• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Potensi Resiko Banjir Pada DAS Yang Mencakup Kota Medan Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Potensi Resiko Banjir Pada DAS Yang Mencakup Kota Medan Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG)"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) 2.1.1 Pengertian DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam istilah asing disebut catchment area,

drainage area, drainage basin, river basin, atau watershed (Notohadiprawiro, 1981;

Cech, 2005). Pengertian yang berkembang di Indonesia, terdapat tiga terminologi sesuai

dengan luas dan cakupannya yaitu: Catchment, Watershed dan Basin. Tidak ada

batasan baku, tetapi selama ini dipahami bahwa catchment lebih kecil dari watershed,

dan basin adalah DAS besar (Priyono dan Savitri, 2001). Definisi lain menyatakan

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang menerima, menampung

dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan ke laut atau danau melalui satu

sungai utama. Dengan demikian suatu DAS akan dipisahkan dari wilayah DAS lain di

sekitarnya oleh batas alam (topografi) berupa punggung bukit atau gunung. Dengan

demikian seluruh wilayah daratan habis berbagi ke dalam uni-unit Daerah Aliran

Sungai (DAS) (Asdak, 1995).

DAS biasanya dibagi menjadi tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir.

Fungsi suatu DAS merupakan suatu respon gabungan yang dilakukan oleh seluruh

faktor alamiah dan buatan manusia dan yang ada pada DAS tersebut. Sebuah DAS yang

besar dapat dibagi menjadi Sub DAS-Sub DAS yang lebih kecil ditampilkan pada

Gambar 2.1. Unit spasial yang lebih kecil dapat dibentuk pada SubDAS untuk

melakukan analisa spasial yang lebih akurat berdasarkan jenis tanah dan penggunaan

(2)

Faktor utama kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan

menyimpannya yang menyebabkan tingginya laju erosi dan debit banjir

sungai-sungainya. Faktor utama penyebab adalah 1)hilang/rusaknya penutupan vegetasi

permanen/hutan, 2)penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, dan

3)penerapan teknologi pengelolaan lahan/pengelolaan DAS yang tidak tepat

(Sinukaban, 2007).

Gambar 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.1.2 Pengertian Sungai

Dalam siklus hidrologi, aliran sungai digolongkan sebagai aliran permukaan.

Air sungai bisa berasal dari air hujan (terutama di daerah tropis) dan bisa pula berasal

dari es yang mencair di gunung atau pegunungan (terutama di daerah empat musim).

Oleh karena itu, debit air sungai bisa sangat dipengaruhi oleh musim. Bagi kita di

Indonesia yang berada di daerah tropis, debit air sungai akan tinggi bila musim hujan

dan rendah di musim kemarau. Sementara itu, di daerah empat musim, debit aliran

sungai meningkat ketika musim dingin berakhir karena salju mencair. Menurut Sandy

(1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu juga mengikis bumi

sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil

(3)

Sebagian besar air hujan yang turun ke permukaan tanah mengalir ke

tempat-tempat yang lebih rendah. Setelah mengalami bermacam macam perlawanan akibat

gaya berat, air hujan akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatu alur yang panjang

di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan disebut alur

sungai. Dan perpaduan antara alur sungai dan aliran air didalamnya disebut sungai.

Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, di mana air akan

mengalir melalui sungai dan anak sungai disebut daerah aliran sungai (DAS). Dalam

istilah bahasa inggris disebut Catchment Area, Watershed, atau River Basin.

Menurut Waryono (2001) bahwa struktur sungai pada hakekatnya merupakan

bentuk luar penampang badan sungai yang memiliki karakteristik berbeda pada bagian

hulu, tengah, dan hilir. Lebih jauh dikemukakan bahwa bagian dari struktur sungai

meliputi badan sungai, tanggul sungai dan bantaran sungai. Forman (1986)

menggambarkan struktur koridor sungai secara rinci ditampilkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur Koridor Sungai

Keterangan:

A: Penyangga tepian sungai. D: Batas tinggi air semu.

B: Dataran banjir. E: Dasar sungai.

(4)

Fungsi pokok sungai adalah untuk mengalirkan kelebihan air dari permukaan

tanah, sedangkan fungsi lainnya adalah dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia,

seperti sumber air minum, PLTA, pengairan, transportasi air, untuk meninggikan tanah

yang rendah dan mengatur suhu tanah. Menurut peraturan perundangan yang ada,

fungsi sungai adalah:

a. Sungai sebagai sumber air yang merupakan salah satu sumber daya alam

yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan manusia.

b. Sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan

pemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

2.1.3 Bentuk bentuk Daerah Aliran Sungai

Bentuk bentuk DAS dapat dibagi dalam empat, antara lain: a. Bentuk memanjang/ bulu burung.

b. Bentuk radial.

c. Bentuk parallel.

d. Bentuk komplek.

a. Bentuk memanjang/ bulu burung

Bentuk DAS ini biasanya akan memanjang dengan anak-anak sungainya

langsung mengalir ke induk sungai yang berbentuk seperti bulu burung.

Bentuk ini akan menyebabkan besar aliran banjir relatif lebih kecil karena

perjalanan banjir dari anak sungai itu berbeda beda dan banjir berlangsung

(5)

Gambar 2.3 DAS bentuk memanjang

b. Bentuk radial

Bentuk DAS ini seolah olah memusat pada satu titik sehingga

menggambarkan adanya bentuk radial, kadang-kadang gambaran tersebut

memberi bentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut

maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru anak

sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Sebagai contoh DAS

Bengawan Solo ditampilkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 DAS bentuk radial

c. Bentuk paralel

DAS ini dibentuk oleh dua jalur DAS yang bersatu dibagian hilir. Dan

(6)

pertemuan. Sebagai contoh adalah banjir di Batang Hari di bawah

pertemuan Batang Tembesi ditampilkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 DAS bentuk paralel

d. Bentuk komplek

DAS bentuk komplek merupakan bentuk kejadian gabungan dari

beberapa bentuk DAS yang dijelaskan di atas, sebagai contoh

ditampilkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 DAS bentuk komplek

2.2 Potensi Banjir 2.2.1 Pengertian Banjir

Dalam ilmu geografi istilah “banjir” tidak dapat di definisikan dengan

(7)

peristiwa meluapnya air sungai melampaui tanggulnya sehingga menggenangi daratan

disampingnya (Strahler, 1975). Pengertian ini tidak mempersalahkan apakah banjir

adalah suatu bencana atau bukan. Pengertian ini memandang “banjir” sebagai suatu

istilah yang bermakna sosial-budaya, karena suatu tempat dikatakan dilanda banjir jika

tempat itu adalah daerah budi daya manusia yang tidak semestinya dilanda banjir, jika

tempat itu adalah suatu hutan atau suatu permukiman yang terdiri atas rumah-rumah

panggung yang dibuat untuk menghindari naiknya permukaan setiap musim, maka itu

tidak dikatakan banjir oleh mereka. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa

istilah banjir itu tidak dipakai secara konsisten. Terkadang disamakan dengan

“genangan”. padahal tidak semua genangan disebabkan oleh meluapnya sungai,

misalnya genangan di ruas jalan yang cekung. Namun yang jelas kata “banjir” akan

memunculkan kesan ”genangan” dipikiran kita.

