• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia

M. YUDHIKA ELRIFI

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis & Perbankan Yogyakarta HARDO BASUKI

Universitas Gadjah Mada

Abstract

This research investigated studied the impact of competing accountability requirement in public setor organization, especially for Non Govermental Organization (NGO). Its provided empirical evidence on the impact factors determined the competing accountability requirement of work performance NGOs accountability actor in Indonesia. The objectives of research is to identify different types of accountability requirements with quantitative data and to determine that the competing pressures of accountability affect NGO’s perceived work performance. The results showed that work performance NGO’s accountability actor in Indonesia partly influenced by a negative perceived work context that is workload and job tension.

Keywords: competing accountability requirement, competing accountability, NGO, work performance

Abstrak

Penelitian ini menginvestigasi pengaruh competing accountability requirement di organisasi sektor publik, khususnya Non Govermental Organization (NGO). Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang pengaruh competing accountability requirement terhadap kinerja kerja aktor akutabilitas NGO di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan tipe keharusan akuntabilitas dengan data kuantitatif dan untuk menentukan apakah tekanan keharusan akuntabilitas mempengaruhi kinerja kerja karyawan NGO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO secara sebagian dipengaruhi oleh konteks kerja persepsian negatif berupa beban kerja dan tekanan kerja.

(2)

1. Latar Belakang Penelitian

Tumbuh dan menjamurnya NGO di Indonesia pada era reformasi merupakan fenomena

yang menarik dan menggembirakan bagi perkembangan organisasi sektor publik di

Indonesia selain organisasi pemerintahan. Dengan terus bertambahnya jumlah NGO,

maka diharapkan organisasi sektor publik dapat berperan dalam meningkatkan kualitas

sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat.

Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan penyimpangan sebagian NGO

telah menodai reputasi NGO lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai

ancaman besar terhadap eksistensi NGO yang mengandalkan kepercayaan publik dalam

menjalankan program dan organisasinya. Hasil dari beberapa penelitian melaporkan

adanya berbagai penyelewangan dan skandal yang juga menimpa NGO di Amerika dan

internasional dalam pengelolaan dana masyarakat, kesejahteraan, dan jasa pelayanan

masyarakat (Gibelman dan Gelman, 2001). Dixon dkk. (2006) meneliti akuntabilitas

penyaluran dana bergulir oleh NGO lokal untuk memberdayakan kaum miskin di

Zambia yang awalnya sukses namun karena membuka cabang dan lemah pengawasan

sehingga terjadi manipulasi data atau data fiktif yang merugikan masyarakat.

Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persoalan

tata kelola yang baik (good governance) dalam organisasi NGO merupakan hal yang sangat penting dan perlu untuk diterapkan. Dengan diimplementasikannnya tata kelola

yang baik, maka diharapkan dapat mewujudkan adanya akuntabilitas dan kinerja NGO

yang juga lebih baik. Tidak hanya lembaga pemerintah dan sektor bisnis saja yang

dituntut agar mampu menerapkan good goverment dan good corporate governance, organisasi non pemerintah seperti NGO juga perlu menerapkan prinsip good

non-govermental organization sebagai wujud dari akuntabilitas dan pelaporan kinerjanya. Pembahasan mengenai akuntabilitas NGO, telah ditingkatkan secara intensif dalam

beberapa tahun terakhir. NGO berusaha untuk menyeimbangkan kinerja terhadap

berbagai tuntutan dari forum dan sering bertentangan untuk akuntabilitas (Kim dan Lee,

2009). Penekanan akan pentingnya akuntabilitas mungkin memiliki beberapa manfaat

dalam memperkuat kepercayaan lembaga donor dan memastikan keberlanjutan bantuan

pendanaan dari mereka. Namun, adanya competing accountability requirement dan beragamnya keharusan akuntabilitas tersebut menjadi tantangan manajerial yang

signifikan dalam pencapaian misi organisasi. Selanjutnya, harapan yang beragam antara

berbagai pemangku kepentingan terhadap akuntabilitas NGO dapat menghambat

(3)

(Brown, Moore, & Honan, 2001; Greenlee, 1998; Kanter & Summers, 1987), serta

mempengaruhi outcome kinerja (Dicke, 2002).

Tidak adanya standar efektivitas penting menyisakan pertanyaan sentral terhadap

akuntabilitas: Manakah jenis kebutuhan akuntabilitas yang harus didahulukan dari pada

yang lain? Apa yang dapat atau harus dilakukan oleh pimpinan NGO ketika dihadapkan

dengan arah yang tidak sesuai dengan mandat organisasi atau preferensi publik? (Kim

& Lee, 2009). Competing accountability requirement telah diuji secara intensif di organisasi sektor publik (misalnya, Fredericksen & Levin, 2004; Johnston & Romzek,

1999; Koppell, 2005; Radin, 2002; Romzek & Dubnick, 1987) dan secara khusus di

NGO (Christensen & Ebrahim, 2006; Ebrahim, 2003; Kearns, 1994; Rubin, 1990).

Studi-studi tersebut menyatakan bahwa tekanan akuntabilitas meninggalkan beberapa

kerapuhan akuntabilitas, yang dapat mengakibatkan kegagalan pencapaian misi

organisasi.

Pada penelitian ini competing accountability requirement didefinisikan sebagai kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk

mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Dalam

konteks organisasi di sektor nirlaba, Kim & Lee (2009) mengemukakan bahwa kinerja

dapat didefinisikan sebagai pemenuhan misi organisasi.

2. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis

2.1. Akuntabilitas dan Competing Accountability Requirement

Akuntabilitas NGO, menurut Ebrahim (2003), adalah suatu proses di mana NGO

menggangap dirinya bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang diyakininya,

apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Secara operasional, akuntabilitas

diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding). NGO bertanggung jawab atas semua nilai-nilai yang dianutnya, apa yang dilakukan atau tidak dilakukannya, kepada semua stakeholder (individu atau kelompok sasaran, lembaga donor, sesama NGO, pemerintah dan masyarakat luas).

