BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/ Paradigma Penelitian
Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba
(Wibowo, 2011: 136)paradigma adalah “ Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi
prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam
dunia.” Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri
seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia.
Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan
oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran
konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif,
tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.
Penelitian ini menggunakan sebuah paradigma Konstruktivis. Paradigma konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis
dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam
mengkaji suatu fenomena sosial (Vardiansyah, 2008: 62).
Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis
terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan
langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar
mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan
menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011: 162).
Denzin dan Lincoln (dalam Wibowo, 2011: 162) menilai bahwa, setiap paradigma
dapat dibedakan berdasarkan elemen-elemen yang berkaitan dengan epistemologi, ontologi,
aksiologi, dan metodologi. Epistomologimenyangkut asumsi tentang hubungan antara peneliti
dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti.
Elemen metodologimenyangkut asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan
mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value judgements.
Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu
pengetahuan (ilmu komunikasi) dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya.
ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi
itu digunakan?
Epistomologi adalah filsafat yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang
mengetahui apa yang mereka akui mengetahuinya. Karena aneka ragam disiplin terlibat
dalam studi komunikasi dan perbedaan hasil pemikiran mengenai riset dan teori, isu-isu
epistomologi adalah penting dalam bidang ini. (LittleJohn dalam Zamroni, 2009:87). Objek
Epistomologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat ilmu
pengetahuan. Di antara isu-isu epistomologi yag penting menurut LittleJohn (2002:26),
adalah pertanyaan : dengan proses apa pengetahuan itu muncul? Pertanyaan ini sangat
kompleks, dan debat pada isu-isu ini terletak pada jantung epistomologi.
Konstruktivisme dikaji secara ontologis menurut Guba (dalam Denzin dan Lincoln,
2009 : 137) dapat dikelompokkan dalam relativis. Realitas yang bisa dipahami dalam bentuk
konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindera, yang didasarkan secara
sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik (meskipun berbagai elemen sering kali
sama-sama dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya), dan bentuk
beserta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi
tersebut. Konstruktivisme dikaji secara epistomologidapat dikelompokkan dalam
transaksional dan subjektivis. Peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal
balik sehingga “hasil-hasil penelitian” terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya
proses penelitian.
Konstruktivisme menganggap bahwa subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan
komunikasi serta hubungan sosialnya(Elvinaro dan Q. Anees, 2007:151). Subjek memiliki
kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.
Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan
pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Bagi kaum konstruktivis,
semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta
yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural.
Konstruktivisme, berdasarkan secara etimologi mengkonstruksi, merangkai.
Konstruktivisme merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang yang sudah ada di benak
subjek. Namun, konstruktivisme menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi,
melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau
yang mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt (1989) (dalam Elvinaro dan Q.
Anees, 2007:157)menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan,
yaitu : (1) konteks tindakan, (2) konteks membuat akal, (3) konteks penjelasan, dan (4)
konteks pembenaran (justifikasi).
Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna
atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran(Elvinaro dan Q. Anees, 2007:
153)berdasarkan teori Popper (1973). Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam
semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi
tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan
ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu
melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang
tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan
baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa
pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld
(dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita
sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan
bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas)(Wibowo, 2011: 162). Pengetahuaan bukanlah
gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang
membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi
merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara
terus menerus dialaminya.
Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus
menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari
suatu pengertian / makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimanadari suatu arti
dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku.
Sedangkan paradigma kritis menekan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada
yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan dengan pikirannya, karena dipengaruhi
oleh kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami
sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu,
maupun strategi di dalamnya (Eriyanto, 2001 : 6).
Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia
berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna
diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga
konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstruktivis pertama kali digunakan
tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss,
2009: 216). Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang
diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis.
Menurut Feenberg, pendekatan konstruktivis mengkritisi pandangan deterministik,
yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan sendirinya, independen
dari perkembangan utama politik dan kebudayaan. Feenberg membuat tiga dalil: (1)
teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana pilihan terhadap teknologi dipengaruihi
berbagai kriteria kontekstual; (2) proses sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural
yang berhubungan dengan teknologi; dan (3) definisi kompetitif teknologi mencerminkan
pandangan masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi
dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat (LittleJohn & Foss, 2009 : 216).
2.1.1 Pengetahuan
Para pemikir konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil
pemahaman pemikiran secara terus menerus, berulang-ulang. Piaget (1970) (dalam Elvinaro
dan Q. Anees, 2007: 155) membedakan dua aspek dalam pembentukan pengetahuan : (1)
aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imajinasi, dan gambaran
mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatiflebih berkaitan
dengan transformasi dari satu tingkat ke tingkat lainnya.
Secara ringkas gagasan konstrukstivisme mengenai pengetahuan menurut Glasersferld dan
Kitchener dapat dirangkum sebagai berikut (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007 : 155) :
1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Stuktur konsepsi
membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang.
