R. Hendra Prima N.W 09408144038
JUDUL :
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap
Komunikasi, Etos Kerja dan Loyalitas kerja
Introduction
Gaya kepemimpinan
Pada era globalisasi saat ini, manusia memiliki kedudukan yang penting. peran sebagai seorang pemimpin sangat dibutuhkan dan kepemimpinan yang efektif menjadi syarat
utama. Kepemimpinan yang efektif bisa membantu organisasi untuk bisa bertahan dalam situasi ketidak pastian di masa datang. (Katz and Khan 1978; Koh et al. 1995; Mowday et al. 1982).
Gary Yukl (1994) mengungkapkan bahwa pemimpin yang efektif mempengaruhi para pengikutnya untuk mempunyai optimisme yang lebih besar, rasa percaya diri, serta komitmen
kepada tujuan dan misi organisasi. Dengan demikian cara-cara perilaku pemimpin dalam mengarahkan pengikutnya akan berpengaruh terhadap komitmen organisasi karyawan.
Ketidak berhasilan pemimpin dikarenakan pemimpin tidak mampu menggerakan dan
memuaskan karyawan pada suatu pekerjaan dan lingkungan tertentu. Tugas pimpinan adalah mendorong bawahan supaya memiliki kompetensi dan kesempatan berkembang dalam
mengantisipasi setiap tantangan dan peluang dalam bekerja (Lodge dan Derek, 1992).
Koonz dan O’donel mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni membujuk bawahan agar mau mengerjakan tugas–tugas dengan yakin dan semangat. Fieddler mengatakan bahwa
pengaruh terhadap orang lain atau sekelompok orang agar terbentuk kerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas.
Kepemimpinan merupakan salah satu isu dalam manajemen yang masih cukup menarik untuk diperbincangkan hingga dewasa ini. Media massa, baik elektronik maupun cetak, seringkali menampilkan opini dan pembicaraan yang membahas seputar
kepemimpinan (Locke, E.A, 1997). Peran kepemimpinan yang sangat strategis dan penting bagi pencapaian misi, visi dan tujuan suatu organisasi, merupakan salah satu motif yang
mendorong manusia untuk selalu menyelidiki seluk-beluk yang terkait dengan kepemimpinan. Kualitas dari pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor terpenting dalam keberhasilan atau kegagalan organisasi (Bass, 1990, dalam Menon, 2002)
demikian juga keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi baik yang berorientasi bisnis maupun publik, biasanya dipersepsikan sebagai keberhasilan atau kegagalan
pemimpin. Begitu pentingnya peran pemimpin sehingga isu mengenai pemimpin menjadi fokus yang menarik perhatian para peneliti bidang perilaku keorganisasian. Pemimpin memegang peran kunci dalam memformulasikan dan mengimplementasikan strategi
organisasi. (Su’ud, 2000).
Kepemimpinan secara umum menurut D.E. Mc. Farland dalam Danim (2004; 55)
diartikan sebagai suatu proses dimana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan definisi ini seorang pemimpin tim (tim
leader) berfungsi menggerakkan anggota tim untuk menyelesaikan tugas-tugas ini dengan kewenangan sesuai level otonomi yang diberikan.
juga negatif bagi lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan dan memberikan pelayanan pendidikan bagi semua kalangan masyarakat.
Loyalitas
Lembaga pun harus dapat membentuk karyawan dengan loyalitas tinggi dimana itu
adalah tugas seorang pimpinan dalam menjaga bawahannya, pembentukan loyalitas kerja memerlukan adanya kesadaran diri individu, baik langsung atau tidak langsung, serta
didukung oleh berbagai faktor dalam pembentukan kepuasan kerja. Penerapan K-3 (Kesehatan, Kesejahteraan, Keselamatan) di tempat kerja dapat mempengaruhi terbentuknya loyalitas karyawan. Fasilitas kerja yang memadai, dalam arti ruang kerja tidak sempit dan
memungkinkan karyawan bergerak bebas dan leluasa, akan menimbulkan suasana yang bisa membangkitkan semangat kerja. Keadaan tempat kerja yang baik dapat merangsang
karyawan untuk bekerja keras, semakin senang karyawan dalam bekerja. Hal ini akan menimbulkan kepuasan ekstrinsik bagi karyawan (Sihombing, 2001).
