TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komposit
Komposit adalah penggabungan dua atau lebih material yang berbeda sebagai
suatu kombinasi yang menyatu. Bahan komposit pada umumnya terdiri dari dua
unsur, yaitu serat
(fiber)
sebagai pengisi dan bahan pengikat serat yang disebut
matrik. Didalam komposit unsur utamanya serat, sedangkan bahan pengikatnya
polimer yang mudah dibentuk. Penggunaan serat sendiri yang utama adalah
menentukan karakteristik bahan komposit, seperti kekakuan, kekuatan serta sifat
mekanik lainnya. Sebagai bahan pengisi, serat digunakan untuk menahan gaya yang
bekerja pada bahan komposit, matrik berfungsi melindungi dan mengikat serat agar
dapat bekerja dengan baik terhadap gaya-gaya yang terjadi. Oleh karena itu untuk
bahan serat digunakan bahan yang kuat, kaku dan getas, sedangkan bahan matrik
dipilih bahan-bahan yang liat, lunak dan tahan terhadap perlakuan kimia (Hadi,
2000).
Komposit serat dalam dunia industri mulai dikembangkan dari pada
mengunakan bahan partikel. Bahan komposit serat mempunyai keunggulan yang
utama yaitu
strong
(kuat),
stiff
(tangguh), dan lebih tahan terhadap panas pada saat
didalam matrik. Dalam perkembangan teknologi pengolahan serat, membuat serat
sekarang makin diunggulkan dibandingkan penggunaan material komposit sintesis.
Cara yang digunakan untuk mengkombinasi serat berkekuatan tarik tinggi dan
bermodulus elastisitas tinggi dengan matrik yang bermassa ringan, berkekuatan tarik
rendah, serta bermodulus elastisitas rendah makin banyak dikembangkan guna untuk
memperoleh hasil yang maksimal. Komposit pada umumnya menggunakan bahan
plastik yang merupakan material yang paling sering digunakan sebagai bahan
pengikat seratnya selain itu plastik mudah didapat dan mudah perlakuannya, dari
2.1.1
Biokomposit
Komposit dari serat alam merupakan suatu usaha yang dilakukan untu tetap
menjaga kelestarian lingkungan hidup. Komposit serat alam diharapkan menjadi
suatu material yang bersifat dapat diperbaharui sehingga mengurangi dan mencegah
dampak kerusakan lingkungan dari bahan polimer seperti plastik yang tidak dapat
diperbaharui. Disamping itu, komposit dari serat alam juga bertujuan untuk
memanfaatkan limbah dari bahan serat alam seperti serat rami,sampah kulit pisang
dan lain-lain agar dapat lebih memeberikan daya guna (Mathur, 2005).
Biokomposit adalah suatu material yang terdiri dari satu fasa atau lebih bahan
yang berasal dari alam. Bahan ini bertindak sebagai penguat seperti contohnya
sumber yang berasal dari serat tanaman seperti kapas, rami atau sejenisnya atau dapat
pula dari serat kayu ataupun kertas daur ulang, atau dari bahan tanaman yang menjadi
limbah. Regenerasi serat selulosa juga termasuk dalam bahan biokomposit, karena
pada dasarnya regenerasi selulosa adalah merupakan bahan yang dapat diperbaharui
oleh alam Sebagai matriks dalam biokomposit tersebut dapat berupa bahan polimer
yang secara idealnya dapat diperbaharui pula seperti misalnya dari minyak sayur.
Namun pada saat ini, matriks yang lebih umum digunakan adalah matriks sintesis
yang bersumber dari minyak bumi. Matriks sintesis yang sering digunakan adalah
berupa bahan termoplastik yang dapat didaur ulang seperti polietilen, polipropilena,
polistirena dan polivinil klorida. Dapat pula digunakan bahan dari termoset seperti
polyester tak jenuh, fenol formaldehida, isosianat dan epoksida (Fowler, 2006).
2.1.2
Komposit biodegradabel Dengan Bahan Dasar Selulosa
Meskipun komposit termoplastik serat alami telah ditemukan dan diproduksi
sejak tahun 1970, namun komposit termoplastik serat alami tersbut terus mengalami
perkembangannya dari tahun ke tahun bahkan hingga saat ini. Komposit termoplastik
dari serat kayu yang memiliki beberapa keuntungan seperti daya tahannya yang
panjang, biaya pembuatannya yang relatif murah dan ketahananya terhadap
memiliki beberapa kelemahan yaitu serat kayu tidak tahan terhadap panas, sehingga
jika pada proses pencampuran terjadi panas yang tidak sesuai, maka pencampuran
atau pembentukan komposit tidak akan berhasil. Oleh sebab itu mulai dilakukan
alternatif untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan mengubah serat kayu
tersebut dengan mengambil hanya selulosanya saja untuk digunakan sebagai bahan
pengisi matriks polimer (That, 2008).
2.2
Kemasan
Plastik memiliki pencampuran rendah entropi, yang disebabkan oleh besarnya berat
molekul dari rantai polimer mereka. Pemanasan saja tidak cukup untuk melarutkan molekul
besar dari plastik karena plastik hampir identik dengan komposisi campuran efisiennya. Hal
lain yang menyebabkan plastik sulit di daur ulang adalah karena adanya bahan pengisi, dan
aditif lainnya dalam plastik. Polimer umumnya terlalu kental untuk menghapus ekonomi
pengisi, dan akan rusak oleh banyak proses yang murah bisa menghapus pewarna tambahan.