Ketidakpuasan manusia, sepanjang hidup, naluri ingin tahu mendoraong manusia
untuk terus mencari tahu. Karenanya, mari kita artikan naluri ingin tahu sebagai dorongan
alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu,
termasuk hal ihwal diri sendiri, dan baru berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya
(Vardiansyah, 2008 : 2). Sebelum mengetahui, juga manusia terlebih dahulu melihat,
mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Yang berada di sekitar manusia
adalah seisinya, tampak maupun tidak: asalkan ada, dirasakan , atau mungkin ada. Dengan
kata lain, objek tahu adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.
Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-alam-an pengalaman.
Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut
penge-tahu-an (pengetahuan). Pengetahuan ada jika manusia demi pengalamannya mampu
mencetuskan pertanyaan atau putusan atas objeknya, seperti mangga yang satu itu masam.
(Vardiansyah, 2008: 3).
Objek materia adalah objek dari mana ilmu dalam bidang yang sedang
diamati,sedangkan objek forma adalah sudut dari mana objek materia dikaji secara spesifik.
Dalam hal Ilmu Komunikasi, objek materia adalah tindakan manusia dalam konteks sosial,
sama seperti sosiologi atau antropologi misalnya, dan karenanya masuk dalam rumpun ilmu
sosial. Sedangkan objek forma ilmu komunikasi adalah ilmu komunikasi itu sendiri.
2.2 Kerangka Teori / Kajian Pustaka
2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa
Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi
terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar,
suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai
Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh
media. Menurut Gerbner (dalam Wibowo, 2011: 125) dan kawan-kawan, dunia simbol media
membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan
konstruksi realitas.
Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja
dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun
masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya
semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa
terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki
definisi subyektif sama.” (Wibowo, 2011: 126).
Menurut penjelasan Berger dan Luckmann diatas, segala yang ada dalam institusi
masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi.
Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang
kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam
masyarakat.
Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah (dalam Wibowo, 2011:125)
pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti
konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.
Berger dan Luckmann (dalam Wibowo, 2011: 126) membagi realitas sosial ke dalam
tiga macam realitas, yaitu :
a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di
luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan.
b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.
c. Realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik
ke dalam individu melalui proses internalisasi.
Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu :
a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia
b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses
institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia
baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia.
Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi
pemaknaan subjektif.
c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan
lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.
Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi-konstruksi realitas
sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan
bahasa sebagai perangkat dasarnya.
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai
sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian
semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi
dan pandangan kita tentang realitas,telah dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain
yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat
dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang
ada (Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999).
Atas dasar pengaruh dari tanda tersebut seorang penggiat aktivis penghijauan Green
Peace, John Watson, memberikan pendapatnya mengenai media massa. Media massa
merupakan sumber informasi yang menjadi pionir utama dalam keseharian manusia.
Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi
sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan
oleh media massa (Abrar, 1995: 59).
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah
hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan
sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa,
maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality).
Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas
Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai
perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu
metode dalam mengembangkan pertandaan. Bahasa bukan saja sebagai alat
merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan
diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi
untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang
hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar
besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang
dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah
peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian
realitas (Sobur, 2001: 88).
Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas
berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian
suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna
yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad (2001: 57), bahasa bukan cuma mampu
mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa
merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya “Tafsir Sosial atas
Kenyataan : Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan”, menggambarkan sebuah proses sosial
melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas
yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.
Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas
sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan
(being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan
didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik secara spesifik.
Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui
tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata
secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif
melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang
generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang
universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan
mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan
(Berger dan Luckmann, 1990: 61).
Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat
dengan pertanyaan filosofis (Pilliang, dalam Slouka, 1999:15). Apakah yang kita lihat itu
benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah
konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan
representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat
kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan
(appearance) dari realitas dibaliknya (Piliang, dalam Slouka, 1999: 15).
Media memainkan peran dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran
informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang
realita. LittleJohn (1996: 236) membuat sebuah penafsiran mengenai media, “peristiwa tidak
bisa menunjukkan… agar bisa dipahami peristiwa harus dijadikan bentuk simbolis… si
komunikator mempunyai pilihan-pilihan kode-kode atau kumpulan simbol… pilihan tersebut
akan mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,. karena setiap bahasa – setiap
simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang sengaja
atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi.
Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too (Hall, 1997, dalam
Susilo, 2000). Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat
bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan
dengan peran teks di dalam kebudayaan. Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan
strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier
(Fiske, 1990:39).
Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan
individu. Dennis McQuail (dalam Wibowo, 2011 : 127) mengatakan bahwa komunikator
dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut
seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan
Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media
massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan
dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu
yang berhubungan dengan kepentingan media.
Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi
pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat
bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang
dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas
simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas.
2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol
Pada awalnya yang membedakan antara manusia dengan hewan menurut para filsuf
adalah kemampuan dalam menggunakan logika. Hewan berinteraksi menggunakan naluri
atau instingnya. Namun ada unsur pembeda lain, yakni kemampuan manusia berkomunikasi
dengan simbol-simbol. Kenneth Boulding (dalam Rivers, 2003: 28) mengingatkan hewan
tidak punya gagasan kesadaran dan lingkungan simbolik (bahasa, seni, dan mitos) seperti
halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar (logika)
serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan
makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai
cara tergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada.
Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah
berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius.
Seperti yang dikatakan Epictetus, (dalam Rivers,2003: 28) “Apa yang menyentak manusia
bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda
tersebut.”
Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada
kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang
tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah
manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat
citra-citra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki
makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu
2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu
Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our
head,” (dunia diluar dengan gambarannya dipemikiran kita). Lippman (dalam Rivers, 2003:
29) dalam bukunya Public Opinion menjelaskan tentang lingkungan semu (
pseudo-environment). Dunia objektif yang dihadapi manusia itu “tak terjangkau, tak terlihat, dan tak
terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya dalam
upayanya sedikit memahami dunia objektif tersebut. “Biasanya kita tidak melihat dulu
sesuatu untuk mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat. Ketika
diliputi ketidaktahuan tentang dunia luar, kita begitu saja membayangkannya berdasarkan apa
yang sudah kita ketahui. Enak tidaknya makanan, indah atau tidaknya tempat yang
dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah
dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann.
Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari
pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar
pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan
pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi cara
pandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa
berulang-ulang tanpa akhir.
Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan
informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk
membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa
dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’.
Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan
pandangan lama disuatu masyarakat.
2. 2. 4. Semiotika
Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu
konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa
yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional
dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain. Strukturalisme itu sendiri, menurut
David A. Apter, merupakan pendekatan yang paling antardisiplin di antara
sosiologi (Apter, 1996:371). Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda
yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas
manusia (Goffman, dalam Apter, 1996: 371).
Strukturalisme awalnya merupakan sebuah pergerakan di dalam ilmu bahasa,
sekaligus upasya untuk membuktikan pentingnya konsep dan metode linguistik bagi beragam
isu yang luas di dalam ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial (Giddens dan Turner, 2008:
335). Pemilihaan Sussure antara langue dan parole bisa dianggap sebagai ide kunci di dalam
strukturalisme linguistik, sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan
kontekstualnya. Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”,
sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang
menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” (Saussure, 1974).
Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai
realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam hal ini sangat besar (dalam
membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa
yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk
terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam
model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka (Kurniawan,
2001: 40).
Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari
strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail (1991: 191), “semiotika adalah ‘ilmu tentang
tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal
yang berkaitan dengan siginifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur,
beraneka ragam dan terpisah-terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa
dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana
tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ –
suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin komunikasikan. Aliran
strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur,
jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan
yang memberikan arti dan makna kepada gambar material (van Peursen, 1991: 240).
Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik (bahasa) dikembangkan oleh
Semiologi atau pada saat ini dikenal dengan Semiotika merupakan sebuah disiplin
ilmu yang mempelajari sebuah tanda. Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Sobur, 2004:
vii) ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Makna
implisit yang dapat kita ambil dari pernyataan tersebut adalah terciptanya sebuah hubungan
atau relasi, jika tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa tanda
merupakan unsur-unsur dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Pada hipotesa dari Saussure
ini berkaitan dengan suatu hal yang bernama konvensi sosial (social convention), yaitu yang
mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengombinasian, dan penggunaan
tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial.
Semiotika adalah teori dan analisis dari berbagai tanda (signs) dan pemaknaan (signification,
dimana semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian
dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika (tanda, pemaknaa,
denotatum, intepretan, dasar, dan masih banyak lagi yang akan kita kenal pada kesempatan
lain) dapat diterapkan pada semua bidangan kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi, yaitu
ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada intepretasi (van Zoest, 1993: 54).
De Saussure dan juga Barthes melihat tanda sebagai suatu konsep diadik (dua bagian yang
berbeda tetapi berkaitan) dan sebagai sebuah struktur (susunan dua komponen yang
berkaitan satu sama lain dalam suatu bangun) (Christomy, 2004: 54). Konsep diadik tersebut
yang menghasilkan sebuah makna.
Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 13) mengatakan semiotika merupakan
sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh
tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun - sejauh terkait dengan dengan pikiran manusia
– seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa
menjalin hubungan dengan realitas.
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti
tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5). Jika
kita runut jauh kembali ke masa lalu, semiotika atau ilmu tentang sistem tanda sudah ada
ketika masa Greek Stoics. Semula berawal dari tanda yang diperdebatkan oleh penganut
mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena, Yunani pada abad 300 SM. Inti perdebatan
mereka berkaitan dengan perbedaan antara tanda natural (yang terjadi secara alami) dan tanda
Terdapat dua bentuk semiotika, yaitu Semiotika Signifikasi oleh Ferdinand de
Saussure dan Semiotika Komunikasi oleh Charles Sanders Pierce. Semiotika Signifikasi
mempunyai pengertian semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tandadi dalam
sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu (dalam Sobur, 2004: viii).
Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai
signifikasi (signification). Umberto Eco mempunyai pengertian sendiri dalam Semiotika
Komunikasi. Semiotika Komunikasi mempunyai penekanan dalam aspek produksi tanda(sign
production), dibandingkan dengan Semiotika Signifikasi yang lebih menekankan sistem
tanda(sign system). Menurut Eco (Sobur, 2004: xii) sebagai sebuah mesin produksi makna,
semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda (labor), yang memilih tanda dari
bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi
sebuah ekspresi bahasa bermakna.
