• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran LPSE dalam Meningkatkan Efisiensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran LPSE dalam Meningkatkan Efisiensi"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN LPSE DALAM MENINGKATKAN EFISIENSI

PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Farisa Noviyanti

8D DIV Akuntansi Kurikulum Khusus, STAN, Tangerang Selatan email: chabadres@gmail.com

AbstrakEfisiensi adalah tantangan utama yang dihadapi dalam pengadaan barang publik di Indonesia. Terkait isu tersebut, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) terus mendorong agar pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, transparan, terbuka, dan berlaku adil bagi semua pihak. Hingga saat ini, perkembangan sistem pengadaan di Indonesia sangat menggembirakan. Terhitung pada akhir tahun 2013, tercatat sudah terbentuk 595 Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke di 34 provinsi seluruh Indonesia. Sebanyak 313 ribu pelaku usaha, yang didominasi oleh pengusaha kecil, terlibat aktif dalam 231 ribu paket yang sudah dilelangkan dengan nilai 416 trilyun rupiah dan efisiensi sekitar 44 trilyun rupiah. Sebuah nilai yang tidak bisa disebut kecil terlebih ditambah dengan kemudahan penggunaan dan manfaat besar lainnya.

Kata Kunci:Pengadaan, LKPP, LPSE, e-procurement

1. PENDAHULUAN

Di negara berkembang khususnya Indonesia, pengadaan barang publik akan selalu menghadapi banyak tantangan dalam pengembangannya. Setiap negara memiliki lingkungan ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang tidak ringan. Pengadaan barang publik memiliki fungsi penting bagi pemerintahan dengan berbagai alasan berikut. Pertama, besarnya dana yang terserap mengakibatkan besar pula pengaruhnya bagi perekonomian dan perlu dikelola dengan baik. Memang, di semua negara di dunia, pada periode tahun 2000-an perkiraan besaran dana pemerintah yang terserap dalam pengadaan mencapai 10% hingga 30% dari PNB. Untuk itulah, kemudian faktor efisiensi dan efektivitas anggaran pengadaan publik menjadi perhatian khusus dalam penyusunan kebijakan.

Yang kedua, pengadaan barang publik telah dimanfaatkan sebagai alat utama mencapai target-target ekonomi, sosial dan lainnya. Besarnya anggaran belanja pemerintah mengakibatkan pengadaan barang publik menjadi motor penggerak diterbitkannya berbagai kebijakan ekonomi. Terbitnya Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengaadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah merupakan satu bentuk kebijakan terkait pengadaan publik dalam upaya mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan keberpihakan kepada pengusaha kecil. Dimana pada akhirnya semua berdampak luas pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Ketiga, dengan berbagai alasan pengadaan publik memiliki potensi untuk disalahgunakan atau dalam

bahasa masa kini mengandung potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi momok menakutkan dari pembangunan. Keempat, globalisasi dan pasar bebas adalah merupakan tantangan yang tidak bisa dianggap ringan bagi sektor pengadaan publik. Entitas pengadaan publik harus bisa menyesuaikan kebijakan dan target pengembangan pengadaan publik dengan tuntutan globalisasi.

Kelima, di negara berkembang ketidakselarasan antara lingkungan ekonomi, sosial dan politik terkait pengadaan publik terjadi terhadap dua hal penting yaitu, manajemen dan kebijakan. Ruang lingkup manajemen adalah terkait komponen cost yaitu kualitas, waktu dan biaya (lebih dari sekedar persoalan harga), meminimalisasi resiko usaha, keuangan dan teknis, meningkatkan kompetisi dan memperbaiki integritas. Sedangkan di sisi kebijakan pengadaan termasuk di dalamnya tentang sasaran ekonomi, lingkungan, sosial, dan perdagangan internasional adalah sangat sulit bagi pembuat kebijakan dan entitas pengadaan untuk memilih prioritas optimal selalu saja ada yang harus dikorbankan untuk mencapai salah satu tujuan.

Terakhir, seiring dengan tantangan-tantangan di atas termasuk pesatnya perkembangan teknologi menempatkan aktivitas pengadaan publik tidak lagi sebagai sebuah kegiatan sekunder dalam pembangunan nasional dan daerah. Praktisi pengadaan juga harus terlibat dalam perencanaan pengadaan publik karena perannya yang besar dalam menentukan keberhasilan pembangunan.

