• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bapak Rumah Tangga Menciptakaan Kesetar (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bapak Rumah Tangga Menciptakaan Kesetar (1)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

‘Bapak Rumah Tangga’:

Menciptakaan Kesetaraan atau Membangun Mitos Baru?

Manneke Budiman

Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Abstrak

Tulisan ini menganalisis perbedaan konsep keluarga (yang diyakini netral-gender) dan rumah tangga (yang diyakini bias-gender) yang menjadi sumber etimologis istilah ‘bapak rumah tangga’. Konsep ‘rumah tangga’ dipakai dalam ranah demografis-sosiologis yang terkait dengan sistem ekonomi. Rumah tangga dipandang sebagai bentuk organisasi sosial, sebuah unit sosial terkecil dalam masyarakat. Rumah tangga merupakan unit sekunder dalam struktur ekonomi dan identik dengan wilayah perempuan yang melanggengkan struktur patriarki. Dengan replikasinya dalam konsep ‘bapak rumah tangga’, istilah ini menjadi ceruk reifikasi dan resignifikasi bias gender yang mengukuhkan kembali mitos peminggiran tersebut.

Kata Kunci

keluarga, ‘bapak rumah tangga’, mitos, kesetaraan gender.

Abstract

This paper analyzes the concept of ‘family’ (gender-neutral) and ‘household’ (gender-biased) that inspired the etymological history of “household-father”. ‘Household’ concept is closely connected to the smallest social unit in society. It is viewed as the secondary unit in the modern structure of economy that sustains gender bias and compartmentalizes women unfairly at their own houses. The reification of ‘household-mother’ in the term ‘household-father’ is indeed a resurrection of those gender discriminations.

Key terms

Family, ‘household-father’, myth, gender equality.

(2)

subjudulnya, tampaknya musykil bahwa JP menganggap bahwa kategori ini hanyalah sebuah mitos belaka. Malah, jangan-jangan JP bahkan ingin mempromosikan dan mensosialisasikan gagasan house-husband ini. Maka, yang sedang dicari sepertinya adalah model ideal bapak rumah tangga yang secara konkret bisa diwujudkan dalam konteks sosial-budaya Indonesia.

Maka, sebelum mulai bertualang dengan imajinasi liar dan rasio longgar untuk membeberkan pandangan saya tentang konsep ‘bapak rumah tangga’ ini, biar saya jelaskan dulu mengapa reaksi pertama saya adalah sebagaimana saya ungkap di atas. Sepertinya, tiba-tiba ada sebuah kesadaran yang menyentak: alangkah absurdnya pemaduan kata ‘bapak’ dengan kata ‘rumah tangga’ yang, secara in absentia, menyangkut pula pemaduan antara kata ‘ibu’ dan ‘rumah tangga’. Kuasa apa yang bertanggung jawab melahirkan genderisasi rumah tangga yang kedengaran absurd ini? Lalu, bagaimana proses itu mengalami naturalisasi serta diterima sebagai suatu kenyataan?

Istilah yang problematik

Menurut saya, penggunaan istilah ‘rumah tangga’ sendiri pada dasarnya cukup problematik. Mengapa demikian? Konsep ini banyak dipakai dalam ranah demografis-sosiologis dan sedikit banyak terkait dengan urusan ekonomi. Rumah tangga dipandang sebagai sebentuk organisasi sosial, sebuah unit sosial terkecil dalam masyarakat. Pada saat yang bersamaan, saya juga melihat bahwa rumah tangga juga dipakai sebagai terminologi penjelas yang merujuk pada pembagian kerja dalam konteks ekonomi, yakni sebagai sistem penunjang pemerolehan pendapatan yang diperhitungkan sebagai salah satu indikator GNP/GDP. Lewat institusi rumah tanggalah produktivitas tenaga kerja dapat dijamin karena kesehatan fisik dan kesiapan kerja seseorang dirawat di ranah rumah tangga. Dengan demikian, rumah tangga sebagai unit sekunder yang berfungsi menunjang dan, oleh sebab itu, identik dengan wilayah perempuan, kian dikukuhkan. Bersamaan dengan itu pula, wilayah publik tempat kerja yang menghasilkan pendapatan dilakukan menjadi kian berasosiasi dengan laki-laki karena kerja mencari nafkah untuk keluarga ditumpukan pada pundak mereka.

