• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PEDIDIKAN KARAKTER DAN MULTIKULTU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP PEDIDIKAN KARAKTER DAN MULTIKULTU"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KARAKTER DAN MULTIKULTURAL (DOSEN PENGAJAR Dr. L. A. LONTOH, M.Si)

Oleh:

SUHARDI SAHMIL Nim: 13869038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MANADO

PROGRAM PASCA SARJANA

Konsep pendidikan karaker dan multikultural

Pendidikan karakter dan multikultural bagi bangsa dan negara Pendidikan karakter di Indonesia

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menyongsong era globalisasi saat ini dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kwalitas kecerdasan yang tinggi serta mampu menghadapi persaingan dunia. Untuk mencapai hal itu maka pendidikan memberi pengaruh yang cukup penting sehingga harus dipahami makna dari pendidikan. Ki Hajar Dewantara (dalam www.wawan_junaidi.com 2014) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Lembaga pendidikan seharusnya melaksanakan aktivitas-aktivitas untuk mendukung pengembangan pengetahuan peserta didiknya. Pendidikan memiliki tujuan umum yakni untuk memanusiakan manusia sehingga dalam pendidikan yang diolah bukan hanya kecerdasan otak (head) tetapi juga kecerdasan hati (heart), dan ketrampilan untuk menciptakan (hand). Pendidikan dikatakan berhasil bila ketiga aspek tersebut berpadu (balanced) dalam diri peserta didik.

Pendidikan merupakan salah satu unsur pembentukan karakter dan perkembangan diri manusia. Pendidikan seolah tidak henti-hentinya menjalankan peran penting untuk menjadikan manusia dari tidak mengetahui menjadi paham (mafhum). Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi peserta didik (anak) perlu ditingkatkan, mengingat pendidikan merupakan salah satu unsur yang melekat pada diri manusia sebagai hak yang harus diterimanya. Serta pendidikan akan membawa masyarakat itu sendiri menuju kepada kemajuan, baik kemajuan dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kemajuan yang diharapkan oleh masyarakat yaitu ketenteraman, kerukunan, serta terhindar dari berbagai macam bentuk konflik.

(3)

agama di dunia melarang untuk berbuat kekerasan? Sungguh ironis memang, dengan kejadian seperti ini. Dibutuhkan solusi untuk mengatasi masalah tersebut sehingga terwujud masyarakat yang cinta akan perdamaian, saling menghargai antar sesama, dan tentunya terwujud masyarakat madani.

Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan pada hakekatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik (good). Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.

Kenyataan tentang akutnya problem moral inilah yang kemudian menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan karakter dan kultur. Rujukan kita sebagai orang yang beragama terkait dengan problem moral dan pentingnya pendidikan karakter dapat dilihat dari kasus yang marak terjadi saat ini seprti korupsi, tauran pelajaran dan lainsebagainya.

Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewa sa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut deselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu --seperti rasa hormat, tanggung jawab, jujur, peduli, dan adil--dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, adil--dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.

B. Masalah

1. Bagaimana konsep pendidikan karater dan multikultural.

2. Mengapa pendidikan karakter dan multikultural penting bagi kehidupan bangsa dan negara.

3. Bagaimana pendidikan karakter di Indonesia

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Pendidikan Karater dan Multikultural

1. Konsep Pendidikan Karakter

Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to

engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah „pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang‟. Setelah melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Ryan, 1999: 5).

Karakter yang baik berkaitan dengan mengetahui yang baik (knowing the good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik (acting the good). Ketiga ideal ini satu sama lain sangat berkaitan. Seseorang lahir dalam keadaan bodoh, dorongan-dorongan primitif yang ada dalam dirinya kemungkinan dapat memerintahkan atau menguasai akal sehatnya. Maka, efek yang mengiringi pola pengasuhan dan pendidikan seseorang akan dapat mengarahkan kecenderungan, perasaan, dan nafsu besar menjadi beriringan secara harmoni atas bimbingan akal dan juga ajaran agama.

(5)

tidak semata-mata tentang manajemen waktu, melainkan berkaitan pula dengan prioritas dan pemilihan sesuatu yang baik dalam semua suasana kehidupan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk membuat komitmen yang bijak dan menjaganya (Kevin Ryan, 1999: 5).

