BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum yang kemudian disebut sebagai pemilu dan pemilihan
kepala daerah atau pilkada yang merupakan sarana kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 19451
Mengambil, membuat dan menerima keputusan ataupun melaksanakan
keputusan dari peraturan pemerintahan daerah merupakan bagian dari perilaku
politik yang baik. Tingkah laku maupun kebiasan sehari-hari masyarakat di dalam . Sama halnya dengan pemilu,
Pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan dengan tujuan menentukan
pemimpin atau kepala dari pemerintahan di suatu daerah yang ditentukan oleh
rakyat, karena rakyatlah yang memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk menentukan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemilihan kepala daerah terjadi karena
adanya pemberian kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah oleh pusat
agar daerah tersebut dapat lebih signifikan di dalam mengatur rumah tangga
daerahnya, atau yang disebut sebagai suatu pola pemerintahan yang sentralistik
menjadi desentralistik. Adanya desentralisasi tersebut, maka daerah dapat
mengatur rumah tangganya sendiri serta mengambil dan membuat keputusan di
pemerintahan daerah maupun membuat Peraturan Pemerintahan Daerah.
1
bermasyarakat seperti turut serta di dalam proses bernegara, turut serta di dalam
organisasi maupun perkumpulan di masyarakat yang terjadi secara alami,
berperan serta dalam pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah
(pilkada), melaksanakan kewajiban sebagai warga negara yang baik dan
sebagainya, merupakan sebagai bentuk perilaku politik dari masyarakat. Selain
masyarakat yang memiliki sikap dalam berperilaku politik di masyarakat, para
kaum birokrat yang disebut sebagai orang atau pelaksana dari birokrasi termasuk
di dalamnya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun guru yang berstatus
Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga memiliki sikap perilaku politik seperti membuat
proses keputusan, menerima keputusan dan melaksanakan keputusan politik juga
termasuk ke dalam perilaku politik2
Perilaku politik yang diartikan sebagai suatu kegiatan yang berkenaan
dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Perilaku politik juga
merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum karena disamping perilaku
politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya,
perilaku keagamaan dan sebagainya. Dalam kehidupan politik masyarakat
sehari-hari, adanya interaksi antar individu baik individu dengan kelompok, maupun
kelompok dengan kelompok tersebut dengan hubungan secara vertikal dan
horizontal. Dikeluarkannya perintah oleh satu pihak atau instansi dan perintah itu
ditaati oleh pihak lain, merupakan suatu kondisi dimana terdapatnya keberatan
dan penolakan perintah atau keputusan tersebut. Kondisi tersebut menggambarkan .
2
berbagai perilaku yang berhubungan satu sama lain, baik itu dilakukan oleh satu
lembaga tertentu maupun individu dalam beperilaku politik.
Turut berpartisipasi dalam Pilkada memperlihatkan bentuk perilaku politik
masyarakat secara langsung. Akan tetapi peran serta dalam Pilkada disini adalah
dengan memberikan suara pada saat pemilihan, baik masyarakat yang bekerja di
sebuah lembaga pemerintahan (PNS) maupun yang non-pemerintahan. Sebuah
lembaga yang non-pemerintahan yaitu para kelompok pengusaha atau wiraswasta
yang telepas dari ikatan peraturan pemerintah. Kelompok tersebut dapat
melibatkan diri di dalam politik sebagai tim sukses atau menjadi pendukung
calon/kandidat kepala daerah seperti pemilihan bupati. Namun, bagi masyarakat
yang bekerja sebuah lembaga pemerintahan (PNS) yang memiliki keterikatan
dengan Undang-Undang dan peraturan pemerintah, dilarang dan tidak
diperbolehkan terlibat di dalam kampanye Pilkada atau berpolitik praktis, sebab
mereka dituntut untuk mengabdi kepada negara bukan kepada satu pihak atau
pada suatu lembaga.
Perilaku politik Pegawai Negeri Sipil maupun guru PNS dituntut harus
bersikap netral di dalam pemerintahan, seperti tidak turut serta di dalam politik
maupun partai politik. Sikap netral yang dituntut dari PNS tersebut dapat dilihat
dari pengertian pegawai negeri menurut Pasal 1 (a) Undang-Undang No. 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian3
3
C. S. T Kansil, Christine S. T Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hal 160
. Oleh sebab itu PNS yang telah
dalam pemerintahan daerah. Di dalam PP No. 53 Tahun 2010 mengatur tentang
disiplin pegawai dalam Bagian Kedua Larangan Pasal 4 ayat (14) yaitu, dilarang
memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau
calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat
dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda
Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan dan dalam Pasal 4 ayat (15)4
Peran serta PNS pada satu pihak, kepada suatu lembaga maupun pada masa
kampanye dan masa menjelang Pilkada sudah melanggar peraturan MENPAN No.
