Program Studi Diploma IV Pariwisata
SEMINAR NASIONAL
DAN CALL FOR PAPER
2017
INOVASI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA
KREATIF SEBAGAI PENGGIAT EKONOMI
MASYARAKAT INDONESIA
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER 2017
PENYUNTING
Dr. Putu Sucita Yanthy SS.,M.Par
REVIEWER
Ida Bagus Ketut Astina, M.Si.
Nyoman Jamin Ariana,M.Par
Ni Putu Ratna Sari, SST.Par. M.Par
AA Putri Sri, M.Si
TATA LETAK
Vidya Santosa
Willy Artha
DESIGN COVER
Kevin Piring
PENERBIT:
Jl. Dr R Goris No 7
Program Studi Diploma IV Pariwisata
Fakultas Pariwisata
Universitas Udayana-Bali
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu Om
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua,
Assalamualaikum Warahmatullohi Wabarakatuh,
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
rahmatnya sehingga seminar dan call for paper 2017 dengan tema Inovasi dan Pengembangan
Pariwisata Kreatif Sebagai Penggiat Ekonomi Masyarakat Indonesia yang diselenggarakan
oleh Mahasiswa Program Studi Diploma IV Pariwisata sebagai implementasi mata kuliah
MICE terlaksana dengan baik. Diwujudkan dengan menerbitkan prosiding yang memuat
sejumlah artikel dengan berbagai topik terkait kepariwisataan Indonesia dan Bali secara
khususnya. Buku prosiding ini terdiri dari artikel para pemakalah selingkung Universitas
Udayana serta para pemakalah dari luar daerah. Sebagai rasa syukur, perkenankan kami
mengucapkan terimakasih kepada seluruh pendukung kegiatan kami.
Semoga seminar dan prodising Call For Paper 2017, bermanfaat bagi kita semua.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
Salam sejahtera bagi kita semua
Wassalamualaikum Warahmatulohi Wabarokatuh
Denpasar 11 Desember 2017
Ketua CFP 2017
DAFTAR ISI
1. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA LINTAS BATAS: STUDI KASUS
PERBATASAN INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA
Adhitia Pahlawan Putra ... 3 2. KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGENDALIKAN
AROGANSI LOCAL TOUR GUIDE DI PURA BESAKIH
Putri kusuma sanjiwani 1) W. Citra juwita sari2) ... 13 3. DAMPAK PEMBANGUNAN HOTEL BERKONSEP CITY HOTEL DI SUNSET ROAD
KUTA BALI
Komang Ratih Tunjungsari1, Komang Shanty Muni Parwati2, I Made Trisna Semara3 ... 22 4. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS BUDAYA NASIONAL DAN PROMOSI
PARIWISATA INDONESIA DI EROPA (STUDI KASUS DIASPORA BALI DI PERANCIS)
Nararya Narottama1, A.A. Ayu Arun Suwi Arianty2 ... 32 5. STRATEGI MENINGKATKAN PENJUALAN MAKANAN MENU ALA CARTE PADA
RESTORAN WARUNG BALI DI DESA WISATA SANGEH BADUNG
I Nyoman Tri Sutaguna1, Ni Made Ariani2 ... 46 6. RESIPROKALITAS WANITA DAN PENGEMBANGAN HOMESTAY DI KAWASAN
BROMO TENGGER SEMERU
Putu Gede Eka Darmaputra1,. Putu Diah Sastri Pitanatri2 ... 54 7. PARTISIPASI HOTEL-HOTEL BINTANG LIMA DALAM PENERAPAN GREEN
TOURISM DI KAWASAN ITDC NUSA DUA
Putu Ratih Pertiwi ... 62 8. PENGEMBANGAN KULINER LOKAL UNTUK MENDUKUNG PARIWISATA
BERKELANJUTAN DI DESA SANGEH KABUPATEN BADUNG
Ni Nyoman Sri Aryanti1, Agus Muriawan Putra2 ... 67 9. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN HOMESTAY DI DESA
WISATA TISTA, KECAMATAN KERAMBITAN, KABUPATEN TABANAN
Agung Sri Sulistyawati1, Fanny Maharani Suarka2 ... 87 10. PERILAKU WISATAWAN BERWISATA KULINER DI RESTORAN KAMPOENG
KEPITING TUBAN BALI
Ni Made Ariani1, I Nyoman Tri Sutaguna2 ... 100 11. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN WISATAWAN
BERKUNJUNG KE DESA WISATA BLIMBINGSARI JEMBRANA BALI
12. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI WISATAWAN
MANCANEGARA DALAM PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI WISATA DI BALI Ni Gusti Ayu Susrami Dewi1), Luh Gede Leli Kusuma Dewi2) ... 120 13. MEMBANGKITKAN SENI-BUDAYA DAN WIRAUSAHA RAKYAT DI DAERAH
PARIWISATA(Studi Kasus Peran LPD Desa Adat Kuta dan Kerobokan)
A.A Ngurah Gede Sadiartha ... 129 14. PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN WISATA MICE DI BATAM
I Wayan Thariqy Kawakibi Pristiwasa... 138 15. MENGEMBANGKAN UBUD SEBAGAI DESTINASI WISATA GASTRONOMI
