• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

70 Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II Nomor 2: 70 – 77

Jurnal Studi Kultural

http://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

Laporan Riset

Perayaan Kematian dalam Tinjauan Desain dan Gaya Hidup

I Made Marthana Yusa*

STMIK STIKOM Indonesia

Info Artikel Abstrak Sejarah artikel:

Dikirim 24 April 2017

Direvisi 7 Mei 2017

Diterima 9 Mei 2017

Kata Kunci:

Perayaan

Kematian

Gaya

Obituary Homology

1.Pendahuluan

Semua siklus kehidupan manusia dengan penandaan

ritual pada momen-momen tertentu tidaklah lepas dari

peranan manusia lainnya atau lingkungannya. Manusia

menciptakan suatu penandaan atau prasasti untuk

momen-momen tertentu seperti kelahiran yang

merupakan peristiwa di mana

manusia ”hadir” dan

juga penandaan dimulainya kehidupan seorang

manusia dalam suatu lingkungan masyarakat.

Momen akil balig (peristiwa inisiasi), di mana manusia

mendapat status di dalam masyarakat tadi. Kemudian,

pernikahan dapat menjadi momen penting dalam

masyarakat. Pernikahan merupakan saat di mana

manusia akan melakukan proses regenerasi untuk

meneruskan keturunannya.

Sedangkan yang terakhir adalah kematian atau akhir

dari proses kehidupan. Penandaan pada momen

tersebut kemudian menjadi suatu kebiasaan manusia

dan kemudian karena kebiasaan tersebut dipercayai

oleh masyarakat menjadi suatu hal yang sakral, maka

kebiasaan itu berkembang dan menjadi suatu tradisi

dalam masyarakat.

Suatu tradisi akan berkembang lagi dan menjadi

”hukum” atau kode eti

k di dalam masyarakat. Di

dalam

suatu

kepercayaan

masyarakat

terhadap

”hukum” atau kode etik tadi maka kebiasaan

-kebiasaan

di dalam masyarakat tersebut akan dilakukan bahkan

dilaksanakan.

Jikalau ada bagian dari masyarakat yang tidak

mematuhinya, maka ia, sebagai bagian dari masyarakat

tersebut, akan mendapat ”sanksi atau hukuman” dari

lingkungannya.

Studi ini meninjau aspek-aspek dalam konteks desain dan gaya hidup mengenai pelaksanaan ritual kematian yang dikonstruksi dalam terminologi perayaan kematian. Sepanjang peradaban manusia telah ditemukan peninggalan berupa artefak, kebudayaan dan sastra yang berhubungan dengan cara manusia memaknai kematian. Kematian sebagai bagian dari kehidupan dimaknai dengan berbagai cara. Pada studi ini, penulis mengungkap bagaimana manusia—secara khususnya masyarakat di Indonesia —merayakan kematian dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut berhubungan dengan kepercayaan dan pola perayaan kematian.

Perayaan kematian yang dipengaruhi hasrat untuk hadir, dikenali, dihormati, dan memosisikan diri atau golongan tertentu pada suatu tataran sosial budaya tertentu akhirnya memiliki kecenderungan untuk membentuk suatu kebiasaan yang mengarah pada suatu gaya hidup. Penulis mengkaji perayaan kematian dari berbagai filsafat kematian menurut berbagai pemikiran filsuf, psikologi kematian, perayaan kematian dalam sudut pandang kepercayaan/agama, dan studi kasus tentang peringatan kematian seperti pada prosesi mengantar roh orang mati (atman) menuju alam baka pada tradisi di Bali (ngaben), berita kematian pada surat kabar (obituary), hingga homology instrumentasi pendukung ”perayaan kematian”

seperti atribut dan busana.

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

(2)

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

71

Namun karena tidak adanya sanksi atau hukuman

untuk seseorang yang dianggap melanggar kode etik

atau norma tadi, maka lingkungannya

pamali

atau

tidak boleh dilanggar, atau yang biasa disebut tabu.