SE/08.A/M.PAN/5/2005 tentang netralitas PNS di dalam Pilkada yang berisikan
bagi PNS dan Pegawai Honorer yang bukan Calon Kepala Daerah atau Wakil
Kepala Daerah, dilarang terlibat dalam kegiatan kampanye, untuk mendukung
salah satu Partai Politik, Calon Presiden dan Wakil Presiden, serta Calon Kepala
Daerah atau Wakil Kepala Daerah, dilarang menggunakan fasilitas yang terkait
dengan jabatan dalam kampanye, serta dilarang membuat keputusan atau tindakan
yang menguntungkan dan merugikan salah satu Partai Politik atau pasangan calon
selama kampanye
.
5
4
Lihat PP No. 53 Tahun 2010, Bagian Kedua Larangan Pasal 4 ayat (14) dan ayat (15)
. Seperti halnya pada Pasal 28 huruf a UU No.32/2004, yaitu
kepala dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus
memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau
kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Terutama merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat,
atau mendiskriminasikan warga negara dan golongan lain6
Kabupaten Dairi telah melaksanakan dua kali pemilihan kepala daerah yaitu
pada tahun 2009, yang dimenangkan oleh Kra. Johnny Sitohang Adinegoro dan
Irwansyah Pasi, SH dan pada tahun 2013 pasangan tersebut kembali mencalonkan
diri pada Pilkada 2013 untuk menjadi bakal calon bupati/wakil bupati pada
periode 2013-2018. Pilkada Dairi pada periode berikutnya yang berlangsung di
Kabupaten Dairi pada 10 Oktober 2013 tersebut, kembali dimenangkan oleh
pasangan petahana dengan nomor urut satu yaitu Kra. Johnny Sitohang Adinegoro
dan Irwansyah Pasi, SH. Hal ini memperlihatkan perilaku politik masyarakat Dairi
pada Pilkada sangat tinggi. Namun, berdasarkan sumber berita dan praktik
dilapangannya pilkada di Kabupaten Dairi yang diikuti oleh empat pasangan calon
ini, dinilai sebagai sebuah Pilkada yang tidak sehat. Di dalam setiap rangkaian
menjelang Pilkada ini banyak ditemukannya berbagai permasalahan yang
dilakukan oleh para calon maupun para tim sukses. Berbagai permasalahan yaitu
permasalahan, seperti penyusunan DPT yang bermasalah, yakni
penggelembungan suara dan ada ditemui keterlibatan Pegawai Negeri Sipil di
dalam tahapan pilkada Dairi
. Adapun tujuan
dibuatnya Pasal 28 huruf a UU No.32/2004 tersebut adalah untuk mencegah
terjadinya pemutasian pada masa-masa Pilkada.
7
dan yang paling menonjol adalah turut melibatkan
7
beberapa oknum PNS8 dan pemutasian terhadap PNS, hal inipun diakui juga oleh beberapa masyarakat di Dairi. Adapun pendapat dari masyarakat yang
menyatakan adanya peran serta PNS tersebut adalah sekda Dairi JG9
Perilaku politik Pegawai Negeri Sipil maupun guru PNS dituntut harus
bersikap netral di dalam pemerintahan, seperti tidak turut serta di dalam politik
maupun partai politik. Sikap netral yang dituntut dari PNS tersebut dapat dilihat
dari pengertian pegawai negeri menurut Pasal 1 (a) Undang-Undang No. 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
, Dra. ALS,
RLS, Drs. JSG, dan EP yang mempunyai jabatan pada institusi pemerintahan.
10
. Oleh sebab itu PNS yang telah
diangkat oleh negara dituntut untuk mengabdi kepada negara dan bersikap netral
dalam pemerintahan daerah. Di dalam PP No. 53 Tahun 2010 mengatur tentang
disiplin pegawai dalam Bagian Kedua Larangan Pasal 4 ayat (14) yaitu, dilarang
memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau
calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat
dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda
Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan11
Sebagai warga negara yang baik PNS memang memiliki hak untuk
memberikan suara pada saat pemilihan, akan tetapi tidak berarti dapat turut
terlibat di dalam memberikan dukungan terhadap kepada pasangan calon .
8
Dairi Pers, Nomor 391 Tahun VII Tanggal 03-09 November 2013. Video PNS Terlibat Pilkada Diadukan Ke Mendagri dan Menpan.
