• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TUGAS YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS SEBELUM MELAKSANAKAN PERJANJIAN KREDIT A. Pengaturan Hukum Secara Umum - Tinjauan Yuridis Atas Tugas-Tugas Notaris Sebelum Pelaksanaan Perjanjian Kredit Di Perbankan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TUGAS YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS SEBELUM MELAKSANAKAN PERJANJIAN KREDIT A. Pengaturan Hukum Secara Umum - Tinjauan Yuridis Atas Tugas-Tugas Notaris Sebelum Pelaksanaan Perjanjian Kredit Di Perbankan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP TUGAS YANG DILAKUKAN OLEH

NOTARIS SEBELUM MELAKSANAKAN PERJANJIAN KREDIT

A. Pengaturan Hukum Secara Umum

Sebelum mendefenisikan pengaturan hukum, sebaiknya harus dipisahkan antara aturan dan hukum.

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).22 Norma hukum biasanya berasal dari undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan bagi mereka yang melanggarnya biasanya mendapatkan sanksi berupa teguran, denda hingga penjara.

Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan adalah segala sesuatu yang merupakan aturan tertulis yang berisi berbagai perintah maupun larangan yang

22

(2)

mengatur tata tertib pada masyarakat atau negara yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Lain hal pengaturan, lain pula keputusan. Sekilas keputusan sama dengan pengaturan, padahal kedua hal tersebut mempunyai perbedaan yang sangat besar. Adapun indikator yang dapat dijadikan pedoman dalam membedakan keputusan dan pengaturan adalah sebagai berikut:

1. Istilah “peraturan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan yang

menghasilkan peraturan (regels).

2. Istilah “keputusan” atau “ketetapan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan

penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).

3. Istilah “tetapan” digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan yang

menghasilkan putusan (vonnis).

Dari penjelasan tersebut maka dapat dirinci mengenai pengertian istilah “keputusan” dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian istilah

“keputusan” yang luas, di dalamnya terkandung juga pengertian “peraturan/regels”,

“keputusan/beschikkings” dan “tetapan/vonnis”. Sedangkan, dalam istilah

“keputusan” dalam arti yang sempit, berarti adalah suatu hasil kegiatan penetapan

atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).

(3)

Menurut R. Soeroso, definisi hukum secara umum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi hukum sebagai berikut : 1. peraturan dibuat oleh yang berwenang

2. tujuannya mengatur tata tertib kehidupan masyarakat 3. mempunyai ciri memerintah dan melarang

4. bersifat memaksa dan ditaati23

Menurut Abdulkadir Muhammad, hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.

C.S.T. Kansil mengemukakan hukum itu mengadakan ketata-tertiban dalam pergaulan manusia, sebagai keamanan dan ketertiban terpelihara.

J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mengemukakan hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai tindakan-tindakan hukum tertentu.

Menurut Plato, hukum bukan semata-mata untuk menjaga ketertiban saja, melainkan sebagai obat untuk menyembuhkan kejahatan manusia.24

23

(4)

Aristoteles menyatakan hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.

Sedangkan E. Utrecht berpendapat lebih rinci, yaitu bahwa Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup - perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.25

Sebabnya hukum ditaati orang menurut Utrecht, yaitu:

1. Karena orang merasakan bahwa peraturan dirasakan sebagai hukum. Mereka benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.

2. Karena orang harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Penerimaan rasional itu sebagai akibat adanya sanksi-sanksi hukum supaya tidak mendapatkan kesukaran, orang memilih untuk taat saja pada peraturan hukum karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.

3. Karena masyarakat menghendakinya. Dalam kenyataannya banyak orang yang tidak menanyakan apakah sesuatu menjadi hukum/belum. Mereka tidak menghiraukan dan baru merasakan dan memikirkan apabila telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut. Mereka baru merasakan adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh peraturan hukum yang ada.

24

Rapar, J. H., Filsafat Politik. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta2002. Hal. 83 25

(5)

4. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasakan malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar suatu kaidah sosial/hukum.

Sedangkan menurut bahasa sehari-hari, Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol, hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.

Dalam pembagiannya di Indonesia, hukum mempunyai beberapa pembagian. Adapun yang dijadikan indikator-indikator tersebut bisa berdasarkan tempat berlaku, sumbernya dan sebagainya. Berikut ini akan diuraikan secaa singkat pembagian-pembagian hukum tersebut:26

1. Hukum menurut Bentuknya

Menurut bentuknya, hukum dikelompokkan sebagai berikut.

a. Hukum tertulis adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan. Hukum tertulis dapat merupakan hukum tertulis yang dikodifikasikan dan hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan.

