• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI MENGHADAPI ORANG MUNAFIK MENURUT AL-QUR`AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI MENGHADAPI ORANG MUNAFIK MENURUT AL-QUR`AN"

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)

(Kajian Tafsir Tematik)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Agama (MA)

Dalam Konsentrasi Tafsir Hadits

Oleh:

IRWAN S

NIM: 03.2.00.1.05.01.0014

PROGRAM PASCASARJANA (S2)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

(Kajian Tafsir Tematik)

TESIS

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister

Dalam Konsentrasi Tafsir Hadits

Oleh:

IRWAN S

NIM: 03.2.00.1.05.01.0014

Pembimbing

Prof. Dr. H. AHMAD THIB RAYA, MA

Dr. H. ABDUL CHAIR

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

U ntuk :

I striku tercinta

(Neny Liswani, S.Ag)

A nak-anakku tersayang

(Abid, Asa & Adib)

(4)

ii

Tesis dengan judul “Strategi Menghadapi Orang Munafik Menurut Al-Qur`an

(Kajian Tafsir Tematik)” yang ditulis oleh saudara Irwan S dengan No. Induk

03.2.00.1.05.01.0014 konsentrasi Tafsir Hadits, telah direvisi dan disetujui sesuai

dengan ketentuan dalam ujian sidang Munaqasyah pada tanggal 12 Juli 2006.

TIM PENGUJI

Tertanda,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA Dr. H. Abdul Chair

Tgl ……… Tgl ………..

Penguji Penguji

Prof. Dr. Badri Yatim, MA Dr. Yusuf Rahman, MA

Tgl ……….. Tgl ……….

Ketua Sidang

Dr. Fuad Jabali, MA

(5)

iii

Segala puji bagi Allah Swt. yang dengan Hidayah dan pertolongan-Nya

penulis bersyukur dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Strategi Menghadapi

Orang Munafik Menurut Al-Qur`an (Kajian Tafsir Tematik) ini. Shalawat dan salam

senantiasa penulis ucapkan pula atas Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para

sahabat dan pengikutnya.

Tesis ini membahas tentang eksistensi orang munafik dalam al-Qur`an,

mengungkap sifat-sifat mereka, membongkar keburukan dan bahaya yang

ditimbulkannya serta memaparkan cara-cara untuk menghadapi mereka sesuai

petunjuk al-Qur`an.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Direktur dan para

Dosen beserta seluruh civitas akademika Program Pascasarjana Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa

dan memberikan fasilitas serta pelayanan dalam menempuh studi S2 pada kosentrasi

Tafsir Hadits. Khususnya kepada Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA dan

Bapak Dr. H. Abdul Chair yang telah mengoreksi dan memberikan pengarahan selaku

pembimbing dalam penulisan tesis ini. Begitu juga kepada Bapak Prof. Dr. H. M.

Quraish Shihab, MA yang telah mengizinkan penulis menggunakan perpustakaannya

(6)

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Rektor IAIN Sumatera

Utara dan Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah–tempat penulis bertugas- yang telah

memberikan rekomendasi izin belajar dan motivasi bagi penulis dalam melanjutkan

studi ini. Juga kepada teman-teman para Dosen dan seluruh civitas akademika IAIN

Sumatera Utara di Medan, khususnya Fakultas Tarbiyah.

Studi dan tesis ini terasa tak mungkin dapat diselesaikan tanpa dorongan,

perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekat penulis. Teristimewa isteri

tercinta penulis, Neny Liswani, S.Ag yang disaat dalam kesusahan sedang

mengandung anak ketiga kami, masih menyanggupkan diri untuk menggerakkan

jari-jemari tangannya menekan keybord di depan komputer membantu dalam pengetikan

dan pengeditan naskah tesis ini. Terima kasih dan penghargaan khusus dan istimewa

penulis sampaikan kepadanya, juga kepada ketiga permata hati kami (Abid

Dhiyauddin Alfani Irsyah, Taqiyah Anasa Irsyah dan sikecil Adib Bahauddin Faiz

Irsyah yang lahir menjelang tesis ini selesai ditulis). Mereka semua ini telah

mengorbankan kemapanan hidup dan senantiasa menahan kerinduan akan keluarga

dan tempat kelahiran yang harus ditinggalkan demi menemani suami dan ayahnya

yang sedang berjuang menuntut ilmu. Terutama ananda kami, Abid dan Asa, yang

telah mengorbankan masa kecilnya untuk tidak bersama orang-orang yang sangat

menyayangi mereka di tempat kelahirannya.

Secara khusus dan tidak akan penulis lupakan adalah kedua orang tua penulis,

emak dan bapak (Karmi dan Sandiman [Allâhu yarham]). Semoga Allah senantiasa

(7)

baik penulis sebagai tabungan amal mereka dari anak yang saleh. Jasa keduanya

memelihara dan mendidik penulis tidak akan mungkin dapat terbalaskan dengan

setimpal. Begitu juga halnya kepada mertua penulis, mama dan papa (Ramawilis dan

Bachtar Bakar) yang telah banyak membantu secara materil maupun moril dengan

penuh perhatian dan kasih sayang. Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan

atas mereka dan kekuatan untuk terus beribadah kepada-Nya. Kepada mereka semua

inilah, karya ini didedikasikan.

Seluruh keluarga, sahabat dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, baik yang berada di kota Medan maupun di kota Jakarta serta

tempat-tempat lainnya, telah turut berjasa atas terlaksananya studi ini. Kepada mereka

semua penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan atas segala bantuan baik

materil maupun moril.

Akhirnya kepada Allah Swt. sajalah penulis serahkan segala urusan. Semoga

Dia membalasi dengan balasan yang berlipat ganda. Mudah-mudahan tesis ini dapat

memberikan manfaat dan menjadi sumbangan penulis bagi khazanah pengetahuan,

khususnya dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur`an.

Jakarta, 01 Jum.Tsani 1427 H 27 Juni 2006 M

Penulis,

(8)

vi

ARAB LATIN ARAB LATIN

)

ء

(

أ

` (apostrop)

ط

th

ب

b

ظ

zh

ت

t

ع

‘ (petik satu)

ث

ts

غ

gh

ج

j

ف

f

ح

h

ق

q

خ

kh

ك

k

د

d

ل

l

ذ

dz

م

m

ر

r

ن

n

ز

z

و

w

س

s

h

ش

sy

ي

y

ص

sh

ة

ah; at (waqaf; mudlaf)

ض

dh

لا

al- (ta’rif, kata sambung)

Vokal Pendek Vokal Pangjang (Mad) Diftong

Arab Latin Arab Latin Arab Latin

ــ

َــ

ـ = a

ا

…. = â (a panjang)

ْوَا

= aw

ـِـ = i

ْي

…= î (i panjang)

ْوُا

= uw

ـــُـــ = u

ْو

…= û (u panjang)

ْْيَا

= ay

Untuk syaddah atau tasydid (

ـّــ

)transliterasinya = double huruf latin.

(9)

vii

Singkatan Kepanjangan

Swt.

ﻰﹶﻟﺎﻌﺗﻭ

ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ

saw.

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ِﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ra.

ﻪ

ﻋﻨ

ُ

ﷲﺍ

ﻲ

ِﺿ

ﺭ

(

untuk laki-laki

)

ﺭ

ِﺿ

ﻲ

ﷲﺍ

ُ

ﻋﻨ

ﻬﺎ

(untuk perempuan)

Qs. al-Qur`an surat

Ibid Ibidem

terj. terjemahan

Ttp Tanpa tempat penerbit

tt tanpa tahun

H Hijriyah

M Masehi

Cet. Cetakan

h. halaman

(10)

viii

LEMBAR PENGESAHAN ... ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

SINGKATAN-SINGKATAN ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ………... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 11

D. Tinjauan Pustaka ………. 12

E. Metodologi Penelitian ………. 16

F. Sistematika Pembahasan ………. 19

BAB II PENGERTIAN MUNAFIK DAN KARAKTERISTIKNYA MENURUT AL-QUR`AN A. Arti Munafik secara Etimologi dan Terminologi ... 22

B. Karakteristik Orang Munafik ……… 27

C. Usaha-usaha Orang Munafik ………. 59

BAB III BAHAYA ORANG MUNAFIK DAN ANCAMAN BAGI MEREKA MENURUT AL-QUR`AN A. Bahaya Orang Munafik ……….. 68

1. Terhadap Keimanan …...………..…. 68

2. Terhadap Peribadatan ………..…. 79

3. Terhadap Kehidupan Masyarakat ………... 91

(11)

BAB IV CARA-CARA MENGHADAPI ORANG MUNAFIK MENURUT

AL-QUR`AN

A. Memperkokoh Loyalitas sesama Mukmin ……… 115

B. Menolak Mereka Sebagai Teman Dekat ... 134

C. Menolak Mereka Sebagai Pemimpin ... 152

D. Melakukan Jihad ... 173

1. Melakukan Dialog (Hujjah/Argumentasi) ... 178

2. Memerangi Mereka ... 200

E. Membangun Kewaspadaan ... 207

F. Memperbanyak Do’a ... 214

BAB V KESIMPULAN …………...……….. 223

DAFTAR PUSTAKA ………..………... 225

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt. sebagai

pedoman bagi manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Aktivitas tersebut

dapat berupa interaksi antara manusia dengan Allah Swt., antara manusia dengan

manusia lainnya, atau lebih luas lagi antara manusia dengan lingkungan alam

sekitarnya. Dalam rangka itu, melalui tuntunan yang terkandung di dalamnya,

al-Qur`an berfungsi sebagai petunjuk (hudâ)1, sumber informasi (bayân)2 dan pembeda

(furqân)3 antara yang benar (haq) dan yang salah (bâthil) bagi manusia.