Banjir adalah setiap aliran yang relatif tinggi yang melampaui tanggul sungai sehingga aliran air menyebar ke dataran sungai dan menimbulkan masalah pada

manusia (Chow, 1970). Definisi di atas menjelaskan bahwa banjir terjadi apabila

kapasitas alir sungai telah terlampaui dan air telah menyebar ke dataran banjir, bahkan

lebih jauh yang mengakibatkan terjadinya genangan. Genangan air tidak dikatakan

banjir apabila tidak menimbulkan masalah bagi manusia yang tinggal pada daerah

genangan tersebut. Menurut Hasibuan (2004), banjir adalah jumlah debit air yang melebihi kapasitas pengaliran air tertentu, ataupun meluapnya aliran air pada palung

sungai atau saluran sehingga air melimpah dari kiri kanan tanggul sungai atau saluran.

Dalam kepentingan yang lebih teknis, banjir dapat disebut sebagai genangan air

(8)

1. Perubahan tata guna lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS).

2. Pembuangan sampah.

3. Erosi dan sedimentasi.

4. Kawasan kumuh sepanjang jalur drainase.

5. Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat.

6. Curah hujan yang tinggi.

7. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai.

8. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai.

9. Pengaruh air pasang.

10. Penurunan tanah dan rob (genangan akibat pasang surut air laut).

11. Drainase lahan.

12. Bendung dan bangunan air.

13. Kerusakan bangunan pengendali banjir (Kodoatie, 2005).

2.2.2 Daerah Rawan Banjir

Untuk mereduksi kerugian akibat banjir, maka lebih dulu harus diketahui secara

pasti daerah rawan banjir. Daerah rawan banjir dapat dikenali berdasarkan karakter

wilayah banjir yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. limpasan dari tepi sungai.

2. wilayah cekungan.

3. banjir akibat pasang surut.

Menurut Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan

(9)

penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan

ditampilkan pada Gambar 2.7. Elevasi dan debit banjir daerah rawan banjir

sekurang-kurangnya ditentukan berdasarkan analisis perioda ulang 50 tahunan.

Tingkat resiko di daerah rawan banjir bervariasi tergantung ketinggian

permukaan tanah setempat. Dengan menggunakan peta kontur ketinggian permukaan

tanah serta melalui analisis hidrologi dan hidrolika dapat ditentukan pembagian dataran

banjir menurut tingkat resiko terhadap banjir. Pembagian daerah rawan banjir

digunakan sebagai bahan acuan penataan ruang wilayah perkotaan sehingga diketahui

resiko banjir yang akan terjadi. Dengan mengikuti pemetaan daerah rawan banjir yang

telah diperbaiki maka resiko terjadi bencana/kerusakan/kerugian akibat genangan banjir

yang diderita oleh masyarakat menjadi minimal.

Gambar 2.7: Daerah Penguasaan Sungai

Gambar 2.7 Daerah Penguasaan Sungai

2.2.3 Tingkat Bahaya Banjir

Banjir terjadi sepanjang sistem sungai dan anak-anak sungainya yang mampu

membanjiri wilayah luas dan mendorong peluapan air di dataran banjirnya (flood plain).

(10)

kala ulang banjirnya. Dataran banjir di sekitar bantaran sungai yang masuk dalam

daerah genangan pada debit banjir tahunan Q100 merupakan daerah rawan banjir yang

sangat tinggi dijelaskan pada Tabel 2.1 menjelaskan klasifikasi ini yang akan diadopsi

dalam studi ini.

Tabel 2.1 Tingkat Bahaya Banjir menurut Periode Kala Ulang

Kelas Kala Ulang Daerah Rawan

diantaranya telah dan sedang berubah menjadi wilayah terbangun/perkotaan. Wilayah

tersebut terdiri dari catchment area sungai Deli bagian downstream (17 km2), Sungai

sikambing (40 km2), Sungai Babura (99 km2), dan sisi kiri kanan Sungai Deli hingga ke

Deli Tua/Namorambe (44 km2). Catchment area selebihnya (158 km2) yakni terhitung

dari Delitua/Namorambe hingga Sembahe/Sibolangit/Gunung Sibayak merupakan

lahan pertanian, kebun campuran dan hutan tanaman industri dan hutan alam.

Kemiringan dasar Sungai Deli rata-rata ialah 0.00611 dan pada daerah yang landai atau

mild slope ialah 0.0008. Berdasarkan pengamatan kejadian-kejadian banjir di Kota

Medan maka ancaman banjir paling ekstrem ialah apabila banjir Sungai Deli dan

Babura (river flood) terjadi bersamaan dengan hujan di atas Kota Medan (urban storm

(11)

Sesuai dengan kondisi topografi Kota Medan maka sistem saluran drainase

Kota Medan jarang yang bermuara ke Sungai Belawan sehingga banjir Sungai Belawan

tidak terlalu banyak mempengaruhi sistem drainase Kota Medan. Demikian juga banjir

Sungai Percut sudah tidak menjadi ancaman karena telah selesai dinormalisasi hingga

ke muara yakni untuk debit banjir periode ulang 30 tahun, termasuk menampung

pengalihan debit Sungai Deli melalui Floodway. Drainase primer Sungai Sikambing

juga sudah selesai dinormalisasi ialah pada bagian downstream yakni JL. Kejaksaan

hingga muara Belawan yakni untuk debit banjir periode ulang 20 tahun. Sementara itu,

penampang Sungai Deli antara titi kuning (Floodway) dan JL. Kejaksaan masih rawan

banjir karena belum dinormalisasi. Kapasitas penampang Sungai Deli pada bagian ini

masih rendah yakni hanya mampu menampung debit banjir periode ulang 2 tahun yaitu

sebesar 160 m3/det (Ginting, 2012). Perkiraan debit banjir Sungai Deli pada beberapa

ruas (section) untuk berbagai periode ulang menurut hasil analisis yang dilaporkan pada

study JICA (1992) ditampilkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Perkiraan Debit Banjir untuk berbagai Periode Ulang

(12)

Tabel 2.2 Perkiraan Debit Banjir untuk Periode Ulang Sungai Deli

Dari hasil analisis tersebut pada Gambar 2.8 di atas dapat dilihat bahwa debit

banjir Sungai Deli pada bagian yang belum dinormalisasi yakni antara JL. Kejaksaan

dan titi kuning untuk periode 10 tahun adalah sebesar Q3 = 260 m3/det. Jika debit banjir

periode ulang 10 tahun yakni Q3 = 260 m3/det dibandingkan dengan kapasitas

penampang pada bagian ini yakni 160 m3/det, maka pada kejadian banjir periode ulang

10 tahun akan terjadi potensi banjir yang mengancam permukiman penduduk sebesar

100 m3/det.