Yang dipertanggungjawabkan adalah semua program dan kegiatan yang dilakukan dan

diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan, hasil-hasil yang

dicapai, keterampilan dan keahlian yang dikembangkan, dll. Cara

mempertanggungjawabkan adalah melalui mekanisme pelaporan yang jujur dan

(4)

Berdasarkan definisi, maka akuntabilitas melingkupi berbagai tipe hubungan dan

melayani berbagai kepentingan. Institusi publik diharuskan mempertanggungjawabkan

perilaku mereka untuk berbagai tipe forum dalam berbagai cara. Usaha untuk

menyeimbangkan akuntabilitas berdasarkan tipe forum dalam berbagai cara menjadi

permasalahan yang tidak terselesaikan Kim & Lee, 2009). Usaha menyeimbangkan

akuntabilitas menjadi isu kritis karena dapat menyebabkan kerapuhan akuntabilitas yang

mungkin berdampak pada kegagalan pencapaian nilai dan menyebabkan disfungsional

akuntabilitas yang berakibat pada stagnansi pencapaian pelayanan dan perubahan

organisasi (Kim & Lee, 2009). Penelitian-penelitian di atas mengindikasikan keharusan

pencapaiaan berbagai tipe akuntabilitas yang menyebabkan tekanan dan mempengaruhi

kinerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009).

2.2. Akuntabilitas Hirarkikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja Persepsian

Hubungan akuntabilitas adalah berdasarkan pada supervisi ketat individu dengan

otonomi kerja yang rendah dan kontrol internal. Aktor Akuntabilitas dengan derajat

otonomi yang rendah diharuskan mencapai ekspektasi supervisor melalui beragam

aturan organisasi dan regulasi, arahan langsung, dan standar kinerja (Kim & Lee, 2009).

Hubungan yang mendasari adalah supervisor-subordinat, supervisi langsung dan reviu

secara periodik merupakan manifestasi nyata dari akuntabilitas hirarkikal (Romzek &

Ingraham, 2000). Evaluasi kinerja individu cenderung bersifat detail dan standar

evaluasinya adalah apakah individu berkinerja seperti yang diharuskan. Tekanan

akuntabilitas hirarkikal dapat menyebabkan subordinat meluangkan lebih banyak waktu

untuk mencapai ekspektasi supervisor dan meninggalkan tugas utama dalam organisasi

(Kim & Lee, 2009). Selain itu, derajat otonomi yang rendah mengakibatkan subordinat

tidak memiliki kekuatan pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas tugasnya

(Hansen & Host, 2012) sehingga berdampak pada pengabaian tugas utamanya. Kondisi

ini telah menimbulkan dilema etis yang menyebabkan tekanan kerja terhadap aktor

akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di

atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

Hipotesis 1a: Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif terhadap tekanan

kerja.

(5)

2.3. Akuntabilitas Legal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja Persepsian

Akuntabilitas legal tidak mempertimbangkan pengetahuan dan kecakapan aktor

akuntabilitas yang menyebabkan bertambahnya beban kerja persepsian karena aktor

akuntabilitas harus mencapai ekspektasi eksternal yang tidak sesuai dengan kemampuan

aktor akuntabilitas dan kebutuhan institusi (Romzek & Ingraham, 2000).

Tekanan terhadap akuntabilitas legal dapat mempengaruhi kinerja kerja persepsian

dalam dua cara. Pertama, akan meningkatkan beban kerja persepsian karena pemenuhan

kewajiban kontrak selalu menghasilkan dokumen yang cukup banyak dan persyaratan

dokumentasi yang berlebihan. Kedua, akan meningkatkan tekanan kerja karena

karyawan mungkin menganggap bahwa lembaga bergerak menjauh dari misi tradisional

mereka yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat—kepedulian altruistik—dan

kepatuhan terhadap standar internal dan lebih mementingkan urusan teknis untuk

mencapai tuntutan regulasi pihak eksternal (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar

belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

Hipotesis 2a: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap tekanan kerja.

Hipotesis 2b: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap beban

kerja.

2.4. Akuntabilitas Profesional Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja Persepsian

Akuntabilitas profesional terefleksikan dalam tata kelola kerja yang memberi

derajat otonomi tinggi kepada individu yang mendasari pembuatan keputusan mereka

pada norma-norma yang terinternalisasi terhadap praktik yang tepat. Berdasarkan

standar ini individu dihadapkan pada pertanyaan: apakah kinerja kerja mereka adalah

konsisten dengan norma yang diturunkan dari sosialisasi profesional, keyakinan

personal, budaya organisasi dan pengalaman kerja (Romzek, 2000). Derajat otonomi

yang menjadi dasar pembuatan keputusan pada norma internalisasi terhadap praktik

yang tepat menghantarkan mereka pada pengambilan keputusan yang tepat pula

walaupun tanpa arahan dari supervisor dan atau keharusan regulasi (Kim & Lee, 2009).

Akuntabilitas profesional juga dapat mengurangi beban kerja persepsian dan

tekanan kerja persepsian karena aktor yang bersangkutan bekerja untuk pembuatan

(6)

2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang

dikembangkan adalah:

Hipotesis 3a: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif terhadap tekanan kerja.

Hipotesis 3b: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif terhadap beban kerja.

2.5. Akuntabilitas Politikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja Persepsian

Keharusan akuntabilitas politikal dapat menyebabkan bertambahnya beban kerja

karena pemenuhan ekspektasi lebih dari batas kepakaran dan arahan supervisor

(Romzek & Ingraham, 2000). Selain itu, pemenuhan kebutuhan akuntabilitas politikal

kepada konstituen juga dapat menyebabkan bertambahnya tekanan kerja karena

kebutuhan pemenuhan tanggung jawab yang merefleksikan kebutuhan legitimasi sangat

bergantung pada seberapa baik aktor mengantisipasi dan mencapai ekspektasi forum

dan apakah aktor akuntabilitas dipersepsikan sebagai rekan kerja oleh mereka (Romzek

& Ingraham, 2000). Lebih lanjut, tekanan dari kelompok advokasi dan media lokal juga

dapat mengalihkan perhatian aktor akuntabilitas terhadap pencapaian misi organisasi

dengan menghabiskan sumber daya yang besar untuk menjaga hubungan baik dengan

stakeholders. Dengan kata lain, aktor akuntabilitas dapat mengorbankan misi organisasi yang sebenarnya untuk mencapai tujuan akuntabilitas politikalnya (Kim & Lee, 2009).

Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang

dikembangkan adalah:

Hipotesis 4a: Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif terhadap tekanan kerja.

Hipotesis 4b: Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif terhadap beban kerja.