Menurut Eco (dalam Sobur, 2004: xiv), ketika seseorang menuturkan kata (atau
imaji), maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda, yang sebagaimana pada
umumnya konsep ekonomi yang melibatkan pekerja, pekerja tanda. Ia mempekerjakan
tanda-tanda (memilih, menyeleksi, menata dan mengombinasikan dengan cara dan aturan main
tertentu.). Semiotika Komunikasi menurut Eco lebih menekankan pada teori produksi tentang
tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi,
yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan.
Manusia merupakan mahluk pembuat simbol. Ketika dia berbicara, ketika
menampilkan dirinya dengan segala perniknya menyimpulkan sebuah simbolisasi. Wanita
yang menggunakan baju warna kuning dari atas hingga bawah ingin menampilkan sebuah
makna, tanda, dan simbol keceriaan. Seperti kata Cassirer (Sobur, 2004: 14) “fungsi dan
kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri
keagungannya.
Charles Sanders Peirce beranggapan bahwa sebuah tanda (representamen) merupakan
sebuah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek
atas tanda (intepretant). Tanda menurut pandangan Peirce itu sendiri didefinisikan sebagai
suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5).
Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya :
cara berfungsinya, hubungannya dengan kata yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya
oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).
Fiske (dalam Bungin, 2007: 167) mengatakan bahwa Semiotika mempunya tiga
bidang studi utama yaitu :
a). Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara
tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait
dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa
dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
b). Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk
mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
c.). Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Dilain pihak, menurut LittleJohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga
dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjelasan secara rincinya
adalah sebagai berikut :
1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas
bagaimanatanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu
tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara
atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi
atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya
(Morrisan, 2009: 29).
2. Sintaktik, berkenaan dengan kepaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari
mengenai hubungan antara para tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda
yang lebih besaratau kelompok yang diorganisir melalui cara-cara tertentu. Sistem
tanda seperti ini biasa disebut kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu
dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009:30).
3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana
tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah
dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam
berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30).
Preminger mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Bungin, 2007:165).
Konvensi atau kesetujuan mengenai pemaknaan suatu makna di suatu kebudayaan
merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan intepretan memainkan peran subjektif yang
sangat strategis dalam proses pemaknaan tanda itu sendiri. (Bungin, 2007: 169). Maksud
disini adalah latar belakang, pengalaman, field of reference & field of experience, dan
kebudayaan menjadi faktor penting seseorang untuk memaknai sebuah tanda.
Proses semiosis (semiotika atau semiologi) yang memberikan makna terhadap unsur
kebudayaan yang dipandang akan menghasilkan sebuah tanda. Menurut Danesi dan Perron
(1999:68 – 70) tujuan utama semiotika adalah memahami kemampuan otak untuk
memproduksi dan memahami tanda serta kegiatan membangun pengetahuan tentang sesuatu
dalam kehidupan manusia. Kemampuan itu adalah kemampuan semiosis (semiotika atau
semiologi), sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanda adalah representasi
(kegiatan mengaitkan suatu representamen dengan objeknya). (Hoed, 2011: 23).
Ferdinand de Saussure merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan ilmu
semiotika. Teori yang paling terkenal adalah penanda (signifier) dan petanda (signified).
Menurut Saussure, bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign), dan setiap tanda itu tersusun
dari dua bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure (dalam
Sobur, 2004: 46) tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah
ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah “bunyian yang bermakna” atau
“coretan yang bermakna”.
Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler, 1976, dalam Ahimsa-Putra,
2001: 35). Setiap tanda kebahasaan , menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah
konsep (concept) dan suatu citra (sound image). Suara yang muncul dari sebuah kata yang
diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified).
Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas, semaunya),
pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak
bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak ada mempunyai hubungan alamiah
dengan petanda (Saussure, 1996, dalam Berger 2000b: 11).
Semiotika memecah – mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan
menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotika
menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi.
Hal ini memberikan konteks intelektual isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja
sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Analisis
semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual (Berger, 1987: 1998a). Metode ini
melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan
mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasikan makna (Stokes, 2006 : 78).
2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual
Sebelum lebih jauh, Semiotika Komunikasi Visual merupakan pisau pembedah
tanda-tanda dalam desain komunikasi visual. Menurut Widagdo (dalam Tinarbuko, 2009: 23),
desain komunikasi visual adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi
pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Tinarbuko (Tinarbuko, 2009: 23) mengatakan
desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan
daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah
elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna,
komposisi, dan layout. Dalam pandangan Sanyoto, desain komunikasi visual memiliki
pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata.
T. Susanto menyatakan bahwa desain komunikasi visual (DKV) senantiasa berhubungan
dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaaan.
Pesan atau informasi yang terdapat hasil karya desain komunikasi visual, yang
menjadi objek kajian semiotika komunikasi visual. Pesan yang disampaikan kepada khalayak
sasaran dalam bentuk tanda.
Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan
objektivitas macam itu, melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi
aneka intepretasi. Logika semiotika adalah logika di mana intepretasi tidak diukur
berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya; intepretasi yang satu lebih
Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan sebuah intepretasi
terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai sebuah metode pembacaan
karya komunikasi visual. (Tinarbuko, 2009: x). Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain
komunikasi visual adalah sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda
(vocabulary) dan sintaks (syntagm). Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi
‘komunikasi’, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim
pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode
tertentu.
Semiotika dalam hal ini menjadi disiplin ilmu penopang desain komunikasi visual.
Sebab, desain komunikasi visual mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk
komunikasi visual seperti itulah pesan tersebut menjadi bermakna.
Fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga
mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah
konsep, isi, atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang
bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna yang secara umum
disebut petanda (signified).
Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya
masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai
yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, ia terkait dengan
sistem ekonomi dan sosial. Di samping itu, desain bersahabat dengan sistem nilai yang
sifatnya abstrak dan spiritual. (Tinarbuko, 2009: 6).
Karya desain komunikasi visual merupakan saksi sejarah atas perkembangandinamika
sosial politik bangsa Indonesia (Tinarbuko, 2009 : 8). Sebab, sebagaimana kita ketahui
bersama, tren karya desain komunikasi visual tidak bisa lepas dari kondisi sosial politik yang
ada di masyarakat. Ketika zama Orde Lama, desain yang muncul tentu akan berbeda dengan
masa kejayaan Orde Baru ataupun zaman Reformasi. Desain merepresentasikan keadaan
realitas.
Semiotika Komunikasi Visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,subjudul, dan
teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual
dengan pendekatan teori semiotika. Pisau analisis diharapkan mampu memperoleh makna
bahasa, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari
cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana
cara mengungkapkan idiom estetiknya (Tinarbuko, 2009: 9). Tanda-tanda yang telah dilihat
dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan
antara satu dengan yang lainnya.
Di dalam bidang desain pada khususnya, semiotika digunakan sebagai sebuah
“paradigma”—baik dalam “pembacaan”—maupun “penciptaaan “ (creating)—disebabkan
ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk melihat objek-objek desain
sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda (sign), pesan yang ingin
disampaikan (message), aturan atau kode yang mengatur (code) serta orang-orang yang
terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa (audience, reader, user) (Christomy, 2004: 88).
Berdasarkan perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai
sebuah “metode” dalam penelitian desaian harus berangkat dari sebuah prinsip, bahwa desain
sebagai sebuah objek penelitian tidak saja mengandung berbagai aspek fungsi utilitas, teknis
produksi dan ekonomis, tetapi juga aspek komunikasi dan informasi yang di dalamnya desain
berfungsi sebagai medium komunikasi.
Ada berbagai macam metode pembacaan semiotika untuk diaplikasikan dalam
penelitian semiotika desain, salah satunya dari metode seorang ahli bernama CS Morris. CS
Morris menjelaskan tiga dimensi dalam analisis semiotika, yaitu dimensi sintaktik, semantik,
dan pragmatik, yang ketiganya saling berkaitan satu sama lainnya. Sintaktis (syntactic)
berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya,
khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya. Semantika
(semantics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signfikasi atau maknanya. Dalam
konteks semiotika struktural, semantik dianggap merupakan bagian dari semiotika.
Pragmatik (pragmatics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya
(interpreter), khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam
berbagai peristiwa (discourse) serta efek atau dampaknya terhadap penguna. Ia berkaitan
dengan nilai (value), maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan:
‘untuk apa’ dan ‘kenapa’, serta pertanyaa mengenai pertukaran (exchange) dan nilai utilitas
(kegunaan) tanda bagi pengguna.
Klasifikasi Morris ini sangat penting dalam penelitian desain karena dapat
tanda), tingkat semantik (makna sebuah tanda atau teks) atau tingkat pragmatik (penerimaan
dan efek tanda pada masyarakat).
Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris
Level Sintaksis Semantik Pragmatik
Sifat penelitian tentang
Dikutip oleh Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 1995:50
2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis yang
mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Dalam studinya, Barthes
menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi walaupun merupakan
sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).
Roland Barthes melakukan analisa dalam membagi pertandaan. Tingkat pertama
adalah denotatif atau denotasi. Tingkat pertama ini merupakan bagian pertandaan yang
memiliki ciri umum, makna terlihat langsung, dan tanda dapat dimengerti secara umum.
Denotatif terdiri dari dua bagian yaitu penanda dan petanda yang memiliki hubungan hingga
menjadi tanda itu sendiri (baca : denotasi). Sementara konotasi merupakan tingkat pertandaan
yang dimana terdapat perubahan dalam tingkat isi (C) yang tetap berawal dari dua sistem
penanda dan petanda. Selain kedua bentuk analisa tersebut, terdapat satu pertandaan yaitu
mitos. Mitos merupakan sebuah perubahan makna konotasi yang telah menjadi pemahaman
umum dan diyakini oleh suatu kebudayaan tertentu.
Di dalam kerangka pemikiran Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman,
2001: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda,
namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang
telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan.
Alasan Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun
ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi
(Budiman, 2001: 28).
Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral, namun
tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan,
iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang mempunyai modus representasi.
Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang belum tentu bisa ditangkap secara
langsung (Iswidayanti, 2006).
Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code)
yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes, yaitu
(Sobur, 2004: 63 -66) :
1. Kode Hermeneutik (kode teka-teki)
Berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “ kebenaran “ bagi pertanyaan
yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam
narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu
peristiwa teka-teki penyelesaiannya di dalam cerita. Kode Hermeneutik berhubungan
dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang
terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang
satu menunda jawaban yang lain. (Tinarbuko, 2009: 18)
2. Kode Semik (kode konotatif atau kode semantik)
Proses pembacaan dengan menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata
atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase
yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan suatu konotasi, kita bisa menemukan
suatu di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita
dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Bisa disebut juga dengan kode
maskulinitas atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata
sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau
loyalitas. (Tinarbuko, 2009: 18).
3. Kode Simbolik
Merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau konsep
Barthes pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa berasal dari oposisi
biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi
wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual. Pemisahan dunia secara kultural dan
primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan secara mitologi dapat
dikodekan. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan
nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Disebut juga dengan
kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduan, pertentangan dua
unsur, atau skizofrenia. (Tinarbuko, 2009: 18).
4. Kode Proaretik (kode tindakan/ perlakuan)
Kode yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya,
antara lain semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis menurut Barthes melihat
semua lakuan (perlakuan) dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan
beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan (perlakuan) karena kita dapat
memahaminya. Disebut juga dengan kode yang mengandung cerita, urutan, narasi,
atau antinarasi. (Tinarbuko, 2009: 18)
5. Kode Gnomik (kode kultural)
Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui merupakan
acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah
diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah
dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Kode yang memiliki ciri
suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan,
1. Signifier 2. Signified
(Penanda) (Petanda)Gambar 2.1 3.Denotative sign
4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified
(Penanda Konotatif ) (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Sumber : Cobley, Paul & Jansz , Litza. (1999). Introducing Semiotics. New York : Totem Books, Hal . 51
Dari peta tanda Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda
(1) dan Petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda
konotatif (4). Makna konotatif tidak pernah bisa terlepas tanda tingkat pertama denotatif.
Tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua
bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Bentuk ini merupakan
penyempurnaan dari semiologi Saussurean yang berhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif (Sobur, 2004: 69).
Teori semiotika Barthes hampir secara harafiah diturunkan dari teori bahasa menurut
Saussure. Khususnya pada kajian mengenai penanda dan petanda. Barthes mengembangkan
teori penanda dan petanda menjadi sebuah kajian denotasi dan konotasi. Sesuatu objek
dianggap sebagai tanda karena masing-masing sudah mendapat dan menentukan
“makna”-nya sendiri dalam suatu jaringan relasi pembedaan yang terbentuk dalam ingatan (kognisi)
anggota masyarakat yang bersangkutan. Tanda-tanda (komponen) tersusun dalam susunan
(jukstaposisi) tertentu sesuai dengan “makna”-nya masing-masing.
Barthes mengembangkan model dikotomis penanda-petanda Saussure menjadi lebih
dinamis. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah
“ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis contenu (C). Jadi
sesuai dengan teori Saussure tanda adalah “relasi “ (R) antara E dan C. Ia mengemukakan
konsep tersebut dengan model E-R-C, tingkat pertama (sistem pertama) atau lebih kita kenal
dengan nama denotasi – makna yang dikenal secara umum (Hoed, 2011: 13). Pemakai tanda
dapat mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh
pemakain tanda memberikan bentuk yang berbeda kepada E, tetapi dengan makna yang
sama. Ini lebih dikenal dengan istilah metabahasa. Pengembangannya sepeti ini E ( E- R2- C
)- R- C. Bila pengembangan itu berproses ke arah C (isi), yang terjadi adalah pengembangan
makna baru yang disebut dengan konotasi, E- R- C ( E - R2 – C). Konotasi adalah makna
baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya,
atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.
Barthes mengembangkan – terutama – menjadi teori konotasi yang justru dimiliki
masyarakat budaya tertentu (bukan secara individual). Barthes mengkritik masyarakat
dengan menyatakan semua yang dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan
sebenarnya adalah hasil proses konotasi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi
dan mitos. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan
ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakatnya. Dengan menulis buku
kumpulan esai yang berjudul Mythologies (1957) ia membebaskan masyarakatnya dari
“penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan yang
seolah-olah sudah berterima di masyarakat itu terjadi (Hoed, 2011: 18).
1. Penanda dan Petanda
Tanda adalah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan signifier (penanda).
Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah, saling melengkapi. Petanda
bukanlah ‘benda’ melainkan representasi mental dari ‘benda’ (Barthes, 2012:36). Konsep
petanda dari lembu bukanlah hewan lembu, melainkan citra atau imaji mentalnya (penjelasan
ini penting untuk pembahasan selanjutnya mengenai hakikat tanda). Petanda ialah ‘sesuatu’
yang dimaksudkan oleh orang-orang yang menggunakan tanda tertentu.