2.2.5 Potensi Banjir Sungai Babura

Selanjutnya, Sungai Babura yang merupakan anak Sungai Deli adalah sungai

yang sangat potensil sebagai ancaman banjir Kota Medan karena disamping watershed

sungai ini seluruhnya berada pada wilayah penyangga perkembangan Kota Medan,

pembangunan pemukiman sangat pesat di wilayah ini dan penampang sungai ini belum

pernah dinormalisasi. Kemiringan dasar sungai rata-rata ialah 0.00236 dan pada daerah

landai atau mild slope ialah 0.00187. Menurut hasil studi dan analisis JICA dan

MMUDP, kapasitas penampang Sungai Babura yang ada pada saat ini (natural) hanya

(13)

hasil analisis yang tertera pada gambar 2.8 dapat diketahui bahwa debit Sungai Babura

yang masuk ke Sungai Deli dijelaskan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Perkiraan Debit Banjir untuk Periode Ulang Sungai Babura

Periode Ulang (Tahun)

Jadi bila dibandingkan dengan kapasitas penampang Sungai Babura yakni 69

m3/det, maka potensi banjir Sungai Babura yang mengancam permukiman penduduk

untuk periode ulang 10 tahun ialah sebesar 91 m3/det.

2.3 Curah Hujan

2.3.1 Faktor Curah Hujan

Faktor curah hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor utama penyebab banjir. Wilayah Indonesia yang merupakan benua maritim di daerah tropis mempunyai

curah hujan yang sangat tinggi. Dengan didominasi oleh adanya awan-awan konvektif

dan orografik yang sangat tinggi. Dengan didominasi oleh adanya

awan-awan konvektif dan orografik maka intensitas curah hujan yang terjadi sangat

besar. Curah hujan yang tinggi, lereng yang curam di daerah hulu disertai dengan

perubahan ekosistem dari tanaman tahunan atau tanaman keras berakar dalam ke

tanaman semusim berakar dangkal mengakibatkan berkurangnya air yang disimpan

dalam tanah, memperbesar aliran permukaan serta menyebabkan terjadinya tanah

(14)

diserap tanah akan dilepas sebagai aliran permukaan yang akhirnya menimbulkan

banjir.

2.3.2 Analisa Curah Hujan Kawasan

a. Metode Aritmatik (Aljabar)

Metode ini merupakan perhitungan curah hujan wilayah dengan rata-rata

aljabar curah hujan di dalam dan sekitar wilayah yang bersangkutan.

(2.1)

di mana: R = Curah hujan rata-rata wilayah atau daerah.

Ri = Curah hujan di stasiun pengamatan ke-i.

n = Jumlah stasiun pengamatan.

Hasil perhitungan yang diperoleh dengan cara aritmatik ini hampir sama

dengan cara lain apabila jumlah stasiun pengamatan cukup banyak dan

tersebar merata di seluruh wilayah seperti ditunjukkan pada Gambar 2.9.

Keuntungan perhitungan dengan cara ini adalah lebih objektif.

(15)

b. Metode Thiessen

Jika titik-titik di daerah pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar

merata, maka cara perhitungan curah hujan dilakukan dengan

memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan ditampilkan pada

Gambar 2.10.

(2.2)

di mana: R = Curah hujan daerah.

Rn = Curah hujan di setiap stasiun pengamatan.

An = Luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengamatan.

Gambar 2.10 Polygon Thiessen

c. Metode Isohyet

Peta isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan 10 mm – 20 mm

berdasarkan data curah hujan pada stasiun pengamatan di dalam dan di luar

daerah yang dimaksud. Luas bagian antara dua garis isohyet yang berdekatan

diukur dengan Planimeter ditampilkan pada Gambar 2.11. Curah hujan

(16)

(2.3)

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi

memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan

untuk membuat isohyet.

Gambar 2.11 Metode Isohyet

2.3.3 Analisa Frekuensi

Analisis frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu kejadian

pada masa lalu atau masa yang akan datang. Prosedur tersebut dapat digunakan

menentukan hujan rancangan dalam berbagai kala ulang berdasarkan distribusi yang

paling sesuai antara distribusi hujan secara teoritik dengan distribusi hujan secara

empirik. Hujan rancangan ini digunakan untuk menentukan intensitas hujan yang

diperlukan dalam perhitungan debit banjir menggunakan metode rasional. Dalam

penelitian ini dihitung hujan harian rancangan dengan kala ulang 2, 3, 5, 10, 25, 50, dan

100 tahun Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi metode

yang dipakai dalam analisis frekuensi data curah hujan harian maksimum adalah

(17)

2. Distribusi Log Pearson Tipe III.

Sn = Standar deviation tergantung pada jumlah sampel/data.

Tr = Fungsi waktu balik (tahun).

Yn = Reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n.

2. Distribusi Log Pearson Tipe II

Metode ini telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang

dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tiga

parameter penting dalam Metode Log Pearson Tipe III, yaitu:

1. Harga rata-rata (R).

2. Simpangan baku (S).

(18)

𝑅 = Log R (2.7)

Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis

(19)

4. Metode Distribusi Log Normal

Logn xTxk n (2.14)

di mana: 𝐼T = Intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun.

x = Harga rata rata dari populasi x.

K = Faktor frekuensi.

n = Standar deviasi dari populasi x.

2.3.4 Uji kecocokan (Goodness of fittest test)

Penguji parameter untuk menguji kecocokan (the goodness of fittest test)

distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan

dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Penelitian ini

menggunakan Metode Smirnov-Kolmogorof (secara analitis). Pengujian probabilitas

Metode Smirnov-Kolmograf dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:

1. Urutkan data (Xi) dari besar ke kecil atau sebaliknya.

2. Tentukan peluang empiris masing-masing data yang sudah diurut tersebut

(Xi) dengan rumus tertentu, misalnya rumus weibull.

𝑃(𝑋𝑖) = 𝑛+1

𝑖 (2.15)

dimana: n = Jumlah data

i = Nomor urut data diurut dari besar ke kecil atau sebaliknya.

3. Tentukan peluang teoritis masing-masing data yang sudah di urut tersebut

P’(Xi) berdasarkan persamaan distribusi probablitas yang dipilih (Gumbel,

Normal, dan sebagainya).

(20)

∆𝑃𝑖 = 𝑃(𝑋𝑖) − 𝑃(𝑋𝑖) (2.16)

5. Tentukan apakah ∆Pi<∆P kritis, jika “tidak” artinya Distribusi Probabilitas

yang dipilih tidak dapat diterima, demikian sebaliknya.

6. ∆P kritis dijelaskan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Tabel Nilai ∆𝐏 Kritis Smirnov-Kolmogrov (Kamiana, 2011)

N (derajat kepercayaan)

kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi, Lubis (1992). Dalam penelitian ini

intensitas hujan diturunkan dari data curah hujan harian. Menurut Lubis (1992)

intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empirik

(21)

2.3.6 Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ketempat keluar DAS (Titik Kontrol)

setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Salah satu rumus untuk

memperkirakan waktu konsentrasi (tc) adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich

(1940), yang dapat ditulis sebagai berikut:

Tc = 0.00025 (L/√S)0.8 (2.18)

di mana: L = Panjang saluran utama dari hulu sampai penguras dalam km.

S = Kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m.

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakan menjadi dua

komponen, yaitu:

1. Inlet time (t0) yakni waktu yang diperlukan air untuk mengalir di

permukaan lahan sampai saluran terdekat.

2. Conduit time (td)yakni waktu perjalanan dari pertama masuk sampai titik

keluaran.

tc = t0 + td (2.19)

di mana: t0 = 23 x 3,28 x Ls x n (menit).

td = Ls 60 V (menit).

n = Angka kekasaran Manning.

Ls = Panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m).

2.3.7 Koefisien Limpasan

Nilai koefisien limpasan ataupun koefisien pengaliran sangat berpengaruh

terhadap debit banjir. Limpasan air hujan yang langsung mengalir di atas permukaan

(22)

saluran drainase dan yang nantinya menuju ke saluran primer atau sungai, tergantung

dari tata guna lahan di sekitar saluran tersebut. Nilai koefisien ini juga dapat digunakan

untuk menentukan kondisi fisik dari suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang artinya

memiliki kondisi fisik yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kodoatie dan

Syarief (2005) yang menyatakan bahwa angka koefisien aliran permukaan itu

merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C

berkisar antara 0 – 1, nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terinterepsi dan

terinfiltrasi ke dalam tanah dan sebaliknya untuk C = 1 menunjukkan bahwa semua air

hujan mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Perubahan tata guna lahan yang

terjadi secara langsung mempengaruhi debit puncak yang terjadi pada suatu DAS.

Tabel 2.5 Nilai Koefisien Limpasan

Halaman, jalan kereta api dan sejenisnya 0.20-0.35

(23)

2.4 Debit Banjir 2.4.1 Debit Banjir

Daerah dataran banjir diprediksi berdasarkan debit banjir dengan kala ulang

tertentu. Debit banjir dengan kala ulang 100 tahun Q100 bermakna banjir yang memiliki

probabilitas kejadian 0.01 dalam setahun yang akan menggenangi daerah dataran banjir.

Daerah dataran banjir Q100 tentu jauh lebih besar dari daerah dataran banjir Q10.

Mengingat banyak sungai di Indonesia yang tidak dilengkapi dengan alat pengukur

debit, maka debit banjir biasanya dihitung berdasarkan curah hujan dengan

menggunakan metode Gumbel, metode Log Pearson III, ataupun metode Normal. Dan

perhitungan debit banjir digunakan dengan metode hidrograf sintetis (Nakayasu,

Snyder, dll) untuk pemodelan unsteady flow dan metode rasional untuk steady flow.

2.4.2 Metode Perhitungan Debit Banjir 2.4.2.1 Metode Rasional

Besarnya debit rencana dihitung dengan memakai metode Rasional kalau

daerah alirannya kurang dari 80 Ha. Untuk daerah yang alirannya lebih luas sampai

dengan 5000 Ha, dapat digunakan metode rasional yang diubah. Untuk luas daerah

yang lebih dari 5000 Ha, digunakan hidrograf satuan atau metode rasional yang diubah.

Rumus metode rasional adalah sebagai berikut:

Q = f x C x I x A (2.20)

di mana: C = Koefisien pengaliran.

I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam).

(24)

f = Faktor konversi = 0.278.

2.4.2.2 Metode Hidrograf Banjir

Kebanyakan daerah aliran sungai sebagian besar curah hujan akan menjadi

limpasan langsung. Aliran semacam ini dapat menghasilkan puncak banjir yang tinggi.

Teori hidrograf satuan menghubungkan hujan netto atau hujan efektif, yaitu sebagian

hujan total yang menyebabkan adanya limpasan permukaan, dengan hidrograf

limpasan langsung sehingga merupakan sarana untuk menghitung hidrograf akibat

hujan sembarang. Ini dikerjakan atas dasar anggapan bahwa transformasi hujan netto

menjadi limpasan langsung tidak berubah karena waktu (time invariant). Dari sudut

limpasan langsung semua hujan yang tidak memberikan sumbangan terhadap

terjadinya banjir dipandang sebagai kehilangan. Kehilangan tersebut terdiri atas:

a. Air hujan yang tersangkut didahan pohon dan tumbuhan (interception).

b. Tampungan di cekungan (depression storage).

c. Pengisian lengas tanah (replenisment of soil moisture).

d. Pengisian air tanah (recharge).

e. Evapotranspirasi.

Jadi hidrograf tersebut didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur

aliran terhadap waktu. Berdasarkan definisi tersebut dikenal ada 2 macam hidrograf,

yaitu hidrograf muka air dan hidrograf debit. Hidrograf muka air tidak lain adalah data

atau garafik hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level Recorder). Sedangkan

hidrograf debit, yang dalam pengertian sehari hari disebut hidrograf, diperoleh dari

(25)

aliran permukaan, yang berasal dari aliran langsung air hujan, dan aliran dasar (base

flow). Aliran dasar berasal dari air tanah yang pada umumnya tidak memberikan respon

yang cepat terhadap hujan.

1. Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh

hujan efektif yang terjadi merata diseluruh DAS dan dengan intensitas tetap selama satu

satuan waktu yang ditetapkan, yang disebut hujan satuan. Hujan satuan adalah curah

hujan yang lamanya sedimikian rupa sehingga lamanya limpasan permukaan tidak

menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi pendek. Jadi hujan satuan yang

dipilih adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari periode naik hidrograf (waktu

dari titik permulaan aliran permukaan sampai puncak). Periode limpasan dari hujan

satuan semuanya adalah kira kira sama dan tidak ada sangkut pautnya dengan intensitas

hujan. Hidrograf satuan merupakan model sederhana yang menyatakan respon DAS

terhadap hujan. Tujuan dari hidrograf satuan adalah untuk memperkirakan hubungan

antara hujan efektif dan aliran permukaan. Konsep hidrograf saatuan pertama kali

dikemukakan oleh Sherman pada tahun 1932. Dia menyatakan bahwa suatu sistem DAS

mempunyai sifat khas yang menyatakan respon DAS terhadap suatu masukan tertentu

yang berdasarkan 3 prinsip:

a. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu,

intensitas hujan yang berbeda tetapi memiliki durasi sama, akan

menghasilkan limpasan dengan durasi sama, meskipun jumlahnya berbeda.

(26)

b. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu,

intensitas hujan yang berbeda tetapi memiliki durasi sama, akan

menghasilkan hidrograf limpasan, dimana ordinatnya pada sembarang

waktu memiliki proposi yang sama dengan proposi intensitas hujan efektif.