(2)

pengertian bahwa kegiatan pengadaan barang/jasa hanyalah proses administratif dari upaya mendapatkan barang/jasa dengan beberapa pilihan kegunaan. Hal ini memunculkan variasi kinerja terhadap barang/jasa yang sejenis. Perubahan ke arah strategical adalah bahwa proses pengadaan barang/jasa didekati sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkesinambungan. Elemen strategis dalam siklus pengadaan barang/jasa adalah manajemen sumber daya (sourcing), pelelangan (tendering), manajemen kontrak (contract management) dan manajemen aset (asset man-agement).

Konsep ini memperkenalkan tentang pengadaan barang/jasa sebagai suatu siklus utuh dari proses pemenuhan kebutuhan pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat atau public services. Oleh karena itu, penerapan teknologi informasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan-tantangan di atas [1].

2. PEMBAHASAN

a. Urgensi Efisiensi dan Transformasi Pengadaan Barang Publik

Menurut Edquist et al (2000) pada prinsipnya, pengadaan publik (public procurement) adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik untuk mendapatkan barang (goods), bangunan (works), dan jasa (services) secara transparan, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Dalam hal ini, pengguna bisa individu, unit organisasi, atau kelompok masyarakat luas.

Semua pengadaan yang sumber dananya dari pemerintah baik melalui APBN, APBD, maupun perolehan dana masyarakat yang dikelola oleh institusi pemerintah dikategorikan sebagai public procurement, oleh sebab itu seluruh kegiatan dan proses pengadaannya harus mengacu dan mengikuti Peaturan Presiden No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya.

Urgensi efisiensi pengadaan barang publik tersebut terlihat jelas dari struktur belanja pada APBN Indonesia sebagai sumber dana utama pengadaan barang/jasa pemerintah yang trend-nya cenderung naik setiap tahunnya. Sebagai contoh, dari total belanja APBN tahun 2013 sebesar Rp 1.680 triliun, setidaknya 40 persen APBN Indonesia terfokus pada pengadaan barang/jasa pemerintah seperti pada belanja barang, belanja modal, sebagian belanja bantuan sosial, dan belanja hibah. Salah satu kebijakan belanja pemerintah yaitu dapat meningkatkan dampak anggaran (multiplier effect) dari setiap pengeluaran, agar APBN semakin efektif dalam memberikan stimulus kepada perekonomian. Belanja pemerintah melalui belanja barang dan belanja modal mendapat perhatian yang cukup besar karena pengaruhnya yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Apabila anggaran tersebut dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk

pembangunan nasional, maka laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tentu akan semakin meningkat [2].

Ironisnya penyelewengan paling sering terjadi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Kontrak yang tidak sesuai ketentuan, proses tender yang tidak benar, mark-up harga dengan besaran yang tidak masuk akal, pejabat pembuat komitmen yang nakal, tidak maksimalnya hasil kerja penyedia, serta berbagai kasus lainnya, merupakan bentuk-bentuk penyelewengan yang pada akhirnya membuat ke-giatan pengadaan menjadi sebuah keke-giatan pemborosan anggaran. Hal ini terbukti dengan 80% kasus korupsi yang ada dan dilaporkan ke KPKadalah terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Bercermin dari hal tersebut disadari bahwa proses pengadaan yang baik akan mendukung perkembangan sebuah negara, karena pemakaian anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi negara. Sebagai contoh sebuah wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik, cenderung menarik investor untuk membangun bisnisnya di wilayah tersebut dibanding wilayah yang infrastrukturnya buruk. Kehadiran investor ini dapat mendukung perekonomian wilayah tersebut.

