BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
A. Pengertian Perjanjian
Sebagaimana yang termuat didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu.”18
Kamus hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang
dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat
untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.19
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu
luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan
terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu
perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga,
tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri
sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga
18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka. 2012), hal. 458.
19
mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan
hukum ini tidak ada unsur persetujuan.20
R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.21
Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek
yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek
hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.”22
Abdul Kadir Muhammad memberikan rumusan perjanjian yaitu suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.23
Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut
Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.24
Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama
undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan
20
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumi. 2005), hal. 89.
21
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 2010), hal. 95 24
yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat
dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352
KUHPerdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu
perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena
suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari
suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang
berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).
Ketentuan Pasal 2 UU Perbankan, bank dalam menjalankan usahanya
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat harus menggunakan prinsip
kehati-hatian. Dalam penjelasan Pasal 8 Undang-undang tersebut juga ditegaskan
bahwa dalam melakukan perjanjian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang
diperjanjikan. Dari penjelasan dua pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa
prinsip utama perkreditan adalah bersandar pada kepercayaan dan kehati-hatian.
Penjelasan Pasal 8 angka (1) UU Perbankan menegaskan bahwa untuk
memperoleh keyakinan tersebut, maka sebelum melakukan kredit bank harus
melakukan penilaian-penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan,
modal, dan prospek usaha dari nasabah. Dalam praktik perbankan hal tersebut
dikenal dengan istilah “The Five C’s of Analysis”.
Prinsip-prinsip yang biasa dijadikan acuan dalam penilaian pemberian
kredit perbankan tersebut adalah: 25
25
a. Prinsip kepercayaan setiap pemberian kredit sebenarnya harus selalu disertai
oleh kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur akan bermanfaatnya kredit
bagi debitur sekaligus kepercayaan bahwa debitur dapat membayar kembali
kreditnya.
b. Prinsip kehati-hatian (prudent) adalah salah satu konkretisasi dari prinsip
kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan prinsip ini
maka berbagai jenis usaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank yang
bersangkutan (internal) maupun oleh bank luar (eksternal) yang dalam hal ini
adalah bank sentral.
c. Prinsip 5 C
1) Character (kepribadian) Bank sebagai kreditur harus terlebih dahulu
melakukan penilaian terhadap watak atau kepribadian calon debiturnya
sebelum kredit diberikan. Jika debitur memiliki watak yang buruk maka
akan menimbulkan perilaku yang buruk pula, dan hal ini sangat
berpengaruh kepada perilaku debitur dalam hal membayar hutangnya.
2) Capacity (kemampuan)
Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya,
sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk membayar hutangnya
3) Capital (modal)
Permodalan yang dimiliki debitur juga merupakan hal penting yang harus
diketahui calon krediturnya, karena permodalan dan kemampuan keuangan
kemampuan dalam pembayaran kredit. Hal ini dapat diketahui melalui
laporan keuangan bisnis atau perusahaan debitur.
4. Condition of Economy (kondisi ekonomi)
Kondisi perekonomian secara makro maupun mikro merupakan faktor
penting untuk dianalisis sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang
berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur.
5. Colateral (agunan)
Agunan dalam setiap pemberian kredit sangatlah penting, bahkan
Undang-undang mensyaratkan bahwa agunan itu harus ada dalam setiap perjanjian
kredit. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi terhadap debitur yang
benar-benar mengalami kredit macet, sehingga agunan dapat dieksekusi
d. Prinsip 5P
Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap
pemberian kredit. Debitur harus memperoleh suatu kepercayaan dari kreditur
mengenai karakter, kemampuan, dan sebagainya.
1) Party (para pihak)
Merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit.
Pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap
para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya, kemampaunnya,
dan sebagainya;
2) Purpose (tujuan)
Kreditur harus dapat melihat dan mencermati apakah kredit yang akan
income usaha debitur. Perlu pula dilakukan pengawasan terhadap
penggunaan dana pinjaman tersebut, apakah benar-benar digunakan untuk
tujuan sesuai dengan yang diperjanjikan.