26

(6)

b. Hukum tak tertulis adalah hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis.

Hukum tak tertulis juga disebut hukum kebiasaan, hukum tidak tertulis ditaati seperti suatu peraturan perundangan.

2. Hukum menurut Tempat Berlakunya

Menurut tempat berlakunya, hukum dibedakan sebagai berikut. a) Hukum nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.

b) Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional.

c) Hukum asing adalah hukum yang berlaku di negara lain.

d) Hukum lokal adalah hukum yang berlaku di suatu daerah atau wilayah tertentu.

3. Hukum menurut Sumbernya

Menurut sumbernya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut.

a) Undang-undang adalah hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.

b) Hukum kebiasaan adalah hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan kebiasaan.

c) Hukum traktat adalah hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antarnegara.

(7)

4. Hukum menurut Waktu Berlakunya

Menurut waktu berlakunya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut.

a. Hukum positif (ius constitutum) adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Hukum positif (iusconstitutum) disebut juga tata hukum.

b. Ius constituendum adalah hukum yang diharapkan berlaku pada waktu

yang akan datang.

c. Hukum asasi adalah hukum yang berlaku di mana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia.

Hukum ini tidak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama-lamanya (abadi) terhadap siapa pun di seluruh tempat.

5. Hukum menurut Isinya

Menurut isinya, hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.

a) Hukum privat adalah kumpulan hukum yang mengatur hubungan-hubungan antarorang dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Hukum privat juga disebut hukum sipil. Contoh: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undanga Hukum Dagang.

(8)

6. Hukum menurut Wujudnya

Menurut wujudnya, hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.

a) Hukum objektif adalah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu. Hukum ini untuk menyatakan peraturan yang mengatur antara dua orang atau lebih. Contoh: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Hukum subjektif adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang tertentu dan dengan demikian menjadi hak. Contoh: Kitab Undang-Undang Hukum Militer.

7. Hukum menurut Sifatnya

Menurut sifatnya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut.

a) Hukum yang memaksa adalah hukum yang dalam keadaan bagaimana pun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak. Contoh: hukum pidana

b) Hukum yang mengatur adalah hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian. Contoh: hukum dagang

8. Hukum menurut Cara Mempertahankannya

Menurut cara mempertahankannya, hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.

(9)

berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh: hukum pidana, hukum perdata, dan hukum dagang.

b) Hukum formal adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil atau suatu peraturan yang mengatur cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana caranya hakim memberi putusan. Hukum formal disebut hukum acara. Contoh: hukum acara pidana dan hukum acara perdata

Setelah melihat pembagian hukum menurut beberapa jenis pembagian diatas, maka bisa dilihat bahwa hukum yang mengatur tentang tugas dan wewenang Notaris dapat dikategorikan sebagai hukum formal yang bersifat privat. Hal ini dikarenakan mengatur hubungan-hubungan antar orang dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Dalam pembahasan ini akan lebih didalami mengenai dasar hukum tersebut. Mengenai sejarah notaris, notaris pada awalnya berada di Indonesia adalah karena adanya pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah suatu akta didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” Sebagai pelaksanaan pasal tersebut,

(10)

atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (sebagai pengganti staatblad 1860 nomor 30).

Dahulu, sebelum Undang-Undang 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ada, peraturan tentang notaris sudah ada dan diatur oleh Belanda, tetapi tidak terkodifikasi dengan baik.

Mengenai tugas notaris pun belum terlalu diatur didalamnya seperti sekarang ini. Adapun beberapa peraturan-peraturan mengenai notaris adaah sebagai berikut:27 1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah

diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101; 2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris

Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);

4. Pasal 54 Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan

Notaris.

6. Sumber peraturan hukum lainnya;

27

(11)

Setelah peraturan-peraturan di atas tidak mengakomodir mengenai notaris dan tugas dan wewenang yang dimilikinya, maka dibentuklah Undang Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Dimulai dari Undang-Undang ini, seluruh hal mengenai wewenang, tugas, larangan, sanksi dan tata cara pembuatan akta semuanya diatur dengan jelas dan terperinci. Defenisi Notaris juga dapat dipahami dengan jelas sebagaimana dalam pasal 1 disebutkan yang menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana maksud dalam undang-undang ini.