Zat aditif tidak banyak digunakan dalam wadah minuman dan kantong plastik, sehingga
memungkinkan mereka untuk dapat didaur ulang . Adanya kemasan, membuat kita dapat
menikmati roti dengan mentega atau selai, biskuit, mi instan, dan macam-macam minuman.
Kemasan telah mengamankan dan mengawetkan segala jenis makanan dan minuman.
Kemasan telah dikenal oleh manusia sejak zaman dahulu kala. Sekitar tahun 8.000 SM
kemasan dari bahan-bahan sederhana, seperti kulit binatang ataupun keranjang rumput, telah
digunakan sebagai wadah buah-buahan yang dipungut dari hutan. Bangsa Cina menggunakan
keramik sebagai wadah, balk untuk benda padat maupun cair. Sedangkan bangsa Indonesia
menggunakan wadah bambu (bumbung) untuk menyimpan benda cair. Sekitar tahun 1550
SM, bangsa Mesir telah membuat industri botol yang penting bagi kehidupan masyarakatnya.
Sekitar tahun 750 M proses pembuatan kertas tersebar luas mulai dari Asia Tengah.
2.2.1 Fungsi Kemasan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemasan didefinisikan sebagai bungkus
terbuat dari timah, kayu, kertas, gelas, besi, plastik, selulosa transparan, kain, karton, atau
material lainnya, yang digunakan untuk penyimpanan barang dari produsen ke konsumen.
Dalam industri makanan atau pangan, kemasan mempunyai peranan yang sangat penting.
Fungsi kemasan adalah:
1. melindungi produk terhadap pengaruh cuaca, sinar matahari, benturan, kotoran dan
lain-lain
2. menarik perhatian konsumen,
3. memudahkan distribusi, penyimpanan dan pemajangan (display)
4. tempat penempelan label yang berisi informasi tentang nama produk, komposisi bahan
(ingridient), isi bersih, nama dan alamat produsen/importir, nomor pendaftaran, kode
produksi, tanggal kadaluwarsa, petunjuk penggunaan, informasi nilai gizi (nutrition fact),
tanda halal, serta klaim/pernyataan khusus.
Kemasan juga harus dirancang agar memenuhi beberapa persyaratan penting, yaitu:
1. Tingkat keefisienan, meliputi kemudahan untuk dibawa, dibuka, dan dipegang
2. Bentuk yang menarik, meliputi paduan warna, logo, huruf dan tata letak tulisan,
3. Faktor identitas agar tampil beda dengan produk lain dan mudah dikenali (Astawan,2008)
2.2.2 Kemasan Biodegradabel
Penggunaan kantong belanja dari plastik semakin menambah kompleksitas
permasalah sampah karena sifatnya yang sulit terdegradasi. Plastik diperkirakan
membutuhkan waktu 100 hingga 500 tahun hingga dapat terdegradasi dengan sempuna.
Kriteria ekolabel yang disusun berdasarkan aspek sepanjang daur hidup suatu produk
diharapkan dapat mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh produk tersebut.
Kriteria ekolabel yang harus dipenuhi sebagai produk yang ramah lingkungan juga
diharapkan dapat mengurangi dampak pemakaiannya terhadap lingkungan.
Persyaratan yang dimuat dalam kriteria dan nilai ambang batas merupakan
persyaratan khusus terkait dengan katergori produk, sedangkan persyaratan yang dimuat
dalam persyaratan umum merupakan persyaratan umum yang berlaku untuk berbagai
kategori produk manufaktur.
1. Bahan baku plastik yang digunakan harus mengandung prodegradant (zat pendegradasi)
2. Campuran bahan baku harus menggunakan pati atau bahan yang bersumber dari
alam,serta bahan termoplastik
Tabel 2.1 Persyaratan Kemasan Biodegradabel menurut SNI 7188.7:2011
No Aspek Lingkingan Persyaratan Metode Uji/Verifikasi 1
2.
3.
Bahan baku dan aditif a. Thermoplastik
mengandung a. Thermoplastik
mengandung
Kandungan logam berat
- Prodegradant harus memenuhi RoHS (Restriction of Hazardous break) kurang dari 5% dicapai setelah mengalami
perlakuan penyinaran sinar UV maksimal selama 250 jam - Pertumbuhan berat dalam produk Cd < 0,5 ppm Pb <50 ppm Hg < 0,5 ppm Cr+6 < 50 ppm
- Verifikasi pernyataan tertulis permohonan tentang pemenuhan persyaratan prodegradant yang dilengkapi dengan pernyataan dari pemasok
- verifikasi pernyataan tertulis tentang jenis dan sifat bahan dilengkapi dengan pernyataan pemasok atau pengukuran GC-MS atau metode pengujian lainnya yang divalidasi oleh laboratorium pengujian yang telah menerapkan ISO/IEC 17025:2008
- Tensile enlongation (elongation ato
break) kurang dari 5% dicapai
setelah mengalami perlakuan penyinaran sinar UV maksimal selama 250 jam
- ASTM G21-09 atau metode pengujian lainnya yang dilakukan oleh laboratorium pengujian yang telah menerapkan SNI ISO/IEC 17025:2008
laboratorium pengujian yang telah menerapkan SNI ISO/IEC
17025:2008 (SNI 7188.7:2011).