Hal tersebut menimbulkan suatu mitos atau legenda di

dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Menurut

Alan Tomlinson dalam Piliang (2008) [1] dikatakan:

Lifestyle is about what we believe and think, what we

arrive at our beliefs, what we do, and how our action

express particular belief or value

. Manusia merespon

kematian

dalam

kognisinya

terhadap

berbagai

kepercayaan dan pengalaman.

Penulis mengkaji dengan metode

cultural reading

:

semiotics

dan

hermeneutics

tentang bagaimana

manusia “merayakan kematian” dalam berbagai

aktivitas yang berpola, kemudian menjadikannya

sebagai

way of life

yang menuju kepada penerapan

lifestyle

secara sadar ataupun tidak sadar.

2. Telaah Pustaka

2.1.Kematian sebagai “Bagian dari Kehidupan”

Manusia

Tanpa disadari, keyakinan bahwa setiap saat

seseorang bisa dijemput kematian memiliki

pengaruh yang amat besar bagi kehidupan

seseorang.

Begitu

pun

keyakinan

adanya

kelanjutan hidup setelah kematian. Dengan

harapan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat

kelak, maka Raja-raja Mesir Kuno membangun

piramida dengan puncaknya yang runcing dan

menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan

arwahnya menuju surga.

Sementara Raja-raja Tiongkok ketika meninggal

dan jasadnya dikubur, berbagai perhiasan yang

paling disukai disertakannya ke dalam suatu

bangunan yang kokoh dan megah karena yakin

bahwa kematian adalah suatu transisi untuk

memasuki kehidupan baru yang lebih agung dan

abadi. Dalam pada itu Islam secara tegas

mengajarkan bahwa tiada seseorang pun yang bisa

menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali

akumulasi dari amal kebaikan kita sendiri [2].

Doktrin Islam tersebut secara ekspresif dan

dramatis diperagakan dalam seremoni ibadah haji

yang

semuanya

mengenakan

baju

ihram.

Rangkaian ibadah haji tersebut memberikan pesan

kuat pada seluruh manusia bahwa pada akhirnya

dunia ini suatu saat, mau tidak mau, siap tidak

siap, pasti akan kita tinggalkan dan tidak ada bekal

yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup

manusia kecuali amal kebaikan yang telah terekam

dalam memori ruhani yang nantinya akan di

-print-out

di akhirat kelak.

Yang menarik, keyakinan semacam ini tidak saja

ditemukan di kalangan agamawan melainkan juga

di kalangan filsuf serta memperoleh dukungan

ilmiah seperti yang secara panjang lebar

dikemukakan oleh Frank J.Tipler dalam bukunya

The Physics of Immortality

(1994).

Mengutip kata orang bijak, tersenyumlah engkau

ketika malaikat maut menjemputmu meskipun

keluarga yang engkau tinggalkan akan menangis.

Sebaliknya, alangkah malangnya jika engkau

hadapi kehadiran maut dengan tangis penuh

ketakutan sementara orang-orang di sekitarmu

tersenyum gembira karena merasa risih akan

keberadaanmu di tengah mereka [3].

Citra 1. Baju Ihram sebagai simbol kesahajaan dan kesetaraan manusia di hadapan Tuhan. Sumber Gambar : dari berbagai sumber

Maka tidak aneh jika filsuf J. Paul Sartre sendiri pun

bergumam: “kematian merupakan peristiwa yang tidak

terpahami. Fenomena kematian adalah kenyataan yang menyergap secara tiba-tiba dan membuta, sehingga manusia tidak mampu mengontrolnya. Kedatangannya tidak bisa diperhitungkan dan sangat mengejutkan manusia yang sedang merencanakan hidupnya dan

berusaha mewujudkannya.”

(3)

Imam Ghazali juga Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Kematian [3], menjelaskan beberapa alasan mengapa manusia takut terhadap kematian.

Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi. Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang ia lakukan selama di dunia ini.

Kematian kerapkali menjadi dramatis, apalagi kalau peristiwa itu melibatkan diri kita, orang yang kita cintai, orang yang sangat kita butuhkan, orang yang memengaruhi atau menentukan jalur hidup kita. Akibatnya, meskipun kita (manusia) hidup di alam di mana semua makhluk lahir, tumbuh dan mengalami kematian, tidak begitu mudah menerima kematian itu sendiri, atau menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.

Manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan

tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam

menyambut kehadirannya. Manusia, kata Ghazali, biasanya ingat kematian hanya kalau tiba-tiba ada jenazah lewat di depannya. Seketika itu, ia membaca istirja’: ”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Namun, istirja’ yang dibaca itu hanyalah di mulut saja, karena ia tidak secara benar-benar ingin kembali kepada Allah dengan ibadah dan amal saleh.

2.2 Perayaan Kematian

Para filsuf memiliki dua pandangan yang bertolak belakang tentang hidup. Ada yang pesimis sehingga memandang hidup ini sebagai sesuatu yang berat, penuh kesedihan dan kesulitan lalu berakhir dengan maut yang berarti kepunahan. Ada juga yang optimis menilai hidup sebagai penghormatan dan tanggung jawab yang dapat berakhir dengan kebahagiaan dan kekekalan yang baru diperoleh melalui maut [4].

Ada berbagai cara dan ekspresi manusia dalam memaknai kematian. Ada kecenderungan bagi orang-orang untuk menunjukkan eksistensi, prestasi dan

”posisi” diri ataupun kerabat dekat di sekelilingnya bahkan hingga kematian tiba.

Ada keinginan untuk ”memberitahu dunia” tentang

berita kematiannya. Hal tersebut berkaitan dengan ontologi citra dan psikologi citra. Ada yang menganggap peristiwa kematian sebagai suatu perayaan yang penuh suka cita dan layak untuk dirayakan bersama. Berbagai cara dalam mengekspresikan perayaan kematian tersebut bisa berbentuk suatu peringatan dan pengabadian peristiwa kematian dalam

nisan, monumen, obituary, dokumentasi multimedia dan sebagainya atau bisa dengan perayaan upacara seperti penghormatan terakhir dalam prosesi kemiliteran, atau upacara tradisional seperti Ngaben dalam tradisi masyarakat di Bali [5].

3. Metode

Penulis mengkaji perayaan kematian dengan tiga metode. Pertama, metode studi literatur, dengan melihat fenomena perayaan kematian dan mengkajinya dengan sudut pandang berbagai filsafat kematian menurut berbagai pemikiran filsuf, psikologi kematian, dan perayaan kematian dalam sudut pandang kepercayaan/agama.

Kedua, observasi. Observasi dilakukan dengan mengamati perayaan kematian pada studi kasus ritual kematian seperti pada prosesi mengantar roh orang mati (atman) menuju alam baka pada tradisi di Bali (ngaben), berita kematian pada

surat kabar (obituary), hingga mengamati homology

instrumentasi pendukung ”perayaan kematian” seperti atribut

dan busana.

Observasi yang dilakukan menggunakan pendekatan semiotika visual. Tanda-tanda yang didokumentasikan sebagai hasil observasi dikaitkan antara penanda dan petanda dengan korelasi yang logis dan benar. Hasil pengorelasian dirangkum dalam kesimpulan.

Ketiga, analisis yang digunakan adalah tinjauan desain dan gaya hidup dengan membingkai permasalahan dalam ruang lingkup desain dan gaya hidup, kemudian melihat implementasi teori-teori desain dan gaya hidup yang ada pada objek penelitian.

4. Pembahasan

4.1 Pelebon Agung Keluarga Kerajaan di Puri Agung Ubud, Gianyar, Bali

Tradisi masyarakat di Bali dengan kepercayaannya,

Hindu Bali, tubuh seseorang hanyalah wadah bagi

jiwanya. Saat seseorang meninggal dipercayai

bahwa

atman

atau jiwa tetap di sekitar tubuh.