3. Payment (pembayaran) kreditur harus dapat melihat dan menganalisis
sumber pendapatan debitur dan apakah sumber pendapatannya mencukupi
untuk membayar kembali kreditnya.
4. Profability (perolehan laba) Kreditur harus dapat mengantisipasi, apakah
laba yang akan diperoleh oleh debitur lebih besar dari biaya pinjaman dan
apakah pendapatan debitur lebih besar dari biaya pinjaman dan apakah
pendapatan debitur dapat menutupi pembayaran kembali kredit.
5. Protection (perlidungan)
Dalam hal ini dilakukan analisis tentang cukup tidaknya jaminan yang
diberikan untuk calon debitur sebagai upaya pengamanan terhadap kredit
yang akan diberikan.
e. Prinsip 3R
1) Return (hasil yang diperoleh)
Penilaian harus dilakukan terhadap hasil usaha yang akan dapat dicapai
oleh calon debitur. Terhadap hasil usaha yang akan dicapai tersebut kemudian
dianalisis tentang adanya kemungkinan pengembalian kredit beserta bunganya
2. Repayment (pembayaran kembali)
Kemampuan calon debitur untuk mengembalikan kredit harus sudah
3. Risk Bearing Ability (kemampuan mengandung risiko)
Analisis harus dilakukan juga terhadap kemampuan calon debitur untuk
menanggung risiko. Hal ini dimungkinkan apabila terjadi kegagalan pada usaha
calon debitur, atau kemungkinan terjadinya kerugian yang mungkin terjadi karena
hal-hal yang tidak dapat diperkirakan sejak semula.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:26
1. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai
subjek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang
menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan
hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum,
maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang
antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu,
mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi;27
2. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam
membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan
tawar-menawar diantara mereka;
3. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh
pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai
tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;
26
Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta:Sarana Bhakti Persada, 2005), hal 5-6.
27
4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian
mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling
berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi,
bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;
5. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun
tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai
dengan ketentuan yang ada;
6. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat
tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai
suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat
tertentu
Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak,
perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c. Suatu hal tertentu; dan
d. Suatu sebab yang halal
Adapun penjelasan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa
kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya
paksaan, kekeliruan, dan penipuan.28
2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan
hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung
hak dan kewajiban, baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan
hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan
hukum yang sah. 29
3) Suatu hal tertentu
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus
mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.
Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang
pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga
jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau
ditetapkan.30
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika
tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata
dinyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang
28
Ridhuan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 214.
29
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan , (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal 25. 30
dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHPerdata
barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4) Suatu sebab yang halal
Sebab yang halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut
Pasal 1337 KUH Perdata adalah “persetujuan yang tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.Pengertian
sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah
isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal iniharus dihilangkan salah
sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang
menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang
dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang
menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang
untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh
undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan
orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau
kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri
Menurut undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak
dilarang oleh Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan
ini dinyatakan bahwa pada Pasal 1337 KUHPerdata. Suatu perjanjian yang
dibuat dengan sebab atau causa yang tidak halal, misalnya jual beli ganja,
untuk mengacaukan ketertiban umum.31 Sahnya causa dari suatu
31
persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa
yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.32
Keempat syarat tersebut di atas, dapat diklasifikasikan menjadi dua
kelompok, yaitu :
1. Syarat subjektif
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena merupakan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh subjek perjanjian. Apabila syarat
subjektif tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah dapat dibatalkannya
perjanjian (vernietigbaar)
2. Syarat objektif
Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena merupakan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh objek perjanjian. Apabila syarat objektif
tidak dapat dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah bahwa perjanjian itu batal
demi hukum (van rechtswege nietig)
C. Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis
yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata seperti telah
diuraikan di depan. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit
untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah
sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang
32
komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan
meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat
pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi
apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Menyimpan
tabungan atau deposito di Bank maka akan memperoleh buku tabungan atau bilyet
deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian
sebagai alat bukti.33
Berdasarkan Pasal 1 angka (11) UU Perbankan, yang dimaksud
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam adalah bentuk perjanjian kredit,
sehingga nama perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit. Meskipun pada
umumnya perjanjian tidak perlu dibuat secara tertulis (asalkan kedua belah pihak
sepihak, cakap hukum, tentang suatu sebab tertentu, dan suatu sebab yang halal
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang membolehkan
kesepakatan pada perjanjian dapat dilakukan dalam bentuk lisan maupun tulisan)
namun kiranya kesepakatan pada perjanjian perbankan harus dibuat dalam sebuah
perjanjian tertulis.
