• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Pene

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Pene"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

A. Pengertian Perlindungan, Hak dan Kewajiban Konsumen

Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada

dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973.13

Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas

kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti

pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan , dan publikasi media konsumen.

Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih

dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring

perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan

YLKI) dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana

memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.14

Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tanggal 20 April 1999 UUPK

disahkan. Dengan adanya UUPK, Jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen

di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan

konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu system hukum

perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

13

Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 248

14

(2)

Dalam Penjelasan UUPK, disebutkan bahwa keberadaan UU Perlindungan

Konsumen adalah dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi

pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk

melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan

konsumen. Dengan kata lain, UU Perlindungan Konsumen merupakan “payung”

yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang

perlindungan konsumen.

Seiring Perkembangan Waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh

dan berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat (LPKSM), sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak

konsumen, menjamur di mana-mana. Tentunya, perkembangan tersebut patut

disambut secara positif.

Munculnya gerakan konsumen adalah untuk membangkitkan kesadaran

kritis konsumen secara kontinuitas. Kesadaran kritis ini tidak hanya dimaksudkan

untuk mendapatkan hak-hak konsumen, tapi juga dalam proses pengambilan

keputusan yang terkait tentang kepentingan konsumen, serta berbagai keputusan

yang terkait dengan kepentingan publik dan konsumen yang harus

dipertanggungjawabkan secara terbuka.15

Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia pada

tahap permulaan karena sikap pemerintah pada umumnya masih melindungi

kepentingan pengusaha yang merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu

Negara. Akibat dari perlindungan kepentingan pengusaha maka

15

(3)

ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindunggan kepada

konsumen atau masyarakat kurang berfungsi, karena tidak diterapkan secara tegas.

Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk

memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya

saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan

oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.16

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan:

“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) cukup memadai.

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindak sewenang-wenang

yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan

konsumen.

Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang

Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha

tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian

nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.

16

(4)

Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh

karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum,

ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku

untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam Hukum Privat (Perdata)

maupun bidang hukum publik.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan

konsumen itu sendiri.17

Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan dampak

ekonomi yang positif bagi dunia usaha. Yakni, dunia usaha dipacu untuk

meningkatkan kualitas/mutu produk barang dan jasa sehingga produknya

memiliki keunggulan kompetitif di dalam dan di luar negeri. Kekhawatiran

adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa menghancurkan

perkembangan industri, perdagangan, dan pengusaha kecil tidak masuk akal.

Pengusaha kecil yang sudah ada pada awal munculnya isu perlindungan

konsumen di Indonesia hampir seperempat abad yang lalu, sampai saat ini tidak

bangkit, bahkan tergilas sepak terjang konglomerat yang menggurita.18

Perlindungan Konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi

perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari

17 Janus Sidabalok, 2014 “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”, Citra Aditya, Bandung. hlm. 77

18

(5)

tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari

pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua

aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan

jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar

ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan

mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain

produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan

keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang

bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena

memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang

tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan

periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini

berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan

produknya. 19

Ada 2 aspek Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Tanggung Jawab Produk

Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang

tanggung jawab produsen-pelaku usaha atas kerugian sebagai akibat yang

ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut

dengan tanggung jawab produk.

(6)

Salah satu defenisi tanggung jawab produk dipaparkan berikut ini:

Agnes M. Toar mendefnisikan tanggung jawab produk sebagai berikut:

Tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para produsen untuk produk

yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan

kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

2. Standar Kontrak (Perjanjian Standar, Perjanjian Baku)

Aspek kedua dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang

pemakaian standar kontrak dalam hubungan antara produsen-pelaku usaha

dan konsumen. Dalam praktik sering ditemukan cara bahwa untuk mengikat

suatu perjanjian tertentu , salah satu pihak telah mempersiapkan sebuah

konsep (draft) perjanjian yang akan berlaku bagi para pihak. Konsep itu

disusun sedemikian rupa sehingga pada waktu penandatanganan perjanjian,

para pihak hanya tinggal mengisi beberapa hal yang sifatnya subjektif, seperti

identitas dan tanggal waktu pembuatan perjanjian yang sengaja dikosongkan

sebelumnya. Sedangkan ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian (term of

conditions) sudah tertulis ( tercetak) lengkap, yang pada dasarnya tidak dapat

diubah lagi. Konsep perjanjian seperti inilah yang disebut dengan standar

kontrak perjanjian (perjanjian standar, perjanjian baku). Istilah ini menunjuk

pada syarat-syarat perjanjian yang sudah dibakukan sebelumnya. 20

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya dengan tanggung

jawab produk, perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk memperoleh

kesatuan persepsi. Istilah yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau

