• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Kisruh di Tanah Gempa Catatan Pena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kisah Kisruh di Tanah Gempa Catatan Pena"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas Yogyakarta

2007

Catatan Penanganan BenCana

gemPa Bumi YogYa - Jateng 27 mei 2006

editor:

(4)

Jl. Pangkur no.19 ganjuran, manukan Rt 02/Rw03, Condongcatur Depok, Sleman, Yogyakarta 55281-inDoneSia

Ph.:+62 274-889611; Ph./Fax.: +62 274-889612 email:ciregs@indosat.net.id

Copyright © 2007 Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas

editor: aB. Widyanta

pracetak: Retno agustin

gS. Purwanto

design Cover: iB. Sakuntala

Tata Letak: Suwasono

Dicetak oleh CprC Yogyakarta 2006

perpustakaan nasional: Katalog dalam Terbitan (KdT)

Widyanta, aB.

Kisah Kisruh di tanah gempa: Catatan Penanganan Bencana gempa Bumi Yogya-Jateng 27 mei 2006/ aB.Widyanta– Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007.

xxix + 573 hlm; 14,5 x 21 cm

iSBn 978-979-3087-31-3

1. gempa Bumi 2. manajemen Bencana i. Judul

(5)

D

alam beberapa tahun terakhir, berbagai bencana alam me-nerpa indonesia. Silih berganti, tsunami, gempa bumi, banjir, angin puting beliung, dan gunung meletus menerjang negeri ini secara acak. Belum tuntasnya penanganan bencana alam di suatu wilayah, bencana alam lain tak sabar mengkoyak belahan wilayah indonesia lainnya. Perjalanan sejarah negeri ini pun kian di-jejali dengan potret kelam penderitaan rakyat yang berlapis-lapis dan berkepanjangan.

(6)

mimbar-mimbar pidato para pejabat. Hal itu kian menegaskan bahwa bangsa ini memang bukanlah bangsa pembelajar, melainkan bangsa yang ge-mar melakukan kebohongan publik.

tak ada catatan dan pelajaran yang berarti dari bencana. Segala sesuatunya menguap menjadi masa lalu yang tak pantas untuk di-petik hikmahnya. Lantaran momentum dibiarkan lenyap, wajar saja jika kesadaran dan akal sehat kembali tertidur lelap. ancaman ben-cana dianggap enteng, bahkan diabaikan. Jujur harus diakui, sebagai bangsa kita memang sangat lemah dalam hal yang detail. Rupanya bangsa ini memang tak pernah belajar dan menjadi pemetik hikmah yang baik dari berbagai bencana yang terjadi. Bukankah kita bisa bertindak benar karena belajar dari kesalahan? Lantas mengapa kita tak mau jujur untuk mengakui kesalahan, sehingga kita bisa meme-tik hikmah dan pelajaran yang berharga darinya, agar bisa bertindak benar di kemudian hari?

Dua gugatan itulah yang mendorong sejumlah aktiis muda untuk menuliskan tiga buah buku yang mengulas tentang catatan penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Sejalan dengan gugatan di atas, ada dua alasan mengapa mereka tergerak untuk menulis ketiga buku tersebut: pertama, untuk mendokumentasikan berbagai petikan pengalaman dan pelajaran berharga yang mereka dapatkan dalam praksis penanganan bencana. Kedua, untuk menyu-sun berbagai langkah konkrit yang mungkin ditempuh untuk per-baikan dan pengembangan kualitas kerja-kerja bersama ke depan, demi menegakkan keberpihakan kepada kaum lemah dan tertindas. Kedua tujuan tersebut dituangkan ke dalam “trilogi” buku gempa berikut ini: Setelah gempa 30 Juta SKalla Richter; Kisah Kisruh Di tanah gempa, Catatan Penanganan Bencana gempa Bumi Yogya-Jateng 27 mei 2006; dan apa Kabar Yogya, Lama tak gempa.

(7)

dan kerusakan, buku ini lebih jauh membongkar buruknya manaje-men bencana pemerintah. Kiprah berbagai aktor yang juga turut menyumbang keruwetan dalam penanganan bencana pun tak luput dibeberkan. Bencana buatan manusia (baca: kebijakan pemerintah) ternyata tak kalah dahsyat dibandingkan bencana gempa bumi. Demikianlah realitas yang terjadi. Realitas itulah yang akhirnya diangkat ke dalam judul yang terkesan ganjil dan berbau plesetan tersebut.

Senada dengan buku tersebut di atas, Kisah Kisruh Di tanah gempa, Catatan Penanganan Bencana gempa Bumi Yogya-Jateng 27 mei 2006, juga membongkar pola manajemen bencana yang am-buradul. Kekisruhan terjadi di berbagai lapisan, mulai dari peme-rintah pusat, pemepeme-rintah proinsi, pemepeme-rintah kecamatan, hingga pemerintah desa. tak jelasnya keberpihakan pemerintah terhadap warga korban bencana, sangat tercermin dalam kebijakan yang dibuatnya. Berbagai pelajaran dari bencana dipaparkan secara bera-gam oleh 26 penulis yang kebetulan terlibat penuh dalam penangan-an bencpenangan-ana bersama warga. Berpenangan-angkat dari kacamata dpenangan-an concernnya masing-masing, mereka menyajikan tulisan dalam berbagai tema yang berbeda, namun dengan ruh keberpihakan yang sama, yaitu me-nyuarakan warga korban bencana terutama kaum perempuan, anak dan difable.

(8)

unggul, mengakhiri pertentangan batin yang berkecamuk tentang penyebab bencana alam. Dalam situasi itulah Kang gempil dan Yu nami mengajari kepada kita tentang mupus kahanan, menghibur diri sendiri dan orang lain.

terbitnya 3 buku tentang penanganan gempa bumi Yogya-Jateng ini pantas untuk kita maknai sebagai upaya mawas diri, me-lalui self mockery (harafiah: menertawakan diri sendiri), untuk bela -jar memetik hikmah dan menginisiasi perubahan yang lebih baik menuju keadaban publik. terkait dengan substansi kebencanaan, semoga saja berbagai pengalaman dan buah pelajaran berharga yang tertuang di ketiga buku tersebut bisa menyumbang gagasan bagi ikhtiar semua kalangan masyarakat untuk menyemai kesadaran kri-tis tentang bencana. Sehingga kesiapsiagaan bencana bisa diiniasi sejak dini. Selamat membaca.

Yogyakarta, 27 mei 2007 Penerbit CPRC

(9)

-abw-1

P

uBliSh

or

P

eriSh

:

P

eLaJaRan

B

eRHaRga

DaRi

B

enCana

pengantar

Publish dunk! Begitu bunyi sebuah SmS (short message service) super pendek dari seorang kawan, pada suatu sore. Sesaat membaca pesan pendek itu, sebuah SmS dari seorang kawan lainnya merang-sek masuk. “aku masih di lapangan, tapi siap bergabung di perte-muan nanti malam, Kang!”, demikian bunyi SmS menyiratkan antu-siasme pengirimnya. Selang sekian detik inbox messages ditutup, HP tiba-tiba berbunyi. Begitu tut dial dipencet, dari seberang telepon terdengar seorang kawan yang lainnya lagi. Di sela-sela tawanya yang lepas, terselip apresiasi pendek, “aku senang menerima SmS yang lugas, tegas, dan menantang seperti ini. Dengan senang hati aku pas-ti datang, Lik! Sampai ketemu nanpas-ti malam”, tegas kawan tersebut menutup pembicaraannya. menit-menit menjelang petang terkirim

(10)

SmS balasan dari beberapa kawan yang menegaskan kesanggupan-nya untuk hadir pada pertemuan dadakan malam itu.

awal cerita, pada pertengahan Februari 2007, sekumpulan aktiis yang terlibat dalam penanganan bencana gempa bumi Yog-ya-Jateng, 27 mei 2006, sepakat untuk menuliskan pengalaman lapangannya dalam format buku. menurut rencana, buku itu akan diluncurkan persis pada saat peringatan satu tahun bencana gempa bumi terjadi, 27 mei 2007. Sejak tercapai kata sepakat, praktis hanya tersedia waktu 3 bulan untuk proses penulisan. Dua bulan berjalan mengindikasikan komitmen yang melemah. meski setiap seminggu sekali dijadwalkan untuk mempresentasikan draf tulisan

masing-ma-sing kawan, namun finalisasi tulisan tak kunjung terealisir juga. Se -lama kurang lebih dua bulan, tak seorang kawan pun mengumpulkan tulisannya untuk segera diedit, demi mengejar tenggat waktu yang teramat mepet. Kesibukan dan keletihan melakukan pendampingan masyarakat memang menjadi alasan yang cukup masuk akal untuk tertundanya proses penulisan. melihat gelagat kawan-kawan yang kian “tersandera” oleh aktiitas lapangan, iseng-iseng penulis me-nyebar sebuah SmS “kompor”: “mengundang kawan-kawan pada pertemuan nanti malam, pukul 20.00 WiB, untuk menindaklanjuti rencana penerbitan buku penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng. telah disiapkan hidangan dengan menu pilihan istimewa un-tuk kita semua: Publish or Perish?

(11)

komprehensif. Hari-hari berjalan, upaya saling sharing pengalaman, mengasah ide, dan memperkaya gagasan terus berlangsung di setiap Senin sore, pukul 17.00-21.00 WiB, di PSPK-ugm. Di tempat itu-lah kawan-kawan aktiis lintas lembaga yang tergabung dalam Fo-rum Senenan (FS) menginisiasi sekaligus membidani lahirnya buku yang tengah anda baca ini.