Sebagai pejabat umum, Notaris haruslah mempunyai sifat-sifat yaitu: 1. Berjiwa pancasila;

2. Taat kepada hukum, sumpah jabatan, kode etik Notaris; 3. Berbahasa Indonesia yang baik;

Sementara Sebagai profesional Notaris wajib: 1. Memiliki perilaku Notaris;

2. Ikut serta pembangunan nasional di bidang hukum; 3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat

(12)

negara, Notaris harus bersumpah setia atas Negara Republik Indonesia, sesuatu yang tidak mungkin bisa ditaati sepenuhnya oleh warga negara asing.

Seorang Notaris harus berumur minimal 27 tahun, karena umur 27 tahun dianggap sudah stabil secara mental. 28

Dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris dituntut harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Karena dengan mematuhi ajaran dan menjalankan serta menjauhi lrangan Tuhan, makan diharapkan Notaris tidak akan melakukan perbuatan asusila, amoral, apalagi sampai menciderai martabat dan profesi notaris itu sendiri.

Selain hal-hal tersebut harus terlebih dahulu dilakukan notaris, perlu diingat juga notaris tidak bisa berstatus pegawai negeri, pejabat negara, advokat, pemimpin maupun karyawan badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta dan perusahaan swasta atau jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Notaris tidak boleh merangkap jabatan karena Notaris dilarang memihak dalam kaitannya sebagai pihak netral supaya tidak terjadi beturan kepentingan.

Sikap netralitas notaris ini sangat ditekankan kepada setiap calon notaris maupun notaris yang sudah memiliki izin untuk praktek. Apabila ada ditemukan notaris berpihak kepada salah satu pihak, apakah itu dari segi pekerjaan notaris perumusan akta yang menghasilkan klausul-klausul yang merugikan salah satu pihak,

28

(13)

maka hal itu akan sangat disayangkan, karena tidak adanya netralitas notaris, maka sia-sia lah amanat undang-undang agar masyarakat memperoleh hukum yang adil.

Namun, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris juga kurang memberikan kepastian hukum terhadap beberapa pasal-pasalnya sehingga diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Perubahan tersebut tidak ada mengubah wewenang Notaris. Memang ada kewenangan yang sempat diperbincangkan diantara para notaris yaitu pada Pasal 15 ayat (2) huruf f, yaitu notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Perdebatan ini sedikit menjadi pertanyaan karena terjadi “perebutan kewenangan”

antara Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan Notaris. Sebab, klausula ini dianggap dapat mematikan profesi PPAT.

(14)

Undang-Undang Hukum Perdata. Tugas membuat akta pengakuan terhadap anak luar kawin ini juga dimiliki oleh Kantor Catatan Sipil.

Adapun beberapa perubahan lainnya antara Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yaitu:

1. Notaris Pengganti Khusus yang mempunyai tugas membuat akta tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam surat penetapannya sebagai notaris karena hanya ada seorang notaris di satu kabupaten tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 pada Diatur di Pasal 1 angka 4,29 sedangkan pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 hal ini dihapus, sehingga mengakibatkan tugas Notaris Pengganti Khusus berdasarkan UUJN yang baru tidak ada lagi notaris yang membuat akta tertentu untuk dirinya sendiri dengan alasan hanya satu notaris yang ada di wilayah jabatannya.

2. Mengenai Masa Magang Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 pada Pasal 3 huruf (f) menyatakan masa magang hanya 12 bulan berturut-turut pada kantor notaris, sementara menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun

29

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 mengenai Notaris Pengganti Khusus:

1. Apabila dalam satu wilayah jabatan hanya terdapat 1 (satu) Notaris, Majelis Pengawas Daerah dapat menunjuk Notaris Pengganti Khusus yang berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan pribadi Notaris tersebut atau keluarganya.

2. Penunjukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disertai dengan serah terima Protokol Notaris.

(15)

2014 menjadi 24 bulan yang mengakibatkan seorang calon notaris bisa diangkat menjadi notaris setelah magang selama 2 tahun berturut-turut.