2.3
Tebu
2.3.1
Botani Tanaman Tebu (
Saccharum Officinarum
)
Tebu (
Saccharum Officinarum
) merupakan tanaman perkebunan semusim
yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula. Tebu
termasuk keluarga rumput-rumputan (
family Graminae
). Akar tanaman adalah akar
serabut dan tanaman ini termasuk dalam kelas
monocotyledone
. Tanaman tebu
mempunyai batang yang tinggi kurus, tidak bercabang, dan tumbuh tegak. Tanaman
yang tumbuh baik tinggi batangnya dapat mencapai 3-5 meter atau lebih. Pada
batangnya beruas-ruas dengan panjang ruas 10-30cm. Daun berpangkal pada buku
batang dengan kedudukan yang berseling (Penebar Swadaya, 2000).
Tebu dapat hidup dengan baik pada ketinggian tempat 5-500 meter diatas
permukaan laut, pada daerah beriklim panas dan lembab dengan kelembaban lebih
dari 70% hujan yang merata setelah tanaman berumur 8 bulan dan suhu udara
berkisar antara 28-34
oC (Krisna, 2009).
2.3.2 Ampas Tebu
Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas, adalah hasil samping dari proses ekstraksi
(pemerahan) cairan tebu. Dari satu pabrik dihasilkan ampas tebu sekitar 35 – 40% dari berat
tebu yang digiling. Husin menambahkan, berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan
Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu giling. Pada
musim giling 2006 lalu, data yang diperoleh dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi)
menunjukkan bahwa jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik gula di Indonesia mencapai
sekitar 30 juta ton, sehingga ampas tebu yang dihasilkan diperkirakan mencapai 9.640.000
ton. Namun, sebanyak 60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan oleh pabrik gula sebagai
bahan bakar, bahan baku untuk kertas, bahan baku industri kanvas rem, industri jamur dan
dimanfaatkan. Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Panjang seratnya
antara 1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro, sehingga ampas tebu ini dapat
memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan buatan. Bagase mengandung air 48
- 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Serat bagase tidak dapat larut dalam air
dan sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin. Hasil analisis serat ampas tebu
dapat dilihat dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Ampas Tebu
Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan
bakar bagi pabrik yang bersangkutan, setelah ampas tebu tersebut mengalami pengeringan.
Disamping untuk bahan bakar, ampas tebu juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada
industri kertas, industri papan partikel, indutri papan serat dan beberapa industri lain
(http://bioindustri.blogspot.com/2008/04/ampas-tebu.html).
2.4 Selulosa
Selulosa adalah bahan yang bersumber dari tanaman yang diperoleh dengan cara
tertentu yang dimanfaatkan sebagai bahan pembuat tali dan pakaian. Selama beberapa tahun
terakhir, beberapa peneliti mulai mengembangkan manfaat dari selulosa yang dapat
digunakan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan komposit biodegradabel. Selulosa dipilih
sebagai bahan pengisi dari matrisk polimer didasari beberapa alasan yaitu harganya yang
relatif murah dibanding dengan bahan sintesis seperti serat kaca serta kemampuannya untuk
dapat didaur ulang sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan (Eichhron, 2001).
Selulosa adalah bagian utama dari dinding sel kayu. Selulosa adalah suatu
polimer karbohidrat yang kompleks yang memiliki persentase komposisi yang sama
dengan tepung (kanji) dimana nilai glukosa dapat ditentukan dengan hidrolisis
No
Kandungan
Kadar (%)
1
2
3
4
5
6
Abu
Lignin
Selulosa
Sari
Pentosan
SiO
23,82
22,09
37,65
1,81
27,97
menggunakan asam. Unit molekul penyusun selulosa adalah glukosa yang merupakan
gula. Banyak molekul glukosa yang bergabung bersama-sama membentuk rantai
selulosa. Rumus kimia selulosa adalah (C
6H
10O
5)n dimana n adalah jumlah unit
pengulangan glukosa, n juga disebut derajat polimerisasi (DP). Nilai dari (n)
bervariasi tergantung sumber selulosa yang berbeda . Selama pengolahan
pulp
dalam
digester, derajat polimerisasi akan menurun beberapa derajat. Ini penting untuk tidak
turun terlalu banyak, karena rantai selulosa yang lebih pendek pada akhirnya
menghasilkan
pulp
yang kurang bagus. Selulosa dalam kayu mempunyai nilai derajat
polimerisasi rata-rata 3500 dimana selulosa dalam pulp mempunyai rata-rata derajat
polimerisasi dalam rentang 600-1500. Selulosa adalah polimer lurus tidak bercabang.
Ini membuat kemungkinan untuk beberapa rantai selulosa digabungkan bersama dan
membentuk struktur kristal yang teratur. Struktur kristal yang teratur ini juga disebut
micele
. Di antara
micele
ada beberapa rantai selulosa yang tidak teratur, ikatan ini
disebut mikrofibril. Mikrofibril ini membentuk dinding serat kayu.
Gambar 2.1. Rumus Bangun Selulosa (C
6H
10O
5) (Mimms, 1993).
2.4.1
Sifat-sifat Selulosa
Sifat-sifat selulosa terdiri dari sifat fisika dan sifat kimia. Selulosa dengan
rantai panjang mempunyai sifat fisik yang lebih kuat, lebih tahan lama terhadap
degradasi yang disebabkan oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun pengaruh
biologis. Sifat fisika dari selulosa yang penting adalah panjang, lebar dan tebal
molekulnya. Sifat fisik lain dari selulosa adalah:
1.
Dapat terdegradasi oleh hidrolisa, oksidasi, fotokimia maupun secara mekanis
sehingga berat molekulnya menurun.
2.
Tidak larut dalam air maupun pelarut organik, tetapi sebagian larut dalam larutan
alkali.
