• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi dan Tata Kelola Strategis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi dan Tata Kelola Strategis"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Keseimbangan Strategi Triniti Israel terhadap Arab di Perang Enam Hari (Six-Day War) Introduction

Salah satu contoh keberhasilan strategi trinitas Clausewitz (Clausewitz Trinity Strategy) bisa diamati dari peristiwa Perang Enam Hari (Six-day War) antara Israel dengan negara-negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah). Di dalam waktu peperangan yang singkat tersebut, Israel mampu mengalahkan negara-negara Arab dengan strategi trinitas Clausewitz secara tepat. Keseimbangan peran trinitas yang tepat antar tiga elemen yaitu Government, People, dan Military.

Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba mengelaborasi pertanyaan sejauh mana peran strategi trinitas (Clausewitz Trinity Strategy) yang dipakai Israel dalam melawan negara-negara Arab di perang Enam Hari. Argumen yang ditawarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan melihat keseimbangan peran yang tepat dari strategi trinitas Clausewitz yaitu Government, People, dan Military, dimana ketiga elemen saling mendukung satu sama lain, sehingga dalam peperangan Enam Hari tersebut Israel mampu mengalahkan negara-negara Arab.

Keseimbangan Strategi Trinity Israel di Perang Enam Hari

Selain pemikiran strategi Sun Tzu, ada salah satu tokoh lain yang juga telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan studi-studi strategi yaitu Carl von Clausewitz. Pemikiran-Pemikiran Clausewitz ini memberikan nuansa berbeda terhadap kajian-kajian strategi di era sebelumnya. Kajian-kajian strategi Clausewitz yang terkenal tertuang di dalam masterpiecenya yang berjudul On War. Di dalam tulisannya On War tersebut, secara garis besar membahas mengenai sifat-sifat perang. Clausewitz dengan bahasa yang lain menyebutkan bahwa perang adalah keputusan-keputusan dari politik atau instrumen kebijakan untuk melaksanakan tujuan politik. Clausewitz mengatakan bahwa “war is more than a true Chameleon that slightly adapts its characteristics to the given case, as a total phenomenon its dominant tendencies always make war a paradoxical trinity…”.1 Dalam hal ini, Clausewitz ingin mengatakan bahwa perang itu

bersifat seperti Bunglon yang mempunyai kemampuan atau keahlian untuk menyesuaikan karakteristik terhadap kasus-kasus yang diberikan, dimana secara keseluruhan cenderung selalu membuat perang sebuah trinitas paradok (paradoxical trinity). Kemudian, lebih jauh Clausewitz menjelaskan elemen-elemen trinitas tersebut yaitu; Elemen Pertama yaitu elemen sub-ordinasi atau elemen Government sebagai kebijakan yang hanya dipengaruhi oleh alasan-alasan (reasons). Dibagian elemen ini menjadi perhatian pemerintah karena tujuan politik tergantung pada usaha atau kemampuan yang dilakukan. Elemen Kedua yaitu People yang digambarkan sebagai bentuk dari gairah (passion), kekerasan (violence), kebencian (hatred), dan permusuhan (enmity). Elemen Ketiga yaitu elemen Military yang digambarkan sebagai sebuah bentuk dari permainan kesempatan (opportunity) dan peluang dalam semangat berkreativitas (creative) yang bebas, atau yang terkonsentrasi pada kekuatan komandan dan pasukan (Howard & Paret, 1989 in Clausewitz on War; 89). Ketiga elemen ini harus seimbang, saling berkaitan atau saling mendukung, karena apabila salah satu dari ketiga elemen tidak bekerja, maka tujuan politik tersebut tidak akan tercapai.

Kemudian, strategi trinitas Clausewitz (Clausewitz Trinity Strategy) ini dikaitkan dengan peristiwa Perang Enam Hari antara Israel dengan negara-negara Arab (Mesir, Jordania, Syria).

