BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri kelapa sawit di Indonesia saat ini tumbuh dengan pesat. Hal ini
diperlihatkan dari luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang terus
bertambah, demikian pula produksi dan ekspor minyak sawitnya. Pada tahun 2009
luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia diperkirakan mencapai 7,5 juta
hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) berkisar 23 juta ton. Besarnya produksi CPO tersebut diikuti dengan produksi limbah pabrik kelapa sawit (PKS)
yang cukup besar juga, baik limbah padat seperti tandan kosong, cangkang, dan serat
(fiber) yang berkisar 15,2 juta ton/tahun, maupun limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) yang berkisar 28,7 juta ton/tahun. Jumlah ini akan terus meningkat dengan
meningkatnya produksi tandan buah segar (TBS) Indonesia (Dinas Pertanian, 2010).
Dalam pengoperasian pabrik kelapa sawit, disamping akan menghasilkan
produk utama (main product) berupa CPO dan PKO, juga akan menghasilkan produk
samping (by-product), baik berupa limbah padat maupun limbah cair dan juga polutan ke udara bebas (Henry Loekito, 2002). LCPKS merupakan salah satu produk
samping terbesar dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang berasal dari air kondensat
Chemical Oxygen Demand (COD) dengan konsentrasi tinggi hingga mencapai 100.000 mg/l, kandungan lemaknya mencapai 4000 mg/l dantotal solid (TS) 40.500
mg/l (Ngan, M.A, 2000). Parameter LCPKS tersebut berada di atas ambang batas
baku mutu limbah. Jika tidak dilakukan pencegahan dan pengolahan terhadap
LCPKS, maka akan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti pencemaran air,
menimbulkan bau, dan menghasilkan gas metana serta CO2 yang merupakan emisi
gas penyebab efek rumah kaca. Sehingga perlu dilakukan pengolahan terhadap
LCPKS tersebut sebelum dibuang ke perairan.
Secara konvensional pengolahan limbah cair kelapa sawit LCPKS yang banyak
digunakan oleh PKS adalah dengan sistem kolam yang terdiri dari kolam anaerobik
dan aerobik dengan total waktu retensi sekitar 90-120 hari. Pengolahan LCPKS
secara konvensional banyak dilakukan oleh pabrik kelapa sawit karena cukup
sederhana dengan biaya investasi yang lebih murah dan energi yang dibutuhkan
rendah. Tetapi bila ditelaah lebih lanjut, sistem kolam memiliki beberapa kelemahan
diantaranya yaitu kebutuhan areal untuk kolam yang cukup luas (sekitar 5 ha untuk
PKS dengan kapasitas 30 ton/jam), kemudian perlu biaya pemeliharaan untuk
pembuangan dan penanganan lumpur dari kolam dan juga terjadi emisi gas metana ke
udara bebas. Selain itu ketika limbah yang telah diolah dibuang ke sungai, dan semua
nutrisi yang berasal dari limbah (N, P, K, Mg, Ca) akan hilang, selain itu juga akan
menyebabkan pencemaran sungai (Dinas Pertanian, 2010).
dimanfaatkan secara maksimal sehingga memberikan nilai tambah. Diantara upaya
tersebut adalah pemanfaatan LCPKS dengan proses fermentasi anaerobik untuk
menghasilkan biogas. Beberapa institusi telah mengembangkan beberapa metode
untuk mengolah LCPKS menjadi biogas, antara lain proses pengolahan anaerobik
mesofilik dan anaerobik termofilik dengan waktu tinggal yang bervariasi, diantaranya
adalah Novaviro Technology Sdn Bhd, Malaysia yang telah mengembangkan proses
pengolahan LCPKS menggunakan tangki reaktor anaerobik mesofilik. Pada proses
ini, gas metana yang terbentuk digunakan sebagai sumber energi bagi pabrik kelapa
sawit, proses yang dikembangkan merupakan proses kontiniu menggunakan
Continuous Stirred Tank Reactor(CSTR) dengan waktu tinggal (Hydraulic Retention Time, HRT) selama 18 hari dan menggunakan sistem pengembalian sludge dengan waktu tinggal 2 hari dalam tangki sedimentasi (Novaviro, 2008). Selain itu, telah
dikembangkan juga proses pembentukan biogas dari LCPKS secara anaerobik
termofilik dengan HRT 8, 6 dan 4 hari oleh peneliti dari USU dan Metawater Jepang,
biogas yang diperoleh pada HRT 8 hari adalah sebanyak 6,05-9,82 liter/hari, pada
HRT 6 dan 4 diperoleh 6,93-8,94 dan 13,95-16,14 liter/hari (Irvan dkk, 2012).