(3)

perlu dilakukan bukanlah memanfaatkan peluang yang disediakan oleh konsep keluarga ini untuk menggantikan konsep rumah tangga, melainkan membebaskan rumah tangga dari kungkungan sempit patriarki yang membuatnya menjadi bergender. Dengan kata lain, diperlukan apa yang oleh Anthony Giddens disebut dengan resignifikasi atas konsep rumah tangga ini. Namun, alternatif ‘keluarga’ sebagai pengganti ‘rumah tangga’ juga tetap perlu untuk digali lebih jauh untuk lebih mempertegas mengapa ‘rumah tangga’, dalam kerangkeng mitosnya saat ini, tak lagi dapat dipertahankan sebagai kategori apabila kita hendak berbicara soal kesetaraan gender pada ranah yang selalu diberi label ‘domestik itu.

Meruntuhkan Mitos

Saya teringat sebuah film laga Hollywood yang disutradarai Ridley Scott berjudul, G.I. Jane (1997) dengan pemeran utamanya aktris terkenal Demi Moore, yang berperan sebagai Jordan O’ Neil. Memang film ini tak ada sangkut-pautnya langsung dengan isu rumah tangga atau keluarga yang sedang kita bicarakan. Tapi ada ‘sesuatu’ yang menurut saya bisa kita timba dari cerita film ini. Apa itu? Ini berkaitan dengan upaya kita untuk bisa lebih memahami persoalan maskulinitas dan femininitas, serta wilayah publik dan privat, yang tak dapat dipungkiri menjadi pondasi utama bagi genderisasi rumah tangga dan ruang-ruang publik serta privat.

Film ini bercerita tentang seorang perwira Angkatan Laut A.S., Jordan O’ Neil, yang diajukan untuk mengikuti program latihan pasukan elit Navy Seals demi pencitraan politik seorang perempuan senator, dengan keyakinan bahwa O’Neil tak akan berhasil lulus dalam program yang dikenal luar biasa berat itu. Dalam prosesnya, O’Neil dipaksa untuk beradaptasi dan sintas dalam lingkungan dan pelatihan yang sangat menonjolkan maskulinitas serta sarat dengan prasangka terhadap perempuan. Akhirnya, O’Neil menggunduli rambutnya, mengganti penampilannya menjadi maskulin, meninggalkan semua perlengkapan riasnya, dan berhasil menjadi prajurit komando yang unggul. Ia bahkan menyelamatkan nyawa pelatih sekaligus atasannya, yang sedari awal sangat melecehkan kemampuan dirinya.

(4)

tidak, ia tetap harus tunduk pada norma-norma patriarki dan menjadi bagian dari sistem norma tersebut.

Lepas dari kontroversi yang ada, atau pro dan kontra yang muncul, saya melihat bahwa film ini sebetulnya bisa kita nilai sebagai revolusioner. Dengan memasuki wilayah eksklusif laki-laki yang supermaskulin dan dipercaya tak akan mampu diterobos perempuan, O’Neil membuktikan bahwa tidak ada yang kodrati atau alami dengan maskulinitas maupun femininitas. Dalam kenyataannya, baik perempuan maupun laki-laki, pada akhirnya dipaksa memainkan peran gender mereka oleh norma-norma patriarki. Film ini memperlihatkan bahwa gender hanyalah urusan performativitas belaka, sebagaimana digagas oleh Judith Butler (1990; 16-25), seorang filosof post-strukturalis yang banyak menaruh perhatian pada bidang feminis, filsafat, teori queer dan etika. Meninggalkan perlengkapan rias serta penampilan femininnya, O’Neil berganti peran dan mengadopsi karakter-karakter maskulin yang menjadi aturan main di kamp latihan. Implikasinya sangat besar: mitos-mitos tentang femininitas dan maskulinitas yang menjadi tiang penyanggah patriarki serta pagar pemisah ruang privat dan ruang publik pun bisa diruntuhkan.

Dengan kata lain, tidak ada yang namanya maskulinitas ataupun femininitas karena keduanya adalah hasil rekayasa kultural patriarki untuk menjustifikasi eksistensi dan dominasinya. Tidak ada alternatif lain untuk merubuhkan dominasi ini selain dengan membuktikan bahwa tidak mustahil bagi perempuan untuk ‘menyeberangi’ pagar kultural itu dan memainkan peran sebagai laki (dengan implikasi bahwa yang sebaliknya pun berlaku: laki-laki mestinya juga bisa memainkan peran kultural yang dikenakan pada perempuan). O’Neil tidak menjadi laki-laki; ia hanya bermain peran sebagai laki-laki, dan dalam prosesnya, mencairkan garis pembatas yang rigid antara perempuan dan laki-laki.