Berlakunya sistem jawilan (relasi kawan dekat) dan sistem

ge-thok tular (pemberitaan dari mulut ke mulut) dalam relasi antar

par-tisipan FS memberi peluang kepada banyak kawan untuk menyum-bang tulisan. mengejar optimalisasi tema, persoalan kekurangan penulis pun segera bisa terpecahkan. Dari dua puluh enam tulisan yang ada di buku ini, lima di antaranya ditulis oleh kawan-kawan jaringan di luar FS. Hal itu terjadi karena beberapa kawan FS me-narik kembali kesanggupannya untuk menulis. Para partisipan FS sendiri meyakini bahwa penulisan buku ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari aktiitas berjejaring untuk adokasi warga korban bencana. Dan ketika buku ini berhasil diterbitkan, kawan-kawan FS pun memaknainya sebagai sebentuk kemenangan kecil. upaya-upa-ya untuk merancang dan mencapai berbagai bentuk kemenangan kecil semacam ini bagaimanapun juga sangat penting. Karena hal itu akan sangat berarti bagi peminimalisiran rasa bosan, lelah, dan lembeknya energi dalam gerakan sosial. Selain sebagai sarana aktual-isasi diri, aktiitas semacam itu juga bisa menjadi wahana peneguh-an komitmen para aktiis dalam kpeneguh-ancah gerakpeneguh-an sosial ypeneguh-ang tengah mereka geluti bersama. Selain itu, buku yang dihasilkan juga bisa menjadi wujud penyuaraan dan pembelaan terhadap hak-hak dasar korban yang hingga kini masih tercecer di sana-sini. Dengan cara itulah elan vital kawan-kawan bisa terbaharui lagi, dan secara praktis bisa meminimalisir terjadinya compassion fatigue1 yang lazim dialami

para pekerja kemanusiaan maupun pekerja sosial.

(12)

Kendati terbitnya buku ini mundur dua bulan dari rencana awal, namun kawan-kawan tetap berbesar hati, lantaran jerih payah mereka tersulihi oleh suatu kemenangan kecil. “Siapa bilang aktiis lapangan tak bisa menulis”, celetuk seorang kawan. “Kita harus tun-jukkan bahwa aktiis lapangan juga bisa menulis”, imbuh kawan lain penuh percaya diri. memang patut diakui bahwa dengan segenap cacat dan celanya, kurang dan lebihnya, kemunculan buku ini meru-pakan buah penyelarasan kerja tangan, otak, dan hati mereka. me-lalui buku ini, kawan-kawan berupaya menginisiasi jejaring adokasi untuk warga korban bencana dengan “gerakan menulis”. menurut keyakinan mereka, sehebat apapun pengalaman lapangan seorang aktiis tak akan banyak berandil bagi gerakan sosial yang lebih be-sar, tanpa adanya diseminasi berbagai pengalaman dan hasil kerja mereka di lapangan. Dengan keyakinan itu, selain mengakar pada gerakan komunitas akar rumput, mereka bisa berjejaring di kancah gerakan yang lebih luas. Dengan demikian, pengalaman lapangan tak sekadar tertimbun di kantung-kantung sejarah personal, namun bisa menjadi materi pembelajaran bersama bagi siapa saja yang ingin mendialogkan berbagai prakarsa ke depan bagi perkembangan gerak-an masyarakat sipil ygerak-ang lebih besar lagi.

Jika kita pernah mengenal bahwa credo para intelektual akade-mis adalah publish or perish2, maka bagi kaum aktiis, credo tersebut

juga sangat dekat dengan fenomena kelelahan psiko-sosial para pekerja kemanusiaan. awalnya, istilah ini muncul pada tahun 1992, dalam tulisan Joinson (di sebuah majalah keperawatan) maupun dalam buku Jeffrey Kottler yang berjudul Compassionate Therapy. Keduanya menengarai sebuah gejala dengan mengajukan sebuah pertanyaan berikut: bagaimana dan mengapa para pekerja yang bergelut di bidang pelayanan kesehatan dan sosial kehilangan rasa simpati yang mendalam (compassion) atas penderitaan dan ketidakberuntungan orang-orang lain yang mereka layani. indikator penting dari Compassion Fatigue ini muncul ketika para pekerja itu tak lagi berkemauan kuat (lembek, loyo, tidak lagi berpegang pada mandat dan komitmen) untuk meringankan rasa sakit/penderitaan maupun menghilangkan akar penyebab dari penderitaan tersebut. untuk uraian lebih lanjut baca Charles R. Figley, Ph.D, Compassion Fatigue: An introduction dalam www.greencross.org

(13)

bisa diubah dan dibunyikan menjadi praxist or perish maupun write

or perish. menurut hemat penulis, tanpa berkeinginan untuk narsis,

buku ini sedikit banyak telah merepresentasikan pilihan yang ad-ekuat atas ketiga credo di atas, yaitu: praxist, write, dan publish. Setelah selama lebih dari 1 tahun bergulat bersama-sama warga korban ben-cana, kawan-kawan secara riil telah berpraksis dalam pemulihan pas-ca benpas-cana. Dari praksis itu, mereka tentu mendapatkan berbagai buah pelajaran yang sangat berharga, yang boleh jadi belum pernah diperoleh sebelumnya. Bertitik tolak dari praksis itu, mereka men-transformasikan berbagai pengalaman dan pelajaran baru tersebut ke dalam tulisan. Kendati berbagai pengalaman itu tak utuh dan masih terfragmentasi dalam penulisannya, namun secara mendasar kawan-kawan telah memilih hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Pada akhirnya berbagai tulisan yang terfragmentasi itu dibingkai dan diterbitkan bersama dalam bentuk buku ini. Dengan alur semacam itu, disadari atau tidak, mereka telah melakukan proses dialektis,

aksi-refleksi-aksi. Melalui metode dialektis itu, pengalaman bencana

yang telah tertuang di buku ini bisa dijadikan sebagai acuan dalam praksis-praksis penyadaran publik, terutama yang terkait dengan manajemen risiko (risk management) dan kesiapsiagaan bencana ( di-saster preparedness).

namun, terlepas dari sisi positifnya, kumpulan kisah dan

refleksi yang ditulis kawan-kawan FS di buku ini tetap menoreh -kan cacat dan kelemahannya. Harus diakui, buku ini tidak bisa di-katakan mewakili suara dan pengalaman pelaku utama yakni para penyintas (survivors) gempa. Sebagian dari suara dan pengalaman

para penyintas hanya terselip di antara alur-alur pikir dan refleksi

(14)

pengalaman para penyintas gempa. Dengan demikian, para penyin-tas gempa tetap memiliki hak yang sama untuk menyuarakan dan membeberkan apa yang mereka alami dan rasakan. Dalam hal ini, mewakili kawan-kawan FS, penulis memohon maaf atas keserba-ter-batasan yang tak bisa ditolak ini.

namun, meski terjadi reduksi dalam berbagai tulisan di buku ini, semoga saja tidak ditangkap dan diartikan sebagai upaya untuk mengecilkan arti pentingnya hak-hak para penyintas gempa untuk bersuara. Bagaimanapun juga, buku ini ditulis kawan-kawan FS un-tuk memberikan penyadaran dan peneguhan komitmen keberpi-hakan, paling tidak untuk diri kami sendiri, untuk tak kenal lelah memperbaiki semangat dan kapasitas pelayanan bagi para penyin-tas. Dengan demikian, kami menjadi terlecut untuk selalu belajar dan berupaya menggenggam komitmen moral dalam menegakkan dan memperjuangkan hak-hak warga korban bencana di masa-masa mendatang.

Kiprah Forum senenan (Fs)

(15)

dan meng-update informasi, mengasah pisau analisis kritis, menggali metode dan strategi pengorganisiran, dan lain sebagainya. Bertitik tolak dari kasus-kasus riil di lapangan, mereka mewacanakan dan mengkajinya lebih jauh dengan berbagai macam perspektif. tak ja-rang, berbagai persoalan mikro melesat jauh hingga terpautkan de-ngan persoalan-persoalan di tingkat makro, baik nasional maupun internasional. Bahkan dalam beberapa kesempatan, sejumlah nara sumber yang kompeten (warga korban, akademisi, jurnalis, dll) pun berhasil “diculik” dan dihadirkan untuk mempertajam analisis pada suatu kajian tertentu.

terkait dengan program-program yang dirancang FS, persoal-an persoal-anggarpersoal-an selalu dirembug dpersoal-an dipecahkpersoal-an bersama-sama. Budaya

bantingan (iuran uang berdasarkan pada asas kerelaan dan tanggung

renteng perorangan) yang berlangsung sejak awal berdirinya FS, ternyata cukup efektif untuk mendanai keberlangsungan beberapa agenda dan program yang dirancang bersama. Kemunculan buku ini pun bisa menjadi salah satu bukti riil dari budaya bantingan tersebut.

Bantingan dana juga terjadi pada program pengkajian dan

(16)

orang-orang yang tengah dirasuki kepentingan politik. Bertarung timpang dalam kancah politik yang syarat kepentingan, FS akhirnya memilih mundur dan menyimpan hasil jerih payah mereka sendiri. Kendati toh merasa masgul, kawan-kawan FS tetap memetik pelajar-an berharga dari kasus ini: tak ada kata sia-sia demi membela hak-hak warga korban yang terabaikan. Kegagalan adalah pangkal ke-berhasilan, demikian petuah bijak bertutur. akan tiba juga saatnya nanti, ikhtiar yang baik akan berbuah yang baik pula.