Putu Sucita Yanthy1), Ni Nyoman Sri Aryanti2) ... 144 16. FENOMENA BUDAYA TRAVELLING WISATAWAN JEPANG KE BALI
Dian Pramita Sugiarti1), I Gede Anom Sastrawan2) ... 152 17. HOTEL `S GUEST ACTIVITIES SEBAGAI ALTERNATIF KEGIATAN LEISURE BAGI
WISATAWAN DI KAWASAN SEMINYAK BALI
Fanny Maharani Suarka1), Agung Sri Sulistyawati2) ... 159 18. PEMBANGUNAN PARIWISATA DI BALI : TRADE OFF PERTUMBUHAN EKONOMI
DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN
Ni Made Tisnawati1), Nyoman Sukma Arida2) ... 168 19. POSITIF NEGATIF PARIWISATA: ANALISIS PERILAKU KONSUMTIF
MASYARAKAT BALI
KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM
MENGENDALIKAN AROGANSI
LOCAL TOUR GUIDE
DI PURA
BESAKIH
Putri kusuma sanjiwani 1) W. Citra juwita sari2)
Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana Email: kusumasanjiwani@unud.ac.id
Abstrak
Penelitian ini berjudul "Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam Mengendalikan Arogansi Local Tour Guide di Pura Besakih“. Dilatarbelakangi oleh pengembangan Kawasan Suci Pura Besakih sebagai Dayat Tarik Wisata. Pengelola Kawasan Suci Pura Besakih pada awalnya dikelola oleh masyarakat setempat, terjadi pergesekan yang cukup kuat antara local tour guide dengan travel agent
serta antara local tour guide dengan wisatawan. Keluhan demi keluhan dari wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara dan tour guide di Bali terhadap sikap local tour guide (pemandu wisata lokal) di Pura Besakih semakin meningkat. Tindak arogansi ini memberikan pencitraan buruk dan berdampak meluas pada daya tarik wisata serta usaha pariwisata lainnya yang berkembang di Kabupaten Karangasem pada umumnya serta pariwisata yang terletak di seputar wilayah Besakih pada khususnya. Adapun permasalahan yang timbul di dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kebijakan pemerintah provinsi dalam mengatasi aksi pemboikotan yang dilakukan travel agent atas tindakan arogan local tour guide di kawasan suci Pura Besakih? Penelitian ini menggunakan penelitian empiris dan menganalisis permasalahan yang terjadi di lapangan dengan teori kewenanga, konsep kebijakan, dan asas desentralisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan kebijakan pemerintah memberikan dampak yang sangat luas untuk pengembangan pariwisata dan mampu mengendalikan efek negatif yang sudah mengakar kuat di masyarakat untuk kelanggengan sebuah daya tarik wisata.
Kata Kunci: kebijakan pariwisata, hukum pariwisata,moratorium pariwisata
Abstract
Title of this research is “Bali Provincial Government Policy in Controlling Arrogance Arrogance of Local Tour Guides at Besakih Temple”. The background of this journal is started from the development of the Pura Besakih Sacred Area as a Tourist Attraction. The management of the Pura Besakih Sacred Area was initially managed by the community. There is a strong friction between local tour guide with travel agent and between local tour guide with tourists. So many complaints from foreign tourists and local tourists and tour guides in Bali against the attitude of local tour guide in Besakih temple. The arrogance provides poorly imaging and has an impact on tourism attractions and other tourism businesses that flourish in Karangasem regency in general as well as tourism located around the Besakih region in particular. The problem in this research is how the form of policy of provincial government in overcoming the action of boycott by travel agent for arogan action of local tour guide in sacred area of Besakih Temple? This research uses empirical research and analyzes the problems that occur in the field with theories of authority, policy concepts, and decentralization principles.The results of this research indicate that government policies have a very wide impact on tourism development and are able to control the negative effects that are already deeply entrenched in society for the sustainability of a tourist attraction.