9 Ibid
10
C. S. T Kansil, Christine S. T Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hal 160
11
bupati/wakil bupati yang mereka dukung. Selain displin tentang pegawai negeri
dalam memberikan dukungan, larangan terhadap PNS juga dapat dilihat dalam
pasal 2 PP No. 37 Tahun 2004, yang melarang PNS menjadi anggota partai politik
ataupun menjadi pengurus partai politik dan dituntut untuk netral. Apabila PNS
yang tidak menaati ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada PP No. 53 Tahun
2010 Pasal 4 ayat (14), maka akan dijatuhi hukuman dispilin PNS12
Pemutasian yang marak pada setiap momen Pilkada terutama pada Pilkada
Dairi yang banyak memutasi guru PNS, telah banyak meresahkan warga
masyarakat Dairi terutama kalangan guru PNS dan hal ini secara hukum tidak
dijalankan secara serius. Sehingga pemutasian terutama pada guru sebagai pejabat
fungional saat enam bulan menjelang Pilkada mengandung sifat politisasi.
Pengungkapan mengenai pemutasian hingga kepada sistem peradilan maupun
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak pernah terjadi. Oleh sebab itu kasus-kasus
tersebut hanya dapat dirasakan tetapi sulit untuk dibuktikan. Guru yang
seharusnya melakukan fungsinya seperti dalam UU RI Nomor 14 Tahun 2005, .Akan tetapi,
implementasi Undang-Undang PP No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai
negeri dan aturan pada Pasal 28 Huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, di dalam praktiknya tidak dijalankan secara serius.
Sehingga disetiap momen Pilkada terutama di Dairi selalu diwarnai oleh adanya
dugaan turut serta PNS di dalam Pilkada dan pemutasian bagi PNS yang tidak
mendukung pasangan petahana.
12
menjadi waspada karena adanya ancaman mutasi. Kedudukan guru di dalam
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005, Bab 1 tentang ketentuan umum, pasal
1 ayat (1) tertulis bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar dan pendidikan menengah13 dan di dalam Bab II mengenai kedudukan,
fungsi, dan tujuan, pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)14
Guru sebagai tenaga pendidik diwajibkan untuk memberikan pengajaran
bagi anak bangsa dan sebagai tenaga pendidik yang bertujuan untuk memajukan
pendidikan tanpa memandang suku, agama dan ras. Guru yang memiliki status
sebagai Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu bagian dari birokrasi
pemerintah dibidang pendidikan yang memiliki status netral didalam
pemerintahan, dilarang untuk ikut berpolitik, ikut serta di dalam partai politik dan
sebagai tim sukses di dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah
atau tidak diperbolehkan untuk memihak kepada satu pihak, sebab tugas mereka
adalah mengabdi kepada negara. Walaupun di dalam praktiknya masih ada
terdapat beberapa dari antara guru PNS tersebut yang mendukung secara
terselubung di dalam Pilkada, hal demikian juga dinyatakan oleh masyarakat di
Dairi.
. Kini, di dalam Pilkada Dairi
guru turut menjadi korban politik praktis dan pelaksanaan kedudukan guru
tersebut tidak berjalan dengan baik.
13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, 2008, Guru dan Dosen, Indonesia Legal center Publising, hal 2
14ibid
Keterlibatan guru PNS dalam Pilkada Kabupaten Dairi 2013, bisa dilihat
dalam contoh kasus guru PNS Ermalina Purba yang telah dimutasi yang oleh
karena suami dari Ermalina Purba tersebut berprofesi sebagai wiraswasta dan
merupakan tim sukses dari salah satu calon/kandidat Bupati Dairi yang
didukungnya yaitu Luhut Matondang dan Maradu Gading Lingga15
Hal tersebut dapat dimasukkan ke dalam politik kekerabatan, yaitu lebih
mengutamakan kepentingan keluarga dekat atau lebih mementingkan hubungan
kerabat untuk mencapai kepentingan kelompok, karena suami dari Ermalina Purba
tersebut turut mendukung calon/kandidat bupati Dairi maka dapat disimpulkan
bahwa Ermalina Purba juga turut menudukung calon/kandidat bupati tersebut.
Hubungan kekerabatan di dalam politik dinilai sangat merusak citra demokrasi
dan menimbulkan berbagai permasalahan baik di dalam hubungan keluarga dan di . Adapun
alasan mereka mendukung calon/kandidat bupati tersebut, karena mereka menilai
calon/kandidat Bupati Dairi tersebut memiliki visi misi yang benar-benar
membangun dan membawa perubahan untuk Kabupaten Dairi. Mengingat bahwa
posisi ataupun kedudukan dari Ermalina Purba tersebut adalah seorang guru PNS,
maka hal itu sangat berpengaruh dan berdampak luas kepada status PNS yang
disandangnya. Hal ini dilihat dari adanya baliho yang terpampang di pekarangan
rumah Ermalina Purba, menguatkan bahwa ia turut serta mendukung ataupun
menjadi TS pada pasangan calon/kandidat Pasangan Nomor Urut 4 (empat) Luhut
Matondang-Maradu Gading Lingga.
dalam hubungan dengan lingkungan politik. Oleh sebab itu Ermalina Purba
dimutasi dengan dugaan bahwa telah mendukung calon/kandidat Bupati Dairi.