Kali kedua, FS menangkap lontaran gagasan dari kawan-kawan unDP tentang penyusunan Rencana aksi Daerah (RaD) untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB). masih dengan semangat yang menyala, kawan-kawan FS berproses bersama kawan-kawan lain di jejaring aktor penanganan bencana yang ada di Yogyakarta. Di tingkatan internal FS, kawan-kawan menyepakati untuk mengga-rap serius tentang muatan kearifan lokal dalam RaD Pengurangan Risiko Bencana ini. Sejak pukul 15.00 WiB, tanggal 21 april 2007, dua puluh orang partisipan FS mulai mendiskusikan dan membedah esensi Pengurangan Risiko Bencana dari sudut pandang kearifan lokal. Berjibaku semalam suntuk, Draf Rancangan RaD itu akhir-nya terselesaikan juga keesokan hariakhir-nya, pada pukul 09.00 WiB, 22 april 2007. Selang satu jam kemudian, pukul 10.00 WiB, Draf Rancangan RaD tersebut dipresentasikan oleh kawan-kawan FS di Pusat Studi Penanggulangan Bencana (PSPB) ugm.3

Man: A Study in Sociology of a Profession (new York: oxford uniersity Press, 1942). Dalam bab berjudul Prestige and the research Function, Wilson menyatakan bahwa: “The prevailing pragmatism forced upon the academic group is that one must write something and get it into print. Situational imperatives dictate a ‘publish or perish’ credo within the ranks”. Namun Garfield meragukan bahwa frase “publish and perish” itu adalah istilah yang orisinil dari Wilson sendiri. Setelah dilacak lebih lanjut, Garfield menduga bahwa istilah itu muncul dari guru Wilson, seorang sosiolog di era sebelum Perang Dunia II, Robert K. Merton. Garfield menegaskan: “Merton and others familiar with pre-war academy believe that “publish or perish” was a term in fairly common usage at the time. Baca lebih lanjut dalam Eugene Garfield, What is The Primordial reference For The Phrase ‘Publish or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10, 1996.

(17)

Dari uraian di atas, kita bisa mencermati bahwa kiprah FS terkesan relatif responsif, lentur, tak terkendala hierarki senioritas dan kelembagaan, dan selalu longgar waktu pertemuannya. topang-an utama kerja-kerja maraton dtopang-an sparttopang-an FS sendiri terbatas pada dasar ikatan komitmen moral dan kepedulian terhadap warga kor-ban bencana. tak lebih. maka bisa dimaknai bahwa munculnya FS ini, di satu sisi bisa dimaknai sebagai subculture,4 namun di sisi lain bisa juga dimaknai sebagai counter-culture5 dari forum-forum for-mal yang terbentuk pasca bencana. Warna dan karakter forum ini pun berbeda dengan forum-forum formal tersebut, bahkan dalam beberapa sistem relasi dan kerja-kerjanya berseberangan dengan je-jaring forum yang formal. Kendati sistem dan kulturnya berbeda, kehadiran FS tidak berarti menandingi atau menggantikan forum-forum formal yang ada, namun melengkapinya. Dari perspektif so-sial, kelompok semacam ini bisa dikategorikan sebagai kelompok

subaltern.6 Pengertian dari subaltern di sini merujuk pada kondisi di-mana sekelompok orang lebih banyak menekankan kepeduliannya pada warga korban bencana ketimbang para elit birokrasinya.

Ken-4. Pada dasarnya, subkultur (sub-culture) terbentuk dari proses “pemisahan sosial” masyarakat yang berkecenderungan menghasilkan diferensiasi kultural. Karakteristik struktur sosial, pola kepentingan, dan bentuk-bentuk perilaku tertentu menjadi basis utama bagi pemisahan sosial dan formasi subkultur ini. Subkultur ini eksis di dalam relasi dengan budaya dan sistem sosial yang lebih besar. Hubungan-hubungan yang mungkin berbeda itu bisa dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja, bisa dipandang sebagai hal yang positif, namun juga bisa dipandang sebagai hal yang negatif (karena memang sudah dicap menyimpang). tidak jarang diferensiasi kultural itu pada akhirnya bergeser ke posisi yang bukan sekadar berbeda, namun bertentangan dengan nilai-nilai kultural arus utama (mainstream). Sejak itulah kontra-budaya (counter-culture) terjadi. Baca adam Kuper & Jessica Kuper, ensiklopedi ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm. 1069.

5. Konsep ini terkait dengan subkultur di atas. Counter-culture merujuk pada pengertian suatu subkultur dan kultur tandingan yang memiliki tatanan kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda dengan kultur utama yang dominan (mainstream culture). Baca Daid Jary & Julia Jary, Collins Disctionary of Sociology, great Britain: Harper Collins, 1991, hlm.125. Bandingkan adam Kuper & Jessica Kuper, ensiklopedi ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm.1069.

(18)

dati berfokus pada non-elit (semisal elit birokrasi pemerintahan, elit birokrasi LSm, dan lain-lain) namun kelompok ini tentu saja akan bersinggungan dengan elit juga ketika mewacanakan dan beretorika dalam proses penguatan gerakan sosial dan politik demi membela kepentingan basis massanya tersebut.

rKmsY: awal mula Forum senenan (Fs)

awal terbentuknya FS ini tak bisa dilepaskan dari sejarah pem-bentukan aliansi masyarakat sipil pasca bencana gempa bumi Yogya-Jateng. aliansi yang diberi nama Rembug Konsolidasi masyarakat Sipil Yogyakarta (RKmSY) itu merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat sipil, di antaranya adalah: Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), Forum Suara Korban Bencana, Jogja recovery, Forum Jogja Bangkit, merti Jogja, gerakan Jogja Bangkit, FKKJ, Forum LSm DiY, Forum Korban Bencana (ForKoB), gabun-gan Posko Rakyat (gPR), Paguyuban Korban gempa Yogyakarta (PKgY), aJi Jogja, WaLHi DiY, LBH Yogyakarta, Sappurata, PSm Yogyakarta, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.

Pembentukan aliansi besar itu dilatarbelakangi oleh tiga alasan dasar: pertama, “Jangan jadikan Yogya seperti aceh”. Catatan bu-ruk tentang penanganan pasca bencana gempa bumi dan tsunami di aceh rupanya menginspirasi kalangan masyarakat sipil Yogyakarta untuk mengupayakan penanganan pasca bencana yang lebih baik. mereka tak ingin penanganan bencana Yogya seperti yang terjadi di aceh. tak rela Yogya dijadikan sebagai aceh kedua, berbagai elemen masyarakat sipil mendesakkan kepada pemerintah proinsi untuk menerapkan aturan yang jelas dan tegas kepada lembaga-lem-baga pemberi bantuan baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kedua, selama dua bulan pasca gempa, penanganan bencana

(19)

mengini-siasi lahirnya gerakan masyarakat sipil lintas jaringan yang mampu meminimalisir berbagai dampak buruk bantuan pasca bencana.

Ketiga, pentingnya menjumbuhkan gerak pikir dan langkah

da-lam koordinasi kerja-kerja lintas lembaga dan forum. terkait dengan capaian ini, dalam serangkaian pertemuan besar yang digelar di salah satu ruang Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-ugm, selu-ruh elemen RKmSY bersama-sama mendiskusikan persoalan aktual warga korban bencana berikut solusi, strategi, dan pendekatannya. Demi tercapainya tujuan itu, maka agenda utama dari RKmSY ini adalah penyusunan Code of Conduct dalam penanganan bencana Yog-ya. Penyusunan Kode etik itu dirasa sangat penting untuk dilaku-kan, agar seluruh proses penanganan bencana bisa terkoordinir,

ti-dak tumpang-tindih, titi-dak menimbulkan konflik di masyarakat, dan

selalu mengedepankan nilai-nilai keadilan maupun kearifan lokal masyarakat.

Semua itu merupakan prasyarat utama bagi pemenuhan hak-hak dasar warga korban bencana. Dengan adanya Kode etik terse-but, seluruh pemangku kepentingan dalam penanganan bencana bisa menghargai martabat warga korban bencana dan pola-pola pemberi-an bpemberi-antupemberi-an tidak mengakibatkpemberi-an ketergpemberi-antungpemberi-an bagi masyarakat. Secara rinci, berbagai hal penting yang tercakup dalam agenda RK-mSY itu di antaranya adalah sebagai berikut: (a) Code of Conduct

(kesamaan prinsip-prinsip cara bertindak, episentrumnya harus dari perspektif korban); (b) Perencanaan rehabilitasi/ rekonstruksi; (c)

Pendekatan/cara-cara; (d) Pembagian peran; dan (e) Identifikasi

sumber daya dan partisipasi masyarakat.7

orang atau kelompok yang terkategorikan berada di tingkatan dan tataran inferior, yang disebabkan oleh karena ras, kelas, gender, orientasi seks, etnis, agama dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, istilah subaltern ini kadang diterapkan juga pada cara pandang dan pendekatan yang lebih luas lagi. Kajian subaltern ini misalnya lebih menekankan pada keutamaan untuk membeberkan sejarah dari bawah (akar rumput), dan lebih memusatkan perhatian lebih pada apa yang terjadi dan dialami oleh massa rakyat di tingkat akar rumput ketimbang kaum elitnya. Baca lebih jauh dalam “http://en.wikipedia.org/wiki/Subaltern_Studies”

(20)

mengawali agenda besar itu, muncul kesepakatan bersama un-tuk melakukan latihan “pemanasan”. Rencana aksi massa pun diran-cang dan diuji-cobakan di awal-awal RKmSY berdiri. terbentuklah ketika itu aliansi gerakan aksi massa untuk menagih janji dana ban-tuan pemerintah sebesar 10, 20, dan 30 juta untuk setiap rumah war-ga yang rusak rinwar-gan, sedang, dan berat/roboh. aliansi yang diberi nama gerakan aksi tagih Janji (ganti) tersebut digelar pada 19 Juli 2006, bertepatan dengan kunjungan Wapres Jusuf Kalla di Yo-gyakarta.8 meski pada saat ealuasi bersama ternyatakan bahwa aksi jalanan tersebut berhasil digelar secara damai dan bisa menggerak-kan ribuan orang, namun muncul beberapa catatan kelemahan. Satu di antaranya adalah kurang solidnya elemen-elemen masyarakat sipil yang tergabung di dalam RKmSY itu sendiri.