Ketentuan ini terdapat pada penjelasan Pasal 8 UU Perbankan yang
mewajibkan kepada Bank pemberi kredit untuk membuat perjanjian secara
tertulis. Keharusan perjanjian perbankan harus berbentuk tulisan telah ditetapkan
dalam pokok-pokok ketentuan perkreditan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 angka (2) UU Perbankan.
33
Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis
adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1996 tanggal 10 Oktober
1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit
tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara
Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan
kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970,
khususnya angka 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat
perjanjian kredit.34
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: tertulis dan
lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga jenis
perjanjian tertulis:
Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan saja. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan
para pihak. Perjanjian ynag dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hdapan dan di muka pejabat
yang berwenang untuk itu.35
Pasal 8 angka (2) huruf a UU Perbankan menjelaskan bahwa pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa bank dalam memberikan kredit wajib mempergunakan
perjanjian kredit dalam bentuk tertulis.
34
Ibid. hal 99 35
Bentuk perjanjian kredit secara tertulis tersebut bertujuan untuk
memudahkan pihak bank maupun nasabah dalam pelaksanaan kredit, karena
dalam isi perjanjian dapat diketahui secara jelas mengenai subjek, objek, maupun
hal-hal lain yang diperjanjikan. Bentuk perjanjian ini juga dianggap lebih aman
bagi para pihak apabila dibandingkan dengan bentuk lisan, karena dengan bentuk
tertulis tersebut para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan,
dan ini merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu terhadap
kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh para
pihak.
Perjanjian yang dibuat secara tertulis dalam praktek perbankan dibedakan
lagi menjadi dua bentuk perjanjian yaitu :36
1. Akta di bawah tangan; dan
2. Akta autentik
Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi
yurudis dan fungsi ekonomis. Fungsi yurudis perjanjian adalah dapat memberikan
kepastian hukum para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan
(hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai
yang lebih tinggi. Biaya dalam Pembuatan Perjanjian Biaya penelitian, meliputi
biaya penentuan hak milik yang mana yang diinginkan dan biaya penentuan
bernegosiasi, Biaya negosiasi, meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak,
dan biaya tawar-menawar dalam uraian yang rinci, Biaya monitoring, yaitu biaya
36
penyelidikan tentang objek, biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidnagan dan
arbitrase, Biaya kekliruan hukum, yang merupakan biaya sosial.37
D. Berakhirnya Perjanjian
Suatu perjanjian berakhir apabila tujuan dari perjanjian tersebut telah
tercapai, yaitu dengan terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini
hapusnya perjanjian dapat pula mengakibatkan hapusnya perikatan, yaitu apabila
suatu perjanjian hapus dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat daripada
pembatalan berdasarkan wanprestasi Pasal 1266 KUHPerdata, maka semua
perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan tersebut tidak perlu lagi
dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan Dalam Pasal 1381
KUHPerdata dinyatakan tentang cara berakhimya suatu perikatan, yaitu :
“Perikatan-perikatan hapus karena :
a. Pembayaran adalah kewajiban debitur secara sukarela untuk
memenuhiperjanjian yang telah diadakan. Dengan adanya pembayaran
oleh seorang debitur atau pihak yang berhutang berarti Debitur telah
melakukan prestasi sesuai perjanjian. Dengan dilakukannya pembayaran
oleh Debitur maka perjanjian kredit/hutang menjadi hapus atau berakhir.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
Prestasi debitur dengan melakukan pembayaran tunai yang diikuti
denganpenitipan dapat mengakhiri atau menghapuskan perjanjian. Untuk
menerangkan maksud kalimat ini perlu diberikan contoh, misalnya
37
seorang debitur bernama Mr. X memperoleh pinjaman dari Bank 5 juta
rupiah dengan bunga 6% pertahun dan jangka waktu satu tahun. Sebelum
jangka waktu berakhir debitur memiliki uang yang cukup sehingga
menawarkan kepada kreditur untuk melunasi hutang pokok tersebut
sebelum jangka waktu berakhir. Jika kreditur menyetujui tawaran debitur
tersebut maka terjadilah pembayaran tunai yang mengakhiri perjanjian.
