• Tidak ada hasil yang ditemukan

Krisis Ekologi dan Ancaman bagi Kapitali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Krisis Ekologi dan Ancaman bagi Kapitali"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 0852-8489

Krisis Ekologi dan Ancaman bagi Kapitalisme

Penulis: Abdil Mughis Mudhoffir

Sumber: MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI.

MASYARAKAT Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian

Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi

dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT

mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: labsosio@ui.ac.id Website: www.labsosio.org

Untuk mengutip artikel ini:

Mudhoffir, Abdil Mughis. 2011. “Krisis Ekologi dan Ancaman bagi

(2)

Krisis Ekologi

dan Ancaman bagi Kapitalisme

Judul Buku: Living in the End Times

Penulis: Slavoj Žižek Tahun: 2010 ISBN: 978-1-84467-598-2

Penerbit: Verso, London Tebal: 416 halaman + xiv

Meletusnya gunung berapi di Islandia April 2010 lalu memberikan dampak yang membuat kita kembali mempertanyakan kemampuan manusia dan teknologi yang dihasilkannya dalam mengendalikan alam. Selama lebih dari sepekan, abu vulkanik yang dikeluarkan oleh letusan itu melumpuhkan seluruh penerbangan yang melintasi Eropa. Tidak hanya perusahaan penerbangan saja yang mengalami kerugian finansial, para calon penumpang yang berencana menuju atau memintasi Eropa juga merugi.

Kerugian sosial-ekonomi yang serius itu, menurut Slavoj Žižek, penulis Living in the End Times, disebabkan oleh teknologi yang telah dikembangkan manusia (pesawat terbang). Seabad lalu, erupsi yang sama tidak menjadi perhatian (masalah), apalagi sampai berdampak terhadap sektor finansial. Ironis memang; kemajuan teknologi yang seolah telah membuat manusia lebih independen terhadap alam, pada saat yang sama di level yang berbeda, justru membuat manusia menjadi sangat bergantung pada alam. Untuk ironi ini, Žižek memberikan lelucon begini: dulu saat manusia berhasil menginjakkan kaki pertama di bulan ada ungkapan, “That’s one small step for [a] man; one giant leap for mankind”. Melihat letusan di Islandia, ungkapan itu berubah menjadi, “It was more a small step back for nature, but a giant step back for humankind”.

(3)

MASYARAKAT,Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

Secara simultan, sains menjadi penyebab munculnya berbagai ancaman di muka bumi, seperti timbulnya berbagai konsekuensi ekologis akibat aktivitas industri atau akibat pengembangan teknologi rekayasa genetik yang tidak terkendali. Namun, pada saat yang sama, pada sains pula kita terpulang untuk memahami ancaman-ancaman itu serta merumuskan cara-cara menghadapinya.

Žižek, filsuf Slovenia yang memperoleh sebutan Elvis-nya teori kebudayaan ini, menyebut ancaman ekologis itu sebagai salah satu simptom yang menandai bahwa kita kini hidup di akhir sejarah. Sejarah apa? Sejarah demokrasi liberal kapitalisme yang tidak lagi mampu mengatasi berbagai krisis yang disebabkan olehnya dirinya sendiri. Sementara sains, biang berbagai krisis umat manusia kini, benar-benar bersangkutan dengan modal dan kapitalisme.

Selain krisis ekologi, Žižek, filsuf yang juga dijuluki sebagai academic rock star ini , menyebutkan ada tiga krisis lainnya, yaitu berbagai masalah yang muncul akibat revolusi biogenetik; persoalan-persoalan yang terkait dengan hak milik intelektual atau distribusi atas apa yang disebut sebagai common goods; serta problematika yang ditimbulkan oleh munculnya kelompok-kelompok sosial baru (social divisions) atau yang disebut juga sebagai new forms of apartheid.

