(Kajian Tafsir Tematik)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Agama (MA)
Dalam Konsentrasi Tafsir Hadits
Oleh:
IRWAN S
NIM: 03.2.00.1.05.01.0014
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(Kajian Tafsir Tematik)
TESIS
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister
Dalam Konsentrasi Tafsir Hadits
Oleh:
IRWAN S
NIM: 03.2.00.1.05.01.0014
Pembimbing
Prof. Dr. H. AHMAD THIB RAYA, MA
Dr. H. ABDUL CHAIR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
U ntuk :
I striku tercinta
(Neny Liswani, S.Ag)
A nak-anakku tersayang
(Abid, Asa & Adib)
ii
Tesis dengan judul “Strategi Menghadapi Orang Munafik Menurut Al-Qur`an
(Kajian Tafsir Tematik)” yang ditulis oleh saudara Irwan S dengan No. Induk
03.2.00.1.05.01.0014 konsentrasi Tafsir Hadits, telah direvisi dan disetujui sesuai
dengan ketentuan dalam ujian sidang Munaqasyah pada tanggal 12 Juli 2006.
TIM PENGUJI
Tertanda,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA Dr. H. Abdul Chair
Tgl ……… Tgl ………..
Penguji Penguji
Prof. Dr. Badri Yatim, MA Dr. Yusuf Rahman, MA
Tgl ……….. Tgl ……….
Ketua Sidang
Dr. Fuad Jabali, MA
iii
Segala puji bagi Allah Swt. yang dengan Hidayah dan pertolongan-Nya
penulis bersyukur dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Strategi Menghadapi
Orang Munafik Menurut Al-Qur`an (Kajian Tafsir Tematik) ini. Shalawat dan salam
senantiasa penulis ucapkan pula atas Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para
sahabat dan pengikutnya.
Tesis ini membahas tentang eksistensi orang munafik dalam al-Qur`an,
mengungkap sifat-sifat mereka, membongkar keburukan dan bahaya yang
ditimbulkannya serta memaparkan cara-cara untuk menghadapi mereka sesuai
petunjuk al-Qur`an.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Direktur dan para
Dosen beserta seluruh civitas akademika Program Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa
dan memberikan fasilitas serta pelayanan dalam menempuh studi S2 pada kosentrasi
Tafsir Hadits. Khususnya kepada Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA dan
Bapak Dr. H. Abdul Chair yang telah mengoreksi dan memberikan pengarahan selaku
pembimbing dalam penulisan tesis ini. Begitu juga kepada Bapak Prof. Dr. H. M.
Quraish Shihab, MA yang telah mengizinkan penulis menggunakan perpustakaannya
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Rektor IAIN Sumatera
Utara dan Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah–tempat penulis bertugas- yang telah
memberikan rekomendasi izin belajar dan motivasi bagi penulis dalam melanjutkan
studi ini. Juga kepada teman-teman para Dosen dan seluruh civitas akademika IAIN
Sumatera Utara di Medan, khususnya Fakultas Tarbiyah.
Studi dan tesis ini terasa tak mungkin dapat diselesaikan tanpa dorongan,
perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekat penulis. Teristimewa isteri
tercinta penulis, Neny Liswani, S.Ag yang disaat dalam kesusahan sedang
mengandung anak ketiga kami, masih menyanggupkan diri untuk menggerakkan
jari-jemari tangannya menekan keybord di depan komputer membantu dalam pengetikan
dan pengeditan naskah tesis ini. Terima kasih dan penghargaan khusus dan istimewa
penulis sampaikan kepadanya, juga kepada ketiga permata hati kami (Abid
Dhiyauddin Alfani Irsyah, Taqiyah Anasa Irsyah dan sikecil Adib Bahauddin Faiz
Irsyah yang lahir menjelang tesis ini selesai ditulis). Mereka semua ini telah
mengorbankan kemapanan hidup dan senantiasa menahan kerinduan akan keluarga
dan tempat kelahiran yang harus ditinggalkan demi menemani suami dan ayahnya
yang sedang berjuang menuntut ilmu. Terutama ananda kami, Abid dan Asa, yang
telah mengorbankan masa kecilnya untuk tidak bersama orang-orang yang sangat
menyayangi mereka di tempat kelahirannya.
Secara khusus dan tidak akan penulis lupakan adalah kedua orang tua penulis,
emak dan bapak (Karmi dan Sandiman [Allâhu yarham]). Semoga Allah senantiasa
baik penulis sebagai tabungan amal mereka dari anak yang saleh. Jasa keduanya
memelihara dan mendidik penulis tidak akan mungkin dapat terbalaskan dengan
setimpal. Begitu juga halnya kepada mertua penulis, mama dan papa (Ramawilis dan
Bachtar Bakar) yang telah banyak membantu secara materil maupun moril dengan
penuh perhatian dan kasih sayang. Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan
atas mereka dan kekuatan untuk terus beribadah kepada-Nya. Kepada mereka semua
inilah, karya ini didedikasikan.
Seluruh keluarga, sahabat dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, baik yang berada di kota Medan maupun di kota Jakarta serta
tempat-tempat lainnya, telah turut berjasa atas terlaksananya studi ini. Kepada mereka
semua penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan atas segala bantuan baik
materil maupun moril.
Akhirnya kepada Allah Swt. sajalah penulis serahkan segala urusan. Semoga
Dia membalasi dengan balasan yang berlipat ganda. Mudah-mudahan tesis ini dapat
memberikan manfaat dan menjadi sumbangan penulis bagi khazanah pengetahuan,
khususnya dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur`an.
Jakarta, 01 Jum.Tsani 1427 H 27 Juni 2006 M
Penulis,
vi
ARAB LATIN ARAB LATIN
)
ء
(
أ
` (apostrop)ط
thب
bظ
zhت
tع
‘ (petik satu)ث
tsغ
ghج
jف
fح
hق
qخ
khك
kد
dل
lذ
dzم
mر
rن
nز
zو
wس
sﺎ
ﻫ
hش
syي
yص
shة
ah; at (waqaf; mudlaf)ض
dhلا
al- (ta’rif, kata sambung)Vokal Pendek Vokal Pangjang (Mad) Diftong
Arab Latin Arab Latin Arab Latin
ــ
َــ
ـ = aا
…. = â (a panjang)ْوَا
= awـِـ = i
ْي
…= î (i panjang)ْوُا
= uwـــُـــ = u
ْو
…= û (u panjang)ْْيَا
= ayUntuk syaddah atau tasydid (
ـّــ
)transliterasinya = double huruf latin.vii
Singkatan Kepanjangan
Swt.
ﻰﹶﻟﺎﻌﺗﻭ
ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ
saw.
ﻢﱠﻠﺳﻭ
ِﻪﻴﹶﻠﻋ
ﻪﱠﻠﻟﺍ
ﻰﱠﻠﺻ
ra.
ﻪ
ﻋﻨ
ُ
ﷲﺍ
ﻲ
ِﺿ
ﺭ
(
untuk laki-laki)
ﺭ
ِﺿ
ﻲ
ﷲﺍ
ُ
ﻋﻨ
ﻬﺎ
(untuk perempuan)
Qs. al-Qur`an surat
Ibid Ibidem
terj. terjemahan
Ttp Tanpa tempat penerbit
tt tanpa tahun
H Hijriyah
M Masehi
Cet. Cetakan
h. halaman
viii
LEMBAR PENGESAHAN ... ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi
SINGKATAN-SINGKATAN ... vii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah ………... 10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 11
D. Tinjauan Pustaka ………. 12
E. Metodologi Penelitian ………. 16
F. Sistematika Pembahasan ………. 19
BAB II PENGERTIAN MUNAFIK DAN KARAKTERISTIKNYA MENURUT AL-QUR`AN A. Arti Munafik secara Etimologi dan Terminologi ... 22
B. Karakteristik Orang Munafik ……… 27
C. Usaha-usaha Orang Munafik ………. 59
BAB III BAHAYA ORANG MUNAFIK DAN ANCAMAN BAGI MEREKA MENURUT AL-QUR`AN A. Bahaya Orang Munafik ……….. 68
1. Terhadap Keimanan …...………..…. 68
2. Terhadap Peribadatan ………..…. 79
3. Terhadap Kehidupan Masyarakat ………... 91
BAB IV CARA-CARA MENGHADAPI ORANG MUNAFIK MENURUT
AL-QUR`AN
A. Memperkokoh Loyalitas sesama Mukmin ……… 115
B. Menolak Mereka Sebagai Teman Dekat ... 134
C. Menolak Mereka Sebagai Pemimpin ... 152
D. Melakukan Jihad ... 173
1. Melakukan Dialog (Hujjah/Argumentasi) ... 178
2. Memerangi Mereka ... 200
E. Membangun Kewaspadaan ... 207
F. Memperbanyak Do’a ... 214
BAB V KESIMPULAN …………...……….. 223
DAFTAR PUSTAKA ………..………... 225
1
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt. sebagai
pedoman bagi manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Aktivitas tersebut
dapat berupa interaksi antara manusia dengan Allah Swt., antara manusia dengan
manusia lainnya, atau lebih luas lagi antara manusia dengan lingkungan alam
sekitarnya. Dalam rangka itu, melalui tuntunan yang terkandung di dalamnya,
al-Qur`an berfungsi sebagai petunjuk (hudâ)1, sumber informasi (bayân)2 dan pembeda
(furqân)3 antara yang benar (haq) dan yang salah (bâthil) bagi manusia.