2.6. Beban Kerja Persepsian dan Tekanan Kerja Persepsian

Dampak langsung dari tekanan keharusan akuntabilitas adalah akan meningkatkan

beban kerja persepsian karyawan karena kecukupan dokumen dan persyaratan

pelaporan untuk memenuhi kewajiban kontraktual (Kim & Lee, 2009). Tekanan

persepsian terhadap beban kerja antar karyawan dapat memperburuk tekanan kerja,

misalnya mereka diwajibkan untuk mengurangi waktu pribadi mereka dalam

berinteraksi dengan masyarakat atau kelompok dampingan untuk menyelesaikan

(7)

kasus bahwa manajer, meskipun mereka memiliki tingkat komitmen yang tinggi untuk

memberikan layanan yang berkualitas akan frustrasi oleh dokumen-dokumen dan

persyaratan pendokumentasian, dan mereka mempersepsikan bahwa kepatuhan terhadap

kewajiban kontrak dapat membahayakan misi lembaga dalam melayani masyarakat

(Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka

hipotesis yang dikembangkan adalah:

Hipotesis 5: Beban kerja tinggi karyawan berpengaruh positif terhadap tekanan kerja.

2.7. Beban Kerja Persepsian, Tekanan Kerja Persepsian, Kinerja Kerja Persepsian

Tekanan karena keharusan akuntabilitas cenderung menyebabkan melemahnya

peran aktor akuntabilitas karena pelaksanaan fungsi administrasi yang berlebihan

sebagai akibat keharusan akuntabilitas yang menyebabkan meningkatnya persepsian

negatif konteks kerja (Kim & Lee, 2009). Sebenarnya konteks kerja dapat dipersepsikan

secara negatif maupun positif. Perbedaan ini berpengaruh terhadap outcome kerja atau kinerja kerja pada level yang berbeda (Lusch & Serpkenci, 1990). Namun demikian, dalam penelitian ini konteks kerja dipersepsikan negatif dalam bentuk tekanan kerja dan

beban kerja karena adanya onflik keharusan akuntabilitas (Kim & Lee, 2009).

Karyawan-karyawan NGO semakin menghabiskan sejumlah besar waktu mereka

pada kegiatan pendokumentasian dan menghasilkan pendapatan dengan mengorbankan

pemeliharaan hubungan dengan masyarakat (Kim & Lee, 2009). Tekanan pekerjaan ini

cenderung menciptakan disonansi nilai yang dapat menyakiti panggilan profesional atau

kewajiban etis mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mereka

cenderung memiliki persepsi bahwa pekerjaan mereka tidak dihargai karena mereka

dipaksa untuk mengalokasikan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk melayani

masyarakat (Light, 2000; Salamon, 2002). Beban kerja persepsian yang tinggi dan

tekanan kerja secara bersamaan yang dirasakan antar karyawan dapat secara negatif

mempengaruhi persepsi mereka terhadap kinerja. Berdasarkan latar belakang teoretikal

dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:

(8)

Gambar 2.1 Model Penelitian

3. Metode Penelitian 3.1. Populasi dan Sampel

Penelitian dilakukan di 5 provinsi yang meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Objek penelitian yaitu pegawai

pada NGO. Metode pemilihan sampel adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel ini,

yaitu semua pegawai yang pernah terlibat dalam proses pemenuhan akuntabilitas secara

keuangan dan program terhadap para stakeholder (lembaga donor, pemerintah, perusahaan, individu atau kelompok dampingan, lembaga mitra, masyarakat, dll.),

sehingga responden yang dipilih diyakini telah memahami kondisi di dalam organisasi

tempat mereka bekerja.

3.2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi variabel eksogen dan variabel

endogen. Variabel eksogen terdiri dari keharusan akuntabilitas hirarkikal, keharusan

akuntabilitas legal, keharusan akuntabilitas profesional dan keharusan akuntabilitas

politikal, sedangkan variabel eksogen endogen adalah beban kerja dan tekanan kerja.

Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kinerja kerja

3.2.1.Variabel Eksogen

Competing Accountability Requirement

Definisi dari competing accountability requirement yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk

(9)

mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Pengukuran

terhadap competing accountability requirement dalam penelitian ini menggunakan

instrumen yang dikembangkan oleh Kim & Lee (2009) dengan penyesuaian untuk

konteks NGO di Indonesia. competing accountability requirement dalam penelitian ini adalah berdasarkan tipe-tipe akuntabilitas yang diajukan Johnston & Romzek (1999,

hal. 387), yang terdiri dari:

a. Akuntabilitas Hirarkikal

Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas hirarkikal adalah supervisi yang

ketat dari otoritas yang lebih tinggi, yang menggunakan seperangkat standar kinerja,

peraturan dan aturan internal organisasi, dan instruksi atasan. Pola kerja yang

dibangun adalah hubungan antara supervisor-subordinat (Romzek & Ingraham,

2000) yang dalam penelitian ini adalah hubungan antara aktor akuntabilitas di NGO

dengan atasannya langsung.

b. Akuntabilitas Legal

Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas legal adalah kinerja NGO secara

eksternal diaudit kepatuhannya, yaitu berdasarkan hubungan antara kontrol eksternal

dan aktor akuntabilitas. Akuntabilitas legal terjadi antara dua pihak yang otonom

(Romzek & Dubnick, 1987). Dalam penelitian ini akuntabilitas legal adalah bentuk

keharusan akuntabilitas terhadap penyandang dana (lembaga donor, pemerintah,

perusahaan, dll.). Instrumen akuntabilitas legal didasarkan pada instrumen yang

dikembangkan oleh Kim dan Lee (2010).

c. Akuntabilitas Profesional

Keharusan akuntabilitas profesional adalah merujuk pada adanya derajat otonomi

yang tinggi dari aktor akuntabilitas dalam pembuatan keputusan dan perbedaan

keahlian dan standar kinerja didasarkan pada norma profesional dan praktik-praktik

yang berlaku dari rekan kerja atau kelompok kerja. Aktor akuntabilitas harus

bertumpu pada kepakaran dan kecakapan untuk menghasilkan solusi yang tepat

(Romzek & Dubcick, 1987). Dengan demikian, keharusan akuntabilitas profesioanl

dalam penelitian ini adalah tekanan konflik yang berasal dari dalam diri aktor

akuntabilitas itu sendiri.

d. Akuntabilitas Politikal

Akuntabilitas politikal terkait dengan tanggungjawab terhadap konstituen utama

NGO seperti lembaga-lembaga mitra, individu dan kelompok dampingan (petani,

(10)

penelitian ini keharusan akuntabilitas politikal adalah terhaadap

konstituen-konstituen di atas.