Sebagai pemberi petunjuk (hudâ), al-Qur`an bertujuan memberi kesejahteraan

dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu

ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut. Rasulullah

saw. yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima al-Qur`an, bertugas untuk

menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkan manusia.4

Menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain

kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam

metafisika serta fisika, dan tujuan yang ingin dicapai dari hal tersebut adalah

1

Lihat Qs. Al-Baqarah/2: 2, 97, 185; Âli ‘Imrân/3: 138; al-Mâ`idah/5: 46 2

Lihat Qs. Âli ‘Imrân/3: 138

3Lihat Qs. Al-Baqarah/2: 185; Âli Imrân/3: 4; al-Furqân/25: 1 4

(13)

pengabdian kepada Allahsejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan

oleh al-Qur`an dalam surat al-Dzâriyât/51 ayat 56.5

Sebagai sumber informasi (bayân), al-Qur`an mengajarkan banyak hal kepada

manusia; dari persoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah dan mu’amalah

sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan. Mengenai ilmu pengetahuan, al-Qur`an

memberikan wawasan dan motivasi kepada manusia untuk memperhatikan dan

meneliti alam sebagai manifestasi kekuasaan Allah. Hasil pengkajian dan penelitian

fenomena alam kemudian melahirkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman

ini, al-Qur`an berperan sebagai motivator dan inspirator bagi para pembaca, pengkaji

dan pengamalnya.6

Melalui petunjuk (hudâ) dan informasi itu pulalah al-Qur`an mempertegas

perbedaan antara yang benar (haq) dan yang salah (bâthil). Menjelaskan tentang

hakekat kebenaran yang akan berakibat pada kebaikan yang akan diperoleh oleh siapa

saja yang berjalan pada kebenaran itu. Demikian juga sebaliknya, ia menjelaskan

tentang hakekat kebathilan yang akan berakibat pada keburukan dan kesengsaraan

yang akan diperoleh oleh siapa saja yang berjalan pada kebathilan itu. Dengan

demikian itulah al-Qur`an mengintroduksikan dirinya sebagai pembeda (furqân)

5

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. ke-9, h. 172

(14)

antara yang benar (haq) dan yang salah (bâthil). Setelah sebelumnya ia juga

mengintroduksikan dirinya sebagai petunjuk (hudâ) dan sumber informasi (bayân).7

Dengan kedudukan dan fungsi sebagaimana disebutkan di atas, al-Qur`an

mempunyai misi –sebagaimana misi risalah Rasulullah Muhammad saw.-

mewujudkan kehidupan dunia yang harmonis dan seimbang dalam keridhoan Allah

Swt. Termasuk di dalamnya memelihara kehidupan manusia dan alam sekitarnya dari

kerusakan dan kehancuran dengan terwujudnya interaksi yang sehat di antara sesama

manusia dalam menjalani kehidupannya.

Menelusuri realita interaksi kehidupan manusia dengan Penciptanya dan

dengan makhluk sesamanya akan selalu dihadapkan dengan berbagai karakter yang di

satu sisi telah menjadi identitas khas dalam mengenal pribadi seseorang. Namun di

sisi lain akan semakin mengaburkan pengenalan (ta’aruf) terhadap sosok pribadi

tersebut.

Hal itu dimungkinkan oleh karena memang dinamika kehidupan manusia

ditinjau dari sifat-sifat yang dimilikinya terus akan mengalami perkembangan sesuai

dengan fenomena dan eksistensi subyek-subyek lain di dalam diri maupun di

lingkungan sekitarnya yang turut mempengaruhi pembentukan karakternya dari

7

(15)

potensi dasar yang telah dimilikinya sejak lahir.8 Sampai kemudian ada yang

terakumulasi menjadi karakter khas atau kebiasaan yang selalu muncul setiap kali ia

melakukan interaksi antar sesamanya.

Karakter diri seseorang dalam hal ini secara lahiriah dapat diketahui –salah

satunya yang paling umum- dari sifat bicaranya. Yaitu dengan memperhatikan

kesesuaian antara apa yang diucapkannya dangan apa yang dilakukannya. Atau lebih

mendalam lagi, apakah ada kesesuaian antara apa yang diucapkannya dengan apa

yang ia yakini dalam hatinya. Kemudian dengan memperhatikan konsistensi dari sifat

bicaranya tersebut bila dihadapkan pada situasi atau orang yang berbeda dengan

pertama kali waktu ia mengucapkannya.

Dalam realita sehari-hari sering dijumpai ada orang yang begitu mudah

mengucapkan perkataan yang ia sendiri dalam hati mengingkarinya. Di tempat lain ia

berkata setuju, tetapi di tempat lain pula ia berkata tidak begitu. Atau pada satu waktu

ia berjanji, namun pada waktu yang lain ia mengingkarinya. Dan biasanya hal itu

dilakukannya untuk suatu kepentingan yang hendak dicapai. Karakter seperti tersebut

kerapkali dapat disaksikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Bahkan kemudian ada yang saling tuding satu dengan lainnya dengan

8

(16)

memberi predikat sebagai orang munafik9. Begitu mudahnya predikat tersebut

dilabelkan pada seseorang, yang kemudian tidak jarang menimbulkan pertengkaran

dan permusuhan.

Keadaan tersebut tentunya sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan

hidup suatu masyarakat atau negara. Apalagi jika sosok-sosok pribadi seperti itu

memiliki kedudukan dan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat

atau suatu negara, tentunya hal itu akan lebih berbahaya lagi dan perlu untuk disikapi

dengan cara-cara yang benar. Sehingga dengan demikian akibat dari kemunafikan itu

dapat dihindari dan diantisipasi sebelumnya. Bahkan yang lebih penting kemudian

adalah mengupayakan agar karakter-karakter tersebut tidak muncul dan berkembang

subur di masyarakat.

Dalam kehidupan demokrasi di suatu negara, seperti contohnya di Indonesia.

Karakter-karakter demikian biasanya selalu muncul, apalagi disaat-saat menjelang

akan diadakannya pemilihan umum, baik untuk memilih wakil rakyat atau untuk

memilih pemimpin negara. Masa-masa seperti itu akan sangat mudah untuk

mendengar perkataan berupa janji-janji atau komitmen yang akan ditegakkan bila

seseorang terpilih menjadi anggota legislatif atau Presiden dan Wakil Presiden di

masa datang. Namun kemudian, jangankan ketika ia terpilih , bahkan di saat pada

masa kampanyepun tidak sedikit di antara mereka yang tidak dapat dipercaya lagi

9

(17)

ucapannya yang selalu berubah-ubah pada tempat dan waktu yang berbeda. Padahal

dalam setiap pernyataannya bahkan ia selalu ingin meyakinkan orang, bahwa ia

adalah orang yang dapat dipercaya dan tidak jarang pula memanfaatkan

simbol-simbol agama (baca: Islam) untuk menarik simpati para pendukungnya yang

mayoritas beragama Islam. Akhirnya tujuan untuk membangun bangsa membelok ke

arah perusakan dan penghancuran bangsa itu sendiri.

Satu hal yang sangat memprihatinkan adalah bahwa di antara mereka itu –

sebagian besar- adalah orang yang mengaku beriman (baca: beragama Islam) yang

memiliki kitab suci al-Qur`an sebagai kitab petunjuk yang senantiasa mengajak

manusia untuk berlaku jujur dalam berbuat kebajikan demi terciptanya kehidupan

harmonis yang adil, aman, tenang dan tentram, bahagia di dunia dan di akhirat.