Dengan kata lain, ordinat hidrograf satuan sebanding dengan volume hujan

efektif yang menimbulkannya. Hal ini berarti bahwa hujan sebanyak n kali

lipat dalam satuan waktu tertentu akan menghasilkan suatu hidrograf

dengan ordinat sebesar n kali lipat.

c. Prinsip superposisi dipakai pada hidrograf yang dihasilkan oleh hujan

efektif berintensitas seragam yang memiliki periode periode yang

berdekatan atau tersendiri. Jadi, hidrograf yang merepresentasikan

kombinasi beberapa kejadian aliran permukaan adalah jumlah dari ordinat

hidrograf tunggal yang memberi kontribusi.

Ketiga asumsi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tanggapan DAS

terhadap hujan adalah linier, walaupun sebenarnya kurang tepat. Namun demikian,

penggunaan hidrograf satuan telah banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk

berbagai kondisi. Sehingga, teori hidrograf satuan banyak dipakai dalam menentukan

debit atau banjir rencana.

2. Hidrograf satuan sintetik

Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa untuk menurunkan hidrograf

satuan diperlukan rekaman data limpasan dan data hujan, padahal sering kita jumpai

(27)

hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data-data dari sungai pada DAS yang sama

atau DAS terdekat yang mempunyai karakteristik yang sama. Karakteristik atau

parameter daerah pengaliran tersebut terlebih dahulu perlu dicari waktu, lebar dasar,

luas, kemiringan, panjang, koefisien limpasan dan lain sebagainya. Hasil dari

penurunan hidrograf satuan ini dinamakan hidrograf satuan sintetik (HSS). Ada tiga

jenis hidrograf satuan sintetis, yaitu:

1. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu.

2. Hidrograf Satuan Sintetik Snyder.

3. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I.

4. Hidrograf Satuan Sintetik SCS.

Dalam penelitian ini hanya akan dibahas mengenai Hidrograf Satuan Sintetik

Nakayasu. Hidrograf tersebut penulis rasa cocok dengan kedaan lokasi studi di DAS

Deli dan DAS Belawan khususnya pada sungai utama dan anak sungainya di kedua

DAS tersebut yaitu Sungai Deli, Sungai Babura, dan Sungai Belawan.

3. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Stasiun pengukur debit dan tinggi muka air sungai (stasiun hidrometri) pada

umumnya hanya dipasang di tempat tempat tertentu yang dipandang oleh pengelolanya

mempunyai arti yang cukup penting. Hal tersebut disebabkan karena tidak mungkin

memasang stasiun hidrometri disembarang tempat dan biaya pemasangannya juga

tidak murah. Namun masalah yang banyak timbul adalah ketidak-cocokan antara

rencana pengembangan jaringan stasiun hidrometri. Pengembangan suatu daerah

(28)

selekasnya diikuti dengan keiatan pengumpulan data. Hingga pada saat dibutuhkan

untuk analisis data tidak tersedia, atau tersedia dalam jangka waktu yang sangat

pendek.

Untuk mengatasi hal ini sebenarnya di Indonesia telah dikenal dan banyak

digunakan berbagai cara untuk memperkirakan banjir rancangan yang didasarkan atas

persamaan rasional. Cara ini mengandalkan data curah hujan sebagai dasar hitungan.

Namun dari penelitian terbukti bahwa metode seperti Melchior, Der Weduwen dan

Haspers mempunyai penyimpangan yang berkisar antara 2% - 80%, dengan

penyimpangan rata rata berturut turut sebesar 89%, 85% dan 56%. Selain itu tercatat

pula bahwa 77% dari kasus yang ditinjau menunjukkan perkiraan lebih

(overestimated). Cara- cara rasional untuk memperkirakan banjir yang mendapatkan

kritikan tajam, karena pemakaian koefisien limpasan (runoff coefficient) mengundang

subjektivitas yang sangat besar dan merupakan salah satu faktor penyebab

penyimpangannya. Penyebab lainnya adalah koefisien reduksi (reduction coefficient).

Persamaan rasional hanya dianjurkan untuk DAS kecil kurang dari 80 hektar

atau untuk DAS yang memiliki unsur unsur penyusun yang seragam. Dalam

perancangan diharapkan perkiraan banjir rancangan yang menyimpang sekecil

mungkin. Sudah barang tentu perkiraan yang tepat tidak akan dapat diharapkan, karena

proses pengalihragaman hujan menjadi banjir merupakan proses alam yang sangat

kompleks yang tidak dapat diungkapkan dengan persamaan matematik secara tuntas.

Cara lain yang lebih baik hampir seluruhnya menuntut ketersediaan data pengukuran

sungai yang memadai. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ini merupakan salah satu

upaya untuk mengatasi kesulitan kesulitan tersebut. Cara ini dapat digunakan

(29)

tidaknya data pengukuran sungai. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa kegiatan

hidrometrik masih tetap merupakan pilihan utama, sehingga walaupun telah ditemukan

cara pendekatan yang akan banyak mengatasi masalah kelangkaan data, namun prioritas

pengukuran sungai ditempat mutlak masih diperlukan. Hidrograf satuan ini secara

sederhana dapat ditampilkan pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Kurva Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Nakayasu (1950) telah menyelidiki hidrograf satuan di Jepang dan memberikan

seperangkat persamaan untuk membentuk suatu hidrograf satuan sebagai berikut:

1. Waktu kelambatan (tg), rumusnya:

untuk L > 15 𝑘𝑚: 𝑡𝑔 = 0,4 + 0, 058 𝑥𝐿 (2.21)

untuk L < 15 𝑘𝑚: 𝑡𝑔 = 0,21 𝑥𝐿0,7 (2.22)

2. Waktu puncak dan debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan

sebagai berikut:

(30)

3. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak:

𝑡0,3 = 𝛼𝑥𝑡𝑔 (2.24)

4. Waktu puncak:

𝑡𝑝 = 𝑡𝑔 + 0,8 𝑇𝑟 (2.25)

5. Debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:

𝑄𝑝 = 1

HEC-RAS merupakan program aplikasi untuk pemodelan aliran saluran terbuka

seperti drainase, sungai, dan penampang saluran terbuka lainnya. River Analysis System

(31)

di bawah US Army Corps of Engineers (USACE). HEC-RAS dapat menyajikan

merupakan pemodelan satu dimensi aliran tunak maupun tak-tunak (steady and

unsteady onedimensionalflow model). HEC-RAS memiliki empat komponen model satu

dimensi: (1) hitungan profil muka air aliran tunak, (2) simulasi aliran tak-tunak, (3)

hitungan angkutan sedimen, dan (4) hitungan kualitas air. Dalam pemodelan, input

HEC-RAS untuk pemodelan keempat komponen tersebut dapat memakai data geometri

yang sama, routine hitungan hidraulika yang sama, serta beberapa fitur desain hidraulik

yang dapat diakses setelah hitungan profil muka air dilakukan. HEC-RAS merupakan

program aplikasi yang mengintegrasikan fitur graphical user interface, analisis

hidraulik, manajemen dan penyimpanan data, grafik, serta pelaporan.