3.
Dalam keadaan kering, selulosa bersifat higroskopis, keras dan rapuh. Bila
selulosa cukup banyak mengandung air maka akan bersifat lunak. Jadi fungsi air
disini adalah sebagai pelunak.
4.
Selulosa dalam kristal mempunyai kekuatan lebih baik jika dibandingkan dengan
bentuk amorfnya (Fengel, 1995).
2.4.2 Pembagian Selulosa
Selulosa merupakan bagian penyusun utama jaringan tanaman berkayu. Bahan
tersebut terdapat pada tanaman kertas, namun demikian pada dasamya selulosa
terdapat pada setiap jenis tanaman, termasuk tanaman semusim, tanaman perdu dan
tanaman rambat bahkan tumbuhan paling sederhana sekalipun. Seperti: jamur,
ganggang dan lumut. Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam
senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis
yaitu:
1. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan
NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat polimerisasi) 600-1500.
Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemumian selulosa.
2. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH
17,5% atau basa kuat dengan DP 15 - 90, dapat mengendap bila dinetralkan.
3. Selulosa µ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi DP nya kurang dari
15. Selain itu ada yang disebut Hemiselulosa dan Holoselulosa, yaitu:
a. Hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, jika dihidrolisis akan
menghasilkan D-manova, D-galaktosa, D-Xylosa, L-arabinosa dan asam uranat.
b. Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas dan sari dan lignin, terdiri dari
(http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=18&mnorutisi=3).
2.4.3
α
-Selulosa
Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (mumi). Selulosa α > 92%
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau
bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada
industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon).
Alfa selulosa adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH
17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat polimerisasi) 600 - 1500. Alfa selulosa
dipakai sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa. Holoselulosa terdiri dari
alfa selulosa, beta selulosa dan gamma selulosa. Alfa selulosa pada tanaman dapat dilihat
berdasarkan ketidak larutannya pada NaOH 17,5% tapi akan diperoleh endapan ketika larutan
diasamkan. Pada umumnya diketahui beta selulosa pada kayu tidak ada akan tetapi terbentuk
dari pembentukan alfa selulosa selama proses pulping, gamma selulosa diketahui ada pada
tanaman.
Alfa selulosa biasanya diperoleh dengan metode gravimetri dimana tidak larut dalam
NaOH 17,5% dingin disaring dan ditimbang. Beta dan gamma selulosa juga dapat diperoleh
dengan metode gravimetri tetapi keduanya sangat sulit diperoleh karena dalam bentuk gel.
Alfa selulosa secara empiris merupakan fraksi molekul selulosa dengan beda berat molekul.
Jika alfa selulosa diambil dari kayu yang memiliki persentase lignin yang tinggi maka harus
dihilangkan dahulu. Prosedur umum untuk penentuan alfa selulosa pada awalnya dengan
penentuan holoselulosa dengan metode klorin dan klorit kemudian holoselulosa ditambah
alkali untuk menghilangkan hemiselulosa. Residu yang diperoleh dari hasil prosedur tersebut
adalah alfa selulosa (Yusuf, 2004).
2.4.4 Selulosa dari Serat Alam
Selulosa yang dihasilkan langsung dari serat alam sangat berkembang pesat saat ini.
Pasar industri akan menerima serat selulosa hasil ekstraksi dari alam dengan cepat
dikarenakan kebutuhan akan selulosa yang terus meningkat pada saat ini khususnya dalam
Proses pembentukan selulosa dari serat alam dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara enzimatik, dan dapat pula dikembangkan secara kimia. Secara kimia, selulosa dapat diektraksi dengan mencampurkan serat alam dengan suatu asam pada konsentrasi tertentu diikuti dengan proses pembuangan lignin. Proses selanjutnya adalah pemutihan tepung selulosa yang diperoleh dengan hipoklorit ataupun dengan peroksida (Sehaqui, 2010).
2.4.5 Metode Pemisahan Selulosa
Secara kimia, selulosa merupakan senyawa polisakarida yang terdapat banyak di
alam. Bobot molekulnya tinggi, struktumya teratur berupa polimer yang linear terdiri dari
unit ulangan β-D-Glukopiranosa. Karakteristik selulosa antara lain muncul karena adanya
struktur kristalin dan amorf serta pembentukan micro fibril dan fibril yang pada akhirnya
menjadi serat selulosa. Sifat selulosa sebagai polimer tercermin dari bobot molekul rata-rata,
polidispersitas dan konfigurasi rantainya. Dalam praktek, parameter yang banyak diukur
adalah berupa derajat polimerisasi (DP) dan kekentalan (viscositas) yang juga merupakan
tolok ukur kualitas selulosa.
Pemisahan selulosa dari tumbuhan dapat dilakukan dengan cara hidrolisis melalui
prosedur HoloselulosaTappi Standard Tgm (Useful method 249, ASTM Standard D 1104 dan
Sll) atau penentuan selulosa Cross dan Sevan dan selulosa Kursner. Bagian dari selulosa yang
tahan dan tidak larut oleh larutan basa kuat disebut selulosa α (α -cellulose). Bagian yang
terlarut tetapi dapat mengendap apabila ekstrak dinetralkan dikenal sebagai selulosa β (Betha
Cellulosa). Bagian yang tinggal dalam larutan walaupun sudah dinetralkan dikenal sebagai
selulosa γ.
