BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Wisata Karaoke
Menurut Adisasmita (2010), kawasan wisata adalah suatu tempat yang menjadi
kunjungan wisatawan karena mempunyai daya tarik. Suatu objek wisata menurut Yoeti (2008)
harus memenuhi tiga persyaratan yaitu:
1. Daerah itu harus mempunyai apa yang disebut sebagai something to see (sesuatu
untuk dilihat),
2. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah something to
do (sesuatu untuk dikerjakan), dan
3. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah something to
buy (sesuatu untuk dibeli).
Secara garis besar Karaoke adalah satu bentuk nyanyian yang mengeluarkan suara
dalam bentuk minus one seperti yang terdapat dalam video karaoke. Karaoke adalah sebuah bentuk
hiburan di mana seseorang menyanyi diiringi dengan musik dan teks lirik yang ditunjukkan pada
sebuah layar televisi. Pengertian karaoke menurut encyclopedia adalah sebuah gaya bernyanyi
yang menjadi populer di Jepang pada 1970-an, dimana lagu-lagu yang direkam dengan dukungan
penuh accompanimental tapi tanpa vokal (minus one), yang kemudian dapat ditambahkan vokal
oleh siapa saja yang ingin melakukannya1. Menurut Kelly (1998), karaoke sebagai tempat berinteraksi memiliki peran sebagai berikut:
1. Sebagai sarana untuk berinteraksi antara satu pihak dengan pihak lain yang
memiliki hubungan sosial atau lainnya.
2. Sebagai sebuah forum dimana individu bertindak dengan strategi demi tujuan
politis mereka.
3. Meningkatkan suasana yang lebih baik dalam sebuah kelompok, organisasi dan
sebagainya.
4. Sebagai sarana untuk menghilangkan strees, tekanan pikiran dan sebagainya.
1
5. Sebagai sarana berkomunikasi, pengisi waktu luang dan sebagainya.
6. Sebagai sarana berlatih bernyanyi.
2.2 Tata Ruang Kota
Dalam rangka akan dilaksanakannya suatu aktivitas pembangunan, harus memperhatikan
fungsi utama dari kawasan budidaya, yaitu wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan. Oleh karena itu, kawasan budi daya merupakan suatu wilayah yang memang
diperuntukan bagi aktivitas pembangunan. Untuk menciptakan keteraturan dalam pemanfaatan
ruang diseluruh wilayah Negara Indonesia, keberadaan fungsi kawasan tersebut perlu dituangkan
secara tegas dalam perencanaan tata ruang baik yang bersifat nasional, daerah provinsi, maupun
daerah kabupaten/kota. Sehingga nantinya, tata ruang dapat digunakan untuk mengarahkan
kegiatan atau usaha tertentu, yakni menempati wilayah sesuai dengan peruntukannya. Di sisi lain
lokalisasi tersebut diharapkan dapat dengan mudah untuk melakukan pemantauan dan
pengendalian dampak dari kegiatan yang dilaksanakannya. Artinya, melalui tata ruanglah berbagi
pemanfaatan lahan sudah diarahkan ke tempat-tempat tertentu, di mana lahan diprediksikan
mempunyai daya dukung yang memadai. Sementara dari aspek pengawasan dan pengendalian
akan memberikan kemudahan bagi aparatur pengawas (Ridwan dan Sodik, 2010). Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat 3 kegiatan penting yang dilaksanakan
dalam pentaan ruang, yaitu:
1. Perencanaan Tata Ruang
Rencana pemerintah pada hakekatnya dirumuskan dalam suatu bentuk hukum berupa
pengaturan (regeling) atau keputusan (beschikking) sebagai legitimasi atas rencana yang
ditetapkan. Dimana dengan ditetapkannya suatu rencana dalam bentuk hukum tersebut,
maka suatu rencana akan dapat membawa suatu akibat hukum. Rencana dapat dijumpai
pada berbagai bidang kegiatan pemerintahan, termasuk dalam hal pelaksanaan
pembangunan.
2. Pemanfaatan Ruang
Pengertian pemanfaatan ruang dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 adalah upaya untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sesuai
pembiayaannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007, pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan aktifitas pembangunan, baik
yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan rencana tata
ruang.
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Adanya Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah jika adanya ketidaksesuaian
pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah sebagai usaha untuk
menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan rencana
tata ruang. Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, yang
dimaksud dengan pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujdkan
tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pengendalian
pemanfaatan ruang ini dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan
rencana tata ruang.
2.3 Teori Tindakan Aktor Piere Bourdieu
Teori praktik dikembangkan oleh Pierre Bourdieu (Haryatmoko, 2003). Bourdieu
menyatakan teori praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Teori
praktik merupakan gagasan pemikiran Bourdieu sebagai produk dari relasi habitus sebagai
produk sejarah, dan ranah yang juga produk sejarah, yang mana dalam ranah ada pertaruhan,
kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki modal, serta orang yang tidak memiliki
modal.