Sebagai pemberi petunjuk (hudâ), al-Qur`an bertujuan memberi kesejahteraan
dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu
ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut. Rasulullah
saw. yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima al-Qur`an, bertugas untuk
menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkan manusia.4
Menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain
kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam
metafisika serta fisika, dan tujuan yang ingin dicapai dari hal tersebut adalah
1
Lihat Qs. Al-Baqarah/2: 2, 97, 185; Âli ‘Imrân/3: 138; al-Mâ`idah/5: 46 2
Lihat Qs. Âli ‘Imrân/3: 138
3Lihat Qs. Al-Baqarah/2: 185; Âli ‘Imrân/3: 4; al-Furqân/25: 1 4
pengabdian kepada Allahsejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan
oleh al-Qur`an dalam surat al-Dzâriyât/51 ayat 56.5
Sebagai sumber informasi (bayân), al-Qur`an mengajarkan banyak hal kepada
manusia; dari persoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah dan mu’amalah
sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan. Mengenai ilmu pengetahuan, al-Qur`an
memberikan wawasan dan motivasi kepada manusia untuk memperhatikan dan
meneliti alam sebagai manifestasi kekuasaan Allah. Hasil pengkajian dan penelitian
fenomena alam kemudian melahirkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman
ini, al-Qur`an berperan sebagai motivator dan inspirator bagi para pembaca, pengkaji
dan pengamalnya.6
Melalui petunjuk (hudâ) dan informasi itu pulalah al-Qur`an mempertegas
perbedaan antara yang benar (haq) dan yang salah (bâthil). Menjelaskan tentang
hakekat kebenaran yang akan berakibat pada kebaikan yang akan diperoleh oleh siapa
saja yang berjalan pada kebenaran itu. Demikian juga sebaliknya, ia menjelaskan
tentang hakekat kebathilan yang akan berakibat pada keburukan dan kesengsaraan
yang akan diperoleh oleh siapa saja yang berjalan pada kebathilan itu. Dengan
demikian itulah al-Qur`an mengintroduksikan dirinya sebagai pembeda (furqân)
5
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. ke-9, h. 172
antara yang benar (haq) dan yang salah (bâthil). Setelah sebelumnya ia juga
mengintroduksikan dirinya sebagai petunjuk (hudâ) dan sumber informasi (bayân).7
Dengan kedudukan dan fungsi sebagaimana disebutkan di atas, al-Qur`an
mempunyai misi –sebagaimana misi risalah Rasulullah Muhammad saw.-
mewujudkan kehidupan dunia yang harmonis dan seimbang dalam keridhoan Allah
Swt. Termasuk di dalamnya memelihara kehidupan manusia dan alam sekitarnya dari
kerusakan dan kehancuran dengan terwujudnya interaksi yang sehat di antara sesama
manusia dalam menjalani kehidupannya.
Menelusuri realita interaksi kehidupan manusia dengan Penciptanya dan
dengan makhluk sesamanya akan selalu dihadapkan dengan berbagai karakter yang di
satu sisi telah menjadi identitas khas dalam mengenal pribadi seseorang. Namun di
sisi lain akan semakin mengaburkan pengenalan (ta’aruf) terhadap sosok pribadi
tersebut.
Hal itu dimungkinkan oleh karena memang dinamika kehidupan manusia
ditinjau dari sifat-sifat yang dimilikinya terus akan mengalami perkembangan sesuai
dengan fenomena dan eksistensi subyek-subyek lain di dalam diri maupun di
lingkungan sekitarnya yang turut mempengaruhi pembentukan karakternya dari
7
potensi dasar yang telah dimilikinya sejak lahir.8 Sampai kemudian ada yang
terakumulasi menjadi karakter khas atau kebiasaan yang selalu muncul setiap kali ia
melakukan interaksi antar sesamanya.
Karakter diri seseorang dalam hal ini secara lahiriah dapat diketahui –salah
satunya yang paling umum- dari sifat bicaranya. Yaitu dengan memperhatikan
kesesuaian antara apa yang diucapkannya dangan apa yang dilakukannya. Atau lebih
mendalam lagi, apakah ada kesesuaian antara apa yang diucapkannya dengan apa
yang ia yakini dalam hatinya. Kemudian dengan memperhatikan konsistensi dari sifat
bicaranya tersebut bila dihadapkan pada situasi atau orang yang berbeda dengan
pertama kali waktu ia mengucapkannya.
Dalam realita sehari-hari sering dijumpai ada orang yang begitu mudah
mengucapkan perkataan yang ia sendiri dalam hati mengingkarinya. Di tempat lain ia
berkata setuju, tetapi di tempat lain pula ia berkata tidak begitu. Atau pada satu waktu
ia berjanji, namun pada waktu yang lain ia mengingkarinya. Dan biasanya hal itu
dilakukannya untuk suatu kepentingan yang hendak dicapai. Karakter seperti tersebut
kerapkali dapat disaksikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bahkan kemudian ada yang saling tuding satu dengan lainnya dengan
8
memberi predikat sebagai orang munafik9. Begitu mudahnya predikat tersebut
dilabelkan pada seseorang, yang kemudian tidak jarang menimbulkan pertengkaran
dan permusuhan.
Keadaan tersebut tentunya sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan
hidup suatu masyarakat atau negara. Apalagi jika sosok-sosok pribadi seperti itu
memiliki kedudukan dan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat
atau suatu negara, tentunya hal itu akan lebih berbahaya lagi dan perlu untuk disikapi
dengan cara-cara yang benar. Sehingga dengan demikian akibat dari kemunafikan itu
dapat dihindari dan diantisipasi sebelumnya. Bahkan yang lebih penting kemudian
adalah mengupayakan agar karakter-karakter tersebut tidak muncul dan berkembang
subur di masyarakat.
Dalam kehidupan demokrasi di suatu negara, seperti contohnya di Indonesia.
Karakter-karakter demikian biasanya selalu muncul, apalagi disaat-saat menjelang
akan diadakannya pemilihan umum, baik untuk memilih wakil rakyat atau untuk
memilih pemimpin negara. Masa-masa seperti itu akan sangat mudah untuk
mendengar perkataan berupa janji-janji atau komitmen yang akan ditegakkan bila
seseorang terpilih menjadi anggota legislatif atau Presiden dan Wakil Presiden di
masa datang. Namun kemudian, jangankan ketika ia terpilih , bahkan di saat pada
masa kampanyepun tidak sedikit di antara mereka yang tidak dapat dipercaya lagi
9
ucapannya yang selalu berubah-ubah pada tempat dan waktu yang berbeda. Padahal
dalam setiap pernyataannya bahkan ia selalu ingin meyakinkan orang, bahwa ia
adalah orang yang dapat dipercaya dan tidak jarang pula memanfaatkan
simbol-simbol agama (baca: Islam) untuk menarik simpati para pendukungnya yang
mayoritas beragama Islam. Akhirnya tujuan untuk membangun bangsa membelok ke
arah perusakan dan penghancuran bangsa itu sendiri.