1. PENDAHULUAN
Kabupaten Karangasem merupakan Kabupaten yang masih menjaga nilai keaslian atau autentik kebudayaan Bali, sehingga wisatawan yang berkunjung masih dapat merasakan Bali dimasa lampau. Pariwisata budaya yang mengakar kuat bersinergi dengan sangat apik antara spiritual dan konservasi. Kawasan pariwisata di pegunungan memadukan basis spiritual dengan basis budaya dan kawasan pariwisata di pesisir memadukan basis budaya dengan konservasi. Kabupaten Karangasem merupakan Hulu
Pulau Bali, dikatakan demikian karena Gunung Agung dan Pura Besakih berada di Kabupaten Karangasem. Gunung merupakan tempat beristananya para dewa menurut kepercayaan agama Hindu.
Pergeseran komoditi perdagangan dari industri barang menuju industri jasa di Indonesia telah membawa Pura Besakih menjadi salah satu daya tarik wisata budaya yang sangat diminati wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Mereka memandang bahwa Pura Besakih merupakan tempat untuk melihat secara langsung dan mempelajari sejarah Pulau Bali, aktivitas agama Hindu dan kebudayaan masyarakat di Bali, serta mempelajari filsafat/filosofi masyarakat Bali seperti Sad Kertih dan Tri Hita Karana.
Nilai ekonomi yang dihasilkan dari berkembangnya usaha pariwisata di Kawasan Suci Pura Besakih pada awalnya memberikan efek positif dan citra positif bagi Pura Besakih. Citra positif timbul saat pariwisata mampu bersandingan dengan Kawasan Suci tanpa mengurangi makna kesucian Pura, masyarakat menjadi semakin sejahtera dan peningkatan pendapatan untuk kehidupan. Hal ini tidak berlangsung lama, untuk beberapa tahun belakangan ini, keseimbangan tersebut mulai goyah. Pariwisata telah membawa efek negatif berupa semakin matrealistisnya masyarakat lokal. Isu pariwisata yang muncul adalah berkembangnya sikap kurang arogan dari local tour guide di kawasan suci Pura Besakih terhadap wisatawan yang datang berkunjung. Keluhan demi keluhan bermunculan dari wisatawan. Bukan hanya wisatawan mancanegara, bahkan wisatawan domestik juga mengalami perlakuan yang sama, termasuk tour guide di Bali yang mengantar wisatawan mengunjungi Kawasan Suci Pura Besakih.
Pertama, local tour guide menetapkan penarikan donasi dengan tarif minimum yang cukup tinggi kepada wisatawan dan bersifat wajib untuk dapat memasuki kawasan suci Pura Besakih. Kedua, tour guide
diluar local tour guide dilarang memasuki kawasan suci Pura Besakih, wisatawan yang datang harus menggunakan jasa local tour guide dengan tarif jasa yang cukup tinggi. Beberapa keluhan yang disampaikan adalah 1:
1. Wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara harus membayar Rp.15.000 per-orang untuk tiket masuk dan Rp. 5.000 untuk setiap kendaraan roda empat saat melewati pintu tiket utama. Setelah melewati pintu tiket, wisatawan harus membayar lagi sejumlah uang dengan dalil uang kebersihan oleh oknum setempat;
2. Local tour guide bersikap arogan seperti melakukan pengusiran terhadap wisatawan yang mempertanyakan kemana aliran dana uang tiket dan uang kebersihan. Local tour guide sering
mengeluarkan perkataan sebagai berikut, “Kalau tidak mau memberi uang donasi untuk desa,
silahkan pulang” untuk mengusir wisatawan;
3. Wisatawan mancanegara diperas sebesar Rp. 500.000 untuk bisa berkeliling di kawasan suci Pura Besakih oleh oknum local tour guide;
4. Pada bulan Februari 2016 donasi wajib untuk wisatawan nusantara adalah sebesar Rp. 200.000 dan wisatawan mancanegara sebesar US$ 50.