Akan tetapi, menurut Ermalina Purba itu sendiri pemutasian yang dialami olehnya
tersebut dirasakan bahwa sebagai pemutasian yang tidak biasa atau ada unsur
politisasi. Ermalina Purba selaku guru PNS menengarai, bahwa mutasi dilakukan
karena suaminya menjadi tim sukses dari pasangan calon/kandidat bupati yang
mereka dukung. Pemutasian tersebut dinyatakan dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan
diterima melalui kepala sekolah di tempat guru PNS tersebut mengajar
sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas, penulis tertarik untuk
melihat perilaku politik Ermalina Purba sebagai guru PNS di Kelurahan Batang
Beruh, Kecamatan Sidikalang, sehingga hal inilah yang menjadi masalah yang
diteliti apakah memang benar ada keterlibatan Ermalina Purba sebagai guru PNS
dalam Pilkada dan peneliti mengangkat judul skripsi ini tentang “Perilaku Politik
Guru, Studi Kasus: Perilaku Politik Ermalina Purba sebagai guru PNS di
Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang dalam Pemilihan Bupati Dairi
Tahun 2013”.
1.2 Perumusan Masalah
Pilkada secara langsung telah dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten
berbagai permasalahan. Adanya pemutasian yang terjadi pada masa menjelang
pilkada turut mewarnai pilkada di Kabupaten Dairi. Kerabat ataupun suami dari
Ermalina Purba yang merupakan tim sukses ataupun pendukung pasangan
calon/kandidat yang didukung mereka, menyebabkan ada anggapan guru PNS
tersebut dimutasi dalam bentuk pemindahan SMA 1 Sidikalang ke SMAN Silalahi
yang berjarak 75 km ke arah pinggiran Danau Toba. Adapun bukti pemutasian
tersebut adalah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) dengan nomor pada
bulan Agustus 2013 kepada Ermalina Purba oleh Badan Kepegawaian Daerah
(BKD) saat menjelang Pilkada. Oleh sebab itu dengan berpijak pada rumusan
masalah, maka pertanyaan peneliti yang hendak dijawab dan dianalisis dalam penelitian ini adalah apakah Ermalina Purba diberikan SK mutasi dengan nomor 820/326/VIII/2013 oleh BKD, terkait dengan dukungan kepada salah satu pasangan calon bupati dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Dairi tahun 2013?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, adalah:
1. Melihat bagaimana perilaku politik Ermalina Purba sebagai guru PNS
di Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang di dalam
pemilihan Bupati Dairi 2013.
2. Mengetahui hal-hal yang menyebabkan Ermalina Purba sebagai guru
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bermanfaat kepada
semua pihak yang secara umum, yaitu:
1. Secara teoritis maupun metodologis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap pemahaman tentang kedudukan
ataupun peranan dari PNS dan menambah pengetahuan yang baru
dalam bidang politik khususnya dalam kajian perilaku politik.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi kepada para guru PNS dalam bersikap maupun berperilaku
di dalam Pilkada.
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi manfaat
bagi kalangan mahasiswa Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Teori Perilaku Politik
Kehidupan sehari-hari masyarakat maupun setiap individu akan selalu
berhubungan dengan persoalan politik, seperti menaati peraturan
pemerintah. Perilaku politik berkaitan erat dengan perilaku pemilih.
Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan alasan seseorang untuk
menggunakan ataupun tidak menggunakan hak pilihnya, pada pemilihan
akan dilihat adalah alasan yang mendasari seseorang itu untuk memilih
partai ataupun calon yang dipilihnya16. Perilaku politik diartikan sebagai
kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan politik. Pelaku dari kegiatan tersebut adalah pemerintah dan
masyarakat, kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan fungsi-fungsi
pemerintah dan fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat17
Perilaku politik berhubungan dengan suatu tujuan masyarakat,
kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang .
Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antarlembaga pemerintah
dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses
pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya
merupakan perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu aspek
dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada
perilaku yang lain yaitu, seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku
keagamaan dan sebagainya. Perilaku politik merupakan perilaku yang
menyangkut persoalan politik. Perilaku sehari-hari warga masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya merupakan perilaku ekonomi. Perilaku
warga masyarakat mengirimkan anak-anaknya ke sekolah merupakan
perilaku budaya dan kegiatan menjalankan ibadah yang dilakukan oleh para
pemeluk agama merupakan perilaku keagamaan.
