• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MUSLIM PESERTA DIDIK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MUSLIM PESERTA DIDIK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

176

A. Pelaksanaan Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Kontekstual di Sekolah

Berdasarkan data yang telah di dapat pelaksanaan pembelajaran PAI

dengan pendekatan kontekstual di SMAN 1 Kedungwaru dan SMAN 1

Boyolangu Kabupaten Tulungagung meliputi : membuat keterkaitan yang

bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja

sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan

berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian

autentik.

Membuat keterkaitan yang bermakna, antara lain dengan memanfaatkan

media yang ada di sekolah, seperti masjid, LCD, internet atau dengan

mengaitkan materi PAI dengan peristiwa yang baru atau sering terjadi dalam

lingkungan kehidupan sehari-hari peserta didik maupun peristiwa yang di

ketahui dari media. Pembelajaran mandiri, dengan menyiapkan dan

mempelajari materinya sendiri sebelum kegiatan belajar mengajar baik dari

internet, buku dan sumber-sumber lain yang relevan, peserta didik melakukan

proses mengamati, menanya, mengeksplorasi dan kemudian

mengkomunikasikan di dalam kelas, Pembelajaran mandiri juga dapat

diterapkan di luar KBM di setiap kegiatan keagamaan peserta didik.

Melakukan pekerjaan yang berarti, antara lain melaksanaan ibadah sunat

(2)

mengucapkan salam ketika bertemu, berjabat tangan dengan teman maupun

gurunya, menyisihkan dari uang saku setiap hari untuk diberikan kepada

orang-orang miskin, anak-anak yatim, orang-orang jompo dan memberikan

baju bekas seragam sekolah setelah lulus ujian di kelas XII, menjaga

kebersihan lingkungan sekolah, sholat jum’at, kajian Islami, membaca Surat

Yasin dan Tahlil dan kegiatan sosial pada bulan Ramadhan, peringatan Hari

Kelahiran sekolah. Bekerja sama, antara lain dengan kerja kelompok dalam

mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru baik diskusi, praktek ibadah dan

karya seni Islami. Berpikir kritis dan kreatif, antara lain Untuk menumbuhkan

sifat kritis dengan cara memberi kesempatan peserta didik bertanya,

mengumpulkan data atau menemukan gejala atau kejadian yang ada di dalam

masyarakat dan memberi kesempatan mengkomunikasikan terhadap materi

yang sifatnya actual atau baru dalam masyarakat. Sedang menumbuhkan

sikap kreatif pada peserta didik dengan membuat kesimpulan atau menyusun

tugasnya dengan dikemas menjadi lebih menarik. Membantu individu untuk

tumbuh dan berkembang, dilakukan melalui proses identifikasi dalam rangka

mengenal karakteristik peserta didik melalui proses pembelajaran diantaranya

dari gaya belajar dan keaktifan peserta didik di dalam kelas kemudian

diadakan pendekatan individual dan tindak lanjut. Mencapai standar yang

tinggi, antara lain nilai peserta didik tidak hanya mencapai KKM (Kriteria

Ketuntasan Minimum) namun harus melebihi KKM baik dari aspek kognitif,

(3)

penilaian menyeluruh meliputi aspek kognitif (pengetahuan) yaitu, penilaian

afektif (sikap) dan ketiga penilaian psikomotorik.

Temuan diatas sesuai dengan delapan komponen CTL yang diutarakan

oleh Johnson, yaitu (1) membuat keterkaitan yang bermakna, (2)

pembelajaran mandiri (3) melakukan pekerjaan yang berarti, (4) bekerja

sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan

berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan

penilaian autentik.1

Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning

(CTL) dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang berpandangan bahwa

hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, karena

belajar bukanlah sekadar menghafal akan tetapi mengonstruksi pengetahuan

melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ‘’pemberian’’ dari orang

lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengonstruksi yang dilakukan

setiap individu.

Pembelajaran interaktif memiliki dua karakteristik yaitu ;

1. Proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal,

bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi

mengehendaki aktivitas peserta didik dalam proses berfikir.

2. Dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses

tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan

meningkatkan kemampuan berfikir peserta didik, yang pada gilirannya

1

Elaine B. Jhonson, Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar

(4)

kemampuan berfikir itu dapat membantu peserta didik untuk memperoleh

pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.