Pasca aksi jalanan, RKmSY meneruskan agenda besarnya dalam beberapa kali pertemuan, dengan tingkat partisipasi yang nampak kian merosot dari waktu ke waktu. Seiring dengan meningkatnya kesibukan lembaga-lembaga partisipan di wilayah dampingan ma-sing-masing, aliansi RKmSY pun benar-benar mengendur, dan akh-irnya lenyap bagai ditelan bumi. aktiitas RKmSY praktis hanya berlangsung kurang lebih tiga bulan. memasuki bulan keempat pas-ca benpas-cana, aktiitas-aktiitas RKmSY tak lagi terdengar kabarnya. tak diketahui secara pasti, kapan RKmSY ini bubar. meski pada awal-awal proses perumusan Kode etik Penanganan Bencana di Yogyakarta banyak partisipan masih terlibat aktif, namun akhirnya proses perumusan itu tak juga tertuntaskan hingga kini.

meningkatnya kompleksitas persoalan penanganan bencana, justru ditandai oleh merosotnya soliditas dalam jejaring gerakan ma-syarakat sipil di Yogyakarta. Kendati respon atas lemahnya penanga-nan bencana tetap muncul dari elemen-elemen gerakan masyarakat

Penanganan Pasca Bencana gempa Bumi Yogya-Jateng, baca lebih jauh di halaman lampiran buku ini.

(21)

sipil, namun itu toh hanya berskala kecil, sporadis, dan tak terpadu. Dalam situasi seperti itu, posisi tawar (bargaining position) mereka tak cukup memadai untuk merubah keadaan. merasakan kepriha-tinannya meradang, beberapa kawan eks-RKmSY tetap berupaya keras untuk menghidupi harapan yang telah ada. Dengan sisa-sisa harapan itu, kawan-kawan secara rutin menggelar pertemuan setiap Senin sore. Selepas mendampingi masyarakat di wilayah masing-ma-sing, mereka selalu berkumpul di tempat lahirnya RKmSY, yaitu di Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-ugm. Salah satu proponen RKmSY, mas Susetiawan, sosok intelektual gaek yang bersemangat muda, merelakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menjadi sparing partner yang setia dalam diskusi kawan-kawan. Jika meminjam petuah Ki Hajar Dewantara tentang laku seorang pendi-dik yang musti selalu ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa,

tutwuri handayani, maka mas Susetiawan inilah sosok riilnya.

Lanta-ran pertemuan selalu diadakan setiap hari Senin, maka sejak itulah kelompok ini mendapat julukan Forum Senenan, sekadar identitas pengenal saja.

Otokritik Kiprah Lsm pasca Gempa

Pada dasarnya, konstalasi sosial turut memicu berdirinya FS. Sejumlah forum yang formal tingkat kerentanannya ternyata rela-tif lebih tinggi. ibarat baru seumur jagung saja, forum-forum terse-but sudah mulai loyo dan mengendur. Bahkan ada pula yang bubar. artinya, mereka tidak mampu lagi menjalankan mandat, fungsi, dan perannya secara ajeg, berkelanjutan, dan mandiri. Pilihan rasional untuk tidak terperangkap dalam formalitas itu memungkinkan FS mampu bertahan hingga saat ini. Pola relasi dan kerja-kerjanya pun bisa dibilang tak kalah serius ketimbang forum-forum yang formal. Bila ditelisik lebih jauh, berdirinya FS itu memang dipicu oleh kepri-hatinan yang sama atas tumpang-tindihnya kiprah LSm (baik yang lokal, nasional, maupun internasional) pasca bencana.

Sekilas, menilik kembali perjalanan setahun penanganan pasca

(22)

yang signifikan dari kalangan LSM yang terlibat di dalamnya. Tak

terbayangkan, apa jadinya tanpa adanya andil dari kalangan LSm tersebut. Semisal, dalam situasi serba darurat pada hari naas hingga tujuh hari pasca gempa, kalangan LSm bersama-sama warga dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya melakonkan penanganan darurat yang mengagumkan. Di kepung oleh situasi yang chaotic, para aktiis LSm sebisanya berbagi sumberdaya yang mereka mi-liki, membuat jejaring sosial, dan mengerahkannya demi menolong warga korban yang tertimpa musibah gempa bumi. Harus diakui, peran LSm dalam penanganan pasca gempa Yogya-Jateng jauh lebih cepat ketimbang pemerintah.

Kendati responnya terhitung cepat, namun terkait dengan per-soalan koordinasi dan manajemen, kiprah LSm tetap saja tak jauh berbeda dengan pemerintah. tidak ada koordinasi dan guideline

(gerak pikir dan tindakan) yang sama di antara LSm lokal sendiri. meskipun mungkin sudah terwadahi dalam satu forum bersama, na-mun koordinasi di antara mereka tetap tidak bisa optimal. terkait dengan data misalnya, forum-forum LSm lokal tidak berhasil meng-umpulkan dan saling sharing data-data yang penting. Jaringan di an-tara mereka pun masih terpecah dan tidak padu. ada kesan, forum dibentuk sekadar untuk memenuhi prasyarat “rasa aman” (simptom-simptom mental kawanan) saja, bukan atas dasar kebutuhan yang substansial. muncul kesan juga bahwa forum dibentuk lebih karena untuk kepentingan penggalangan dana (fund rising) secara bersama-sama.

(23)

ma-sing-masing LSm ternyata cukup menentukan pola relasi semacam itu.9 ujung-ujungnya, warga korban bencana menerima getahnya juga. Warga korban bencana yang semestinya dibantu, justru harus membantu menyelesaikan tumpang tindihnya pendekatan antar LSm tersebut. alih-alih bersepakat untuk saling menakar kekurang-an dkekurang-an kelebihkekurang-an masing-masing di dalam suatu forum koordinasi,

kedua LSM yang terlibat konflik itu tetap bersikeras untuk bekerja

sendiri-sendiri.

Diakui atau tidak, LSm lokal di Yogya-Jateng secara umum bisa dikatakan tidak/belum siap melakukan penanganan bencana. Banyak LSm lokal tidak memiliki pengalaman dalam penanganan darurat bencana. Sebagian besar dari mereka masih berada pada taraf belajar, learning by doing, dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng itu. Ditakar dari mandat kelembagaannya, tidak banyak LSm lokal yang memiliki sistem manajemen dan kapasitas pengalaman yang memadai untuk bergerak di emergency unit ini. Lan-taran tidak memiliki mandat (tercermin di dalam misi dan isi lem-baga), praktis sebagian besar dari mereka tidak menyiapkan segenap

resources (seperti human resource, skill, financial, dan berbagai

institu-tional management lainnya) untuk darurat bencana tersebut. maka

tak mengherankan jika banyak LSm lokal yang terlihat kedodoran

(24)

ketika harus menangani warga korban bencana, terutama ketika di masa emergency.10

Kendati tidak memiliki mandat untuk bergerak di bidang emer-gency, sebagian besar LSm lokal “terpaksa” harus melakukan itu. “Didesak” oleh situasi (lantaran warga korban butuh bantuan mau-pun banyak lembaga donor asing perlu mitra LSm lokal untuk me-nyalurkan bantuan), LSm lokal memposisikan diri sebagai “media-tor” untuk dua kutub kepentingan itu. Situasi itulah yang ditangkap LSm lokal sebagai suatu peluang (oportunity) ataupun momentum. tentu saja, momentum/peluang itu sangat tergantung pada motif dari masing-masing LSm lokal itu sendiri (untuk kepentingan mem-bantu warga korban, belajar manajemen bencana, maupun meng-hidupkan kembali “dapur” lembaga, dan lain-lain). Bisa dikatakan, nyaris semua LSm lokal terlibat dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng, meski dengan tingkat keterlibatan yang ber-beda-beda. ada korelasi positif antara besarnya akses dana bantuan yang dimiliki LSm lokal dengan besarnya tingkat keterlibatan LSm lokal dengan warga korban bencana. mereka yang memiliki akses lebih besar kepada lembaga donor maka semakin besar/luas pula tingkat keterlibatan ke warga. Bagi mereka yang aksesnya relatif ke-cil kepada lembaga donor, maka relatif keke-cil pula keterlibatan/akti-itas mereka dengan warga korban bencana.11

10. Secara umum dan mendasar, LSm di indonesia memang masih memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan seperti: kurangnya dana, tingginya keterantungan pada donor, rendahnya tingkat efisiensi manajerial dan kredibilitas sosial, rendahnya profesionalisme, tingginya bias yang terjadi di LSm, dan lain-lain. Beberapa catatan tentang kelemahan dan keterbatasan LSm ini baca Suharko, Merajut Demokrasi, hubungan NGo, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: tiara Wacana, hlm.115-120. Bandingkan Binny Buchori, Peta Permasalahan LSm dalam Kompas, lSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Jakarta: Kompas, 2004, hlm.3-16.

(25)

mencermati situasi tersebut, bisa dikatakan di sini bahwa dalam upaya membantu memenuhi hak-hak dasar warga korban bencana, LSm lokal sangat tergantung kepada dana bantuan dari lembaga donor. Besarnya tingkat ketergantungan ini boleh jadi akan sangat berdampak pada beberapa hal berikut:12 pertama, LSm lo-kal tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap lem-baga donor tersebut. Konsekuensinya, berlem-bagai “pesan khusus” yang dipaksakan oleh lembaga donor harus diterima, meski tidak sesuai isi misi lembaga dan kebutuhan warga korban bencana sekalipun.13 misalnya, lembaga donor menunjuk dan menentukan sendiri ko-munitas yang akan menerima bantuan. munculnya kapling-kapling wilayah komunitas di antara LSm lokal pun menjadi tak

terhindar-kan. Konflik antar LSM lokal ini tak urung juga menimbulkan kon

-flik dengan warga korban yang akan menerima bantuan tersebut.14

Kedua, LSm lokal tidak leluasa untuk menerapkan berbagai program

partisipatif yang disesuaikan dengan kebutuhan warga korban ben-cana. misalnya, karena terpaksa harus mengejar jumlah sasaran dan tenggat waktu yang mepet dari lembaga donor, LSm lokal tidak bisa mewujudkan capaian nilai-nilai (semisal partisipasi, kearifan lokal,

yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan itu. Banyak kasus menunjukkan, LSm lokal ditolak warga lantaran tidak membawa bantuan yang “riil”. LSm yang tidak membawa bantuan diharap menyingkir. Harus diakui, derasnya kucuran dana bantuan dari donor pasca bencana berpotensi menciptakan ketergantungan, baik bagi LSm sendiri maupun warga masyarakat.