3.2.2. Variabel Eksogen Endogen Beban Kerja

Secara umum definisi beban kerja adalah hubungan manusia dengan tuntutan tugas

yang diemban dalam lingkup operasional. Hart dan Staveland (1988) mengemukakan

bahwa beban kerja merupakan hubungan yang dapat dirasakan antara sejumlah

kemampuan mental dalam berproses dengan sejumlah kemampuan mental dalam

berproses yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan.

Spector dan Jex (1998) menyatakan bahwa beban kerja (workload) adalah salah satu faktor penyebab job stressor. Job stressor mewakili situasi dimana pekerjaan berkaitan dengan faktor-faktor menyimpang karyawan dari fungsi psikologinya ataupun

fungsi fisiknya (Beehr dan Newman, 1978). Instrumen beban kerja didasarkan pada

instrumen pengukuran Index of Organizational Reaction yang dikembangkan oleh Smith (1976) dalam penelitian Kim & Lee (2009).

Tekanan Kerja

Definisi operasional tekanan kerja adalah merujuk pada kondisi kecemasan psikologi

individu sebagai konsekuensi peran signifikan untuk mencapai kualitas kerja atau

kinerja tertentu (Bedeian & Armenakis, 1981) sebagai dampak dari konflik peran atau

ketidakjelasan peran (Fry dkk., 1986). Tetlock (1985) mengemukakan bahwa tekanan

akuntabilitas persepsian mempengaruhi kognitif individu dan pernyataan emosional

individu. Penelitan Kim & Lee (2009) mendukung dan menunjukan hasil yang sama

bahwa salah satu pengaruh competing accountability requirement adalah meningkatnya

tekanan kerja. Instrumen tekanan kerja persepsian dalam penelitian ini menggunakan

Tension Index yang dikembangkan oleh Lyon (1971) yang terdukung dalam penelitian Kim & Lee (2009).

3.2.3. Variabel Endogen Kinerja Kerja

Handoko (1996) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil yang dicapai atau prestasi

yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan pada suatu organisasi.

Amstrong (2004) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai dan atribut

(ketrampilan, pengetahuan dan keahlian) dan kompetensi yag dibutuhkan untuk

mencapai hasil tersebut yang sasarannya adalah memberi kontribusi untuk pencapaian

(11)

Bertambahnya persepsian konteks kerja negatif akan berpengaruh terhadap kinerja

kerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Kinerja kerja dalam penelitian ini merujuk

pada kecakapan atau kemampuan aktor dalam melaksanakan aktivitas secara formal dan

diakui sebagai bagian dari aktivitas kerja yang berkontribusi secara langsung maupun

tidak langsung melalui proses transformasi bahan mentah ke dalam bentuk barang dan

pelayanan (London & Sminther, 1997). Pengukuran terhadap kinerja kerja

menggunakan item-item pengukuran yang dikembangkan oleh Tsui dkk. (1997).

Pengukuran ini tidak konsisten dengan pengukuran yang digunakan dalam penelitian

Kim & Lee (2009) karena penelitian tersebut hanya menggunakan indikator tunggal.

Tabel 1

Variabel-Variabel Model Penelitian

Variabel Laten Kode Variabel Manifes* Item

Akuntabilitas Hirarkikal AHI AHI1-AHI3 3

Akuntabilitas Legal ALE ALE1, ALE2, ALE3, ALE5 4

Akuntabilitas Profesional APRO APRO1-APRO5 5

Akuntabilitas Politikal APO APO3, APO4, APO5 3

Beban Kerja BKE BKE1-BKE3 3

Tekanan Kerja TKE TKE1-TKE2, TKE4, TKE5 4

Kinerja Kerja KKE KKE2, KKE3, KKE5, KKE6, KKE7, KKE8

6

* Beberapa variabel telah dihapus karena tidak memenuhi standar skor loading

4. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS) untuk menguji hipotesis yang diajukan. PLS adalah teknik Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran

sekaligus pengujian model struktural (Hartono, 2011). Sebagai lawan dari metode SEM

berbasis kovarian (misalnya AMOS dan LISREL), PLS menempatkan tuntutan yang

minimal pada skala pengukuran, ukuran sampel, distribusi variabel dan distribusi

residual (Chin, Marcolin, dan Newsted, 2003). Kemudian juga menurut Hartono (2011)

PLS juga bertujuan untuk memprediksi model dalam rangka pengembangan teori yang

merupakan alat prediksi kausalitas yang digunakan sebagai pengembangan teori.

PLS sangat cocok digunakan untuk penelitian ini, karena karakteristiknya yang

mempunyai kombinasi dan model yang kompleks dan dapat memakai ukuran sampel

(12)

terkumpul adalah SmartPLS versi 2.0 yang dikembangkan oleh Ringle, C.M/Wende,

S./Will, S dan dapat diunduh secara gratis di alamat website http://www.smartpls.de.

5. Hasil Penelitian 5.1. Pilot Study

Dalam rangka pengujian validitas dan realibilitas, kuesioner terlebih dahulu

diujicobakan (pilot study) kepada 25 responden pada 20 Oktober 2013. Responden adalah para pegawai NGO pada Yayasan Dian Desa, Yogyakarta. Instrumen yang telah

diujicobakan kemudian dianalisis dengan menggunakan software PLS. Hasil dari pilot study (lihat lampiran) menunjukkan bahwa nilai AVE dan Communality masing-masing variabel >0,5. Nilai Composite Reliability masing-masing variabel >0,6. Hasil

pilot study juga menunjukan bahwa nilai faktor loading >0,6. Berdasarkan tabel cross loading, dapat disimpulkan bahwa masing-masing indikator yang ada pada satu variabel laten (konstruk) mempunyai faktor loading tertinggi pada konstruk yang dituju dibandingkan dengan nilai yang ada pada konstruk lainnya. Hasil tersebut menunjukan

bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel, sehingga

layak untuk digunakan lebih lanjut.