(5)

idealnya merupakan tempat mengaburnya batas-batas antara privat dan publik hendak dijadikan ajang penciptaan hirarki gender dengan mengkapling-kaplingnya menjadi ruang privat dan ruang publik pula.

Jika penciptaan hirarki gender yang terjadi, maka akibatnya pun bisa ditebak. Bapak pun tak punya kewajiban mengerjakan pekerjaan rumah tangga, namun tetap mendapatkan keistimewaan sebagai kepala rumah tangga karena ia telah bekerja di luar untuk mencari nafkah bagi keluarga. Ibu wajib mengerjakan tugas-tugas rumah tangga sebab ia tidak turut serta dalam proses produksi yang mendatangkan pendapatan bagi keluarga. Maka, ruang privat yang sudah sempit dan marginal itu pun tidak luput dari jangkauan kuasa patriarki yang sudah mendominasi ruang publik. Logika yang sama diterapkan pula dalam metode pengasuhan anak laki-laki dan anak perempuan di rumah. Lewat proses inilah ‘keluarga’ berubah menjadi ‘rumah tangga’, yang sarat dengan muatan sosial dan ekonomi, mengesampingkan hubungan antarpribadi yang unik dan sangat subjektif di antara para anggotanya.

Dekolonisasi rumah tangga dari logika gender yang dioperasikan patriarki akan membuat istilah-istilah seperti ‘ibu rumah tangga’ dan ‘bapak rumah tangga’ menjadi tidak lagi relevan serta kehilangan alibinya untuk mengada. Keluarga tidak lagi dipersepsikan sebagai sebuah unit sosial-ekonomi, melainkan sebagai benteng terakhir yang memberikan perlindungan kepada individu-individu yang menyatukan diri di dalamnya dari dikotomi-dikotomi dan pemaksaan peran-peran sosial oleh norma dominan yang ada di luar rumah, yakni dalam masyarakat. Langkah awal yang harus diambil untuk memulai proses dekolonisasi ini adalah dengan menolak menggunakan logika serta paradigma berpikir yang dipakai oleh patriarki. Kita harus berhenti memakai istilah ‘ibu rumah tangga’, ataupun mengajukan istilah tandingannya—‘bapak rumah tangga’—atas nama perjuangan mencapai kesetaraan gender dalam rumah tangga. Begitu kita menerima dan menggunakan istilah-istilah itu sebagai rujukan kritis kita, maka kita terperangkap kembali ke dalam jerat logika patriarki.

Menyikapi Perubahan

(6)

dan diberi label ‘ibu rumah tangga’ Sementara itu, baik di negara-negara maju maupun berkembang, perempuan yang bekerja dalam kenyataannya jumlah jam kerjanya per minggu 35 jam lebih banyak dari para laki-laki sebab mereka juga harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga (Institut pour la solidarité internationale des femmes, http://www.sigi.org/).

BBC News pada 2001 melaporkan bahwa jumlah perempuan pekerja di Inggris meningkat dari 56 persen pada 1970-an ke 72% pada akhir 1990-an, memicu upaya pemerintah berkuasa pada waktu itu untuk memberi insentif berupa pemotongan pajak kepada warganya agar mau tinggal di rumah mengasuh anak-anak. Yang terjadi malah ‘krisis ibu rumah tangga’, dan label ‘ibu rumah tangga’ sudah sedemikian rendah maknanya sampai-sampai seorang perempuan anggota Partai Buruh mengusulkan agar istilah ‘ibu rumah tangga’ diganti saja dengan yang lain, yaitu ‘pengasuh’ (carer) atau ‘ibu penuh-waktu’ (full-time mother) demi memperbaiki citra ibu rumah tangga di Inggris yang kian lama menjadi kian tak populer (http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/1183857.stm).