12. ancaman dari ketergantungan pada bantuan ini telah diuraikan secara gamblang dan detail oleh penulis Jerman, erler. ada anekdot satir tentang itu: ambilah proyek ini! Bukankah orang sulit membuktikan bahwa ia telah membawa dampak negatif. Baca Brigitte erler, Bantuan Mematikan, Catatan lapangan tentang Bantuan Asing; Jakarta: LP3eS, hlm. 28.

13. terkait dengan relasi yang asimetris dan timpang ini, baca Suharko, Merajut Demokrasi, hubungan NGo, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: tiara Wacana, hlm.119-120.

(26)

dan lain-lain), ataupun mengontrol kualitas fasilitas bantuan yang diberikan kepada warga korban.15 Ketiga, LSm lokal sebagai

“media-tor” terperangkap dalam konflik kepentingan. Konflik kepentingan

seperti ini semakin membuat LSm lokal menjadi semakin tergiring pada pragmatisme klasik-paternalis: asal Bapak Senang (aBS) atau asal Donor Senang (aDS). Didesak oleh pragmatisme itu, keberpi-hakan LSm lokal kepada warga korban bencana akhirnya terbajak. LSm lokal lupa akan hakikat dirinya. Kewajiban utamanya untuk melayani dan membela warga korban bencana, dengan mudah terka-lahkan oleh kepentingan untuk melayani dan “membela yang bayar”, yaitu lembaga donor.16

Jika kultur semacam itu terus menerus dikembangkan, maka LSm lokal akan terjebak dalam pola perilaku yang menurut pepatah

mendidik warga. ada donor yang memaksakan untuk menyalurkan bantuan bukan kepada warga miskin namun kepada industri-industri kelas menengah dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (gDP). ada juga donor yang sengaja menuntut prasyarat yang cukup memberatkan warga. Semisal terkait dengan pengucuran dana bantuan untuk industri kerajinan, lembaga donor menuntut bahwa design handycraft warga tersebut harus diserahkan dan menjadi hak milik lembaga donor. Contoh lainnya, sebuah lembaga donor dari Jerman (sekaligus implementator di daerah Klaten) tetap memaksakan pendekatan yang tidak tepat dalam penyaluran bantuan. Meski telah menimbulkan konflik horisontal di masyarakat, seorang wakil dari lembaga donor itu dengan pongahnya mengatakan bahwa: “Kami sudah berupaya membantu. tidak ada yang salah dengan bantuan yang telah kami serahkan kepada warga. Jika bantuan yang telah kami serahkan itu akhirnya bermasalah (tidak merata/menimbulkan konflik), maka itu urusan warga dan bukan urusan kami.” Jawaban semacam ini bisa dibaca sebagai fenomena ketidakpedulian lembaga donor asing terhadap warga korban bencana. terkait dengan bantuan yang menjerat warga, baca Basilica D. Putranti dan Y. tri Subagya, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi,

Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK ugm dan Ford Foundation, 2005.

15. Dalam bingkai oto-kritik, di kalangan aktiis LSm sendiri muncul istilah “LSm kurir” (delivery NGo) untuk melukiskan peran LSm lokal yang terkesan lalu lalang, sekadar menjadi pengirim bantuan dari donor kepada warga. Fenomena ini banyak dijumpai terutama pada masa emergensi.

(27)

Jawa diistilahkan sebagai “milik nggendong lali”.17 tergiur oleh loba dan mental tamak demi meraup keuntungan dari “berkah bencana” ini, hak-hak dasar dan kebutuhan warga korban bencana pun akan mudah dikorbankan oleh LSm. Demi mengisi pundi-pundinya, LSm bisa mudah tergiur melakukan mark up atau menggeser beberapa alokasi budget, sehingga tak sesuai dengan mou dengan lembaga donor (semisal operation cost yang mestinya sebesar 10 % dari total dana bantuan, dalam praktiknya melebihi prosentase tersebut). Di-sinyalir, pola-pola korupsi dana bantuan semacam ini acap terjadi di lingkup LSm, terutama dalam proyek-proyek pasca bencana.18

Dari beberapa kasus, LSm lokal sangat lemah untuk mendesak-kan idealismenya kepada lembaga donor. Semua itu tentu karena besarnya tingkat ketergantungan LSm kepada donor asing. tentu saja tidak semua donor asing memaksakan “pesan-pesan khusus” itu kepada LSm lokal. Banyak juga dari mereka yang mempercayakan sepenuhnya alokasi dana bantuan itu kepada LSm lokal. Rasa saling percaya di antara donor asing dan LSm lokal seperti ini biasanya telah terbangun sejak lama, jauh sebelum bencana gempa bumi itu sendiri terjadi. Relasi seperti ini tentu saja memudahkan LSm lo-kal mensinergikan berbagai pendekatan yang sesuai dengan konteks masyarakat lokal. Bahkan, dengan adanya relasi kemitraan yang telah

nugroho, dan Hamid abidin, Merebut hati lembaga Donor, Kiat Sukses Pengembangan Program, Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka logis; Jakarta:Piramedia, 2004.

17. Pepatah milik nggendong lali ini secara harafiah berarti barang siapa yang menyimpan hasrat, niat dan maksud ingin memiliki, maka ia akan melupakan berbagai nilai keutamaan dalam hidup. tujuan hidup yang mulia bisa terkorbankan oleh karena hasrat ingin memiliki tersebut. Dalam konteks penanganan bencana, nafsu besar LSm untuk meraup keuntungan dari dana bantuan niscaya akan menghilangkan komitmen dan keberpihakannya kepada warga korban bencana.

(28)

lama berjalan itu, program-program jangka menengah dan panjang pun sangat mungkin dirancang oleh LSm lokal tersebut bersama masyarakat. Dengan demikian, bantuan kepada masyarakat bukan bersifat karitatif (biasanya pada masa emergency), tetapi yang bersifat memberdayakan dan memandirikan para beneficiaries-nya.

terlepas apakah relasi dengan lembaga donor asing itu baru terjalin sebelum atau setelah gempa terjadi, LSm lokal memang me-miliki prosedur baku untuk proyek penyaluran bantuan. LSm lokal harus mengajukan proposal ke lembaga donor terlebih dulu. Setelah diterima dan disetujui donor, bantuan baru bisa disalurkan oleh LSm lokal kepada warga. Kondisi prosedural ini tentu saja menjadi kendala yang cukup prinsipil bagi kalangan LSm untuk merespon segera situasi darurat bencana. LSm juga kerepotan dan nyaris tidak mungkin merancang program bersama warga, sehingga benar-benar merepresentasikan kebutuhan komunitas akar rumput. Sejumlah kasus menunjukkan warga terlambat menerima bantuan karena mekanisme prosedural tersebut. Hal itu tentu saja mengandung im-plikasi bahwa bantuan tidak lagi tepat waktu, tepat guna, dan te-pat sasaran. Kondisi semacam itu tentu saja rawan bagi LSm yang kurang menekankan aspek pemberdayaan, dan cenderung karitatif dengan sifatnya yang suka menebar janji kepada masyarakat. Dam-pak risiko yang lebih besar bisa terjadi ketika proposal yang diajukan LSm ditolak donor. Karena terlanjur dijanjikan sesuatu, maka keti-ka janji itu tak terealisasi, warga pasti aketi-kan merasa dikecewa. Buketi-kan tidak mungkin itu akan merusak relasi antara warga dan LSm itu sen-diri. Bahkan muncul sejumlah kasus, LSm diusir oleh warga lantaran urung memberikan bantuan yang telah dijanjikan sebelumnya.

(29)

itu semakin asimetris dan timpang. Baik warga maupun LSm sema-kin tersubordinasi dan tergantung kepada donor. Hal itu tentu saja menjadi kendala bagi tumbuhnya gerakan kemandirian masyarakat. itulah tantangan bagi kiprah LSm dan berbagai elemen masyarakat sipil ke depan. Waktunya bagi seluruh kalangan masyarakat untuk memaknai bencana sebagai momentum perubahan menuju ke situ-asi yang lebih baik.

Bencana sebagai momentum: petikan hikmah

Bertolak pada oto-kritik atas cacat dan lemahnya kiprah LSm pasca gempa di atas, berikut ini kita perlu menegaskan lagi beberapa hikmah dan pelajaran berharga yang bisa kita jadikan modal untuk kerja-kerja ke depan. Dengan belajar pada kesalahan, kita diberi peluang untuk menjajal pendekatan lain yang musti dijumbuhkan kembali dengan kithah LSm berikut mandat moral yang diemban-nya.19 Dalam konteks penanganan pasca gempa itu, mandat moral yang musti dikukuhkan kembali itu adalah bahwa segala daya upaya yang responsif, kompeten, berkeadilan, dan bermartabat harus di-maksimalkan agar warga korban terposisikan sebagai subyek yang aktif dan bukannya obyek yang pasif; sebagai subyek yang otonom dan bukan obyek yang tergantung. Dengan berpegang pada komit-men moral itu maka gerak pikir dan langkah LSm akan lebih ter-fokus dan berpihak kepada komunitas akar rumput, bukan kepada lembaga donor.