Saat ini metode-metode yang dikembangkan dalam pengolahan dan
pemanfaatan LCPKS menjadi biogas ini tidak hanya sebatas teknologi untuk
mengkonversi LCPKS menjadi biogas, tetapi juga bagaimana memperoleh produksi
biogas yang optimum. Salah satunya adalah fermentasi POME dengan sistem
Dalam proses anaerobik, untuk memproduksi biogas diperlukan suatu kondisi
yang memungkinkan mikroorganisme pembentuk metana untuk dapat hidup dan
berkembang biak dengan baik. Salah satu kondisi yang harus dijaga adalah pH dari
sistem pengolahan anaerobik tersebut. Kondisi pH yang dibutuhkan oleh bakteri
metanogen adalah pada rentang nilai 6,5 hingga 7,2. Untuk mempertahankan kondisi
pH pada rentang yang dibutuhkan oleh mikroorganisme agar dapat hidup, maka
alkalinitas perlu dijaga dengan menambahkan NaHCO3 (Appels, L., dkk, 2008).
Alkalinitas adalah salah satu parameter yang paling penting dalam proses pengolahan
limbah cair karena alkalinitas berfungsi sebagai pengontrol pH (Morel, F. M, 1983).
Untuk meningkatkan alkalinitas ada beberapa jenis bikarbonat yang biasa digunakan,
yaitu: natrium bikarbonat, natrium karbonat, natrium hidroksida, magnesium oksida
atau kapur. Dari keseluruhan yang disebutkan, diketahui natrium bikarbonat memiliki
kelarutan yang tinggi dan kemampuan yang tinggi untuk menetralisasi karbon
dioksida sehingga menjadikannya mudah digunakan dan aman bagi lingkungan
(Speece, 1996). Disamping itu harganya relatif lebih murah dibandingkan bikarbonat
yang lain.
Beberapa penelitian yang berkenaan dengan penggunaan NaHCO3
Tabel 1.1 Berbagai Penelitian Pembuatan Biogas yang Menggunakan NaHCO3
sebagai Sumber Alkali
Peneliti Judul Jenis Limbah Metode Hasil Penelitian
B. I
Effect of Buffer (NaHCO3) and
Waste Type in High Solid
Saat ini Lembaga Penelitian USU bekerja sama dengan perusahaan Metawater
Jepang yang sedang mengembangkan metode pemanfaatan dan pengolahan LCPKS.
Metode yang dikembangkan adalah pengolahan LCPKS dengan proses anaerobik
secara termofilik untuk memperoleh biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
energi. Penelitian ini menggunakan digester berpengaduk dengan HRT 6 hari dan
temperatur operasional 55oC. Dalam proses pengolahannya dilakukan penambahan
NaHCO3 sebanyak 2,5 g/L LCPKS untuk menstabilkan alkalinitas dan penambahan
larutan FeCl2 25 mg/L, NiCl2 0,49 mg/L dan CoCl2 0,42 mg/L LCPKS untuk
meningkatkan produksi biogas. Penelitian USU ini berupa pilot plant dengan
menggunakan digester yang dapat menampung 3 ton LCPKS untuk diolah secara
anaerobik dan dapat menghasilkan biogas (Irvan, 2009).