Kemurnian selulosa sering dinyatakan melaui parameter selulosa α. Biasanya
semakin tinggi kadar selulosa α, maka semakin baik mutu bahannya. Selulosa dapat
diesterkan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat, asam sulfat dan asam
fosfat. Hasilnya berturut-turut adalah selulosa nitrat, selulosa sulfat dan selulosa fosfat.
Secara niaga selulosa nitrat/NC adalah yang terpenting yang banyak digunakan untuk bahan
dasar pembuatan bahan peledak atau propelan. Selulosa nitrat tersebut dibuat berdasarkan
reaksi alkohol dan asam nitrat dengan katalis asam sulfat pekat terhadap selulosa yang
sebelumnya dibuat menjadi selulosa alkali.
(http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=18&mnorutisi=3).
C = C
CH
3
H
H
H
Polimer didefinisikan sebagai suatu molekul yang besar yang terdiri atas susunan
ulang unit kimia yang kecil dan sederhana yang disebut monomer. Monomer polipropilena
(CH2=CHCH3) diperoleh dari hasil samping pemurnian minyak bumi. Polipropilena (CH2
-CHCH3)n merupakan suatu jenis polimer termoplastik yang mempunyai sifat melunak dan
meleleh jika dipanaskan (Billmeyer, 1971).
Polipropilena merupakan polimer hidrokarbon yang termasuk kedalam polimer
termoplastik yang dapat diolah pada suhu tinggi. Struktur molekul propilena dapat dilihat
pada Gambar 2.2. berikut:
Gambar 2.2. Struktur Propilena
Karena keteraturan ruang polimer ini, rantai dapat dikemas lebih terjejal sehingga
menghasilkan plastik yang kuat dan tahan panas. Pada suhu ruang, beberapa sifat, seperti
daya regang dan kekakuan, sama dengan sifat polietena bermassa jenis tinggi, tetapi sifat itu
berubah pada suhu yang lebih tinggi. Sifat kelarutan poli(propena) sama dengan sifat
kelarutan yang dimiliki poli(etena), yakni tak larut pada suhu ruang (Cowd, M.A., 1991).
Polipropilena merupakan jenis bahan baku plastik yang ringan, densitas 0,90-0,92,
memiliki kekerasan dan kerapuhan yang paling tinggi dan bersifat kurang stabil terhadap
panas dikarenakan adanya hidrogen tersier. Penggunaan bahan pengisi dan penguat
memungkinkan polipropilena memiliki mutu kimia yang baik sebagai bahan polimer dan
tahan terhadap pemecahan karena tekanan (stress-cracking) walaupun pada temperatur tinggi.
Kerapuhan polipropilena di bawah 0oC dapat dihilangkan dengan penggunaan bahan pengisi
(Gachter, 1990).
2.5.1. Struktur Polipropilena
Dalam struktur polimer atom-atom karbon terikat secara tetrahedral dengan sudut
antara ikatan C-C 109,5oC dan membentuk rantai zigzag planar. Untuk polipropilena struktur
C H
H C
C
C C
C C
C
H CH3
H
H
H
H
H CH3
H
H
CH3
H H
CH3
posisi gugus metil satu sama lain. Ini menghasilkan struktur isotaktik, sindiotaktik atau
ataktik. Ketiga struktur polipropilena tersebut pada pokoknya secara kimia berbeda satu sama
lainnya. Pada polipropilena isotaktik semua gugus metil (CH3) terletak pada sisi yang sama
dari rantai utama karbonnya, pada sindiotaktik gugus metil terletak arah berlawanan
selang-seling, sedangkan yang ataktik gugus metilnya acak seperti gambar dibawah ini (Hartomo,
A.J., 1995).
Polimerisasi propilena menjadi polipropilena berlangsung secara adisi dengan
mekanisme radikal bebas dengan adanya katalis Ziegler-Natta. Katalis ini mampu
mengarahkan monomer ke orientasi spesifik sehingga menghasilkan polipropilrna isotaktik
dengan derajat kristalinitas yang tinggi. Kristalinitas yang tinggi pada polipropilena
mengakibatkan polimer ini mempunyai daya regang tinggi dan kaku.
Polimerisasi propilena secara radikal bebas umumnya akan menghasilkan polipropilena
ataktik dengan derajat kristalinitas rendah dan cenderung amorf, hal ini disebabkan tingginya
reaktifitas hidrogen alilik. Tahapan reaksi polimerisasi polipropilena meliputi tahap inisiasi,
propagasi dan terminasi.
Berdasarkan struktur rantainya polipopilena terdapat tiga susunan gugus metil
terhadap bidang utama rantai-rantai karbon, atau terdapat tiga isomer (taktisitas):
1. Isotaktik: Gugus-gugus metil berada pada sisi-sisi yang sama
2. Sindiotaktik: Gugus-gugus metil tertata secara berselang-seling pada sisi rantai
3. Ataktik: Gugus-gugus metil tertata secara acak pada rantai polipropilena
(Hans, 1977).