5.2. Pengumpulan Data Kuantitatif

Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan menggunakan dua metode, yaitu

pengumpulan data kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner penelitian pada

masing-masing NGO yang ada di lima Provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah

Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari 325 responden yang dikirimi

kuesioner, 211 responden yang mengembalikan, artinya response rate-nya adalah

64,9%. Jumlah kuesioner yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah 203

responden, yang artinya usable respon rate-nya adalah 96% dan jumlah kuesioner yang tidak dapat digunakan adalah sebanyak 122. The usable questionaires kemudian dianalisis untuk mengetahui profil dari para responden. Tabel 2 menunjukkan profil

responden yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, dan masa kerja di

(13)

Tabel 2

Profil Responden Penelitian

Keterangan Jumlah (Orang) Persentase (%) Jenis Kelamin :

Laki-laki 114 56,15

Perempuan 89 43,85

Jumlah 203 100

Usia:

<30 tahun 32 15,76

30-40 tahun 121 59,60

40-50 tahun 40 19,70

>50 tahun 10 04,92

Jumlah 203 100

Tingkat Pendidikan:

SMA 17 08,37

S1 173 85,22

S2 13 06,41

Jumlah 203 100

Masa Kerja:

<5 tahun 30 14,63

5-15 tahun 90 43,90

15-25 tahun 65 31,71

>25 tahun 20 09,76

Jumlah 203 100

5.3. Analisis Demografi

Analisis demografi merupakan analisis yang dilakukan untuk menguji apakah

perbedaan demografi responden mempengaruhi jawaban yang diberikan. Analisis

demografi dapat memberikan tambahan penjelasan mengenai hasil penelitian.

Ringkasan analisis demografi ditampilkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 3

Ringkasan Analisis Demografi

Variabel Demografi

Sig.

BKE TKE KKE

Jenis Kelamin 0.564 0.813 0.697

Usia 0.041 0.002 0.297

Tingkat Pendidikan 0.544 0.473 0.003

(14)

Berdasarkan hasil analisis variabel demografi sebagaimana yang ditampilkan di

tabel 3, variabel usia pada konstruk tekanan kerja, variabel tingkat pendidikan pada

konstruk kinerja kerja, variabel masa kerja pada konstruk beban kerja dan variabel masa

kerja pada konstruk tekanan kerja mempunyai nilai yang signifikan (>0,05). Hal ini

mengindikasikan bahwa perbedaan usia mempengaruhi tekanan kerja, perbedaan masa

kerja mempengaruhi kinerja kerja dan perbedaan masa kerja mempengaruhi beban

kerja dan tekanan kerja responden dalam hal persepsian keharusan akuntabilitas.

5.4. Kisaran Data

Berdasarkan hasil pengolahan data dari 203 responden, maka data deskripsi konstruk

berdasarkan 28 item pertanyaan yang valid dengan kisaran teoritis, yaitu Konstruk

Akuntabilitas Legal (ALE), dan Tekanan Kerja (TKE) dengan masing-masing 4 item

pertanyaan valid, berada pada kisaran teoritis di antara nilai minimal 4 dan nilai

maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Profesional (APRO) dengan 5 item pertanyaan

valid, berada pada kisaran minimal 5 dan maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Politikal

(APO), Akuntabilitas Hirarkikal (AHI), dan Beban Kerja (BKE) dengan masing-masing

3 item pertanyaan valid berada pada kisaran teoritis dengan nilai minimal 3 dan

maksimal 15. Selanjutnya, Konstruk Kinerja Kerja (KKE) dengan 6 item pertanyaan

valid, berada pada kisaran minimal 6 dan maksimal 30.

Semua jawaban yang terlihat dalam kisaran aktual berada di dalam kisaran nilai

minimal dan maksimal teoritisnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa

jawaban responden terhadap konstruk-konstruk berada pada kisaran teoritisnya. Tabel 4

menunjukkan perbandingan nilai kisaran teoritis dan kisaran aktual secara keseluruhan.

Tabel 4

Perbandingan Nilai Kisaran Teoritis dan Kisaran Aktual Pertanyaan Kisaran

Teoritis

Kisaran Aktual

AHI 3 - 15 3 – 15

ALE 4 - 20 4 – 20

APRO 5 - 25 5 – 25

APO 3 - 15 3 – 15

BKE 3 - 15 4 - 15

TKE 4 - 16 4 – 16

KKE 6 - 30 6 – 30

5.5. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R² untuk konstruk dependen. Dari

(15)

tekanan kerja sebesar 0.304753, dan konstruk kinerja kerja sebesar 0.167056. Hasil nilai

tersebut berarti bahwa model penelitian yang diajukan dapat menjelaskan variabel

konstruk beban kerja sebesar 18,5%, konstruk tekanan kerja sebesar 30,4%, konstruk

kinerja kerja sebesar 16,7%, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model

yang diajukan. Semakin tinggi nilai R², maka akan semakin baik model prediksi dari

model yang diajukan.

Tabel 6

Overview Iterasi Algoritma PLS

Catatan: * 0,67 = substansial, 0,33 = moderate, 0,19 = weak. (Chin dalam Henseler, 2009).

Parameter uji validitas konvergen dilihat dari skor Average Variance Extracted

(AVE) dan communality. Skor masing-masing bernilai >0,5. Hal ini berarti, probabilitas indikator di suatu konstruk masuk ke variabel lain lebih rendah (kurang dari 0,5)

sehingga probabilitas indikator tersebut konvergen dan masuk pada konstruk yang

dimaksud lebih besar, yaitu di atas 0,5 atau sebesar 50%. Dari tabel 6 di atas terlihat

skor AVE tertinggi pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada

konstruk beban kerja (0.500935). Dalam penelitian ini, skor AVE untuk semua konstruk

adalah >0,5, sehingga konstruk-konstruk tersebut memenuhi syarat skor ideal, namun

skor 0,4 masih diberi toleransi (Lai & Fan, 2008; Vinzi dkk., 2010). Skor communality

tertinggi terdapat pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada

konstruk beban kerja (0.500934).