Setiap sistem penanda (leksikon) terjadi korepodensi, diranah petanda, antara praktik
dan teknik; kumpulan petanda-petanda ini menyiratkan dari pihak pengguna sistem (pembaca
tanda) tingkat pengetahuan yang berbeda (sesuai dengan kekhasan dalam ‘budaya’ mereka),
yang menjelaskan mengapa leksi yang sama (atau satuan bacaan yang lebih besar) dapat
dipahami secara berlainan sesuai dengan kehendak individu (Barthes, 2012:41)
Satu-satunya perbedaan antara penanda dan petanda adalah bahwa penanda
merupakan penghubung/mediator; ia membutuhkan materi. Substansi dari penanda selalu
material (bunyi, objek, citra). Barthes (dalam Barthes, 2012: 43) mengatakan penandaan
petanda, tindakan yang hasilnya adalah tanda. Penanda adalah merupakan mediator (material)
bagi petanda.
Sebuah tanda adalah sebuah kombinasi dari sebuah penanda dengan petanda tertentu.
“Tertentu” disini berarti sebuah penanda yang sama (misalnya kata ‘laki-laki) dapat mewakil
petanda yang berbeda untuk konsep ’laki-laki’ ( misalnya alat yang digunakan untuk
mencukur kumis laki-laki). Saussure menekankan bahwa suara dan pikiran tersebut (penanda
dan petanda) sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan seperti dua sisi selembar kertas. Mereka
terkait intim dan saling tergantung. Sebuah tanda tidak dapat terdiri dari suara (penanda)
tanpa arti (petanda) atau arti (petanda) tanpa suara (penanda). Bagi Saussure, penanda dan
petanda adalah murni psikologis. Psikologis dalam arti: tanda linguistik bukanlah
penghubung antara sebuah benda dengan sebuah nama, tapi antara sebuah konsep (petanda) dengan sebuah pola suara (penanda). (Birowo, 2004: 46). Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep, disebut juga petanda adalah aspek
mental bahasa(Bertens, 2001: 180).
Gambar 2.2Sumber: Birowo, 2004 : 46
Meskipun penanda digunakan untuk ‘mewakili’ petanda. Para pakar semiotika
Saussurean menekankan bahwa tidak ada hubungan yang mendasar, intrinsik, langsung
maupun pasti (tak terelakkan) antara penanda dan petanda. Saussure menekankan adanya
sifat kesewenangan atau arbitrer (arbitrariness) pada hubungan penanda dengan petanda.
Sebagai gambaran, tidak ada hubungan langsung tulisan atau citra suara ‘kursi’ dengan
konsep mental kita tentang ‘kursi’ – yakni sebuah benda yang bisa digunakan untuk duduk.
Aristoteles pernah mengatakan bahwa “tidak bisa ada hubungan natural antara bunyi suatu
bahasa dengan benda yang ditandainya.” Shakespeare memberikan pernyataan juga bahwa
segala apa nama yang kita torehkan pada sekuntum mawar merah, aromanya tetaplah
semerbak.” (Birowo, 2004: 50).
Petanda
Setiap tanda selalu terdiri atas penanda dan petanda. Dalam teori ini, tanda adalah
sesuatu yang terstruktur karena terdiri atas komponen-komponen (dalam hal ini ada dua)
yang berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan (Hoed, 2011: 44). Tanda bahasa
terdiri dari dua unsur yang tidak terpisahkan, yakni unsur citra akustik (bentuk)
(signifiant/penanda) dan unsur konsep (signifie/petanda). Hubungan antara penanda dan
petanda, yakni antara bentuk dan makna, didasari konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua
unsur tersebut terdapat dalam kongnisi para pemakai bahasa. (Hoed, 2011: 54).
Penanda adalah “bunyi” yang bermakna atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda
adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau
dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek
mental dari bahasa (Bertens, 2001: 180). Menurut Saussure, penanda dan petanda merupakan
kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas
signifier dan signified itu sebagai berikut :
Gambar 2.3
Elemen-Elemen Makna Saussure Sign
Composed of
Signification Signifier Plus Signified
External
Reality of The Meaning Sebuah pemaknaan dalam proses pemroduksi tanda adalah hasil kesepakatan dari
budaya pengguna bahasa. Signifier (penanda) merupakan suatu citra, suara atau imaji.
Sedangkan, signified(petanda) merupakan konsep yang terbentuk setelah seorang intepretan
mendengar citra, bunyi, atau suara penanda. Sebuah kesinambungan yang terjalin antara
Semiotika digunakan sebagai metode pembacaan dimungkinkan karena ada
kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena
bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut, bila seluruh praktik sosial dianggap sebagai
fenomena bahasa, ia dapat pula dipandang sebagai “tanda”. Hal ini dimungkinkan karena
luasnya pengertian “tanda” itu sendiri. Saussure (dalam Christomy, 2004: 90) menjelaskan
tanda sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari bidang—seperti halnya selembar
kerta—yaitu bidang penanda (signified) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang
penanda (signifier) untuk menjelaskan konsep atau makna
Gambar 2.4 Diagram Komponen Tanda
Dikutip oleh Saussure (dalam Christomy, 2004: 90)
.
Berkaitan dengan piramida atau diagram pertandaan Saussure diatas, Saussure
menekankan perlunya semacam konvensi sosial atau kesepakatan sosial (social convention)
di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai
makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna
bahasa.