CTL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada

proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang

dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga

mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.2

Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya:

1. Menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan

materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman

secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual

tidak mengharapkan agar peserta didik hanya menerima pelajaran, akan

tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

2. Mendorong agar peserta didik dapat menemukan hubungan antara materi

yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya peserta didik

dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di

sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan

dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata,

bukan saja bagi peserta didik materi itu akan bermakna secara fungsional

akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori

peserta didik, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

2

(5)

3. Mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan,

artinya model Pembelajaran Kontekstual bukan hanya mengharapkan

siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana

materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan

sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks model Pembelajaran Kontekstual

bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan tetapi segala

bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.

CTL merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan

antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan

mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan

masyarakat. Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu

siswa melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan

jalan menghubungkan mata pelajaran akademik dengan isi kehidupan

sehari-hari, yaitu dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan budaya.

Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang

memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah, dan

menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait dengan

kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas peserta didik dalam mencoba,

melakukan, dan mengalami sendiri.

CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki tujuh komponen.

Komponen-komponen ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran

(6)

1. Kontruktivisme

Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan

baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. 3

Kontuktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam CTL, yaitu

bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang

hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah

seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan

diingat. Manusia harus membangun pengetahuan ini memberi makna

melalui pengalaman yang nyata.

2. Menemukan (inquiry)

Inquiry adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan

penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. 4 Menemukan,

merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan

memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta

kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil

dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil

menemukan sendiri.

3. Bertanya (Questioning)

Unsur lain yang menjadi karekteristik utama CTL, adalah kemampuan

dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan yang dimiliki seseorang

selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan

strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus

3

Wina Sanjaya, Startegi Pembelajaran Berorientasi, (Jakarta : Kencana, 2008), 118.

4

(7)

difasilitasi oleh guru, kebiasaan peserta didik untuk bertanya atau

kemampuan dalam menggunakan pertnyaan yang baik akan mendorong

pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Maksud dari masyarakat belajar adalah membiasakan peserta didik untuk

melakukan kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar dari

teman-teman belajarnya. Seperti yang disarankan dalam learning community,

bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain

melalui berbagai pengalaman (sharing). Melalui sharing ini anak

dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sifat ketergantungan

yang positif dalam learning community dikembangkan.

5. Pemodelan (Modelling)

Yang dimaksud dengan modelling adalah proses pembelajaran dengan

memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap

siswa.5 Modelling merupakan komponen yang cukup penting dalam

pembelajaran CTL, sebab melalui modelling siswa dapat terhindar dari

pmbelajaran yang teoritis –abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya

verbalisme.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja

dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah berfikir ke belakang tentang

apa yang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa lalu, peserta didik

5

(8)

mengendapakan apa yang baru dipelajarinya sebagai stuktur pengetahuan

yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan

sebelumnya. Pada saat refleksi, peserta didik diberi kesempatan untuk

merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.

7. Penilaian Sebenarnya ( Authentic Assessment )

Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan

penilaian. Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran memiliki

fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas

proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL. Penilaian adalah

proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan

gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar peserta didik.

Dengan terkumpulnya berbagai data dan informasi yang lengkap sebagai

perwujudan dari penerapan penilaian, maka akan semakin akurat pula

pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap

peserta didik.

Guru dengan cermat akan mengetahui kemajuan, kemunduran, dan

kesulitan siswa dalam belajar, dan dengan itu pula guru akan memiliki

kemudahan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan

proses bimbingan belajar dalam langkah selanjutnya. Beberapa hal yang

harus diperhatikan para guru Pendidikan Agama Islam dalam

mengimplementasikan pendekatan kontestual :

(9)

Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mengobservasi suatu

fenomena, misalnya :

a. Menyuruh peserta didik untuk menonton VCD tentang kejadian

manusia, rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, tentang Alam Akhirat, azab Ilahi,

dan sebagainya.

b. Menyuruh peserta didik untuk melaksanakan shaum pada hari senin

dan kamis, membayar zakat ke BAZ, mengikuti sholat berjamaah di

masjid, mengikuti ibadah qurban, menyantuni fakir miskin

Langkah kedua yang dilakukan oleh guru adalah memerintahkan peserta

didik untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah

menonton VCD atau mendengarkan kisah-kisah Al Qur`an, peserta didik

diharuskan membuat catatan tentang pengalaman yang mereka alami,

melalui diskusi dengan teman-temannya. Setelah mengamati dan

melakukan aktivitas keagamaan peserta didik diwajibkan untuk mencatat

permasalahan-permasalahan yang muncul serta mereka dapat

mengungkapkan perasaannya kemudian mendiskusikan dengan teman

sekelasnya.