Kebutuhan inilah yang menjadi dasar utama kenapa Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) didirikan pada tahun 2008 lalu. LKPP merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 106 tahun 2007. LKPP merupakan lembaga pemerintah satu-satunya yang mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan perumusan kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, LKPP dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Di pundak lembaga inilah tugas membangun kebijakan dan sistem pengadaan publik diberikan, dengan harapan dapat menciptakan pengadaan yang kredibel dan menyejahterakan masyarakat. Dari LKPP kemudian lahir Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang menjadi regulasi utama pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai pengganti Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

(3)

good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

Pembukaan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di sejumlah wilayah memperlihatkan adanya semangat reformasi pengadaan di tiap Kementerian/Lembaga/Daerah/ Instansi (K/L/D/I). K/L/D/I wajib melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik untuk sebagian/seluruh paket-paket pekerjaan pada Tahun Anggaran 2012. Komitmen ini diperkuat dengan adanya kewajiban menuju 100% e-procurement yang diamanatkan sesuai Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013 [3].

b. Peran LPSE dalam Pengadaan Barang Publik Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) adalah unit kerja yang dibentuk di seluruh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/lnstitusi Lainnya (K/L/D/I) untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik serta memfasilitasi Unit Layanan Pengadaan (ULP) atau Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. ULP atau Pejabat Pengadaan pada Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN yang tidak membentuk LPSE dapat menggunakan fasilitas LPSE yang terdekat dengan tempat kedudukannya untuk melaksanakan pengadaan secara elektronik. Selain memfasilitasi ULP atau Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik, LPSE juga melayani registrasi penyedia barang dan jasa yang berdomisili di wilayah kerja LPSE yang bersangkutan [4].

Pada awalnya LPSE hanya berposisi sebagai tim

ad hoc yang dibentuk oleh kepala instansi (gubernur, walikota, dan menteri). Pada perkembangan selanjutnya, sebagian instansi telah mendirikan LPSE secara struktural seperti di Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sumatera Barat. Pada proses pengadaan, LPSE hanya sebagai fasilitator yang tidak ikut dalam proses pengadaan. Pelaksanaan proses pengadaan sepenuhnya dilakukan oleh panitia pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan/ULP. LPSE tidak hanya melayani pengadaan dari instansi tempat LPSE tersebut berada. LPSE Kementerian Keuangan misalnya, memfasilitasi pengadaan dari LKPP, KPK, Komisi Yudisial, dan PPATK. Hal serupa juga terjadi di LPSE-LPSE lain seperti di LPSE Universitas Diponegoro, LPSE Provinsi Jawa Barat, LPSE Provinsi Sumatera Barat, LPSE Kota Yogyakarta, dan LPSE Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dasar hukum pembentukan LPSE adalah Pasal 111 Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang ketentuan teknis operasionalnya diatur oleh Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan pengadaan Secara Elektronik. LPSE dalam menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan

barang/jasa secara elektronik juga wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

c. Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Awal mula penerapan e-procurement di Indonesia diinisiasi dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 bahwa setiap instansi mulai diperbolehkan menggunakan teknologi informasi dalam pengadaan. Inisiatif paling menonjol sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Selanjutnya pada tahun 2004, melalui Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian diperintahkan melakukan ujicoba pelaksanaan e-procurement untuk kemudian dipergunakan bersama instansi pemerintah lainnya.

SPSE merupakan aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh Direktorat e-Procurement - LKPP untuk digunakan oleh LPSE di seluruh K/L/D/I. Aplikasi ini dikembangkan dengan semangat efisiensi nasional sehingga tidak memerlukan biaya lisensi, baik lisensi SPSE itu sendiri maupun perangkat lunak pendukungnya. Instansi dengan anggaran yang terbatas tetap dapat menerapkan SPSE karena tidak diperlukan biaya lisensi kecuali pembelian server dan sewa akses internet. SPSE dikembangkan menggunakan Java dan database PostgreSQL sehingga dapat berjalan di Platform Linux. SPSE dikembangkan sejak tahun 2006 dengan mengacu pada business process yang tertuang pada Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003.

SPSE dikembangkan oleh LKPP bekerja sama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lembaga Sandi Negara mengembangkan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO). Dokumen penawaran dari peserta lelang dienkripsi dan didekripsi menggunakan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO). Sub sistem e-audit

dikembangkan bekerja sama dengan BPKP yang memungkinkan SPSE mengeluarkan informasi detail tentang proses lelang untuk keperluan audit.

(4)

barang/jasa melalui katalog elektronik (e-purchasing) [5].

d. Ketentuan Umum Pengadaan Secara Elektronik Melalui LPSE

Tata Cara Pengadaan Secara Elektronik Pengadaan secara elektronik atau e-procurement adalah pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan baik melalui e-tendering atau e-purchasing.E-tendering adalah tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan ecara elektronik dengan cara menyampaikan 1 (satu) kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan.