Žižek membayangkan keempat krisis itu sebagai four horsemen of the apocalypse, sebuah penggambaran dalam Kitab Wahyu Perjanjian Baru tentang penetapan hari akhir yang disimbolisasikan melalui empat penunggang kuda, yang masing-masing melambangkan penaklukan (conquer), peperangan (war), kelaparan (famine), dan kematian (death). Empat perlambang ini pula yang digunakan Žižek untuk menyebutkan isyarat berakhirnya suatu masa. Namun, Living in the End Times bukan berisi cerita ihwal hancurnya alam semesta atau ramalan tanda-tanda akhir zaman menuju kiamat besar. Buku ini mendedah persoalan-persoalan tak terselesaikan pertanda berakhirnya kapitalisme global. Inilah argumen utama Žižek dalam Living in the End Times; kapitalisme global telah mendekati ajalnya menuju ke titik nol (apocalyptic zero-point) akibat keempat krisis yang tidak mampu diatasinya.

(4)

K R I S I S E K O L O G I D A N A N C A M A N B A G I K A P I T A L I S M E | 95

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102 naturalisasi dan netralisasi sehingga kapitalisme tidak dipandang sebagai persoalan. Istilah kapitalisme ini juga telah disingkirkan jauh-jauh oleh para politisi, penulis, jurnalis, bahkan ilmuwan sosial; kadangkala cukup diganti dengan istilah “ekonomi” saja. Gerakan anti-globalisasi pun masih berada pada aras yang sama karena kritik kapitalismenya malah ditranformasikan ke dalam kritik imperialisme. Saat orang berwacana tentang globalisasi dan agen-agennya, musuh-musuhnya justru dieksternalisasi, yang secara vulgar dimanifestasikan dalam gerakan anti-Amerikanisme, sebut Žižek.

(5)

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

kebenaran pengetahuan yang tidak perlu dipertanyakan. Yang diajarkan dari sini adalah bahwa kita bukanlah subjek Cartesian yang terpisah dari realitas, manusia adalah bagian dari biosfer, alam yang kita manfaatkan saat ini adalah pinjaman dari anak cucu kita karena itu bumi tempat kita berpijak mesti diperlakukan dengan penuh rasa hormat sebagai sesuatu yang suci, yang penuh misteri, dan sebagai kekuatan yang mesti kita percaya, bukan kita dominasi. Jika kita tidak mampu menjaga keseimbangan alam maka akan terjadi kekacauan. Para aktivis lingkungan menuntut kita mengubah secara radikal cara hidup kita, tetapi di balik tuntutan itu mengandung keraguan yang mendalam akan suatu perubahan atau kemajuan; bahwa setiap perubahan radikal akan memicu terjadinya melapetaka. Keraguan inilah, menurut Žižek, yang menjadikan ekologi sebagai kandidat ideologi hegemonik yang paling ideal, yaitu semenjak ia mengumandangkan keraguan anti-totalitarian-pascapolitik terhadap suatu gerakan kolektif. Inilah problem pertama yang menyingkapkan bahwa kita kini tinggal di akhir masa (living in the end times).

Pengembangan teknologi biogenetik yang tidak terkendali juga merupakan perlambang horsemen yang menjadi ancaman bagi kehidupan manusia kini. Žižek berpendapat, inovasi-inovasi pengetahuan di bidang biogenetik menandaskan berakhirnya nature. Begitu kita tahu hukum-hukum yang mengatur alam, organisme-organisme natural berubah menjadi objek yang rentan dimanipulasi. A lam, baik human maupun inhuman, menjadi kehilangan substansinya. Alam menjadi tidak natural lagi; ia ringkih dan suatu saat keringkihan itu dapat mengancam terjadinya malapetaka bagi kehidupan.