Menghadapi kenyataan di atas, saatnyalah al-Qur`an melalui ayat-ayatnya

senantiasa dikaji ulang, untuk kemudian dibuktikan dengan amal nyata sesuai dengan

fungsinya dalam menyikapi dinamika kehidupan masyarakat yang terdiri dari banyak

individu dengan karakteristik yang beragam. Khususnya dalam menghadapi

orang-orang munafik dengan berbagai usaha mereka untuk menciptakan kerusakan di muka

bumi ini. Hal ini, di samping sebagai tugas dakwah seorang mukmin, juga sebagai

usaha untuk mengantisipasi dan menghadapi bahaya-bahaya yang akan

ditimbulkannya bagi kelangsungan hidup manusia.

Al-Qur`an menggambarkan sosok orang munafik sebagai orang yang

memiliki kepribadian terpecah, bermuka dua, tidak adanya kesesuaian antara yang

(18)

muncul pada dirinya senantiasa sangat tergantung dan dipengaruhi oleh ambisi

pribadi yang cenderung tidak sesuai dengan eksistensi dan kemampuan dirinya yang

sesungguhnya. Kebohongan merupakan karakter dasarnya untuk menutupi segala

keburukan dirinya dan kejahatan yang dilakukannya. Secara lahiriah dia selalu

berusaha untuk memperlihatkan dirinya sebagai sosok terbaik yang sempurna dalam

pandangan orang lain, padahal di balik semua itu tersimpan niat buruk dan hati yang

sakit. Intinya, orang munafik adalah orang yang keadaan lahiriahnya berlawanan

dengan batiniahnya baik dari aspek perkataan maupun perbuatannya.

Keberadaan orang munafik sangat membahayakan bagi kehidupan. Mereka

senantiasa terus ada pada setiap tempat dan zaman sepanjang kehidupan umat

manusia. Bahaya yang ditimbulkan olehnya meliputi seluruh aspek kehidupan, baik

secara individu maupun masyarakat, menyangkut persoalan keagamaan (iman dan

peribadatan) maupun persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemunafikan

merupakan virus yang dapat menyebar dan merusak sendi-sendi kehidupan itu.

Berhubungan dengan itulah, kalau diteliti dan didalami dengan seksama,

bahwa ayat-ayat al-Qur`an, baik secara jelas dan tegas, maupun melalui

isyarat-isyarat yang dikandungnya akan dijumpai petunjuk maupun penjelasan yang

berkenaan dengan cara atau upaya yang harus dilakukan oleh orang-orang mukmin

dalam menghadapi orang munafik tersebut. Cara-cara atau strategi yang diajarkan

al-Qur`an tidak hanya terfokus pada satu cara saja. Ini dapat dilihat dari adanya

beberapa ayat al-Qur`an yang membicarakan tentang masalah ini dengan berbagai

(19)

bagi orang-orang mukmin, sebagai petunjuk hidup dalam menjalani aktivitas dan

pergaulannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan negara.

Hal ini sekaligus menegaskan betapa pentingnya upaya atau aktivitas manusia

dalam membina diri dan kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan yang diidamkan,

yang mana kebahagiaan yang hendak diraih itu tidak hanya semata kebahagiaan yang

diperoleh oleh hanya terpenuhinya kebutuhan materi saja, tetapi juga terpenuhinya

kebutuhan moril sprituilnya.

Adapun salah satu sarana untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui

aktivitas pendidikan10 yang oleh al-Qur`an juga mendapatkan perhatian yang tidak

sedikit. Bahkan dapat dikatakan bahwa seluruh ayat al-Qur`an, bila ditinjau dari

berbagai aspeknya mengandung unsur-unsur pendidikan. Termasuk di dalamnya

menjelaskan betapa pentingnya pendidikan bagi kelangsungan kehidupan di bumi

ciptaan Allah ini.11

Bila diteliti lebih lanjut berdasarkan ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana

dijelaskan di atas dapatlah dikatakan bahwa tujuan pendidikan al-Qur`an adalah

10

Menurut Muhammad ‘Athiyah al-Abrâsyî, pendidikan ialah “suatu proses mempersiapkan seseorang (anak didik) agar ia dapat hidup dengan sempurna, bahagia, cinta kepada tanah airnya, kuat jasmaninya, sempurna akhlaknya, sistematik pemikirannya, halus perasaannya, cakap dalam karyanya, bekerjasama dengan orang lain, indah ungkapannya dalam tulisan dan lisannya, dan tangannya melakukan pekerjaannya dengan terampil”. (Muhammad ‘Athiyah al-Abrâsyî, Rûh al-Tarbiyyah wa al-Ta’lîm, (Kairo: ‘Isâ al-Bâbi al-Halabî, tt), h. 5-6)

11Tentang urgensi pendidikan dalam perspektif Qur`an dapat difahami dari ayat-ayat al-Qur`an yang berbicara tentang kedudukan ilmu pengetahuan, kedudukan akal, dan pentingnya pembinaan generasi muda. Setidaknya melalui pembahasan (penafsiran) ayat-ayat al-Qur`an tentang tiga segi tersebut akan dapat menjelaskan urgensi pendidikan dimaksud. Lihat Qs. al-Mujâdalah/59: 11; al-Zumar/39: 9; Thâhâ/20: 114; al-Nahl/16: 43 dan 78; al-Tawbah/9: 122; al-‘Alaq/96: 1-5; Âli

(20)

“membina manusia menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya,

guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah”.12

Dalam pada itu, salah satu prinsip ajaran al-Qur`an di antaranya adalah

penjelasan dan petunjuk secara universal (menyeluruh), namun bersifat global

(umum) baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah kemasyarakatan atau

masalah-masalah tertentu. Dan untuk pembahasan masalah-masalah tersebut terdapat

dalam berbagai ayat dan surat, yang kebanyakan dalam membahas satu topik

permasalahan misalnya, tidak selalu terdapat pada satu kelompok surat atau satu

kelompok bagian dari ayat-ayat al-Qur`an yang tersusun secara sistematis dan

bersambung urutannya dalam Mushhaf (al-Qur`an).

Untuk itulah diperlukan pembahasan yang dapat mengantarkan satu tema

pokok permasalahan atau kajian dalam satu kerangka yang sistematis, integral dan

fungsional, sehingga dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan

memiliki efek dalam mengambil sikap berikutnya dalam menjalani aktivitas

kehidupan sesuai dengan tuntutan al-Qur`an.

Dalam rangka itulah penelitian ini diarahkan pada upaya mengeksplorasi

ayat-ayat al-Qur`an yang berhubungan dengan eksistensi orang munafik, khususnya

tentang strategi menghadapi orang munafik melalui pendekatan tafsir tematik

(mawdhû’i). Sehingga dari uraian-uraian pembahasan ayat-ayat al-Qur`an yang

memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan tema yang dibahas

berikut akan diperoleh kesimpulan bagaimana sesungguhnya perspektif al-Qur`an

12

(21)

tentang strategi dalam menghadapi orang munafik sebagai pedoman dalam

melakukan hubungan antar sesama umat manusia di tengah-tengah kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan pada pokok-pokok pemikiran yang menjadi latar belakang

masalah di atas, maka permasalahan yang dibahas pada penelitian ini dibatasi pada

penelitian ayat-ayat al-Qur`an yang membicarakan tentang orang munafik, yang

puncak kajiannya membahas ayat-ayat al-Qur`an yang membicarakan tentang strategi

menghadapi orang munafik. Oleh karena itu, masalah pokok yang dibahas dalam

penelitian ini adalah, bagaimana petunjuk-petunjuk al-Qur`an tentang cara-cara

menghadapi orang munafik.

Selanjutnya untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan yang diteliti pada

masalah di atas dan agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda dengan apa yang

peneliti maksud, maka secara terperinci permasalahannya dirumuskan melalui

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa pengertian munafik secara etimologi dan terminologi menurut al-Qur`an?

2. Bagaimana karakteristik orang munafik dalam perspektif al-Qur`an?

3. Bahaya apa saja yang akan ditimbulkan oleh orang munafik dalam

kehidupan?

(22)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sebagaimana rumusan masalah di atas, maka secara umum penelitian ini

bertujuan untuk merumuskan konsep tentang orang munafik menurut al-Qur`an.

Secara khusus, tujuan penelitian ini dapat diperinci sebagai berikut :

1. Menjelaskan pengertian munafik sesuai dengan kandungan ayat-ayat

al-Qur`an.

2. Mengungkap ciri-ciri orang munafik sebagaimana yang disebutkan oleh

ayat-ayat al-Qur`an.