(30)

inilah hikmah dan pelajaran yang paling utama dan berharga bagi kalangan LSm pasca gempa. Bencana telah mengajarkan ke-pada kita tentang arti pentingnya penguatan jejaring sosial untuk menghadapi datangnya masa dan situasi yang sulit, seperti halnya bencana alam yang muncul tiba-tiba itu. Kuatnya jejaring sosial ini tentu saja bisa menjadi jaminan atas terakumulasinya modal sosial sebagai basis utama bagi perubahan yang radikal, massif, dan me-nentukan. memang, dalam situasi krisis seperti itu, orang cenderung abai terhadap berbagai peluang yang terkandung di dalamnya. Pada-hal krisis sejatinya bisa menjadi momentum bagi kita untuk menyu-sun langkah-langkah strategis dan taktis guna menghadapi berbagai risiko bencana yang akan datang. Bencana mesti diposisikan sebagai titik tolak dan daya dorong bagi seluruh elemen masyarakat untuk menyusun agenda berikut langkah-langkah konkritnya ke depan. Di dalam bencana yang memilukan terkandung oase harapan untuk menata kembali masa depan yang lebih baik.

Dalam kerangka itu, menurut catatan lapangan para aktiis LSm yang tersebar di seluruh tulisan di buku ini, beberapa agenda yang mendesak untuk ditindaklanjuti bersama-sama akan diuraikan lebih jauh dalam paparan berikut ini.

Pertama, munculnya kesadaran baru di kalangan masyarakat

tentang ancaman bencana. Berpijak pada kesalahan dan kelemahan-nya, LSm merasa perlu menginisiasi, menyemai, dan menguatkan kesadaran tentang risiko dan ancaman bencana yang berpotensi

menghancurkan lingkungan fisik, tatanan sosial, dan budaya

masya-rakat. Di sini, beragam bentuk fasilitasi penyadaran publik, melalui jalur pendidikan formal dan informal, perlu mendapat atensi dan kepedulian yang lebih besar ketimbang masa-masa sebelumnya. Di tingkatan praksis, secara partisipatif, organisasi berbasis komunitas

(Community Based organization) atau kelembagaan lokal yang

(31)

tentu saja mengarah pada tercapainya tahapan yang lazim disebut sebagai kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) di masyarakat kita. Kesiapsiagaan bencana bisa dirancang dan diimplementasikan

melalui intensifikasi praksis sosial dan kultural yang menyasar pada

upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction).

Kedua, munculnya kebutuhan untuk meningkatkan dan

mem-perkuat kapasitas kelembagaan dalam manajemen bencana. Bagi kalangan LSm, bencana telah memicu dan mendorong semangat untuk segera memperbaiki dan mengembangkan kapasitas (capacity

building) manajerial LSm yang terkait dengan penanganan bencana

seperti: skill pendataan, analisis data, penggalangan dana, distribusi bantuan, penentuan efektiitas bantuan, penentuan prioritas target dan sasaran (terutama anak-anak, perempuan dan difable), penen-tuan strategi dan pendekatan partisipatoris (participatory approach), akuntabilitas, transparansi anggaran, koordinasi, penguatan jejaring

(networking), pengorganisasian masyarakat, pemberdayaan

masyara-kat, penyadaran publik, adokasi kebijakan, dan lain sebagainya. Se-luruh aspek itu harus dibingkai kembali dengan mandat moral (isi dan misi) lembaga. menyangkut relasi dengan lembaga donor, LSm lagi-lagi harus mendudukkan mandat moral tersebut sebagai pan-duan (guideline) dalam melobi dan menandatangani nota kesepakat-an dengkesepakat-an lembaga donor. Dalam hal ini, LSm harus mampu me-negakkan jati diri lembaganya maupun warga korban yang mereka dampingi. Bagaimanapun lembaga donor harus diajari juga untuk menghormati kedaulatan dan otonomi warga juga. Sehingga donor tidak bisa seenaknya memaksakan seluruh kepentingannya. Di sini, LSm harus bisa berperan sebagai tameng (barrier) sekaligus saring-an atas dampak-dampak negatif dari bsaring-antusaring-an. Prinsip selektif dsaring-an penuh kehati-hatian (precautionary principle) dalam memilih mitra

(donor) tetap harus dipegang teguh oleh LSM. Alat verifikasinya

(32)

un-tuk menolaknya. Demi tetap tegaknya keberpihakan kepada warga

korban, LSM harus berfikir masak-masak atas risiko

ketergantung-an yketergantung-ang melekat dalam pemberiketergantung-an bketergantung-antuketergantung-an dari donor tersebut. mesti disadari, warga tidak melulu butuh duit, namun lebih butuh pendampingan. tiba saatnya bagi LSm, bersama warga masyarakat, mulai berlatih menata diri sendiri menyongsong kemandirian.

Ketiga, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya

penguat-an koordinasi di penguat-antara LSm di Yogyakarta. Sebelum bencpenguat-ana ter-jadi, koordinasi antar LSm masih sangat lemah. masing-masing LSm bergerak sendiri-sendiri, terpisah, dan nyaris tak pernah saling taut dan tersinergikan, bahkan mereka bersaing tak sehat. namun pasca bencana, penguatan koordinasi lintas LSm di Yogyakarta berpeluang besar untuk semakin diintensifkan. Beberapa kalangan LSm sudah memasukkan isu ini kedalam agenda lembaga dan mulai menggelar forum-forum kecil yang terbuka guna merembug peri-hal koordinasi lintas program maupun wilayah dampingan (semisal menggelar pelatihan community organizer dan berbagai program lain-nya secara bersama-sama). Seperti telah disinggung di atas, kalang-an LSm di Yogyakarta telah mulai merintis penyusunkalang-an Kode etik (Code of Conduct) dalam kerja-kerja pasca bencana. Kendati masih berupa embrio, namun bukan tidak mungkin itu akan segera tersu-sun dan terimplementasikan, jika benar-benar digeluti dan dimaui bersama.20 Jika dilihat dari latar belakang warga Yogyakarta yang relatif terdidik (well educated), cita-cita kalangan LSm itu akan ber-peluang besar untuk tersinergikan dalam praksis mereka di tingkat

(33)

akar rumput. Lebih jauh, jika menimbang kembali kultur LSm Yog-yakarta yang memang bertumbuh dari spirit gerakan dan pikiran yang terbuka (open mind), maka penguatan koordinasi antar LSm itu bisa terwujud dan bisa menginspirasi gerakan serupa di berbagai wilayah lain di indonesia. Bermodalkan pikiran yang terbuka itu, mereka mudah menyadari atas kelemahan dan kekurangannya, hing-ga mudah tergerak pula untuk segera berbenah dan belajar memper-baiki kelemahan dan kesalahan itu secara bersama-sama.

Keempat, munculnya kesadaran baru tentang penguatan

jeja-ring (networks) masyarakat sipil di Yogyakarta. terkait erat dengan kepedulian kalangan LSm dalam koordinasi di atas, penguatan jeja-ring masyarakat sipil ini pada dasarnya merupakan agenda lanjutan yang tak terpisahkan. Hanya saja lingkup dan cakupan jejaring ini jauh lebih luas lagi. Cakupannya bukan hanya kalangan LSm saja, melainkan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya (ormas, organ-isasi berbasis komunitas, partai, pelaku bisnis, dan lain sebagainya).

Kelima, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya

penguat-an kembali secara lebih intensif atas praksis-praksis pemberdayapenguat-an masyarakat pasca bencana. Sangat disadari, bencana telah merubah

(34)

di-ikuti juga dengan rehabilitasi dan rekonstruksi yang radikal, massif,

dan menyeluruh pula (bukan rekonstruksi yang bias fisik seperti saat

ini). terkait dengan dampak-dampak negatif yang merusak tatanan dunia sosial masyarakat, rupanya kita juga harus segera mengerah-kan seluruh kapasitas, kekuatan, dan kompetensi untuk melaku-kan rekonstruksi sosial yang mendasar. untuk itu, jalan menuju kemandirian masyarakat melalui program-program pemberdayaan harus mulai ditentukan titik-titik arahan, target, dan sasarannya. Di sini, LSm harus memahami sungguh-sungguh kapan waktu yang te-pat untuk mengucurkan bantuan dan kapan kucuran bantuan itu ha-rus dihentikan. Jika kalangan LSm sendiri tidak punya kemampuan untuk memahami dan menganalisis situasi dan kondisi warga, maka LSm tersebut tidak akan pernah tahu kapan ia akan menghentikan bantuan. Bagaimanapun juga diperlukan transfer pengetahuan dan nilai perihal ancaman berbentuk bantuan ini bagi warga masyarakat. Rekonstruksi sosial inilah yang menjadi agenda besar dan berat yang mesti kita garap dan tuntaskan ke depan, tentu saja dengan keterli-batan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat sipil yang ada.

epilog: menuntaskan rekonstruksi sosial

menyadari bahwa program rehabilitasi dan rekonstruksi dari

pemerintah sangat bias fisik, maka koreksi bersama atas itu menjadi

tugas yang mendesak untuk dilakukan oleh jejaring masyarakat sipil. Jejaring itulah yang akan menghidupkan modal sosial di masyara-kat. Harus diakui, para penyintas (survivors) sendiri memang benar-benar telah menunjukkan prestasi pengakumulasian modal sosial yang sangat mengagumkan selama masa tanggap darurat (emergency). Secara laten, harta karun sosial (seperti partisipasi aktif dari warga,

solidaritas sosial, gotong-royong, voluntarisme, spirit filantropis)

(35)

pengaman yang mampu menyelamatkan banyak nyawa. Di tengah absennya negara, secara tiba-tiba, tak terduga, dan tanpa adanya komando, warga penyintas bersama-sama elemen-elemen masyara-kat lainnya berhasil menyelenggarakan tata kelola kebencanaannya sendiri (disaster governance).21

Sayangnya, negara telah salah urus atas menguatnya modal sosial dalam wujud partisipasi aktif dari warga dalam penanganan bencana ini. Dengan memaksakan kebijakan yang top down, negara melupakan pentingnya suara korban bencana sebagai landasan ke-bijakan yang pro rakyat. Kalau suara korban pun dinisbikan,

alih-alih diafirmasi dan diperkuat, partisipasi maupun modal sosial justru

dipatahkan oleh negara. Pendekatan kebijakan teknokratik yang dibangun oleh state apparatus tidak saja berimplikasi pada terabai-kannya hak warga korban namun juga terlewatterabai-kannya pertimbangan sosial budaya yang berbasiskan keberagaman lokal.