Menurut Pierre Bourdieu (dalam Adib, 2012) praktik (secara sosial) merupakan hubungan
relasional yakni struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku, terjalin secara
dialektik. Praktik sosial Bourdieu menunjuk pada dua hal mendasar yakni; pertama Praktik Sosial,
Bourdieu coba memperlakukan kehidupan sosial sebagai suatu interaksi struktur, kecenderungan
(disposisi) dan tindakan yang saling mempengaruhi. Artinya praktik sosial tidak didikte secara
langsung oleh struktur dan orientasi-orientasi budaya, tetapi lebih merupakan hasil dari proses
improvisasi yang kemudian distrukturkan oleh orientasi budaya, sejarah perorangan, dan
interaksi dialektis antara struktur dan pelaku, antara struktur dan objektif dan refresentasi subjektif
(habitus). Kedua, Praktik sosial berada dalam ruang dan waktu.2
Konsep habitus berasal dari tradisi pemikiran filsafat, bukan merupakan ciptaan murni
Bourdieu. Dalam bahasa Latin, habitus bisa berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri
(appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal
tubuh. Selain itu, istilah habitus juga menunjukan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu,
seperti yang ditemukan dalam pemikiran Aristoteles mengenai pembagian ada (being).3Ritzer (2010) yang menguraikan konsep habitus Bourdieu, juga mengungkapkan habitus sebagai “akal sehat” (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti kelompok usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Habitus terletak dalam fakta bahwa suatu
kecenderungan membawa pola pembawaan tertentu secara tidak sadar menjadi sebuah kebiasaan.
Habitus mendasari terjadinya kehendak merespons, merasa, berpikir, bertindak, dan bersosialisasi
dengan individu lain, lingkungan di luar diri maupun pelbagai perlengkapan yang menyertai diri.
Menurut Bourdieu, habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang
berhubungan dengan dunia sosial4.
Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu
disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatan alamiah dan
berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994: dalam Haryatmoko, 2003). Habitus
digunakan sebagai kerangka untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktek
kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif. Menurut Bourdieu (1980; dalam
Haryatmko, 2003) habitus merupakan sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat
diwariskan, struktur-struktur yang membentuk, artinya menjadi prinsip penggerak dan pengatur
praktek-praktek hidup dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan tanpa
mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja upaya-upaya yang
perlu untuk mencapainya, secara objektif diatur dan diatur tanpa harus menjadi buah dari
2
lihat; fashri fauzi (pierre bourdieu;menyikapi kuasa symbol) Yogyakarta, jalasutra, hlm 69-70
3
Uraian ini dapat dlihat pada penjelasan mendalam dari Bagus Takwin yang mengkaji pengertian habitus--nya Bourdieu melalui pelacakan atas pemikiran Aristoteles. Bagus Takwin, “Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup” dalam buku Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006),35-54
4“Habitus are the mental or cognitive structures through which people deal with the social world” lihat
kepatuhan-kepatuhan akan aturan-aturan dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil
dari pengaturan seorang dirigen. Pada titik inilah disposisi di maknai sikap, kecenderungan
mempersepsi, merasakan, melakukan dan berpikir yang diinternalisasikan oleh individu berkat
kondisi objektif eksistensi seseorang. Pada titik inilah habitus yang mendorong terjadinya sebuah
praktek sosial seseorang. Dengan demikian habitus memungkinkan dibangunnya teori produksi
sosial pelaku dan logika tindakan, ia merupakan faktor penjelasan logika berfungsinya masyarakat.
Habitus adalah “produk dari internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Menurut Bourdieu,
habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia
sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk
mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema ini,
orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Ritzer dan Goodman,
2010).
Konsep habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah perjuangan (champ). Dua konsep ini
sangat dasariah karena saling mengandaikan hubungan dua arah. Bourdieu lebih memandang “arena” sebagai relasional ketimbang secara struktural. Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka
dihambat oleh struktur ranah. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya sebagai arena pertempuran: “arena juga merupakan arena perjuangan” (Ritzer, 2010)
Ranah atau arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis
modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis. Hal ini menunjukan bahwa realitas
masyarakat yang terdiferensiasi itu, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan
yang tidak bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Ranah adalah
jaringan relasi antarposisi objektif (Ritzer dan Goodman. 2010). Keberadaan relasi-relasi ini tetapi
kadang-kadang tindakan aktor dilakukan tanpa sadar. Ranah merupakan: (1) arena kekuatan
sebagai upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk
memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan; (2) semacam hubungan yang
terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan
perjuangan”. Ranah atau Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan.
