• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Poskolonial Sastra Pembebasan Sastra Poskolonial Sastra Pembebasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sastra Poskolonial Sastra Pembebasan Sastra Poskolonial Sastra Pembebasan"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan Posted on June 3, 2010 by ginonjing

Oleh: Muhammad Ridha

Penulis, adalah Pustakawan di rumah buku carabaca Makassar

Sehari semalam lalu aku masih diliputi kemegahan Eropa, kini kudapati diriku dikelilingi orang-orang Melayu berbaju norak, berparfum memeningkan kepala, di atas kapal besi besar bau minyak bak rongsokan hanyut. Kawan, inilah aku, berpeluh-peluh di bawah cerobong asap, baru saja ditinggalkan masa-masa jaya. Keluh Andrea Hirata dalam Mariama Karpov Mimpi-Mimpi Lintang (2008).

Wacana sastra Indonesia masih belum beranjak dari sekedar pergumulan simbolis yang minim makna pembebasan. Yang berkembang hanya berputar di sekitar wilayah ‘sastra perempuan’ (karya-karya yang dituliskan oleh perempuan dekade terakhir ini yang dianggap sebagai kebangkitan baru pengarang perempuan), sastra koran (kritik dan karya sastra yang biasa terbit setiap minggu di koran-koran Indonesia), ‘sastra wangi’ (karya dari pengarang perempuan yang biasanya bertema seks), atau misalnya perdebatan antara sastra realis (seperti karya-karya Pramudya) atau eksperimental (diwakili paling tidak oleh Iwan Simatupang dan Putu Wijaya). Di antara semuanya, ‘realisme’lah yang kemudian melahirkan tokoh sastra terkemuka kelas dunia, Pramudya Ananta Tuor. Berkali-kali ia menjadi nominator peraih nobel sastra. Ia menunjukkan kualitasnya dari karya-karya yang ia sebut sendiri sebagai ‘realisme sosialis’. Selain Pramudya nampaknya belum ada karya yang lahir dari penulis-penulis berikutnya yang bisa ‘diperhitungkan’.

Tetapi dalam tulisan ini kita tidak akan ‘mengukur’ kualitas-kualitas karya itu. Bukan

kompetensi penulis. Lagi pula kualitas itu adalah subjektifitas yang mengalami (membacanya). Tulisan ini hanya mempertanyakan betapa banyak tren sastra yang telah silih berganti memasuki ruang sastra kita di Indonesia namun demikian sedikit yang coba bermain di wilayah sosial yang lebih membebaskan. Juga mempertanyakan pendirian sastra yang selalu hanya menunjukkan wataknya yang ‘borjuis’, jauh dari problem-problem sosial masyarakat banyak. Mengapa tidak berkembang model sastra yang lebih menyuarakan persoalan-persoalan sosial, penindasan atau kemiskinan? Mengapa yang berkembang justru ‘sastra wangi’ atau ‘sastra koran’ yang

menunjukkan eksistensinya sebagai pengetahuan elitis di tengah masyarakat Indonesia yang sedang didera kebangkrutan pada banyak hal? Tidak adakah alternatif sastra yang bisa dikembangkan untuk problem sastra dan sosial di Indonesia sekarang?

Pemikir Poskolonial Awal

Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan terakhir di atas. Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini saya akan memberikan satu jawaban alternatif yang nampaknya minimal; sastra poskolonial. Sebentuk wacana sastra yang mencoba mengkaji masalah kolonialisme dan apa yang telah ditinggalkannya dalam struktur kebudayaan masyarakat pascakolonial. Alternatif kajian ini banyak dikembangkan utamanya oleh intelektual dari negara-negara pascakolonial. Seperti India ada Gayatri Spivak, Leela Ghandi, Ania Loomba, Homi Bhaba, dll. Palestina, dan inilah yang dianggap menyediakan basis untuk kritik nalar kolonialisme melalui karya babonnya,

(2)

Dengan meminjam analisis Fuchoult tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan, Said, menemukan adanya relasi antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme, dengan kuasa kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme ini seperti gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat, budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme. Bahkan Nyoman Kuta Ratna dalam buku Poskolonialisme Indonesia relevansi sastra menyebutkan ‘orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme atau imperialisme itu sendiri’ (2008;27). Kata Said ‘orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan, antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior’ (kuta Ratna; 2008;32). Konstruksi itulah yang masih tersisa dari proses pengulang-ulangan pengetahuan tentang ‘inferioritas’ timur oleh orientalisme dalam bentuk mental, meminjam Vissia Ita Yulianto dalam pesona barat (2007)sebagai mental Inlander. Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti mengerahkan ‘aparatus ideologis’ negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi yang dikoloni. Mereka memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, ‘prilaku layak’, dan secara jangka pajang mengkonstruksi nalar pribumi.

Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori pengetahuan barat yang ternyata tidak pernah ‘netral’, namun memuat struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan data-data (pseudo) ilmiah. Mungkin Said ingin berpesan bahwa sudah saatnya dunia (kususnya dunia yang dikatakan timur, dunia ketiga atau negara berkembang) membuka mata akan kepalsuan metodologis barat. Dibanding melulu memuja barat, akan lebih baik meletakkannya dalam diskursus yang lebih kritis.

Bila Said melalui orientalisme, sebuah buku rumit yang ditulis melalui riset serius atas naskah-naskah kolonial, maka Spivak mengenalkan dirinya masuk menjadi intelektual poskolonial melalui artikel pendeknya berjudul ‘can the subaltern speak?’ dan bukunya A Critique of postkolonial reason. Naskah ini telah banyak dikutip sebagai contoh teks teori poskolonial (Stephen K Morton;2008).

Tulisan-tulisan Spivak yang terpenting adalah konsepsi yang berkisar pada kajian subaltern. Berangkat dari pengamatan tentang bagaimana perempuan-perempuan selatan terpinggirkan dan tidak bisa bersuara. Perempuan, petani desa, kaum terpinggirkan lainnya inilah yang disebut oleh Spivak sebagai subaltern. Konsepsi ini sebenarnya pernah disebutkan oleh Gramsci untuk merujuk petani desa di Italia yang tersubordinasi oleh kekuatan negara. Spivak sendiri menganggap bahwa suara dan perwakilan perempuan dimarjinalkan (Morton;2008;194). Asumsi ini lahir dari pengamatannya tentang kasus bunuh diri janda di India selatan lalu kasus bunuh diri Bhubaneswari Bhaduri di Calcutta. Kasus perempuan terakhir ini lain dari kasus bunuh diri biasanya di India. Bunuh diri biasanya disebabkan oleh hamil di luar nikah yang bagi warga India itu dianggap tabu. Tetapi bunuh diri yang dilakukan ini tidak memperlihatkan ia hamil karena saat ditemukan ia sedang menstruasi. Tetapi dia tetap diduga bunuh diri karena hamil. Dugaan ini sepenuhnya salah setelah sepuluh tahun. Bukti ditemukan bahwa perempuan ini seorang anggota samitis, organisasi yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan India. Dia dipercaya melakukan pembunuhan politis yang gagal dilaksanakannya. Mungkin inilah yang menyebabkan Bhubaneswari bunuh diri. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan tetapi tidak bisa disuarakan. Dalam tubuhnya yang mati seolah merupakan ‘teks sastra’ yang bercerita

(3)

Konsepsi subaltern ini adalah pandangannya yang kritis tentang kondisi poskolonial. Utamanya nasionalisme poskolonial. Dia berpendapat bahwa kemerdekaan politik banyak bekas koloni Eropa pada abad ke-20 gagal mengarahkan kelompok-kelompok subaltern yang tertindas, seperti kaum perempuan, kaum tani, kaum miskin desa atau orang buta huruf pada kemerdekaan sosial (Morton;9). Tentunya ini sebuah kegelisahan eksistensial yang mengagumkan dari seorang anak yang lahir dari tanah yang juga pernah dijajah kolonial Eropa tetapi mampu bangkit melakukan proses dekolonisasi. Dia adalah contoh intelektual yang memiliki nafas panjang terus melakukan kritik-kritik teoritis atas konsepsi teoritis barat yang mengandung secara inheren narasi kolonial dan imperialisme. Begitu mengagumkannya seorang sastrawan yang menulis dengan kritis dan substantif bagi sebuah makna pembebasan manusia.

Fanon menulis dengan nada yang marah. Bumi berantakan (2000), buku karyanya, disebut sebagai pegangan bagi revolusi hitam yang sukses di negerinya; Aljazair. Buku ini adalah kecaman bagi kulit putih dan barat agar sadar bahwa kolonalisme telah berakhir. Bukunya telah menginspirasi praktik-praktik revolusi dan reorganisasi sosial. Fanon adalah seorang psikiater kulit hitam yang sukses keluar dari kolonisasi mental yang dikonstruksi oleh kolonialisme, bahkan mengorganisir dan menginspirasi gerakan-gerakan dekolonisasi Afrika.