Karakter kebijakan negara yang terkesan gebyah-uyah dan di-seragamkan pada setiap komunitas masyarakat yang berbeda-beda telah menyebabkan kebijakan negara—semisal PoKmaS (Ke-lompok masyarakat)—menuai kecaman dan resistensi dari warga korban. Lebih celaka lagi, karena lembeknya kapasitas manajemen dan monitoring pemerintah, program rehabilitasi dan rekonstruksi

akhirnya justru menciptakan konflik vertikal maupun horisontal di

masyarakat. Bermacam pola penilepan yang massif atas dana ban-tuan dana DiPa (Daftar isian Proyek anggaran) juga telah men-jadi dampak buruk ikutan yang kian memprihatinkan. Pemerintah menutup mata atas itu. Pembiaran atas praktik penilepan yang me-rambah ke berbagai leel itu membuktikan bahwa pemerintah telah abai terhadap aspek keadilan sosial di masyarakat. Praktik birokrasi yang korup telah menular dan menjalar ke lapisan akar rumput. Pro-gram rehabilitasi dan rekonstruksi terbukti telah menjadi azab bagi

(36)

ikhtiar menggapai keadaban publik. Dan itu merupakan ujian yang berat bagi upaya rekonstruksi sosial pasca gempa.22

terkait dengan agenda rekonstruksi sosial itu, perlu disadari, masyarakat pra bencana memang tak seromantis kehidupan

masya-rakat pada masa feodal yang acap digambarkan tanpa konflik. Se -belum terjadi bencana, masyarakat pada dasarnya telah bertinggal

bersama dan tentu saja berkonflik bersama. Namun demikian, ma

-syarakat juga belajar untuk meresolusikan konflik melalui kearifan

lokal serta modalitas sosial yang dipunya. Seharusnya kebijakan ke-bencanaan juga diibangun dengan belajar pada basis historis yang

jelas sehingga mampu memperhitungkan potensi konflik dalam masyarakat dan bukannya semakin memperuncing jurang konflik

dalam masyarakat.

Bagi masyarakat yang sadar pada bahaya kebijakan negara yang tidak ramah dengan kearifan lokal mereka, kritik maupun resistensi merupakan saluran untuk menyuarakan ketidakberdayaan warga dalam bernegosiasi dengan kebijakan yang tidak ramah pada kearif-an lokal mereka. Sebagaimkearif-ana tercermin dalam gerakkearif-an gkearif-anti (gerakan aksi tagih Janji) yang menuntut pemenuhan hak rakyat sekaligus menyuarakan ketidakrelaan masyarakat apabila masyara-kat terpecah belah akibat gempa susulan 30 juta skala rupiah yang “diguncangkan” Sang Wakil Presiden, Jusuf Kalla.

Sementara bagi banyak warga korban yang lain, ketidakber-dayaan tercermin dari kepatuhan untuk melaksanakan setiap juk-lak-juknis peraturan kebencanaan yang tidak sesuai dengan konteks mereka sehari-hari. Kebijakan yang tak menghitung rakyat sebenar-nya bukan barang baru di negeri ini, tapi bila kebijakan itu dipak-sakan untuk diterima dan dilaksanakan rakyat, contoh konkretnya adalah PoKmaS dan Bagitas (pembagian dana bantuan menurut

(37)

prioritas), maka konflik sosial horisontal adalah sebuah realitas yang diciptakan oleh struktur kebijakan. Konflik ini adalah gejala mani -fest dari ketidakberdayaan masyarakat untuk bersuara di hadapan pemerintah dan negaranya. mereka adalah komunitas subaltern yang mengalami penindasan bertubi dari struktur yang seharusnya melindungi.

membaca kapasitas, potensi dan kerentanan masyarakat da-lam menghadapi terjangan gempa sebagai gejala ada-lam dan gejala so-sial, perlu dilakukan LSm dengan hati-hati dan tanggap. Dengan menghitung masyarakat di dalam kebijakan, LSm dapat mendesain program yang dibutuhkan masyarakat sekaligus mengadokasikan problem masyarakat (baca: menyuarakan). namun bila pengabaian dilakukan, niscaya kekeruhan di aras akar rumput merupakan capai-an kerja LSm ycapai-ang mengadopsi pola kerja birokrasi negara. maka, kembali kepada sebuah upaya untuk melihat bencana sebagai mo-mentum, bencana bisa menjadi momentum baik maupun momen-tum buruk. Di tengah kondisi anomi dan chaotic karena rusaknya tatanan sosial lama, LSm bisa mengambil peran untuk mengkerang-kai kapasitas dan potensi masyarakat dengan nilai-nilai demokrasi, pemberdayaan dan lain sebagainya. upaya itu juga harus didukung dengan kerja konkret untuk menghitung mereka yang tak pernah dihitung, menyuarakan mereka yang tak berani bersuara.

(38)

para stafnya (community organizer) yang berkompeten, berkomitmen, dan berpengalaman sungguh-sungguh untuk itu. Jangan lagi, agenda seserius itu dijadikan ajang uji coba bagi para staf lapangan yang baru atau bahkan para olunteer di LSm tersebut. Sementara, para staf LSm yang berkapasitas dan berpengalaman (biasanya staf senior) justru semakin jarang atau bahkan sudah tidak terlibat sama sekali di komunitas basis, lantaran telah menjadi kaum elit LSm. Jujur ha-rus diakui, pola manajeman yang salah kaprah semacam itulah yang seringkali terjadi di LSm selama ini. Demi kesuksesan rekonstruksi sosial itu, kalangan LSm harus berani menata dan mengubah dirinya untuk kembali ke kithah.

Kiranya, merupakan tugas besar bagi seluruh pemangku ke-pentingan (stakeholders), terutama pemerintah, untuk merombak sesat pikir dan sesat tindakan atas sumbangan modal sosial berupa partisipasi aktif warga korban di atas. terkaitan dengan modal so-sial itu, Fukuyama telah mengingatkan kepada kita bahwa:23

Pemerintah mampu membentuk modal sosial, tapi juga bisa meng-hancurkannya... negara-negara yang tidak berhasil menjamin ke-amanan masyarakat atau hak milik pribadi cenderung menghasilkan warga yang tidak saja tidak percaya kepada pemerintah, melainkan juga kepada sesama warga lainnya dan sulit menjalin ikatan dengan orang lain. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern, pemusatan fungsi-fungsinya, dan campur tangannya dalam hampir semua bidang kehidupan cenderung memperlemah hubungan spon-tan antarwarga. negara sebagai sekutu dan sebagai seteru modal sosial.

Di sini, seluruh pemangku kepentingan, terutama kalangan pemerintah, harus belajar memahami dan mengimplementasikan hakikat dari partisipasi itu. Secara fundamental, partisipasi sangat dibutuhkan untuk menjaring informasi terpercaya, dan kemudian

(39)

dipergunakan sebagai alat kontrol yang riil, dan akhirnya berfungsi sebagai penjaga gawang dari setiap tindakan pemerintah. Dari sisi berbeda, partisipasi juga sangat dibutuhkan sebagai taji penghujam

yang mampu mendorong kinerja pemerintah untuk lebih efisien dan

menciptakan pengaruh balik bagi layanan publik. ini merupakan sesuatu yang penting untuk mengawasi akses dan kualitas pelayanan publik oleh negara. Berbagai bukti empirik mengindikasikan bahwa sebuah masyarakat sipil yang kuat dan kaya dengan modal sosial akan mampu memerankan peran kritis di dalam mendorong gover-nance kebencanaan yang handal.24

Kiranya inilah hikmah yang bisa kita petik bersama dari bencana gempa bumi Yogya-Jateng setahun silam. Bencana telah memberi kita momentum untuk mawas diri dan membenahi segala kekilafan, kecacatan, dan kelemahan dalam keberagaman dan kebersamaan yang kokoh. Dengannya kita bisa saling menguatkan hakikat peran masing-masing untuk sebuah sinergi keberpihakan yang riil kepada warga korban bencana ke depan. Dengan mengenang para syuhada gempa, semoga kita mampu menginisiasi diri menjadi bangsa pem-belajar dan pemetik hikmah yang baik. Sehingga kita bisa mewujud-kan kesadaran baru bahwa hidup harus dirawat, diperjuangmewujud-kan, dan dijaga keberlangsungan dan keadabannya demi anak, cucu, dan cicit generasi kita mendatang. untuk menuntaskan rekonstruksi sosial itu, seberapa tangguhkah kita?[]

(40)

DaFtaR PuStaKa

abidin, Hamid & Rukmini, mimin (edt), 2004; Kritik & otokritik LSm, membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya masyarakat indonesia, Jakarta: Piramedia;

Buletin Suara Korban Bencana, edisi Susulan ke 7, 1 agustus 2006

Clark John, 1995, NGo dan Pembangunan Demokrasi; Yogyakarta: tiara Wacana.

Draf Rencana aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana

erler, Brigitte, 1989, Bantuan Mematikan, Catatan lapangan tentang Bantuan Asing; Jakarta: LP3eS.

Eugene Garfield, 199, What is The Primordial reference For The Phrase ‘Publish or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10,

Figley, Charles R. Ph.D, Compassion Fatigue: An introduction dalam www. greencross.org

Fukuyama, Francis, 2005, Guncangan Besar (terjemahan bahasa indonesia oleh masri maris), Jakarta: gramedia.

Jary, Daid & Jary, Julia, 1991, Collins Disctionary of Sociology, great Britain: Harper Collins.

Kompas, 2004, lSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan; Jakarta: Kompas

Kuper, adam & Kuper, Jessica, 2000, ensiklopedi ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press

notulensi Rembug Konsolidasi masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli 2006 tentang Rancangan Code of Conduct Penanganan Pasca Bencana gempa Bumi Yogya-Jateng.

