BAB II
A. Pengertian Perlindungan, Hak dan Kewajiban KonsumenMasalah Perlindungan Konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada
dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973.13
Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas
kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti
pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan , dan publikasi media konsumen.
Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih
dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring
perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan
YLKI) dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana
memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.14
Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tanggal 20 April 1999 UUPK
disahkan. Dengan adanya UUPK, Jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen
di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan
konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu system hukum
perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.
13
Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 248
14
Dalam Penjelasan UUPK, disebutkan bahwa keberadaan UU Perlindungan
Konsumen adalah dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi
pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen. Dengan kata lain, UU Perlindungan Konsumen merupakan “payung”
yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang
perlindungan konsumen.
Seiring Perkembangan Waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh
dan berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat (LPKSM), sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak
konsumen, menjamur di mana-mana. Tentunya, perkembangan tersebut patut
disambut secara positif.
Munculnya gerakan konsumen adalah untuk membangkitkan kesadaran
kritis konsumen secara kontinuitas. Kesadaran kritis ini tidak hanya dimaksudkan
untuk mendapatkan hak-hak konsumen, tapi juga dalam proses pengambilan
keputusan yang terkait tentang kepentingan konsumen, serta berbagai keputusan
yang terkait dengan kepentingan publik dan konsumen yang harus
dipertanggungjawabkan secara terbuka.15
Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia pada
tahap permulaan karena sikap pemerintah pada umumnya masih melindungi
kepentingan pengusaha yang merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu
Negara. Akibat dari perlindungan kepentingan pengusaha maka
15
ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindunggan kepada
konsumen atau masyarakat kurang berfungsi, karena tidak diterapkan secara tegas.
Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya
saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan
oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.16
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan:
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) cukup memadai.
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindak sewenang-wenang
yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan
konsumen.
Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha
tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian
nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.
16
Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh
karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum,
ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku
untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam Hukum Privat (Perdata)
maupun bidang hukum publik.
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan
konsumen itu sendiri.17
Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan dampak
ekonomi yang positif bagi dunia usaha. Yakni, dunia usaha dipacu untuk
meningkatkan kualitas/mutu produk barang dan jasa sehingga produknya
memiliki keunggulan kompetitif di dalam dan di luar negeri. Kekhawatiran
adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa menghancurkan
perkembangan industri, perdagangan, dan pengusaha kecil tidak masuk akal.
Pengusaha kecil yang sudah ada pada awal munculnya isu perlindungan
konsumen di Indonesia hampir seperempat abad yang lalu, sampai saat ini tidak
bangkit, bahkan tergilas sepak terjang konglomerat yang menggurita.18
Perlindungan Konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari
17 Janus Sidabalok, 2014 “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”, Citra Aditya, Bandung. hlm. 77
18
tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua
aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan
jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar
ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan
mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain
produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan
keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang
bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena
memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang
tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan
periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini
berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan
produknya. 19
Ada 2 aspek Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Tanggung Jawab Produk
Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang
tanggung jawab produsen-pelaku usaha atas kerugian sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut
dengan tanggung jawab produk.
Salah satu defenisi tanggung jawab produk dipaparkan berikut ini:
Agnes M. Toar mendefnisikan tanggung jawab produk sebagai berikut:
Tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para produsen untuk produk
yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan
kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.