Selanjutnya Aristoteles mendefiniskan karakter yang baik sebagai tingkah laku yang benar --tingkah laku yang benar dalam hubungannya dengan orang lain dan juga dengan diri sendiri. Di pihak lain, karakter, dalam pandangan filosof kontemporer seperti Michael Novak, adalah campuran atau perpaduan dari semua kebaikan yang berasal dari tradisi keagamaan, cerita, dan pendapat orang bijak, yang sampai kepada kita melalui sejarah. Menurut Novak, tak seorang pun yang memiliki semua kebajikan itu, karena setiap orang memiliki kelemahan-kelemahan. Seseorang dengan karakter terpuji dapat dibedakan dari yang lainnya (Lickona, 1991: 50).

Karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Bertitik tolak dari definisi tersebut, ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang ingin kita bangun pada diri para siswa, jelaslah bahwa ketika itu kita menghendaki agar mereka mampu memahami nilai-nilai tersebut, memperhatikan secara lebih mendalam mengenai benarnya nilai-nilai itu, dan kemudian melakukan apa yang diyakininya itu, sekalipun harus menghadapi tantangan dan tekanan baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Dengan kata lain mereka meliliki „kesadaran untuk memaksa diri‟

melakukan nilai-nilai itu.

(6)

mereka berpikir kritis mengenai persoalan- persoalan etika dan moral; menginspirasi mereka untuk setia dan loyal dengan tindakan-tindakan etika dan moral; dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mempraktikkan perilaku etika dan moral tersebut.

1. Moral Knowing (Pengetahuan Moral):

Terdapat beragam jenis pengetahuan moral yang berkaitan dengan tantangan moral kehidupan. Berikut ini enam tahap yang harus dilalui dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan moral:

a. Moral awarness (kesadaran moral). Kelemahan moral yang melanda hampir semua manusia dari segala jenis usia adalah adanya kebutaan atau kepapaan moral. Secara sederhana kita jarang melihat adanya cara-cara tertentu dalam masyarakat yang memperhatikan dan melibatkan isu-isu moral serta penilaian moral. Anak-anak muda misalnya, sering kali tidak peduli terhadap hal ini; mereka melakukan sesuatu tanpa mempertanyakan kebenaran suatu perbuatan.

b. Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral). Nilai-nilai moral seperti rasa hormat terhadap kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, sopan-santun, disiplin-diri, integritas, kebaikan, keharuan-keibaan, dan keteguhan hati atau keberanian, secara keseluruhan menunjukan sifat-sifat orang yang baik. Kesemuanya itu merupakan warisan dari generasi masa lalu bagi kehidupan masa depan. Literatur etika mensyaratkan pengetahuan tentang nilai-nilai ini. Mengetahui nilai-nilai di atas berarti juga memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai itu dalam berbagai situasi.

(7)

d. Moral reasoning (alasan moral). Moral reasoning meliputi pemahaman mengenai apa itu perbuatan moral dan mengapa harus melakukan perbuatan moral. Mengapa, misalnya, penting untuk menepati janji? Mengapa harus melakukan yang terbaik?. Moral reasoning pada umumnya menjadi pusat perhatian penelitian psikologis berkaitan dengan perkembangan moral.

e. Decesion-making (pengambilan keputusan). Kemampuan seseorang untuk mengambil sikap ketika dihadapkan dengan problema moral adalah suatu keahlian yang bersifat reflektif. Apa yang dipilih dan apa akibat atau resiko dari pengambilan keputusan moral itu, bahkan harus sudah diajarkan sejak TK (Taman Kanak-kanak).

f. Self-knowledge. Mengetahui diri sendiri atau mengukur diri sendiri merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit, tetapi hal ini sangat penting bagi perkembangan moral. Menjadi orang yang bermoral memerlukan kemampuan untuk melihat perilaku diri sendiri dan mengevaluasinya secara kritis.

Perkembangan atas self-knowledge ini meliputi kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan bagaimana mengkonpensasi kelemahan itu. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan itu adalah dengan menjaga 'jurnal etik' (mencatat peristiwa-peristiwa moral yang terjadi, bagaimana merespon peristiwa moral itu, dan apakah respon itu dapat dipertanggung jawabkan secara etika).

2. Moral Feeling (Perasaan Moral):

(8)

merasa berkewajiban untuk menunjukkan suatu perbuatan dengan cara tertentu, maka ia pun bisa menunjukkan cara untuk tidak melakukan perbuatan yang salah.