Satu hal yang sangat memprihatinkan adalah bahwa di antara mereka itu –
sebagian besar- adalah orang yang mengaku beriman (baca: beragama Islam) yang
memiliki kitab suci al-Qur`an sebagai kitab petunjuk yang senantiasa mengajak
manusia untuk berlaku jujur dalam berbuat kebajikan demi terciptanya kehidupan
harmonis yang adil, aman, tenang dan tentram, bahagia di dunia dan di akhirat.
Menghadapi kenyataan di atas, saatnyalah al-Qur`an melalui ayat-ayatnya
senantiasa dikaji ulang, untuk kemudian dibuktikan dengan amal nyata sesuai dengan
fungsinya dalam menyikapi dinamika kehidupan masyarakat yang terdiri dari banyak
individu dengan karakteristik yang beragam. Khususnya dalam menghadapi
orang-orang munafik dengan berbagai usaha mereka untuk menciptakan kerusakan di muka
bumi ini. Hal ini, di samping sebagai tugas dakwah seorang mukmin, juga sebagai
usaha untuk mengantisipasi dan menghadapi bahaya-bahaya yang akan
ditimbulkannya bagi kelangsungan hidup manusia.
Al-Qur`an menggambarkan sosok orang munafik sebagai orang yang
memiliki kepribadian terpecah, bermuka dua, tidak adanya kesesuaian antara yang
muncul pada dirinya senantiasa sangat tergantung dan dipengaruhi oleh ambisi
pribadi yang cenderung tidak sesuai dengan eksistensi dan kemampuan dirinya yang
sesungguhnya. Kebohongan merupakan karakter dasarnya untuk menutupi segala
keburukan dirinya dan kejahatan yang dilakukannya. Secara lahiriah dia selalu
berusaha untuk memperlihatkan dirinya sebagai sosok terbaik yang sempurna dalam
pandangan orang lain, padahal di balik semua itu tersimpan niat buruk dan hati yang
sakit. Intinya, orang munafik adalah orang yang keadaan lahiriahnya berlawanan
dengan batiniahnya baik dari aspek perkataan maupun perbuatannya.
Keberadaan orang munafik sangat membahayakan bagi kehidupan. Mereka
senantiasa terus ada pada setiap tempat dan zaman sepanjang kehidupan umat
manusia. Bahaya yang ditimbulkan olehnya meliputi seluruh aspek kehidupan, baik
secara individu maupun masyarakat, menyangkut persoalan keagamaan (iman dan
peribadatan) maupun persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemunafikan
merupakan virus yang dapat menyebar dan merusak sendi-sendi kehidupan itu.
Berhubungan dengan itulah, kalau diteliti dan didalami dengan seksama,
bahwa ayat-ayat al-Qur`an, baik secara jelas dan tegas, maupun melalui
isyarat-isyarat yang dikandungnya akan dijumpai petunjuk maupun penjelasan yang
berkenaan dengan cara atau upaya yang harus dilakukan oleh orang-orang mukmin
dalam menghadapi orang munafik tersebut. Cara-cara atau strategi yang diajarkan
al-Qur`an tidak hanya terfokus pada satu cara saja. Ini dapat dilihat dari adanya
beberapa ayat al-Qur`an yang membicarakan tentang masalah ini dengan berbagai
bagi orang-orang mukmin, sebagai petunjuk hidup dalam menjalani aktivitas dan
pergaulannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan negara.
Hal ini sekaligus menegaskan betapa pentingnya upaya atau aktivitas manusia
dalam membina diri dan kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan yang diidamkan,
yang mana kebahagiaan yang hendak diraih itu tidak hanya semata kebahagiaan yang
diperoleh oleh hanya terpenuhinya kebutuhan materi saja, tetapi juga terpenuhinya
kebutuhan moril sprituilnya.
Adapun salah satu sarana untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui
aktivitas pendidikan10 yang oleh al-Qur`an juga mendapatkan perhatian yang tidak
sedikit. Bahkan dapat dikatakan bahwa seluruh ayat al-Qur`an, bila ditinjau dari
berbagai aspeknya mengandung unsur-unsur pendidikan. Termasuk di dalamnya
menjelaskan betapa pentingnya pendidikan bagi kelangsungan kehidupan di bumi
ciptaan Allah ini.11
Bila diteliti lebih lanjut berdasarkan ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana
dijelaskan di atas dapatlah dikatakan bahwa tujuan pendidikan al-Qur`an adalah
10
Menurut Muhammad ‘Athiyah al-Abrâsyî, pendidikan ialah “suatu proses mempersiapkan seseorang (anak didik) agar ia dapat hidup dengan sempurna, bahagia, cinta kepada tanah airnya, kuat jasmaninya, sempurna akhlaknya, sistematik pemikirannya, halus perasaannya, cakap dalam karyanya, bekerjasama dengan orang lain, indah ungkapannya dalam tulisan dan lisannya, dan tangannya melakukan pekerjaannya dengan terampil”. (Muhammad ‘Athiyah al-Abrâsyî, Rûh al-Tarbiyyah wa al-Ta’lîm, (Kairo: ‘Isâ al-Bâbi al-Halabî, tt), h. 5-6)
11Tentang urgensi pendidikan dalam perspektif Qur`an dapat difahami dari ayat-ayat al-Qur`an yang berbicara tentang kedudukan ilmu pengetahuan, kedudukan akal, dan pentingnya pembinaan generasi muda. Setidaknya melalui pembahasan (penafsiran) ayat-ayat al-Qur`an tentang tiga segi tersebut akan dapat menjelaskan urgensi pendidikan dimaksud. Lihat Qs. al-Mujâdalah/59: 11; al-Zumar/39: 9; Thâhâ/20: 114; al-Nahl/16: 43 dan 78; al-Tawbah/9: 122; al-‘Alaq/96: 1-5; Âli
“membina manusia menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya,
guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah”.12
Dalam pada itu, salah satu prinsip ajaran al-Qur`an di antaranya adalah
penjelasan dan petunjuk secara universal (menyeluruh), namun bersifat global
(umum) baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah kemasyarakatan atau
masalah-masalah tertentu. Dan untuk pembahasan masalah-masalah tersebut terdapat
dalam berbagai ayat dan surat, yang kebanyakan dalam membahas satu topik
permasalahan misalnya, tidak selalu terdapat pada satu kelompok surat atau satu
kelompok bagian dari ayat-ayat al-Qur`an yang tersusun secara sistematis dan
bersambung urutannya dalam Mushhaf (al-Qur`an).
Untuk itulah diperlukan pembahasan yang dapat mengantarkan satu tema
pokok permasalahan atau kajian dalam satu kerangka yang sistematis, integral dan
fungsional, sehingga dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan
memiliki efek dalam mengambil sikap berikutnya dalam menjalani aktivitas
kehidupan sesuai dengan tuntutan al-Qur`an.
Dalam rangka itulah penelitian ini diarahkan pada upaya mengeksplorasi
ayat-ayat al-Qur`an yang berhubungan dengan eksistensi orang munafik, khususnya
tentang strategi menghadapi orang munafik melalui pendekatan tafsir tematik
(mawdhû’i). Sehingga dari uraian-uraian pembahasan ayat-ayat al-Qur`an yang
memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan tema yang dibahas
berikut akan diperoleh kesimpulan bagaimana sesungguhnya perspektif al-Qur`an
12
tentang strategi dalam menghadapi orang munafik sebagai pedoman dalam
melakukan hubungan antar sesama umat manusia di tengah-tengah kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan pada pokok-pokok pemikiran yang menjadi latar belakang
masalah di atas, maka permasalahan yang dibahas pada penelitian ini dibatasi pada
penelitian ayat-ayat al-Qur`an yang membicarakan tentang orang munafik, yang
puncak kajiannya membahas ayat-ayat al-Qur`an yang membicarakan tentang strategi
menghadapi orang munafik. Oleh karena itu, masalah pokok yang dibahas dalam
penelitian ini adalah, bagaimana petunjuk-petunjuk al-Qur`an tentang cara-cara
menghadapi orang munafik.
Selanjutnya untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan yang diteliti pada
masalah di atas dan agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda dengan apa yang
peneliti maksud, maka secara terperinci permasalahannya dirumuskan melalui
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa pengertian munafik secara etimologi dan terminologi menurut al-Qur`an?
2. Bagaimana karakteristik orang munafik dalam perspektif al-Qur`an?
3. Bahaya apa saja yang akan ditimbulkan oleh orang munafik dalam
kehidupan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah di atas, maka secara umum penelitian ini
bertujuan untuk merumuskan konsep tentang orang munafik menurut al-Qur`an.