5. Kawasan Suci Pura Besakih pernah mendapatan aksi boikot dari travel agent di Bali karena dianggap tidak aman lagi untuk dikunjungi oleh wisatawan. Tour guide dan travel di Bali merasa gerah dengan tindakan local tour guide Kawasan Suci Pura Besakih. Mereka mencoret Pura Besakih sebagai destinasi tujuan wisatawan dari paket yang mereka tawarkan. Apabila hal seperti ini terus terjadi maka otomatis Kawasan Suci Pura Besakih akan ditinggalkan wisatawan sebagai daya tarik wisata.
Isu-isu diatas menjadi suatu permasalahan yang sangat menarik untuk dikaji. Perlu adanya social control dalam pengembangan pariwisata agar nilai – nilai kebudayaan dan spiritual tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Adapun permasalahan yang timbul di dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kebijakan pemerintah provinsi dalam mengatasi aksi pemboikotan yang dilakukan travel agent atas tindakan arogan local tour guide di kawasan suci Pura Besakih? Permasalahan tersebut dikaji dengan teori
kewenangan sebagai pendelegasian kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yaitu pendistribusian tugas pengelolaan pariwisata yang sepenuhnya dipegang oleh daerah. Teori kewenangan didukung oleh konsep kebijakan dan asas desentralisasi sebagai penguatan pemahaman tentang pentingnya Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten bekerjasama dengan baik menyelesaikan isu-isu pariwisata yang terjadi di Provinsi Bali.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam mengeluarkan kebijakan pariwisata sesuai dengan asas Desentralisasi dalam menyelamatkan kawasan suci Pura Besakih sebagai daya tarik wisata. Urgensi penelitian ini adalah mengkaji isu pariwisata melalui kebijakan Pemerintah Daerah agar dapat memberikan option/pilihan dalam memecahkan permasalahan di masyarakat dan menyelamatkan citra positif Kawasan Suci Pura Besakih dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Menjaga kesucian Pura Besakih dari tindakan-tindakan negatif menjadi prioritas utama yang perlu segera dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.
2. METODE
Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum sosiologis atau penelitian hukum empiris. Penelitian ini mengaitkan hukum dengan perilaku nyata manusia. Bahan Hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa bahan yang dihasilkan melalui wawancara secara mendalam dengan informan dan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum pelengkap meliputi, buku-buku literatur yang menjadi referensi terhadap tema yang diangkat. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis bahan hukum menggunakan dua tahapan yaitu teknik analisis dan teknik evaluasi.
3. PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kawasan Suci Pura Besakih
Pura Besakih merupakan Pura yang terletak di Kaki Gunung Agung, tepatnya berada di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali dengan titik koordinat
8°20 31 LS115°30 00 BT.
Gambar. 2 Sketsa Pura Besakih, Tapak Atas
Pura Besakih dikalsifikasikan menjadi tiga bagian yang disebut Tritunggal, mengambil filosofi Tri Murti. Tri Murti adalah tiga dewa utama yang ada dikepercayaan agama Hindu. Pura-pura yang termasuk kedalam Tritunggal tersebut adalah :
1. Pura Penataran Agung (posisi ditengah-tengah Pura Besakih) dengan bendera berwarna putih, tempat beristananya Dewa Iswara;
2. Pura Batu Madeg (pisisi di sayap kiri Pura Besakih) dengan bendera berwarna hitam, tempat beristananya Dewa Wisnu;
3. Pura Kiduling Kreteg (posisi di sayap kanan Pura Besakih) dengan bendera berwarna merah, tempat beristananya Dewa Brahma).
Gambar. 3 Sistem Arah Kardinal dan Topografis (Sumber David J. Struart-Fox)
Kawasan Suci Pura Besakih yang termasuk kedalam Pura Sad Kahyangan memiliki aturan dalam menjaga kesucian pura tersebut dimana kawasan tempat suci disekitar Pura Sad Kahyangan
dengan radius sekurang-kurangnya apeneleng agung setara dengan 5000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura (batas tembok terluar pura) ditetapkan untuk radius kesucian Pura Besakih di Kecamatan Rendang.