3. Mendeskripsikan bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh orang munafik

bagi dirinya sendiri maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

4. Menganalisis strategi yang ditunjukkan al-Qur`an dalam menghadapi orang

munafik.

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan :

1. Dapat menambah wawasan pengetahuan bagi peneliti khususnya dan

menambah literatur kepustakaan ilmu-ilmu agama, khususnya bidang kajian

tafsir al-Qur`an.

2. Menjadi sumber informasi dan motivator bagi siapa saja yang ingin

mensucikan diri (tadzkiyyah al-nafs) dari sifat-sifat munafik yang sangat

dicela oleh agama Islam (baca: Allah Swt.) dan siapa saja yang mencintai

(23)

3. Menjadi bahan kajian/pemikiran yang berguna bagi peneliti-peneliti

selanjutnya dan siapa saja yang berminat untuk mengkaji hal-hal yang

berhubungan dengan permasalahan yang dibahas pada penelitian ini. Sehingga

pada gilirannya dapat pula bermanfaat bagi dinamika kehidupan masyarakat

di masa depan.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pada pengetahuan dan pencarian yang peneliti lakukan hingga

saat ini belum ada penelitian ilmiah yang mengkaji secara khusus dan komprehensip

tentang strategi menghadapi orang munafik dalam al-Qur`an.

Adapun kajian tentang orang munafik secara umum, penulis ada menemukan

pada sebuah Disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul

Konsep Kufr Dalam Al-Qur`an; Suatu Kajian Theologis dengan Pendekatan Tafsir

Tematik” yang merupakan hasil penelitian Harifuddin Cawidu. Di dalam salah satu

sub bahasannya term nifaq dikaji dalam kaitannya dengan konsep kufr dengan

sebutan kufr al-nifâq. Dimana kemunafikan dalam pembahasan tersebut dimasukkan

dalam kategori kufr.13

Kemudian pada uraian berikutnya dijelaskan tentang pengertian term nifâq

dan orang munafik, serta karakteristiknya sebagaimana disebutkan oleh ayat-ayat

13

(24)

Qur`an yang menjadi sumber utama.14 Jadi penelitian tentang orang munafik hanya

sampai sebatas kajian di atas dan tidak ada menyinggung tentang karakteristik orang

munafik secara detail dan sistematis, serta bagaimana sesungguhnya eksistensi orang

munafik tersebut dan bagaimana pula strategi untuk menghadapinya, sebagaimana

yang diuraikan dalam pembahasan penelitian ini. Lagi pula menurut penulis kajian

tentang hal tersebut di atas juga belum sepenuhnya dikembangkan secara luas dan

komprehensif. Hal ini karena memang kajian tentang munafik pada pembahasan buku

tersebut hanya merupakan sub pokok bahasan untuk mendukung dan memperjelas

konsep kufr yang menjadi tema pokok tulisan tersebut.

Kalaupun kemudian pada penelitian ini juga membahas tentang pengertian

munafik dan karakteristiknya sebagaimana pada disertasi yang telah dibukukan di

atas. Pembahasan tentang hal tersebut dalam penelitian ini jelas sangat berbeda.

Karena pada penelitian disertasi tersebut tinjauan yang digunakan hanya sebatas pada

tinjauan teologis yang berkaitan dengan konsep kufr yang menjadi pokok bahasannya,

sedangkan pada penelitian ini nantinya lebih dikembangkan lagi dengan

menggunakan analisis yang berhubungan dengan realita kehidupan manusia dalam

bermasyarakat dan bernegara ditinjau dari perilakunya dalam melakukan interaksi

antar sesama.

Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini pada dasarnya merupakan

penelitian dalam rangka mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan

konsep munafik secara utuh dan terperinci yang dikaji dari berbagai segi. Yang

14

(25)

kemudian secara khusus memfokuskan kajian secara mendalam tentang strategi

dalam menghadapi orang munafik sesuai petunjuk al-Qur`an.

Secara lebih khusus lagi tentang orang munafik dalam al-Qur’an pernah

dibahas oleh Ahmad Haekal dalam tesisnya yang berjudul Perspektif al-Qur’an

tentang Munafik.15 Namun dalam tesis ini kajian tentang strategi menghadapi orang

munafik, bahkan sedikitpun tidak disinggung. Jadi dapat dikatakan bahwa kajian

pokok dalam tesis penulis ini sangat berbeda dengan apa yang menjadi pokok

bahasan tesis tersebut. Dalam tesis ini penulis memfokuskan kajian pada strategi

menghadapi orang munafik menurut al-Qur`an yang tidak ada dibahas pada tesis

tersebut.

Sementara itu, Muhammad Musa Nasr juga ada menulis buku yang berjudul

Al-Munâfiqûn fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa Atsâr al-Salaf al-Shâlih.16 Dalam bukunya

ini beliau membahas tentang makna, jenis, sifat-sifat munafik dan eksistensinya di

zaman Rasulullah saw. Di dalam buku ini pun tidak ditemukan kajian tentang strategi

menghadapi orang munafik.

Abû Bakr Al-Firyâbî juga ada menulis buku yang berjudul Shifah al-Nifâq wa

Dzamm al-Munâfiqîn.17 Namun buku ini hanya berisi kumpulan hadits-hadits

Rasulullah saw. dan atsar para sahabat tentang sifat munafik dan celaan terhadap

15

Tesis pada PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta thn 2004. Tesis ini kemudian dicetak menjadi sebuah buku yang berjudul ”Bahaya Sifat Munafik”, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004)

16

Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Nabhani Idris dengan judul Munafik Menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, (Jakarta: Darus Sunnah, 2004).

17

(26)

orang-orang munafik, bukan merupakan pembahasan tersistematis terhadap tema

kemunafikan.

’Â`idh 'Abdullâh Al-Qarnî juga menulis tentang tema kemunafikan dalam

bukunya Al-Islâm wa Qadhayâ al-’Ashr.18 tetapi di dalamnya juga tidak dibahas

tentang bagaimana strategi untuk menghadapi orang munafik. Dalam bukunya

tersebut ia lebih banyak memaparkan tentang karakteristik orang munafik secara

global dan singkat menurut al-Qur`an serta memaparkan bahaya yang ditimbulkannya

dengan melihat realita yang terjadi pada saat sekarang ini.

Kajian tentang strategi menghadapi orang munafik ada dibahas oleh

Muhammad Sayyid Thanthâwî dalam bukunya Adab al-Hiwar fi al-Islâm.19 Namun

buku ini hanya membahas satu aspek saja dari strategi menghadapi orang munafik,

yaitu dengan cara melakukan dialog dengan orang munafik berdasarkan petunjuk

al-Qur`an. Jadi belum mencakup keseluruhan strategi yang diajarkan sebagaimana yang

terkandung di dalam al-Qur`an.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian tentang strategi

menghadapi orang munafik menurut al-Qur`an ini -sepanjang yang penulis ketahui-

secara fokus dan mendalam belum pernah dilakukan.

18

Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan judul Bahaya Kemunafikan Di Tengah Kita, terj. Nandang Burhanuddin, Jakarta: Qisthi Press, 1421 H/2001 M, Cet. ke-1

19

(27)

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini memusatkan pembahasan dengan menggunakan pendekatan

library research (penelitian kepustakaan) karena semua sumber datanya berasal dari

bahan-bahan tertulis yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan topik yang

dibahas. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka yang menjadi sumber utama

adalah al-Qur`an. Dari sumber utama tersebut dihimpun ayat-ayat yang berkenaan

dengan term nifâq dan munafik. Kemudian dicari sumber dari Hadis-hadis Nabi saw.

yang berkaitan dengan topik pembahasan tersebut sebagai penjelas dari ayat-ayat

al-Qur`an untuk kesempurnaan kajian dalam pembahasan penelitian ini.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam membahas ayat-ayat al-Qur`an

pada penelitian ini adalah dengan pendekatan metode tafsir tematik (tafsîr

mawdhû’î).20 Metode ini digunakan karena yang menjadi obyek pembahasan

penelitian ini adalahayat-ayat al-Qur`an yang terdapat di berbagai surat dan terfokus

pada sebuah tema.

Secara operasionalnya, metode ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (tema). Dalam hal ini adalah tentang

orang munafik yang lebih difokuskan pada strategi menghadapinya;

2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan masalah tersebut;

20

(28)

3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan

pengetahuan tentang asbâb al-nuzûlnya;

4. Memahami korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut dalam suratnya

masing-masing;

5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);

6. Melengkapi pembahasan dengan Hadis-hadis yang relevan dengan pokok

bahasan;

7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun

ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan ayat lain

yang ‘am (umum),dan yang khash (khusus), muthlaq dan muqayyad (terikat),

atau yang pada lahirnya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau

pemaksaan.