Bagi banyak orang, kesadaran adalah persoalan moralitas. Mereka memiliki komitmen terhadap nilai moral dalam kehidupannya, karena nilai-nilai itu memiliki akar yang kuat dalam moral-diri mereka sendiri (moral self/hati nurani). Seperti, seseorang tidak dapat berbohong dan menipu karena mereka telah mengidentifikasikan dengan tindakan moral mereka; mereka merasa 'telah keluar dari karakter' ketika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai- nilai mereka. Menjadi orang yang secara pribadi memiliki komitmen terhadap nilai- nilai moral ternyata memerlukan proses perkembangan, dan membantu siswa dalam proses ini merupakan tantangan bagi setiap guru pendidikan moral.

b. Self-esteem (penghargaan-diri). Ketika kita memiliki ukuran yang sehat terhadap penghargaan-diri, kita menilai diri kita sendiri. Ketika kita menilai diri kita sendiri, kita akan menghargai atau menghormati diri kita sendiri. Kita tidak akan menyalahgunakan anggota tubuh atau pikiran kita atau mengizinkan pihak-pihak untuk menyalah gunakan diri kita.

Ketika kita memiliki penghargaan-diri, kita tidak akan bergantung pada restu atau izin pihak lain. Pembelajaran yang memperlihatkan siswa dengan penghargaan- diri yang tinggi memiliki tingkat halangan yang lebih besar bagi sejawatnya untuk memberi tekanan kepadanya.

Ketika kita memiliki penghargaan yang positif terhadap diri kita sendiri, kita lebih suka memperlakukan orang lain dengan cara-cara yang positif pula. Ketika kitakurang memiliki penghormatan terhadap diri sendiri, maka baginya juga sangat sulit untuk mengembangkan rasa hormat kepada pihak lain.

(9)

keyakinan pada kemampuan diri untuk kebaikan.

c. Empathy (empati). Empati adalah identifikasi dengan, atau seakan-akan mengalami, keadaan yang dialami pihak lain. Empati memungkinkan kita untuk memasuki perasaan yang dialami pihak lain. Empati merupakan sisi emosional dari perspective-taking (hasibu anfusakum qabla antuhasau).

Dewasa ini kita sedang menyaksikan hancurnya empati dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, meningkatnya kriminalitas anak-anak muda yang mengarah kepada sikap brutal. Mereka pada dasarnya mampu mengembankan empatinya terhadap sesuatu yang mereka ketahui dan peduli, tetapi mereka sama sekali tidak dapat menunjukkan perasaan empati mereka kepada orang-orang yang menjadi korban dari kekerasannya. Salah satu tugas pendidik moral adalah mengembangkan empati yang bersifat umum.

d. Loving the good. Bentuk karakter yang paling tinggi diperlihatkan dalam kelakukan yang baik. Ketika seseorang mencintai yang baik, maka dengan senang hati ia akan melakukan yang baik. Ia secara moral memiliki keinginan untuk berbuat baik, bukan semata-mata karena kewajiban moral. Kemampuan untuk mengisi kehidupan dengan perbuatan baik ini tidak terbatas bagi para ilmuwan, tetapi juga pada orang kebanyakan, bahkan anak-anak. Potensi untuk mengembangkan perilaku kehidupan yang baik ini dapat dilakukan melalui tutorial dan pelayanan sosial, baik di sekolah maupun di masyarakat luas.

e. Self-control. Emosi dapat membanjiri (mengatasi) alasan. Alasan seseorang mengapa self-control diperlukan untuk kebaikan moral. Kontrol-diri juga diperlukan bagi kegemaran-diri anak-anak muda. Apabila seseorang ingin mencari akar terjadinya penyimpangan sosial, salah satunya dapat ditemukan pada kegemaran-diri ini, demikian kata Walter Niogorski.