(2)

Peperangan ini hanya terjadi selama 6 hari yaitu dari tanggal 5-10 Juni 1967. Kekuatan yang dimiliki oleh Israel terdiri dari 50 ribu pasukan bersenjata, 300 pesawat tempur, 800 tank dan 214 ribu pasukan cadangan dengan total jumlah 264 ribu pasukan bersenjata. Di sisi lain, negara-negara Arab memiliki 240 ribu pasukan bersenjata dari Mesir, 307 ribu pasukan bersenjata dari negara Yordania dan Suriah, 957 pesawat tempur dan 2504 tank dengan total jumlah 547 ribu pasukan bersenjata. Peperangan ini dimenangkan oleh Israel karena telah menggunakan strategi trinitas dengan tepat. Ketiga elemen ini saling mempengaruhi serta mendukung langkah-langkah yang akan dijalankan terhadap tujuan-tujuan politik dari Israel terhadap peperangan yang terjadi. Elemen Government yang berfungsi sebagai penanganan upaya-upaya hubungan diplomatik untuk menyelesaikan krisis atau permasalahan yang terbentuk dari alasan-alasan jelas terperinci. Elemen People melalui gairah (passion) nya yang berfungsi sebagai pertimbangan dukungan dari rakyat Israel terhadap keberlangsungan dari negara atau bangsa Israel itu sendiri. Elemen Military yang berfungsi sebagai pembentuk dari berbagai kesempatan atau kemungkinan (kemampuan kekuatan pasukan militer) dalam pelaksanaan perang secara menyeluruh yang akan diuji sebelumnya.

Israel Government

Memasuki awal tahun 1967 selama satu dekade, Israel telah menikmati prestasi ekonomi dan politik yang mengesankan. Hubungan Israel dengan negara-negara tetangga Arab tampaknya tidak memicu konflik. Akan tetapi argumen tersebut terbantahkan ketika, Komandan atau Pemimpin Mesir Gamal Abdul Nasser tetap pada tujuannya untuk memusnahkan atau memberantas negara Israel. Kondisi ini kemudian membuat Mesir menjadi ancaman yang serius bagi keamanan Israel. Di sebelah Timur, Yordania relatif tenang di bawah kendali moderat Raja Hussein (Sachar, 1981;615). Akan tetapi, seringnya konflik perbatasan dengan Suriah yang didukung oleh Palestina mengingatkan Israel bahwa mereka tidak berada dalam kondisi yang benar-benar aman, mereka telah siap apabila terjadinya perang. Kemudian, merespon adanya dugaan ancaman Israel terhadap Suriah, membuah Nasser (Mesir) memobilisasi atau mengerahkan pasukannya. Namun, setelah beberapa hari berada di perbatasan, Nasser di usir oleh pasukan PBB dari Gaza dan Sinai yang disebarkan ke dalam tiga divisi pasukan dengan jumlah lebih dari 600 tank ke Sinai menuju perbatasan dengan Israel. Bahkan, untuk menenangkan keteganganya dengan Mesir, Perdana Mentri Israel Levi Eshkol berpidato dihadapan Knesset (Parlemen Israel), “I wish to repeat to the Arab countries…We do not contemplate any military action…We have contemplated no intervation in their internal affairs” (Sachar, 1981;625).

(3)

Perdana Menteri Levi Eshkol telah berkuasa di Israel terutama pada kekuatan program-program domestik, tetapi pendekatan Eshkol terhadap akomodasi dan kendali terhadap orang-orang Arab sangat kontroversial, terutama pada old war horses seperti Dayan dan Peres.2 Dan hal

yang juga menambah masalah kreadibilitas Eshkol dalam berhubungan dengan orang-orang Arab adalah bahwa Eshkol merupakan perdana menteri pertama dalam sejarah Israel yang tidak memiliki pengalaman layanan militer.3 Melihat kekurangan atau kelemahan yang ada pada

dirinya, maka Eshkol mengirim Menteri Luar Negerinya Abba Eban untuk mencari dukungan internasional dan solusi diplomatik terutama terhadap negara-negara barat. Setidaknya selama sembilan hari, Abba Eban mengunjungi beberapa tempat seperti London, Paris dan Washington, akan tetapi tidak ada bantuan yang diperoleh dari negara-negara tersebut. Meskipun secara moral mendapat dukungan penuh, akan tetapi bantuan secara material berupa peralatan atau perlengkapan persenjataan tidak diperoleh.