Untuk itu, sesuai dengan masalah pokok yang dibahas, sumber yang dijadikan

rujukan utama adalah kitab-kitab tafsir al-Qur`an, diantaranya : Jâmi’ al-Bayân fî

Tafsîr al-Qur`ân karangan Muhammad Ibn Jarîr al-Thabarî, Tafsîr Qur`ân

al-‘Azhîm karangan Ibn Katsîr, Fî Zhilâl al-Qur`ân karangan Sayyid Quthb, Al-Mîzân

fî Tafsîr al-Qur`ân karangan Muhammad Husain al-Thabâthabâ’i, Tafsîr al-Marâghî

karangan Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah

wa al-Manhaj karangan Wahbah al-Zuhailî, serta kitab-kitab tafsir lainnya.

Alasan menjadikan kitab-kitab tafsir sebagaimana tersebut di atas sebagai

(29)

dalam dunia akademik khususnya dalam kajian tafsir, juga di dalamnya banyak

memberi komentar dalam mengulas tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan

pembahasan tentang orang munafik yang menjadi tema sentral dalam penelitian ini.

Disamping itu, kitab-kitab tersebut dianggap telah mewakili corak penafsiran pada

masa klasik dan modern.

Selain kitab-kitab tafsir tersebut di atas, dipergunakan pula kitab-kitab atau

buku-buku yang memiliki relevansi untuk dapat memperjelas dan memperoleh

pemahaman dalam pembahasan penelitian ini. Yaitu berupa data-data tambahan yang

diambil dari berbagai literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang

diteliti, antara lain dari buku-buku ilmu tafsir atau ‘Ulûm al-Qur`ân, Hadis, serta

buku-buku lainnya –termasuk buku-buku populer- yang berhubungan dan

mendukung untuk mengkaji permasalahan dimaksud, terutama dalam memberikan

kontribusi dalam pembahasan yang berhubungan dengan realita kekinian.

Sebagai dasar rujukan untuk mencari ayat-ayat al-Qur`an yang berhubungan

dengan topik pembahasan penelitian ini digunakan Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh

al-Qur`ân al-Karîm yang disusun oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Bâqî. Dan untuk

mengetahui maksud kata-kata dan istilah tertentu dari ayat-ayat al-Qur`an digunakan

Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur`ân dan Al-Mufradât fî al-Ghârîb al-Qur`ân,

keduanya disusun oleh Abû Qasim Husain ibn Muhammad Râghib

al-Ashfahânî. Selain itu digunakan pula kamus bahasa Arab Lisân al-‘Arab susunan Ibn

(30)

ketika dalam pembahasan masalah ini nantinya juga digunakan literatur-literatur lain

yang dapat mendukung atau sesuai dengan kajian dimaksud.

Kemudian, dalam pemecahan masalah dan pembahasan dilakukan dengan

cara deskriptif analisis, yaitu menggambarkan serta menganalisis data dengan

menghubungkan konteks permasalahan yang sedang dibahas tersebut dengan realita

yang ada dan dengan konsep-konsep kelilmuan lainnya yang memiliki kaitan

dengannya. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini nantinya bermanfaat tidak hanya

untuk kepentingan umum saja, tetapi juga diharapkan dapat memberikan kontribusi

pada bidang-bidang ilmu yang berkaitan dengannya.

Mengenai teknik penulisan laporan penelitian ini, peneliti berpedoman pada

buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN

Jakarta press tahun 2002, sebagaimana yang terdapat juga pada “Buku Panduan

Program Pascasarjana Tahun Akademik 2003/2004” Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Pembahasan

Penulisan laporan penelitian ini dibagi menjadi lima bab. Bab I adalah

Pendahuluan yang terdiri dari sub-sub pembahasan yang menjelaskan bahwa

penelitian yang dilakukan ini adalah bersifat ilmiah yang berdasarkan pada

langkah-langkah penelitian ilmiah yang terdiri dari bahasan tentang Latar Belakang Masalah,

Rumusan dan Batasan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka,

(31)

Bab II Pengertian Munafik dan Karakteristiknya Menurut al-Qur`an yang

terdiri dari pembahasan tentang Arti Munafik Secara Etimologi dan Terminologi,

Karakteristik Orang Munafik, dan Usaha-usaha Orang Munafik. Pembahasan tersebut

penting sebagai pengantar untuk mengenal secara utuh profil atau sosok kepribadian

orang munafik dan segala upayanya untuk merusak keharmonisan kehidupan manusia

sebagaimana yang akan dibahas pada Bab selanjutnya.

Bab III Bahaya Orang Munafik dan Ancaman Bagi Mereka Menurut

Al-Qur`an yang terdiri dari pembahasan tentang Bahaya Orang Munafik terhadap

Keimanan, Bahaya Orang Munafik terhadap Peribadatan, Bahaya Orang Munafik

terhadap Kehidupan Masyarakat, dan Ancaman Bagi Orang Munafik pada Kehidupan

di Akhirat. Sub-sub bahasan pada Bab ini dikaji untuk lebih menjelaskan dan

meyakinkan bahwa orang munafik dapat menimbulkan bahaya dalam kehidupan dan

bahkan akan menjadi bahaya bagi dirinya sendiri pada kehidupan di akhirat, sehingga

sangat urgen untuk dihadapi dan disikapi secara benar sesuai dengan kandungan

ayat-ayat al-Qur`an yang akan menjadi pembahasan Bab berikutnya yang merupakan tema

pokok dalam penelitian ini.

Bab IV merupakan pembahasan pokok yang menjadi tema utama penelitian

ini, yaitu Cara-cara Menghadapi Orang Munafik Menurut Al-Qur`an yang terdiri dari

sub-sub pokok bahasan tentang cara-cara menghadapi orang munafik sebagaimana

yang ditunjukkan oleh al-Qur`an, yaitu: Memperkokoh Loyalitas sesama Mukmin,

(32)

Melakukan Jihad melalui Hujjah (argumentasi) dan Qîtâl (perang) bila perlu,

Membangun Kewaspadaan, dan Memperbanyak Do’a.

Bab V Kesimpulan dari hasil penelitian ini, dan sekaligus memberikan

(33)

22

MENURUT AL-QUR`AN

A. Arti Munafik Secara Etimologi dan Terminologi

Secara etimologi, kata munafik dalam bahasa Arab diambil dari akar kata

nafiqa (ﻖﻔﻧ) yang berarti lobang tikus. Dalam hal ini, antara lobang tikus dengan

kemunafikan memang ada kesejajaran sifat. Bagian atas (luar) dari liang tikus

tertutup dengan tanah, sedangkan bagian bawahnya berlobang. Demikian pula dengan

kemunafikan yang bagian luarnya adalah Islam tetapi bagian dalamnya merupakan

keingkaran serta penipuan.1 Atau karena biasanya tikus selalu menampakkan jalan

masuknya ke lobang, namun tidak menampakkan jalan keluarnya. Jadi, arti dasarnya

adalah menampakkan sesuatu dan menyembunyikan lawannya.2

Kata munafik juga berasal dari kata nâfaqa-nifâqan (ﺎًﻗﺎَﻔﻧِ - َﻖَﻓﺎﻧَ) yang

mengandung arti mengadakan, mengambil bagian dalam membicarakan sesuatu yang

dalam pandangan keagamaan, pengakuannya dari satu orang berbeda-beda dengan

yang lainnya.3 Al-Râghib al-Ashfahânî mengartikan nifâq dengan masuk ke dalam

syara’ (agama) dari satu pintu dan keluar daripadanya melalui pintu lain.4 Hal ini

didasarkan pada al-Qur`an Surat al-Tawbah/9 ayat 67 yang menyatakan bahwa

1Lihat Ahmad Izz al-Dîn al-Bayânûnî, Al-Kufr wa al-Mukaffirât, (Halb: Maktabah al-Hudâ, 1979), h. 47

2

Ibrâhîm bin Muhammad bin 'Abdullâh al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, Penerjemah: Muhammad Anis Matta, (Ttp: Litbang Pusat Studi Islam Al-Manar, tt), h. 200

3Abdullâh 'Abbâs, Qâmûs al-Fâzh al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al- Fikr, tt), h. 524 4

(34)

orang munafik itu adalah orang-orang yang fasiq. Oleh Al-Jurjânî kata nifâq diartikan

menampakkan keimanan melalui perkataan dan menyembunyikan kekafiran dalam

hati.5

Dalam al-Qur`an kata nifâq dengan berbagai bentuknya yang mengandung

makna kemunafikan, disebut sebanyak 37 kali. Bila diklasifikasikan, ayat-ayat

al-Qur`an yang membahas tema kemunafikan, kebanyakan diturunkan di Madinah

(Madaniyyah).6 Ini disebabkan karena fenomena kemunafikan kelihatan sangat

kentara kemunculan dan perkembangannya pada periode Madinah.