Putranti, Basilica D. & Subagya, Y. tri, 2005, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi,

Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK ugm dan Ford Foundation.

Suharko, 2005, Merajut Demokrasi, hubungan NGo, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: tiara Wacana

(41)

287

n

aPaK

t

iLaS

t

RaDiSi

m

emBangun

R

umaH

t

RaDiSionaL

J

aWa1

AB. Widyanta2

“Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa.”

(samijo)

“Pas enten gempa wingi griya kula njondhil-njondhil, gendhenge sami mawut, cagake anjlok saking umpak,bar niku namung dhoyong. mboten ambruk.”

(ngatimin)

“Susunan konstruksi tradisional, dengan

bahan kayu yang elastis fleksibel,

ber-pondasi titik dari tiang-tiang pendukung tanpa pembebanan pada

dinding-dinding, memungkinkan seluruh bangunan bisa “melenggang” menyesuaikan diri secara elastis dengan getaran.”

(YB. mangunwijaya)

(42)

mitos rumah Tahan Gempa: suatu pengantar

K

osa kata “tahan gempa” mendadak nge-pop di masyarakat Yogya dan Jateng pasca gempa 27 mei 2006. Simaklah bagaimana masyarakat menggunakan kosa kata itu dalam berbagai kesempatan. mulai dari rasanan warga di angkringan, per-bincangan warga di gardu ronda, rapat Rt, rembug desa, hingga rapat kedinasan di kantor-kantor pemerintah, kata itu nyaris tak pernah absen. memasuki masa rekonstruksi, kosa kata itu kian santer diperbincangkan. Sebutan rumah “tahan gempa”, bangunan “tahan gempa”, konstruksi “tahan gempa”, dan semacamnya semakin familiar di telinga khalayak. Berbagai media masa (cetak dan elek-tronik) pun tak luput memakai kosa kata itu dalam berragam pemberitaannya. iklan-iklan layanan masyarakat dan adertensi komersial ternyata juga tak mau kalah untuk itu. entah mengapa, kosa kata rumah “tahan gempa” sangat populer di kawasan Yogya dan Jateng. Hingga kelatahan pun tak terelakkan. Seakan tak afdol

tanpa menyebutnya.

memang, propaganda rumah “tahan gempa” diam-diam te-ngah menjadi aktiitas yang acap tak disadari dampaknya oleh

di www.suarakorbanbencana.org itu merupakan hasil wawancara penulis dengan ir. Mahatmanta, Pengajar Perkembangan Arsitektur di UKDW. Dalam rangka refleksi 1 tahun penanganan pasca gempa Yogya-Jateng, tulisan ini diangkat kembali dan ditambahi dengan berbagai kasus dan persoalan aktual yang terjadi di masyarakat selama pasca gempa. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada mas anto, arsitek populis-kultural-mengagumkan, yang telah berkenan memperkaya pemahaman penulis tentang nilai-nilai kultural yang terkandung dalam arsitektur rumah Jawa. untuk itu, penulis mendedikasikan tulisan ini secara khusus untuk mas anto, para warga korban, dan siapa saja yang peduli dan tak kenal lelah berpraksis untuk nguri-uri berbagai nilai kearifan lokal.

(43)

berbagai kalangan masyarakat. andil terbesar boleh jadi muncul dari kalangan staf pemerintah, akademisi, arsitek, pakar teknik sipil, dan tak ketinggalan aktiis-aktiis LSm. Berbagai kajian ilmiah perihal rumah “tahan gempa” yang digelar oleh dinas Pekerjaan umum misalnya saja—dengan melibatkan para kaum cerdik cendikia dari berbagai uniersitas ternama—telah menjadi bukti atas itu. Kiranya tidaklah berlebihan jika kita menyebut mereka (kaum biro-krat dan intelektual) sebagai produsen utama atas jargon rumah “tahan gempa” itu. Berbagai gagasan ilmiah perihal rumah “tahan gempa” yang diyakini “sahih” akhirnya berhasil direpetisikan hingga

termassifikasi dengan sangat baik di kalangan masyarakat. Kaum

cerdik cendikia benar-benar sukses sebagai trend setter bahasa (baca: jargon).

(44)

ada satu contoh menarik perihal itu. Di pinggiran jalan raya, sebelum memasuki gapura kota Bantul, berdiri sebuah rumah yang baru saja di bangun setelah gempa terjadi. oleh si pemilik, rumah tersebut diberi label “Rumah Contoh tahan gempa” Rangka Rumah “Harapan”.3 Jika dibaca sekilas, tak ada yang lucu dalam tulisan itu. namun bila tulisan itu ditautkan dengan konteks bahwa rumah itu dibangun setelah gempa berlalu, maka barulah kelucuan muncul. Ditilik dari kronologi waktu, terasa ganjil jika rumah yang dibangun setelah gempa kok diberi label “Rumah Contoh tahan gempa”. ironi. argumen “tahan gempa” dalam tulisan tersebut sejatinya telah ternegasikan dengan sendirinya ketika kita meletakkannya dalam konteks kronologi waktu. mustinya predikat tahan gempa hanya layak diatributkan pada rumah yang didirikan sebelum gempa terjadi, dan pasca guncangan gempa rumah itu masih tetap berdiri kokoh. itulah rumah tahan gempa dalam arti yang sesungguhnya. Rumah tahan gempa mustinya merujuk pada kenyataan bahwa rumah itu benar-benar telah teruji oleh guncangan gempa, dan bukannya jargon kosong yang jauh dari realitas sesungguhnya.

Sebutan “Rumah tahan gempa” itu sendiri, jika ditilik dari kultur Jawa, secara implisit memuat simtom-simtom sikap nggege mongso dan grusah-grusuh. Kata nggege mongso itu kira-kira menjelaskan tentang sebentuk keinginan dan harapan semata yang serba abai terhadap konteks waktu, situasi, dan kondisi yang sesungguhnya. Sementara, kata grusah-grusuh menjelaskan perihal sikap yang se-nantiasa tergesa-gesa hingga tindakan serba tidak tepat. Lebih jauh lagi, pengertian nggege mongso itu sendiri merujuk pada situasi dari sebuah keinginan yang sama sekali tidak didasari dan ditopang oleh adanya sarana-sarana pendukung yang riil dan memadai. Sebutan “Rumah tahan gempa” itu pada hakikatnya hanya sekadar keinginan dan harapan belaka tanpa merujuk kondisi dan kualitas riilnya.

(45)

tidaklah masuk di akal saja jika rumah yang baru kemarin sore dibangun sudah disebut, bahkan lebih celaka lagi dipropagandakan, sebagai rumah tahan gempa. Bukankah itu merupakan sebutan yang nggege mongso, prematur, dan terlalu dini untuk dimunculkan (lantaran kualitas belum teruji oleh gempa sungguhan)? Sebutan itu sendiri sebenarnya masih berkadar “harapan”, dan bukan realitas yang mengandung kualitas (tahan gempa) yang senyatanya.

Pembacaan atas fenomena “Rumah tahan gempa” sebagai sekadar harapan dan bukan realitas itu lebih jauh bisa dianalogikan dengan kasus berikut. tatkala ada orang tua menamai anak lelakinya yang baru lahir dengan nama Joko Prakoso, itu berarti si orang tua berkeinginan agar anaknya kelak bisa menjadi sosok yang sesuai dengan makna yang terkandung dalam nama tersebut. Dalam bahasa Jawa, joko berarti anak laki-laki. Sementara, prakoso berarti gagah, kuat, dan perkasa. Dengan demikian, tatkala memilih dan memberi nama kepada anaknya yang baru lahir itu, si orang tua pastilah tengah menyemai harapan agar kelak di kemudian hari anak tersebut bisa tumbuh dan dewasa sebagai seorang lelaki yang senantiasa sehat, kuat, gagah, dan perkasa layaknya Bima.4 tapi benarkah si anak itu senyatanya akan menjadi lelaki yang gagah, kuat dan perkasa? Realitas kadang tak seturut harapan. acap kali harapan yang dititipkan dalam sebutan nama tak senantiasa menunjuk pada kualitas makna atau sifat baik dari realitas yang sesungguhnya. Contoh analogi ini kiranya bisa menjelaskan argumen bahwa merebaknya fenomena “Rumah tahan gempa” adalah fenomena tentang idealisasi harapan. Lantaran di-propagandakan dan didesakkan seolah-olah sebagai realitas, maka sejak itulah muncul konsep yang lazim disebut sebagai jargon.

Jika sekadar jargon, maka berarti propaganda kepalsuan tengah berlangsung. Label “Rumah Contoh tahan gempa” di atas benar-benar kebenaran palsu. memang, sudah teramat lazim dalam

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis ragam rerata bobot segar total tanaman baby wortel perlakuan P3 (Varietas kuroda, mulsa plastik hitam perak) mempunyai bobot segar total

Kelompok 2: diberikan perlakuan yaitu dengan program latihan continuous running yang dilakukan selama 6 minggu dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu, setelah menjalani

Terbaru, pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU pada 27 Februari-1 Maret 2019 di Banjar, Jawa Barat, gagasan politik kebangsaan NU dinarasikan lebih

Wahai Tuhan kami limpahkanlah Shalawat dan salam sejahtera selamanya pada kekasih Mu yang telah menyeru kami kepada

Hasil diskusi kelompok tersebut akan dipresentasikan dan kemudian ditangga- pi oleh mahasiswa lain (didukung Tugas kelompok berupa partisipasi dalam tugas kelompok,

Sejumlah pasal tentang hak asasi manusia terlihat pula di luar Bab XIA (terdapat 8 substansi hak); (ii) UUD 1945 pasca amandemen telah mengadopsi jauh lebih banyak dan

Cara ini belum sesuai untuk identifikasi protein kacang hijau, karena menutamakan komposisi asam amino, sehingga protein - protein dengan berat molekul dan pI

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan mendapatkan sembilan sampel bank yang melakukan IPO pada periode 2012-2015 dengan kategori Bank Umum