16
Rolas Nainggolan, Skripi: Perilaku Pemilih Etnis Batak Toba pada Pemilihan Umum Gubenur/Wakil Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2008, Studi Kasus: Kelurahan Toba, Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar, Medan: 2009, hal 14
17
memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat
ke arah pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Perilaku politik juga
merupakan tindakan yang dilakukan oleh suatu subjek. Subjek dapat berupa
pemerintah dan dapat juga masyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah berupa pembuatan keputusan-keputusan politik dan upaya
pelaksanaan keputusan politik tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat berupaya untuk dapat mempengaruhi pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik oleh pemerintah sesuai dengan
kepentingannya.
Seorang individu/kelompok masyarakat diwajibkan oleh negara untuk
melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik,
diantaranya adalah18
1. Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin,
:
2. Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu
partai politik, mengikuti organisasi masyarakat/LSM,
3. Ikut serta dalam pesta politik,
4. Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas,
5. Berhak untuk menjadi pemimpin politik,
6. Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan
politik yang bertujuan untuk melakukan perilaku politik yang telah
disusun secara baik oleh UUD dan perundangan hukum yang berlaku.
18
Perilaku politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, seperti ada
pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah. Tanggapan yang
diberikan oleh pihak yang diperintah seperti terhadap kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah ada yang setuju dan ada yang kurang setuju
dan hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat
menolak dan menerima suatu kebijakan. Keluarga sebagai suatu kelompok
melakukan berbagai kegiatan, termasuk di dalamnya adalah kegiatan politik.
Para anggota suatu keluarga secara bersama memberikan dukungan pada
organisasi politik tertentu, memberikan iuran, ikut berkampanye
menghadapi pemilu, keluarga yang bersangkutan telah berperan dalam
kegiatan politik dan disamping kegiatan lain.
Perilaku politik tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, akan
tetapi memiliki hubungan atau keterikatan dengan hal-hal lain. Perilaku
politik yang ditunjukkan oleh individu merupakan hasil pengaruh beberapa
faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal yang menyangkut
lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Perilaku politik
berhubungan erat dengan sikap politik, walaupun keduanya memiliki kaitan
yang erat, perilaku politik dan sikap politik memiliki perbedaan. Sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. Sikap belum tentu
merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
tentang tindakan yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang
dimaksud. Sikap memiliki tiga komponen yaitu kognisi, afeksi dan konasi:
1. Kognisi berkenaan dengan ide dan konsep,
2. Afeksi menyangkut kehidupan emosional dan
3. Konasi merupakan kecenderungan bertingkah laku.
Sehingga sikap politik dapat dinyatakan sebagai kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek tertentu, dengan menerima ataupun ketidaksetujuan
terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah seperti ketidaksetujuan dan
keberatan akan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) mengenai pemutasian
(pemindahan)19. Sehingga di dalam kehidupan politik kita bisa melihat
adanya berbagai macam gejala akan terhadap suatu kebijakan yang
dikeluarkan oleh pihak berwenang sering muncul berbagai macam reaksi,
misalnya ada yang menerima kebijakan tersebut, ada yang menolak, ada
yang melakukan protes secara halus, ada yang melakukan unjuk rasa dan
ada yang memilih untuk berdiam diri tanpa memberikan reaksi apa-apa.
Ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan pajak
pendapatan, juga merupakan suatu sikap politik20
Perilaku politik aktor politik seperti perencanaan, pengambilan
keputusan dan penegakan keputusan dipengaruhi oleh berbagai dimensi latar
belakang yang merupakan bahan dalam pertimbangan politiknya. Warga .
19
Mar’at. Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 1992. Hal 131 dalam kutipan Sastroatmodjo, Sudijono. Perilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995, hal 4
20Ibid
negara biasa dalam berperilaku politik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor
dan latar belakang. Ada empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik
aktor politik, yaitu:21
1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem
ekonomi, sistem budaya dan media massa.
2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan
membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah
dan kelompok pergaulan. Lingkungan sosial politik langsung
memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan internalisasi nilai dan
norma masyarakat pada aktor politik, serta memberikan
pengalaman-pengalaman hidup.
3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Ada tiga
basis atau dasar fungsional sikap dalam memahami struktur
kepribadian tersebut. Pertama, didasarkan pada minat dan kebutuhan
seseorang terhadap objek itu. Kedua, atas dasar penyesuaian diri, yaitu
penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi keinginan untuk
menjaga keharmonisan dengan objek itu. Ketiga, ialah sikap yang
didasarkan pada fungsi eksternalisasi diri dan pertahanan diri. Pada
basis ini penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh
keinginan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang
mungkin berwujud mekanisme pertahanan diri dan eksternalisasi diri.