Sastra Poskolonial

Tokoh-tokoh yang diceritakan dengan singkat disini kira-kira telah memberi harapan bagi bangkitnya kesadaran intelektual negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk bergegas dan berusaha menyadarkan dirinya dari kooptasi pengetahuan kolonial. Orang-orang ini telah membuktikan bahwa pengetahuannya terbukti benar. Bahwa kolonialisme belum pernah berakhir. Dia masih terus ada, terutama di dalam batok kepala oang-orang pascakolonial di Negara-negara berkembang.

Dalam ranah sastra pendekatan poskolonial ini banyak digunakan oleh sastrawan terkemuka. Sebut misalnya V.S Naipaul dalam Sebuah Rumah Untuk Tuan Biswas, Naguib Mahfus dengan Harafisy, Kantapura karya Raja Rao dari India, dan mungkin karya-karya Jumpha Lahiri yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tentunya ini sebuah kemajuan. Novel-novel raksasa yang memiliki kekuatan berbicara dan bersuara tentang posisi poskolonialitas yang demikian kompleks. Pendeknya narasi-narasi ini ingin menyampaikan perlawanan kepada politik sastra kolonial. Pertanyaannya, sudah adakah penulis Indonesia yang mulai memakai pendekatan poskolonial dalam karyanya? Menurut Katrin Bandel dalam Sastra, Perempuan, Seks (2006) bahwa dalam novel cantik itu luka karya Eka Kurniawan terdapat unsur-unsur poskolonialitas. Novel ini, katanya, menggunakan perspektif baru tentang sejarah dan tentang realisme. Apa yag kemudian disebut oleh Bandel (2006) sebagai ‘realisme magis’. Teks ‘realisme magis’ sudah lama ditenggelamkan oleh kolonialisme dalam prakteknya menumpas kelompok-kelompok tarekat dan azimat di seluruh Hindia Belanda. Mungkin ini yang coba diangkat oleh Eka Kurniawan dalam Cantik itu luka. Bahwa sejarah tidak mesti linier dan positifis seperti dalam ilmu sosial Eropa pada umumnya, ada ruang untuk yang magis dan real.

(4)

Kita berharap untuk segera merdeka sepenuhnya. Tidak melulu terjebak dalam kubangan pascakolonial yang tak selesai-selesai. Harus ada dekolonisasi agar tidak terjangkit inferiority complex seperti karya Andrea Hirata tetralogi Laskar Pelangi yang tidak pernah merasa bisa apa-apa terkecuali dia masuk bergabung dalam kafilah modernitas yang selalu hanya ada di Eropa, di desa Edensor atau di kampus Sorbonne, Paris. Andrea, mungkin, termakan, meminjam isilah Said, teks-teks predatoris kolonialisme yang menanam penyakit inferiority complex jauh di dalam ‘batok kepalanya’. Mungkin inilah yang ingin dilakukan oleh teoritisi

sastravissiposkolonial; membebaskan nalar inlander yang ada dalam batok kepala kita.

Referensi

Dokumen terkait

Peran bone marrow mesenchymal stem cells (BMMSC) terhadap perubahan seluler hyperplasia pada organ kelenjar adrenal tikus hipertensi adalah meregenerasi sel yang

Artemy Gelato merupakan tempat yang nyaman untuk berkumpul bersama teman-teman X2 Total Banyak saran dari teman untuk pergi ke Artemy Gelato Anda percaya dengan saran tentang

Di samping siswa kurang berani dan terlatih untuk berbicara di depan umum, penyebab utama rendahnya kemampuan anak TK B, TK Pertiwi Nglundo Sukomoro Nganjuk

Shukla ve ark (1999) ile benzer şekilde, topikal uygulanan fizyolojik tuzlu suyun iyileşen deri yarası dokusunda hidroksiprolin düzeyini etkileyebileceği yönünde

Karena derajat disosiasi asam lemah kecil, maka berdasarkan persamaan kimia dari reaksi ionisasi asam lemah tersebut diketahui bahwa konsentrasi ion hidrogen sama dengan

Kontak langsung IFAT,ELISA, Isolasi virus, Uji biologik, Pemeriksaan Histopatologik, Uji Mikroskopik, Uji Serologik Anjing, Kucing 10 hr-8mg Sapi, Kambing, Kuda dan Babi

PT.BAT Indonesia mengalami peningkatan nilai DER setelah akuisisi yang berarti jika dilihat dari rasio solvabilitas kinerja keuangan PT.BAT Indonesia tidak menjadi