Barangkali, inilah hal-hal yang antara lain memicu lahirnya gagasan akan perlunya ada ‘bapak rumah tangga’. Apabila semua orang bekerja di luar rumah dan tak ada lagi yang mangkal di rumah untuk mengasuh anak-anak, maka generasi spesies manusia akan datang terancam punah sebab ada banyak uang diperoleh tetapi tak ada makanan yang dimasak di rumah. Namun, solusinya bukanlah dengan mendorong atau memaksa perempuan untuk kembali ke rumah dan meninggalkan pekerjaan mereka demi untuk menyiapkan makanan. Yang digalakkan adalah imbauan agar laki-laki mau mengambil alih peran rumah tangga itu dengan menjadi ‘bapak rumah tangga’. Sayangnya, gagasan ini bukannya tidak mengandung permasalahannya sendiri. Kerja rumah tangga tetap dipersepsikan sebagai kerja tanpa batas waktu dan tanpa penghargaan. Rumah tetap diposisikan sebagai tempat yang paling tidak difavoritkan sebagai sebuah ruang produktif karena, tak peduli seberapapun banyaknya kerja yang dilakukan, semuanya itu tidak dikategorikan sebagai kerja (yang menghasilkan pendapatan).

(7)

jumlah laki-laki yang beralih menjadi bapak rumah tangga di Inggris (http://www.telegraph.co.uk/women/mother-tongue/4600556/House-husbands-Are-you-man-enough.html). Harian Inggris lain, Daily Mail online, bahkan mencatat pertumbuhan tiga kali lipat sampai 2012. Yang menarik, sikap masyarakat terhadap fenomena baru ini pun berubah. Dikabarkan bahwa secara perlahan bapak rumah tangga citranya semakin positif di mata masyarakat. Laki-laki sendiri mulai merasa nyaman dan percaya diri dengan dunia barunya ini, meskipun satu dari lima laki-laki yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka merasa jadi ‘kurang jantan’, dan satu dari delapan menyatakan bahwa ternyata kerja pengasuhan anak di rumah jauh lebih melelahkan daripada pekerjaan kantor yang biasa mereka jalani sebelumnya. (http://www.dailymail.co.uk/news/article-2092053/Househusbands-triple-15-years-number-women-familys-main-breadwinner-soars.html).

Maka, tampaknya baik perempuan maupun laki-laki sama-sama tidak menyukai kerja rumah tangga, khususnya apabila aktivitas rumah tangga itu dipersepsikan sebagai ‘kerja’ dalam konteks pembagian kerja yang kaku sebagaimana lazimnya terdapat dalam organisasi-organisasi sosial lainnya. Konsekuensinya, ‘ibu rumah tangga’ sama sekali bukan sebuah kategori yang diidealisasikan dalam pembagian kerja, dan yang sebaliknya pun juga betul: ‘bapak rumah tangga’ bukanlah solusi untuk mengakhiri persoalan. Menciptakan kategori baru agar kesetaraan tercapai, yakni ‘bapak rumah tangga’, hanyalah akan menggeser permasalahan dari satu kutub ke kutub lainnya tanpa betul-betul menghadapi akar permasalahannya, yaitu bahwa keluarga dipahami secara salah-kaprah sebagai sebuah unit sosial-ekonomi dan diberi sinonim yang tidak pas: rumah tangga. Begitu padanan ini diterima sebagai sebuah kategori, tak bisa dicegah munculnya pertanyaan: lalu siapa yang berkewajiban mengurus rumah tangga untuk memastikan bahwa unit sosial terkecil ini berfungsi baik setiap harinya? Dalam paradigma struktural, disfungsi pada unit terkecil ini akan berdampak negatif pada unit di atasnya yang lebih besar, dan dampak ini akan menular sebagai semacam efek domino sampai pada unit terbesar, yakni masyarakat atau bangsa. Sehingga, siapapun yang kemudian didaulat sebagai penanggung jawab rumah tangga akan memikul beban psikologis yang berat: tugas mulia sebagai penopang bangsa tanpa upah.

(8)

laki-laki. Saya curiga sedikit jumlah laki-laki yang mau menekuni jalur ini dengan kesadaran penuh akan perlunya peran serta laki-laki dalam pengelolaan rumah tangga. Sangat boleh jadi, laki-laki yang mau masuk ke ranah rumah tangga sebagai ‘bapak rumah tangga’ adalah mereka yang tak punya penghasilan tetap atau yang penghasilannya secara signifikan jauh di bawah penghasilan istrinya. Data akurat yang mutakhir memang tak tersedia, tetapi jika kita membaca lebih rinci rujukan-rujukan ke media Inggris di atas, indikasi tersebut bukannya tak ada. Akibatnya, kerja rumah tangga yang dijalani pun tidak ditekuni dengan sepenuh hati, dan ini berpotensi menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar anggota keluarga.

