Mu’amalat berlaku kaidah bahwa ‚ Asal segala sesuatu itu adalah

halal. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang shoheh (tidak

cacat periwayatanya) dan sharih (jelas maknanya) dari pemilik syariat (Allah

SWT) yang mengharamkannya‛

c. Ibadah

‚ Suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali disyariatkan oleh Allah‛

Sedangkan hukum asal Ibadah dinyatakan bahwa hukum asal dalam masalah

ibadah adalah tauqif yakni mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah

ditentukan oleh syariat. Karena itu tidak dibenarkan beribadah kepada Allah

kecuali dengan peribadatan yang telah disyariatkan oleh Allah dalam

Kitab-Nya dan melalui penjelasan Rasul-Kitab-Nya, Muhammad SAW. Hal ini karena

Ibadah adalah hak murni Allah yang Ia tuntut dari hamba-Nya berdasarkan

sifat Rububiyah-Nya terhadap mereka. Tata cara, sifat, dan ber-taqorub

(melakukan pendekatan diri kepada Allah) dengan Ibadah hanya boleh

dilakukan dengan cara yang telah disyariatkan dan diizinkan-Nya.

Karena itulah dalam masalah Ibadah kita tidak boleh membuat tata cara yang

baru, melainkan harus sesuai dengan tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya. Dari

ketiga kaidah tersebut itulah kita akan menetukan, apakah pelaksanaan tajdi<dun

nika>h itu halal atau haram. Sebelum menentukan halal atau haram perbuatan

tajdi<dun nika>h maka kita harus pahami terlebih dahulu, termasuk dari katageori

apakah tajdi>dun nika>h tersebut. Apakah masuk wilayah, Adat, Mu’amalat

(38)

29

persoalan tersebut, agar kita dapat menentukan dengan benar dan tepat mengenai

hukum melaksanakan tajdi<dun nika>h itu sendiri yaitu sebagai berikut:

1) Pelaksanaan tajdi<dun nika<h dari kaca mata Ibadah.

Untuk melaksanakan Ibadah harus ada perintah ‚karena masalah Ibadah itu

semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan melainkan dari jalan

wahyu‛. Atau dalam bahasa lain sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah

bahwa ‚Ibadah yang diwajibkan dan dicintai Allah tidak dapat ditunaikan

kecuali dengan syariat‛.

Adapun masalah pernikahan adalah bagian dari ibadah, sebab didalamnya

ada perintah ada larangan serta ada tata cara, syarat dan rukun didalam

melaksanakan perkawinan. Sedangkan istilah tajdi<dun nika>h atau Pembaharuan

Nikah didalam ajaran Islam tidak dikenal dan tidak pernah ada perintah

ataupun petunjuk dari Allah maupun Rasul-Nya, mengenai pelaksanaan

tajdi<dun nika>h. Untuk mengatasi persoalan didalam rumah tangga, apabila

suami istri sudah tidak dapat disatukan kembali, Islam telah memberikan satu

jalan keluar yang terbaik yaitu melalui jalan Talak apabila ingin berpisah dari

pasangannya dan Rujuk apabila ingin kembali. Bagaimana pula tata cara

seseorang dapat melakukan Talak dan Rujuk, itupun didalam ajaran Islam telah

diatur dengan sangat sempurna. Dan kita umat Islam tidak dibenarkan

membuat aturan dan tata cara tersendiri.

Maka sesuai dengan kaidah fiqih dan hukum asal Ibadah sebagaimana

tersebut diatas dapat dipastikan bahwa hukum melaksanakan tajdi<dun nika<h

(39)

30

termasuk perbuatan yang mengada-ngada serta membuat tata cara baru dalam

masalah ibadah, yang jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana

sabda Rasulullah : 21

َم ْن

َا

ْح

َد

َث

ِف ْي

َما

ُهْنِم َسْيَلاَنِرْمَا

ُهَ ف

ٌدَرَو

Artinya :

‚Barangsiapa yang membuat cara baru dalam urusan Kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia tertolak‛

2). Pelaksanaan tajdi<dun nika>h dari kaca mata Adat dan Mu’amalat

Adapun mengenai adat dan Mu’amalat, berlaku kaidah fiqih bahwa

asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada nash yang melarangnya. Karena

sumber masalah Adat dan Mu’amalat bukan dari Syar’i , tetapi justru manusia

itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan.22 Syar’i dalam hal ini

tugasnya adalah untuk membetulkan dan meluruskan, mendidik dan mengakui

kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan

madorot.

Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Taymiyah bahwa ‚ Adat Istiadat

itu adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam urusan dunia

yang mereka butuhkan. Prinsip dasar hukumnya adalah tidak ada larangan.

Tidak ada larangan padanya kecuali apa-apa yang dilarang Allah Swt.

Demikian itu karena, perintah dan larangan adalah kewenangan syariat Allah

SWT‛.

21Bukhari, Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah, Juz.I,), 11

(40)

31

Dari beberapa keterangan diatas bahwa hukum tajdi<dun nika<h atau

dalam bahasa adat yakni ‚ nganyari kawin‛ lebih condong kepada tradisi

masyarakat yang membudaya secara turun menurun untuk melaksanakan

tajdidun nikah. Pelaksanaan tajdidun nikah ini dalam rangka agar menjaga

keharmonisan bahtera rumahtangga mereka dan sebagai bentuk kehati-hatian.

Karena itulah untuk menetukan hukum melaksanakan tajdi<dun nika>h sebagai

suatu tradisi juga harus melihat maksud dan tujuan dilaksanakannya tajdi<dun

nika>h.

Tajdi<d Al-nika>h merupakan tindakan sebagai lambang membuat

kenyaman hati dan ikhtiati (kehati-hatian) yang diperintah dalam agama

sebagaimana kandungan sabda Nabi Muhammad SAW:

ُل َََلْا

ُمَرَلْاَو ٌَِّ ب

ِتاَهِبَشُما َقَتا ِنَمَف ِشاَنلا َنِمٌرْ يِثِك َنُهُمَلْعَ ي ََ ٌتاَهِبَتْشُم ٌرْوُما اَمُهَ نْ يَ بَو ٌَِّ ب

)ىراخبلاا اور(ِهِضْرِعَو ِهِنْيِدِلَاَرْ بَتْسَاْدَقَ ف

Artinya:

‚Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan diantara kedunaya terdapat hal musyabihat/ samar-samar, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barang siapa yang menjaga hal-hal musyabihat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. (H.R Bukhari).23

Menurut Ibnu Munir, beliau memberikan suatu hukum dari tajdi<dun

nika>h adalah boleh, karena mengulangi lafad akad nikah dalam nikah yang kedua

tidak merusak pada akad yang pertama. Kemudian dikuatkan oleh argument

(41)

32

Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqolani, Menyatakan bahwa menurut jumhur

ulama bahwa tajdi<dun nika>h tidak merusak akad yang pertama. Dan beliau juga

menambahi perkataan bahwa yang shohih disisi ulama Syafi’iyah adalah

mengulangi akad nikah atau akad lainya tidak mengakibatkan fasahk akad

petama, sebagaimana pendapat jumhur ulama.24

Akan tetapi ada juga ulama Syafiiyah yang berpendapat bahwa tajdi<dun

nika>h dapat membatalkan nikah sebelumnya antara lain Yusuf Al-Ardabili

al-Syafii, ulama terkemuka mazhab Syafi sebagaimana perkataan beliau dalam

kitabnya Al-anwar li A’mal sebagai berikut:

‚Jika seorang suami memperbarui nikah kepada istrinya, maka wajib memberi

mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbarui nikah termasuk

mengurangi hitungan talak kalau dilakukan sampai tiga kali maka diperlukan

muhallil‛.25

Menurut A. Masduki Machfudh adalah boleh dan tidak merusak pada

akad yang terjadi, karena memperbarui akad itu hanya sekedar keindahan (

Al-tajammul) atau berhati-hati. Hal ini juga diungkapkan oleh A.Qusyairi Ismail,

bahwa hukum asal memperbarui akad nikah itu boleh karena bertujuan hati-hati,

agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan atau bertujuan tajammul (upaya

menaikkan prestise/ menjaga gengsi).26

24Ahmad bin Ali bin Hajar al-asqolani, Fathul Barri Juz XIII (Sarah Shohi Bukhori, Darul Fikri

1780),199

25Yusuf al-ardabili al-syafii, Al-anwar,juz II, (Dar al-dhiya’),441

(42)

33

Dari keterangan di ata bisa dsimpulkani bahwa hukum tajdi<dun nik<ah

diperbolehkan dengan tujuan untuk memperindah dan sebagai unsur kehati-

hatian dengan syarat atas persetujuan suka rela antara kedua belah pihak.