3. Mengenai Perpanjangan masa memulai menjalani kewajiban notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004, seperti menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan stempel, serta menyampaikan berita acara sumpah mulai dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari sejak pengambilan sumpah, sementara dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 dilaksanakan dalam jangka waktu 60 hari sejak pengambilan sumpah, sehingga mengakibatkan jika tidak dilaksanakan, Pasal 7 ayat (2) UUJN yang baru dengan tegas mengenakan sanksi kepada notaris berupa peringatan tertulis; pemberhentian sementara; pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat.

4. Mengenai Pelekatan Sidik Jari di Minuta Akta dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tidak diatur, sementara dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, sehingga mengakibatkan notaris wajib melekatkan sidik jari para penghadap kemudian dilekatkan di minuta akta guna tercipta keamanan.

(16)

mengakibatkan Kewenangan Notaris melakukan pekerjaan jabatan PPAT dan Pejabat Lelang Kelas II hanya boleh dilakukan di kabupaten atau kota tempat Notaris berkantor, tidak boleh lagi dilakukan untuk satu Provinsi. Masalah ini semakin diperkuat dengan pasal berikutnya, yaitu Pasal 19 angka 2, yaitu tempat kedudukan PPAT wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris. Artinya, notaris tidak boleh membuka kantor PPAT berbeda dengan tempat kedudukan kantor notarisnya. Apabila dilanggar, Notaris mendapatkan sanksi.

6. Mengenai Bentuk usaha yang dijalankan notaris dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Pasal 20 ayat (1) mengatur bahwa Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Diubah menjadi notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk persekutuan perdata.

7. Mengenai Bahasa Akta sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 yaitu Bahasa akta yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Bahasa asing dapat digunakan jika para pihak menghendakinya sepanjang undang-undang tidak menentukan lain, sementara dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Bahasa akta yang digunakan adalah wajib Bahasa Indonesia. Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing, maka akibatnya Penggunaan bahasa Indonesia dalam ketentuan baru semakin dipertegas dengan kata “wajib”. Akan tetapi, kewajiban ini sedikit diperhalus

(17)

menghendakinya. Terlebih lagi, untuk pembuatan akta yang menggunakan bahasa asing ini tidak lagi dibatasi dengan koridor “sepanjang undang-undang

tidak menentukan lain”. Sehingga, akta apa saja sepanjang para pihak menghendaki dapat menggunakan bahasa asing.

8. Mengenai Wewenang suatu badan dalam memberikan persetujuan kepada penyidik dalam due process sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 yaitu wewenang untuk memberikan persetujuan kepada Penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk due process berada di tangan Majelis Pengawas Daerah,30 sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Kewenangan tersebut berada di tangan Majelis Kehormatan, sehingga mengakibatkan Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim ketika ingin mengambil fotokopi minuta akta notaris atau memanggil notaris itu sendiri harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD).31 Namun, frasa “dengan persetujuan MPD” ini telah

30

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris:

1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a.mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b.memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

31

Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris:

1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang:

(18)

dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK No. 49/PUU-X/201232. Akan tetapi, Undang – Undang Jabatan Notaris yang baru memasukkan kembali “perlindungan” notaris ini melalui frasa “dengan persetujuan Majelis

Kehormatan”. Maka, setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum Dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang mengaktifkan organ Majelis Kehormatan Notaris ini, kewenangan oleh MPD dalam memberikan persetujuan pengambilan minuta akta dari Notaris akan menjadi kewenangan Majelis Kehormatan Notaris, namun untuk sekarang ini karena peraturan mengenai pelaksanaan struktur lengkap Majelis Kehormatan Notaris belum ada, maka kewenangan tersebut masih dipegang oleh Majelis Pengawas Daerah

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

3. Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.

4. Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.”

32

Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 pada pasal 3 selengkapnya berbunyi:

3.Menyatakan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4432) sepanjang frasa / kalimat “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT...”, sehingga ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4432) HARUS DIBACA, sebagai berikut:

“Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

(19)

9. Mengenai Wadah Tunggal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 pada Pasal 82 hanya menyebutkan notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi33, sedangkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tertulis dengan jelas wadah tunggal yang dimaksud adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI)34, sehingga Organisasi di luar Ikatan Notaris Indonesia tidak diakui eksistensinya.

B. Perjanjian Secara Umum

Perjanjian dapat berarti segala bentuk kesepakatan yang dibuat oleh minimum dua pihak yang mana perjanjian tersebut bisa tertulis dan bisa tidak tertulis. Perjanjian bisa dibuat oleh siapa saja, termasuk dan tidak terbatas pihak lembaga formal. lembaga formal tersebut adalah bank. Pada intinya, walaupun dibuat pihak lembaga formal, tetap ada yang disebut dengan asas. kebebasan berkontrak.