2. Standar Kontrak (Perjanjian Standar, Perjanjian Baku)
Aspek kedua dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang
pemakaian standar kontrak dalam hubungan antara produsen-pelaku usaha
dan konsumen. Dalam praktik sering ditemukan cara bahwa untuk mengikat
suatu perjanjian tertentu , salah satu pihak telah mempersiapkan sebuah
konsep (draft) perjanjian yang akan berlaku bagi para pihak. Konsep itu
disusun sedemikian rupa sehingga pada waktu penandatanganan perjanjian,
para pihak hanya tinggal mengisi beberapa hal yang sifatnya subjektif, seperti
identitas dan tanggal waktu pembuatan perjanjian yang sengaja dikosongkan
sebelumnya. Sedangkan ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian (term of
conditions) sudah tertulis ( tercetak) lengkap, yang pada dasarnya tidak dapat
diubah lagi. Konsep perjanjian seperti inilah yang disebut dengan standar
kontrak perjanjian (perjanjian standar, perjanjian baku). Istilah ini menunjuk
pada syarat-syarat perjanjian yang sudah dibakukan sebelumnya. 20
Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya dengan tanggung
jawab produk, perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk memperoleh
kesatuan persepsi. Istilah yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau
20
pelaku usaha, konsumen, produk dan standardisasi produk, peranan pemerintah,
serta klausula baku. Berikut penjelasannya:
1. Produsen atau Pelaku Usaha
Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan
jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir,
dan pengecer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam
penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat
professional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut
pertanggungjawaban produsen.21
Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha
pembuat/ pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang
terkait dengan penyampaian/ peredaran produk hingga sampai ke tangan
konsumen.22 Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen,
produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan
produk makanan hasil industry (pangan olahan), maka produsennnya adalah
mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri ( pangan
olahan ) itu hingga sampai ke tangan konsumen, mereka itu adalah: pabrik
(pembuat), distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum.
2. Konsumen
21
Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 13
22
Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang
diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau
diperjualbelikan lagi.23
Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen disebutkan:
‘’Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”
Persoalan hubungan produsen-pelaku usaha dengan konsumen biasanya
dikaitkan dengan produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh teknologi.
Maka persoalan perlindungan konsumen erat kaitannya dengan persoalan
teknologi, khususnya teknologi maknufatur dan teknologi informasi.
Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi memungkinkan
semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk teknologi, yang berarti
juga memungkinkan semua masyarakat terlibat dalam masalah
perlindungan konsumen ini.
3. Produk dan Standardisasi Produk
Dilihat dari pengertian luas, produk ialah segala barang dan jasa yang
dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan
teknologi. Produk terdiri dari barang dan jasa.24
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen:
23
Ibid, hlm. 14 24
“ Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh konsumen.
Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya,
maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam
berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman dipakai.
Usaha inilah yang disebut dengan standardisasi.
Standarisasi merupakan penentuan ukuran yang harus diikuti dalam
memproduksikan sesuatu, sedang pembuatan banyaknya macam ukuran
barang yang akan diproduksikan merupakan usaha simplifikasi.
Standardisasi adalah proses pembentukan standar teknis , yang bisa menjadi
standar spesifikasi , standar cara uji , standar definisi , prosedur standar (atau
praktik), dll25
Menurut Gandi, standardisasi adalah;
“Proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan pengehematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman.”26
Selanjutnya ia mengatakan bahwa dengan standardisasi akan diperoleh
manfaat sebagai berikut:
25
Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 78
26
a. Pemakaian bahan secara ekonomis, perbaikan mutu, penurunan ongkos
produksi, dan penyerahan yang cepat.
b. Penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang.
c. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan.
d. Keselamatan kehidupan dan harta
4. Peranan pemerintah
Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 30 menerangkan bahwa Pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan di selenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.27
Berkaitan dengan pemakain teknologi yang makin maju dan supaya tujuan
standardisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka peranan
pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi
pelaksanaan peraturan yang berlaku.
Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain, menyatakan bahwa
pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan
karena itu menjadi tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan
dan pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat
dilaksanakan dengan baik.
27
Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang
merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur; mengawasi; serta
mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen
tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang akan dilaksanakan,
maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:
a. Registrasi dan penilaian
b. Pengawasan produksi
c. Pengawasan distribusi
d. Pembinaan dan pengembangan usaha
e.
Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga. 28
5. Klausula Baku
Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan klausula baku
dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Pembuat undang-undang ini menyadari bahwa pemberlakuan
standar kontrak adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari sebab
sebagai mana dikatakan Syahdeini, perjanjian baku/standar kontrak adalah
suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat.