Kemudian, pada tanggal 1 Juni Eban kembali ke kabinet, bertemu dan memohon kepada jendral militer untuk melakukan preemptive strike atau serangan tak terduga (Neff, 1984;131-181). Dan dengan penuh keyakinan bahwa pilihan diplomatik telah dilelahkan, kemudian Eshkol menerima saran dari penasehat militer dan sipil terdekatnya yang merekomendasikan perang untuk kabinet kerjanya, keputusan resmi untuk perang dilakukan pada tanggal 4 Juni 1967. Walaupun, pada awalnya Eshkol dikritik karena ketidaktegasan dan komitmen yang tidak masuk akal terhadap solusi diplomatik, pada akhirnya pemerintahannya melakukan atau mengambil tindakan seperti apa yang ditulis oleh Clausewitz ‘reason’ ketika mereka akhirnya menggunakan perang sebagai instrumen kebijakan nasional. Seluruh rakyat atau masyarakat Israel tahu bahwa terjadinya perang tersebut hanya untuk bagaimana bertahan hidup dari sebuah ancaman.

Israel People

Rakyat Israel (Israel People) sudah terbiasa mendengar pernyataan-pernyataan yang menyeruhkan permusuhan dari negara-negara tetangga Arab mereka, yang secara berkelanjutan menginginkan adanya penghancuran terhadap negara Israel. Sejak terbentuknya Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization) di tahun 1964, dimana organisasi tersebut sudah mendeklarasikan tujuan-tujuan mereka yaitu ‘untuk memperoleh tujuan melikuidasi Israel.4 Bahkan lebih radikal lagi, Suriah didukung oleh Fatah, Gerakan Pembabasan

Arab (Arab Liberation Movement) yang menyerukan dan berusaha melakukan ‘perang orang atau sipil’, perlawanan, sabotase dan teror terhadap Israel dan menganjurkan sebuah ‘kebijakan penghangusan tanah atau bumi untuk Palestina’ (Sachar, 1981;620).

Pada sekitar akhir Mei 1967, pernyataan-pernyataan tersebut telah menjadi lebih dari hanya memamerkan kekuatan persanjataan mesin secara sporadis setelah kegagalan penyerangan-penyerangan perbatasan. Komandan atau Pemimpin Mesir Gamal Abdul Nasser telah berhasil menyatukan negara-negara dan bersiap untuk melawan Israel. Kekuatan-kekuatan besar yang terkumpul hampir di setiap perbatasan Israel, yang sudah siap untuk dilancarkan sebuah serangan yang terkoordinasi. Nampaknya, serangan-serangan tersebut meyakinkan dunia dan kelompok negara Arab bahwa Israel akan hancur. Kemudian, pada malam tanggal 23 Mei,

2 Yair Evron. 1973. The Middle East: Nations, Superpowers and Wars. New York: Praeger Publisher Inc. Page 68. 3 Ilana Kass. 25 Oktober 1999. Faculty of National War College. Washington D.C. Interview by author, handwritten notes.

(4)

ketika Nasser telah melakukan blokade, Israel berada pada posisi mobilisasi total, sekitar dua ratus lima puluh ribu cadangan di panggil untuk memperkuat kekuatan Israel yang sebelumnya hanya berjumlah lima puluh ribu.5 Tidak hanya itu, masyarakat membayar pajak-pajak mereka

lebih awal sebelum waktunya, dan uang serta hadiah-hadiah untuk semua jenis dialokasikan untuk penganggaran keuangan Departemen Keamanan Israel. Akibatnya, suasana masyarakat bergeser dari ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi ke penentuan mutlak untuk bertahan hidup. Perasaan dominan adalah tidak benar-benar nasionalisme, melainkan sebuah tekad bersama untuk melindungi keluarga Israel.