(6)

K R I S I S E K O L O G I D A N A N C A M A N B A G I K A P I T A L I S M E | 97

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102 dalam kepemilikan. Menurut Žižek, ini adalah persoalan commons, aneka sumber daya yang dimiliki dan dibagi secara kolektif. Alam adalah commons, biogenetik adalah commons, demikian pula kekayaan intelektual. Akan tetapi, kapitalisme telah mengambil bagian dari commons itu dan mendakunya sebagai milik pribadi yang dilindungi hak paten. Žižek mengatakan ini memang akan menjadi dorongan baru bagi kapitalisme untuk berkembang, tetapi dalam jangka panjang itu tidak akan berhasil; ini akan bergerak di luar kendali. Yang menjadi masalah bagi suatu perusahaan ialah bagaimana mencegah sirkulasi bebas produk intelektual yang telah dipantenkan itu. Padahal antara produk barang dengan pengetahuan memiliki logika yang berbeda. Semakin pengetahuan itu disebarkan secara bebas, ia tidak akan merugi atau kehilangan nilainya. Sebaliknya ada nilai keuntungan yang bisa diperoleh darinya. Akibatnya, kadang-kadang suatu perusahaan menghabiskan lebih banyak uang dan waktu untuk mencegah plagiasi daripada mengembangkan produk baru.

Terbentuknya segregasi sosial baru (new forms of apartheid) adalah horsemen keempat yang menjadi ancaman bagi kapitalisme kontemporer. Žižek membandingkan kejadian serangan terorisme 9/11 dengan runtuhnya tembok berlin 11/9 sebagai penanda kemenangan dan momen mulai munculnya krisis kapitalisme yang berhubungan dengan new forms of apartheid di atas. Cara Žižek membolak-balik angka dalam menalikan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya ini, sepertinya terkesan berbau klenik. Tapi begini argumentasi rasionalnya. Runtuhnya tembok Berlin pada 9 November 1989 disebut-sebut sebagai happy ‘90s, impian Francis Fukuyama tentang The End of History; bahwa demokrasi liberal telah menang, pencarian bentuk formula yang terbaik untuk tata kehidupan masyarakat telah berakhir, inilah akhir yang membahagiakan (happy ending). Sebaliknya, kejadian 11 September 2001 adalah simbol bahwa masyarakat kini telah memasuki era baru; tembok-tembok baru justru bermunculan di mana-mana; mensegregasi masyarakat dalam kelompok-kelompok baru yang tereksklusi, tersingkirkan.

(7)

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

di Meksiko, Afrika, India, China, Pilipina, dan Indonesia, adalah peristiwa geopolitik penting abad ini. Fenomena ini sungguh mengejutkan, katanya; betapa banyak penghuni daerah kumuh yang sumbut dengan pengandaian Marx tentang kelas proletar. Mereka bebas dalam arti yang sesungguhnya, lebih dari kaum proletar klasik (bebas dari semua hubungan substansial, tinggal dalam ruang bebas, dan berada di luar aturan negara). Mereka adalah kolektivitas yang besar, yang secara paksa dilempar bersama-sama; dijerembabkan ke dalam situasi di mana mereka harus menemukan cara-cara untuk menjadi suatu kolektivitas besar. Sementara itu, saat masyarakat kontemporer sering dicirikan sebagai masyarakat yang berada dalam kontrol total, daerah kumuh (slum) merupakan teritori yang berada dalam batas-batas negara tetapi kerap diabaikan dalam kontrol sosial itu. Slum adalah daerah bukan entitas dalam peta resmi wilayah negara. Meskipun secara de facto ia masuk dalam wilayah negara dan diidentikkan dengan daerah hitam (premanisme, kriminalitas), kontrol negara hampir tidak ada. Daerah kumuh adalah domain yang berada di luar hukum. Para penghuni daerah kumuh di perkotaan inilah agen transformatif yang oleh Žižek disebut sebagai part of no part atau oleh Giorgio Agamben disebut Homo Sacer; bagian dari hukum tetapi sekaligus disingkirkan dari hukum.

(8)

K R I S I S E K O L O G I D A N A N C A M A N B A G I K A P I T A L I S M E | 99

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102 mempertahankan pemerintahannya dari kudeta yang disponsori Amerika. Keberhasilan itu sangat dipengaruhi oleh sokongan para penghuni daerah kumuh yang menjadi pendukung setianya dalam menghadapi setiap guncangan terhadap pemerintahan Chavez. Inilah sosok subjek emansipatif dalam konsep Žižek yang menjadi ancaman bagi kapitalisme global.