(10)

3. Moral Action (Tindakan Moral)

Moral action (tindakan moral), dalam pengertian yang luas, adalah akibat atau hasil dari moral knowing dan moral feeling. Apabila seseorang memiliki kualitas moral intelek dan emosi, kita bisa memperkirakan bahwa mereka akan melakukan apa yang mereka ketahui dan rasakan. Untuk memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan tindakan moral, berikut ini adalah tiga aspek dari karakter: kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

a. Kompetensi (Competence). Moral kompetensi adalah kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Untuk memecahkan masalah konflik misalnya, diperlukan keahlian-keahlian praktis: mendengar, menyampaikan pandangan tanpa mencemarkan pihak lain, dan menyusun solusi yang dapat diterima masing-masing pihak.

b. Kemauan (Will). Pilihan yang benar (tepat) akan suatu perilaku moral biasanya merupakan sesuatu yang sulit. Untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang baik biasanya mensyaratkan adanya keinginan bertindak yang kuat, usaha untuk memobilisasi energi moral. Kemauan merupakan inti (core) dari dorongan moral.

c. Kebiasaan (Habit). Dalam banyak hal, perilaku moral terjadi karena adanya kebiasaan. Orang yang memiliki karakter yang baik, seperti yang dikatakan William Bennet, adalah orang yang melakukan tindakan 'dengan sepenuh hati', 'dengan tulus', 'dengan gagah berani', 'dengan penuh kasih atau murah hati', dan 'dengan penuh kejujuran'. Orang melakukan perilaku yang baik adalah karena didasarkan kekuatan kebiasaan.

(11)

2. Konsep Pendidikan Multikultural

Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik

(reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan, itu berarti penguatan disatu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain. (Choerul: 2006: 76).

Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural. Disisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri.

Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara.

(12)

dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. (Muhyi: 2004:15 dan Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18 Januari 2007).

Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era demokritisai kehidupan. (Tilaar: 2004:16).

Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia, negara, maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945. (BSNP: 2005:17), dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan, maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.

Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atu bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme.

Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:

(13)

Kedua, Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.

Ketiga, Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.

Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.

Keenam, Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26).

(14)

pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “ pribumi” bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang beriorentasi barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara dalam kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter dis course bagi visi pendidikan penguasa.

Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu terlibas dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata. (Muhyi: 2004:20).

Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia. Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha “politik” kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini: 2004:21).

B. Pentingnya Pendidikan Karakter Dan Multikultural Bagi Bangsa dan Negara

Indonesia termasuk negara atau bangsa yang sangat multikultural. Indonesia dikaruniai sebagai sebuah bangsa yang mempunyai ratusan suku bangsa, sub-etnik, bahasa, tradisi, dan budaya. Keragaman bukanlah tragedi, tetapi sebuah potensi yang dapat dijadikan instrumen untuk menciptakan kehidupan yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Bangsa Indonesia harusnya semakin cerdas dalam membaca berbagai aspek kehidupan yang selalu mengalir mulai dari ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan tanpa harus menanggalkan nilai-nilai adiluhung yang diwariskan pendahulu.

(15)

hendaknya senantiasa dipegang oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan jaman yang semakin mengglobal. Menurut (Sail Agil Siraj, 2007). Agar tidak kehilangan jati diri dan karakter sebagai bangsa Indonesia di satu sisi dan agar mampu bersaing dalam kompetisi global di sisi lain. Langkah-langkah ini cuku efesien untuk membangun diri individu warga bangsa agar memiliki rasa kebangsaan yang tinggi dan mampu berperilaku yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, antara lain dengan:

a. Melatih Anak Sejak Dini Memahami Orang Lain di Sekitarnya

Manusia dengan berbagai ragam karakteristik dan pola pikirnya, bukanlah sebuah petaka, melainkan merupakan potensi. Untuk mengoptimalkan potensi tersebut perlu kesadaran rakyat negeri ini untuk saling mengenal dan memahami orang di sekitarnya. Kepedulian sosial perlu ditingkatkan dengan even-even kebersamaan untuk melatih empati, kepekaan sosial, solidaritas dan kebersamaan. Komunikasi antarwarga perlu terus dibangun di berbagai kesempatan dan tempat. Melalui komunikasi ini banyak hal yang tersampaikan sehingga para warga dapat saling memahami. Perbedaan-perbedaan yang ada justru bisa menjadi topik menarik dalam temu warga dan dapat mengakrabkan mereka.

b. Membudayakan Komitmen Berbangsa dan Bernegara

(16)

Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan mulai dari keluarga, dalam kehidupan warga sekitar, di sekolah sampai dalam komunitas yang lebih luas. Para pendidik dapat menanamkan dan melatihkan pada siswa untuk mampu melakukan soft skill yang berkaitan dengan substansi nilai-nilai multikultural, seperti mampu menerima perbedaan, toleransi, menghormati pendapat orang lain, bekerja sama, mampu menganalisis persamaan dan perbedaan yang ada pada orang lain, mampu berlaku adil, mampu melihat ketimpangan sosial, dan mencari solusinya (problem solving). Selain itu membiasakan warga untuk saling membantu tanpa memandang perbedaan agama, status sosial, gender, umur, wilayah tempat tinggal (desa/kota). Dengan demikian sejak awal anggota masyarakat dilatih untuk mampu menyesuaikan diri dan hidup dalam keragaman serta mampu berperilaku sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang multikultural. Untuk dapat melaksanakannya diperlukan kebijakan dari penyelenggaran negara, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, partai dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya. Kebijakan itu kemudian diwujudkan ke dalam program praktik terencana dan disesuaikan dengan kondisi maupun potensi masyarakatnya.

d. Melatihkan Kemampuan untuk Memahami Ideologi (Agama) Lain

Warga bangsa Indonesia merupakan masyarakat religius yang berlandaskan pada ajaran agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha) dan aliran kepercayaan. Ini perwujudan dari sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada setiap warga negara perlu ditanamkan kesadaran bahwa di Indonesia terdapat bermacam-macam ideologi dan agama. Setiap manusia mempunyai agama ataupun ideologi yang tidak harus sama dengan ideologi kita. Oleh sebab itu yang paling baik adalah memahami substansi ideologi dan agama tersebut sebagai sebuah ajaran yang mencita-citakan kedamaian dan kebaikan. Bila hal ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka konflik antaragama tidak akan terjadi.

e. Mengembangkan dan Melestarikan tradisi

(17)

pada diri sendiri. Sehingga tercipta suatu identitas/komunitas yang dapat melahirkan karakter sebuah bangsa. Pemahaman keberagaman yang multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Keragaman budaya dan tradisi yang ada dari sub nasional atau etnis, merupakan kekayaan bangsa dan negara. Negara harus menjamin kebebasan pengembangan dan pelestarian tradisi dan budaya daerah (lokal) atau etnis. Pengembangan dan pelestarian tradisi dan budaya daerah (etnis) ini, bukan untuk menguatkan primordialisme kesukuan, tetapi untuk menguatkan kekayaan khasanah budaya nasional yang pada dasarnya berasal dari budaya sub-nasional. Sebagai warga negara dan bagian dari wilayah Indonesia, dimanapun berada setiap warga negara haruslah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, memiliki rasa kesatuan dan persatuan bangsa, menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa serta mematuhi semua aturan-aturan negara demi kelanjutan dan keteraturan hidup berbangsa bernegara. Makna yang terkandung pada Sumpah Pemuda 1928 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, harus diinternalisasikan kepada setiap warga negara Indonesia untuk menjadi janji luhur yang tetap dipegang sampai akhir hayat. Mengembangkan dan melestarikan tradisi bukan berarti melunturkan rasa nasionalisme.

f. Mewajibkan Media Massa Mengambil Peran dalam Membangun Karakter Bangsa Media massa, khususnya mempengaruhi pembentukan watak dan akhlak bangsa, diharapkan dapat mengambil peran sosio-kultural, sosial-ekonomi, sosial-politik untuk tugas nation and character building (membangun karakter bangsa), dan pengukuran kebhinneka-tunggalikaan. Dengan adanya dialog, persuasif, dan menyamakan pandangan untuk kepentingan bangsa dan negara, antara para pemimpin media massa dengan pemimpin-pemimpin negara dan masyarakat diperoleh kesepakatan, kebersamaan kewajiban dan kepedulian untuk bersama-sama membangun karakter bangsa di bidangnya masing-masing. Melalui media massa dapat dikembangkan tentang pentingnya bangsa memiliki karakter, serta dapat disosialisasikan strategi untuk membangunnya.

C. Pendidikan Karakter di Indonesia

(18)

nilai-nilai dan simbol kebangsaan yang kita miliki (Gunawan :2011). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang besar” seperti yang sering kita dengan dan kita dengungkan dalam berbagai kesempatan. Fakta tersebut memang berdasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke-lima didunia (setelah Cina, India, Rusia, Amerika Serikat) dan sejak tahun 1999 kita telah diklaim sebagai negara demokratis terbesar ketiga sesudah India dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia adalah merupakan percontohan Negara Islam terbesar di dunia yang demokratis.