2.5.1 Graphical user interface

Interface ini berfungsi sebagai penghubung antara pemakai dan HEC-RAS.

Graphical interface dibuat untuk memudahkan pemakaian HEC-RAS dengan tetap

mempertahankan efisiensi. Melalui graphical interface ini, dimungkinkan untuk

melakukan hal-hal berikut ini:

1. Manajemen file.

2. Menginputkan data serta mengeditnya.

3. Melakukan analisis hidraulik.

4. Menampilkan data masukan maupun hasil analisis dalam bentuk tabel dan

grafik.

5. Penyusunan laporan.

(32)

2.5.2 Analisis Hidraulika

Steady Flow Water Surface Component. Modul ini berfungsi untuk menghitung

profil muka air aliran permanen berubah beraturan (steady gradually varied flow).

Program ini mampu memodelkan jaringan sungai, sungai dendritik, maupun sungai

tunggal. Regime aliran yang dapat dimodelkan adalah aliran sub-kritik, super- kritik,

maupun campuran antara keduanya.

Modul aliran permanen HEC-RAS mampu memperhitungkan pengaruh berbagai

hambatan aliran, seperti jembatan (bridges), gorong-gorong (culverts), bendung (weirs),

ataupun hambatan di bantaran sungai. Modul aliran permanen dirancang untuk dipakai

pada permasalahan pengelolaan bantaran sungai dan penetapan asuransi resiko banjir

berkenaan dengan penetapan bantaran sungai dan dataran banjir. Modul aliran

permanen dapat pula dipakai untuk perkiraan perubahan muka air akibat perbaikan alur

atau pembangunan tanggul.

Unsteady Flow Simulation. Modul ini mampu mensimulasikan aliran tak-

permanen satu dimensi pada sungai yang memiliki alur kompleks. Semula, modul aliran

tak-permanen HEC-RAS hanya dapat diaplikasikan pada aliran sub-kritik dan

mensimulasikan regime aliran campuran (sub-kritik, super-kritik, loncat air, dan

draw-downs). Fitur spesial modul aliran tak-permanen mencakup analisis dam-break,

limpasan melalui tanggul dan tanggul jebol, pompa, operasi dam navigasi, serta aliran

tekan dalam pipa.

Sediment Transport/ Movable Boundary Computations. Modul ini mampu

mensimulasikan transport sedimen satu dimensi (simulasi perubahan dasar sungai)

(33)

namun dapat pula dilakukan simulasi perubahan dasar sungai akibat sejumlah banjir

tunggal). Potensi transpor sedimen dihitung berdasarkan fraksi ukuran butir sedimen

sehingga memungkinkan simulasi armoring dan sorting. Fitur utama modul transport

sedimen mencakup kemampuan untuk memodelkan suatu jaring (network) sungai,

dredging, berbagai alternatif tanggul, dan pemakaian berbagai persamaan (empiris)

transport sedimen.

Modul transport sedimen dirancang untuk mensimulasikan trend jangka panjang

gerusan dan deposisi yang diakibatkan oleh perubahan frekuensi dan durasi debit atau

muka air, ataupun perubahan geometri sungai. Modul ini dapat pula dipakai untuk

memprediksi deposisi didalam reservoir, desain kontraksi untuk keperluan navigasi,

mengkaji pengaruh dredging terhadap laju deposisi, memperkirakan kedalaman gerusan

akibat banjir, serta mengkaji sedimentasi di suatu saluran.

Water Quality Analysis. Modul ini dapat dipakai untuk melakukan analisis

kualitas air di sungai. HEC-RAS versi 4.0 Beta saat ini baru dapat dipakai untuk

melakukan analisis temperatur air. Versi ini akan akan dapat dipakai untuk melakukan

simulasi transpor berbagai konstituen kualitas air.

2.5.3 Penyimpanan Data dan Manajemen Data

Penyimpanan data dilakukan ke dalam “flatfiles (format ASCII dan biner),

serta file HEC-DSS. Data masukan dari pemakai HEC-RAS disimpan kedalam file-file

yang dikelompokkan menjadi: project, plan, geometry, steady flow, unsteady flow, dan

sediment data. Hasil keluaran model disimpan kedalam binary file. Data dapat

(34)

data dilakukan melalui user interface. Pemakai diminta untuk menuliskan satu nama

file untuk project yang sedang dia buat. HEC-RAS akan menciptakan beberapa file

secara automatik (file-file: plan, geometry, steady flow, unsteady flow, output, etc.) dan

menamainya sesuai dengan nama file project yang dituliskan oleh pemakai.

Penggantian nama file, pemindahan lokasi penyimpanan file, penghapusan file

dilakukan oleh pemakai melalui fasilitas interface; operasi tersebut dilakukan

berdasarkan project-by-project. Penggantian nama, pemindahan lokasi penyimpanan,

ataupun penghapusan file yang dilakukan dari luar HEC-RAS (dilakukan langsung pada

folder), biasanya akan menyebabkan kesulitan pada saat pemakaian HEC-RAS

mengingat pengubahan tersebut kemungkinan besar tidak dikenali oleh HEC-RAS. Oleh

karena itu, operasi atau modifikasi file-file harus dilakukan melalui perintah dari dalam

HEC-RAS.

2.5.4 Grafik dan Pelaporan

Fasilitas grafik yang disediakan oleh HEC-RAS mencakup grafik X-Y alur

sungai, tampang lintang, rating curves, hidrograf, dan grafik-grafik lain yang

merupakan plot X-Y berbagai variabel hidraulik. HEC-RAS menyediakan pula fitur plot

3D beberapa tampang lintang sekaligus. Hasil keluaran model dapat pula ditampilkan

dalam bentuk tabel. Pemakai dapat memilih antara memakai tabel yang telah disediakan

oleh HEC-RAS atau membuat/mengedit tabel sesuai kebutuhan. Grafik dan tabel dapat

ditampilkan di layar, dicetak, atau dicopy ke clipboard untuk dimasukkan kedalam

program aplikasi lain (word processor, spreadsheet). Fasilitas pelaporan pada

HEC-RAS dapat berupa pencetakan data masukan dan keluaran hasil pada printer atau

(35)

Dalam penggunaan program HEC-RAS, yang perlu diperhatkan yaitu input data

untuk HEC-RAS. Setiap data yang berhubungan dengan kondisi kajian sudah tentu

merupakan input pada pemodelan. Data geometri untuk model saluran dan bangunan air

menggunakan data lapangan hasil survei dan data ketinggian elevasi. Data perhitungan

hidrologi berupa data debit banjir dengan periode ulang tertentu. Pemodelan dibuat

dengan memanfaatkan data debit berdasarkan kurva hidrograf untuk mengetahui

pergerakan air. Data kecepatan air sesaat yang tercatat dan sudah dianalisis secara

hidrolis dapat menjadi input pada syarat batas.