Tetapi kalau kreditur menolak tawaran tersebut maka debitur dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan di
Pengadilan Negeri. Ketentuan pembayaran tunai yang diikuti penitipan ini
prosedurnya diatur dalam Pasal 1404 s/d 1412 KUH Perdata. Tetapi hanya
berlaku untuk perjanjian yang prestasinya“memberi barang-barang
bergerak” sedangkan untuk memberi barang tidak bergerak
Undang-undang tidak mengatur.
c. Pembaharuan hutang;
Novasi merupakan salah satu cara untuk menghapuskan atau mengakhiri
suatu perjanjian. Novasi atau pembaruan utang adalah suatu perjanjian
baru yang menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang sama
memunculkan perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama. Pasal
1413 KUHPerdata menetapkan 3 (tiga) macam cara untuk terjadinya Nova
d. Perjumpaan hutang atau kompensasi;
Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang
ditentukan menurut jenis (generische ziken), yang dipunyai oleh dua orang
berkedudukan baik sebagai kreditur maupun kreditur terhadap orang lain,
sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.38
e. Kompensasi atau perjumpaan utang kompensasi adalah perjumpaan dua
utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis
(generische ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal
balik, dimana masing-masing pihak berkedudukanbaik sebagai kreditur
maupun kreditur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di
antara kedua utang tersebut.39
f. Percampuran hutang; percampuran hutang terjadi apabila kedudukan
Kreditur dan Debitur bersatu pada satu orang, maka demi hukum atau
otomatis suatu percampuran utang terjadi dan perjanjian ini menjadi hapus
atau berakhir. Contoh terjadinyapernikahan antara kreditur dan debitur dan
ada persatuan harta pernikahan maka terjadi percampuran hutang.
g. Pembebasan hutangnya Pasal 1438-1443 KUH Perdata
Undang-undang tidak memberikan definisi apa yang disebutkqn dengan
pembebasan utang. Namun, menurut Mariam Darus Badrulzaman
pembebasan utang adalah pembuatan atau pernyataan kehendak dari
kreditur untuk membebaskan debitur perikatan dan pernyataan kehendak
tersebut diterima oleh debitur.40 Menurut Pasal 1439 KUH Perdata,
pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi hari dibuktikan.
Misalnya, pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh
kreditur, merupakan bukti tentang pembebasan hutangnya
38
Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 280 39Ibid
. 40
h. Musnahnya barang yang terhutang;
Apabila barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, hilang,
tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang itu tidak diketahui lagi
apakah barang itu masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus
asal musnahnya barang, hilangnya barang bukan kesalahan Debitur dan
sebelum debitur lalai menyerahkan barangnya kepada kreditur.
i. Pembatalan; Jika syarat subyektif (sepakat dan cakap) tidak dipenuhi maka
perjanjian itu dapat dibatalkan artinya para pihak dapat menggunakan hak
untuk membatalkan atau tidak menggunakan hak untuk membatalkan. Bila
syarat obyektif (obyek tertentu dan sebab yang halal) tidak dipenuhi maka
perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian itu sejak
semuladianggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum yang
dilahirkan. Meskipun syarat-syarat subyektif dan syarat obyektif dalam
perjanjian telah dipenuhi, perjanjian juga dapat dibatalkan oleh salah satu
pihak jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan
wanprestasi (Pasal 1266 KUHPerdata).
j. Lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri
Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan itu telah tercapai,
dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang diperjanjikan
tersebut. Selain cara berakhirnya perjanjian seperti yang disebutkan di atas,
terdapat beberapa cara lain untuk mengakhiri perjanjian, yaitu :41
1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya dalam perjanjian
itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam waktu tertentu
2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya Pasal
1250 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak membeli kembali tidak
boleh diperjanjikan untuk suatu waktu tertentu yaitu tidak boleh lebih dari
5 tahun.