Suasana toleransi dan saling menghargai antar umat beragama sangat tinggi. Dapat dikatakan bahwa 90 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang totalnya sebanyak 230,6 juta jiwa adalah muslim (Soepandji :2010) Jumlah penduduk yang besar dapat merupakan potensi, sekaligus hambatan. Apabila penduduknya berkualitas semua maka bangsa tersebut jaya, meskipun tidak selalu menjadi negara yang “adidaya” tetapi merupakan bangsa yang mempunyai “karakter”.

Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa dimana terdapat sifat “gotong royong” – saling membantu, dan hal ini memang tidak terdapat istilah yang setara dengan kata “gotong royong” dalam kosakata bahasa lain. Akan tetapi dalam kurun waktu kemajuan zaman dan pengarug global, sifat “gotong-royong” makin pudar dan diganti dengan sifat sifat “individualistik” serta “arogansi pribadi”. Apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan “karakter bangsa” ini sehingga pada saat ini (tahun 2011) sering didengar bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan karakater bangsa nya ? Memang banyak hal-hal yang mewarnai “karakter” ini bila kita cermati berbagai hal yang terkait budaya (“culture”) ataupun faktor faktor sosial lainnya maupun terkait faktor ekonomi bangsa.

(19)

membangun karakter dan perkuatan jati diri bangsa, sehingga mampu mengaplikasikan nilai-nilai bela negara ke semua aspek kehidupan. (Soepandji : 2010) Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki intelektualitas baik, pendidikan diperlukan agar sebuah bangsa dapat memiliki karakter dan jati dirinya, yaitu jatidiri ke-Indonesiaan, sehingga tercipta generasi penerus yang mampu mewujudkan bangsa dan negara ini menjadi negara yang maju, mandiri dan bermartabat. Karena inilah yang merupakan kekuatan pertahanan

(soft power) bagi bangsa dan negara dalam menghadapi kompleksitas tantangan

dan ancaman di era global. Derasnya arus informasi era global ini, tidak berarti suatu bangsa harus kehilangan kepribadian atau jati diri, akan tetapi justru pada era inilah sebuah bangsa harus mampu menunjukkan jati dirinya. Karena, bangsa yang malang akan kehilangan jati dirinya dan niscaya akan menjadi budak bangsa lain. Ia akan terpinggirkan dari peradaban sejarah dan selanjutnya bangsa itu akan punah. Akibat dari fenomena tersebut adalah terjadinya kemerosotan ( ”dekadensi”) moral dan etika, yang akan mewarnai perubahan karakter bangsa. Selanjutnya, Akibat dari kemerosotan ini adalah kehidupan bangsa mengalami sejumlah paradoks luar biasa: kita menikmati kebebasan dan demokrasi tetapi kita kehilangan identitas bersama. Kita mengalami kemanjuan pesat dalam pembangunan infrastruktur politik namun padas yang sama dasar-dasar kebersamaan sebagai bangsa jutsru semakin menipis, konflik kedaerahan, etnis dan agama meningkat dan tuntutan keadilan masih muncul di mana-mana. Reformasi kita rupanya sekaligus dibarengi dengan absenya pandangan kebangsaan (Swasono, Sri-Edi:1994) .

(20)

makmur sumberdaya dan makmur sumberalam. Analisis dari berbagai kejadian di negara dan bangsa ini dalam kancah internasional, serta bagaimana peran perguruan tinggi dalam menghadapi globalisasi dengan segala hiruk pikuk fenomena fenomena pada saat ini yang nampak dimata kita, mengharuskan kita memang melakukan “upaya pemulihan”, serta dapat menyatukan pendapat dengan konsep yang jelas akan kebutuhan nasional bangsa Indonesia(Ibid) .