Gambar 2.13 Tampilan HEC-RAS Versi 4.0

2.5.5 HEC-RAS dalam Analisa Potensi Banjir

Dalam permasalahan banjir hal utama yang harus diketahui adalah sampai

setinggi mana profil muka air yang dihasilkan oleh debit banjir sehingga dapat

menggenangi daerah di sekitar sungai tersebut. Maka dari itu dengan menggunakan

program HEC-RAS dapat diprediksi sampai setinggi mana profil muka air banjir yang

terjadi. Hasil daripada prediksi tersebut dapat ditampilkan menurut periode ulang banjir

tahunan baik itu Q25 sampai Q100 yang terjadi sepanjang daerah aliran sungai baik itu di

(36)

daerah pemukiman dan fasilitas-fasilitas infrastruktur yang ada disekitar sungai.

Dengan adanya simulasi pemodelan seperti ini banjir dapat di analisa dan dapat

memprediksi banjir tahunan yang sering terjadi akibat curah hujan yang sangat tinggi

dan akibat saluran penampang sungai yang tidak dapat menampung debit banjir yang

melebihi kapasitas tampang saluran. Dan hasil dari prediksi pemodelan tersebut dapat

diintegrasi dengan sistem informasi geografis yang nantinya dapat menampilkan

informasi daripada daerah genangan banjir dan luas genangan yang terjadi menurut

periode kala ulangnya.

2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG)

2.6.1 Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG)

Banyak definisi SIG telah diajukan dari waktu ke waktu, namun tidak ada

satupun yang dapat sepenuhnya memuaskan. Meskipun banyak yang mendefinisikan

sebagai sesuatu yang lebih dari sebuah teknologi, saat ini label SIG disandingkan

dengan berbagai macam hal, diantaranya yaitu sejenis perangkat lunak yang dapat

dibeli dari sebuah vendor untuk menjalankan peralatan untuk mengolah fungsi-fungsi

kompleks (perangkat lunak SIG), representasi digital dari berbagai aspek dunia

geografis dalam bentuk rangkaian data (data SIG); komunitas orang-orang yang

menggunakan dan menyerukan penggunaan perangkat SIG untuk berbagai tujuan

(komunitas SIG) dan aktivitas menggunakan SIG untuk memberikan solusi terhadap

permasalahan atau ilmu pengetahuan lanjutan (melakukan SIG). Penamaan berlaku

pada semua hal tersebut dan pengertiannya bergantung pada konteks di mana

(37)

karakteristik yang sedikit berbeda, namun ada kesepakatan bersama bahwa kemampuan

kunci dari SIG adalah kemampuannya membuat suatu basis data geografis dan data di

dalamnya dapat dimanipulasi, diintegrasikan, dianalisis dan ditampilkan (Gregory &

Pell, 2007).

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah basis data yang biasanya mempunyai

komponen spasial dalam pengolahan dan penyimpanannya. Karenanya SIG mempunyai

potensi untuk menyimpan dan menghasilkan produk-produk peta dan sejenisnya. Ia

juga menawarkan potensi untuk menjalankan analisis berganda ataupun mengevaluasi

suatu skenario sebagaimana simulasi model (Lyon, 2003).

SIG dalam esensinya adalah sebuah pusat penyimpanan dan perangkat -

perangkat analisis bagi data yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pengembang

dapat menumpangtindihkan informasi dari berbagai sumber data tersebut melalui

berbagai theme dan layer, melaksanakan analisis data secara menyeluruh dan

menggambarkannya secara grafis bagi pengguna (Albrecht, 2007).

2.6.2 Kelebihan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Hampir semua yang terjadi di suatu tempat. Umumnya, aktivitas-aktivitas

manusia terbatas pada ruang yang berada di dekat atau di permukaan bumi. Mengetahui

di mana suatu hal terjadi adalah kepentingan yang mendesak, apabila kita hendak

berangkat ke suatu lokasi atau menugaskan seseorang kesana, untuk mencari informasi

lain terhadap sebuah tempat, atau menginformasikan kepada seseorang yang tinggal

dekat tempat tersebut. Oleh karenanya, lokasi geografis merupakan atribut penting dari

(38)

adalah sebuah kelas khusus sistem informasi yang merekam, bukan hanya kejadian,

aktivitas dan sesuatu, tetapi juga di mana kejadian, aktivitas dan sesuatu tersebut terjadi

atau berada (Longley, 2005). Terdapat sejumlah kelebihan yang dibawa oleh teknologi

SIG bagi penelitian sumber daya air. SIG memungkinkan penataan dan penyimpanan

data yang lebih baik. Tujuan dari studi DAS diantaranya adalah pembagian DAS,

identifikasi pembagian drainase dan jaringan alur sungai, karakterisasi lereng dan

hadapan, konfigurasi daerah tangkapan air dan perilaku aliran air yang menghasilkan

variabel-variabel tersebut sulit dilakukan dari peta-peta cetak dan foto udara. Metode

tradisional tersebut menjadi pokok terjadinya kesalahan akibat operasi manual dan

terbukti membutuhkan waktu yang lama (Lyon, 2003).

2.6.3 Data Spasial

Dalam bentuk yang sangat umum, data geografis dapat digambarkan sebagai

suatu data yang mempunyai referensi spasial. Sebuah referensi spasial adalah sebuah

penunjuk bagi semacam lokasi, baik itu dalam bentuk langsung yang ditunjukkan

sebagai sebuah koordinat, sebuah alamat atau kedudukan relatif terhadap lokasi lain.

Suatu lokasi dapat (1) berdiri sendiri atau (2) menjadi bagian dari sebuah objek

keruangan, di mana dalam kasus ini lokasi menjadi definisi pembatas bagi objek

tersebut. Atribut yang diasosiasikan dengan suatu data geografis harus valid bagi

seluruh koordinat yang menjadi bagian dari objek geografis (Albrecht, 2007).

2.6.4 Penginderaan jauh

Dewasa ini, foto udara skala kecil dan citra satelit telah digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan/penutup lahan bagi wilayah yang luas (Lillesand dan

(39)

dengan saling menambahkan informasi. Data SIG membantu analisis citra dalam

mengelompokkan pixel-pixel yang meragukan, sedangkan citra yang digunakansebagai

latar belakang bagi data vektor khusus menyediakan orientasi dan tata letaksituasional

(Albrecht, 2007).

2.6.5 Overlay

Overlay adalah inti dari operasi SIG yang seolah mendefinisikan SIG. Apabila

sebuah perangkat lunak dapat melakukan proses overlay, maka dapat dipastikan bahwa

aplikasi tersebut adalah sebuah aplikasi SIG dan bukan hanya aplikasi Computer Aided

Design (CAD) atau kartografi saja (Albrecht, 2007). Proses overlay memerlukan

ketepatan dalam kesamaan lokasi. Dengan kata lain, pada suatu lokasi tertentu, suatu

data yang terdapat dalam sebuah kelas fitur dan data yang terdapat dalam kelas fitur lain

digabungkan menjadi sebuah set data hasil dan membentuk geometri yang sebelumnya

tidak ada, sehingga menghasilkan data yang benar-benar baru (Albrecht, 2007).