20

(7)

pelaku usaha, konsumen, produk dan standardisasi produk, peranan pemerintah,

serta klausula baku. Berikut penjelasannya:

1. Produsen atau Pelaku Usaha

Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan

jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir,

dan pengecer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam

penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat

professional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut

pertanggungjawaban produsen.21

Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha

pembuat/ pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang

terkait dengan penyampaian/ peredaran produk hingga sampai ke tangan

konsumen.22 Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen,

produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan

produk makanan hasil industry (pangan olahan), maka produsennnya adalah

mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri ( pangan

olahan ) itu hingga sampai ke tangan konsumen, mereka itu adalah: pabrik

(pembuat), distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang

berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum.

2. Konsumen

21

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 13

22

(8)

Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang

diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang

mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau

diperjualbelikan lagi.23

Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen disebutkan:

‘’Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa

yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.”

Persoalan hubungan produsen-pelaku usaha dengan konsumen biasanya

dikaitkan dengan produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh teknologi.

Maka persoalan perlindungan konsumen erat kaitannya dengan persoalan

teknologi, khususnya teknologi maknufatur dan teknologi informasi.

Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi memungkinkan

semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk teknologi, yang berarti

juga memungkinkan semua masyarakat terlibat dalam masalah

perlindungan konsumen ini.

3. Produk dan Standardisasi Produk

Dilihat dari pengertian luas, produk ialah segala barang dan jasa yang

dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan

teknologi. Produk terdiri dari barang dan jasa.24

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen:

23

Ibid, hlm. 14 24

(9)

“ Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat

dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau

dimanfaatkan oleh konsumen.

Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya,

maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam

berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman dipakai.

Usaha inilah yang disebut dengan standardisasi.

Standarisasi merupakan penentuan ukuran yang harus diikuti dalam

memproduksikan sesuatu, sedang pembuatan banyaknya macam ukuran

barang yang akan diproduksikan merupakan usaha simplifikasi.

Standardisasi adalah proses pembentukan standar teknis , yang bisa menjadi

standar spesifikasi , standar cara uji , standar definisi , prosedur standar (atau

praktik), dll25

Menurut Gandi, standardisasi adalah;

“Proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan pengehematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman.”26

Selanjutnya ia mengatakan bahwa dengan standardisasi akan diperoleh

manfaat sebagai berikut:

25

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 78

26

(10)

a. Pemakaian bahan secara ekonomis, perbaikan mutu, penurunan ongkos

produksi, dan penyerahan yang cepat.

b. Penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang.

c. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan.

d. Keselamatan kehidupan dan harta

4. Peranan pemerintah

Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 30 menerangkan bahwa Pengawasan terhadap penyelenggaraan

perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan

perundang-undangan di selenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat.27

Berkaitan dengan pemakain teknologi yang makin maju dan supaya tujuan

standardisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka peranan

pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi

pelaksanaan peraturan yang berlaku.

Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain, menyatakan bahwa

pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan

karena itu menjadi tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan

dan pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat

dilaksanakan dengan baik.

27

(11)

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang

merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur; mengawasi; serta

mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen

tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya.

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang akan dilaksanakan,

maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:

a. Registrasi dan penilaian

b. Pengawasan produksi

c. Pengawasan distribusi

d. Pembinaan dan pengembangan usaha

e.

Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga. 28

5. Klausula Baku

Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan klausula baku

dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:

“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang

telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Pembuat undang-undang ini menyadari bahwa pemberlakuan

standar kontrak adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari sebab

sebagai mana dikatakan Syahdeini, perjanjian baku/standar kontrak adalah

suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat.

28

(12)

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan

kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar

orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,

jika ditengarai adanya tindakan adil terhadap dirinya, ia secara spontan

menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk

memperujuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam

saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.29

Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen

sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi

barang/jasa.

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar

dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang/jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang

digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

29

(13)

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika

barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Dan Kewajiban Konsumen, sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang

Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.30

B. Asas, Tujuan Serta Tanggung Jawab Konsumen Menurut

Undang-Undang

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

30

(14)

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.”31

Dari kelima asas tersebut , bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi

menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan

konsumen,

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3. Asas kepastian hukum. 32

Mengenai tujuan dari perlindungan konsumen, tertuang dalam pasal 3 UUPK:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

31

Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 25 32

(15)

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemananan, dan

keselematan konsumen.”