Menurut Treitel, kebebasan berkontrak atau “freedom of contract” digunakan

untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama

33

Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: 1.Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

2.Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

34

Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris:

1.Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

2.Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia. 3.Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu-satunya wadah profesi

Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris.

4.Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Notaris.

(20)

mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak”. Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. ”Asas kebebasan berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang

dikenal hampir semua sistem hukum.35

Asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis.

Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk

35

Asas kebebasan berkontrak dalam sistem common law dikenal dengan istilah freedom of contract

atau liberty of contract, apabila dibandingkan dengan pernyataan Hardijan Rusli : asas kebebasan berkontrak dikenal juga dengan istilah Laissez Faire yang pengertiannya seperti diterangkan oleh Jessel M.R. dalam kasus Printing and Numerical Registering Co. vs Sampson (1875) LR Eq. 462 pada 465, yaitu men of full age and understanding shall have the utmost liberty of contracting and that contracts which are freely and voluntarily entered inti shall be held sacred and enforced by the courts...you are not lightly to interfere with this freedom of contract (Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993:38). Lihat juga Ridwan Khairandy “istilah kebebasan berkontrak dalam sistem common law adalah freedom of contract atau

(21)

setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.

Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak masih mempunyai batas.

Ada hal menarik yang dapat dilihat, biasanya perjanjian dibuat dengan kesepakatan yang isinya dirumuskan oleh kedua belah pihak, tetapi perjanjian dengan bank biasanya dibuat dalam standar baku. Istilah perjanjian baku sebenarnya berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman ciri standar kontrak ialah:36

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat. 2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian

3. Terdororng oleh kebutuhannya debitur terpakasa menerima perjanjian itu 4. Bentuk tertentu (tertulis)

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut

36

(22)

Munir Fuadi adalah Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.

Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (klausul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).

(23)

hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.

C. Pengaturan Hukum Perjanjian Kredit dalam Perbankan

Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu seperti dalam Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda yang mempunyai isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :

Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.

(24)

Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditur mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.

Dengan adanya peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.

D. Pengaturan Hukum Terhadap Tugas Notaris Sebelum Melaksanakan

Perjanjian Kredit Di Bank

Dalam melaksanakan perjanjian kredit, Notaris terlebih dahulu harus melaksanakan serangkaian perbuatan hukum dalam rangkan menjamin seluruh proses pelaksanaan perjanjian kredit aman saat dilaksanakan.

Sebelum melaksanakan perjanjian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatikan, selain memperhatikan apa yang disyaratkan oleh Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Notaris juga harus memperhatikan karakteristik perjanjian yang akan dilaksanakan.

(25)

1. Adanya Surat Penawaran Order pekerjaan Notaris atau lebih dikenal dengan istilah Offering Letter dari bank yang isinya mengenai hal-hal apa saja yang diinginkan dalam pelaksanaan perjanjian kredit nantinya, misalnya mengenai jenis kredit, besarnya plafond kredit yang diberikan, suku bunga, jaminan, jangka waktu, dan pelaksanaan penandatanganan akta kredit. Offering Letter ini mempunyai dasar hukum dalam peraturan internal setiap bank.

2. Notaris membaca dan mencermati hal-hal yang diinginkan dalam Offering Letter

tersebut, kemudian meminta kelengkapan berkas yang akan dijadikan substansi perjanjian kredit, misalnya saja fotokopi perjanjian kredit antara bank dengan para pihak, asli jaminan apabila itu sertifikat untuk dilakukan pengecekan ke kantor pertanahan, identitas para pihak, dan kelengkapan berkas lainnya.

3. Setelah waktu yang ditentukan, maka notaris bersama para pihak melakukan penandatanganan akta perjanjian kredit dengan melakukannya sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku seperti didalam Undang - Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

(26)

mendapat hambatan nantinya karena dalam proses penyelesaian seluruh komponen perjanjian kredit misalnya pemasangan hak tanggungan terhadap jaminan berupa tanah bersertipikat, bisa saja ada gangguan hukum dari pihak ketiga yang membuat notaris tidak bisa melaksanakan kewenangannya sebagai pihak yang akan melaksanakan hal tersebut. Gangguan tersebut tentu tidak ada pengaruh dari notaris, tetapi bisa saja dari pihak bank atau pihak debitur. Hal ini yang harus diingat mengenai inti dari covernote. Selain covernote ini juga, notaris memberikan tanda terima jaminan atau berkas penting lainnya kepada bank apabila berkas - berkas penting itu telah diberikan kepada notaris agar tertib adminsitrasi berjalan sebagaimana mestinya.