Adapun secara terminologi syari’at Islam, munafik adalah orang yang

menampakkan sesuatu yang sejalan dengan kebenaran di depan orang banyak,

padahal kondisi batin atau perbuatannya yang sebenarnya tidak demikian.

Kepercayaan atau perbuatannya itu disebut nifâq.7

Dalam istilah al-Qur`an, menurut al-Thabâthabâ’î, nifâq adalah menampakkan

iman dan menyembunyikan kekafiran.8 Hal ini didasarkan pada Qs. al-Mâ’idah/5 ayat

41 yang berbunyi:

ﻢﹶﻟﻭ

ﻢِﻬِﻫﺍﻮﹾﻓﹶﺄِﺑ

ﺎﻨﻣﺍَﺀ

ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ

ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

ﻦِﻣ

ِﺮﹾﻔﹸﻜﹾﻟﺍ

ﻲِﻓ

ﹶﻥﻮﻋِﺭﺎﺴﻳ

ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

ﻚﻧﺰﺤﻳ

ﺎﹶﻟ

ﹸﻝﻮﺳﺮﻟﺍ

ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ

ﺑﻮﹸﻠﹸﻗ

ﻦِﻣﺆﺗ

ﻙﻮﺗﹾﺄﻳ

ﻢﹶﻟ

ﻦﻳِﺮﺧﺍَﺀ

ٍﻡﻮﹶﻘِﻟ

ﹶﻥﻮﻋﺎﻤﺳ

ِﺏِﺬﹶﻜﹾﻠِﻟ

ﹶﻥﻮﻋﺎﻤﺳ

ﺍﻭﺩﺎﻫ

ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

ﻦِﻣﻭ

ﻢﻬ

ﻦﻣﻭ

ﺍﻭﺭﹶﺬﺣﺎﹶﻓ

ﻩﻮﺗﺆﺗ

ﻢﹶﻟ

ﹾﻥِﺇﻭ

ﻩﻭﹸﺬﺨﹶﻓ

ﺍﹶﺬﻫ

ﻢﺘﻴِﺗﻭﹸﺃ

ﹾﻥِﺇ

ﹶﻥﻮﹸﻟﻮﹸﻘﻳ

ِﻪِﻌِﺿﺍﻮﻣ

ِﺪﻌﺑ

ﻦِﻣ

ﻢِﻠﹶﻜﹾﻟﺍ

ﹶﻥﻮﹸﻓﺮﺤﻳ

5

'Alî bin Muhammad bin ‘Alî al- Husainî al- Jurjânî, Al-Ta’rîfât, (Beirut: Dâr al- Kutub al- Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), Cet. ke-2, h. 241

6

Muhammad Fu’ad Abd al- Bâqî, al- Mu’jam al- Mufahras Li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1417 H), h. 886-887

7

Ibrâhîm bin Muhammad bin 'Abdullâh al-Buraikan, Pengantar Studi … , h. 201

(35)

ﻪﺘﻨﺘِﻓ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ِﺩِﺮﻳ

Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah dirobah-robah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah" Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Qs. Al-Maidah/5: 41)

Jadi orang-orang munafik itu melalui lidahnya mengaku beriman, tunduk dan

patuh kepada Allah, padahal sesungguhnya tidaklah demikian, bahkan merekalah

penentang yang sangat gigih yang di dalam hati mereka dikotori oleh kekafiran.

Dengan demikian mereka sebenarnya dapat dikelompokkan dalam golongan

orang-orang kafir.

Kemunafikan dimasukkan dalam kategori kekafiran karena pada hakikatnya,

perilaku nifâq adalah kekafiran yang terselubung. Orang-orang munafik, pada

dasarnya, adalah mereka yang ingkar kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan

ajaran-ajaran yang dibawa rasul itu, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin.9

9

(36)

Dari pembahasan di atas, perilaku nifâq dapat dikelompokkan menjadi dua

kategori. Yaitu, nifâq yang berhubugan dengan keimanan (aqîdah) dan nifâq yang

berhubungan dengan amal perbuatan (‘amali).10

Nifâq aqîdah adalah menyembunyikan kekafiran dalam hati dan

menampakkan keimanan dalam lisan dan perbuatan. Orang-orang yang berperilaku

demikian biasanya hanya akan dan sengaja menampakkan keimanannya melalui

pernyataan lisan dan perbuatan bila ia berhadapan atau berada di tengah-tengah orang

beriman. Dalam hal ini, keyakinannya tentang hakekat Islam sesungguhnya sangat

bertentangan dengan pernyataan keimanan dan keislamannya tersebut.11

Sedang nifâq ‘amali adalah menampakkan perbuatan yang berbeda dengan

apa yang diperintahkan syari’at Islam. Orang-orang yang berperilaku demikian

memiliki akhlak orang munafik dalam memberikan loyalitas kepada

orang-orang kafir, berkasih sayang kepada mereka, mendukung perjuangan mereka,

menyalahi janji, membiasakan berdusta, atau berkhianat dan curang, dan sebagainya.

Dalam kehidupan sehari-hari orang-orang seperti ini akan berusaha kelihatan bersikap

manis dan lembut untuk mendapat simpatik dan kepercayaan dari orang di sekitarnya,

padahal di dalam hatinya berkecamuk kebencian dan tipu daya.12

10

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menggunakan istilah lain untuk pembagian nifâq ini, yaitu Nifâq Akbar (Nifâq Besar) dan Nifâq Ashghar (Nifâq Kecil). Lihat Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Salikin; Pendakian Menuju Allahi, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), Cet. ke-1, h. 68. Sedangkan Sa'îd Hawwâ menyebutnya Nifâq Nazhari (konsepsional) dan Nifâq ‘Amali. Lihat Sa'îd Hawwâ, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamihid, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), Cet. ke-1, h. 182

11Lihat Ibid. 12

(37)

Dari beberapa pengertian tentang nifâq dan orang munafik yang diutarakan di

atas dapat disimpulkan bahwa kemunafikan tidaklah semata berhubungan dengan

persoalan keimanan yang menjurus pada masalah kebohongan dan pengkhianatan

kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi munafik juga meliputi segala persoalan yang

berhubungan dengan amal perbuatan manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya,

yakni dengan berperilaku ganda atau bermuka dua dalam bersikap di hadapan orang,

kata lisan dan perbuatannya sangat bertentangan dengan kata hatinya. Termasuk

dalam hal ini melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan

dan tuntutan syara’ sebagaimana yang telah diyakini kebenarannya.

Berdasarkan itu, orang munafik itu dapat dibagi dalam tingkatan-tingkatan

sebagaimana yang telah dikelompokkan oleh ulama berdasarkan pada jenis-jenis

nifâq yang dilakukannya, yaitu:

1. Orang munafik dengan tingkat nifâq besar (berkaitan dengan akidah).

Ciri-ciri munafik pada tingkat ini adalah: mendustakan Rasulullah saw.

secara parsial dan keseluruhan, mendustakan sebagian ajaran yang dibawa

oleh Rasulullah saw berdasarkan al-Qur`an dan hadis-hadisnya, membenci

Rasulullah saw., membenci sebagian ajaran yang dibawa oleh Rasulullah

saw., merasa gembira dengan kekalahan agama Rasulullah saw., dan

merasa benci dengan kemenangan agama Rasulullah saw.13

(38)

2. Orang munafik dengan tingkat nifâq kecil (berkaitan dengan perbuatan).

Ciri-ciri munafik pada tingkat ini adalah: dusta dalam perkataan, tidak

menepati janji, menghkhianati amanah, berlaku curang ketika bertengkar

dengan jalan keluar dari aturan akhlak yang luhur, dan menipu.14

Kemunafikan tingkat pertama yang bernuansa akidah (keyakinan) di atas

dianggap telah keluar dari agama secara total. Kemunafikan pada tingkat ini

disamakan dengan kekufuran.

Adapun kemunafikan pada tingkat kedua dalam bentuk perbuatan (amal),

meskipun tidak sampai menyebabkan pelakunya dianggap keluar dari agama secara

total, tetapi ia merupakan lorong menuju kekufuran. Barangsiapa pada dirinya telah

terkumpul ciri-ciri kemunafikan tersebut berarti telah berkumpul padanya kejelekan,

dimana semua sifat itu merupakan sifat yang menjadi karakter orang munafik.