Ke enam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila

dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum

untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.

Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan

huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang

diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.

Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat

dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat

dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana

dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a

sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,

apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam

undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi

masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan

persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan

(16)

oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas

perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.33

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana

dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a

sampai dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,

apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam

undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi

masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang

akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana

dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum.34

Pasal 8 UUPK No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan pelaku usaha dilarang: a. memproduksi dan atau memperdagangkan

barang dan jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan, b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan dalam

jumlah hitungan yang dinyatakan dalam label barang, c. tidak sesuai dengan

ukuran takaran timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang

sebenarnya, d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label barang tersebut, e. tidak sesuai

dengan janji yang dinyatakan dengan label, etiket, keterangan, iklan atau promosi

penjualan barang tersebut.35

33

M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta hlm. 19

34

Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 26

35

(17)

C. Badan Perlindungan Konsumen dan Pengawasannya

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan [Pasal 45

ayat (1) jo, Pasal 23 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen]. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti

kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan

terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh

Konsumen ( Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen).36 Dengan cara ini dimaksudkan supaya persoalan

antara konsumen dan produsen dapat segera ditemukan jalan penyelesaian.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan persoalan diselesaikan melalui

pengadilan.

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini sama seperti

penyelesaian sengketa dengan jalan negosiasi, konsultasi, konsiliasi, mediasi,

ataupun arbitrase.

Penjelasan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen pada pokoknya menyatakan:

1. Penyelesaian sengketa konsumen (di luar pengadilan) tidak menutup

kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.

2. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh

kedua belah pihak yang bersengketa.

3. Penyelesaian secara damai oleh penyelesaian yang dilakukan oleh kedua

belah pihak yang bersengketa ( pelaku usaha dan konsumen ) tanpa melalui

36

(18)

peradilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak

bertentangan dengan undang-undang ini. 37

Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini

bertujuan untuk mencapai kesepakatan atau perdamaian. Jadi, baik negosiator,

konsultan, konsiliator, mediator, maupun arbiter berusaha mencapai kesepakatan

atau perdamaian dalam menyelesaikan sengketa konsumen.

Demikian halnya dengan majelis BPSK sedapat mungkin mengusahakan

tercapainya kesepakatan antara produsen-pelaku usaha dan konsumen yang

bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini memuat unsur perdamaian

yang harus di usahakan. Namun, harus diingat bahwa sengketa konsumen tidak

boleh diselesaikan dengan perdamaian saja sebab ketentuan hukum harus terus di

pegang. Dengan demikian, BPSK menyelesaikan sengketa konsumen dengan

memeriksa dan memutus sengketa tetap berdasarkan hukum.38

Artinya BPSK saat

menjalankan perannya dalam penyelesaian sengketa tetap berpegang pada

ketentuan dan tegaknya undang-undang (hukum) yang berlaku. 39

Untuk membantu penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,

undang-undang ini memperkenalkan sebuah lembaga yang bernama Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ). Penyelesaian sengketa konsumen

melalui BPSK termasuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan mirip

dengan badan arbitrase. Badan ini merupakan badan hasil bentukan pemerintah

37

Ibid 38

Di peradilan umum, dalam perkara perdata, ada ketentuan bahwa hakim berusaha mendamaikan para pihak yang beperkara

39

(19)

yang berkedudukan di ibukota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota (Pasal 49 ayat

1 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang

memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai

sebuah pengadilan. Karena itu, BPSK dapat disebut sebagai peradilan kuasi.

Terdapat dua fungsi BPSK, pertama sebagai instrument hukum

penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Tugas tugas BPSK pada pasal

52 butir e,f,g,h,i,j,k,l dan m UUPK terserap kedalam fungsi utama tersebut.

Penyelesaian sengketa konsumen, dilakukan dengan tiga cara yaitu:

1. konsiliasi

2. mediasi, dan;

3. arbitrase40

Cara konsiliasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak,

sedangkan majelis BPSK bersikap pasif. Majelis BPSK bertugas sebagai

pemerantara antara para pihak yang bersengketa.