Secara khusus, tujuan penelitian ini dapat diperinci sebagai berikut :
1. Menjelaskan pengertian munafik sesuai dengan kandungan ayat-ayat
al-Qur`an.
2. Mengungkap ciri-ciri orang munafik sebagaimana yang disebutkan oleh
ayat-ayat al-Qur`an.
3. Mendeskripsikan bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh orang munafik
bagi dirinya sendiri maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
4. Menganalisis strategi yang ditunjukkan al-Qur`an dalam menghadapi orang
munafik.
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan :
1. Dapat menambah wawasan pengetahuan bagi peneliti khususnya dan
menambah literatur kepustakaan ilmu-ilmu agama, khususnya bidang kajian
tafsir al-Qur`an.
2. Menjadi sumber informasi dan motivator bagi siapa saja yang ingin
mensucikan diri (tadzkiyyah al-nafs) dari sifat-sifat munafik yang sangat
dicela oleh agama Islam (baca: Allah Swt.) dan siapa saja yang mencintai
3. Menjadi bahan kajian/pemikiran yang berguna bagi peneliti-peneliti
selanjutnya dan siapa saja yang berminat untuk mengkaji hal-hal yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas pada penelitian ini. Sehingga
pada gilirannya dapat pula bermanfaat bagi dinamika kehidupan masyarakat
di masa depan.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pada pengetahuan dan pencarian yang peneliti lakukan hingga
saat ini belum ada penelitian ilmiah yang mengkaji secara khusus dan komprehensip
tentang strategi menghadapi orang munafik dalam al-Qur`an.
Adapun kajian tentang orang munafik secara umum, penulis ada menemukan
pada sebuah Disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul
“Konsep Kufr Dalam Al-Qur`an; Suatu Kajian Theologis dengan Pendekatan Tafsir
Tematik” yang merupakan hasil penelitian Harifuddin Cawidu. Di dalam salah satu
sub bahasannya term nifaq dikaji dalam kaitannya dengan konsep kufr dengan
sebutan kufr al-nifâq. Dimana kemunafikan dalam pembahasan tersebut dimasukkan
dalam kategori kufr.13
Kemudian pada uraian berikutnya dijelaskan tentang pengertian term nifâq
dan orang munafik, serta karakteristiknya sebagaimana disebutkan oleh ayat-ayat
13
Qur`an yang menjadi sumber utama.14 Jadi penelitian tentang orang munafik hanya
sampai sebatas kajian di atas dan tidak ada menyinggung tentang karakteristik orang
munafik secara detail dan sistematis, serta bagaimana sesungguhnya eksistensi orang
munafik tersebut dan bagaimana pula strategi untuk menghadapinya, sebagaimana
yang diuraikan dalam pembahasan penelitian ini. Lagi pula menurut penulis kajian
tentang hal tersebut di atas juga belum sepenuhnya dikembangkan secara luas dan
komprehensif. Hal ini karena memang kajian tentang munafik pada pembahasan buku
tersebut hanya merupakan sub pokok bahasan untuk mendukung dan memperjelas
konsep kufr yang menjadi tema pokok tulisan tersebut.
Kalaupun kemudian pada penelitian ini juga membahas tentang pengertian
munafik dan karakteristiknya sebagaimana pada disertasi yang telah dibukukan di
atas. Pembahasan tentang hal tersebut dalam penelitian ini jelas sangat berbeda.
Karena pada penelitian disertasi tersebut tinjauan yang digunakan hanya sebatas pada
tinjauan teologis yang berkaitan dengan konsep kufr yang menjadi pokok bahasannya,
sedangkan pada penelitian ini nantinya lebih dikembangkan lagi dengan
menggunakan analisis yang berhubungan dengan realita kehidupan manusia dalam
bermasyarakat dan bernegara ditinjau dari perilakunya dalam melakukan interaksi
antar sesama.
Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini pada dasarnya merupakan
penelitian dalam rangka mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan
konsep munafik secara utuh dan terperinci yang dikaji dari berbagai segi. Yang
14
kemudian secara khusus memfokuskan kajian secara mendalam tentang strategi
dalam menghadapi orang munafik sesuai petunjuk al-Qur`an.
Secara lebih khusus lagi tentang orang munafik dalam al-Qur’an pernah
dibahas oleh Ahmad Haekal dalam tesisnya yang berjudul Perspektif al-Qur’an
tentang Munafik.15 Namun dalam tesis ini kajian tentang strategi menghadapi orang
munafik, bahkan sedikitpun tidak disinggung. Jadi dapat dikatakan bahwa kajian
pokok dalam tesis penulis ini sangat berbeda dengan apa yang menjadi pokok
bahasan tesis tersebut. Dalam tesis ini penulis memfokuskan kajian pada strategi
menghadapi orang munafik menurut al-Qur`an yang tidak ada dibahas pada tesis
tersebut.
Sementara itu, Muhammad Musa Nasr juga ada menulis buku yang berjudul
Al-Munâfiqûn fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa Atsâr al-Salaf al-Shâlih.16 Dalam bukunya
ini beliau membahas tentang makna, jenis, sifat-sifat munafik dan eksistensinya di
zaman Rasulullah saw. Di dalam buku ini pun tidak ditemukan kajian tentang strategi
menghadapi orang munafik.
Abû Bakr Al-Firyâbî juga ada menulis buku yang berjudul Shifah al-Nifâq wa
Dzamm al-Munâfiqîn.17 Namun buku ini hanya berisi kumpulan hadits-hadits
Rasulullah saw. dan atsar para sahabat tentang sifat munafik dan celaan terhadap
15
Tesis pada PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta thn 2004. Tesis ini kemudian dicetak menjadi sebuah buku yang berjudul ”Bahaya Sifat Munafik”, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004)
16
Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Nabhani Idris dengan judul Munafik Menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, (Jakarta: Darus Sunnah, 2004).
17
orang-orang munafik, bukan merupakan pembahasan tersistematis terhadap tema
kemunafikan.
’Â`idh 'Abdullâh Al-Qarnî juga menulis tentang tema kemunafikan dalam
bukunya Al-Islâm wa Qadhayâ al-’Ashr.18 tetapi di dalamnya juga tidak dibahas
tentang bagaimana strategi untuk menghadapi orang munafik. Dalam bukunya
tersebut ia lebih banyak memaparkan tentang karakteristik orang munafik secara
global dan singkat menurut al-Qur`an serta memaparkan bahaya yang ditimbulkannya
dengan melihat realita yang terjadi pada saat sekarang ini.
Kajian tentang strategi menghadapi orang munafik ada dibahas oleh
Muhammad Sayyid Thanthâwî dalam bukunya Adab al-Hiwar fi al-Islâm.19 Namun
buku ini hanya membahas satu aspek saja dari strategi menghadapi orang munafik,
yaitu dengan cara melakukan dialog dengan orang munafik berdasarkan petunjuk
al-Qur`an. Jadi belum mencakup keseluruhan strategi yang diajarkan sebagaimana yang
terkandung di dalam al-Qur`an.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian tentang strategi
menghadapi orang munafik menurut al-Qur`an ini -sepanjang yang penulis ketahui-
secara fokus dan mendalam belum pernah dilakukan.
18
Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan judul Bahaya Kemunafikan Di Tengah Kita, terj. Nandang Burhanuddin, Jakarta: Qisthi Press, 1421 H/2001 M, Cet. ke-1
19
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini memusatkan pembahasan dengan menggunakan pendekatan
library research (penelitian kepustakaan) karena semua sumber datanya berasal dari
bahan-bahan tertulis yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan topik yang
dibahas. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka yang menjadi sumber utama
adalah al-Qur`an. Dari sumber utama tersebut dihimpun ayat-ayat yang berkenaan
dengan term nifâq dan munafik. Kemudian dicari sumber dari Hadis-hadis Nabi saw.
yang berkaitan dengan topik pembahasan tersebut sebagai penjelas dari ayat-ayat
al-Qur`an untuk kesempurnaan kajian dalam pembahasan penelitian ini.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam membahas ayat-ayat al-Qur`an
pada penelitian ini adalah dengan pendekatan metode tafsir tematik (tafsîr
mawdhû’î).20 Metode ini digunakan karena yang menjadi obyek pembahasan
penelitian ini adalahayat-ayat al-Qur`an yang terdapat di berbagai surat dan terfokus
pada sebuah tema.