Untuk uji validitas diskriminan, parameter yang diukur adalah dengan melihat

skor cross loading. Pada tabel 7 di bawah ini terlihat bahwa masing-masing indikator di suatu konstruk di dalam model pengukuran telah memenuhi validitas diskriminan

AVE Composite Reliability

R Square*

Cronbachs Alpha

Commu-nality

AHI 0.616734 0.827182 0.715282 0.616734

ALE 0.692083 0.899866 0.856790 0.692084

APO 0.719854 0.885152 0.805887 0.719854

APRO 0.599068 0.880770 0.834097 0.599068

BKE 0.500935 0.749648 0.185539 0.504953 0.500934

KKE 0.562971 0.884795 0.167056 0.846184 0.562971

(16)

karena masing-masing indikator di suatu konstruk berbeda dengan indikator di konstruk

lain dan mengumpul pada konstruk dimaksud dengan skor >0,6.

Tabel 7 Cross Loadings

AHI ALE APO APRO BKE KKE TKE

APO3 0.346200 0.399572 0.857456 0.515574 0.090871 0.243489 0.235653

APO4 0.233661 0.333536 0.831385 0.378837 0.080674 0.266450 0.285312

APO5 0.284796 0.516249 0.856230 0.442313 0.111308 0.223236 0.248998

BKE1 -0.051758 0.259110 0.284693 -0.009164 0.704665 -0.002609 0.561317

BKE2 -0.302594 -0.016677 -0.071073 -0.220925 0.771204 -0.500595 0.234306

BKE3 -0.223982 -0.019007 0.003531 -0.212272 0.641479 -0.270937 0.204705

TKE1 -0.019626 0.088007 0.238460 0.003744 0.202979 -0.019398 0.737369

TKE2 -0.116890 0.072588 0.194641 -0.070835 0.319783 -0.124105 0.780502

TKE4 0.010938 0.142433 0.242906 0.028135 0.428675 -0.037959 0.730518

TKE5 -0.071801 0.076882 0.218387 -0.005922 0.412730 0.136666 0.701829

AHI1 0.707240 0.298191 0.371523 0.626571 -0.169877 0.373477 -0.065444

AHI2 0.758774 0.405043 0.168674 0.437762 -0.085665 0.318459 -0.060893

AHI3 0.879929 0.406205 0.241769 0.480501 -0.285992 0.325015 -0.041802

ALE1 0.422330 0.820035 0.533422 0.535653 0.137362 0.158996 0.028436

ALE2 0.539149 0.845791 0.519757 0.517296 0.035405 0.128422 0.096030

ALE3 0.311085 0.809904 0.265609 0.223367 0.105452 0.149507 0.136586

ALE5 0.346372 0.851217 0.401451 0.450108 0.097236 0.101661 0.144568

APRO1 0.473762 0.382490 0.412053 0.817463 -0.109746 0.344253 -0.010907

APRO2 0.540291 0.477673 0.476517 0.831557 -0.112675 0.307523 -0.043039

APRO3 0.428195 0.384600 0.270511 0.741601 -0.141057 0.298483 -0.089968

APRO4 0.372688 0.364400 0.536509 0.620764 -0.114441 0.124538 0.047475

APRO5 0.614033 0.342855 0.391686 0.836832 -0.227162 0.348961 0.031712

KKE2 0.386016 0.210926 0.243427 0.294604 -0.233777 0.770851 0.019848

KKE5 0.257185 0.139656 0.265775 0.333883 -0.167065 0.672012 0.065469

KKE6 0.425083 0.132826 0.214506 0.352571 -0.353180 0.776141 -0.083031

KKE7 0.332609 0.089397 0.110165 0.176694 -0.333653 0.793242 -0.065126

KKE8 0.248371 0.015123 0.306125 0.329299 -0.341253 0.815172 -0.035278

(17)

reliabel. Secara umum dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian adalah valid karena

telah memenuhi kriteria validitas konvergen dan diskriminan serta dapat diandalkan

(reliabel) sehingga layak digunakan untuk pengujian hipotesis.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilal T-table dengan nilai T-statistic yang dihasilkan dari proses bootstrapping dalam PLS. Hipotesis diterima (terdukung) jika nilai T-statistics lebih tinggi daripada nilai T-table dengan tingkat keyakinan 95% (alpha 5 persen), nilai T-table untuk uji hipotesis satu ekor (one-tailed) adalah ≥ 1,64 (Hair et al., 2006 in Hartono, 2009).

Dari 11 hipotesis yang diuji, 6 hipotesis terdukung secara statistik karena memiliki

nilai T-statistics yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu ≥ 1.64 (alpha 5 persen). 6 hipotesis tersebut adalah 1a (AHI→BKE) dengan nilai T-statistic

sebesar 2,264653, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0,306482; hipotesis 2a

(ALE→BKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2.019520, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.278353; hipotesis 3a (APRO→BKE) dengan nilai T-statistic sebesar 1.774100, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0.244211; hipotesis 4b (APO→TKE)

dengan nilai T-statistic sebesar 2.661294, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.309035; hipotesis 5 (BKE→TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 3.715839, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0.445746; dan hipotesis 6a (BKE→TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 3.145243, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0.484807.Selanjutnya, 5 hipotesis yang tidak terdukung secara statistik karena nilai T-statistics tidak lebih tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu ≥ 1.64 (alpha 5 persen). 5 hipotesis tersebut adalah 1b (AHI→TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 0.128311, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.017970; hipotesis 2b dengan nilai T-statistic sebesar

0.248222, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0.041542; hipotesis 3b dengan nilai T-statistic sebesar 0.435495, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.120434; hipotesis 4a dengan nilai T-statistic sebesar 1.581846, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar

0.205240; dan hipotesis 6b dengan nilai T-statistic sebesar 1.510057, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.219860. Ringkasan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan

PLS dapat dilihat dalam Tabel 8 berikut:

(18)

Tabel 8

Koefisien Jalur (Path Cooficients; Mean, STDEV, T-Values)

Tanda Sample (O)Original Mean (M) Sample

AHI -> BKE + -0.306482 -0.303255 0.135333 0.135333 2.264653**

AHI -> TKE + 0.017970 0.005596 0.140048 0.140048 0.128311

ALE -> BKE + 0.278353 0.272168 0.137831 0.137831 2.019520**

ALE -> TKE + -0.041542 -0.036328 0.167358 0.167358 0.248222

APRO -> BKE - -0.244211 -0.240505 0.137653 0.137653 1.774100**

APRO -> TKE - -0.076407 -0.062100 0.175449 0.175449 0.435495

APO -> BKE + 0.205240 0.190387 0.129747 0.129747 1.581846

APO -> TKE + 0.309035 0.316115 0.116122 0.116122 2.661294***

BKE -> TKE + 0.445746 0.439252 0.119958 0.119958 3.715839***

BKE -> KKE - -0.467458 -0.484807 0.148624 0.148624 3.145243***

TKE -> KKE - 0.219860 0.192203 0.145597 0.145597 1.510057

Catatan: *** Sangat signifikan, ** signifikan; 1,64 P<0,05; 2,33 P<0,01 (one

tailed)