Langkah ketiga tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah merangsang

peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan yang

ada.

Langkah keempat guru diharapkan mampu untuk memotivasi peserta didik

agar mereka berani bertanya, membuktikan asumsi dan mendengarkan

(10)

2. Memanfaatkan Lingkungan Peserta didik untuk Memperoleh Pengalaman

Belajar

Guru memberikan penugasan kepada peserta didik untuk melakukan

kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan peserta didik,

antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan

dengan memberikan penugasan kepada siswa di luar kelas. Misalnya

mengikuti sholat berjamaah, mengikuti sholat jum`at, mengikuti kegiatan

ibadah qurban dan berkunjung ke pesantren untuk mewawancarai santri

atau ustadz yang berada di pesantren tersebut. peserta didik diharapkan

dapat memperoleh pengalaman langsung dari kegiatan yang mereka

lakukan mengenai materi yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar

merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan peserta didik dalam

rangka penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi

pembelajaran.

3. Memberikan Aktivitas Kelompok

Di dalam kelas guru PAI diharapkan dapat melakukan proses

pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Peserta

didik di bagi kedalam beberapa kelompok yang heterogen. Aktivitas

pembelajaran kelompok dapat memperluas perspektif dan dapat

membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang

lain. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru dalam

(11)

pembentukan kelompok, diantaranya : mendatangkan ahli ke kelas,

misalnya Tokoh Agama, Santri atau Ulama dari pesantren, bekerja dengan

kelas sederajat, bekerja dengan kelas yang ada di atasnya.

4. Membuat Aktivitas Belajar Mandiri

Melalui aktivitas ini peserta didik mampu mencari, menganalisis dan

menggunakan informasi sendiri dengan sedikit bantuan atau bahkan tanpa

bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih

memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan

strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah

mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti

uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun

refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat

melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5. Menyusun Refleksi

Dalam melakukan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir siswa

merenungkan kembali pengalaman yang baru mereka peroleh dari

pelajaran tentang sholat berjama`ah.

Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami

tipe belajar dalam dunia peserta didik, artinya guru perlu menyesuaikan gaya

mengajar terhadap gaya belajar peserta didik. Dalam proses pembelajaran

(12)

ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire

dalam Sanjaya sebagai sistem penindasan.6

Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus

diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan

kontekstual yakni:

1. Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang

sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh

tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak

bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang

sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar

akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman

mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau

‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah

pembimbing peserta didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap

perkembangannya.

2. Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan

memecahkan setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian guru

berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk

dipelajari oleh siswa.

3. Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan

antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan

demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu

6

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(13)

menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman

sebelumnya.

4. Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada

(asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan

demikian tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) agar anak

mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.

B. Implikasi Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Kontekstual di Sekolah

Implikasi Contekstual teaching And Learning (CTL) dari hasil temuan

penelitian di dua sekolah SMAN 1 Kedungwaru dan SMAN 1 Boyolangu

Kabupaten Tulungagung adalah : pertama pembelajaran PAI tidak hanya

bertujuan mentransfer materi pelajaran namun lebih dari itu bagaimana

peserta didik bisa berempati, bersimpati, bersyukur atas kenikmatan yang

diperoleh. Pembelajaran tidak hanya mencangkup kognitif saja, namun

ketrampilan dan pembentukan sikap, yang merupakan tuntutan kebutuhan

peserta didik pada saat ini, kedua penyediaan fasilitas untuk keberhasilan

dalam pembelajaran PAI, kreatifitas dan ide yang muncul dari para guru

sangat dihargai dan semua kegiatan yang positif oleh Kepala Sekolah dan

sponsor, ketiga kegiatan belajar mengajar melibatkan semua elemen, seperti

keluarga, lembaga sekolah dengan semua warganya mulai dari Kepala

Sekolah, semua guru tidak hanya guru PAI saja dan karyawan, keempat

supervise Kepala Sekolah tidak hanya dilaksanakan di dalam kelas namun

(14)