Mengubah Paradigma

Dalam kajian dan aktivisme gender, kita jelas perlu meninggalkan konsep-konsep ciptaan patriarki yang senantiasa dibangun di atas hirarki serta pembagian kerja yang mengukuhkan dominasi ruang publik oleh laki-laki dan marginalisasi ruang privat untuk perempuan. Konsep seperti ‘ibu rumah tangga’ adalah salah satunya. Maka itu, bukan sebuah langkah yang taktis untuk mengajukan konsep serupa yang berujung pada genderisasi rumah tangga. Namun, rumah tangga sudah kadung tergenderisasi secara akut, ditambah lagi dengan muatan konotasi ekonomi yang membebaninya. Himpunan yang terdiri atas orang tua, anak, dan kemungkinan juga extended family perlu dibebaskan dari kungkungan konsep ‘rumah tangga’ dan dikembalikan ke hakikatnya, yakni sebagai sebuah komitmen membangun dan mengalami sebuah kebersamaan yang lebih lekat daripada sekadar mengada bersama. Dan komitmen itulah yang disebut sebagai ‘keluarga’.

(9)

untuk menjadi tempat perlindungan terakhir bagi anggotanya bahkan ketika masyarakat menutup seluruh pintu-pintunya. Anggota sebuah keluarga tahu bahwa ketika seluruh dunia mengucilkannya, pintu kembali pulang ke keluarganya bisa diharapkan tetap terbuka.

Atas dasar itu semua, kita bisa mengatakan bahwa menjadi anggota sebuah ‘keluarga’ memiliki makna tersendiri yang tidak dijumpai dalam kita menjadi anggota sebuah ‘rumah tangga’. Boleh jadi, di masa kini, keluarga pun telah menjadi sebuah konsep ataupun himpunan manusia yang tak lagi sesederhana yang saya coba gambarkan dalam tulisan ini. Barangkali, saya terlalu terhanyut dalam romantisasi terhadap konsep keluarga. Ini tidak perlu diingkari. Tetapi, saya yakin bahwa kompleksitas apapun yang kini menyebabkan bergesernya makna ‘keluarga’ tak lain dan tak bukan diakibatkan oleh interferensi makna ‘rumah tangga’ ke dalam konsep ‘keluarga’. Pengertian kita tentang ‘keluarga’ pada masa kini telah dipengaruhi oleh ukuran-ukuran sosial-ekonomi yang selama ini membentuk pemahaman kita tentang ‘rumah tangga’. Kooptasi lebih jauh terhadap ‘keluarga’ oleh ideologi ‘rumah tangga’ yang bernuansa kapitalistik ini dapat dicegah justru apabila kita dapat menghindarkan terjadinya genderisasi atas keluarga, sebagaimana telah dialami oleh rumah tangga. Di dalam keluarga, istilah-istilah seperti ‘bapak keluarga’ atau ‘ibu keluarga’ tak akan bermakna banyak ataupun memiliki relevansi, sementara yang sebaliknya justru terjadi dalam konsep rumah tangga.

Di dalam rumah tangga, seorang perempuan single parent bisa disebut dengan ‘ibu rumah tangga’, namun tak akan pernah dapat disebut ‘bapak rumah tangga’, walaupun ia sendirian banting tulang mencari nafkah sembari merawat anak-anak dan rumahnya. Sebaliknya, dalam keluarga, tidak ada persoalan untuk menyebut seorang perempuan single parent dengan ‘kepala keluarga’. Seorang laki-laki single parent dalam rumah tangga tak akan pernah bisa menjadi ‘ibu rumah tangga’ walau sangat mungkin ia lalu disebut dengan ‘bapak rumah tangga’. Namun, dalam keluarga, seorang laki-laki single parent tak punya persoalan untuk disebut dengan ‘kepala keluarga’. Ini lebih jauh memperlihatkan betapa parahnya ‘rumah tangga’ telah terkolonisasi oleh patriarki, sementara ‘keluarga’ masih relatif bebas dari polarisasi-polarisasi patriarkis.