C
2. Polipropilena Sindiotaktik
3. Polipropilena Ataktik
Gambar 2.3 Polipropilena (a) isotaktik, (b) sindiotaktik, (c) ataktik
2.5.2 Pembentukan Radikal Bebas Pada Bahan Polimer 2.5.2.1 Radikal Bebas pada polimerisasi
Pada radikal polimerisasi pusat aktif yang dipelajari adalah mengenai pembentukan
radikal bebas. Berdasarkan keberadaan dan kehadiran dari elektron yang tidak berpasangan
yang akan menghasilkan suatu radikal bebas yang akan mengakibatkan radikal tersebut
dengan mudah bereaksi dengan monomer yang lain, yaitu mengikuti reaksi berikut ini:
R • + CH2 = CHX R – CH2– CHX ... (2.1)
Salah satu cara pembentukan radikal pada bahan polimer adalah dengan metode
inisiasi polimerisasi yaitu dalam hal ini radikal dihadirkan kedalam sistem dengan tanpa
peningkatan nilai dari reaksi tesebut. Radikal tersebut akan masuk kedalam kedudukan bebas
atau pada komponen yang terdekomposisi yaitu pada proses polimerisasi dari radikal bebas
(suatu zat yang ditambahkan kedalam reaksi tersebut disebut dengan inisiator).
Dekomposisi dari suatu inisiator menjadi suatu radikal bebas menggunakan energi
yang lebih sedikit dibandingkan dengan formasi penyusunan aktivasi dari molekul monomer.
Namun demikian, penambahan inisiator secara tajam akan meningkat pada tahap awal
(formasi pusat aktif) dan karenanya akan mempengaruhi keseluruhan dari reaksi polimerisasi
dekomposisi dari inisiator tersebut adalah dengan suatu tahap awal yaitu membentuk rantai
propagasi. Setelah itu, radikal bebas atau komposisinya secara keseluruhan masuk kedalam
bahan polimer dan berinteraksi dengan cara polimerisasi.
Apabila radikal bebas dimasukkan misalnya kedalam suatu sistem, polimerisasi
dimulai dengan propagasi dan melewati tahapan inisiasi. Polimerisasi pada komponen buatan
akan terdekomposisi menjadi radikal bebas dibawah kondisi dari reaksi yang mengikuti tiga
tahap reaksi, namun pada tahapan yang pertama (formasi pusat aktif) hanya akan
membutuhkan sedikit energi aktivasi.Proses ketiga tahap reaksi tersebut dijabarkan sebagai
berikut (Strepikheyev, 1971).
(R)2 2R•
R• + A1 R – A1•
R – A1• + A1 R – A2• PROPAGASI
………...
R – Am-1 +A1 R - Am•
R – Am R – An ( m ≤ n ) Terminasi
2.6
Degradasi dengan Inisiator Peroksida
Kemampuan degradasi dari peroksida dapat dilihat dari sifat stabil
pelelehannya. Keefektifan stabilitas pelelehan dari penggunaan peroksida belum
dapat dipastikan secara teknik konvensional dikarenakan tidak efektifnya konsentrasi
dari peroksida yang dapat bereaksi. Karena adanya kekurangan dari teknik
digunakan, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan
degradasi dari peroksida.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika memilihperoksida:
a. Waktu paruh dari peroksida
b. Konsentrasi
c. Jenis radikal yang dihasilkan
d. Lingkungan
(Allen, 1983).
2.7
Proses Grafting
Grafting pada permukaan pada bahan polimer adalah merupakan suatu variasi
teknologi yang telah diketahui sangat mempengaruhi kenaikan sifat permukaan dari suatu
bahan polimer. Metode ini sedang sangat berkembang dan memiliki fungsi yang sangat besar
pada berbagai bidang misalnnya pada serat dan kaca yang akan mempengaruhi dari
stabilitasnya secara termal (Saihi, 2001).
Grafting kopolimer adalah suatu polimer yang terdiri dari molekul-molekul dengan
satu atau lebih jenis dari monomer yang terhubung pada sisi rantai utama. Grafting kopolimer
dapat juga disiapkan oleh proses kopolimerisasi cabang dengan monomer yang akan
membentuk rantai utama.
Grafting maleat anhidrida pada polipropilena yaitu (PP-g-MA) saat ini merupakan
menjadi daya tarik industri yang sedang sangat berkembang dan patut untuk dipertimbangkan
dan dikembangkan, karena dapat menghasilkan keselarasan dan peningkatan kereaktifan.
Secara laporan fungsionalisasi yang diterima, proses dilakukan dengan cara grafting
maleat anhidrida (MA) kepada polipropilena yang dalam kondisi cair dengan keberadaan
suatu peroksida organik.
Reaksi tersebut dapat dijabarkan sebagai suatu mekanisme reaksi radikal. Inisiator
peroksida membentuk suatu radikal yaitu yang akan menyerang satu atom hidrogen yang
berasal dari karbon tersier polipropilena yang akan membentuk polipropilena makro radikal.
Setelah langkah tersebut langkah tersebut akan terjadi grafting dari maleat anhidrida yang
mengikuti tahap reaksi sebagai berikut:
a. Pada satu sisi, maleat anhidrida akan bereaksi dengan makro radikal dari polipropilena
dan pada sisi lain anhidrat suksinat akan terdistribusi pada sepanjang rantai yang akan
terisolasi pada unit tersebut.
b. Pada sisi lain, polipropilena yang bersifat makro radikal diterima sebagai penggerak
utama rangkaian b scission, dari radikal atom C sekunder yang menghasilkan b scission
sehingga terjadi suatu penggabungan dengan maleat anhidrida. Grafting dari maleat
anhidrida tersebut terhadap polipropilena akan menghasilkan hasil samping yaitu
2.8
Karakterisasi Komposit biodegradabel
Analisa sifat komposit biodegradabel yang diperoleh dapat menunjukan
perubahan sifat dari setiap bahan dasar komposit seperti perubahan sifat permukaan
komposit biodegradabel seperti yang dilakukan oleh (Wang, 2006) yang mengamti
sifat mekanik dari nano materi selulosa dan polipropilena. Serat selulosa, fragmen
pada dinding sel dan mikrofibrilnya yang dapat digunakan sebagai bahan penguat
dalam komposit biodegradabel. Teknik yang digunakan untuk menentukan sifat
mekanik ada dengan metode penetrasi sampel dengan menggunakan indentor pada
kedalaman tertentu. Hasil yang diperoleh yaitu kenaikan kekuatan dan ketahanan
sampel pada kenaikan nilai selulosa yang ditambahkan,dan terjadinya kenaikan nilai
kekuatan lentur pada penambahan bahan polipropilena yang ditambahkan.