C. Hitungan Weton dalam Perkawinan

1. Sejarah Singkat Kalender Jawa

Orang jawa telah mengenal Islam sejak zaman prahistori srat Ramayana

yang berasal dari abad ke 9, menunjukkan bahwa orang jawa kuno telah memeluk

agama hindu dan buda. Kedua agama tersebut sangat mewarnai dan menjadi jiwa

bagi orang jawa secara menyeluruh hingga abad ke 15

Pada akhir abad ke 15 terjadi gelombang pengislaman secara

besar-besaran di Jawa, yakni prabu Brawijaya V, raja yang diakui sebagai raja terakhir

Raja Majapahit, masuk Agama Islam atas bimbingan sunan Kalijaga. Prinsip

agenging aji membuat rakyat Jawa mengikuti apa keyakinan dan Agama

Rajanya. Apalagi kemudian disusul berdirinya Demak sebagai kerajaan yang

menggunakan Kitab suci Alqran sebagai undang-undang kerajaaan.

Agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa namun

kuatnya tradisi Jawa membuat Islam mau tak mau harus berakulturasi. Akhirnya

wujud akulkturasi tersebut menjadi ajaran khas jawa.27 Termasuk salah satu dari

tradisi masyarakat yang tinggal dipulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa

Timur juga mengenal kalender Jawa yang khas. Kelender khas ini dinamakan

kalender Jawa sampai sekarang Jawa masih banyak dipakai. Kelender Jawa dapat

27M. heriwijaya, Islam Kejawen,( Yogyakarta : perpustakaan nasional Ri: catalog dalam terbitan,

(43)

34

ditemukian dengan mudah, misalnya dalam kalender harian yang diganti setiap

makhir tahunnya. Kalender Jawa diperkirakan mulai dipakai sekitar tahun 78

masehi, yang mendasarkan pada peredaran dua benda kosmik raksasa, yakni

bulan dan matahari. Jadi kalender Jawa disusun berdasarkan perpaduan antara

peredaran bulan dan peredaran matahari.

2. Kalender Jawa

Kalender Jawa memiliki 12 bulan yang namanya ialah Suro, sapar, Mulud,

Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Puasa, Sawal, hapir serta

Besar. Setiap bula dalam kelender jawa memiliki hari yang berlainan jumlahnya.

Jumlah hari masing- masing bulan terlampir pada tabel berikut:28

Urutan Nama bulan Jumlah hari

1 Suro 30 hari

2 Sapar 29 hari

3 Mulud 30 hari

4 Rabingulakir 29 hari

5 Jumadilawal 30 hari

6 Jumadilakir, 29 hari

7 Rajab, 30 hari

8 Ruwah 29 hari

9 Puasa 30 hari

(44)

35

10 Sawal 29 hari

11 Hapir 30 hari

12 Besar 29 hari

Selain pembagian waktu dalam hitungan bulan, kalender jawa juga mengenal

empat macam pembagian waktu dengan patokan pertihungan yang lain yakni

windu, wuku, pranoto ,wongso atau mangsa dan hari pasar. Rincian pembagian

waktunya sebagai berikut:

1. Windu yang terdiri dari 8 tahun

2. Wuku yang terdiri 30 pilihan

3. Pranoto mongso atau mamgsa yang terdiri dari 12 pilihan

4. Hari pasar yang terdiri 5 pilihan

Setiap tahun dalam windu mempunyai nama yakni, alip, ehe, jimawal, Je,

Dal, Be, Wawu dan Jimakir urutan dari tahun dalam satu windu tertera pada

tebel berikut:29

Urutan tahun Nama

Pertama Alip

Kedua Ehe

Ketiga Jimawal

Keempaat Je

Kelima Dal

(45)

36

Keenam Be

Ketujuh Wawu

Kedelapan Jimakir

Kemudian neptu hari, pekan bulan dan tahun dalam jawa:30

Neptu hari dan pekan

Hari Pasaran

Ahad = 5

Senin = 4

Selasa = 3

Rabu = 7

Kamis = 8

Jumat = 6

Sabtu =9

Legi = 5

Pahing = 9

Pon = 7

Wage = 4

Kliwon= 8

Neptu bulan

Nama bulan Neptu\

Suro 7

Sapar 2

30Raden soemodidjojo, Kitab Primbon Bentaljemur Adamakna ( Yogyakarta : CV Buana Raya,

(46)