Karakter-karakter orang munafik yang dikelompokkan di atas diungkap dalam

al-Qur`an sebagaimana yang diuraikan pada pembahasan berikut.

B. Karakteristik Orang Munafik

Karakteristik orang munafik menurut al-Qur`an terdapat dalam surat-surat

yang diturunkan di Madinah. Hal inilah yang mendasari sebahagian besar ulama tafsir

berpendapat bahwa orang munafik baru muncul pada periode Madinah. Ibn Katsîr di

antaranya menjelaskan bahwa kemunafikan pertama kali muncul di Madinah setelah

terjadi peristiwa Badar al-‘Uzhma (hebat) dan Allah menampakkan kalimah-Nya

(39)

serta memuliakan Islam dan pemeluk-Nya, maka masuk Islamlah 'Abdullâh bin Ubay

bin Salûl, yang dahulunya sebagai penguasa Madinah, berasal dari kabilah Khazraj.

Ia adalah pemimpin kabilah Aus dan Khazraj pada masa jahiliah yang dahulunya

mereka pernah akan menjadikannya sebagai raja mereka. Akan tetapi, datanglah

kepada mereka kebaikan, lalu mereka masuk Islam sehingga keinginan mereka

terlupakan. Dalam diri Ubay tersimpan dendam terhadap Islam dan pengikutnya.

Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, 'Abdullâh bin Ubay bin

Salûl berkata, “Ini adalah perkara yang unggul”. Maka dia pura-pura masuk Islam

bersama golongan yang mengikuti jejak dan pola hidupnya serta beberapa orang Ahli

Kitab. Dari peristiwa itu, timbullah kemunafikan pada penduduk Madinah dan yang

ada di sekitarnya. Adapun kaum muhajirin tidak ada seorangpun yang munafik, sebab

dia berhijrah bukan karena dipaksa oleh kaumnya, namun karena pilihannya sendiri.

Dia meninggalkan harta, anak, dan lahannya karena mengharapkan apa yang ada pada

sisi Allah di negeri akhirat.15

Jadi fenomena nifâq berdasarkan uraian di atas, baru muncul dan terjadi

dalam sejarah Islam setelah Rasulullah saw. beserta kaum muslimin berada di

Madinah, setelah kaum muslimin memiliki negara. Mereka (kaum munafik) berasal

dari kabilah Aus dan Khazraj yang waktu itu disebut sebagai kaum Anshor. Sifat

munafik ini muncul disebabkan oleh rasa iri, dengki serta rasa dendam terhadap

(40)

Rasulullah dan para sahabatnya (kaum Anshâr) yang mendapat perlakuan baik dan

istimewa di tengah-tengah masyarakat Madinah kala itu.

Namun dalam hal ini al-Thabâthabâ’î berpendapat bahwa orang munafik

sudah mulai muncul di Mekkah dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa orang

munafik baru muncul di Madinah. Menurutnya, surat al-‘Ankabût/29, secara

keseluruhan termasuk Makkiyyah, termasuk sebelas ayat dipermulaannya. Kata jihâd

dan munâfîq yang terdapat di dalamnya (ayat 5 dan 11) tidak dapat dijadikan alasan

untuk mengklaimnya sebagai Madaniyyah. Jihad yang dimaksud di sana bukanlah

perang melainkan jihâd al-nafs (memerangi hawa nafsu dan keinginan-keinginan

jahat dalam diri).16

Sejalan dengan pendapat di atas, Fazlur Rahmân mengemukakan bahwa

konsep “munafik” di periode Mekkah berbeda dengan konsep “munafik” di periode

Madinah. Menurutnya, munafik sudah muncul di periode Mekkah, dan sebelas ayat di

awal surat al-‘Ankabût/29 jelas sekali tergolong ayat-ayat Makkiyah. Orang munafik

di periode Mekkah berarti orang yang mempunyai iman yang lemah dan berpendirian

goyah. Mereka adalah orang-orang yang menyerah pada tekanan atas diri mereka dan

tidak memiliki iman yang cukup untuk menahan tekanan tersebut. Sedang

orang-orang munafik di periode Madinah adalah sekelompok orang-orang, khususnya pengikut

16

(41)

'Abdullâh bin Ubay yang sengaja menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin untuk

menyingkirkan Muhammad saw. dan meruntuhkan Islam dari dalam.17

Menyikapi perbedaan pendapat di atas, menurut penulis orang munafik sudah

muncul dan ada di masa Mekkah. Hanya saja dalam konteks sejarah –sebagaimana

telah dikemukakan di atas- fenomena nifâq memang baru kentara pada masa

Rasulullah Muhammad saw. di Madinah. Dimana sejak kedatangan Rasulullah

Muhammad saw. di Madinah dan Islam berkembang di sana, penduduk Madinah dari

kalangan Yahudi (Ahli Kitab) kian hari semakin merasa terdesak, padahal merekalah

yang selama itu menjadi tuan di Madinah. Demikian juga 'Abdullâh bin Ubay bin

Salûl yang dipandang sebagai pemuka masyarakat Arab Madinah dari suku Aus dan

Khazraj merasa bahwa sejak kedatangan Rasulullah Muhammad saw., dia kian hari

semakin ditinggalkan orang. Jadi mereka, penduduk Madinah dari suku Aus dan

Khazraj serta orang Yahudi merasa tersingkir dan iri sejak kedatangan Rasulullah

Muhammad saw. beserta para pengikutnya (kaum Muhajirin) dari Mekkah. Karena

sadar apabila mereka mengkonfrontasi Rasulullah Muhammad saw. secara kasar dan

terang-terangan, mereka pasti mengalami kekalahan, sebab kebanyakan masyarakat

Madinah saat itu telah menerima Rasulullah Muhammad saw. dan mendukung

perjuangan beliau. Mereka tidak berani berhadapan secara terang-terangan menentang

Rasulullah karena takut mereka akan disisihkan orang. Inilah salah satu faktor yang

menyebabkan mereka menggunakan strategi khusus dalam menghadapi Rasulullah

(42)

dengan sifat kemunafikannya, yaitu berpura-pura berpihak pada Rasulullah padahal

sesungguhnya di belakang itu mereka adalah orang-orang yang menentang beliau.

Orang munafik pada periode Mekkah adalah orang yang menyembunyikan

kebenaran imannya atau berpaling dari kebenaran itu dikarenakan oleh tekanan dan

ketidaksanggupan mereka dalam menghadapi tekanan itu. Dimana itu mereka

lakukan untuk menyelamatkan diri dari rasa takut dan sakit akan siksaan yang mereka

alami dikarenakan lemahnya iman mereka, tetpi mereka tidk melakukan suatu

tindakan atau konspirasi untuk meruntuhkan Islam dari dalam. Sedangkan orang

munafik pada periode Madinah adalah orang yang menyembunyikan imannya yang

sebenarnya dan cenderung melakukan konspirasi untuk mengecoh kaum muslim agar

ambisi mereka untuk menyingkirkan Muhammad saw. dan meruntuhkan Islam dapat

tercapai. Dengan begitu orang munafik pada periode Madinah lebih kentara untuk

dikenali daripada orang munafik pada periode Mekkah.

Adapun pendapat Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa fenomena nifâq

tersebut belum atau tidak terdapat pada masa Rasulullah di Mekkah. Karena Islam di

Mekkah saat itu belum mempunyai kekuasaan dan belum mempunyai kekuatan,

bahkan belum mempunyai kelompok yang ditakuti oleh penduduk Mekkah sehingga

mereka perlu bersikap nifâq. Bahkan sebaliknya, Islam selalu ditindas, dakwah

ditolak, dan diusir. Orang-orang yang bergabung dalam barisan Islam itulah

(43)

siap menanggung risiko apapun di dalam menempuh jalannya.18 Menurut penulis

berdasarkan Qs. Al-Ankabût/29 ayat 10, akibat penindasan dan tekanan yang dialami

oleh orang-orang Islam waktu itulah, ada di antara mereka yang menanggalkan

keimanannya, berpura-pura beriman atau sebaliknya. Ini adalah salah satu indikasi

adanya munafik di masa Mekkah.

Yang jelas adalah bahwa keberadaan orang munafik telah ada pada masa

Rasulullah Muhammad saw. mengembangkan risalahnya di tengah-tengah umat. Dan

Allah Swt. melalui firman-Nya dalam al-Qur`an banyak memberikan informasi, baik

dalam konteks menceritakan tentang keadaan dan ciri-ciri mereka, maupun ancaman

yang Allah tujukan kepada mereka. Hal ini sekaligus menunjukkan kejelekan sikap

mereka dan bahayanya bagi kehidupan umat.