28
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,
jika ditengarai adanya tindakan adil terhadap dirinya, ia secara spontan
menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk
memperujuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam
saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.29
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen
sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang/jasa.
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang/jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang
digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
29
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dan Kewajiban Konsumen, sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.30
B. Asas, Tujuan Serta Tanggung Jawab Konsumen Menurut
Undang-Undang
“Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
30
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.”31
Dari kelima asas tersebut , bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) asas yaitu:
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan
konsumen,
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum. 32
Mengenai tujuan dari perlindungan konsumen, tertuang dalam pasal 3 UUPK:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
31
Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 25 32
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemananan, dan
keselematan konsumen.”
Ke enam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila
dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum
untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.
Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan
huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang
diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.
Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat
dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat
dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a
sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,
apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam
undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi
masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan
persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan
oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas
perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.33
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a
sampai dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,
apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam
undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi
masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang
akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana
dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum.34
Pasal 8 UUPK No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan pelaku usaha dilarang: a. memproduksi dan atau memperdagangkan
barang dan jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan, b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan dalam
jumlah hitungan yang dinyatakan dalam label barang, c. tidak sesuai dengan
ukuran takaran timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya, d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label barang tersebut, e. tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dengan label, etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang tersebut.35
33
M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta hlm. 19
34
Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 26
35
C. Badan Perlindungan Konsumen dan Pengawasannya
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan [Pasal 45
ayat (1) jo, Pasal 23 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen]. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan
terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh
Konsumen ( Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen).36 Dengan cara ini dimaksudkan supaya persoalan
antara konsumen dan produsen dapat segera ditemukan jalan penyelesaian.
Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan persoalan diselesaikan melalui
pengadilan.
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini sama seperti
penyelesaian sengketa dengan jalan negosiasi, konsultasi, konsiliasi, mediasi,
ataupun arbitrase.
Penjelasan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen pada pokoknya menyatakan:
1. Penyelesaian sengketa konsumen (di luar pengadilan) tidak menutup
kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.
2. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh
kedua belah pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian secara damai oleh penyelesaian yang dilakukan oleh kedua
belah pihak yang bersengketa ( pelaku usaha dan konsumen ) tanpa melalui
36
peradilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak
bertentangan dengan undang-undang ini. 37
Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini
bertujuan untuk mencapai kesepakatan atau perdamaian. Jadi, baik negosiator,
konsultan, konsiliator, mediator, maupun arbiter berusaha mencapai kesepakatan
atau perdamaian dalam menyelesaikan sengketa konsumen.
Demikian halnya dengan majelis BPSK sedapat mungkin mengusahakan
tercapainya kesepakatan antara produsen-pelaku usaha dan konsumen yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini memuat unsur perdamaian
yang harus di usahakan. Namun, harus diingat bahwa sengketa konsumen tidak
boleh diselesaikan dengan perdamaian saja sebab ketentuan hukum harus terus di
pegang. Dengan demikian, BPSK menyelesaikan sengketa konsumen dengan
memeriksa dan memutus sengketa tetap berdasarkan hukum.38
Artinya BPSK saat
menjalankan perannya dalam penyelesaian sengketa tetap berpegang pada
ketentuan dan tegaknya undang-undang (hukum) yang berlaku. 39
Untuk membantu penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
undang-undang ini memperkenalkan sebuah lembaga yang bernama Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ). Penyelesaian sengketa konsumen
melalui BPSK termasuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan mirip
dengan badan arbitrase. Badan ini merupakan badan hasil bentukan pemerintah
37
Ibid 38
Di peradilan umum, dalam perkara perdata, ada ketentuan bahwa hakim berusaha mendamaikan para pihak yang beperkara
39
yang berkedudukan di ibukota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota (Pasal 49 ayat
1 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang
memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai
sebuah pengadilan. Karena itu, BPSK dapat disebut sebagai peradilan kuasi.
Terdapat dua fungsi BPSK, pertama sebagai instrument hukum
penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Tugas tugas BPSK pada pasal
52 butir e,f,g,h,i,j,k,l dan m UUPK terserap kedalam fungsi utama tersebut.