(10)

perempuan lebih bersedia melakukan pengorbanan serta memberikan sumbangan kepada keluarga alih-alih kepada rumah tangga, yang lebih didasari oleh hitung-hitungan siapa yang mencari uang dan siapa yang mengurus rumah. Ide bahwa mereka melakukan sesuatu untuk keluarga mereka—darah daging mereka sendiri—lebih memotivasi orang untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua anggota keluarganya tanpa pamrih ataupun tanpa perasaan rendah karena yang mereka lakukan tak selalu bisa dihitung dengan uang. Dengan demikian, perasaan bahwa kerja rumah tangga jauh lebih berat daripada kerja di luar rumah dan lebih tidak menghasilkan imbalan materi dibandingkan dengan kerja di luar rumah tidak akan dialami ketika paradigma keluarga menggantikan kedudukan paradigma rumah tangga.

Sekali lagi harus ditegaskan bahwa keluarga sama sekali tidak kebal dari berbagai kompleksitas dan permasalahan yang dihadapi oleh rumah tangga. Saya tidak mau terjebak dalam esensialisasi keluarga, meski tak bisa tidak saya harus berangkat dari dikotomi antara keluarga dan rumah tangga demi menjelaskan argumentasi saya dalam tulisan ini. Keluarga juga dapat terancam oleh kooptasi kapital serta polarisasi gender seperti halnya rumah tangga. Keluarga tidak bebas dari ancaman disfungsi sebagai dampak dari berbagai persoalan sosial dalam masyarakat tempat keluarga itu berada. Mempertahankan hubungan antar anggotanya yang bersifat ‘organik’, tidak terstruktur secara kaku, dan pilar penopangnya berlandaskan komitmen bersama adalah cara-cara untuk melawan bermacam-macam serangan tersebut. Oleh sebab itu, keluarga tidak boleh terjebak dalam genderisasi dan pembagian kerja. Hubungan antar anggota sebuah keluarga tidak hanya bersifat saling melengkapi tetapi juga saling mengisi. Setiap orang dalam keluarga memiliki tanggung jawab yang sama untuk merawat kebersamaan yang ada di dalamnya, tak peduli apakah ia bapak atau ibu atau anak ataupun anggota keluarga yang lain.

(11)

baru goyah ketika ada salah seorang anggotanya yang bersikap egois dan tidak mau menyumbang bagi kebersamaan di dalamnya, tak peduli apakah ia adalah bapak atau ibu atau anak atau anggota yang lain dalam keluarga tersebut. Gender sama sekali bukan variabel dalam konteks ini.

Namun, yang belum banyak terungkap adalah sejak kapan sebetulnya pembagian kerja dimulai dalam keluarga yang pelan-pelan lalu menggesernya menjadi rumah tangga dalam wujudnya yang sekarang kita miliki? Jawabannya tidak jelas betul. Dalam dunia hewan, ‘pembagian kerja’ sedikit banyak sudah mulai dapat diamati. Pengasuhan dan perlindungan anak-anak lebih banyak dilakukan oleh hewan betina. Namun, itu tidak serta-merta membuat hewan betina tidak lagi bertanggung jawab mencari makan bagi anak-anaknya. Hewan betina tetap harus keluar sarang dan berburu. Dalam konteks spesies manusia, berburu dan mengumpulkan makanan (hunting and gathering) kian lama kian menjadi spesialisasi laki-laki, sementara menjaga anak-anak di rumah serta menyiapkan makanan kian menjadi wilayah kerja perempuan. Sangat mungkin hal ini terjadi bukan karena perempuan tidak secakap laki-laki dalam berburu dan mencari makan, melainkan karena perempuan dapat menyusui bayi mereka selagi kaum laki-lakinya tidak berada di rumah. Berbeda halnya jika laki-laki yang tinggal di rumah dan perempuan pergi berburu. Bayi-bayi di rumah tak akan bisa disusui, meski ada sosok orang dewasa menunggui rumah.

(12)

dari sinilah awal identifikasi antara perempuan, kerja domestik, dan kelemahan. Perempuan tak lagi berkelahi untuk melindungi anak-anaknya, dan fungsi utamanya merawat serta mengasuh mereka saja.