Secara operasionalnya, metode ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (tema). Dalam hal ini adalah tentang
orang munafik yang lebih difokuskan pada strategi menghadapinya;
2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan masalah tersebut;
20
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan
pengetahuan tentang asbâb al-nuzûlnya;
4. Memahami korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut dalam suratnya
masing-masing;
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
6. Melengkapi pembahasan dengan Hadis-hadis yang relevan dengan pokok
bahasan;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan ayat lain
yang ‘am (umum),dan yang khash (khusus), muthlaq dan muqayyad (terikat),
atau yang pada lahirnya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau
pemaksaan.
Untuk itu, sesuai dengan masalah pokok yang dibahas, sumber yang dijadikan
rujukan utama adalah kitab-kitab tafsir al-Qur`an, diantaranya : Jâmi’ al-Bayân fî
Tafsîr al-Qur`ân karangan Muhammad Ibn Jarîr al-Thabarî, Tafsîr Qur`ân
al-‘Azhîm karangan Ibn Katsîr, Fî Zhilâl al-Qur`ân karangan Sayyid Quthb, Al-Mîzân
fî Tafsîr al-Qur`ân karangan Muhammad Husain al-Thabâthabâ’i, Tafsîr al-Marâghî
karangan Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah
wa al-Manhaj karangan Wahbah al-Zuhailî, serta kitab-kitab tafsir lainnya.
Alasan menjadikan kitab-kitab tafsir sebagaimana tersebut di atas sebagai
dalam dunia akademik khususnya dalam kajian tafsir, juga di dalamnya banyak
memberi komentar dalam mengulas tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan
pembahasan tentang orang munafik yang menjadi tema sentral dalam penelitian ini.
Disamping itu, kitab-kitab tersebut dianggap telah mewakili corak penafsiran pada
masa klasik dan modern.
Selain kitab-kitab tafsir tersebut di atas, dipergunakan pula kitab-kitab atau
buku-buku yang memiliki relevansi untuk dapat memperjelas dan memperoleh
pemahaman dalam pembahasan penelitian ini. Yaitu berupa data-data tambahan yang
diambil dari berbagai literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang
diteliti, antara lain dari buku-buku ilmu tafsir atau ‘Ulûm al-Qur`ân, Hadis, serta
buku-buku lainnya –termasuk buku-buku populer- yang berhubungan dan
mendukung untuk mengkaji permasalahan dimaksud, terutama dalam memberikan
kontribusi dalam pembahasan yang berhubungan dengan realita kekinian.
Sebagai dasar rujukan untuk mencari ayat-ayat al-Qur`an yang berhubungan
dengan topik pembahasan penelitian ini digunakan Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh
al-Qur`ân al-Karîm yang disusun oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Bâqî. Dan untuk
mengetahui maksud kata-kata dan istilah tertentu dari ayat-ayat al-Qur`an digunakan
Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur`ân dan Al-Mufradât fî al-Ghârîb al-Qur`ân,
keduanya disusun oleh Abû Qasim Husain ibn Muhammad Râghib
al-Ashfahânî. Selain itu digunakan pula kamus bahasa Arab Lisân al-‘Arab susunan Ibn
ketika dalam pembahasan masalah ini nantinya juga digunakan literatur-literatur lain
yang dapat mendukung atau sesuai dengan kajian dimaksud.
Kemudian, dalam pemecahan masalah dan pembahasan dilakukan dengan
cara deskriptif analisis, yaitu menggambarkan serta menganalisis data dengan
menghubungkan konteks permasalahan yang sedang dibahas tersebut dengan realita
yang ada dan dengan konsep-konsep kelilmuan lainnya yang memiliki kaitan
dengannya. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini nantinya bermanfaat tidak hanya
untuk kepentingan umum saja, tetapi juga diharapkan dapat memberikan kontribusi
pada bidang-bidang ilmu yang berkaitan dengannya.
Mengenai teknik penulisan laporan penelitian ini, peneliti berpedoman pada
buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN
Jakarta press tahun 2002, sebagaimana yang terdapat juga pada “Buku Panduan
Program Pascasarjana Tahun Akademik 2003/2004” Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Pembahasan
Penulisan laporan penelitian ini dibagi menjadi lima bab. Bab I adalah
Pendahuluan yang terdiri dari sub-sub pembahasan yang menjelaskan bahwa
penelitian yang dilakukan ini adalah bersifat ilmiah yang berdasarkan pada
langkah-langkah penelitian ilmiah yang terdiri dari bahasan tentang Latar Belakang Masalah,
Rumusan dan Batasan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka,
Bab II Pengertian Munafik dan Karakteristiknya Menurut al-Qur`an yang
terdiri dari pembahasan tentang Arti Munafik Secara Etimologi dan Terminologi,
Karakteristik Orang Munafik, dan Usaha-usaha Orang Munafik. Pembahasan tersebut
penting sebagai pengantar untuk mengenal secara utuh profil atau sosok kepribadian
orang munafik dan segala upayanya untuk merusak keharmonisan kehidupan manusia
sebagaimana yang akan dibahas pada Bab selanjutnya.
Bab III Bahaya Orang Munafik dan Ancaman Bagi Mereka Menurut
Al-Qur`an yang terdiri dari pembahasan tentang Bahaya Orang Munafik terhadap
Keimanan, Bahaya Orang Munafik terhadap Peribadatan, Bahaya Orang Munafik
terhadap Kehidupan Masyarakat, dan Ancaman Bagi Orang Munafik pada Kehidupan
di Akhirat. Sub-sub bahasan pada Bab ini dikaji untuk lebih menjelaskan dan
meyakinkan bahwa orang munafik dapat menimbulkan bahaya dalam kehidupan dan
bahkan akan menjadi bahaya bagi dirinya sendiri pada kehidupan di akhirat, sehingga
sangat urgen untuk dihadapi dan disikapi secara benar sesuai dengan kandungan
ayat-ayat al-Qur`an yang akan menjadi pembahasan Bab berikutnya yang merupakan tema
pokok dalam penelitian ini.
Bab IV merupakan pembahasan pokok yang menjadi tema utama penelitian
ini, yaitu Cara-cara Menghadapi Orang Munafik Menurut Al-Qur`an yang terdiri dari
sub-sub pokok bahasan tentang cara-cara menghadapi orang munafik sebagaimana
yang ditunjukkan oleh al-Qur`an, yaitu: Memperkokoh Loyalitas sesama Mukmin,
Melakukan Jihad melalui Hujjah (argumentasi) dan Qîtâl (perang) bila perlu,
Membangun Kewaspadaan, dan Memperbanyak Do’a.
Bab V Kesimpulan dari hasil penelitian ini, dan sekaligus memberikan
22
MENURUT AL-QUR`AN
A. Arti Munafik Secara Etimologi dan Terminologi
Secara etimologi, kata munafik dalam bahasa Arab diambil dari akar kata
nafiqa (ﻖﻔﻧ) yang berarti lobang tikus. Dalam hal ini, antara lobang tikus dengan
kemunafikan memang ada kesejajaran sifat. Bagian atas (luar) dari liang tikus
tertutup dengan tanah, sedangkan bagian bawahnya berlobang. Demikian pula dengan
kemunafikan yang bagian luarnya adalah Islam tetapi bagian dalamnya merupakan
keingkaran serta penipuan.1 Atau karena biasanya tikus selalu menampakkan jalan
masuknya ke lobang, namun tidak menampakkan jalan keluarnya. Jadi, arti dasarnya
adalah menampakkan sesuatu dan menyembunyikan lawannya.2
Kata munafik juga berasal dari kata nâfaqa-nifâqan (ﺎًﻗﺎَﻔﻧِ - َﻖَﻓﺎﻧَ) yang
mengandung arti mengadakan, mengambil bagian dalam membicarakan sesuatu yang
dalam pandangan keagamaan, pengakuannya dari satu orang berbeda-beda dengan
yang lainnya.3 Al-Râghib al-Ashfahânî mengartikan nifâq dengan masuk ke dalam
syara’ (agama) dari satu pintu dan keluar daripadanya melalui pintu lain.4 Hal ini
didasarkan pada al-Qur`an Surat al-Tawbah/9 ayat 67 yang menyatakan bahwa
1Lihat Ahmad ‘Izz al-Dîn al-Bayânûnî, Al-Kufr wa al-Mukaffirât, (Halb: Maktabah al-Hudâ, 1979), h. 47
2
Ibrâhîm bin Muhammad bin 'Abdullâh al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, Penerjemah: Muhammad Anis Matta, (Ttp: Litbang Pusat Studi Islam Al-Manar, tt), h. 200
3‘Abdullâh 'Abbâs, Qâmûs al-Fâzh al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al- Fikr, tt), h. 524 4
orang munafik itu adalah orang-orang yang fasiq. Oleh Al-Jurjânî kata nifâq diartikan
menampakkan keimanan melalui perkataan dan menyembunyikan kekafiran dalam
hati.5
Dalam al-Qur`an kata nifâq dengan berbagai bentuknya yang mengandung
makna kemunafikan, disebut sebanyak 37 kali. Bila diklasifikasikan, ayat-ayat
al-Qur`an yang membahas tema kemunafikan, kebanyakan diturunkan di Madinah
(Madaniyyah).6 Ini disebabkan karena fenomena kemunafikan kelihatan sangat
kentara kemunculan dan perkembangannya pada periode Madinah.