Ruang lingkup e-tendering meliputi proses pengumuman pengadaan barang/jasa sampai dengan pengumuman pemenang. Para pihak yang terlibat dalam e-tendering adalah PPK, ULP/Pejabat Pengadaan dan penyedia barang/jasa. E-tendering dilaksanakan dengan menggunakan sistem pengadaan secara elektronik yang diselenggarakan oleh LPSE. Aplikasi e-tendering tersebut sekurang-kurangnya memenuhi unsur perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan kerahasian dalam pertukaran dokumen, serta tersedianya sistem keamanan dan penyimpanan dokumen elektronik yang menjamin dokumen elektronik tersebut hanya dapat dibaca pada waktu yang telah ditentukan.

Sistem e-tendering yang

diselenggarakan oleh LPSE wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) mengacu pada standar yang meliputi

interoperabilitas dan integrasi dengan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik; 2) mengacu pada standar proses pengadaan

secara elektronik; dan

3) tidak terikat pada lisensi tertentu (free license). Cara yang kedua adalah melalui e-purchasing, yaitu tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik. Katalog elektronik atau e-catalogue adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah. Selain e-catalogue untuk kendaraan GSO (Government Sales Operation), banyak K/L/D/I yang menunggu

e-catalogue untuk barang-barang lain. Dewasa ini LKPP sedang mempersiapkan e-catalogue untuk obat-obatan dan alat kesehatan habis pakai. Selanjutnya LKPP

akan mengkaji kemungkinan e-catalogue

untuk sewa penginapan/hotel, dan barang/jasa lain yang harganya telah bersaing di pasar (seperti ATK, alat elektronik, dsb).

Dalam rangka pengelolaan sistem katalog elektronik tersebut, LKPP melaksanakan Kontrak Payung dengan penyedia barang/jasa untuk barang/jasa tertentu. Kontrak Payung (Framework Contract) merupakan Kontrak Harga Satuan antara pemerintah dengan penyedia barang/jasa yang dapat dimanfaatkan oleh K/L/D/I untuk (1) menjamin harga barang/jasa yang lebih efisien, ketersediaan barang/jasa terjamin dan sifatnya dibutuhkan secara berulang dengan volume atau kuantitas pekerjaan yang belum dapat ditentukan pada saat kontrak ditandatangani; dan (2) pembayarannya dilakukan oleh setiap PPK/Satuan Kerja yang didasarkan pada hasil penilaian/pengukuran bersama terhadap volume/kuantitas pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa secara nyata.

Dalam hal pengumuman, berbeda dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, aturan dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tidak lagi mewajibkan pengumuman pemilihan penyedia barang/jasa melalui surat kabar (baik lokal maupun nasional). ULP/Pejabat Pengadaan yang melakukan pelelangan/seleksi, wajib menayangkan pengumumannya di website K/L/D/I masing-masing, papan pengumuman resmi, dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE masing-masing/terdekat. Tatacara pengumuman melalui website adalah dengan mengunggah pengumuman tersebut ke website K/L/D/I masing-masing dan mengirimkannya ke LPSE untuk dimasukkan dalam Portal Pengadaan Nasional. Apabila belum memiliki LPSE, K/L/D/I dapat menggunakan LPSE terdekat.

Layanan Pengadaan Secara Elektronik Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi(K/L/D/I) membentuk LPSE untuk memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Namun, ULP/Pejabat Pengadaan pada Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN yang tidak membentuk LPSE, dapat melaksanakan Pengadaan secara elektronik dengan menjadi pengguna dari LPSE terdekat.

Fungsi pelayanan LPSE paling kurang meliputi: 1) administrator sistem elektronik;

2) unit registrasi dan verifikasi pengguna; dan 3) unit layanan pengguna.

(5)

pelayanan (Service Level Agreement) dengan LKPP. Sebaliknya, LKPP melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik.