2. Pengelolaan Tour Guide di Kawasan Suci Pura Besakih
Kawasan Pura Besakih secara teknis dikelola oleh Manajemen Operasional Pengelolaan Kawasan Pura Besakih. Yang merupakan perpanjangan tangan dari Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih. Sesuai Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih mempunyai tugas; merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan Pura Agung Besakih, membentuk, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan Manajemen Operasional (MO) Pengelolaan kawasan Pura Agung Besakih, dan melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Gubernur melalui Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Bali. MO juga melakukan pengawasan terhadap local tour guide, pada tahun 2017 tercatat jumlah seluruh local tour guide yang ada di kawasan Kawasan Suci Pura Besakih adalah 416 local tour guide, dengan katagori remaja 20% dan dewasa 80%. Remaja disini termasuk anak-anak yang masih berstatus pelajar (SMA), ataupun anak putus sekolah. Dari 416 pramuwisata yang ada dikawasan Pura Agung Besakih hanya 252 local tour guide yang memiliki lisensi dan 164 local tour guide tidak berlesensi. Pramuwisata tersebut dibagi atas tiga regu, yang terdiri atas sift pagi, sift siang dan sift sore.
Local tour guide memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang menjadi acuan dasar bagi mereka, tidak ada lagi local tour guide yang melakukan pemerasan terhadap wisatawan seperti yang dahulu terjadi. Karena dapat memberikan dampak yang sangat negative terhadap angka kunjungan wisatawan ke Pura Besakih. Bahkan insiden tersebut sempat meciptakan image buruk dimata wisatawan dan masyarakat umum. Berikut merupakan SOP yang dijalankan oleh pramuwisata Pura Besakih.
1. Mengetahui sejarah dan tata ruang Pura Besakih
2. Menguasai bahasa nasional dan bahasa asing, terutama bahasa Inggris 3. Menggunakan pakaian adat yang sopan
4. Selalu menjaga nama baik Pura Besakih 5. Selalu menjaga kesucian Pura Besakih
6. Tidak mengenakan tariff kepada wisatwan diluar harga tiket masuk kecuali wisatawan memberikan uang tip secara sukarela
Apapila ditemukan pramuwisata yang melanggar aturan akan dikenakan sanksi, adapun sanksi yang berlaku bagi para pramuwisata antara lain:
a.Teguran/Peringatan b. Skorsing
c. Pemecatan
Jam operasional pramuwisata Pura Besakih yaitu menyesuaikan dengan jam operasional MO yaitu 12 jam setiap harinya, dari jam 07.00 sampai jam 17.00 dari hari seni sampai minggu.
Gambar. 4 Struktur Organisasi Badan Pengelola Kawasan Pura Besakih
3. Arogansi Local Guide (Pramuwisata Lokal) di Kawasan Suci Pura Besakih
menjadi polemik di masyarakat dan Pemerintah Daerah, kekhawatiran Kawasan Suci yang dapat berlih fungsi pun semakin membuat resah.
Isu sikap local tour guide sudah santer terdengar semenjak tahun 2012 hingga sampai saat ini. Berawal dari segelintir oknum yang bertindak arogan, menjadi meluas dan rata-rata para local tour guide melakukan praktik yang sama. Wisatawan asing memegang jumlah keluhan yang paling tinggi terhadap perlakuan local tour giude di Kawasan Suci Pura Besakih. Keluhan wisatawan sudah sampai ke dunia internasional melalui report online, review online, dan berita-berita media online (media yang khusus mengulas tentang daya tarik wisata atau perjalanan wisata). Keluhan juga diutarakan pada pelaku usaha pariwisata baik di daerah yang berdekatan dengan Kawasan Suci Pura Besakih maupun diluar Kawasan Suci Pura Besakih. Bentuk-bentuk keluhan yang diutarakan wisatawan diantaranya :
1. Pemaksaan jumah donasi yang ditetapkan sebesar USD 250;
2. Perbedaan harga tiket masuk, antara IDR. 15.000 – 30.000 bagi wisatawan mancanegara tanpa ada patokan kriteria;
3. Pembelian tiket masuk tidak termasuk parkir, penyewaan sarung dan jasa pemandu wisata; 4. Pemaksaan menggunakan jasa local tour giude bagi wisatawan yang masuk tanpa pemandu; 5. Pelarangan guide luar untuk masuk ke areal Pura Besakih;
6. Wisatawan eropa sebagian besar dikenakan charges 10 EURO untuk jasa guide yang dinegosiasikan secara personal oleh local tour giud.