Secara umum loyalitas dapat diartikan dengan kesetiaan, pengabdian dan kepercayaan
yang diberikan atau ditujukan kepada seseorang atau lembaga, yang di dalamnya terdapat rasa cinta dan tanggung jawab untuk berusaha memberikan pelayanan dan perilaku terbaik
(Rasimin, 1988). Siswanto (1989) juga berpendapat hal yang sama bahwa loyalitas adalah tekad dan kesanggupan individu untuk mentaati, melaksanakan, mengamalkan peraturan-peraturan dengan penuh kesadaran dan sikap tanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan
Etos kerja
Etos berasal dari bahasa yunani ethos yakni karakter, cara hidup, kebiasaan
seseorang, motivasi atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka, yakni
gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan.
Dengan kata lain etos adalah aspek evaluatif sebagai sikap mendasar terhadap diri dan dunia
mereka yang direfleksikan dalam kehidupannya (Khasanah, 2004:8).
Menurut Geertz (1982:3) Etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia
yang dipancarkan hidup. Sikap disini digambarkan sebagai prinsip masing-masing individu
yang sudah menjadi keyakinannya dalam mengambil keputusan .
Menurut Gregory (2003) sejarah membuktikan negara yang dewasa ini menjadi
negara maju, dan terus berpacu dengan teknologi/informasi tinggi pada dasarnya dimulai
dengan suatu etos kerja yang sangat kuat untuk berhasil. Maka tidak dapat diabaikan etos
kerja merupakan bagian yang patut menjadi perhatian dalam keberhasilan suatu perusahaan,
perusahaan besar dan terkenal telah membuktikan bahwa etos kerja yang militan menjadi
salah satu dampak keberhasilan perusahaannya. Etos kerja seseorang erat kaitannya dengan
kepribadian, perilaku, dan karakternya. Setiap orang memiliki internal being yang
merumuskan siapa dia. Selanjutnya internal being menetapkan respon, atau reaksi terhadap
tuntutan external. Respon internal being terhadap tuntutan external dunia kerja menetapkan
etos kerja seseorang (Siregar, 2000 : 25)
Menurut Usman Pelly (1992:12), etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak
dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Dapat
dilihat dari pernyataan di muka bahwa etos kerja mempunyai dasar dari nilai budaya, yang
mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos kerja masing-masing pribadi.
Etos kerja ini dapat terbentuk apabila seorang karyawan memiliki keinginan untuk
Etos kerja ini harus dimiliki oleh setiap karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya agar
mereka dapat bekerja dengan baik dan efektif. Apabila pada suatu perusahaan atau organisasi
maupun instansi karyawan memiliki etos kerja yang rendah ketika melakukan pekerjaannya
maka perusahaan itu mengalami kerugian yang disebabkan karena karyawan tidak bekerja
dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya dengan etos kerja yang tinggi
dapat membantu meningkatkan produktifitas kerja karyawan dan memberikan hasil kerja
yang optimal baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Dengan hasil yang maksimal dari etos
kerja ini secara langsung dapat mempengaruhi kinerja karyawan dalam melaksanakan
pekerjaan mereka selanjutnya.
Komunikasi
komunikasi dalam suatu organisasi juga merupakan hal utama yang tidak kalah
pentingnya dalam mencapai tujuan organisasi. Hubungan komunikasi yang baik antara atasan
dengan bawahan, bawahan dengan atasan, dan antara bawahan dengan bawahan dalam suatu
organisasi sangat berpengaruh besar dalam menjembatani terciptanya peningkatan
produktivitas kerja karyawan di dalam organisasi tersebut.
Kemampuan seorang pemimpin dalam mengkomunikasikan visi dan misinya terhadap
bawahan merupakan salah satu prasyarat keberhasilan manajerial pemimpin tersebut.