3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir. Misalnya
apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian akan menjadi
hapus sesuai dengan Pasal 1603 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh.
4. Karena persetujuan para pihak.
5. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua belah
pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian yang bersifat
sementara.
6. Musnahnya barang yang terhutang apabila barang tertentu yang menjadi
obyek perjanjian musnah, hilang, tidak dapat lagi diperdagangkan,
sehingga barang itu tidak diketahui lagi apakah barang itu masih ada atau
tidak maka perjanjian menjadi hapus asal musnahnya barang, hilangnya
barang bukan kesalahan debitur dan sebelum debitur lalai menyerahkan
41
barangnya kepada kreditur. Apabila debitur dibebaskan untuk memenuhi
perjanjian yang disebabkan peristiwa musnahnya atau hilangnya barang.
7. Pembatalan perjanjian jika syarat subyektif (sepakat dan cakap) tidak
dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan artinya para pihak dapat
menggunakan hak untuk membatalkan atau tidak menggunakan hak untuk
membatalkan.Bila syarat obyektif (obyek tertentu dan sebab yang halal)
tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian itu
sejak semula dianggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum
yang dilahirkan. Meskipun syarat-syarat subyektif dan syarat obyektif
dalam perjanjian telah dipenuhi, perjanjian juga dapat dibatalkan oleh
salah satu pihak jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan
wanprestasi Pasal 1266 KUHPerdata hak-hak berkaitan dengan barang
yang musnah atau hilang, misalnya hak asuransi atas barang tersebut maka
Debitur diwajibkan menyerahkan kepada Kreditur
8. Karena pembebasan utang.
Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum yang dilakukan Kreditur
denganmenyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran hutang
dari debitur. Artinya kreditur memberitahukan secara lisan atau tertulis
kepada debitur bahwa kreditur membebaskan kepada debitur untuk tidak
membayar lagi hutangnya. Jadi pembebasan hutang ini dapat dilakukan
secara sepihak yang berupa pernyataan atau pemberitahuan tertulis kepada
menerima pemberitahuan itu atau membalas surat Kreditur yang
menyetujui pembebasan hutang tersebut.
Apabila dalam suatu perjanjian semua perikatan-perikatan telah berakhir,
maka berakhir pulalah seluruh perjanjian tersebut. Dalam hal demikian
berakhirnya seluruh perikatan yang terdapat dalam suatu perjanjian menyebabkan
perjanjian berakhir, namun sebaliknya berakhirnya suatu perjanjian dapat
mengakibatkan berakhirnya seluruh perikatan yang ada dalam perjanjian tersebut.
Hal ini dapat terjadi pada perjanjian yang berakhir karena pembatalan berdasarkan
wanprestasi. Pembatalan perjanjian tersebut menyebabkan seluruh
perikatan-perikatan yang ada berakhir. Perikatan-perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi
dan segala apa yang telah dipenuhi harus berakhir. Akan tetapi dapat juga terjadi
suatu perjanjian berakhir untuk waktu selanjutnya dan kewajiban yang telah ada
tetap ada.