21
4. Faktor sosial politik langsung yang berupa situasi, yaitu keadaan yang
mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan suatu
kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, kehadiran seseorang,
keadaan ruang, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuk.
Keempat faktor diatas saling mempengaruhi aktor politik dalam
kegiatan dan perilaku politiknya, baik langsung maupun tidak langsung.
Oleh sebab itu, perilaku politik seseorang tidak hanya didasarkan pada
pertimbangan politik saja, tetapi juga disebabkan banyak faktor yang
mempengaruhinya.
1.5.2 Teori Pilkada
Wujud dari perjalanan demokrasi ditandai dengan adanya proses
pemilu dan pilkada. Pasca reformasi pada tahun 1998, yang dimana otonomi
daerah merupakan asal mula lahirnya Pilkada secara langsung. Otonomi
daerah berasal dari bahasa latin yaitu, kata autos dan namos. Autos berarti
sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat
dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan
untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan
daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah. Oleh sebab itu defenisi dari otonomi daerah itu adalah sebagai
kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom oleh pusat untuk
masyarakat setempat menur
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan22
Pada pasca reformasi tersebut, demokrasi di Indonesia mengalami
perkembangan yang sangat baik dan pesat. Peningkatan partisipasi publik
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disalurkan melalui pengaturan
mekanisme yang semakin mencerminkan prinsip keterbukaan dan
persamaan bagi segenap warga negara .
23
. Mekanisme pilkada adalah
bertujuan untuk melahirkan para pemimpin yang benar-benar menjadi
impian rakyat kebanyakan, yaitu pemimpin yang kuat, jujur, bersih dan
dapat memberikan pelayanan secara prima (phylosopher-king) dalam rangka
menuju cita-citanya, hidup dibawah payung keadilan dan kemakmuran24
Keberhasilan pilkada di daerah menjadi titik tolak terhadap
peningkatan kualitas demokrasi itu dan menjadi modal dasar yang berharga ,
bagi proses-proses pembangunan di segala bidang
.
25
. Pilkada dapat menjadi
jaminan penguatan demokrasi yaitu dengan menguatkan kelembagaan
(birokrasi, partai politik dan DPRD) secara serius. Demokrasi hanya akan
2014 pukul 15.00
23
Janedjri M. Gaffar. Politik Hukum Pemilu. Jakarta: Konstitusi Press. 2012, hal 92
24
Republika, 18 Mei 2005, dalam kutipan Hery, Susanto, dkk. Menggugat Demokrasi, Jakarta Selatan: Republika, 2005, hal 64
25
menjadi berkualitas bila publik dilibatkan dalam proses perumusan
kebijakan.
Pilkada langsung sebagai proses pembelajaran demokrasi di tingkat
lokal harus seiring dengan bergulirnya kebijakan otonomi daerah. Sehingga
pilkada langsung dan otonomi daerah harus maksimal, karena pilkada
langsung adalah pintu masuk terciptanya demokrasi dengan adanya
pemberdayaan semua potensi masyarakat26
Pilkada merupakan sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan
bahwa pemilih adalah masyarakat yang ada di daerah. Ketentuan tentang . Salah satu wujud dari
demokrasi tersebut adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah,
baik gubernur dan wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan
pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah.
Dengan itu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan
pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi
(otonom), seperti memilih Presiden dan Wakil Presiden dan
Wakil-Wakilnya di lembaga legislative (Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD)) dalam Pemilu 2004. Hal tersebut merupakan salah satu wujud dan
mekanisme demokrasi di daerah adalah dengan pelaksanaan pemilihan
kepala daerah (Pilkada) secara langsung.
Pilkada diatur di dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Ketentuan
tersebut ditetapkan dalam Perubahan Kedua UUD 1945. Rumusan Pilkada
secara demokratis dicapai dengan maksud agar bersifat fleksibel atau lebih
teratur. Pilkada memiliki tiga fungsi penting di dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, yaitu:
1. Memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat
di daerah sehingga ia diharapkan dapat memahami dan mewujudkan
kehendak masyarakat di daerah.
2. Melalui Pilkada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan
pada misi, visi, program serta kualitas dan integritas calon kepala
daerah yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
3. Pilkada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana
evaluasi dan kontrol secara politik terhadap seorang kepala daerah dan
kekuatan politik yang menopang.