Di dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan

masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang

aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan

penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu

kebersamaan suatu pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan

bergerak mendekat dan selanjutnya didapat suatu penyelesaian yang memuaskan

40

(20)

kedua belah pihak.41 Rekonsiliasi menyatakan secara tidak langsung kebersamaan

pihak-pihak yang bersengketa yang dahulunya berkawan atau berkongsi, kini

mereka berselisih atau bertengkar. Pandangan-pandangan yang berbeda coraknya

diantara para pihak harus dipertemukan dengan teliti.

Sama halnya dengan konsiliasi, cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah

satu pihak atau para pihak. Bedanya dengan yang pertama, pada mediasi, Majelis

BPSK bersikap aktif sebagai pemerantara atau penasihat.42

BPSK berkedudukan di Kabupaten/Kota dibentuk melalui keputusan

Presiden, dengan susunan:

1. Satu orang ketua merangkap anggota

2. satu orang wakil ketua merangkap anggota;dan

3. 9 sampai dengan 15 orang anggota.

Anggota BPSK terdiri atas unsur-unsur: pemerintah, konsumen, dan

pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh sekurang-kurangnya 3

orang dan sebanyak banyaknya 5 orang. Anggota BPSK ditetapkan oleh

Menteri Perindustrian dan Perdagangan.43

Etika penyelesaian sengketa konsumen mendesak untuk dirumuskan

oleh para anggota BPSK sebagai panduan/pegangan moral bagi setiap anggota

BPSK dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen yang

diajukan oleh konsumen. Etika penyelesaian sengketa konsumen diperlukan

(21)

1. Mewujudkan gagasan paternalisme UUPK

2. Menciptakan korps BPSK yang bersih dan disegani untuk menjaga

standar mutu putusan-putusan BPSK.44

Namun satu hal yang harus diperhatikan disini yaitu etika penyelesaian

sengketa konsumen bukan untuk melindungi pelanggaran-pelanggaran etik

atau bahkan pelanggaran-pelanggaran hukum anggota BPSK di dalam

menjalakan tugasnya.

Untuk memperlancar tugasnya, BPSK dibantu oleh sekretariat yang

dipimpin oleh seorang kepala sekretariat dan beberapa anggota sekretariat.

Kepala dan anggota sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri

Perindustrian dan Perdagangan.

Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, menurut pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus memenuhi syarat:

a. Warga Negara Republik Indonesia;

b. Berbadan sehat;

c. Berkelakuan baik;

d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;

e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;

f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. 45

Pembentukan BPSK telah dimulai sejak tahun 2001 dengan keluarnya

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 90 Tahun 2001. Berdasarkan keputusan

presiden tersebut telah dibentuk BPSK di 10 daerah , yaitu di kota Medan,

Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta,

Surabaya, Malang, dan Makassar. Secara berangsur-angsur, BPSK kemudian

44

Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 135

45

(22)

didirikan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, dan sampai tahun 2012

sudah banyak BPSK yang didirikan di kabupaten/kota.

Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara

melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan

dalam undang-undang ini;

e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi

ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain

guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetepkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

m. Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang ini. 46

Mencermati tugas dan wewenang BPSK sebagaimana disebutkan di atas,

dapat dikatakan bahwa BPSK ini lebih luas dari sebuah badan peradilan perdata.

Karena selain yang berkaitan dengan perkara, BPSK ini sudah sampai pula pada

tugas konsultasi yang merupakan tugas dan wewenang Badan Perlindungan

46

(23)

Konsumen Nasional (BPKN) dan pengawasan yang merupakan tugas dan

wewenang pemerintah, masyarakat, dan LSM. Sebaiknya, tugas dan wewenang

BPSK ini dapat mencapai tujuannya. Idealnya BPSK ini adalah sebuah lembaga

arbitrase yang tugas-tugasnya berada pada lingkup mencari

pemecahan/penyelesaian sengketa konsumen dengan jalan kesepakatan atau

perdamaian dalam kerangka hukum yang berlaku. Dengan tugas seperti ini maka

BPSK dapat dengan segera memberikan putusannya untuk mengakhiri sengketa

konsumen. Diharapkan dengan penyelesaian sengketa yang sederhana dan

singkat, tidak diperlukan lagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang

cenderung lama dan berlarut-larut.

Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia didasarkan pada 3 prinsip,

yaitu prinsip perlindungan kesehatan/harta konsumen, prinsip perlindungan atas

barang dan harga serta prinsip penyelesaian sengketa secara patut. Di samping itu

UUPK juga secara tegas memuat prinsip ganti kerugian subjek terbatas dan

prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.