(40)

2.6.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Prediksi Daerah Genangan Banjir

Untuk mempermudah integrasi antara model hidrolika, hidrologi dan sistem

informasi geografis. US. Army Corps Of Engineer mengembangkan HEC-RAS.

Program ini kemudian dapat digunakan sebagai interface dengan perangkat lunak

sistem informasi geografis seperti ArcView ataupun MapInfo sehingga dapat secara

langsung memproses data spasial yang terdapat dalam Sistem informasi geografis ke

dalam model tersebut. Selanjutnya sistem ini membantu menjadi media dari analisa

model ke dalam analisa spasial. Integrasi ini merupakan integrasi eksternal mengingat

masing-masing program telah mempunyai bahasa masing-masing akan tetapi dapat

disatukan dengan adanya program interface.

ArcView dan MapInfo akan bekerja dengan optimal apabila digunakan data peta

DEM (Digital Elevation Model) yang umumnya dibangkitkan berdasarkan data radar

atau foto udara yang akurat. Sedangkan data tutupan lahan dapat secara baik digunakan

peta berdasarkan citra satelit terlebih lagi dengan menggunakan Ikonos.

Freier (2005) mendemontrasikan kemampuan SIG dalam mengukur potensi

banjir pada suatu DAS untuk menentukan resiko banjir di perkotaan dengan

menumpangtindihkan lapisan peta sarana kota, peta jalan, peta alur sungai dan peta

daerah dataran banjir untuk Q100. Dengan model SIGnya ia dapat mengidentifikasi

sarana-sarana publik penting yang masuk ke dalam daerah rawan banjir untuk kala

ulang 100 tahun tersebut. Model seperti ini dapat pula dijadikan dasar untuk proses

(41)

Ghani, dkk (2000) mengembangkan model integrasi antara ArcView 3.2 dengan

HEC-6, Fluvial 12 dan HEC-RAS. Model integrasi ini digunakan untuk meramal

perubahan arus air sungai, sehingga dapat diketahui luapan air sungai yang akan terjadi.

Lebih lanjut hasil hitungan model ini kemudian digambarkan dalam bentuk poligon

dengan bantuan HEC-GeoRAS dan kemudian diekspor kedalam sistem informasi

geografis. Kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa luasan dan kedalaman daerah

genangan. Hal ini merupakan overlay antar peta dasar lokasi dengan hasil hitungan

model yang digambarkan secara spasial pada ArcView. Overlay ini memberikan

penampakkan yang jelas akan daerah rawan banjir .

Interface HEC-GeoRAS membentuk Shapefile pada ArcView sebagai hasil dari

hitungan HEC-RAS, shapefile ini yang kemudian dapat diaktifkan di layar untuk

mengetahui daerah rawan banjir. Apabila telah didapatkan daerah genangan, maka

kemudian dapat diekplorasi lebih lanjut mengenai resiko banjir yang akan terjadi seperti

beberapa banyak rumah atau bangunan yang akan terendam, kerusakan lahan pertanian

atau peruntukan lain, beberapa jiwa yang harus diungsikan dan lain-lain.

Ghani (2000) menerangkan bahwa Interface HEC-GeoRAS membentuk Shape

file pada ArcView sebagai hasil dari hitungan HEC-RAS, shapefile ini yang kemudian

dapat diaktifkan di layar untuk mengetahui daerah rawan banjir. Apabila telah

didapatkan daerah genangan, maka kemudian dapat diekplorasi lebih lanjut mengenai

kerugian yang akan terjadi seperti beberapa banyak rumah atau bangunan yang akan

terendam, kerusakan lahan pertanian atau peruntukan lain, beberapa jiwa yang harus

diungsikan dan lain-lain sesuai dengan tujuan analisis dan keberadaan data base spasial

(42)

2.7 Estimasi Resiko Banjir

Resiko banjir pasti akan terjadi apabila suatu daerah terkena dampak banjir baik

itu kerusakan, bencana dan kerugian. Semua hal itu akan berdampak langsung terhadap

penduduk sekitar akibat dari daerah genangan banjir yang menggenangi dataran

pemukiman penduduk. Dalam hal ini kerusakan terjadi terhadap rumah yang

memberikan arti bahwasanya pemilik rumah harus mengeluarkan biaya ganti rugi

akibat banjir. Selain itu banjir juga memberikan dampak bencana terhadap penduduk

seperti: penyakit, gangguan terhadap psikologis (Ganguan kesehatan dan kenyamanan)

dan memungkinkan terjadinya kematian. Untuk itu sudah seharusnya perlu dilakukan

suatu metode maupun suatu pendekatan yang bertujuan untuk menghitung resiko

kerugian banjir, agar nantinya pemerintah dalam mengantisipasi kerugian banjir

tahunan yang sering terjadi dapat diprediksi ataupun dianalisa dengan cepat dan akurat.

Dalam mengestimasi resiko banjir berdasarkan standar perkiraan nilai kerusakan

dan kerugian rumah akibat banjir (http//www.scribd.com/doc/Bappenas 2007Laporan

Penilaian kerusakan kerugian Jabodetabek), terdapat beberapa formula dalam

perhitungan estimasi resiko banjir yaitu:

1. Untuk jumlah penduduk yang terkena dampak diestimasi proporsional

terhadap luas genangan banjirnya dengan formula sebagai berikut:

(43)

2. Untuk jumlah rumah yang terkena dampak dihitung dengan formula yang

sama yaitu:

(2.32)

3. Kemudian untuk menghitung besar biaya kerugian yang diakibatkan oleh

banjir digunakan formula sebagai berikut:

Gambar

Gambar 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Gambar 2.2 Struktur Koridor Sungai
Gambar 2.3 DAS bentuk memanjang
Gambar 2.7: Daerah Penguasaan Sungai
+7

Referensi

Dokumen terkait

pertambangan ………. Karakteristik Proses dan Limbah Kegiatan Pertambangan ……….. Upaya Pengelolaan Limbah Tambang ……… 21.. Teknik-teknik ekstraksi bahan mineral. Teknik

Today, palm oil market likely to trade higher as market assessed to the slower production in first quarter, overnight gained in soyoil market provide additional support..

pada hal ini, pada dasarnya pemikiran-pe- mi kiran gerakan Islam liberal dapat kita pi- lah, dan itu bertujuan untuk membongkar ke mapanan beragama, bertradisi dan

[r]

Penggemar klub sepak bola populer asal Italia yaitu Juventus Football Club di Surakarta tergabung dalam komunitas Juventus Club Indonesia (JCI) chapter Solo,

Menulis surat untuk teman sebaya tentang pengalaman atau cita-cita dengan bahasa yang baik dan benar dan memperhatikan penggunaan ejaan (huruf besar, tanda titik, tanda koma dll)..

Pengembangan/pengelolaan/pemanfaatan.. c) Ada beberapa ternak lainnya baik sapi maupun kerbau liar di wilayah Indonesia. Seperti halnya kerbau-kerbau liar di

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : “PERLINDUNGAN HUKUM ANAK ANGKAT BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007