Untuk dapat mengikuti tender melalui LPSE, penyedia harus mendaftar pada masing-masing instansi yang dikehendaki. Halaman situs LPSE Nasional berisi daftar alamat situs dari Instansi Pusat dan Daerah yang telah menerapkan pelelangan secara elektonik menggunakan aplikasi SPSE. Portal Pengadaan Nasional ini menjadi pintu gerbang dari sistem informasi elektronik yang terkait dengan informasi pengadaan barang/jasa secara nasional yang dikelola oleh LKPP. Namun dalam pengembangan yang telah dilakukan saat ini, SPSE sudah mulai melakukan agregasi sehingga saat ini pendaftaran pada salah satu LPSE sudah merupakan pendaftaran pada beberapa LPSE lainnya. Dalam jangka panjang tentunya seluruh situs akan tergabung dalam agregasi sehingga penyedia tidak harus melakukan pendaftaran berulang-ulang ke beberapa LPSE [6].

d. Kendala: Penerapan SPSE dengan Server yang Tersentralisasi

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 13.000 pulau. Infrastruktur teknologi informasi masih menjadi kendala besar dalam implementasi e-procurement. Di sebagian besar wilayah, internet masih merupakan barang yang mahal. E-procurement memerlukan bandwith yang cukup besar karena di dalamnya ada proses upload

dokumen dengan ukuran beberapa megabyte. Sangat tidak efisien, atau tidak mungkin, jika ada satu server

tunggal, di Jakarta misalnya, untuk melayani seluruh instansi di Indonesia.

Implementasi SPSE secara terdesentralisasi masih dipilih karena pengguna dan penyedia barang/jasa berada pada lingkup geografis yang terbatas/clustered. Setiap instansi perlu membangun LPSE dan memiliki server sendiri. Secara alamiah, pihak-pihak yang terlibat di dalam proses pengadaan berada pada lingkup geografis yang terbatas. Pengadaan di Kabupaten Malang misalnya, mungkin 90% lebih pesertanya berdomisili di Kabupaten Malang dan kota-kota terdekat seperti Surabaya, Pasuruan, atau Sidoarjo. Merupakan hal yang tidak efisien jika dokumen-dokumen dari Malang diupload

dan disimpan di Jakarta kemudian didownload

kembali ke Malang. Jauh lebih efisien jika dokumen-dokumen itu diupload dan disimpan di server yang berada di Malang.

Selain itu, tidak semua penyedia memiliki akses internet yang cukup besar (idealnya minimal 1 mbps) untuk melakukan upload dokumen penawaran. Belum lagi kebiasaan penyedia untuk mengirimkan penawaran di jam atau menit terakhir. Kondisi ini menyebabkan potensi kegagalan upload sangat besar. Untuk itu, jika dokumen penawaran berukuran besar dan bandwidth di sisi penyedia tidak memadai,

mereka dapat datang ke kantor LPSE untuk upload

dari jaringan lokal (LAN) dengan kecepatan 100 mbps. Fasilitas upload melalui LAN ini tidak mungkin tersedia jika server LPSE terpusat di Jakarta.

Memang ada beberapa pertanyaan mendasar dari penyedia: apa bedanya dengan lelang konvensional jika penyedia masih perlu datang ke kantor LPSE untuk memasukkan penawaran. Jawaban pertanyaan ini adalah, mahalnya biaya akses internet bukan di ranah kewenangan dan tanggung jawab LPSE sehingga LPSE tidak dapat membuat akses ini menjadi murah. Untuk membuat biaya akses murah merupakan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Jika biaya akses internet telah dapat sangat murah, penyedia tidak perlu lagi datang ke kantor LPSE.

Kendala lainnya adalah infrastruktur teknologi informasi masih terbatas dan mahal. Implementasi e-procurement yang terpusat seperti Koneps di Korea atau GeBIZ di Singapura tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Infrastuktur IT di kedua negara tersebut sangat memadai sehingga biaya internet sangat murah. Implementasi di Singapura yang hanya seluas Jakarta, tentu jauh lebih mudah dibandingkan implementasi di Indonesia yang sangat luas [7].

3. PENUTUP

Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mengukuhkan dan menyesuaikan pemberlakuan e-procurement dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan menerapkan pelelangan secara elektronik melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan pusat koordinasi pengadaan barang/jasa (ULP), terbukti mampu mengeliminir tantangan ketiadaan standar operasional prosedur serta kebijakan dalam manajemen pengadaan publik, organisasi pengadaan yang kuat dan efektif, dan kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dan berdedikasi tinggi di tingkat nasional maupun daerah. Ketiga tantangan tersebut adalah tantangan utama pengadaan barang publik di negara berkembang sebagaimana catatan Bank Dunia.