peserta didik melasanakan kegiatan yang ada di luar sekolah seperti kegiatan

social atau yang lainnya, kelima memberikan pengalaman yang mendalam,

antara lain lebih cepat menguasai materi pelajaran, memahami makna dan

manfaat materi secara nyata, meningkatnya motivasi belajar, daya

kreatifitasnya, pengetahuan, kemampuan berkomunikasi, kedisiplinan dan

meningkatnya amalan-amalan dan ibadah yang dilakukan peserta didik,

sehingga lebih mandiri khusu’dan bertanggungjawab sehingga akhlak

menjadi lebih baik, peduli terhadap orang lain, optimis dalam menggapai

masa depan dan semakin teguh dalam memegangi nilai-nilai agamanya dan

mampu memposisikan dirinya menjadi manusia yang lebih bermartabat atau

mempunyai harga diri, menjadi tauladan dan menemukan jati dirinya sebagai

anak yang senatiasa harus belajar, keenam Guru menjadi action for example

atau menjadi suri tauladan bagi anak didiknya, dan guru senantiasa belajar

agar bisa mengikuti perkembangan sehingga mampu memberikan yang

terbaik kepada peserta didik.

Dari temuan diatas dapat digaris bawahi ada kencenderungan dewasa

ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika

lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak

mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang

berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi

mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan

persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Sebagaimana diungkapkan Wina

(15)

pertama proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, kedua pembelajaran

kontekstual adalah belajar dengan memperoleh dan menambah pengetahuan

baru, ketiga pemahaman pengetahuan yang artinya pengetahuan yang

diperoleh bukan untuk dihafal akan tetapi untuk difahami dan diyakini,

keempat mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman, kelima melakukan

refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.7

Pendekatan konstektual merupakan konsep belajar yang membantu

guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata

siswa dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan

yang dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan sehari-hari .Dengan

konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik.

Proses pembelajaran alamiah berlangsung dalam bentuk kegiatan peserta

didik bekerja dan mengalami,bukan mentrasfer pengetahuan dari guru ke

peserta didik. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil.

Pembelajaran terkini merupakan pembelajaran integral, peserta didik

berinteraksi dengan teman, pendidik dan lingkungan masyarakatnya dalam

menguasai materi pembelajaran. Pendidik adalah pembimbing, pelatih dan

pengembang kurikulum yang mempunyai kemampuan untuk menciptakan

kondisi dan suasana belajar kondusif, yaitu suasana belajar menyenangkan,

menarik, memberi rasa aman, memberikan ruang pada peserta didik untuk

berpikir aktif, kreatif, inovatif dan produktif dalam mengeksplorasi dan

mengelaborasi kemampuannya sebagai anak bangsa. Pendidik yang

7

(16)

profesional merupakan faktor penentu proses pembelajaran yang berkualitas.

Untuk dapat menjadi pendidik profesional, seorang pendidik harus mampu

menemukan jati diri dan mengaktualisasi diri, sesuai dengan kemampuan dan

kaidah-kaidah pendidik yang profesional. Untuk itu, pendidik diharapkan

tidak hanya sebatas menjalankan profesinya, tetapi pendidik harus memiliki

interest yang kuat dalam melaksanakan tugasnya, sesuai dengan

kaidah-kaidah profesionalisme yang dipersyaratkan. Pendidik dalam era teknologi

informasi dan komunikasi sekarang, bukan hanya sekadar mengajar (transfer

of knowledge), melainkan harus menjadi manajer belajar. Hal tersebut

mengandung arti, setiap pendidik diharapkan mampu menciptakan kondisi

belajar yang menantang kreativitas dan aktivitas peserta didik, memotivasi

peserta didik, menggunakan multi-media, multi-metode, multi-model dan

multi-sumber, agar mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Dalam konteks materi Pendidikan Agama Islam (PAI) yang merupakan

materi untuk mencapai hasil pendidikan berkarakter. Hasil pendidikan

berkarakter tersebut adalah jujur, relegius, disiplin, kerja keras, toleransi,

kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, peduli

lingkungan dan peduli sosial. Untuk mencapai sebelas hasil pendidikan

berkarakter itu diperlukan CTL. CTL merupakan pendekatan pembelajaran

yang dapat membantu pendidik, mengaitkan antara materi yang diajarkannya

dengan situasi dunia nyata peserta didik, dan mendorong peserta didik

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

(17)

masyarakat.8 CTL sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan belajar peserta didik untuk mencari, mengolah dan

menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait dengan

kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas peserta didik dalam mencoba,

melakukan, dan mengalami sendiri. Pembelajaran tidak sekadar dilihat dari

segi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses. CTL bukan hanya

transformasi pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik dengan

menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan

nyata, akan tetapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi peserta didik

untuk mencari kemampuan bisa hidup (life skill) dari apa yang dipelajarinya.