Komunikasi yang terjadi antar karyawan, khususnya pimpinan dan bawahan akan
membentuk suatu iklim komunikasi yang dapat mempengaruhi cara hidup, kepada siapa
bicara, siapa yang disuka, bagaimana perasaan sekarang, bagaimana perkembangan
seseorang, apa yang ingin dicapai atau harapan-harapan anggota organisasi dan bagaimana
cara menyesuaikan diri dengan organisasi. Komunikasi yang kondusif akan mendorong
anggota untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan menjadi lebih baik, karena merasa diakui
eksistensinya, dipercaya, dihargai, dan dilibatkan dalam setiap kegiatan.
menurut Robbins (2002) dengan komunikasi organisasi dapat memelihara motivasi
karyawan dengan memberikan penjelasan kepada karyawan tentang apa yang harus
dilakukan, seberapa baik mereka mengerjakannya dan apa yang dapat dilakukan karyawan
untuk meningkatkan kinerjanya jika sedang berada di bawah standar.
Komunikasi merupakan bagian yang penting dalam kehidupan kerja. Hal ini mudah
dipahami sebab komunikasi yang tidak baik bisa mempunyai dampak yang luas terhadap
kehidupan organisasi, misalnya konflik antar karyawan, dan sebaliknya komunikasi yang
baik dapat meningkatkan saling pengertian, kerjasama dan juga kepuasan kerja. Mengingat
yang bekerjasama dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan merupakan
sekelompok sumber daya manusia dengan berbagai karakter, maka komunikasi yang terbuka
harus dikembangkan dengan baik. Dengan demikian masing-masing karyawan dalam
organisasi mengetahui tanggung jawab dan wewenang masing-masing. Karyawan yang
mempunyai kompetensi komunikasi yang baik akan mampu memperoleh dan
mengembangkan tugas yang diembannya, sehingga tingkat kinerja karyawan menjadi
semakin baik. Komunikasi memegang peranan penting di dalam menunjang kelancaran
aktivitas karyawan di perusahaan, lembaga dan organisasi.
Alternatif solusi (kesimpulan sementara)
Pemimpin harus lebih cakap dalam membangun komunikasi dengan bawahan agar
tercipta etos kerja yang baik dalam suatu lembaga karena akan datang dengan sendiri
loyalitas kerja yang baik dalam lembaga tersebut dan membuat karyawan menjadi betah dan
Sehingga penting diketahui pengaruh gaya kepemimpinan terhadap komunikasi kerja,
etos kerja dan loyalitas kerja sangat dapat membantu lembaga untuk menjalankan visi dan
misinya secara tepat serta secara mempengaruhi karyawan untuk menjalankan tugas dengan
baik dan dapat memahami keinginan pemimpin dalam menggerakkan lembaga kearah yang
diinginkan.
Literatur review
Gaya kepemimpinan
Kepemimpinan telah digambarkan sebagai "proses pengaruh sosial di mana satu
orang dapat meminta bantuan dan dukungan orang lain dalam pemenuhan tugas umum"
(Chemers1997). meskipun ada definisi alternatif kepemimpinan. Sebagai contoh, beberapa memahami pemimpin hanya sebagai seseorang yang orang mengikuti, atau sebagai seseorang
yang membimbing atau mengarahkan orang lain, sementara yang lain mendefinisikan
kepemimpinan sebagai "mengorganisir sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama".
Pada akhir 1940-an dan awal 1950-an, bagaimanapun, serangkaian tinjauan kualitatif
studi ini (Bird1940, Stogdill1948 ,Mann1959) mendorong peneliti untuk mengambil pandangan yang berbeda secara drastis dari kekuatan dibelakang kepemimpinan. Dalam
meninjau literatur yang ada. Stogdill dan Mann menemukan bahwa sementara beberapa ciri
yang umum di sejumlah studi, bukti keseluruhan menunjukkan bahwa orang-orang yang
merupakan pemimpin dalam satu situasi belum tentu menjadi pemimpin dalam situasi lain.
Selanjutnya, kepemimpinan tidak lagi ditandai sebagai sifat individu abadi, sebagai
pendekatan situasional (lihat teori-teori kepemimpinan alternatif di bawah ini)
mengemukakan bahwa individu dapat efektif dalam situasi tertentu, tetapi tidak yang lain.
1. fokus pada satu set kecil atribut individu seperti Lima Besar ciri kepribadian, untuk mengabaikan kemampuan kognitif, motif, nilai-nilai, keterampilan sosial, keahlian,
dan keterampilan pemecahan masalah;
2. gagal untuk mempertimbangkan pola atau integrasi dari beberapa atribut;
3. tidak membedakan antara atribut-atribut pemimpin yang umumnya tidak mudah
dibentuk dari waktu ke waktu dan mereka yang dibentuk oleh, dan terikat, pengaruh
situasional;
4. tidak menganggap seberapa stabil atribut pemimpin menjelaskan keragaman perilaku yang diperlukan untuk kepemimpinan yang efektif.