6. Kesimpulan, Keterbatasan, dan Implikasi Penelitian 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan analisis koefisien jalur, terlihat bahwa

kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah

Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dipengaruhi oleh konteks kerja

dengan persepsian negatif yang berupa beban kerja, namun tidak dipengaruhi tekanan

kerja persepsian negatif. Tekanan kerja dengan persepsian negatif berdasarkan hasil

penelitian dapat meningkatkan kinerja kerja aktor akuntabilitas. Dengan kata lain, ada

hubungan positif antara kinerja aktor akuntabilitas dengan tekanan kerja yang

disebabkan persepsian negatif konflik keharusan akuntabilitas. Persepsian beban kerja

dan tekanan kerja dipengaruhi oleh competing accountability requirement NGO pada arah dan tingkat yang berbeda-beda bergantung pada persepsian competing accountability requirement aktor akuntabilitas mereka masing-masing.

Keharusan akuntabilitas hirarkikal, dan akuntabilitas legal menunjukkan

hubungan positif dengan beban kerja, sedangkan akuntabilitas profesional menunjukan

hubungan negatif dengan beban kerja. Lebih lanjut, akuntabilitas politikal menunjukkan

hubungan positif dengan tekanan kerja. Secara umum dapat dijelaskan bahwa konflik

keharusan akuntabilitas yang terjadi karena ketidakmampuan untuk menyeimbangkan

(19)

akuntabilitas yang bersangkutan. Sedangkan tekanan kerja hanya berhubungan secara

positif dengan keharusan akuntabilitas politikal. Artinya, apabila aktor akuntabilitas

menekankan pada keharusan akuntabilitas politikal lebih dari keharusan akuntabilitas

yang lainnya, maka akan meningkatkan persepsian tekanan kerjanya. Terdukungnya

hipotesis tersebut mungkin saja lebih disebabkan bahwa dalam konteks NGO dengan

karakter organisasi yang kolegial atau kekeluargaan, maka akan membuat aktor

akuntabilitas akan merasakan tekanan persepsian.

6.2. Keterbatasan Penelitian

Penelitian pada competing accountability requirement dan pengaruhnya terhadap kinerja kerja NGO merupakan penelitian pertama di Indonesia. Penelitian sebelumnya

pernah dilakukan di Amerika atas organisasi non-profit di bidang pelayanan

kemanusian saja, sehingga penelitian ini memiliki keterbatasn yang akan mempengaruhi

hasil penelitian. Adapun keterbatasan-keterbatasan tersebut, antara lain:

1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk variabel tekanan kerja dan

kinerja kerja banyak yang dihapus karena cross loading yang rendah. Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk menggunakan

instrumen yang berbeda yang dianggap paling sesuai dengan konteks

penelitian.

2. Instrumen untuk variabel akuntabilitas hirarkikal beban kerja hanya

menggunakan tiga item pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan apabila dalam

pilot study terdapat item pertanyaan yang harus dihapus, maka instrumen tersebut menjadi tidak layak digunakan apabila penelitian menggunakan alat

analisis PLS.

3. Data penelitian ini merupakan hasil dari instrumen yang berdasarkan pada

persepsi responden, maka hal ini dapat menimbulkan masalah jika persepsi

responden berbeda dengan keadaan sesungguhnya.

6.3. Implikasi Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi NGO di Indonesia

mengenai adanya competing accountability requirement yang terjadi akibat adanya keharusan terhadap berbagai tipe akuntabilitas dengan tidak mempertimbangkan

heterogenitas NGO maupun individu yang terlibat di dalamnya. Aktor akuntabilitas

dipaksa untuk mencapai ekspektasi berbagai forum akuntabilitas yang mungkin tidak

sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas aktor akuntabilitas. Kondisi ini menyebabkan

(20)

ataupun akumulasi jumlah pekerjaan karena ekspektasi-ekspektasi yang berbeda

tersebut.

Kinerja kerja aktor akuntabilitas hanya dipengaruhi oleh persepsian negatif

beban kerja yang disebabkan oleh bertambahnya volume pekerjaan dan beragamnya

SOP (standard operating procedure) yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga donor. Secara umum hasil penelitian ini berimplikasi terhadap wacana penentuan tipe

akuntabilitas yang tepat bagi tiap organisasi NGO sesuai dengan ekspektasi

masing-masing forum (Romzek & Dubnick, 1987). Peningkatan kinerja adalah dampak utama

yang seharusnya terjadi karena berbagai bentuk keharusan yang dilaksanakan oleh aktor

akuntabilitas (Dubnick, 2005) yang faktanya di organisasi NGO hal tersebut terjadi

karena praktik akuntabilitas dilakukan atas dasar kesadaran sejak awal pendirian

(21)

Daftar Pustaka

Amstrong, M. (2004). Performance management. Setiawan, T. (alih Bahasa). Tugu Publisher. Yogyakarta.

Beehr, T.A., & Newman, J. (1978). Job stress, employee health, and organizational effectiveness: A facet analysis, model and literatur review. Personnel Psychology, (31), 665-669.

Brown, L. D., Moore, M. H., & Honan, J. (2001). Building strategic accountability systems for international NGOs. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 30(3), 569-587.

Chin, W., Mancolin, B. L., & Newsted, P. R. (2003). A partial least square latent variabel modelling aproach for measuring interaction effects: result from amonte carlo simulayion and voice mail emotion/adoption study information system reseach.

Christensen, R. A., & Ebrahim, A. (2006). How does accountability affect mission? The case of a nonprofit serving immigrants and refugees. Nonprofit Management and Leadership, 17(2), 195-209.

Dicke, C. (2002). Ensuring accountability in human service contracting. Public Pruductivity & Management Review, 22: 502-516.