Adapun secara terminologi syari’at Islam, munafik adalah orang yang
menampakkan sesuatu yang sejalan dengan kebenaran di depan orang banyak,
padahal kondisi batin atau perbuatannya yang sebenarnya tidak demikian.
Kepercayaan atau perbuatannya itu disebut nifâq.7
Dalam istilah al-Qur`an, menurut al-Thabâthabâ’î, nifâq adalah menampakkan
iman dan menyembunyikan kekafiran.8 Hal ini didasarkan pada Qs. al-Mâ’idah/5 ayat
41 yang berbunyi:
ﻢﹶﻟﻭ
ﻢِﻬِﻫﺍﻮﹾﻓﹶﺄِﺑ
ﺎﻨﻣﺍَﺀ
ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ
ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ
ﻦِﻣ
ِﺮﹾﻔﹸﻜﹾﻟﺍ
ﻲِﻓ
ﹶﻥﻮﻋِﺭﺎﺴﻳ
ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ
ﻚﻧﺰﺤﻳ
ﺎﹶﻟ
ﹸﻝﻮﺳﺮﻟﺍ
ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ
ﺑﻮﹸﻠﹸﻗ
ﻦِﻣﺆﺗ
ﻙﻮﺗﹾﺄﻳ
ﻢﹶﻟ
ﻦﻳِﺮﺧﺍَﺀ
ٍﻡﻮﹶﻘِﻟ
ﹶﻥﻮﻋﺎﻤﺳ
ِﺏِﺬﹶﻜﹾﻠِﻟ
ﹶﻥﻮﻋﺎﻤﺳ
ﺍﻭﺩﺎﻫ
ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ
ﻦِﻣﻭ
ﻢﻬ
ﻦﻣﻭ
ﺍﻭﺭﹶﺬﺣﺎﹶﻓ
ﻩﻮﺗﺆﺗ
ﻢﹶﻟ
ﹾﻥِﺇﻭ
ﻩﻭﹸﺬﺨﹶﻓ
ﺍﹶﺬﻫ
ﻢﺘﻴِﺗﻭﹸﺃ
ﹾﻥِﺇ
ﹶﻥﻮﹸﻟﻮﹸﻘﻳ
ِﻪِﻌِﺿﺍﻮﻣ
ِﺪﻌﺑ
ﻦِﻣ
ﻢِﻠﹶﻜﹾﻟﺍ
ﹶﻥﻮﹸﻓﺮﺤﻳ
5
'Alî bin Muhammad bin ‘Alî al- Husainî al- Jurjânî, Al-Ta’rîfât, (Beirut: Dâr al- Kutub al- Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), Cet. ke-2, h. 241
6
Muhammad Fu’ad Abd al- Bâqî, al- Mu’jam al- Mufahras Li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1417 H), h. 886-887
7
Ibrâhîm bin Muhammad bin 'Abdullâh al-Buraikan, Pengantar Studi … , h. 201
ﻪﺘﻨﺘِﻓ
ﻪﱠﻠﻟﺍ
ِﺩِﺮﻳ
Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah dirobah-robah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah" Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Qs. Al-Maidah/5: 41)
Jadi orang-orang munafik itu melalui lidahnya mengaku beriman, tunduk dan
patuh kepada Allah, padahal sesungguhnya tidaklah demikian, bahkan merekalah
penentang yang sangat gigih yang di dalam hati mereka dikotori oleh kekafiran.
Dengan demikian mereka sebenarnya dapat dikelompokkan dalam golongan
orang-orang kafir.
Kemunafikan dimasukkan dalam kategori kekafiran karena pada hakikatnya,
perilaku nifâq adalah kekafiran yang terselubung. Orang-orang munafik, pada
dasarnya, adalah mereka yang ingkar kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan
ajaran-ajaran yang dibawa rasul itu, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin.9
9
Dari pembahasan di atas, perilaku nifâq dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori. Yaitu, nifâq yang berhubugan dengan keimanan (aqîdah) dan nifâq yang
berhubungan dengan amal perbuatan (‘amali).10
Nifâq aqîdah adalah menyembunyikan kekafiran dalam hati dan
menampakkan keimanan dalam lisan dan perbuatan. Orang-orang yang berperilaku
demikian biasanya hanya akan dan sengaja menampakkan keimanannya melalui
pernyataan lisan dan perbuatan bila ia berhadapan atau berada di tengah-tengah orang
beriman. Dalam hal ini, keyakinannya tentang hakekat Islam sesungguhnya sangat
bertentangan dengan pernyataan keimanan dan keislamannya tersebut.11
Sedang nifâq ‘amali adalah menampakkan perbuatan yang berbeda dengan
apa yang diperintahkan syari’at Islam. Orang-orang yang berperilaku demikian
memiliki akhlak orang munafik dalam memberikan loyalitas kepada
orang-orang kafir, berkasih sayang kepada mereka, mendukung perjuangan mereka,
menyalahi janji, membiasakan berdusta, atau berkhianat dan curang, dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari orang-orang seperti ini akan berusaha kelihatan bersikap
manis dan lembut untuk mendapat simpatik dan kepercayaan dari orang di sekitarnya,
padahal di dalam hatinya berkecamuk kebencian dan tipu daya.12
10
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menggunakan istilah lain untuk pembagian nifâq ini, yaitu Nifâq Akbar (Nifâq Besar) dan Nifâq Ashghar (Nifâq Kecil). Lihat Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Salikin; Pendakian Menuju Allahi, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), Cet. ke-1, h. 68. Sedangkan Sa'îd Hawwâ menyebutnya Nifâq Nazhari (konsepsional) dan Nifâq ‘Amali. Lihat Sa'îd Hawwâ, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamihid, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), Cet. ke-1, h. 182
11Lihat Ibid. 12
Dari beberapa pengertian tentang nifâq dan orang munafik yang diutarakan di
atas dapat disimpulkan bahwa kemunafikan tidaklah semata berhubungan dengan
persoalan keimanan yang menjurus pada masalah kebohongan dan pengkhianatan
kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi munafik juga meliputi segala persoalan yang
berhubungan dengan amal perbuatan manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya,
yakni dengan berperilaku ganda atau bermuka dua dalam bersikap di hadapan orang,
kata lisan dan perbuatannya sangat bertentangan dengan kata hatinya. Termasuk
dalam hal ini melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
dan tuntutan syara’ sebagaimana yang telah diyakini kebenarannya.
Berdasarkan itu, orang munafik itu dapat dibagi dalam tingkatan-tingkatan
sebagaimana yang telah dikelompokkan oleh ulama berdasarkan pada jenis-jenis
nifâq yang dilakukannya, yaitu:
1. Orang munafik dengan tingkat nifâq besar (berkaitan dengan akidah).
Ciri-ciri munafik pada tingkat ini adalah: mendustakan Rasulullah saw.
secara parsial dan keseluruhan, mendustakan sebagian ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah saw berdasarkan al-Qur`an dan hadis-hadisnya, membenci
Rasulullah saw., membenci sebagian ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
saw., merasa gembira dengan kekalahan agama Rasulullah saw., dan
merasa benci dengan kemenangan agama Rasulullah saw.13
2. Orang munafik dengan tingkat nifâq kecil (berkaitan dengan perbuatan).
Ciri-ciri munafik pada tingkat ini adalah: dusta dalam perkataan, tidak
menepati janji, menghkhianati amanah, berlaku curang ketika bertengkar
dengan jalan keluar dari aturan akhlak yang luhur, dan menipu.14
Kemunafikan tingkat pertama yang bernuansa akidah (keyakinan) di atas
dianggap telah keluar dari agama secara total. Kemunafikan pada tingkat ini
disamakan dengan kekufuran.