Melalui Pilkada, masyarakat di daerah dapat memutuskan apakah
akan menghentikan atau memperpanjang mandat seorang kepala daerah
apabila kepala daerah tersebut kembali mencalonkan pada Pilkada
berikutnya, maka visi, misi dan program yang dimiliki dapat dilanjutkan
apabila masyarakat daerah masih dapat percaya atau tidak. Oleh karena itu,
benar-benar dapat memenuhi peran dan fungsi tersebut. Namun, apabila hal
tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan menciptakan berbagai
pelanggaran-pelanggaran dan konflik yang bahkan dapat menganggu
jalannya Pilkada. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses
penyelenggaraan Pilkada tentu mempengaruhi kualitas demokrasi dan pada
akhirnya berpengaruh terhadap kualitas calon terpilih dan penyelenggaraan
pemerintahan daerah27
1. Pada tahap pendaftaran pemilih yang dimana sering data pemilih tetap
tidak valid (sah). Seperti adanya warga yang memiliki hak pilih yang
tidak terdaftar, adanya nama yang terdaftar sebagai pemilih tetapi
pemilih yang bersangkutan tidak ada atau telah meninggal, pemilih
yang terdaftar lebih dari satu dan terdapatnya pemilih yang belum
cukup umur dari batas usia. Aturan batas usia tersebut diatur
dalamUU No.42 Tahun 2008 Pasal 27 ayat (1) UU Pilpres dan UU
No. 8 Tahun 2012 Pasal 19 ayat (1) UU Pemilu Legilatif. Pasal 27
ayat (1) UU Pilpres, berisikan tentang Warga Negara Indonesia yang
pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 tahun atau sudah
lebih atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Pasal 19 ayat
(1) UU Pemilu Legilatif, berisikan Warga Negara Indonesia yang pada .
Adapun bentuk pelanggaran dan kecurangan yang pada umumnya
terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan Pilkada, yaitu:
27Ibid,
hari pemungutan suara telah genap berumur 17 tahun atau sudah lebih
atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Pelanggaran
seperti ini, dapat mempengaruhi hasil dan juga merupakan sebuah
pelanggaran terhadap hak konstitusi warga negara untuk memilih28
2. Pada tahap awal juga terjadi pelanggaran dalam tahap verifikasi
pasangan calon yang menentukan pasangan yang akan lolos menjadi
pasangan calon peserta Pilkada. Pelanggaran jenis ini adalah
memanipulasi data persyaratan bakal calon, baik berupa syarat
administratif maupun syarat dukungan termasuk meloloskan pasangan
bakal calon tertentu yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat atau
sebaliknya tidak meloloskan pasangan calon tertentu yang
sesungguhnya telah memenuhi semua persyarat.
.
3. Adanya politik uang, merupakan sebuah bentuk pelanggaran yang
paling banyak didalilkan atau dirumuskan dan menjadi materi
pemeriksaan persidangan di MK. Pelanggaran ini terjadi bahkan
sebelum pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah dan terutama
sering terjadi pada masa-masa kampanye, dengan tujuan untuk
membentuk persepsi masyarakat bahwa keberhasilan program itu
adalah atas jasa orang tertentu yang akan mencalonkan diri sebagai
kepala daerah.
4. Pelanggaran berupa pengerahan atau mobilisasi organisasi
pemerintahan untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Mobilisasi dalam hal ini dapat terjadi terhadap pegawai pemerintahan,
baik mulai dari tingkat atas hingga tingkat bawah di kelurahan atau
desa, maupun mobilisasi sarana dan prasarana untuk kepentingan
pemenangan pasangan calon tertentu. Pelanggaran seperti ini hanya
dapat dilakukan oleh pasangan calon yang memiliki kekuasaan atau
akses terhadap organisasi pemerintahan di daerah.
5. Pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi untuk memaksa warga
masyarakat memilih pasangan calon tertentu dan hal ini dapat terjadi
dalam berbagai bentuk yang dilakukan oleh banyak pihak. Intimidasi
dapat dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah dalam bentuk
ancaman tidak akan mendapatkan layanan pemerintahan. Intimidasi
juga dapat dilakukan oleh kelompok tertentu berupa ancaman
kekerasan.
6. Pelanggaran berupa pemberian hak suara oleh orang yang tidak
berhak, baik di tempat pemungutan suara. Hal tersebut sudah jarang
ditemui dan dilakukan sebab ketatnya pengawasan baik itu dari
pengawas, antar pasangan calon, maupun oleh masyarakat. Akan
tetapi, hal demikian juga masih dapat ditemui pada daerah-daerah
7. Pelanggaran berupa manipulasi penghitungan hasil perolehan suara.
Penghitungan suara secara bertingkat memungkinkan terjadinya
manipulasi dengan mengurangi atau menambah perolehan suara calon
tertentu. Model pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai model klasik
yang saat ini sudah jarang terjadi karena tuntutan keterbukaan dan
saling kontrol antar pasangan calon.