Penanda dan petanda berasal dari teori Saussure tentang tanda, yang mengatakan
bahwa tanda terdiri atas signifier dan signified. Bertolak dari teori Saussure (1915), yang
melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifier (penanda),
yaitu gejala yang tercerap secara mental oleh manusia sebagai “citra akustik”, dan signified
(petanda), yaitu makna atau konsep yang ditangkap dari signifier tersebut. Semiotika
digunakan untuk memahami kebudayaan diterangkan oleh Barthes melalui bukunya yang
cukup terkenal, Mythologies (1957).
Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material),
yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental,
yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure meletakkan tanda dalam
konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier
(penanda) dan signified (petanda).
Saussure menyebutkan signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan
signified adalah gamabaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara
keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signifikasi (signification).
Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske,
1990: 44).
Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi tiga, yaitu (van Zoest, 1996: 23):
1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya,
misalnya foto atau peta.
2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang
ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.
3, Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata
adalah konvensi, kesepakatan atau peraturan. Misalnya adalah lampu merah yang berarti
menunjukkan untuk berhenti (van Zoest, 1996: 23).
Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh tanda yang lain.
Sementara itu, Umar Junus menyatakan bahwa makna dianggap sebagai fenomena yang bisa
dilihat sebagai kombinasi beberapa unsur dengan setiap unsur itu (Sobur, 2001: 126).
2. Denotasi, Metabahasa danKonotasi
Roland Barthes mengatakan denotasi adalah first order of signification(tahapan
pertama pada signifikasi. Sedangkan konotasi adalah second order of signification (tahapan
kedua dari signifikasi). Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang
berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda tersebut
muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (yang kemudian
dianggap sebagai penanda). Pemaknaan baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.
Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”,
bahkan kadang kala dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara
tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan
Roland Barthes mengembangkan dua tingkat pertandaan (staggered systems), yang
memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat yaitu tingkat
denotasi dan konotasi.
Menurut Pilliang (dalam Christomy, 2004: 94) denotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya
pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti yang tampak. Misalnya,
foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang
penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
Konotasi menurut Piliang adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan
makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek
psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan
kasih-sayang atau tanda tengkorak mengkonotasikan bahaya. Konotasi dapat menghasilkan
makna berlapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut dengan makna
konotatif.
Gambar 2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes
First Order Second Order
Reality Signs Culture
Bentuk
Isi (content)
Dikutip dari John Fiske (dalam Sobur, 2001: 127)
Denotasi Signifier
---Signified
Konotasi
Denotasi merupakan sebuah hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah
tanda terhadap realitas eksternal, disebut juga makna yang paling nyata dari tanda. Sedangkan
konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua,
signifikasi yang berubah dalam bentuk. Fiske (1990) (dalam Sobur, 2001: 128), memberi
pengertian denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua.
Gambar 2.6 Tingkat Pertandaan
Dikutip dari Pilliang (dalam Christomy, 2004: 95)
Secara lebih rinci Barthes mengatakan Konotasi adalah makna baru yang diberikan
pemakai tanda sesuai dengan keinginan,latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru
yang ada dalam masyarakatnya. Konotasi dapat disebut juga dengan makna khusus (Hoed,
2011:13). Denotasi adalah pemaknaan secara yang secara umum diterima dalam konvensi
dasar sebuah masyarakat.Metabahasa merupakan pengembangan makna denotasi (makna
ekspresi, “e”) dalam padanan kata yang memiliki makna yang sama tetapi bentuk berbeda,
atau bisa disebut dengan sinonim.
E2 R2 C2 sistem sekunder
METABAHASA
E1R1 C1
Orang yang pandai sistem primer
Mengobati secara DENOTASI
spiritual
Gambar 2.7 : Metabahasa ( Barthes 1957 dan 1964)
Sumber : Hoed, 2011: 8
Dukun
Paranormal
Orang Pinter
TANDA
Dukun
E1 R1 C1
sistem primer
Mercedes ‘mobil buatan Jerman DENOTASI Mercedes Benz’
‘mobil mewah’ sistem sekunder E2R2C2mobil orang
kaya’ Konotasi
‘mobil konglomerat’ ‘simbol status’
Gambar 2.8 : Konotasi (Barthes 1957 dan 1964)
Sumber: Hoed, 2011: 86
Gambar 2.9: Teori Metabahasa dan Konotasi
(Barthes 1957)
“Metabahasa” “Konotasi”
Sistem Sekunder
Denotasi Sistem Primer Denotasi
Sumber : Hoed, 2011: 45
Secara ringkas, denotasi dan konotasi bisa dijelaskan sebagai berikut (Birowo, 2004: 57),
yaitu :
1. Denotasi
Interaksi antara signifier (Penanda) dan signified (Petanda) dalam sign (tanda), dan
antara sign, dengan referen dalam realitas eksternal. Denotasi dijelaskan sebagai makna
sebuah tanda yang literal, terdefinisikan, jelas (mudah dilihat dan dipahami) atau Tanda
E C
E C
E C