37

Mulud 3

Rabingulakir 5

Jumadilawal 6

Jumadilakir 1

Rajab 2

Ruwah 4

Puasa 5

Sawal 7

Dulkaidah 1

Besar 3

Neptu tahun

Nama Neptu

Alip 1

Ehe 5

Jimawal 3

Je 7

Dal 4

Be 2

Wawu 6

(47)

38

3. Perhitungan Weton Jawa dan Penetapan Akad Nikah

Dalam adat masyarakat sebelum melaksanakan akad perkawinan yakni dengan

tradisi perhitungan weton sesuai dengan hari kelahiran dari kedua mempelai,

kemudian neptu hari dan pekan (pasaran) dari kelahiran calon suami istri masing-

masing dijumlahkan, hasilnya dibagi 9 dan dicatat berapa sisa dari calon suamai

dan beberapa dari calon istri. Berikut perhitungan untuk perkawinan sesuai

dengan neptu dan pekan dari masing- masing calon mempelai.31

1 dan 1 yakni berarti baik,

saling mencintai

4 dan 4 Sering sakit

1 dan 2 Baik 4 dan 5 Banyak mengalami godaan

1 dan 3 kuat tetapi rejekinya

jauh

4 dan 6 Banyak rejeki

1 dan 4 banyak celakanya 4 dan 7 Melarat

1 dan 5 Bercerai 4 dan 8 Mengalamai banyak rintangan

1 dan 6 Sulit kehidupan 4 dan 9 Salah satu kalah

1 dan 7 Banyak musuh 5 dan 5 Mengalami keberuntungan

terus menerus

1 dan 8 Sengsara 5 dan 6 Murah rejeki

1 dan 9 Tempat berlindung 5 dan 7 Mata pencaharianya tetap

terus ada

2 dan 2 Selamat, rejeki banyak 5 dan 8 Mengalami banyak rintangan

(48)

39

2 dan 3 Salah satu meninggal

terlebih dahulu

5 dan 9 Murah rejeki

2 dan 4 Banyak mengalami

godaan

6 dan 6 Banyak celaka

2 dan 5 Banyak celaka 6 dan 7 Rukun damai/ tentram

2 dan 6 Cepat menjadi kaya 6 dan 8 Banyak musuh

2 dan 7 Banyak anak yang mati 6 dan 9 Sengsara

2 dan 8 Murah rejeki 7 dan 7 Terhukum oleh isterinya

2 dan 9 Banyak rejeki 7 dan 8 Terhalang karena dirinya

sendiri

3 dan 3 Melarat 7 dan 9 Perjodohanya kekal

3 dan 4 Banyak celakanya 8 dan 8 Dicintai oleh orang lain

3 dan 5 Cepat bercerai 8 dan 9 Banyak celakanya

3 dan 6 Mendapat anugrah 9 dan 9 Susah rejeki

3 dan 7 Banyak celakanya

3 dan 8 Salah satu meninggal

dahulu

3 dan 9 Banyak rejeki

Contoh

Diumpamakan kelahiran suami hari jumat Kliwonn neptu hari dan pekan

(pasaran) adalah 6 dan 8. Jika hasil penjumlahanya itu dibagi 9 maka sisanya

(49)

40

pekan(pasaran) adalah 6 dan 9. Jika dijumlahkan dan dibagi 9 maka akan bersisa

6. Sisa keduanya adalah 5 dan 6 yang jatuh pada : Murah rejeki, itu pertanda

baik.32 Begitu dan seterusnya ketika menggunakan perhitungan weton dalam

perkawinan untuk melaksanakan akad perkawinan antara calon suami dan istri

sebagai tradisi masyarakat Jawa. Setelah menghitung hari lahir kemudian

menentukn hari pelaksanaan untuk hari akad nikah dengan rumusan sebagai

berikut:

Hari Selasa Wage 2- 2 1<>- 2 – carukan hari Senin

Rabu Kliwon 2 1 – 1 2 2< 7 carukan hari Rabu

Kamis Legi – 2 4 1 –< 4 2 carukan hari Selasa

Jumag Pahing 2< 7 2 1 – 1 2 carukan hari Jumat

Sabtu Kliwon 6 1 4< 1 – 2 2 carukan hari Minggu

Minggu Wage 1 3 - -< 4 1 - carukan hari Senin

Senin Kliwon 1< 1 – 5 1 – 4 carukan hari Jumat

Selasa Legi 4 1 – 1 2< - - carukan hari Selasa

Rabo Pahing 1 – 2 2 6 1< 4 carukan hari Rabu

Kamis Pon 7 2 1 – 1 2 2< carukan hari Kamis

Jumat Wage 4 - - 4 1 – 1 carukan hari Minggu

(50)