Dalam menanggapi kritik awal pendekatan sifat, teori kepemimpinan mulai penelitian
sebagai seperangkat perilaku, mengevaluasi perilaku pemimpin yang sukses, menentukan
sebuah taksonomi perilaku, dan mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang luas,
(DavidMcClelland) misalnya, mengemukakan bahwa kepemimpinan membutuhkan kepribadian yang kuat dengan ego positif yang berkembang dengan baik. Untuk memimpin,
kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi berguna, bahkan mungkin penting. (Horton1992)
KurtLewin, Ronald Lipitt, dan Ralph Putih dikembangkan pada tahun 1939 karya mani pada pengaruh gaya kepemimpinan dan kinerja. Para peneliti mengevaluasi kinerja
kelompok anak laki-laki sebelas tahun di bawah berbagai jenis iklim kerja. Dalam setiap,
pemimpin dieksekusi pengaruhnya mengenai jenis pembuatan keputusan kelompok, pujian
dan kritik (feedback), dan pengelolaan tugas kelompok (manajemen proyek) sesuai dengan
tiga gaya: otoriter, demokratis, dan laissez-faire.
Komunikasi kerja
Komunikasi di tempat kerja adalah proses pertukaran informasi, baik verbal dan
bagian masyarakat. Dalam rangka untuk menyatukan kegiatan semua karyawan, komunikasi
sangat penting. Mengkomunikasikan informasi yang diperlukan untuk seluruh tenaga kerja
menjadi perlu. Komunikasi di tempat kerja yang efektif memastikan bahwa semua tujuan
organisasi tercapai.
Komunikasi yang efektif terjadi bila efek yang diinginkan adalah hasil dari berbagi
informasi disengaja atau tidak disengaja, yang ditafsirkan antara beberapa entitas dan
bertindak dengan cara yang diinginkan. Efek ini juga menjamin pesan tidak terdistorsi selama
proses komunikasi. Komunikasi yang efektif harus menghasilkan efek yang diinginkan dan
menjaga efek, dengan potensi untuk meningkatkan efek dari pesan. Oleh karena itu,
komunikasi yang efektif melayani tujuan yang direncanakan atau dirancang. Tujuan yang
mungkin mungkin untuk mendapatkan perubahan, menghasilkan tindakan, menciptakan
pemahaman, informasi atau berkomunikasi ide tertentu atau sudut pandang. Ketika efek yang
diinginkan tidak tercapai, faktor-faktor seperti hambatan komunikasi dieksplorasi, dengan
niat yang untuk menemukan bagaimana komunikasi tidak efektif.
Etos kerja
Menurut Anoraga (2009), etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu
bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah
bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
Sinamo (2005) juga memandang bahwa etos kerja merupakan fondasi dari sukses
keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan
(habit) dan budaya kerja. Sinamo lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas, tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan
mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar.