Perlu disadari bahwa definisi pembangunan humanistik yang mulia adalah bahwa development is an expansion of people's capabilities and creativity, pembangunan adalah perluasan kemampuan dan kreativitas rakyat, sebagaimana ditegaskan oleh Nobel Laureate Amartya Sen (Sen, 1999). Pembangunan adalah perihal meningkatkan human capital (Hatta, 1967), yang kemudian secara keseluruhan membentukkan social capital bangsa, bahwa pembangunan haruslah berawal dari human investment agar bisa dengan lebih baik mengelola modal natural resources dan modal financial sebagai tuntutan riil dan empirik. Hal inilah yang diperlukan bagi peranan pendidikan dalam membangun karakter bangsa, karena sumberdaya manusia inilah yang menjadi modal suatu bangsa untuk dapat terus maju dalam kancah persaingan global. Karakter ini akan membawa kekuatan menawar (“bargaining power”) sebagai ciri martabat bangsa yang akan mampu menjadi sisi yang berani menawar, bukan menjadi bagian yang dilecehkan .

(21)

1. Pendidikan karakter di Indonesia harus segera dilaksanakan disemua jenjang pendidikan dari tingkat PAUD sampai pendidikan tinggi yang diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran/ mata kuliah. Pendidikan karakter bangsa menjadi tanggung jawab setiap guru atau dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran, baik kurikuler maupun ekstra kurikuler dengan melalui keteladanan baik dalam bersikap, berprilaku, maupun berbahasa. Pendidikan karakter di tingkat PAUD dan pendidikan dasar memegang peranan penting, karena merupakan pondasi dasar untuk penanaman keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur/ akhlakul karimah.

2. Pendidikan karakter Indonesia harus dimulai dari pendidikan dalam keluarga, sekolah/ kampus/ pesantren, dan masyarakat. Pendidikan karakter di lingkungan dan masyarakat sangat penting dan sangat membantu dan menentukan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah/ kampus.

D. Kaitan Pendidikan Karakter dan Multikultural

Indonesia merupakan negara kepulauan. Masyarakat yang mendiami setiap pulau memiliki cirikhas yang berbeda-beda. Banyaknya etnis suku bangsa di Indonesia karena itu merupakan hal wajar. Menerima kenyataan perbedaan inilah yang perlu dipahami bersama. Karena itu, usaha memerlakukan dan membentuk keseragaman bukanlah hal yang dapat dibenarkan.

Meski demikian, semua perbedaan haruslah diikat oleh kesatuan sebagai bangsa yang satu bangsa Indonesia. Semangat Bhineka Tungal Ika yang sering dimaknai sebagai ‘berbeda-beda tetapai tetap satu juga’ sesungguhnya memberi ruang semua perbedaan itu. Kesadaran untuk satu sebagai bangsa Indonesia tetap menjadi muara segala perbedaan tersebut.

Konsep ini haruslah menjadi dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan nasional dikembangkan dengan prinsip menghargai dan memberi ruang perbedaan-perbedaan di masing-masing daerah dan lembaga pendidikan. Meski demikian, segala perbedaan budaya lembaga pendidikan haruslah diikat oleh pembentukan pola pikir, tindakan, dan karakter yang mencerminkan manusia Indonesia.

(22)

beragam harus diterima sebagai kewajaran. Output pendidikan yang secara ideal membentuk karakter haruslah menjadi tujuan bersama. Hal ini tampaknya merupakan kemutlakan karena setelah munculnya regulasi otonomi daerah pada tahun dua ribuan, semangat kedaerahan menjadi primordial yang berdampak lunturnya jiwa nasionalisme.

Menurut Agus Rifai (2006) Pengembangan karakter peserta didik dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui pendidikan multikultural haltersebut didasarkan atas . Pertama, bahwa secara alami atau kodrati, manusia diciptakan Tuhan dalam keanekaragaman kebudayaan, dan oleh karena itu pembangunan manusia harus memperhatikan keanekaragaman budaya tersebut. Dalam konteks keindonesiaan maka menjadi keniscayaan bahwa pembangunan manusia Indonesia harus didasarkan atas multikulturalisme mengingat kenyataan negeri ini berdiri di atas keanekaragaman budaya.

Kedua, bahwa ditengarai terjadinya konflik sosial yang benuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang melanda negeri ini pada dasawarsa terakhir berkaitan erat dengan masalah kebudayaan. Dari banyak studi menyebutkan salah satu penyebab utama dari konflik ini adalah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Berbagai konflik sosial yang telah menimbulkan keterpurukan di negeri ini disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah orang lain, melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi sesama, kurangnya sesetiakawanan sosial, dan tumbuhnya sikap egois serta kurang perasaan atau kepekaan sosial.