Adapun kemunafikan pada tingkat kedua dalam bentuk perbuatan (amal),
meskipun tidak sampai menyebabkan pelakunya dianggap keluar dari agama secara
total, tetapi ia merupakan lorong menuju kekufuran. Barangsiapa pada dirinya telah
terkumpul ciri-ciri kemunafikan tersebut berarti telah berkumpul padanya kejelekan,
dimana semua sifat itu merupakan sifat yang menjadi karakter orang munafik.
Karakter-karakter orang munafik yang dikelompokkan di atas diungkap dalam
al-Qur`an sebagaimana yang diuraikan pada pembahasan berikut.
B. Karakteristik Orang Munafik
Karakteristik orang munafik menurut al-Qur`an terdapat dalam surat-surat
yang diturunkan di Madinah. Hal inilah yang mendasari sebahagian besar ulama tafsir
berpendapat bahwa orang munafik baru muncul pada periode Madinah. Ibn Katsîr di
antaranya menjelaskan bahwa kemunafikan pertama kali muncul di Madinah setelah
terjadi peristiwa Badar al-‘Uzhma (hebat) dan Allah menampakkan kalimah-Nya
serta memuliakan Islam dan pemeluk-Nya, maka masuk Islamlah 'Abdullâh bin Ubay
bin Salûl, yang dahulunya sebagai penguasa Madinah, berasal dari kabilah Khazraj.
Ia adalah pemimpin kabilah Aus dan Khazraj pada masa jahiliah yang dahulunya
mereka pernah akan menjadikannya sebagai raja mereka. Akan tetapi, datanglah
kepada mereka kebaikan, lalu mereka masuk Islam sehingga keinginan mereka
terlupakan. Dalam diri Ubay tersimpan dendam terhadap Islam dan pengikutnya.
Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, 'Abdullâh bin Ubay bin
Salûl berkata, “Ini adalah perkara yang unggul”. Maka dia pura-pura masuk Islam
bersama golongan yang mengikuti jejak dan pola hidupnya serta beberapa orang Ahli
Kitab. Dari peristiwa itu, timbullah kemunafikan pada penduduk Madinah dan yang
ada di sekitarnya. Adapun kaum muhajirin tidak ada seorangpun yang munafik, sebab
dia berhijrah bukan karena dipaksa oleh kaumnya, namun karena pilihannya sendiri.
Dia meninggalkan harta, anak, dan lahannya karena mengharapkan apa yang ada pada
sisi Allah di negeri akhirat.15
Jadi fenomena nifâq berdasarkan uraian di atas, baru muncul dan terjadi
dalam sejarah Islam setelah Rasulullah saw. beserta kaum muslimin berada di
Madinah, setelah kaum muslimin memiliki negara. Mereka (kaum munafik) berasal
dari kabilah Aus dan Khazraj yang waktu itu disebut sebagai kaum Anshor. Sifat
munafik ini muncul disebabkan oleh rasa iri, dengki serta rasa dendam terhadap
Rasulullah dan para sahabatnya (kaum Anshâr) yang mendapat perlakuan baik dan
istimewa di tengah-tengah masyarakat Madinah kala itu.
Namun dalam hal ini al-Thabâthabâ’î berpendapat bahwa orang munafik
sudah mulai muncul di Mekkah dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa orang
munafik baru muncul di Madinah. Menurutnya, surat al-‘Ankabût/29, secara
keseluruhan termasuk Makkiyyah, termasuk sebelas ayat dipermulaannya. Kata jihâd
dan munâfîq yang terdapat di dalamnya (ayat 5 dan 11) tidak dapat dijadikan alasan
untuk mengklaimnya sebagai Madaniyyah. Jihad yang dimaksud di sana bukanlah
perang melainkan jihâd al-nafs (memerangi hawa nafsu dan keinginan-keinginan
jahat dalam diri).16
Sejalan dengan pendapat di atas, Fazlur Rahmân mengemukakan bahwa
konsep “munafik” di periode Mekkah berbeda dengan konsep “munafik” di periode
Madinah. Menurutnya, munafik sudah muncul di periode Mekkah, dan sebelas ayat di
awal surat al-‘Ankabût/29 jelas sekali tergolong ayat-ayat Makkiyah. Orang munafik
di periode Mekkah berarti orang yang mempunyai iman yang lemah dan berpendirian
goyah. Mereka adalah orang-orang yang menyerah pada tekanan atas diri mereka dan
tidak memiliki iman yang cukup untuk menahan tekanan tersebut. Sedang
orang-orang munafik di periode Madinah adalah sekelompok orang-orang, khususnya pengikut
16
'Abdullâh bin Ubay yang sengaja menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin untuk
menyingkirkan Muhammad saw. dan meruntuhkan Islam dari dalam.17
Menyikapi perbedaan pendapat di atas, menurut penulis orang munafik sudah
muncul dan ada di masa Mekkah. Hanya saja dalam konteks sejarah –sebagaimana
telah dikemukakan di atas- fenomena nifâq memang baru kentara pada masa
Rasulullah Muhammad saw. di Madinah. Dimana sejak kedatangan Rasulullah
Muhammad saw. di Madinah dan Islam berkembang di sana, penduduk Madinah dari
kalangan Yahudi (Ahli Kitab) kian hari semakin merasa terdesak, padahal merekalah
yang selama itu menjadi tuan di Madinah. Demikian juga 'Abdullâh bin Ubay bin
Salûl yang dipandang sebagai pemuka masyarakat Arab Madinah dari suku Aus dan
Khazraj merasa bahwa sejak kedatangan Rasulullah Muhammad saw., dia kian hari
semakin ditinggalkan orang. Jadi mereka, penduduk Madinah dari suku Aus dan
Khazraj serta orang Yahudi merasa tersingkir dan iri sejak kedatangan Rasulullah
Muhammad saw. beserta para pengikutnya (kaum Muhajirin) dari Mekkah. Karena
sadar apabila mereka mengkonfrontasi Rasulullah Muhammad saw. secara kasar dan
terang-terangan, mereka pasti mengalami kekalahan, sebab kebanyakan masyarakat
Madinah saat itu telah menerima Rasulullah Muhammad saw. dan mendukung
perjuangan beliau. Mereka tidak berani berhadapan secara terang-terangan menentang
Rasulullah karena takut mereka akan disisihkan orang. Inilah salah satu faktor yang
menyebabkan mereka menggunakan strategi khusus dalam menghadapi Rasulullah
dengan sifat kemunafikannya, yaitu berpura-pura berpihak pada Rasulullah padahal
sesungguhnya di belakang itu mereka adalah orang-orang yang menentang beliau.
Orang munafik pada periode Mekkah adalah orang yang menyembunyikan
kebenaran imannya atau berpaling dari kebenaran itu dikarenakan oleh tekanan dan
ketidaksanggupan mereka dalam menghadapi tekanan itu. Dimana itu mereka
lakukan untuk menyelamatkan diri dari rasa takut dan sakit akan siksaan yang mereka
alami dikarenakan lemahnya iman mereka, tetpi mereka tidk melakukan suatu
tindakan atau konspirasi untuk meruntuhkan Islam dari dalam. Sedangkan orang
munafik pada periode Madinah adalah orang yang menyembunyikan imannya yang
sebenarnya dan cenderung melakukan konspirasi untuk mengecoh kaum muslim agar
ambisi mereka untuk menyingkirkan Muhammad saw. dan meruntuhkan Islam dapat
tercapai. Dengan begitu orang munafik pada periode Madinah lebih kentara untuk
dikenali daripada orang munafik pada periode Mekkah.