Penyelesaian sengketa konsumen, dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. konsiliasi
2. mediasi, dan;
3. arbitrase40
Cara konsiliasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak,
sedangkan majelis BPSK bersikap pasif. Majelis BPSK bertugas sebagai
pemerantara antara para pihak yang bersengketa.
Di dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan
masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang
aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan
penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu
kebersamaan suatu pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan
bergerak mendekat dan selanjutnya didapat suatu penyelesaian yang memuaskan
40
kedua belah pihak.41 Rekonsiliasi menyatakan secara tidak langsung kebersamaan
pihak-pihak yang bersengketa yang dahulunya berkawan atau berkongsi, kini
mereka berselisih atau bertengkar. Pandangan-pandangan yang berbeda coraknya
diantara para pihak harus dipertemukan dengan teliti.
Sama halnya dengan konsiliasi, cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah
satu pihak atau para pihak. Bedanya dengan yang pertama, pada mediasi, Majelis
BPSK bersikap aktif sebagai pemerantara atau penasihat.42
BPSK berkedudukan di Kabupaten/Kota dibentuk melalui keputusan
Presiden, dengan susunan:
1. Satu orang ketua merangkap anggota
2. satu orang wakil ketua merangkap anggota;dan
3. 9 sampai dengan 15 orang anggota.
Anggota BPSK terdiri atas unsur-unsur: pemerintah, konsumen, dan
pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh sekurang-kurangnya 3
orang dan sebanyak banyaknya 5 orang. Anggota BPSK ditetapkan oleh
Menteri Perindustrian dan Perdagangan.43
Etika penyelesaian sengketa konsumen mendesak untuk dirumuskan
oleh para anggota BPSK sebagai panduan/pegangan moral bagi setiap anggota
BPSK dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen yang
diajukan oleh konsumen. Etika penyelesaian sengketa konsumen diperlukan
1. Mewujudkan gagasan paternalisme UUPK
2. Menciptakan korps BPSK yang bersih dan disegani untuk menjaga
standar mutu putusan-putusan BPSK.44
Namun satu hal yang harus diperhatikan disini yaitu etika penyelesaian
sengketa konsumen bukan untuk melindungi pelanggaran-pelanggaran etik
atau bahkan pelanggaran-pelanggaran hukum anggota BPSK di dalam
menjalakan tugasnya.
Untuk memperlancar tugasnya, BPSK dibantu oleh sekretariat yang
dipimpin oleh seorang kepala sekretariat dan beberapa anggota sekretariat.
Kepala dan anggota sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan.
Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, menurut pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus memenuhi syarat:
a. Warga Negara Republik Indonesia;
b. Berbadan sehat;
c. Berkelakuan baik;
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. 45
Pembentukan BPSK telah dimulai sejak tahun 2001 dengan keluarnya
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 90 Tahun 2001. Berdasarkan keputusan
presiden tersebut telah dibentuk BPSK di 10 daerah , yaitu di kota Medan,
Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Surabaya, Malang, dan Makassar. Secara berangsur-angsur, BPSK kemudian
44
Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 135
45
didirikan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, dan sampai tahun 2012
sudah banyak BPSK yang didirikan di kabupaten/kota.
Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi:
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetepkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini. 46
Mencermati tugas dan wewenang BPSK sebagaimana disebutkan di atas,
dapat dikatakan bahwa BPSK ini lebih luas dari sebuah badan peradilan perdata.
Karena selain yang berkaitan dengan perkara, BPSK ini sudah sampai pula pada
tugas konsultasi yang merupakan tugas dan wewenang Badan Perlindungan
46
Konsumen Nasional (BPKN) dan pengawasan yang merupakan tugas dan
wewenang pemerintah, masyarakat, dan LSM. Sebaiknya, tugas dan wewenang
BPSK ini dapat mencapai tujuannya. Idealnya BPSK ini adalah sebuah lembaga
arbitrase yang tugas-tugasnya berada pada lingkup mencari
pemecahan/penyelesaian sengketa konsumen dengan jalan kesepakatan atau
perdamaian dalam kerangka hukum yang berlaku. Dengan tugas seperti ini maka
BPSK dapat dengan segera memberikan putusannya untuk mengakhiri sengketa
konsumen. Diharapkan dengan penyelesaian sengketa yang sederhana dan
singkat, tidak diperlukan lagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang
cenderung lama dan berlarut-larut.
Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia didasarkan pada 3 prinsip,
yaitu prinsip perlindungan kesehatan/harta konsumen, prinsip perlindungan atas
barang dan harga serta prinsip penyelesaian sengketa secara patut. Di samping itu
UUPK juga secara tegas memuat prinsip ganti kerugian subjek terbatas dan
prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.
Namun demikian, UUPK masih memiliki kekurangan-kekurangan karena
mengatur ketentuan yang secara prinsipil bersifat kontradiktif, yaitu di satu pihak
menutup kemungkinan bagi produsen untuk mengalihkan tanggung gugatnya
kepada konsumen, akan tetapi di pihak lain tetap memungkinkan untuk
diperjanjikan batas waktu pertanggung gugatan. Walaupun masih terdapat
kekurangan UUPK namun secara umum semakin membebani produsen untuk
bertanggung gugat terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen, sehingga
produsen dapat melakukan perjanjian asuransi dengan perusahaan asuransi
tertentu.47
D. Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, sebagai
benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pelaku
usaha hanya demi untuk perlindungan konsumen.48
Meskipun disebutkan undang-undang perlindungan konsumen, namun
bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak menjadi perhatian, teristimewa
karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku
usaha.49 Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum,
oleh karenan itu agar segala upaya memberikan jaminan kepastian hukum,
ukurannya secara kualitatif ditentukan oleh undang-undang perlindungan
konsumen dan undang-undang lainnya yang masih berlaku antara lain
Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Maskapai Penerbangan sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan
kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat
untuk dapat menunjang pembangunan perekonomian nasional secara
menyeluruh.50 Oleh karena itu kepada badan usaha maskapai penerbangan di
47
Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, 2011 hlm 215
48
Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1 49
Ibid hlm. 1 50
bebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu
menerapkan norma-norma hukum, kepatutan dan menjunjung tinggi kebiasaan
yang berlaku di kalangan dunia penerbangan. Para Maskapai Penerbangan
harus senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, dengan
demikian mereka telah menciptakan iklim usaha yang sehat demi menunjang
pembangunan nasional dan menciptakan nilai-nilai keadilan dan kepatutan
terhadap para konsumen pengguna maskapai udara.
Maskapai penerbangan dapat melakukan perbuatan yang tidak jujur berupa
segala tingkah laku yang tidak sesuai dengan itikad baik, kejujuran di dalam
usaha, antara lain menaikkan harga barang secara tidak semestinya atau
pemberian harga yang tidak wajar.51 Hal ini menyebabkan konsumen membeli
tiket dengan harga yang berbeda dari yang ditentukan oleh batas tertinggi harga
tiket. Menurut undang-undang perlindungan konsumen pelaku usaha yang
melakukan kesalahan dapat dikenakan sanksi administrasi yang dijatuhkan oleh
badan penyelesaian sengketa konsumen.52 Sanksi administrasi dapat berupa
penetapan ganti rugi sebanyak 200 juta rupiah. Tata cara penetapan sanksi
administrasi diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Selama
ini pemahaman terhadap sanksi adminstratif, tertuju pada sanksi yang berupa
pencabutan isi atau sejenisnya, ternyata berdasarkan pasal 60 ayat 2
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sanksi
Berdasarkan Pasal 84 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan disebutkan bahwa angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin
usaha dari angkutan udara niaga.53 Pelayanan yang diberikan badan usaha
pengangkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat
dikelompokkan paling sedikit dalam pelayanan dengan standar maksimum (full
services), pelayanan dengan standar menengah (medium service) atau
pelayanan dengan standar minimum (no frills service).54 Pelayanan dengan
standar minimum ini adalah bentuk pelayanan minimum yang diberikan kepada
penumpang selama penerbangan. Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal
yang berbasi biaya operasi rendah harus mengajukan permohonan izin kepada
menteri perhubungan. Menteri akan menetapkan badan usaha angkutan udara
niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah setelah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan. Terhadap badan usaha niaga berjadwal yang
berbasis biaya operasi rendah harus dilakukan evaluasi secara periodik.