Loyalitas kerja
Ladd dan lain-lain , termasuk Milton R. Konvitz dan Marcia W. Baron ( profesor
Filsafat di Indiana University ) , tidak setuju di antara mereka sendiri untuk obyek yang tepat loyalitas - apa itu mungkin untuk menjadi setia kepada , dengan kata lain . Ladd , seperti yang dinyatakan , menganggap kesetiaan menjadi interpersonal, dan bahwa objek loyalitas selalu
seseorang . Konvitz , menulis dalam Encyclopaedia of the History of Ideas , menyatakan bahwa loyalitas mencakup prinsip , penyebab , ide, cita-cita , agama , ideologi , negara ,
pemerintah, partai , pemimpin , keluarga, teman , daerah , kelompok ras , dan memang " siapapun atau apapun yang hati seseorang bisa menjadi melekat atau dikhususkan " . Baron setuju dengan Ladd , karena loyalitas adalah "untuk orang-orang tertentu atau sekelompok
orang , bukan kesetiaan kepada cita-cita atau sebab". Dia berpendapat , dalam monografi nya Moral Status Loyalitas , bahwa " [ w ] kita berbicara tentang penyebab ( atau cita-cita ) kita
lebih cenderung untuk mengatakan bahwa orang-orang berkomitmen untuk mereka atau dikhususkan untuk mereka daripada yang mereka setia kepada mereka " . Kleinig setuju dengan Baron , mencatat bahwa seseorang awal terbentuk dan loyalitas terkuat psikologis
tidak setuju , bagaimanapun , dengan gagasan bahwa kesetiaan dibatasi hanya untuk lampiran pribadi, mengingat " salah ( sebagai masalah logika ) ". (Kleinig1996)
Stephen Nathanson, profesor Filsafat di Northeastern University, menyatakan bahwa loyalitas dapat berupa eksklusif atau non-eksklusif, dan dapat tunggal atau ganda. Loyalitas eksklusif termasuk loyalitas kepada orang lain atau kelompok, sedangkan loyalitas
non-eksklusif tidak. Orang mungkin memiliki loyalitas tunggal, hanya satu orang, kelompok, atau hal, atau beberapa loyalitas untuk beberapa objek. Beberapa loyalitas dapat merupakan
ketidaksetiaan ke objek jika salah satu loyalitas adalah eksklusif, tidak termasuk salah satu dari yang lain. Namun, Nathanson mengamati, ini adalah kasus khusus. Dalam kasus umum, keberadaan beberapa loyalitas tidak menimbulkan ketidaksetiaan, misalnya, setia kepada
teman-teman seseorang, atau keluarga seseorang, dan masih, tanpa kontradiksi, setia kepada agama seseorang, atau profesi.
Loyalitas berbeda dalam dasar sesuai dengan fondasi yang dibangun. Loyalitas dapat dibangun atas dasar fakta-fakta tak dapat diubah yang merupakan hubungan pribadi antara subjek dan objek loyalitas, termasuk kesetiaan berdasarkan ikatan biologis, atau pada tempat
lahir (gagasan tentang kesetiaan alami dikemukakan oleh Socrates dalam teori politiknya ). Atau, di ujung spektrum, mereka dapat dibangun dari pilihan pribadi dan evaluasi kriteria
dengan tingkat penuh kebebasan, tanpa purbasangka oleh keadaan dan fakta di mana seseorang tidak memiliki kendali. Tingkat kendali yang dimiliki seseorang tidak selalu sederhana. Nathanson menunjukkan bahwa sementara seseorang tidak memiliki pilihan untuk
orang tua atau kerabat, seseorang dapat memilih untuk meninggalkan mereka. (Nathanson1993)
Loyalitas berbeda dalam kekuatan. Mereka dapat berkisar dari loyalitas tertinggi,
saling berkaitan secara. "Darah lebih kental daripada air." menyatakan sebuah pepatah, menjelaskan bahwa kesetiaan yang memiliki hubungan biologis sebagai basis mereka
umumnya lebih kuat dari loyalitas. (Nathanson1993)
Indikasi
1. Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap komunikasi kerja
Gaya kepemimpinan dan komunikasi adalah merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkah laku para karyawan. Seandainya pemimpin tidak
dapat membawahi karyawannya dan seandainya tidak ada komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan maka akan dapat menimbulkan masalah dalam proses peningkatan
kinerja perusahaan, karena para karyawan tidak dapat bekerja dengan baik sehingga kinerja mereka menurun
H1 : Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap komunikasi kerja
2. Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap etos kerja
Siagian (2002) menjelaskan bahwa etos kerja ialah norma-norma yang bersifatmengikat dan ditetapkan secara eksplisit serta praktek-praktek yang diterima dan diakuisebagai kebiasaan yang wajar untuk dipertahankan dan ditetapkan dalam
kehidupankakaryaan para anggota suatu organisasi. karena dalam suatu etika kerja mengandungseperangkat nilai atau norma kerja yang diterima sebagai pedoman pola dan
tingkah lakutenaga kerja, sedangkan watak dan nilai individu diungkapkan atau dinyatakan dalampekerjaan yang mereka lakukan. untuk hal ini dalam berbagai pengalaman dan kegiatanbahwa masyarakat pekerja sudah terbiasa dengan kebiasaan yang ada yaitu
melakukan pekerjaan sesuai dengan pekerjaan yang telah ada tanpa mau meningkatkan. sementaratuntutan kehidupan untuk saat ini dan yang akan datang selalu berubah-ubah
H2 : Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap etos kerja
3. Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap loyalitas kerja
Hal ini berarti bahwa besar pengaruhnya secara langsung antara kepemimpinan terhadap loyalitas lebih besar. Hasil penelitian ini telah mendukung penelitian Wisesa (2008)
yang telah menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan memiliki hubungan yang sangat nyata dan kuat dengan loyalitas karyawan; mendukung penelitan Stefanus, Saputra, dan Sutanto
(2010) yang telah menyatakan pemotivasian berpengaruh positif terhadap loyalitas karyawan; serta mendukung penelitian Mahesa (2010) yang telah menyebutkan bahwa motivasi kerja dan kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, dan variabel lama bekerja
memoderasi kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.