Namun demikian, UUPK masih memiliki kekurangan-kekurangan karena

mengatur ketentuan yang secara prinsipil bersifat kontradiktif, yaitu di satu pihak

menutup kemungkinan bagi produsen untuk mengalihkan tanggung gugatnya

kepada konsumen, akan tetapi di pihak lain tetap memungkinkan untuk

diperjanjikan batas waktu pertanggung gugatan. Walaupun masih terdapat

kekurangan UUPK namun secara umum semakin membebani produsen untuk

bertanggung gugat terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen, sehingga

(24)

produsen dapat melakukan perjanjian asuransi dengan perusahaan asuransi

tertentu.47

D. Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, sebagai

benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pelaku

usaha hanya demi untuk perlindungan konsumen.48

Meskipun disebutkan undang-undang perlindungan konsumen, namun

bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak menjadi perhatian, teristimewa

karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku

usaha.49 Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum,

oleh karenan itu agar segala upaya memberikan jaminan kepastian hukum,

ukurannya secara kualitatif ditentukan oleh undang-undang perlindungan

konsumen dan undang-undang lainnya yang masih berlaku antara lain

Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Maskapai Penerbangan sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan

kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat

untuk dapat menunjang pembangunan perekonomian nasional secara

menyeluruh.50 Oleh karena itu kepada badan usaha maskapai penerbangan di

47

Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, 2011 hlm 215

48

Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1 49

Ibid hlm. 1 50

(25)

bebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu

menerapkan norma-norma hukum, kepatutan dan menjunjung tinggi kebiasaan

yang berlaku di kalangan dunia penerbangan. Para Maskapai Penerbangan

harus senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, dengan

demikian mereka telah menciptakan iklim usaha yang sehat demi menunjang

pembangunan nasional dan menciptakan nilai-nilai keadilan dan kepatutan

terhadap para konsumen pengguna maskapai udara.

Maskapai penerbangan dapat melakukan perbuatan yang tidak jujur berupa

segala tingkah laku yang tidak sesuai dengan itikad baik, kejujuran di dalam

usaha, antara lain menaikkan harga barang secara tidak semestinya atau

pemberian harga yang tidak wajar.51 Hal ini menyebabkan konsumen membeli

tiket dengan harga yang berbeda dari yang ditentukan oleh batas tertinggi harga

tiket. Menurut undang-undang perlindungan konsumen pelaku usaha yang

melakukan kesalahan dapat dikenakan sanksi administrasi yang dijatuhkan oleh

badan penyelesaian sengketa konsumen.52 Sanksi administrasi dapat berupa

penetapan ganti rugi sebanyak 200 juta rupiah. Tata cara penetapan sanksi

administrasi diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Selama

ini pemahaman terhadap sanksi adminstratif, tertuju pada sanksi yang berupa

pencabutan isi atau sejenisnya, ternyata berdasarkan pasal 60 ayat 2

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sanksi

(26)

Berdasarkan Pasal 84 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang

Penerbangan disebutkan bahwa angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat

dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin

usaha dari angkutan udara niaga.53 Pelayanan yang diberikan badan usaha

pengangkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat

dikelompokkan paling sedikit dalam pelayanan dengan standar maksimum (full

services), pelayanan dengan standar menengah (medium service) atau

pelayanan dengan standar minimum (no frills service).54 Pelayanan dengan

standar minimum ini adalah bentuk pelayanan minimum yang diberikan kepada

penumpang selama penerbangan. Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal

yang berbasi biaya operasi rendah harus mengajukan permohonan izin kepada

menteri perhubungan. Menteri akan menetapkan badan usaha angkutan udara

niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah setelah memenuhi

persyaratan yang ditetapkan. Terhadap badan usaha niaga berjadwal yang

berbasis biaya operasi rendah harus dilakukan evaluasi secara periodik.

Tarif Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang terdiri atas golongan

tarif pelayanan kelas ekonomi dan ekonomi. Tarif Penumpang Pelayanan Kelas

Ekonomi dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib

asuransi dan biaya tuslah/tambahan. Hasil Perhitungan tarif kelas ekonomi

merupakan batas atas tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan

niaga berjadwal dalam negeri. Tarif tersebut, ditetapkan oleh menteri

perhubungan dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan

53

H.K. Martono dan Agus Pramono, 2013 Hukum Udara Perdata, PT. Rajawali Pers, Jakarta hlm. 346

54

(27)

badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak sehat.