Tarif Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang terdiri atas golongan
tarif pelayanan kelas ekonomi dan ekonomi. Tarif Penumpang Pelayanan Kelas
Ekonomi dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib
asuransi dan biaya tuslah/tambahan. Hasil Perhitungan tarif kelas ekonomi
merupakan batas atas tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan
niaga berjadwal dalam negeri. Tarif tersebut, ditetapkan oleh menteri
perhubungan dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan
53
H.K. Martono dan Agus Pramono, 2013 Hukum Udara Perdata, PT. Rajawali Pers, Jakarta hlm. 346
54
badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak sehat.
Menurut Pasal 127 ayat 3 Undang-undang No. 1 Tahun 2009, tarif penumpang
pelayanan kelas ekonomi niaga berjadwal dalam negeri, yang ditetapkan oleh
menteri perhubungan, harus dipublikasikan kepada konsumen. Badan Usaha
Angkutan Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri dilarang menjual harga tiket
kelas ekonomi dilarang menjual harga tiket kelas ekonomi melebihi tarif batas
atas yang ditetapkan oleh menteri.55 Badan Usaha Angkutan Udara yang
melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa sanksi
peringatan dan atau pencabutan izin rute penerbangan.
Tarif penumpang pelayanan non ekonomi angkutan udara niaga berjadwal
dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme
pasar. Sementara tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan angkutan
kargo tidak berjadwal (charter) dalam negeri ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan.56
Badan usaha pengangkutan udara niaga wajib mengangkut orang setelah
disepakatinya perjanjian pengangkutan. Selain itu badan usaha pengangkutan
tersebut wajib memberikan pelayanan yang layak kepada setiap pengguna jasa
pengangkutan udara sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Perjanjian
pengangkutan dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.
Pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh
penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan
oleh kegiatan pengangkutan udara selama bagasi tercatat dalam pengawasan
55
Ibid hlm. 360 56
pengangkut.57 Selain itu pengangkutan udara bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita karena keterlambatan pada pengangkutan penumpang, bagasi,
atau kargo kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa
keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
Pengangkutan Udara bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang
sesuai dengan jadwal yang telah di tentukan dengan alasan kapasitas pesawat
udara. Tanggung jawab dimaksud dengan memberikan kompensasi kepada
penumpang berupa mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya
tambahan dan atau memberikan konsumsi, akomodasi dan biaya transportasi
apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab
terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ke tiga yang diakibatkan oleh
pengoperasian pesawat udara atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat
udara yang dioperasikan.58 Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita
pihak ketiga diberikan sesuai kerugian nyata yang dialami. Ketentuan lebih
lanjut mengenai perhitungan besaran ganti kerugian, persyaratan dan tata cara
untuk memperoleh ganti kerugian diatur dalam peraturan menteri ( Pasal 184
UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan).
Apabila dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur mengenai hak dan
kewajiban tertentu, para pihak-pihak akan mengikuti ketentuan hak dan
kewajiban yang diatur dalam undang-undang. Akan tetapi jika dalam perjanjian
dan dalam undang-undang tidak diatur maka akan mengikuti kebiasaan yang
57
Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya, Bandung. hlm. 47
58
berlaku dalam praktik pengangkutan penerbangan yaitu kebiasaan yang
dianggap sebagai hukum perdata tidak tertulis. Kriteria yang dapat digunakan
agar kebiasaan itu dianggap sebagai hukum perdata tidak tertulis adalah
perbuatan yang memenuhi kriteria diterima oleh pihak-pihak karena adil dan
masuk akal (logis) dan menuju pada akibat hukum yang dikehendaki.59
59