2.8.1 Analisa Sifat Thermal Komposit Biodegradabel
Analisa termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik dan kimia
material sebagai fungsi dari suhu. Pada prakteknya, istilah analisa termal seringkali
digunakan untuk sifat-sifat spesifik tertentu. Misalnya entalpi, kapasitas panas, massa dan
koefisien ekspansi termal. Dengan menggunakan peralatan modern, sejumlah besar material
dapat dipelajari dengan metode ini. Penggunaan analisa termal pada ilmu mengenai zat padat
telah demikian luas dan bervariasi, mencakup studi reaksi keadaan padat, dekomposisi termal
dan transisi fasa dan penentuan diagram fasa. Kebanyakan padatan bersifat ‘aktif secara termal’ dan sifat ini menjadi dasar analisa zat padat menggunakan analisa termal. Analisa
diferensial termal (DTA) yang mengukur perbedaan suhu (T), antara sampel dengan material
referen yang inert sebagai fungsi dari suhu.
Keberadaan DTA dapat digunakan sebagai alat kerakterisasi atau analisa material.
Pada suatu sampel yang identitasnya tidak diketahui maka penggunakan DTA saja tidak akan
banyak membantu pada identifikasinya. Namun DTA dapat menjadi berguna pada
pembandingan sekelompok material tertentu, misalnya mineral kaolin yang telah disebutkan
sebelumnya. DTA juga dapat digunakan sebagai panduan bagi penentuan kemurnian,
0,02 wt% karbon suhu transisi berkurang dari 910oC ke 723oC. Titik leleh juga seringkali
dipengaruhi oleh impuritas, terutama apabila impuritas ini dapat memunculkan eutektik
dengan titik leleh yang lebih rendah. TGA juga dapat digunakan untuk menetukan
ketidakmurnian, dengan membandingkan hilangnya massa pada dekomposisi dari senyawa
tertentu dan dekomposisi yang diharapkan berlangsung pada senyawa murni secara teoritis.
Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan
fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses kimia yang
mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Dalam bidang campuran
polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi kaca (T
g) sangat penting untuk meramalkan
interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran beberapa polimer. Campuran polimer
yang homogen akan menunjukkan satu puncak T
g (eksotermis) yang tajam dan merupakan
fungsi komposisi. T
g campuran biasanya berada diantara Tg dari kedua komponen, karena itu
pencampuran homogen digunakan untuk menurunkan T
g , seperti halnya plastisasi dengan
pemlastis cair. Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur
bahan polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS. campuran polimer heterogen ini
ditandai dengan beberapa puncak T
g , karena disamping masing-masing komponen masih
merupakan fase terpisah, daerah antarmuka mungkin memberikan T
g yang berbeda.
Pengamatan termal campuran polimer juga dapat digunakan untuk menentukan parameter
interaksi, yang merupakan faktor penurunan suhu leleh kristal (Wirjosentono, 1995).
Pada analisa termal differensial sampel diprogram dengan laju terkontrol dan suhu
yang terus dipantau. Efek kalor latent pada perubahan fasa, tak tampak
pengeluaran/pengambilan panasnya.
DTA berguna untuk pengukuran derajad kekristalan struktur morfologi berbagai
isomer polimer, pengukuran titik transisi gelas, kajian puncak ganda titik leleh polimer
isotaktik, transisi-transisi orde satu kopolimer, pengaruh riwayat termal atas sifat, kajian
stabilisasi polimer, kinetika pirolisis, pengaruh panjang/jenis gugus samping atas titik leleh,
pengaruh laju pemanasan atas titik leleh, juga untuk penyidikan berbagai polimer komersil
(Hartomo, 1995).
Analisis thermal diferensial merupakan salah satu cara untuk menentukan sifat panas
perbedaan temperatur diantara sampel dengan suatu bahan pembanding yang stabil terhadap
perubahan panas.
Analisis thermal differensial adalah suatu cara untuk menentukan perubahan
sifat-sifat khusus panas dari suatu bahan sampel dengan mengukur dan mencatat kedua-duanya,
temperatur T (oC) diantara suatu sampel yang diukur dan satu bahan pembanding yang
panasnya stabil seperti alpha alumina (Afriando , 2009 ).
Pada Analisa Differensial Termal, sampel dan suatu zat inert, yang tidak mengalami
transisi termal pada suhu yang diharapkan yang telah ditentukan, dipanaskan pada konsisi
yang sama. Perbedaan temperatur akhir dari sampel dan bahan pembanding akan diplotkan
pada suatu grafik yang berguna untuk mengetahui dari temperatur dari sampel (Billmeyer,
1984).
Gambar 2.4 Grafik (b) hasil dari set up yang diperlihatkan pada gambar (a), Grafik (d) merupakan jejak DTA yang umum yang merupakan hasil dari pengaturan yang diperlihatkan pada gambar (c).