Banyak wisatawan yang sedih bahkan menangis sesampainya di usaha pariwisata berikutnya seperti rafting dan restaurant yang dekat dengan Pura Besakih. Sebagian pengusaha mengutarakan bahwa wisatawan kehabisan uang saat berkunjung ke Pura Besakih dan kejadian tersebut diluar ekspektasi atau harapan mereka. Dampak yang dapat terjadi apabila tindakan arogansi local tour guide masih terjadi di lapangan adalah :
x Kawasan Suci Pura Besakih akan ditinggalkan sebagai Daya Tarik Wisata oleh wisatawan dan memasuki siklus decline pariwisata
x Citra negatif akan menyebabkan Kawasan Suci Pura Besakih mengalami krisis kepercayaan dari sektor pariwisata
4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menyelesaikan Permasalahan Local Tour Guide di Kawasan Suci Pura Besakih sebagai Daya Tarik Wisata
Pemerintah Provinsi Bali memegang kewenangan delegasi dari Pemerintah Pusat dalam mengurus rumah tangga pemerintahan khususnya dalam pengembangan sektor kepariwisataan daerah melalui Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Asas desentralisasi telah memberikan peluang bagi Pemerintah Provinsi Bali untuk merencanakan pengembangan pariwisata di Kawasan-Kawasan Strategis Pariwisata yang berada di bawah kewenangannya yang terdiri dari kawasan radius kesucian Pura Sad Kahyangan dan kawasan warisan budaya.
Kawasan Suci Pura Besakih merupakan bagian dari Sad Kahyangan dan otomatis merupakan bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 - 2029. Pengelolaan, pengawasan dan perlindungan Kawasan Strategis Pariwisata merupakan kewajiban dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten sebagai Pemerintah Daerah. Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 tentang Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih untuk menghadapi carut marutnya pariwisata di kawasan suci tersebut tetapi sampai saat ini berlum berhasil menekan arogansi local tour guide di Kawasan Suci Pura Besakih.
Kebijakan pemerintah untuk sektor pariwisata harus memenuhi pembangunan empat pilar kepariwisataan sesuai dengan arahan Rencana Pembangunan Induk Pariwisata Daerah Provinsi Bali atau yang dikenal dengan RIPPARDA Provinsi Bali. Kebijakan pembangunan pariwisata adalah pembangunan empat pilar pariwisata yaitu terdiri dari:
1. Pembangunan destinasi pariwisata 2. Pembangunan pemasaran pariwisata 3. Pembangunan industri pariwisata 4. Pembangunan kelembagaan pariwisata
Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih adalah untuk :
1. Menghentikan pelaku industri pariwisata yaitu local tour guide yang seluruh anggotanya adalah masyarakat lokal untuk melakukan tindakan arogansi (berhubungan erat dengan pembangunan industri pariwisata);
2. Menekan citra negatif dan mengembalikan citra positif Kawasan Suci Pura Besakih untuk memulihkan krisis wisatawan (berhubungan erat dengan pembangunan pemasaran pariwisata);
3. Mengembalikan rasa aman dan nyaman serta kepercayaan wisatawan terhadap daya tarik wisata Pura Besakih (berhubungan erat dengan pembangunan destinasi pariwisata);
4. Manajemen Oprasional (MO) menjadi garda terdepan dalam pengelolaan Pura Besakih agar dapat membenahi manajemen Pura Besakih, dimana sebelumnya kurang terorganisir dengan baik (berhubungan erat dengan kelembagaan pariwisata).