Berkenaan dengan itu, Sayyid Quthb ada menegaskan ketika dia mengawali

penafsiran ayat 8-16 dalam surat Al-Baqarah/2 tentang gambaran orang-orang

munafik sebagai berikut:

Ini adalah gambaran yang realistis dan kenyataan faktual di Madinah, akan tetapi ketika kita melewati suatu masa dan tempat, kita jumpai bahwa gambaran ini merupakan contoh yang berulang-ulang terjadi pada semua generasi manusia. Kita dapati bahwa manusia jenis ini adalah golongan munafik yang merasa sok tinggi tetapi tidak memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran dengan iman yang sahih, dan tidak pula berani mengemukakan pengingkaran secara transparan terhadap kebenaran itu. Tetapi pada waktu yang sama mereka memposisikan dirinya sebagai manusia yang tertinggi kedudukannya dibandingkan semua golongan manusia, dan persepsi mereka terhadap semua urusan juga dianggap paling tinggi dibandingkan dengan yang lain. Oleh karena itu, kami cenderung untuk membicarakan nash-nash ini secara khusus terhadap golongan munafik ini pada setiap generasi dengan tidak

(44)

melupakan sejarah. Kami tujukan pula pembicaraan ini kepada lubuk hati manusia pada setiap generasi.19

Jadi adalah penting untuk mengetahui secara mendalam tentang karakteristik

orang munafik. Karena dia senantiasa akan dapat muncul dalam perjalanan sejarah

umat manusia sampai akhir zaman, maka mereka perlu diidentifikasi dan selanjutnya

dihadapi dengan cara yang benar. Sehingga kekhawatiran terhadap bahaya-bahaya

yang dapat ditimbulkan oleh mereka akan dapat diantisipasi sebelumnya.

Secara umum, al-Qur`an menjelaskan tentang karakteristik orang munafik di

antaranya dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Berdusta dalam perkataan

Berdusta atau berkata bohong merupakan ciri orang munafik yang paling

menonjol. Sifat ini muncul akibat orang munafik tidak berani secara terang-terangan

menunjukkan sikap dan pernyataan di depan orang karena takut dan khawatir akan

keberadaannya atau demi tujuan tertentu yang dimaksudnya. Hal ini akan begitu

mudah muncul pada diri orang munafik, karena kepada Allah sajapun dia berani

berbohong, yaitu ketika dia mengatakan beriman kepada Allah padahal di dalam hati

ia mengingkari. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur`an surat al-Baqarah/2 ayat

(45)

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(8) Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.(9) Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(10) (Qs. Al-Baqarah/2: 8-10)

Ayat tersebut menjelaskan tentang sifat orang munafik yang tidak memiliki

pendirian yang kokoh dan tegas dalam akidah. Dia menyatakan beriman kepada Allah

dan hari kemudian, padahal hakekatnya dia tidak beriman. Sifat seperti ini tentu akan

sangat mempengaruhi sikapnya terhadap manusia dalam pergaulan sehari-hari.

Dengan berdusta, dia mengira telah menipu Allah dan orang-orang yang

beriman. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, bahkan sebenarnya dialah yang

telah menipu dirinya sendiri. Orang-orang seperti itu mengira bahwa mereka itu

adalah orang-orang yang cerdas dan pandai serta mampu melakukan tipu daya dan

rekayasa terhadap orang-orang yang lapang dada itu.

Oleh Sayyid Quthb dijelaskan bahwa mereka menipu diri sendiri, ketika

mereka menganggap bahwa mereka akan beruntung dan berhasil dengan tindakan dan

dana yang mereka keluarkan, serta memeliharanya dengan menyembunyikan

kekafiran dikalangan kaum mukminin. Akan tetapi pada waktu yang sama,

sebenarnya mereka membinasakan dirinya sendiri dengan melakukan kekafiran yang

mereka sembunyikan dan kemunafikan yang mereka nyatakan itu. Akibatnya mereka

mendapatkan tempat kembali yang amat buruk. Mereka melakukan penipuan

semacam ini dikarenakan mental mereka sakit, dalam hati mereka ada penyakit, dan

(46)

mereka pantas mendapatkan tambahan penyakit dari Allah. Dengan begitu

penyelewengan yang mereka lakukan semakin berkembang dan semakin bertambah.

Ini adalah sunnah Allah yang tidak pernah berganti. Sunnah Allah pada segala

sesuatu dan dalam semua urusan, serta pada perasaan dan perilaku.20

Hamka menjelaskan, bahwa ciri orang munafik yang pertama ini adalah orang

yang pecah di antara hatinya dengan mulutnya. Mulutnya mengakui percaya, tetapi

hatinya tidak, dan pada perbuatannya lebih terbukti lagi bahwa pengakuan mulutnya

tidak sesuai dengan apa yang tersimpan dihatinya. Walaupun dia memaksakan dirinya

berbuat suatu perbuatan yang hanya diakui oleh mulut, padahal tidak dari hati, maka

tidaklah akan lama dia dapat mengerjakan perbuatan itu.21

Hal itu dijelaskan juga dalam firman-Nya pada surat al-Tawbah/9 ayat 77:

ﹶﻥﻮﺑِﺬﹾﻜﻳ

ﺍﻮﻧﺎﹶﻛ

ﺎﻤِﺑﻭ

ﻩﻭﺪﻋﻭ

ﺎﻣ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺍﻮﹸﻔﹶﻠﺧﹶﺃ

ﺎﻤِﺑ

ﻪﻧﻮﹶﻘﹾﻠﻳ

ِﻡﻮﻳ

ﻰﹶﻟِﺇ

ﻢِﻬِﺑﻮﹸﻠﹸﻗ

ﻲِﻓ

ﺎﹰﻗﺎﹶﻔِﻧ

ﻢﻬﺒﹶﻘﻋﹶﺄﹶﻓ

.

)

ﺑﻮ

ﺘﻟﺍ

/

٩

:

٧٧

(

Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada

waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap

Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka

selalu berdusta. (Qs. Al-Tawbah/9: 77)

Lebih tegas lagi Allah Swt. menjelaskan tentang orang munafik sebagai

pendusta adalah sebagaimana firman-Nya:

20Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid I, h. 43 21

(47)

Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami

mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah

mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah

mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar

orang pendusta. (Qs. Al-Munâfiqûn/63: 1)

Bahkan sabda Rasulullah saw. pun semakin menegaskan bahwa berdusta

adalah salah satu sifat munafik, sebagaimana dalam hadis berikut:

ﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻲِﺒﻨﻟﺍ

ِﻦﻋ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﻲِﺑﹶﺃ

ﻦﻋ

Dari Abî Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Tanda orang

munafik ada tiga, yaitu bila ia berkata ia dusta; bila ia berjanji ia ingkar; dan

bila ia diberi amanat ia khianat”.

Berdasarkan hadis di atas dijelaskan bahwa selama seseorang tetap berada

pada sifat dusta –sebagaimana telah diuraikan di atas- maka selama itu berarti dia

berada dalam kemunafikan yang tercela. Dan pada dasarnya, apabila seseorang telah

Referensi

Dokumen terkait

Pada 3 indikator di atas, kita bisa melihat bahwa harga yang di tawarkan sesuai kualitas memiliki skor terkecil atau sekitar 270, ini dikarenakan jumlah barang yang

Pada kegiatan inti ini guru langsung menyuguhkan materi kepada siswa dan memberikan perintah kepada siswa untuk membuka materi yang ingin disampaikan pada saat

sedangkan yang rumahnya dekat2 STAN ya ga terlalu banyak juga. biaya kost di STAN ngitungnya per tahun, bukan bulanan. rata-rata kosan cewek biayanya lebih mahal dari kosan

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hasil dari uji deskriptif pada perusahaan yang mengumumkan dividen selama tahun 2013 sampai dengan 2018 sektor perdagangan, jasa

25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pasaman Barat periode 2010-2015

Hasil dari keputusan yang diambil pada setiap tahap ditransformasikan dari status yang bersangkutan ke status berikutnya pada tahap berikutnya.. Ongkos ( cost ) pada suatu

Angket adalah serangkaian (daftar) pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden (siswa) mengenai masalah-masalah tertentu yang bertujuan untuk

Beberapa manfaat bersepeda disampaikan oleh Oja et al., (2011), diantaranya adalah : 1) Kegiatan mengayuh pada bersepeda menyebabkan tidak tertekannya lutut oleh karena