Dengan demikian, pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah/madrasah

lebih dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dari segi fisik), akan tetapi

secara fungsional, sebab apa yang dipelajari di sekolah/madrasah senantiasa

bersentuhan dengan situasi dan permasalahan kehidupan yang terjadi di

lingkungannya (keluarga dan masyarakat). Secara sederhana CTL adalah

proses pembelajaran yang membawa peserta didik ke alam nyata, peserta

didik berpikir bukan melalui isi buku, bukan menghafal konsep dan doktrin,

tetapi menggali ilmu dan keterampilan dari kenyataan yang sebenarnya.

Komponen model pembelajaran kontekstual meliputi, menjalin

hubungan-hubungan yang bermakna (making meaningful connections), mengerjakan

pekerjaan-pekerjaan yang berarti (doing significant work), melakukan proses

8

(18)

belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), mengadakan kolaborasi

(collaborating), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking),

memberikan layanan secara individual (nurturing the individual),

mengupayakan pencapaian standar yang tinggi (reaching high standars), dan

menggunakan asesmen autentik (using authentic assessment).

Hal diatas karena hasil yang diharapkan dalam pembelajaran melalui

pendekatan CTL antara lain adalah:

1. Peserta didik belajar melaui mengalami bukan menghafal.

2. Peserta didik mampu mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka

sendiri.

3. Peserta didik terbiasa memecahkan masala, menemukan sesuatu yang

berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide.

4. Peserta didik menjadi aktif, kritis dan kreatif.

5. Kelas menjadi produktif, menyenagkan dan tidak membosankan.

6. Dinding kelas dan lorong-lorong sekolah penuh dengan hasil karya peserta

didik, peta, gambar, artikel, puisia, komentar, foto tokoh,

diagram-diagram.

7. Peserta didik selalu dikepung berbagai informasi, kelas CTL adalah siswa

yang selalu ramai dan gembira dalam belajar.

Ciri kelas yang menggunakan pendekatan konstektual : Pengalaman

nyata, kerja sama dan saling menunjang, gembira dan belajar dengan

bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, peserta

(19)

teman, guru kreatif. Sehingga dengan demikan pendekatan kontekstual

memiliki implikasi sebagai berikut: memberikan kesempatan pada peserta

didik untuk dapat maju terus sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta

didik sehingga peserta didik terlibat aktif dalam proses belajar mengajar,

peserta didik dapat berfikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data,

memahami suatu isu dan emecahkan masalah dan guru dapat lebih kreatif,

menyadarkan siswa tentang apa yang mereka pelajari, pemilihan informasi

berdasarkan kebutuhan peserta didik tidak ditentukan oleh guru, pembelajaran

lebih menyenangkan dan tidak membosankan, membantu siwa bekerja

dengan efektif dalam kelompok, terbentuk sikap kerja sama yang baik antar

individu maupun kelompok.

C. Alasan Penerapan Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Kontekstual (Contekstual Teaching And Learning) di Sekolah

Dari temuan data di dua sekolah pendekatan Kontekstual ( Contekstual

Teaching And Learning ) mampu membentuk kepribadian muslim di SMAN

1 Kedungwaru Tulungagung adalah dikarenakan beberapa hal yaitu ;

Pertama, komponen-komponen yang ada dalam pendekatan kontekstual

diantaranya membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri,

melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif,

membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang

tinggi,dan menggunakan penilaian autentik sesuai dengan kebutuhan dan

(20)

muslim peserta didik. Kedua, pembelajaran mengarah pada keaktifan peserta

didik (student oriented) berbeda dengan pembelajaran tradisional yang

berpusat pada guru (teacher oriented). Sehingga peserta didik lebih menyukai

proses pembelajaran yang mengaktifkan mereka sehingga menjadi lebih

semangat dalam belajar. Ketiga, pendekatan kontekstual merupakan sarana

yang efektif bagi guru untuk mempermudah proses pembelajaran kepada

peserta didik dalam memberikan pendidikan yang bermakna dan

berkesan.Keempat, pembelajaran kontekstual menggunakan penilaian

autentik yaitu penilaian menyeluruh sehingga peserta didik senantiasa

membiasakan diri berperilaku yang baik. Kelima, Komponen-komponen

dalam pendekatan kontekstual sesuai dan sangat mendukung bagi

terwujudnya visi dan misi sekolah.