Adapun mengenai berakhirnya suatu perjanjian dapat terjadi karena :
a. Ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian. Suatu perjanjian berakhir
pada saat yang telah ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian.
b. Batas berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang-undang,
misalnya hak untuk membeli kembali suatu barang yang telah dijual tidak
boleh diperjanjikan lebih dari 5 (lima) tahun (Pasal 1520 KUHPerdata)
c. Apabila terjadi suatu peristiwa tertentu yang oleh para pihak atau
berakhirnya perjanjian, misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia
maka perjanjian akan menjadi hapus (pasal 1603 KUHPerdata). 42
Jadi perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak dikenal
didalam KUHPerdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang
termuat di dalam Buku II KUHPerdata43. Akibat hukum suatu perjanjian
dibatalkan karena syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian tidak
dipenuhi atau karena dibatalkan salah satu pihak karena wanprestasi yaitu:
1) Hak dan kewajiban para pihak kembali kepada keadaan semula sebelum
adanya perjanjianPara pihak harus mengembalikan hak-hak yang telah
dinikmati misalnya Debitur yang telah menerima uang pinjaman maka
Debitur segera mengembalikan sebesar uang yang diterimanya. Pembeli
yang telah menerima barangnya segera mengembalikan barangnya.
Penjual yang telah menerima pembayaran segera mengembalikan uang
Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata. Berlakunya suatu syarat batal
2) Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang lahirnya atau
berakhirnyadigantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan
peristiwa itu masih belum tentu terjadi. Suatu perikatan yang lahirnya
digantungkan dengan terjadinya suatu peristiwa dinamakan perikatan
dengan syarat tangguh. Apabila syarat batal dipenuhi maka akan
menghentikan perjanjian itu dan membawa kembali kepada keadaan
semula seolah-olah tidak pernah ada perjanjian, akibatnya semua pihak
dalam perjanjian itu harus mengembalikan ke dalam keadaan semula.
42
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Binacipta,1997), hal.69 43
Misalnya, seorang yang berutang telah menerima uangnya, dan Kreditur
menerima jaminannya, maka si berutang harus mengembalikan hutangnya
dan Kreditur memberikan dokumen jaminannya (Pasal 1265 KUH
Perdata).
E. Perjanjian Kredit Dilihat dari Dasar Haknya
Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata merupakan pedoman bagi para
pihak dalam membuat suatu perjanjian kredit, yaitu selain harus berpedoman pada
peraturan perundangan yang berlaku, para pihak dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian kredit harus tetap berpedoman pada kepatutan, kebiasaan
serta itikad baik sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Pihak bank dalam perjanjian kredit pada umumnya berada dalam posisi
kuat, selain karena pihak bank selaku pelaku usaha yang menentukan isi
perjanjian, pihak bank juga dilindungi oleh perjanjian standart perbankan dalam
klausula baku dari pihak bank yang pada intinya menegaskan bahwa nasabah
(debitur/konsumen) tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah
ada dan masih akan diterapkan kemudian oleh pihak bank. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa kedudukan bank sebagai pemberi kredit dengan calon
nasabah sebagai penerima kredit tidak seimbang. Hal ini tidak sesuai dengan
kesetaraan, nasabah harus menerima jika masih ingin tetap melanjutkan perjanjian
tersebut walaupun melemahkan posisinya, terutama mengenai hal-hal yang terjadi
diluar kuasanya seperti keadaan memaksa (overmacht).
Perjanjian kredit dapat juga ditinjau dari sudut subyek hukumnya, yaitu
dilakukan antara dua kreditur dengan satu debitur, yang disebut sebagai kredit
sindikasi. Dari sisi debitur, subyek hukumnya dapat berstatus badan hukum
(korporasi) maupun perorangan. Walaupun badan hukum korporasi dan orang
perseorangan dapat melakukan tindakan hukum (rechtsbevoegdheid), namun
keduanya tetap memiliki pengecualian atau pembatasan. Pengecualian atau
pembatasan ini biasanya diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Selain di dalam KUHPerdata, pada UU Perbankan, juga dikenal adanya
beberapa ketentuan yang menjadi pedoman dalam memberikan kredit,
sebagaimana disebutkan bahwa pada Pasal 11 angka (2) Undang-Undang
Perbankan menyebutkan bahwa batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam
angka (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal bank yang
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pihak pemerintah di dalam
Undang- Undang Perbankan mengenai ketentuan kredit pada dasarnya bukanlah
untuk membatasi kegiatan Bank, melainkan untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam mengelola dana masyarakat, memperkecil risiko kerugian yang
mungkin timbul serta untuk melindungi kepentingan masyarakat.44
44