Dixon, Rob, John Ritchie, and Juliana Siwale (2006). Microfinance: accountability from the grassroots. Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol.19, No.3. pp.405-427.

Ebrahim, A. (2003). Making sense of accountability: Conceptual perspectives for Northern and Southern nonprofits. Nonprofit Management and Leadership, 14(2), 191-212.

Fredericksen, P. J., & Levin, D. (2004). Accountability and the use of volunteer officers in public safety organizations. Public Performance & Management Review, 27(4), 118-143.

Fry, R. E. (1995). Accountability in organizational life: Problem or opportunity for nonprofits? Nonprofit Management and Leadership, 6(2), 181-195.

Gibelman, M., dan Gelman, S. R. (2001). Very public scandals: Non Governmental Organizations in trouble. International Journal of Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly. 12(1), 49– 66.

Greenlee, J. S. (1998). Accountability in nonprofit organizations. Nonprofit Management and Leadership, 9(2), 205-210.

Johnston, J. M., & Romzek, B. S. (1999). Contracting and accountability in state medical reform: Rhetoric, theories, and realities. Public Administration Review, 59(5), 383-399.

Johnson, R.B., & Onwuegbuzie, A.J. (2004). Mixed methods research: A research paradigm whose time has come. Educational Researcher, Vol. 33, No. 7. pp. 11

-26.

Handoko T.H. (1996). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE. Yogyakarta.

Hansen, J. R., & Host, V. (2012). Understanding the relationship between decentralization organizational decesion structure, job context, and job satisfaction-a survey of dining public managers. Review of Public Personel Administration. 132 (2): 288-308.

Hartono, Jogiyanto dan Abdillah Willy. 2009. Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least Square) untuk Penelitian Empiris. BPFE Yogyakarta

(22)

Kanter, R. M., & Summers, D. V. (1987). Doing well while doing good: Dilemmas of performance measurement in nonprofit organizations and the need for multiple-constituency approach. In W. W. Powell (Ed.), The nonprofit sector: A research handbook (pp. 154-166). New Haven, CT: Yale University Press.

Kearns, K. P. (1994). The strategic management of accountability in nonprofit organizations: An analytical framework. Public Administration Review, 54(2), 185-192.

Kim, S. E. (2005). Balancing competing accountability requirements: Challenges in performance improvement of the nonprofit human service agency. Public Performance and Management Review, 29(2), 145-163.

Kim, S.E., & Lee (2010). Impact of competing accountability requirements on perceived work performance. The American Review of Public Administration, 49(1), 100-118.

Koppell, J. G. S. (2005). Pathologies of accountability: ICANN and the challenges of “multiple accountabilities disorder.” Public Administration Review, 65(1), 94-105.

Lai, Ming-Cheng and Fan, Shih-Liang. 2008. Use of Fit Perception in Employee Behavioral Criteria in Taiwan IT Industry. Business and Information. Volume 5,

Issue 1. Available also at,

http://academic-papers.org/ocs2/session/Papers/A2/234.doc

Light, P. C. (2000). Making nonprofits work: A report on the tides of nonprofit management reform. Washington, DC: Brookings Institution Press.

Lusch, R. F., & Serpkenci, R.R. (1990). Personal differences, job tension, job outcomes, and store performance: A study of retail store manager. Journal of Marketing, 85-101.

Lyons, T. F. (1971). Role clarity, need for clarity, satisfaction, tension, and withdrawal. Organizational Behavior and Human Performance, 6, 99-110.

Radin, B. A. (2002). The accountable juggler: The art of leadership in a federal agency. Washington, DC: CQ Press.

Romzek, B. S., & Dubnick, M. J. (1987). Accountability in the public sector: Lessons from the challenger tragedy. Public Administration Review, 47(3), 227-238. Romzek, B. S., & Ingraham, P. W. (2000). Cross pressures of accountability: Initiative,

command, and failure in the Ron Brown Plane crash. Public Administration Review, 60(3), 240-253.

Rubin, H. (1990). Dimensions of institutional ethics: A framework for interpreting the ethical context of the nonprofit sector. In D. Gies, S. Ott, & J. M. Shafritz (Eds.), The nonprofit sector: Essential readings (pp. 211-216). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

Salamon, L. M. (2002). The state of nonprofit america. Washington, D.C.: Brookings Institution Press.

Smith, S. R., & Lipsky, M. (1993). Nonprofits for Hire: The welfare state in the age of contracting. Cambridge, MA: Harvard University.

Spector, P. E., & Jex, S. M. (1998). Development of four self-report measures of job stressor and strains: Interpersonal conflict at work scale, organizational constraints scale, workload and physical symptoms inventory: Journal of Occupational Health Pshcology. 3, 356-367.

(23)

Wang, Xiahou. 2002. Assesing Performance Measurement Impact: A study of US Local Government. Public Performance and Management Review. Sage Publications Vol. 26: 26-43

Gambar

Gambar 2.1 Model Penelitian
Tabel 1
Tabel 3
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menutup percakapan bersemuka, partisipan menggunakan tuturan yang berbeda dari tuturan yang digunakannya pada saat menutup percakapan dengan instrumen

Pencarian solusi program linier fuzzy memerlukan langkah-langkah dimana pengambilan keputusan kriteria Laplace yaitu suatu kriteria pengambilan keputusan dibawah ketidakpastian akan

Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kualitas produk memiliki pengaruh secara langsung terhadap loyalitas konsumen, hal ini menunjukkan bahwa

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data proses yang memberikan daya jerap bentonit paling maksimum pada variasi ukuran partikel dan suhu adsorpsi

Secara umumnya Shinto adalah sebuah kata yang dipakai untuk mewakili kepercayaan tradisional orang Jepang yang berbasis kepercayaan terhadap dewa dan roh.. Dan bukan hanya itu

Setelah dua bulan intervensi terjadi penurunan persentase keterlambatan motorik kasar pada kelompok perlakuan menjadi 10%, pada kelompok kontrol 23,8%, sedangkan

Material yang akan digunakan dalam perkerasan lentur jalan terdiri dari agregat kasar, agregat halus, aspal, dan dapat ditambahkan bahan tambah lainnya sesuai dengan

Smua jenis tanaman yang dipilih merupakan tanaman yang aman bagi anak-anak, memiliki aroma tertentu untuk mendukung kegiatan terapi dan meredam efek negatif kegiatan terapi,