Tekad untuk bertahan hidup sebagai bangsa dan sebagai rakyat inilah merupakan bentuk paling alami dari unsur Clausewitz mengenai gairah (passion). Ini merupakan motif kekerasan yang sesuai pada tempatnya, yang terfokus pada kekuatan ketika suatu bangsa untuk berperang. Seperti apa yang dikatakan oleh Clausewitz, semakin kuat dan terinspirasi motif-motif untuk perang, semakin mereka mempengaruhi negara-negara yang berperang dan ketegangan-ketegangan yang sengit yang mendahului pecahnya, semakin dekat perang akan mendekati konsep abstrak, lebih penting lagi akan menjadi penghancur musuh, yang lebih dekat akan tujuan-tujuan militer dan bertepatan objek-objek politik perang, serta perang akan lebih militer dan kehendak politik akan kelihatan tidak tampak (Howard & Paret, 1989 in Clausewitz on War; 87-88). Alasan (reason) sudah mengarah pada keputusan Israel untuk berperang, gairah (passion) yang terfokus pada kekuatan, maka sekarang Israel membutuhkan kekuatan pasukan militer dalam pelaksanaan untuk mengatasi atau memanfaatkan kesempatan dan probabilitas di medan perang.

Israel Military

Clausewitz mengatakan bahwa dalam perencanaan ‘kekalahan total musuh…prinsip pertamanya adalah bahwa substansi utama dari kekuatan musuh harus ditelusuri atau dipahami kembali ke sumber-sumber yang mungkin paling sedikit, dan idealnya hanya satu saja, serangan terhadap sumber-sumber ini harus dipadatkan menjadi tindakan-tindakan lagi paling sedikit idealnya, menjadi satu (Howard & Paret, 1989 in Clausewitz on War; 89). Clausewitz menyebut sumber-sumber kekuatan ‘center of gravity’ dan kemudian menjelaskan prinsip kedua yaitu bertindak dengan kecepatan maksimal, berhenti atau memutar tidak akan diperbolehkan tanpa alasan yang baik (Sachar, 1981;617). Dayan, Weizman dan Hod secara naluriah tahu bahwa kelemahan atau center of gravity orang-orang Arab adalah ankatan udara masing-masing. Ketiga tentara militer ini tahu bahwa untuk mencapai keberhasilan maka harus melakukan serangan kejutan maksimum. Dengan menggunakan IAF (Israel Air Force), Weizman dan Hod merencanakan untuk menyerang Mesir dengan beberapa tahapan pertama, yang kemudian menyesuaikan serangan ke negara Arab yang lainnya berdasarkan dari reaksi dan penilaian kerusakan bom mereka.

Rencana ini sangat jelas dan rinci melalui laut atau rute air, sehingga semua pesawat IAF tiba pada target mereka di waktu yang bersamaan. Terlepas dari keterangan lengkap peristiwa peperangan Enam Hari tersebut, Israel mampu mengalahkan negara-negara Arab dengan bukti korban dan kerugian yang lebih besar diderita negara-negara Arab dibandingkan Israel. Korban dan kerugian yang diakibatkan oleh perang tersebut diantaranya sebagai berikut; Untuk Israel

(5)

dari total seluruh pasukan bersenjata (776 orang)6 terbunuh - (983 orang)7 terbunuh, (4517 orang)

luka-luka, (15 orang)8 ditangkap, (400)9 tank musnah dan (46) pesawat tempur musnah.

Sedangkan di sisi lain untuk negara-negara Arab dari total seluruh pasukan bersenjata Mesir (10.000 orang)10 – (15.000 orang)11 terbunuh atau hilang, (4338)12 ditangkap. Yordania (6000

orang)13 terbunuh atau hilang dan (533 orang)14 ditangkap. Suriah (2500 orang)15 terbunuh dan

(591 orang) ditangkap.