41

Sabtu Kliwon 2 7 1 4< 1 – 2 carukan hari Senin

Ahad Legi – 1 4 - -< 4 1 carukan hari Selasa

Senin Pahing 1 –< 4 2 – 2 4 carukan hari Sabtu

Selasa Pon 1 – 1 4 - -< 4 carukan hari Rabu

Rebo Wage 4 1< 1 – 4 1 – carukan hari Sabtu

Kamis Pahing 4< 1 – 2 2 6 1 carukan hari Jumat

Jumat Legi 1 – 4 1< 1 – 4 carukan hari Senin

Sabtu Pahing – 4 1 – 2< 8 3 carukan hari Selasa

Ahad Pon 1 – 5 1 – 4 1< carukan hari Kamis

Senin Wage 1 – 1 2< - - 4 carukan hari Senin

Selasa Kliwon 1< 1 – 4 1 – 4 carukan hari Jumat

Rabo Legi – 4 1< 1 – 5 1 carukan hari Minggu

Kamis Pahing 1 4< 1 – 2 2 7 carukan hari Sabtu

Jumat Pon 2 – 2 4 1 -< 4 carukan hari Rabu

Sabtu Wage 4 2 – 2 4 1 -< carukan hari Kamis

Ahad Kliwon 2 4< 1 4 1 – 2 carukan hari Sabtu

(51)

42

Selasa Pahing 4 1< 1 – 5 1 – carukan hari Sabtu

Rabo Pon 1 – 2 2 4< 1 4 carukan hari Selasa

Kamis Wage 1 – 4 1< 1 – 5 carukan hari Senin

Jumat Kliwon 1 4 1 – 2 2 4< carukan hari Kamis

Sabtu Legi 4< 1 4 1 – 2 2 carukan hari Jumat

Ahad Pahing 2 4< 1 4 1 – 2 carukan hari Sabtu

Senin Pon 1 – 4 1 – 4 1< carukan hari Kamis

Keterangan caruk’an (a<<<<>) tanda kecil diatas, caru’an merupakan hari yang tidak

boleh dipakai dalam pelaksanaan akad nikah dan tanda (-) merupakan hari yang

tidak boleh digunakan hitungan dimulai dari jumat ( 2 – 2 1< - 2 -) hari pertama

adalah angka 2.33 Proses pertitungan dimulai dari hari kelahiran masing- masing

mempelai kemudian digabungkan antara calon mempelai.

D. Hukum Islam (Urf)

1. Pengertian Urf

Secara umum, adat dapat dipahami sebagai tradisi lokal (local custom) yang

mengatur interaksi masyarakat. Dalam ensiklopedi disebutkan bahwa adat adalah

‚kebiasaan‛ atau ‚tradisi‛ masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Kata ‚adat‛ di sini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang

(52)

43

mempunyai sanksi, seperti ‚hukum adat‛, dan mana yang tidak mempunyai

sanksi, seperti disebut sebagai sebuah tradisi.34

Dilihat dari segi bahasa kata Urf berasal dari bahasa Arab, masdar dari

kata

ًافْرُع ُفِرْعَ ي َفَرَع

sering diartikan sesuatu yang dikenal. Adapun kata adat juga

berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti pengulangan suatu peristiwa

tetapi terlepas dari penilaian baik dan buruknya (netral). Adapun kata Urf lebih

cenderung kepada kualitas (baik buruknya) sehingga tidak ada perbedaan prinsip

antara adat dan ‘urf, karena keduanya sama-sama mengacu kepada peristiwa

yang berulang kali dilakukan sehingga diakui dan dikenal orang.35 Menurut

istilah ahli syarak, secara umum tidak ada perbedaan antara Urf dan Adat, dua

kata tersebut adalah sinonim yang berarti Urf bisa disebut juga dengan Adat.36

Adapun yang dikehendaki dengan kata Adat dalam karya ilmiah ini adalah

Adat yang tidak mempunyai sanksi yang disebut dengan tradisi. Kata Urf juga

mempunyai arti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah

dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau

meninggalkannya.37

Dari segi terminilogi, kata Urf mengandung makna sesuatu yang menjadi

kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan

yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal

dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika

34Ensiklopedi Islam, Jilid I, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 21.