Menurut Pasal 127 ayat 3 Undang-undang No. 1 Tahun 2009, tarif penumpang

pelayanan kelas ekonomi niaga berjadwal dalam negeri, yang ditetapkan oleh

menteri perhubungan, harus dipublikasikan kepada konsumen. Badan Usaha

Angkutan Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri dilarang menjual harga tiket

kelas ekonomi dilarang menjual harga tiket kelas ekonomi melebihi tarif batas

atas yang ditetapkan oleh menteri.55 Badan Usaha Angkutan Udara yang

melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa sanksi

peringatan dan atau pencabutan izin rute penerbangan.

Tarif penumpang pelayanan non ekonomi angkutan udara niaga berjadwal

dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme

pasar. Sementara tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan angkutan

kargo tidak berjadwal (charter) dalam negeri ditentukan berdasarkan

kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan.56

Badan usaha pengangkutan udara niaga wajib mengangkut orang setelah

disepakatinya perjanjian pengangkutan. Selain itu badan usaha pengangkutan

tersebut wajib memberikan pelayanan yang layak kepada setiap pengguna jasa

pengangkutan udara sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Perjanjian

pengangkutan dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.

Pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh

penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan

oleh kegiatan pengangkutan udara selama bagasi tercatat dalam pengawasan

55

Ibid hlm. 360 56

(28)

pengangkut.57 Selain itu pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian

yang diderita karena keterlambatan pada pengangkutan penumpang, bagasi,

atau kargo kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa

keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Pengangkutan Udara bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang

sesuai dengan jadwal yang telah di tentukan dengan alasan kapasitas pesawat

udara. Tanggung jawab dimaksud dengan memberikan kompensasi kepada

penumpang berupa mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya

tambahan dan atau memberikan konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi

apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab

terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ke tiga yang diakibatkan oleh

pengoperasian pesawat udara atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat

udara yang dioperasikan.58 Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita

pihak ketiga diberikan sesuai kerugian nyata yang dialami. Ketentuan lebih

lanjut mengenai perhitungan besaran ganti kerugian, persyaratan dan tata cara

untuk memperoleh ganti kerugian diatur dalam peraturan menteri ( Pasal 184

UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan).

Apabila dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur mengenai hak dan

kewajiban tertentu, para pihak-pihak akan mengikuti ketentuan hak dan

kewajiban yang diatur dalam undang-undang. Akan tetapi jika dalam perjanjian

dan dalam undang-undang tidak diatur maka akan mengikuti kebiasaan yang

57

Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya, Bandung. hlm. 47

58

(29)

berlaku dalam praktik pengangkutan penerbangan yaitu kebiasaan yang

dianggap sebagai hukum perdata tidak tertulis. Kriteria yang dapat digunakan

agar kebiasaan itu dianggap sebagai hukum perdata tidak tertulis adalah

perbuatan yang memenuhi kriteria diterima oleh pihak-pihak karena adil dan

masuk akal (logis) dan menuju pada akibat hukum yang dikehendaki.59

59

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian mengenai hubungan terpaan pesan persuasif Nusatrip di media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan Pinterest) dan persepsi kualitas website

Analisis menunjukkan bahwa Kampung Bustaman memiliki kearifan lokal berwujud aktivitas ekonomi yang telah termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat serta

Menggunakan modifier yang sama mengambil sesuatu tanpa diduga pada kecepatan eksekusi program Anda karena hal tersebut menimbulkan beberapa ukuran tambahan sehingga itu tidak

Adapun faktor-faktor intensi yang mempengaruhi seseorang berperilaku tertentu yaitu sikap terhadap suatu perilaku, norma-norma subjektif dan kmtrol perilaku (dalam

merupakan Sistem operasi berbasis Debian yang dapat bebas dioptimalkan untuk perangkat keras Raspberry Pi , yang dirilis pada bulan Juli 2012.. Gambar 2.2 Diagram blok arsitektur

Administrasi merupakan salah satu tolak ukur berkembangnya suatu organisasi dengan pesat. Administrasi berkaitan erat dengan pengolahan data yang saat ini sesuai

Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Pintrich, 2003, Santrock, 2007, Brophy 2004). mahasiswa yang memiliki

c) Setelan proteksi saluran utama dari hubung pendek bila sirkit cabang itu disuplai oleh satu saluran utama yang juga menyuplai motor rotor lilit dengan arus pengenal beban penuh