Dari temuan diatas bahwasannya pendekatan kontekstual dapat membantu

pada pembentukan kepribadian peserta didik kearah yang lebih baik, menurut

Johnson ada tiga pilar dalam system CTL antara lain :9

1. CTL mencerminkan prinsip kesaling ketergantungan

Kesaling ketergantungan mewujudkan diri. Misalnya ketika para peserta

didik bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru

mengadakan pertemuan dengan rekanya. Hal ini tampak jelas ketika

subyek yang berbeda dihubungkan dan ketika kenitraan menggabungkan

sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas.

2. CTL mencerminkan prinsip berdeferensiasi

9

Elaine B. Jhonson, Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar

(21)

Ketika CTL mendorong para siswa untuk saling menghormati keunikan

masing-masing, untuk menghormati perbedaan, untuk menjadi kreatif,

untuk bekerja sama ,untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang

berbeda , dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tabda

kemantapan dan kekuatan.

3. CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri

Pengorganisasian diri terlihat para siswa mencari dan menemukan

kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda , mendapat manfaat

dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas

usaha-usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi

dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada peserta

didik yang membuat hati mereka bernyanyi.

Landasan filosofi CTL adalah kontruktivisme, yaitu filosofi

belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal

.Peserta didik harus mengkontruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri.

Pengetahuan tidak dapat dipisahkan menjadi fakta atau proposisi yang

terpisah ,tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan.

Kontruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas John Dewey

pada awal abad ke-20 yaitu sebuah filosofi belajar yang menekankan pada

pengembangan minat dan pengalaman siswa. Peserta didik akan belajar lebih

baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika

(22)

Seiring dengan perkembangan zaman kepribadian muslim dapat

dibentuk dengan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual

Sanjaya memberikan penjelasan perbedaan pembelajaran kontekstual dengan

pembelajaran konvensional10, antara lain:

1. Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa sebagai subjek belajar,

artinya siswa perperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara

menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam

pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang

berperan sebagai penerima informasi secara pasif.

2. Dalam pembelajaran kontekstual siswa belajar melalui kegiatan kelompok,

seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi.

Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar

secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi

pelajaran.

3. Dalam pembelajaran kontekstual, pembelajaran dikaitkan dengan

kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional

pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak.

4. Dalam pembelajaran kontekstual, kemampuan didasarkan atas

pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan

diperoleh melalui latihan-latihan.

10

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi…, 115.

(23)

5. Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui model Pembelajaran

Kontekstual adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran

konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.

6. Dalam pembelajaran kontekstual, tindakan atau perilaku dibangun atas

kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu

karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat;

sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku

individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak

melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau sakadar untuk

memperoleh angka atau nilai dari guru.

7. Dalam pembelajaran kontekstual, pengetahuan yang dimiliki setiap

individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya,

oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat

pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini

tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final,

oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.

8. Dalam pembelajaran kontekstual, peserta didik bertanggung jawab dalam

memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing;

sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu

jalannya proses pembelajaran.

9. Dalam pembelajaran kontekstual, pembelajaran bisa terjadi di mana saja

(24)

sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi

di dalam kelas.

10.Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan

siswa, maka dalam Pembelajaran Kontekstual keberhasilan pembelajaran

diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya

siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya;

sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran

Referensi

Dokumen terkait

• Slow component (Lactacid debt) = reflects strenuous exercise; may take up to several hours to repay; may represent reconversion of lactate to glycogen and restoration of core

Jika noise sebenarnya hanyalah berupa fungsi yang ditambahkan ke dalam gambar , kita bisa saja menghilangkan noise dengan melakukan pengurangan gambar terhadap terhadap

 Tuntutan : Upah tidak dibayar selama 5 bulan, Upah dibawah UMK Kota Bekasi dan Uang Service tidak dibayar selama 10 Bulan.. Pertamina Patra Niaga Depot Plumpang

Nam a Badan Usaha/ Badan Hukum Lainnya : ……… FORM ULIR REGISTRASI BADAN USAHA / BADAN HUKUM LAINNYA. Registrasi Baru

Piranti I/O dihubungkan sebagai lokasi terpisah dengan lokasi memori, dimana port I/O tidak tergantung pada memori utama..

Dalam satu regu piket berjumlah 15 orang untuk mengisi posko lebaran dan pos pantau wilayah perbatasan namun dalam pelaksanaannya yang piket lebih dari jumlah tersebut karena

• Dalam Euclidean Geometry : Dua garis berbeda, akan selalu berpotongan di satu poin. • Kecuali , dua garis

Brigjen  Pol.  Drs.  Edi  S.  Tambunan,  M.Si.  mengucapkan  terima  kasih  atas  kesiapan  Polres  Jembrana  dan