Jika diaplikasikan dalam industri kelapa sawit untuk skala penuh (full scale)
dengan kapasitas produksi 40 ton per jam maka kebutuhan NaHCO3yang digunakan
untuk pengolahan limbah cairnya akan cukup besar. Bila suatu PKS mengolah 40 ton
tandan buah segar per jam dengan konversi TBS 60% (Novaviro, 2008) maka akan
diperoleh sekitar 24 ton LCPKS per jam. Jika diasumsikan waktu produksi selama 20
jam per hari maka jumlah LCPKS yang harus diolah sekitar 144.000 ton per tahun.
Sehingga berdasarkan metode yang dikembangkan oleh LP3M USU dan Metawater,
untuk mengolah LCPKS tersebut dibutuhkan kurang lebih 1.200 NaHCO3gr per hari,
atau sekitar Rp. 2.760.000,- per harinya, sekitar Rp. 1.007.400.000,- M per tahun.
Diketahui bahwa dengan adanya sistem recycle sludge, dapat meningkatkan produksi biogas, berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada penggunaan
NaHCO3 dalam proses anaerobik dapat mempengaruhi proses fermentasi.
Penambahan NaHCO3 juga sangat dibutuhkan sebagai penetral pH. Tetapi bila
diaplikasikan dalam skala penuh maka dana yang dibutuhkan akan sangat besar,
berdasarkan hal tersebut, dan mengambil referensi dari penelitian yang ada, disini
peneliti ingin melakukan serangkaian penelitian awal yaitu dengan dihentikan
penambahan NaHCO3sehingga diketahui pengaruhnya terhadap produksi biogas, pH
serta nilai alkalinitas yang dihasilkan dari pengolahan tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
NaHCO3 sangat dibutuhkan dalam fermentasi LCPKS. Keberadaannya sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan pH. Jika pH di dalam fermentor turun dibawah 6,5
maka populasi bakteri secara keseluruhan akan tidak seimbang dan tidak dapat
memproduksi biogas maka untuk menjaga alkalinitas perlu penambahan bikarbonat.
Jika diaplikasikan kedalam skala industri penggunaan bikarbonat sangatlah besar,
maka penelitian ini dilakukan dengan melakukan penghentian terhadap bikarbonat,
agar dapat menghemat biaya perusahaan dan ingin diketahui kondisi pH, produksi
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengetahui seberapa besar pengaruh yang terjadi di dalam fermentor jika dilakukan
penghentian NaHCO3 terhadap perubahan produksi biogas, pH dan alkalinity yang
dihasilkan pada proses fermentasi LCPKS, baik itu dengan sistem recycle sludge
maupunnon-recycle.
1.4. Lingkup Penelitian
Bahan baku yang digunakan adalah limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS)
yang berasal dari pabrik kelapa sawit Adolina PTPN IV. Penelitian dilakukan dengan
proses fermentasi anaerobik termofilik menggunakan fermentor jenis Continuous Stirred Tank Reactor(CSTR).
Kondisi operasional pada penelitian ini adalah:
1. Temperatur : 55oC
2. Volume substrat : 2 liter
3. HRT : 6 hari
4. Konsentrasi NaHCO3awal : 2,5 g/L
5. Kecepatan pengadukan : 150 rpm–200 rpm
Parameter yang diukur adalah:
1. Dihentikan penambahan NaHCO3 dengan dan tanpa recycle terhadap
2. Terhadap TS.
3. Terhadap VS.
4. TerhadapAlkalinity. 5. Terhadap pH.
Variasi bebas:
1. Dihentikan Penambahan NaHCO3denganrecycle.
2. Dihentikan Penambahan NaHCO3tanparecycle.
3. Tanpa Dihentikan Penambahan NaHCO3denganrecycle.
4. Tanpa Dihentikan Penambahan NaHCO3tanparecycle.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini bagi industri dan masyarakat adalah:
1. Menyediakan informasi tentang penggunaan natrium bikarbonat
menggunakan fermentasi LCPKS anaerobik termofilik.