Penjelasan empat antagonisme (horsemen) di atas sesungguhnya tidak banyak ditemui dalam lembar demi lembar buku Living in the End Times, selain soal kemunculan subjek emansipatoris baru (new form of Apartheid); itupun di bagian pendahuluan. Agaknya Žižek memang sengaja ingin memberi penekanan pada anasir ini; menunjukkan agen transformatif di masa krisis kapitalisme kontemporer. Dan, buku ini rupanya perturutan dari tulisan-tulisan Žižek sebelumnya, terutama buku In Defence of Lost Causes, dalam membabarkan beberapa antagonisme di atas dan karena itu elaborasi serupa barangkali akan menjadi iterasi yang tidak diperlukan; meskipun sebenarnya penting. Sementara itu, lima bab buku ini lebih memusatkan penjelasan soal aneka respon yang mungkin bisa diberikan terhadap the forhtcoming apocalypse itu. Merujuk teori psikoanalitik Elisabeth Kubler-Ross tentang penderitaan (psychoanalytic theory of grief), ada lima tahap respon yang mungkin bisa diberikan dalam menghadapi situasi krisis itu, yaitu: penolakan (denial), kemarahan (anger), penawaran (bargaining), keputusasaan (depression), dan penerimaan (acceptance). Secara panjang lebar, Žižek membeberkan lima tahap respon itu dalam lima bab bukunya.

(9)

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

sebenarnya akan sebuah kemiskinan, lakukan saja, sumbangkan sebagian hartamu, dengan begitu kau tidak perlu berpikir!” Respon kedua, kemarahan (anger) menunjukkan bahwa kita tidak bisa lagi menolak suatu keadaan seperti tercermin dalam ujaran: “Bagaimana ini bisa terjadi padaku?”. Babak ini (Bab 2) bercerita tentang gerakan-gerakan protes yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam melawan sistem global, terutama berkaitan dengan munculnya fundamentalisme agama. Sementara dalam modus respon ketiga, penawaran (bargaining), seseorang memiliki harapan untuk sedikit menunda atau mengurangi penderitaan yang dihadapinya: “Biarkan aku hidup sebentar untuk melihat anakku tumbuh”. Seksi ini (Bab 3) menerangkan kritik politik-ekonomi; mempertahankan keberlanjutan teori Marxisme dengan mengkritik cara Alain Badiou memaknai kemungkinan gerakan revolusioner kontemporer. Adapun dalam modus respon keempat, keputusasaan (depression), seseorang hanya bisa mengatakan: “Aku akan mati, tak perlulah mempermasalahkan sesuatu”. Seksi ini (Bab 4) membahas munculnya patologi subjektif baru (subjek pascatraumatik) dengan menilik kasus masyarakat di India dan Cina. Di India, seorang programer komputer terkenal setiap pagi sebelum bekerja melakukan pemujaan kepada dewa-dewanya. Praktik semacam ini disebut sebagai trans-fungsionalisasi tradisi ke dalam komponen mesin teknologi global. Tradisi tidak lagi dipahami sebagai suatu cara hidup yang otentik melainkan bagian dari gaya hidup yang dapat dipilih secara bebas. Di Cina, terjadi perdebatan soal prosedur pemilihan Dalai Lama (living Buddha) antara otoritas Cina dengan Dalai Lama; apakah akan mempertahakan tradisi suksesi melalui reinkarnasi atau melalui prosedur pemilihan yang demokratis. Sementara itu, ekspresi yang terwujud dalam respon terakhir, penerimaan (acceptance) adalah, “Aku tidak bisa melawannya, aku akan mempersiapkan diriku menghadapinya saja”. Bagian terakhir ini (Bab 5) membahas tanda-tanda munculnya subjektivitas emansipatoris.