Kesimpulan

Salah satu contoh keberhasilan strategi trinitas Clausewitz (Clausewitz Trinity Strategy) bisa diamati dari peristiwa Perang Enam Hari (Six-day War) antara Israel dengan negara-negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah). Di dalam waktu peperangan yang singkat tersebut, Israel mampu mengalahkan negara-negara Arab dengan strategi trinitas Clausewitz yaitu Government, People, Military. Kemenangan bisa dilihat dari jumlah perbandingan korban dan kerugian yang dialami oleh negara-negara yang terlibat akibat dari peperangan Enam Hari tersebut.

Referensi

Alex Woolf. 2012. Arab-Israeli War since 1948. Heinemann-Raintree.

Carl von Clausewitz, On War. Edition and Translate Howard Michael Sachar and Peter Paret. 1989. Pricenton: Pricenton University Press, First Pricenton Paperback.

Chaim Herzog. 1982. The Arab-Israeli Wars. Arms & Armour Press.

Donald Neff. 1984. Warriors for Jerusalem: The Six Days that Changed the Middle East. New York: Linden, Simon, Schuster Press.

George W. Gawrych. 2000. The Albatross of Decisive Victory: War and Policy between Egypt and Israel in the 1967 and 1973 Arab-Israel Wars. Greenwood Press.

Howard Michael Sachar. 1981. A History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time. New York: Alfred A. Knopf.

Ilana Kass. 25 Oktober 1999. Faculty of National War College. Washington D.C. Interview by author, handwritten notes.

6 Israel Ministry of Foreign Affairs. 2008. The Six Day War on Juni 1967.

7 George W. Gawrych. 2000. The Albatross of Decisive Victory: War and Policy between Egypt and Israel in the 1967 and 1973 Arab-Israel Wars. Greenwood Press. Page 3.

8Ibid.

9 Steven Zaloga. 1981. Armour of the Middle East Wars 1948-1978 (Vanguard). Osprey Publishing.

10 Mohamed Abdel Gani El-Gamasy. 1993. The October War. The American University in Cairo Press. Page 11 Chaim Herzog. 1982. The Arab-Israeli Wars. Arms & Armour Press. Page 165.

12 Israel Ministry of Foreign Affairs. 2004. Background on Israeli POWs and MIAs. 13Ibid, Herzog. Page 183.

14Ibid, Israel Ministry of Foreign Affairs. 2004.

(6)

Mohamed Abdel Gani El-Gamasy. 1993. The October War. The American University in Cairo Press.

Steven Zaloga. 1981. Armour of the Middle East Wars 1948-1978 (Vanguard). Osprey Publishing.

Yair Evron. 1973. The Middle East: Nations, Superpowers and Wars. New York: Praeger Publisher Inc.

Israel Ministry of Foreign Affairs. 2004. Background on Israeli POWs and MIAs.

Referensi

Dokumen terkait

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Melalui Perlawanan Bersenjata, melalui perlawanan di berbagai daerah yaitu peristiwa pertempuran antara pasukan Sekutu dan Belanda antara

he irst hypothesis is “there is positive and signiicant inluence of school policy, curriculum implementation, school culture and school infrastructure management collectively

Saya pernah menggunakan jasa doorsmeer ditempat lain.,menurut saya perbedaannya dengan doorsmeer lain terletak diruang tunggu Sabena yang luas dan juga

1) Berdasarkan hasil analisis bahwa variabel Return on Investment, Return on Equity dan Debt to Equity Ratio secara simultan berpengaruh tidak signifikan return

Pelaksanaan terhadap negen sanan tua dalam suatu keluarga yang mempunyai lebih dari satu anak laki-laki (purusa) sebagai kewajiban- kewajiban sosial pada masyarakat

Apa bila dalam pengumuman pemenang ini ada rekanan yang akan mengajukan sanggahan, kami persilahkan mengajukan secara tertulis kepada Panitia /Pokja Pengadaan

Ada beberapa tahapan yang bisa dilaksanakan seorang guru untuk bisa menjadi fasilitator proses kreatif dalam pembelajaran. Pertama, kemampuan untuk mengakomodasikan

• Guru memulai pelajaran dengan mengajak siswa mengamati gambar pada buku tema 6 Subtema 4 Pembelajaran 2, atau kalau guru, mempunyai tayangan video tentang sikap pemborosan