Banyak faktor yang telah membuat pengusaha usaha pariwisata di sekitar Pura Besakih, masyarakat di lingkaran terdekat Desa Besakih, wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara, serta pemerhati dan pelaku pariwisata lainnya yang memiliki hubungan erat atau melaksanakan kegiatan pariwisata di Kawasan Suci Pura Besakih merasa resah dan putus asa. Bentuk-bentuk keresahan tersebut antara lain :
1. Keluhan wisatawan sebagian besar ditumpahkan kepada usaha pariwisata lainnya yang berada dekat dengan Desa Besakih (masih dalam lingkup Kecamatan Rendang) seperti usaha jasa makanan dan minuman, usaha wisata tirta (rafting), usaha penyediaan akomodasi (homestay), daya tarik wisata dan lain-lain. Pemerasan yang dilakukan local tour guide telah membuat wisatawan kehabisan uang tunai saat sedang melakukan perjalan wisata. Kekecewaan wisatawan ditampung dengan baik oleh pengusaha usaha pariwisata. Pengusaha usaha pariwisata harus bersusah payah menunjukkan hospitalitas yang baik kepada wisatawan serta harga yang menarik agar dapat menutup citra negatif Kawasan Suci Pura Besakih. Mereka merasa pendapatan mereka lambat laun mengalami penurunan seiring dengan menurunnya jumlah kunjungan wisatawan di Kawasan Suci Pura Besakih;
2. Tindakan pemerasan local tour guide yang dinilai sebagai tindakan arogan oleh wisatawan tidak dapat dikendalikan, begitu juga tentang pembayaran retribusi dan yang cukup banyak jumlahnya dan dipungut disetiap tempat. Manajemen Operasional Pura Besakih yang seharusnya memiliki kewenangan penuh terhadap penanggulangan pemerasan tersebut menjadi nampak bermain kucing-kucingan dengan oknum local tour guide. Sampai saat ini masih belum dapat diatasi dengan baik sehingga masih saja terjadi kecolongan terhadap tindakan pemerasan;
3. Masyarakat di desa-desa lainnya yang masih berada dalam satu kawasan Kecamatan Rendang selalu berusaha untuk mengajak para elit dan pemuka adat Desa Besakih untuk duduk bersama. Mereka mencoba mencari solusi atas isu-isu negatif pariwisata, tetapi hasilnya nihil.
Focus Group Disscussion (FGD) pada Tahun 2016 tentang Rancangan RIPPARDA Kabupaten Karangasem yang diadakan di Restaurant Maha Giri, Rendang juga mengundang para pemuka adat, pengelola Pura besakih (sebelum ditetapkannya Majamenen Operasional Pura Besakih) dan elit Desa Besakih, tetapi hasilnya pun nihil. Tidak ada satu undangan pun dari Besakih yang datang untuk hadir dalam FGD tersebut;
4. Pengusaha pariwisata di kawasan pesisir, khususnya Candi Dasa, Tulamben dan Amed merasa sangat khawatir dengan isu-isu negatif serta citra negatif Kawasan Suci Pura Besakih. Dampak dari hal-hal tersebut telah membuat wisatawan tidak melakukan kunjungan lagi (repeater) ke Kabupaten Karangasem;
5. Masyarakat di Desa-Desa Wisata yang terdapat di Kabupaten Karangasem turut resah karena daya tarik wisata utama Kabupaten Karangasem adalah sebagai simbol utama dari daya tarik wisata lainnya. Sebuah simbol akan memberikan pencitraan pertama atau kesan pertama yang sangat penting untuk menumbuhkan rasa dan keinginan untuk mengeksplorasi Kabupaten Karangasem.
Gambar. 5 Siklus Pariwisata Menurut Buttler Pilihan dalam kelanjutan masa stagnasi dapat berupa : 1. Rejuvination (Peremajaan)
Menggali potensi baru atau mengembangkan produk baru dari sebuah daya tarik wisata untuk menghindari krisis. Membenahi sumber daya manusia, sumber daya budaya, sumber daya alam sebagai daya dukung utama sebuah daya tarik wisata.
2. Decline (Menurun)
Penurunan kunjungan wisatawan secara bertahap dan pada akhirnya sebuah daya tarik wisata akan ditinggalkan oleh wisatawan, usaha pariwisata dan investor. Daya tarik wisata tersebut tidak mampu untuk bangkit dan industri pariwisata yang telah berkembang secara spontan mengalami swicht off mode.
Fase Rejuvination (Peremajaan) yang dapat dilakukan untuk memberi efek jera pada local tour guide adalah melakukan moratorium Kawasan Suci Pura Besakih sebagai daya tarik wisata. Moratorium merupakan penangguhan, penundaan atau penghentian suatu kegiatan tertentu dalam periode waktu yang telah ditentukan. Ketika sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah memberikan hasil yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan maka dapat dilaksanakan kebijakan moratorium. Pada masa moratorium, Pemerintah Daerah dapat melakukan evaluasi kebijakan, seperti mengapa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan harapan? Atau mengapa kebijakan tersebut menyimpang jauh dan tidak sesuai dengan sasaran utama.