Keluarga, yang relatif masih terbebas dari rigiditas pembagian kerja karena strukturnya lebih longgar daripada rumah tangga, secara hipotetis mestinya bisa menjadi ruang serta peluang bagi perempuan untuk merevitalisasi instink purbanya sebagai pencari makan dan pelindung anak-anak. Bagi laki-laki, keluarga juga membuka kesempatan untuk membangun respek pada apa yang dikerjakan perempuan dan bersama-sama melakukan fungsi-fungsi perawatan (maintenance) serta pengasuhan (nurturing). Kerja mencari nafkah menjadi tanggung jawab bersama yang tidak terkotak-kotak berdasarkan gender, sebagaimana nenek moyang purba yang hewani dari spesies manusia pada zaman dahulu kala menjadikan tugas mencari makan sebagai kerja bersama. Evolusi memberi kita blueprint untuk menjadi setara, namun entah bagaimana caranya, di tengah jalan patriarki menyabot proses alamiah itu dan menciptakan pembagian kerja yang berkonsekuensi hirarkis, yang dilestarikan lewat konsep-konsep tergenderisasi seperti ‘rumah tangga’ dengan segala atribut tambahannya.

Penutup

Sebagian besar paparan dan argumen yang disajikan dalam tulisan ini, tak dapat dibantah, kental dengan nuansa spekulasi. Banyak pernyataan yang dibangun oleh imajinasi dan bersifat hipotetis. Agak sulit untuk dihindari, mengingat bahwa tulisan ini juga berangkat dari sebuah hipotesis bernama ‘bapak rumah tangga’, yang ditopang oleh asumsi bahwa kehadiran konsep hipotetis tersebut diharapkan akan dapat membuat cita-cita kesetaraan gender dapat selangkah lebih mendekati kenyataan. Tidak mudah pula mencari basis teoretis yang dapat digunakan sebagai titik-tolak perbincangan, apalagi data yang tersedia berkenaan dengaan isu ini lebih banyak diperoleh dari reportase media daripada data riset yang ilmiah dan komprehensif. Namun, eksplorasi imajinatif seperti ini bukannya tak ada gunanya: ia jelas membuka kemungkinan untuk membicarakan sesuatu yang, pada saat ini, mungkin masih dianggap sebagai sebuah mimpi atau omong kosong belaka.

(13)

kecil ataupun main-main. Tetapi, saya tidak membayangkan menjadi seorang ‘bapak rumah tangga’, dan saya tak yakin akan menyukai sebutan itu, serta implikasinya pada pembagian kerja yang akan harus saya lakukan dengan istri saya jika saya menerima konsep itu. Tetapi, jelas saya dengan girang dan sepenuh hati menerima segala macam konsekuensi terkait dengan keanggotaan saya dalam keluarga saya, termasuk sumbangan serta kerja apapun yang perlu saya berikan demi kelangsungan kebersamaan dalam keluarga saya. Mudah-mudahan, dengan demikian, tidak terlalu menjadi soal apakah saya laki-laki atau perempuan, dan apakah saya berperan sebagai ‘bapak’ atau menyandang peran-peran yang lain.

Daftar Pustaka

Butler, Judith (1990), Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York and London: Routledge.

Institut pour la solidarité internationale des femmes, http://www.sigi.org/ dalam http://www.wallworkshop.com/pdf/Statistics_on_Women.pdf

“What became of the housewife?” dalam BBC News February 22, 2001 http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/1183857.stm

“House husbands: Are you man enough?” oleh Casilda Grigg dalam

http://www.telegraph.co.uk/women/mother-tongue/4600556/House-husbands-Are-you-man-enough.html

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pada variabel pelatihan profesional, nilai skor rata-rata empiris 15,68 memiliki nilai yang jauh diatas nilai minimum empiris 5 dan lebih cenderung mendekati

(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi APABILA TINDAK PIDANA TERSEBUT DILAKUKAN OLEH ORANG- ORANG BAIK BERDASARKAN HUBUNGAN KERJA MAUPUN BERDASARKAN HUBUNGAN LAIN,

Maka berdasarkan hasil pembahasan peneliti dan pengamat diketahui penyebab keaktifan siswa kelas III dalam belajar pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada siklus

Dari hasil uji signifikansi regresi sederhana ternyata F hitung <F tabel , atau 2,712< 4,35 maka hipotesis ditolak, dengan demikian, dapat disimpulan bahwa

Selain itu hasil yang diperoleh dari uji simultan (F) menunjukan bahwa variabel kualitas pelayanan yaitu keandalan, daya tanggap, jaminan, empati, dan bukti fisik

Pembimbing penulisan skripsi saudara Rudi Wahyudi, NIM: 20402108078, Mahasiswa Jurusan/Program Studi Pendidikan Matematika pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat

Penelitian ini berguna untuk sinkronisasi kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa dengan kurikulum yang berlaku di Jurusan Ilmu Agama Islam.. Penelitian ini