5. Setelah seluruh pekerjaan notaris selesai dilaksanakan, maka notaris berkewajiban menarik kembali asli covernote dan membuat tanda terima baru bahwa seluruh berkas yang telah diterima notaris telah dikembalikan kepada bank.

Dalam pelaksanaan wewenang notaris, perlu dibedakan proses pelaksanaan perjanjian kredit dengan tanpa memakai jaminan atau agunan dan perjanjian kredit dengan memakai agunan. Berikut ini akan diuraikan pelaksanaan wewenang notaris sebelum melaksanakan perjanjian kredit dengan tanpa memakai jaminan atau agunan dan perjanjian kredit dengan memakai agunan.

(27)

profesi. Menurut Sumaryono, kode etik memiliki alasan-alasan dan tujuan tertentu, yaitu sebagai berikut37 :

a. sebagai sarana kontrol sosial;

b. sebagai pencegah campur tangan pihak lain; dan; c. sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.

1. Tugas Notaris Dalam Proses Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan Tanpa memakai Jaminan

Dapat disimpulkan bahwa kredit yang diberikan adalah kredit untuk personal dan bukannya berupa kredit untuk korporasi. Hubungan hukum yang berupa suatu perikatan pihak bank yang mengeluarkan kredit tanpa agunan bermula sejak ditandatangani aplikasi kredit tanpa agunan dan disetujui oleh Bank, dimana sering ditemukan ketentuan mengenai pernyataan atau persetujuan dari pemohon kredit untuk menerima dan mengikatkan diri untuk tunduk dan mematuhi semua syarat dan ketentuan baik yang berlaku saat ini dan atau di kemudian hari menurut kebijaksanaan dari Bank, termasuk juga untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas semua tagihan.

Pada saat aplikasi disetujui oleh pihak Bank maka semua persetujuan mengenai hak, kewajiban serta syarat yang terdapat dalam aplikasi kredit tersebut secara sah telah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, yaitu debitur dan Bank. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang

37

(28)

Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Untuk Kredit tanpa agunan, karena pihak bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, maka berdasarkan pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun bunyi dari Pasal 1131 Kitab Undang-Undang-undang Hukum Perdata adalah: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”, sedangkan pasal

1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur, sehingga dasar dari Bank melakukan eksekusi apabila debitur wanprestasi adalah kedua pasal tersebut, pasal 1131 san 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

(29)

Maka, apabila ditelaah lebih jauh, sebelum melaksanakan perjanjian kredit ini, terdapat pengaturan hukum terhadap tugas notaris dalam Undang - Undang Jabatan Notaris yaitu Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris apabila Bank ingin Notaris melaksanakan perjanjian kredit tersebut salah satunya adalah dengan memakai jasanya yaitu dengan memakai akta otentik. Sebelum pelaksanaan perjanjian kredit dimaksud, Notaris juga diharuskan memeriksa seluruh kelengkapan berkas yang diperlukan. Dalam pembahasan ini dititikberatkan apabila seluruh berkas pendukung yang diperlukan sudah lengkap. Maka dalam Undang - Undang Jabatan Notaris yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pasal 15 nya berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1):

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangan dan/atau yag dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menajmin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Ayat (2):

(30)

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapakan kepastian tanggal pembuatan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

Hal ini lazim disebut dengan Legalisasi. Legalisasi adalah tindakan mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup yang di tanda tangani di hadapan Notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (lazim disebut dengan waarmerking).

c. Membuat kopi dari asli surat dibawa tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (lazim disebut dengan legalisir).

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. f. Membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan.

g. Membuat akta risalah lelang.

(31)

nantinya agar para pihak dapat paham dan mengerti akan isi dari perjanjian yang ditandatangani tersebut. Tidak selamanya pihak bank dirugikan dengan adanya kredit tanpa agunan, karena dengan klausul yang tepat yang dibantu oleh notaris, maka resiko kredit yang dikhawatirkan oleh bank terhadap kemacetan pembayaran bisa diminimalisir.