35Sapiudin Shidiq, Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 98

36Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

1993), 134.

(53)

44

mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.38 Dalam

kajian Usul ikih, ‘Urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tentram. Kebiasaan yang telah

berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan, baik yang bersifat

khusus maupun yang bersifat umum. Dalam konteks ini, istilah ‘urf sama dan

semakna dengan istilah al-‘a>dah (adat istiadat).39

2. Macam-Macam ‘Urf

Macam-macam ‘urf ditinjau dari berbagai aspeknya dapat dibagi menjadi:

a. Dari segi obyeknya Urf (adat istiadat)40

1. Al-‘urf al-lafz}i adalah sebuah adat atau kebiasaan masyarakat dalam

mempergunakan ungkapan tertentu dalam meredaksikan sesuatu, sehingga

makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam fikiran

masyarakat

2. Al-‘urf al-‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan

perbuatan biasa atau muamalah keperdataan, yang dimaksud dengan

‚perbuatan biasa‛ adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.

b. Dari segi cakupannya, ‘urf dibagi dua, yaitu al-‘urf al-‘a>mm (adat yang bersifat umum) dan al-‘urf al-kha>s{ (adat yang bersifat khusus)

1. Al-‘urf al-‘a>mm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi

sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.41

38Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2011), 209.

39Amir Syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta: Zikarul Hakim, 2004), 98

(54)

45

2. Al-‘urf al-kha>s{ (khusus), ialah kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok

orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di

sembarang tempat.42

c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syarak, ‘urf dibagi dua yaitu ‘urf al-s{ah}i>h (adat yang dianggap sah) dan al-’urf al-fa>sid (adat yang dianggap rusak).

1. Al-‘urf al-s{ah}i>h adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang

tidak bertentangan dengan dalil syara’ tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib

2. Al-‘urf al-fa>sid adalah suatu kebiasaan yang telah berjalan dalam

masyarakat, tetapi kebiasaan itu bertentangan dengan ajaran Islam atau

menghalalkan yang haram dan sebaliknya, seperti perbuatan-perbuatan

mungkar yang telah menjadi tradisi pada sebagian masyarakat

3. Kehujjahan ‘Urf

Para ulama banyak yang sepakat dan menerima ‘urf sebagai dalil dalam mengistinbathkan hukum, selama ia merupakan ‘urf shahih dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, baik berkaitan dengan ‘urf al-‘a>mm maupun ‘urf al-kha>s}. Dalam pandangan al-Qarawi (w.684 H/ 1258 M), seorang ahli fikih mazhab Maliki, seorang mujtahid yang hendak menetapkan suatu hukum harus

lebih dahulu memperhatikan kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat

sehingga hukum yang ditetapkannya tidak bertentangan dan menghilangkan

kemaslahatan yang telah berjalan dalam masyarakat tersebut.43

41Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2011), 210.

42Sapiudin Shidiq,Ushul Fikih, (Ja

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rahma Nurvidiana dkk (2015) “Pengaruh Word Of Mouth Terhadap Minat Beli Serta Dampaknya Pada

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam membangun sistem pakar mendiagnosis hama dan penyakit tanaman jeruk lemon dengan teknik inferensi forward

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pemberian pembelajaran dengan menggunakan metode SAVI dengan metode Inquiry terhadap prestasi

Hasil tersebut dapat dilihat karena tidak hanya pembiayaan saja yang mampu membuat nilai pembiayaan musyarakah meningkatnya profitabilitas Bank Umum Syariah tetapi

Syari’ah dalam akad tijārah di PT Asuransi Takaful Keluarga Cabang Banda Aceh yaitu nasabah yang melakukan wanprestasi diingatkan via SMS atau telfon oleh perusahaan takaful

Perhitungan konsekuensi dilakukan untuk mengetahui konsekuensi-konsekuensi yang terjadi pada sistem perpipaan bawah laut yang terletak di atas permukaan tanah akibat

Setelah diberi perlakuan panas berupa hardening pada temperatur 950 o C dan tempering dengan variasi pada temperatur dan waktu tahan, spesimen diuji metalografi

terhadap Prinsip Miranda Rule telah di jatuhi hukuman disiplin berupa penundaan mengikuti pendidikan dalam jangka waktu tertentu, penundaan kenaikan pangkat serta