Pelangaran-pelanggaran Pilkada tersebut sangat jelas telah merusak
tatanan demokrasi dan merusak kualitas demokrasi di daerah. Akibatnya,
kepala daerah yang terpilih bukan dari kehendak rakyat, akan tetapi
menimbulkan pemimpin yang haus akan kekuasaaan dan dengan
sewenang-wenang menyalahgunakan kekuasaan. Hal tersebut sangat berdampak
kepada penyelenggaraan pemerintahan daerah dan orientasi pemerintahan
daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, bukan untuk rakyat di daerah
akan tetapi untuk kekuasaan belaka. Hal ini tidak dapat dibiarkan dengan
demikian, perlunya mengambil tindakan untuk memperbaikinya, baik dari
sisi electoral system maupun electoral process. Penataan kelembagaan
penyelenggara serta peningkatan kesadaran peserta Pilkada dan warga
negara tidak terjebak pada permainan dan pragmatisme kekuasaan yang
merugikan bangsa29
29
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.
Metode kualitatif lebih didasarkan filsafat fenomenologis yang
mengutamakan penghayatan. Oleh sebab itu penelitian ini, peneliti ingin
melihat dan menganalisis fenomena ataupun hal-hal yang terjadi pada
perilaku politik Ermalina Purba sebagai guru PNS di Kelurahan Batang
Beruh, Kecamatan Sidikalang dalam pemilihan Bupati Dairi 2013 dengan
melakukan pengamatan secara langsung di lapangan dan menganalisisnya
dengan peraturan PNS berdasarkan kepada Badan Kepegawaian Daerah di
Kabupaten Dairi. Analisis kasus menggunakan teori-teori, data-data dan
Undang-Undang sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian
dan menjawab persoalan penelitian. Penelitian kualitatif dilakukan dengan
tujuan atau dalam situasi yang wajar dan data yang dikumpulkan bersifat
kualitatif.
1.6.2 Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Badan Kepegawaian Daerah
(BKD) Kabupaten Dairi, di Ki Hajar Dewantara Nomor 1 di samping kantor
SMP Negeri 2 Sidikalang dan disamping kantor Kesejahteraan Sosial
Ermalina Purba di Jalan F.L Tobing, Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan
Sidikalang.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam
penelitian ini dengan menggunakan data primer dan sekunder.
1. Data Primer
Pada penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara
yang dilakukan pada responden maupun narasumber kepada pihak
terkait yaitu Ermalina Purba sebagai guru PNS di Kelurahan Batang
Beruh, kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Dairi,
Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Dairi dan
Kepala Sekolah SMAN 1 Sidikalang.
2. Data Sekunder
Pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelaan
berbagai data atau sumber berupa literatur yang relevan dengan judul
penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, peraturan,
Undang-Undang, media online dan bahan-bahan lainnya yang relevan dalam
1.6.4 Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data pada penelitian ini, penulis menggunakan
teknik analisis kualitatif dengan menggunakan tipologi, yaitu dengan
mengumpulkan data dan kemudian data yang telah dikumpulkan dianalisis
dan dikelompokkan, sehingga dari semua informasi ataupun data telah
terkumpul secara lengkap, maka dibuatlah suatu kesimpulan dari jawaban
permasalahan dalam penelitian ini.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas
ataupun penjabaran mengenai rencana penelitian, untuk mempermudah di dalam
penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu, penulis membagi penulisan ke dalam 4
(empat) bab, yaitu:
BAB 1 : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB 2 : DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai profil dari
Kabupaten Dairi, Kecamatan Sidikalang, Kelurahan Batang Beruh
yang terdiri dari Sejarah singkat Kelurahan Batang Beruh, Sarana
Beruhdan profil dari Ermalina Purba sebagai guru PNS di dalam
pemilihan Bupati Dairi.
BAB 3 : PERILAKU POLITIK GURU PNS DI DALAM PEMILIHAN BUPATI DAIRI 2013
Pada bab ini, akan membahas secara garis besar permasalahan dari
hasil penelitian yang diperoleh tentang perilaku politik Ermalina
Purba sebagai guru PNS yang menerima Surat Keputusan mutasi
oleh BKD Kabupaten Dairi terkait asumsi pemberian dukungan
terhadap salah satu calon/kandidat bupati dalam pemilihan Bupati
Dairi 2013 dan hal-hal apa yang menyebabkan Ermalina Purba
dimutasi dengan berdasarkandata dari lapangan dengan
berlandaskan kepada teori-teori, perundang-undangan dan
menyajikan pembahasan dan analisis dari data serta fakta yang ada.
BAB 4 : PENUTUP
Bab terakhir ini, akan memuat kesimpulan dan saran dari