(10)

K R I S I S E K O L O G I D A N A N C A M A N B A G I K A P I T A L I S M E | 101

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102 Membaca tulisan Žižek, terkadang dapat membuat pembacanya tersesat; saat separuh buku terbaca kadang kita lupa apa judul bukunya. Begitu pula kesan yang diperoleh saat membaca buku Living in the End Times. Pertama membaca judulnya, yang terbayang di kepala adalah buku ini bicara soal kehancuran kehidupan di muka bumi akibat ancaman pemanasan global; setidaknya ini kesan yang dikonstruksikan gambar sampul depan buku ini. Memang tidak seharusnya menghakimi buku dari sampulnya. Namun, saat membaca bagian pendahuluan kita akan tahu buku ini mengulas krisis kapitalisme global akibat ancaman-ancaman yang datangnya dari sistem itu sendiri dan salah satunya menyangkut persoalan ekologi. Sayangnya, ancaman-ancaman yang menyebabkan krisis itu tidak banyak diulas. Jesse Ramirez bahkan menyebutkan bahwa studi Žižek soal apocalypticism sangat tidak memadai; dengan hanya mengumpulkan informasi dari surat kabar, webblog, atau wikipedia sulit untuk menarik simpulan kapitalisme global mendekati apocalyptic zero-point. Menurutnya, Žižek memerlukan bahan lebih dari yang sekedar dapat ditawarkan bagian interlude. Namun, Ramirez juga menyadari Žižek tidak akan berurusan dengan persoalan kebenaran objektif dalam membuktikan apocalypticism tersebut. Jika demikian, lanjutnya, Living in the End Times seharusnya dapat dibuat lebih tipis; hanya terdiri dari pendahuluan, interlude 4 yang soal apokaliptik, dan bab 5 soal acceptance. Jika melihat karya-karya Žižek sebelum ini, kritik Ramirez di atas menjadi tidak relevan. Penjelasan soal apocalypticism itu di antaranya dapat diperoleh melalui buku In Defence of Lost Causes serta beberapa ceramahnya yang berjudul Ecology as a New Opium for the Masses atau Ecology Without Nature.

(11)

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 93-102

juga yang membuat tulisannya enak dibaca. Saat berceramah, Žižek seolah dapat berbicara lebih cepat dari pikirannya. Dia juga seorang pembicara yang akan selalu mengundang tawa pendengarnya. Žižek adalah kombinasi yang unik antara seorang filsuf radikal beraliran kiri dengan seorang badut komedian. Namun, oleh Majalah The New Republic ia dijuluki sebagai filsuf yang paling berbahaya di Barat abad ini.

Referensi

Dokumen terkait

Yoon dkk mendapati hubungan yang kuat antara beberapa sitokin (IL-6, IL-1β, IL-8, TNF-α) di cairan amnion dengan palsi serebral pada satu studi kohort bayi sampai dengan berusia

Mengambil jalan pintas dalam proses pengambilan keputusan hanya akan menghasilkan informasi yang tidak lengkap yang akan mempersulit masalah situasi lebih lanjut karena banyak

Beberapa faktor yang merupakan problematik sehingga menghambat atau tidak dapat dicapai secara maksimal penggunaan lembaga mediasi yaitu Faktor karakteristik

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan izin usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah yang berada dibawah pengelolaan dinas teknis terkait

Hasil dari pelaksanaan Program KINERJA di Kantor Penanaman Modal dan Perijinan Kabupaten Probolinggo dalam rangka memenuhi tujuan kerjasama yaitu peningkatan

Tet apidal am per kembangannya kemudi an,bahasa I ndonesi asel al umener i maunsurser apandar imanasaj aunt ukper ubahandan kemaj uannya.Ter nyat aunsurser apanyangmasukbukansaj

Disebabkan karena penelitian ini meneliti tentang pengaruh maraknya pemberitaan ledakan tabung gas elpiji terhadap sikap waspada pada warga yang menggunakan kompor gas, maka

Jika kapal selam akan muncul ke permukaan dari keadaan tenggelam, air dalam rongga dipompa keluar sehingga rongga hanya terisi udara.. Dengan demikian, kapal selam mengalami