Pihak bank tentunya dengan menggunakan jasa notaris dapat nantinya menerapkan klausul seperti yang terdapat dalam pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka secara tidak langsung Bank diberikan hak utama untuk menarik jaminan. Karakteristik jaminan yang dapat ditarik oleh bank secara umum juga dapat dilihat dengan ciri-ciri umum sebagai berikut:

a. Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang). b. Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.

2. Tugas Notaris Dalam Proses Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan memakai Jaminan

(32)

untuk segala perikatan perseorangan. Dan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para piutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Pihak bank biasanya dalam memberikan kredit akan menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi jaminan atau agunan dari kredit yang dikeluarkan, misalnya dalam kredit pembelian kendaraan yang menjadi agunan biasanya adalah BPKB dari kendaraan tersebut. Pihak bank dengan ditentukan dari awal tentang apa yang menjadi jaminan terhadap kredit yang diberikan akan memudahkan bagi bank untuk melakukan eksekusi bila terjadi wanprestasi karena sudah tertentu apa yang menjadi agunannya.

(33)

Ada kalanya bank juga tidak melakukan pengikatan secara fidusia dikarenakan jumlah hutang yang kecil, sehingga untuk meminimalisir potongan biaya adminsitrasi hutang, maka bank cukup melakukan legalisasi terhadap jaminan benda-benda milik debitur, apakah itu benda-benda - benda-benda persediaan atau peralatan rumah tangga. Pada intinya, karena perjanjian pengikatan jaminan bersifat perjanjian tambahan atau biasa dikenal dengan sebutan accessoir, maka akan sangat tergantung sekali pada klausul pada perjanjian pokok mengenai perjanjian tambahan itu sendiri.

Karena perjanjian kredit memiliki pengertian secara khusus yaitu bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tetentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan, 38maka berikut ini adalah beberapa jaminan kebendaan yang akan dibahas pengaturan hukumnya oleh notaris sebelum melaksanakan perjanjian kredit:39

a. Tanah

Dalam melakukan analisa agunan tanah agar memperhatikan hak atas tanah tersebut seperti dasar kepemilikan tanah tersebut. Perlu diperhatikan mengenai hak yang dimiliki debitur tersebut atas sebuah objek jaminan. Beberapa jenis hak atas tanah dibawah ini yang dapat dijadikan jaminan menurut Undang-Undang Tentang

38

Sutan Remy Sjahdenie, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang seimbang bagi para Pihak dalam Perjanjian Kredit. Jakarta, 1993 Institut Bankir Indonesia, hal. 14.

39

(34)

Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Nomor 4 tahub 1996 adalah:

1) Hak Milik,

2) Hak Guna Bangunan, 3) Hak Guna Usaha,

4) Hak pakai yang punya nilai ekonomis, dan 5) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Terhadap beberapa hak atas tanah tersebut diikat dengan jenis Hak Tanggungan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah mengatur definisi Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Sementara menurut defenisi umum Hak Tanggungan adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda lainnya yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dengan tanah tersebut. Hak

Tanggungan ini memberikan/mempunyai hak “Preference” kepada kreditur tersebut

(35)

jaminan tersebut terlebih dahulu dari pada kreditur lainnya, jika suatu saat debitur cidera janji/Wanprestasi.

Terhadap jenis jaminan ini, notaris diharuskan meminta keseluruhan berkas berupa bukti kepemilikan yaitu Sertipikat yang dimaksud. Kemudian notaris melihat nama yang tertera di sertipikat adalah benar nama si debiturr, jikalau bukan nama debitur, notaris wajib meminta agar nama yang tertera iktu serta menandatangani perjanjian pengikatan jaminannya. Jika tidak, maka debitur harus member penjelasan kepada notaris dan bank bahwa tanah tersebut milik siapa dan debitur harus menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah tersebut meskipun belum nama debitur. Bisa saja sertipikat tersebut milik debitur berdasarkan Pengikatan Untuk Melakukan Jual Beli, hanya saja debitur belum membaliknamakan keatas namanya. Setelah itu, menurut ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, objek kepemilikan tanah tersebut diikat dengan memakai Akta Pemberian Hak Tanggungan atau Surat Kuasa Memberikan Hak Tanggungan, tergantung kepada letak objek tanah dan status tanah terebut.

(36)

perjanjian kredit yang akan ditandatangani dan surat pemasangan hak tanggungannya juga.