Moratorium Kawasan Suci Pura Besakih merupakan jalan terbaik untuk dapat menekan isu-isu negatif dan citra negatif yang selama ini selalu menghantui Kawasan Suci Pura Besakih dan berdampak meluas pada kawasan pariwisata dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Karangasem. Moratorium yang dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu diharapkan dapat memberikan perubahan berupa :
1. Penataan dan pengedukasian Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya pengelola dari masyarakat Desa Besakih dan local tour guide untuk memperbaiki pola pikir dan pemahaman mereka tentang pentingnya citra positif pariwisata dan pembangunan destinasi pariwisata untuk pariwisata berkelanjutan;
2. Setiap local tour guide yang ingin menjadi tour guide di Kawasan Suci Pura Besakih haruslah memiliki sertifikat sebagai pemandu wisata / tour guide dari pelatihan yang bersertifikasi agar dapat menjamin etika dan profesionalitas tour guide dalam memandu wisatawan;
3. Pembenahan pengelolaan ticket dan retribusi satu pintu untuk dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan dan menghentikan tindakan pungli/pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab;
4. Memberikan batasan-batasan dan pengelolaan satu pintu bagi donasi yang diberikan oleh wisatawan. Pemberian donasi tidak dipaksakan atau bersifat tidak wajib untuk menghindari pungli/pemerasan. Pemberian donasi yang bersifat tidak wajib atau suka rela tersebut dicantumkan pada sebuah pengumuman yang dapat dibaca oleh wisatawan dan dibuatkan peraturan yang sah oleh pihak MO Pura Besakih;
bangunan atau merubah penataan suatu eksterior kawasan. Adanya evaluasi terus – menerus dari pihak Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan pembuatan perencanaan management yang lebih baik lagi akan memerlukan kajian yang lebih mendalam dari sebelumnya karena permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah Provinsi adalah permasalahan yang sudah mengakar kuat di Kawasan Suci Pura Besakih.
4. KESIMPULAN
Suatu permasalahan yang terus- menerus terjadi dan sulit untuk diselesaikan dalam sebuah daya tarik wisata yang menjadi salah satu icon daerah akan memberikan dampak buruk baik pada internal daya tarik wisata atau eksternal daya tarik wisata. Penting untuk dipahami bahwa moratorium yang ditawarkan pada Kawasan Suci Pura Besakih bukanlah menghentikan Kawasan Suci Pura Besakih sebagai daya tarik wisata tetapi membekukan sementara Kawasan Suci Pura Besakih dari kegiatan pariwisata. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan evaluasi lebih mendalam dimana Pemerintah Daerah dan masyarakat harus memiliki komitmen, visi, misi dan tujuan yang searah untuk pembangunan pariwisata dan pariwisata berkelanjutan di Kawasan Suci Pura Besakih. Apabila Pemerintah daerah berjibaku sendirian dalam memperjuangkan Kawasan Suci Pura Besakih untuk tetap eksis di kancah pariwisata Bali tanpa didukung oleh masyarakat yang aware akan keberlangsungan pariwisata Kawasan Suci Pura Besakih maka usaha Pemerintah Daerah akan sia-sia saja seperti apa yang dialami saat ini.
Perlu adanya moratorium untuk dapat membangun kembali sumber daya manusia dan sistem kelola satu pintu sebagai sasaran utama melepas krisis Kawasan Suci Pura Besakih. Keamanan, kenyamanan dan kepercayaan wisatawan sangatlah penting untuk didapat dan dipelihara agar wisatawan baik wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara tetap datang berkunjung atau melakukan perjalanan repeater ke Kawasan Suci Pura Besakih. Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem harus dapat meyakinkan masyarakat bahwa Kawasan Suci Pura Besakih sebagai hulu Pulau Bali harus menjadi contoh yang baik agar dapat memberikan kesan pertama bagi wisatawan bahwa Bali adalah sebuah pulau yang mampu menggabungkan basis spiritual dengan basis budaya sebagai sebuah nilai keunikan. Hal-hal tersebut tercermin pada kegiatan keagaaman, adat- istiadat, serta perilaku atau pola hidup dan tingkah laku masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
David J. Stuart Fox. 2010. Pura Besakih (Pura, Agama dan Masyarakat Bali). Pustaka Larasan, Denpasar.
Soerjono Soekanto. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Rajawali, Jakarta
Suherman Toha. 2011. Penelitian Hukum Eksistensi Hukum Adat dalam Pelaksanaan Pemerintah Desa (Studu Empiric di Bali). Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI.
Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo,Yogyakarta.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali Tahun 2015-2029.