(6)

efektivitas pengadaan barang/jasa pemerintah melalui LPSE yang dibangun dengan mewujudkan clean and good government

dapat meningkatkan laju perekonomian dan mendorong pertumbuhan PDB dan PDRB baik melalui pengurangan biaya tinggi, pergerakan sektor riil dari industri kecil dan menengah, maupun dari belanja pemerintah yang tepat sasaran sehingga menimbulkan

multiplier effect bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia.

Perkembangan pesat sistem e-procurement ini merupakan momentum penting dalam rangka mewujudkan reformasi pengadaan yang merupakan kunci utama reformasi birokrasi. Perbaikan tata kelola

pemerintahan ini memerlukan

profesionalisme sumber daya manusia yang berkecimpung di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah melalui pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP). Diharapkan tahun 2014 terbentuk 600 ULP yang tersebar

di setiap Kementerian/Lembaga/

Daerah/Instansi pemerintah (K/L/D/I). Harapannya, LPSE dan ULP akan diisi oleh para profesional dan menjadi center of excellent proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Sehingga tujuan menjadi Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan akan terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi. Selain itu, LKPP juga memotivasi setiap K/L/D/I melalui pemberian penghargaan tahunan kepada LPSE-LPSE yang memiliki kinerja terbaik sepanjang tahun dengan beberapa kriteria tertentu.

Keandalan LPSE perlu dipertahankan melalui sistem pemeliharaan dan anggaran pemeliharaan dari APBN/APBD baik terhadap hardware, database, server, bandwith, maupun terhadap peningkatan sumber daya manusia yang berintegritas dan berkompeten. Tentu masih akan banyak tantangan ke depan yang akan dihadapi, namun komitmen nasional, regulasi, dan kemauan untuk beradaptasi pada perubahan dapat menjadi modal yang kuat dalam rangka mewujudkan pengadaan barang/jasa pemerintah yang lebih baik.

DAFTAR REFERENSI

[1] Samsul, S.Sos, Kabupaten Banjar Menghadapi Tantangan Pengadaan Publik, diunduh dari Jurnal LKPP pada http://lkpp.go.id/ tanggal 25 Januari 2014.

[2] M. Trisno Hadisaputra, Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa pada APBN, diunduh dari Jurnal LKPP pada http://lkpp.go.id/ tanggal 25 Januari 2014.

[3] Senator Nur Bahagia, Sistem Pengadaan Publik dan Cakupannya, diunduh dari Jurnal LKPP pada http://lkpp.go.id/ tanggal 25 Januari 2014. [4] LPSE, Tentang Kami,

http://lpse.lkpp.go.id/eproc/tentangkami diakses tanggal 25 Januari 2014.

[5] Wikipedia, LPSE,

http://id.wikipedia.org/wiki/LPSE diakses tanggal 25 Januari 2014.

[6] Dr. Ir. Agus Prabowo dan Widita Kasih Pramita, SKM, Peninjauan Satu Tahun Pelaksanaan Perpres 54/2010 tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah, diunduh dari Jurnal LKPP pada http://lkpp.go.id/ tanggal 25 Januari 2014.

[7] LKPP, Galang Percepatan Modernisasi Pengadaan Pemerintah Melalui Penguatan LPSE dan Profesionalisme ULP,

http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/2147 diakses tanggal 25 Januari 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Tanggal efektif secara yuridis dari pengambilalihan (baik disertai perubahan anggaran dasar maupun tidak disertai perubahan anggaran dasar) adalah tanggal

[r]

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial. © Norris Noer Herwandy 2014 Universitas

satuan dari Penyedia Jasa dengan harga yang ditetapkan oleh Panitia Tender itu. namanya

[r]

keamanan energi : Maissink Link dalam sektor energi Indonesia.. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa &

Berdasarkan evalusi terhadap mahasiswa yang bersangkutan, Majelis Penguji Ujian Kualifikasi tersebut diatas menyimpulkan ybs:. LULUS UJIAN/