Adapun pendapat Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa fenomena nifâq
tersebut belum atau tidak terdapat pada masa Rasulullah di Mekkah. Karena Islam di
Mekkah saat itu belum mempunyai kekuasaan dan belum mempunyai kekuatan,
bahkan belum mempunyai kelompok yang ditakuti oleh penduduk Mekkah sehingga
mereka perlu bersikap nifâq. Bahkan sebaliknya, Islam selalu ditindas, dakwah
ditolak, dan diusir. Orang-orang yang bergabung dalam barisan Islam itulah
siap menanggung risiko apapun di dalam menempuh jalannya.18 Menurut penulis
berdasarkan Qs. Al-Ankabût/29 ayat 10, akibat penindasan dan tekanan yang dialami
oleh orang-orang Islam waktu itulah, ada di antara mereka yang menanggalkan
keimanannya, berpura-pura beriman atau sebaliknya. Ini adalah salah satu indikasi
adanya munafik di masa Mekkah.
Yang jelas adalah bahwa keberadaan orang munafik telah ada pada masa
Rasulullah Muhammad saw. mengembangkan risalahnya di tengah-tengah umat. Dan
Allah Swt. melalui firman-Nya dalam al-Qur`an banyak memberikan informasi, baik
dalam konteks menceritakan tentang keadaan dan ciri-ciri mereka, maupun ancaman
yang Allah tujukan kepada mereka. Hal ini sekaligus menunjukkan kejelekan sikap
mereka dan bahayanya bagi kehidupan umat.
Berkenaan dengan itu, Sayyid Quthb ada menegaskan ketika dia mengawali
penafsiran ayat 8-16 dalam surat Al-Baqarah/2 tentang gambaran orang-orang
munafik sebagai berikut:
Ini adalah gambaran yang realistis dan kenyataan faktual di Madinah, akan tetapi ketika kita melewati suatu masa dan tempat, kita jumpai bahwa gambaran ini merupakan contoh yang berulang-ulang terjadi pada semua generasi manusia. Kita dapati bahwa manusia jenis ini adalah golongan munafik yang merasa sok tinggi tetapi tidak memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran dengan iman yang sahih, dan tidak pula berani mengemukakan pengingkaran secara transparan terhadap kebenaran itu. Tetapi pada waktu yang sama mereka memposisikan dirinya sebagai manusia yang tertinggi kedudukannya dibandingkan semua golongan manusia, dan persepsi mereka terhadap semua urusan juga dianggap paling tinggi dibandingkan dengan yang lain. Oleh karena itu, kami cenderung untuk membicarakan nash-nash ini secara khusus terhadap golongan munafik ini pada setiap generasi dengan tidak
melupakan sejarah. Kami tujukan pula pembicaraan ini kepada lubuk hati manusia pada setiap generasi.19
Jadi adalah penting untuk mengetahui secara mendalam tentang karakteristik
orang munafik. Karena dia senantiasa akan dapat muncul dalam perjalanan sejarah
umat manusia sampai akhir zaman, maka mereka perlu diidentifikasi dan selanjutnya
dihadapi dengan cara yang benar. Sehingga kekhawatiran terhadap bahaya-bahaya
yang dapat ditimbulkan oleh mereka akan dapat diantisipasi sebelumnya.
Secara umum, al-Qur`an menjelaskan tentang karakteristik orang munafik di
antaranya dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berdusta dalam perkataan
Berdusta atau berkata bohong merupakan ciri orang munafik yang paling
menonjol. Sifat ini muncul akibat orang munafik tidak berani secara terang-terangan
menunjukkan sikap dan pernyataan di depan orang karena takut dan khawatir akan
keberadaannya atau demi tujuan tertentu yang dimaksudnya. Hal ini akan begitu
mudah muncul pada diri orang munafik, karena kepada Allah sajapun dia berani
berbohong, yaitu ketika dia mengatakan beriman kepada Allah padahal di dalam hati
ia mengingkari. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur`an surat al-Baqarah/2 ayat
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(8) Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.(9) Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(10) (Qs. Al-Baqarah/2: 8-10)
Ayat tersebut menjelaskan tentang sifat orang munafik yang tidak memiliki
pendirian yang kokoh dan tegas dalam akidah. Dia menyatakan beriman kepada Allah
dan hari kemudian, padahal hakekatnya dia tidak beriman. Sifat seperti ini tentu akan
sangat mempengaruhi sikapnya terhadap manusia dalam pergaulan sehari-hari.
Dengan berdusta, dia mengira telah menipu Allah dan orang-orang yang
beriman. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, bahkan sebenarnya dialah yang
telah menipu dirinya sendiri. Orang-orang seperti itu mengira bahwa mereka itu
adalah orang-orang yang cerdas dan pandai serta mampu melakukan tipu daya dan
rekayasa terhadap orang-orang yang lapang dada itu.
Oleh Sayyid Quthb dijelaskan bahwa mereka menipu diri sendiri, ketika
mereka menganggap bahwa mereka akan beruntung dan berhasil dengan tindakan dan
dana yang mereka keluarkan, serta memeliharanya dengan menyembunyikan
kekafiran dikalangan kaum mukminin. Akan tetapi pada waktu yang sama,
sebenarnya mereka membinasakan dirinya sendiri dengan melakukan kekafiran yang
mereka sembunyikan dan kemunafikan yang mereka nyatakan itu. Akibatnya mereka
mendapatkan tempat kembali yang amat buruk. Mereka melakukan penipuan
semacam ini dikarenakan mental mereka sakit, dalam hati mereka ada penyakit, dan
mereka pantas mendapatkan tambahan penyakit dari Allah. Dengan begitu
penyelewengan yang mereka lakukan semakin berkembang dan semakin bertambah.
Ini adalah sunnah Allah yang tidak pernah berganti. Sunnah Allah pada segala
sesuatu dan dalam semua urusan, serta pada perasaan dan perilaku.20
Hamka menjelaskan, bahwa ciri orang munafik yang pertama ini adalah orang
yang pecah di antara hatinya dengan mulutnya. Mulutnya mengakui percaya, tetapi
hatinya tidak, dan pada perbuatannya lebih terbukti lagi bahwa pengakuan mulutnya
tidak sesuai dengan apa yang tersimpan dihatinya. Walaupun dia memaksakan dirinya
berbuat suatu perbuatan yang hanya diakui oleh mulut, padahal tidak dari hati, maka
tidaklah akan lama dia dapat mengerjakan perbuatan itu.21
Hal itu dijelaskan juga dalam firman-Nya pada surat al-Tawbah/9 ayat 77:
ﹶﻥﻮﺑِﺬﹾﻜﻳ
ﺍﻮﻧﺎﹶﻛ
ﺎﻤِﺑﻭ
ﻩﻭﺪﻋﻭ
ﺎﻣ
ﻪﱠﻠﻟﺍ
ﺍﻮﹸﻔﹶﻠﺧﹶﺃ
ﺎﻤِﺑ
ﻪﻧﻮﹶﻘﹾﻠﻳ
ِﻡﻮﻳ
ﻰﹶﻟِﺇ
ﻢِﻬِﺑﻮﹸﻠﹸﻗ
ﻲِﻓ
ﺎﹰﻗﺎﹶﻔِﻧ
ﻢﻬﺒﹶﻘﻋﹶﺄﹶﻓ
.
)
ﺔ
ﺑﻮ
ﺘﻟﺍ
/
٩
:
٧٧
(
Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada
waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap
Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka
selalu berdusta. (Qs. Al-Tawbah/9: 77)
Lebih tegas lagi Allah Swt. menjelaskan tentang orang munafik sebagai
pendusta adalah sebagaimana firman-Nya:
20Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid I, h. 43 21
ﹶ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami
mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah
mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah
mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar
orang pendusta. (Qs. Al-Munâfiqûn/63: 1)
Bahkan sabda Rasulullah saw. pun semakin menegaskan bahwa berdusta
adalah salah satu sifat munafik, sebagaimana dalam hadis berikut:
ﱠﻠﻟﺍ
ﻰﱠﻠﺻ
ﻲِﺒﻨﻟﺍ
ِﻦﻋ
ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ
ﻲِﺑﹶﺃ
ﻦﻋ
Dari Abî Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Tanda orang
munafik ada tiga, yaitu bila ia berkata ia dusta; bila ia berjanji ia ingkar; dan
bila ia diberi amanat ia khianat”.
Berdasarkan hadis di atas dijelaskan bahwa selama seseorang tetap berada
pada sifat dusta –sebagaimana telah diuraikan di atas- maka selama itu berarti dia
berada dalam kemunafikan yang tercela. Dan pada dasarnya, apabila seseorang telah