Terhadap tanah yang belum mempunyai sertipikat, biasanya untuk jumlah hutang besar, bank akan menolak, tetapi dengan jumlah hutang yang kecil, bank menerima dengan memakai Surat Kuasa Memberikan Hak Tanggungan saja dan bukti kepemilikan mana disimpan oleh bank sebagai jaminan.

b. Bangunan

Agunan berupa bangunan yang umumnya dapat diterima bank berupa rumah tinggal, rumah susun, pabrik, gudang atau hotel.

Dalam melakukan analisa agunan berupa bangunan agar memperhatikan hal-hal seperti Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), lokasi bangunan, luas bangunan, konstruksi bangunan, kondisi bangunan, tahun pendirian/renovasi bangunan tersebut, peruntukan bangunan (rumah tinggal, pabrik, gudang, hotel), tingkat marketabilitas, ketertarikan dengan bank lain, dan status hukum (dalam kondisi sengketa atau tidak).

(37)

c. Kendaraan Bermotor

Dalam melakukan analisa agunan berupa kendaraan bermotor agar memperhatikan umur teknis dari kendaraan bermotor tersebut, kepemilikan kendaraan bermotor tersebut, dan pengamanan tambahan berupa pemblokiran pada instansi yang berwenang.

d. Persediaan (Inventory)

Dalam melakukan analisa agunan berupa persediaan agar memperhatikan sistem perusahaan debitur dalam menentukan nilai persediaan, jenis barang persediaan, kondisi persediaan serta tempat penyimpanan persediaan.

Untuk persediaan, notaris melakukannya dengan memasang jaminan secara fidusia.

e. Piutang Dagang

Dalam melakukan analisa agunan berupa piutang dagang agar memperhatikan bahwa piutang tersebut merupakan piutang dagang lancar dan memiliki dokumen piutang.40

f. Mesin-mesin Pabrik

Dalam melakukan analisa agunan berupa mesin pabrik agar memperhatikan umur tekhnis dari mesin tersebut.

Untuk mesin-mesin pabrik, notaris melakukannya dengan memasang jaminan secara fidusia 41

40

(38)

g. Corporate Guarantee dan atau Personal Guarantee

Apabila bank akan menerima corporate guarantee dan atau personal guarantee, maka bamk harus melakukan evaluasi terhadap kelayakan dan bonafiditas dari penjamin (guarantor) serta memastikan bahwa perjanjian/akta guarantee telah ditandatangani oleh pihak yang berwenang.

Terhadap keseluruhan jaminan diatas, sebenarnya pengaturan hukum yang jelas terhadap proses sebelum pelaksanaan perjanjian kredit yang dilakukan notaris kepada bank dan debitur diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dalam Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang - Undang Nomor 42 tahun 1992 tentang Fidusia, Peraturan Bank Indonesia hingga peraturan yang dibuat setiap bank mengenai proses pelaksanaan perjanjian kredit itu sendiri seperti yang telah diuraikan pada bahagian awal bab ini. Untuk itu, pengaturan hukum terhadap tugas notaris sebelum melaksanakan perjanjian kredit sangat tergantung kepada produk-produk hukum diatas dan juga jenis-jenis perjanjian kredit serta ada tidaknya agunan yang dimiliki debitur.

41

Referensi

Dokumen terkait

Uji coba produk merupakan bagian penting dalam penelitian pengembangan yang dilakukan setelah rancangan produk selesai.Uji coba produk dalam penelitian ini dilakukan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka permasalahan umum yang dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Apakah kecemasan

Pengaruh Penilaian Prestasi Kerja Karyawan Terhadap Promosi Jabatan Pada Yayasan Nurul Hayat Cabang Bojonegoro.. Skripsi Prodi Manajemen Dakwah, Jurusan Dakwah,

Industri Persiapan Serat Tekstil dan Industri Pemintalan Benang dan Industri Pertenunan (kecuali Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya) dan Industri Pakaian

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keamanan Mengkonsumsi Daging Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur adalah

akan memberi suasana yang beda dengan mengemas karya tengkorak ini dengan hasil yang lebih menarik. Pada karya tengkorak manusia ini, nantinya dalam perwujudannya karya tersebut

baik secara lisan maupun tertulis. Selain itu komunikasi sesama karyawan maupun komunikasi karyawan dan pelanggan perlu di tingkatkan. Karyawan dalam menerima

Berdasarkan hasil di lapangan melalui wawancara yang dilakukan peneliti tentang bagaimana guru memahami raos bungah siswa, maka diperoleh hasil bahwa raos bungah