Dalam hubungannya antara lingkungan dengan habitus, Bourdieu menyebut relasionisme
metodologis, yakni adanya hubungan saling timbal balik antara lingkungan dengan habitus. Di satu
pihak lingkungan mengkondisikan habitus, di pihak lain habitus menyusun lingkungan, sebagai
sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai. Keyakinan atau belief adalah sesuatu yang
di pegang oleh aktor yang memiliki nilai atau dianggap bernilai. Keyakinanlah yang menggerakkan
dan memaksa tubuh untuk mewujudkan keyakinan itu. Sehingga peran dari keyakinan adalah
sebagai dasar untuk melakukan tindakan atau praktek dalam suatu ranah (Bourdieu, 1990).
Menurut Bourdieu (dalam Adib 2012), dalam ranah sosial akan selalu terjadi, mereka yang
memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu, akan lebih mampu melakukan
tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak
memiliki modal. Modal dalam penjelasan Bourdieu terdiri dari, Modal Ekonomi, Modal Sosial,
Modal Budaya dan Modal Simbolik. Modal ekonomi mencakup kepemilikan alat-alat produksi
(seperti mesin, tanah, dan buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang. Sedangkan
Modal simbolik ini berupa, akumulasi prestasi, penghargaan, harga diri, jabatan, status,
kehormatan, wibawa, reputasi, termasuk gelar akademis (Bourdieu, 1989). Di sisi lain, modal
budaya mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan
formal maupun warisan keluarga.Sedangkan modal sosial mencakup keseluruhan kepemilikan
nilai, kepercayaan sosial dan jejaring sosial (Adib, 2012). Menurut Bourdieu (dalam Haryatmoko,
2003), keseluruhan kepemilikan modal tersebut, dapat membentuk sebuah struktur tindakan sosial
(termasuk praktek keseharian) maupun lingkup sosial individu dalam masyarakat.
Teori tindakan aktor Piere Bourdieu dalam konteks penelitian ini dipergunakan untuk
menganalisis peran aktor dalam pemanfaatan kawasan wisata karaoke Sarirejo, Kecamatan
Sidorejo, Kota Salatiga.
2.4 Penelitian Terdahulu
berbagai penelitian tersebut, tidak ada yang khusus memfokuskan pada peran aktor dengan
pendekatan sosiologis, seperti yang penulis fokuskan dalam penelitian ini. Berikut beberapa
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan peran aktor dan pemanfaatan kawasan wisata karaoke.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No. Penelitian Hasil Penelitian
1 Astina (2014), melakukan
penelitian dengan judul: Peran Dinas Cipta Karya dan Tata Kota dalam Menata Jalur Hijau di Bantaran Sungai Karang Mumus Kota Samarinda.
Hasil dari penelitian ini adalah :
Proses Peran Dinas Cipta Karya dan Tata Kota dalam Menata Jalur Hijau di Bantaran Sungai Karang Mumus Kota Samrinda, ada yang berjalan dengan baik ada pula yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah. Bahwa proses masih menunjukkan adanya perbedaan dalam mencapai keberhasilan Dinas Cipta Karya dan Tata Kota dalam Menata Jalur Hijau di Bantaran Sungai
Karang Mumus kota Samarinda masih
menunjukkan rendahnya dukungan dari sosialisasi antara aktor Kebijakan yakni antara instansi dan masyarakat.
2 Suleman (2014), melakukan penelitian dengan judul: Persepsi Masyarakat tentang Keberadaan Hiburan Karaoke (Suatu Penelitian tentang Fenomena Karakoe di Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwatao).
Hasil dari penelitian ini adalah :
Karaoke tidak lebih menjadi seperangkat ritual yang dikonstruksi oleh modernisasi masyarakat dalam ruang kota. Karaoke sudah melebihi substansinya sebagai hiburan untuk melepas kepenatan bagi mereka yang memiliki rentetan kesibukan dan mereka yang melatih bakat menyanyi namun, karaoke sebagai instrumen untuk gaya hidup konsumtif dan hal-hal yang cukup
Hasil dari penelitian ini adalah :
2.5 Kerangka Pikir Penelitian
ARENA
Bagan 1
Kerangka Pikir Penelitian Kawasan Wisata
Karaoke Sarirejo
Peran Aktor Dalam Penataan Kawasan Wisata Karaoke Sarirejo, Kecamatan Sidorejo,
Kota Salatiga
Habitus
Modal :
- Modal Ekonomi
- Modal Sosial
- Modal Simbolik
- Modal Budaya
Kawasan Wisata Karaoke Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga
Keterangan Kerangka Pikir :
Kawasan wisata Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga merupakan kawasan usaha karaoke yang dulunya merupakan lokalisasi “Sembir”. Namun sejak tahun 2005 berubah fungsi menjadi usaha karaoke, tapi kawasan ini belum di atur dalam regulasi. Hal menarik terjadi dimana kawasan ini “seakan-akan” sudah tertata. Dalam penelitian ini akan mencoba menganalisis peran aktor dalam menata kawasan ini, meskipun belum di atur dalam regulasi. Untuk menganalisis hal