H3 :Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap loyalitas kerja
Model
H1
H3
H2
DAFTAR PUSTAKA
Gaya
kepemimpinan
Komunikasi
Kerja
Kadoena, Y. S. (2011). PENGARUH IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP TINGKAT PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN DI “CV GRAHA ILMU” YOGYAKARTA (Penelitian Survey Pada Karyawan di “CV Graha Ilmu” Yogyakarta) (Doctoral dissertation, UPN" VETERAN" YOGYAKARTA).
ADNAN, M. A. M. (2013). KAJIAN KEPEMIMPINAN WALIKOTA PEKALONGAN DALAM MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT.POLITIKA, 2(2), 78-82.
Renaldy Watimena, T. (2012). Pengaruh Budaya Organisasi dan Religiusitas terhadap Etos Kerja dan Dampaknya terhadap Loyalitas Karyawan Universitas Kristen Satya
Wacana (Doctoral dissertation, Magister Manajemen Program Pascasarjana
UKSW).
Isbah, N. (2011). Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Dan Etos Kerja Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Medan.
Rukmana, W. E., & YUNIAWAN, A. (2010). ANALISIS PENGARUH HUMAN RELATION (HUBUNGAN ANTAR MANUSIA) DAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN TERHADAP ETOS KERJA DAN KINERJA KARYAWAN DEDY JAYA PLAZA TEGAL (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS DIPONEGORO).
Kusumawati, R. (2008). ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KEPUASAN KERJA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN (Studi Kasus Pada RS Roemani Semarang) (Doctoral dissertation, PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO).
DARWITO, D. (2008). Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan (Studi pada RSUD Kota Semarang) (Doctoral dissertation, program Pascasarjana Universitas Diponegoro).
Adesya, S. (2007). HUbungan ilkim komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja karyawan bagian spinning PT Unitex Tbk Bogor.
Edwardin, L. T. A. S. (2006). ANALISIS PENGARUH KOMPETENSI KOMUNIKASI, KECERDASAN EMOSIONAL, DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN (STUDI PADA PT POS INDONESIA (PERSERO) SE KOTA SEMARANG) (Doctoral dissertation, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).
Chemers M. (1997) An integrative theory of leadership. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.ISBN 978-0-8058-2679-1
Horton, Thomas. New York The CEO Paradox (1992)
http://www.stan.ac.id/kategori/index/9/page/aspek-aspek-etos-kerja-dan-faktor-faktor-yang-mempengaruhinya
Kleinig, John (1996). The ethics of policing. Cambridge studies in philosophy and public policy. Cambridge University Press. p. 291. ISBN0-521-48433-2.
Nathanson, Stephen (1993). Patriotism, morality, and peace. New Feminist Perspective Series. Rowman & Littlefield. pp. 106–109. ISBN0-8476-7800-8.
Tobing, A. P. (2011). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Komunikasi Terhadap Kinerja Karyawan Pada Cherry Hotel Group Medan.
Malang, D. M. S. A. (2010). PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, DISIPLIN KERJA DAN MOTIVASI KEPALA SEKOLAH TERHADAP ETOS KERJA GURU DI SMP NEGERI 48 PALEMBANG SUMATERA SELATAN Oleh: Ike Kusdyah Rachmawati*). Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi ASIA Vol, 4(2).
Arifin, T. MODEL PENINGKATAN LOYALITAS DOSEN MELALUI KEPUASAN KERJA DOSEN.