(23)

dicapai, maka kemungkinan disintegrasi bangsa dan munculnya konflik dapat dihindarkan. Konflik antarbudaya yang disebut oleh Huntington sebagai benturan antar peradaban akan mendominasi politik global. Dalam bukunya yang terkenal, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, Hantington menyebutkan bahwa terjadinya. berbagai konflik sosial dan etnis di berbagai belahan dunia antara lain disebabkan oleh perbedaan kebudayaan yang semakin nyata. Untuk menghindari benturan tersebut, atau setidaknya meminimalkan dampak dari benturan tersebut, pemahaman tentang multikulturalisme menjadi amat penting.

(24)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembelajaran karakter multikultural dilakukan dengan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan sehingga muncul kesadaran nasional keindonesiaan. Karakter tersebut meliputi: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. Terwujudnya karakter tersebut menjadi landasan kuat sebagai ciri khas manusia Indonesia yang kuat. Kekuatan ini menjadi energi besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa besar di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar hanya dapat diwujudkan melalui karakter manusia yang kuat. Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme dan nilai karakter inilah salah satu harapan menuju Indonesia besar di masa depan dengan keyakinan kolektif sebagai bangsa.

Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan karakter yang berladaskan multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam konflik.

(25)

budaya baru dari luar negeri ke Indonesia. Melalui karakter dan multikultural yang memperkenalkan budaya asli kepada peserta didik diharapkan agar peserta didik tidak melupakan asal budayanya sendiri.

B. Saran

Dari pembahasan dan kesimpulan tersebut maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Bagi para generasi muda pembelajaran pendidikan karakter dan multikultural tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, olehnya itu kita sebagai generasipenerus bangsa harus berusaha mengendalikan perubahan itu ke arah yang positif tercita karaker-karater yang baik serta bebudaya yang dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang makmur dan damai.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Agus Rifai. Perpustakaan dan Pendidikan Multikultural. Artikel Peserta Lomba Penulisan Karya Ilmiab bagi Pustakawan.

Agus sutomo. (2008). Pendidikan Multikultural. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.

Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.

Budi Susilo Soepandji, Strategi umum pembangunan sdm berkualitas dalam penegakan

Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press,2003.

Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Kartono, Kartini. Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004. kepribadian, penegasan kemandirian bangsa menjalin sinergi kebangkitan bangsa

melalui kristalisasi partai politik,Keynote adress, KGB-II, Surabaya, 2010 Lickona, Thomas. 1991. Pendidikan Karakter. New York: Bantam Books.2004.

Mahfud Choerul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Ryan, Kevin dan Karen E. Bohlin. 1999. Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: JOSSEY-BASS A Wiley Imprint.

Said Agil Siraj. 2007. Upaya Membangun Kembali Kebangsaan dalam Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi. Forum Intelektual Indonesia-Konferensi Guru Besar Indonesia. Jakarta 16-17 Mei 2007.

Suwignyo, Agus.“Menuntut Globalisasi Yang Manusiawi,” Kompas, 15 Februari 2007.

(27)

Syamsul Ma' arif. (2005). Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Y ogyakarta: Logung Pustaka

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dari hal tersebut juga dapat dihitung keuntungan bersih maksimal pengelola rekreasi yaitu area dibawah kurva MMP dikurangi area di bawah kurva MBP atau area OAD – (area

Dalam al-Quran, misalnya, Allah SWT menggambarkan bahwa orang-orang yang saling berwasiat satu sama lain untuk saling berkasih sayang akan mendapatkan keberkahan, baik di dunia

Atribut produk The Body Shop Bandung yang terdiri dari merek,harga, kualitas, desain, kemasan, dan label secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap proses

Seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa inti dari viral marketing adalah strategi pemasaran yang dapat menyebabkan orang-orang

Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap kekerasan orangtua, dan ada hubungan negatif yang sangat

Satuan peta (i) Suatu konsep kelompok dari satu sampai banyak delineasi yang diidentifikasi dengan nama yang sama dalam survei tanah yang menunjukkan areal lanskap yang sama

Walaupun Tuhan dalam Agama Hindu sudah jelas disebutkan dalam weda bahwa Tuhan itu tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, tetapi kalau orang sembahyang tidak membayangkan