2.8.2 Spektrofotometer FT-IR
Sistem analisa spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam
akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan
infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang
karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah
dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur
molekulnya ( Hummel, 1985 ).
2.8.3. Analisa Sifat Permukaan dengan Pengujian Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara
makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi
berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik
berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan absorpsi elektron.
Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data
atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya
sekitar 20 μm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan tofografi
dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan. Gambar tofografi diperoleh
dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron
sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor
akan diperoleh gambar yang khas menggambarkan struktur permukaan spesimen.
Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau
dapat pula direkam ke dalam suatu disket.
Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan
konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah maka bahan perlu
dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Bahan yang biasa digunakan
adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atas
campuran emas dan palladium (Rusdi Rafli, 2008).
Sifat mekanis biasanya biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik
(σ
t) menggunakan alat pengukuran tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan
diberikan tegangan. Secara praktis kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban
maksimum (F
maks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas
penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami
perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas
penampang semula (A0)
σ
t = Fmaks / Ao ………..………….. (2.2) selama deformasi, dapat diasumsikan bahwa volum spesimen tidak berubah, sehingga
perbandingan luas penampang semula dengan penampang setiap saat, A
o/A = l/lo, dengan l dan l
o masing-masing adalah panjang spesimen setiap saat dan semula. Bila didefenisikan
besaran kemuluran (ε) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap panjang spesimen semula (ε = Δl/l
o) maka diperoleh hubungan:
A = A
o/ (l + ε) ………...… (2.3)
Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik ini dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan,
yakni nisbah beban dengan luas penampang, terhadap perpanjangan bahan (regangan), yang
disebut dengan kurva tegangan-regangan. Bentuk kurva tegangan- regangan ini merupakan
karakteristik yang menunjukkan indikasi sifat mekanis bahan yang lunak, keras, kuat, lemah,
rapuh atau liat (Basuki wirjosentono, 1995).
2.8.5 Analisa Ketahanannya Terhadap Air dengan Uji Serapan Air (Water Absorption)
Pengujian serapan air didefinisikan:
1. Jumlah air yang diserap oleh material komposit ketika direndam dalam air untuk jangka
waktu ditetapkan.
2. Rasio berat air yang diserap oleh material, dengan berat bahan kering. Semua bahan
polimer organik akan menyerap air sampai batas tertentu yang mengakibatkan
dapat menyebabkan perubahan warna, kehilangan sifat mekanik dan listrik, resistensi
yang lebih rendah terhadap panas dan cuaca dan tekanan yang menakibatkan keretakan.
(http://composite.about.com/library/glossary/w/bldef-w6012.htm,).
Penyerapan air digunakan untuk menentukan jumlah air yang diserap dalam kondisi tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan air meliputi:
1. Jenis plastik
2. Aditif yang digunakan
3. Temperatur dan lamanya paparan.
Penyerapan air dinyatakan sebagai peningkatan persen berat. Rumusnya adalah sebagai
berikut:
Persen Penyerapan Air = x 100% ………. (2.4)
(http://www.plastribution.co.uk/, diunduh April 2011).
2.8.6 Analisa Kemampuannya Terurai di Alam dengan Uji Biodegradable
Beberapa simulasi di laboratorium digunakan untuk mengukur biodegradasi.
Degradasi dilakukan di kompos, tanah atau air laut, dalam sebuah reaktor terkontrol.
Walaupun lingkungannya sangat berbeda dengan kondisi uji di lapangan, parameter
eksternal (temperatur, pH, kelembaban, dll) dapat dikontrol dan ditentukan, dan
peralatan analitik dapat difungsikan lebih baik (misalnya analisis residu dan
intermediat, penentuan evaluasi CO
2atau konsumsi O
2). Untuk mengurangi waktu
pengujian penambahan nutrisi dapat meningkatkan aktivitas mikroba dan
mempercepat degradasi (Pagga, 1998).
Prosedur analitik untuk mengamati biodegradasi antara lain dengan :
pengamatan visual, perubahan sifat mekanik dan massa molar, pengukuran
pengurangan berat (penentuan polimer residu), konsumsi O
2dan perubahan CO
2,
penentuan biogas, pelabelan radio aktif, pembentukan daerah nyata (pada cawan
C C C C C
penentuan asam bebas. Standarisasi uji biodegradasi terbagi berdasarkan lingkungan
uji yakni:
a.
Pengujian kompos
b.
Pengujian biodegradasi anaerobik
c.
Pengujian biodegradasi di tanah
Metode skrining mikroorganisme dan zona terang (
clear zone
) diaplikasikan
untuk mengetahui penyebaran mikroorganisme pengurai polimer plastik dan
perbandingannya terhadap jumlah total mikroorganisme (Müller, 2005).
a.
Dekomposisi Peroksida
Benzoil Peroksida
b.
Penarikan Atom H
C
C
C
C
C
Reaksi Grafting Polipropilena Terdegradasi Dengan Maleat Anhidrida:
1.
Dekomposisi Benzoil Peroksida (BPO)
Benzoil Peroksida
H
C
3.
Garfting Dengan Maleat Anhidrida
C
4.
Transfer Rantai
Radikal PP
Maleat anhidrida
OH
Reaksi Esterifikasi Antara Selulosa Dengan PP-g-MA
Reaksi Ikat Silang Divinil Benzena Dengan Komposit biodegradabel
Radikal PP-g-MA
Radikal PPd
PP-g-MA
PP-g-MA
Selulosa
Gambar 2.5 Rekasi Penelitian
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Alat Dan Bahan