Tubuh kasar (

sthula sarira

) yang terdiri dari unsur

api (panas), udara (gas), air (cair), bumi (padat),

dan ruang hampa harus kembali ke alam semesta,

dan jiwa yang telah disucikan (

atman

), sebagai

badan halus (

suksma sarira

) menyatu dengan sang

pencipta. Inilah hakekat dan tujuan

ngaben

.

Kematian sejatinya bukan akhir, tetapi awal. Lebih

penting lagi cara hidup seseorang dan bagaimana

harapan sangat kuat keluarga almarhum setelah

kematian datang. Itulah yang jelas tertangkap dari

cara

sanak

keluarga,

rekan,

dan

warga

(4)

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

73

Nyaris tidak ada tangis, tapi wajah-wajah

bersemangat, penuh harapan bagi yang telah

meninggal, maupun yang ditinggalkan.

Citra 2. Patung lembu dan bade atau tempat jenazah diarak dari Puri Agung Ubud menuju Setra Dalam Puri Agung Ubud, Gianyar, Bali, Selasa (15/7/2008). Puncak upacara kremasi keluarga kerajaan (pelebon) yang dituakan, Tjokorda Gde Agung Suyasa, Tjokorda Gede Raka, serta Desak Raka

(Gung Niang Raka), itu disaksikan ribuan warga di Bali dan wisatawan. Sumber gambar : http://cetak.kompas.com

Tiga orang yang dikremasi itu tergolong dituakan dan terpandang. Mereka adalah Tjokorda Gde Agung Suyasa, kepala keluarga Puri Agung Ubud dan ketua komunitas tradisional di Ubud sejak 1976; Tjokorda Gede Raka, seorang pensiunan di Kepolisian Kota Besar Denpasar; dan Gung Niang Raka. Turut pula dikremasi 68 jenazah dari empat banjar desa adat sekitar Puri Agung Ubud: Banjar Sambahan, Ubud Tengah, Ubud Kelod Peken, dan Ubud Kaja [6].

Juru bicara Puri Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa, menjelaskan ngaben kali ini adalah pertama terbesar sejak 1979 saat ngaben seniman masyhur dari Ubud yang juga keturunan puri, Cokorda Gde Agung Sukawati. Mengingat fungsi puri/kerajaan dianggap penting dari sisi penegak moral dan ritual keagamaan, dukungan masyarakat di Bali pun sedemikian besar.

Setidaknya 68 desa adat di Bali secara gotong royong

membantu upacara ini. ”Pelebon bukanlah suatu acara duka, tetapi diyakini sebagai cara menghibur jiwa-jiwa yang telah meninggal dan menjaga agar jiwa mereka tidak terganggu oleh tangisan yang ditinggal [6]. Di sisi lain, pelebon merupakan bentuk gotong royong seluruh anggota keluarga dan masyarakat untuk mengurangi

beban biaya,” kata Kerthyasa, Jumat lalu.

Menurut Kerthyasa, berapa pun besarnya biaya upacara keagamaan—biaya fisik dalam seluruh ritual kremasi di Puri Agung Ubud kali ini sekitar Rp 3 miliar—upacara

itu tidak dapat berhenti di tengah jalan. ”Dalam ngaben niri (sendiri) biaya bisa di atas Rp 50 juta dari kantong pribadi, tapi dalam ngaben massal biaya bisa ditekan perayaan ngaben dengan konsep capital dalam hubungannya dengan lifestyle (dapat dilihat pada bagan di citra 3). Posisi keluarga kerajaan yang tinggi dalam tatanan masyarakat

sosial di Ubud (cultural and symbolic capital),

direpresentasikan dalam berbagai instrumentasi ngaben yang

megah dan menghabiskan banyak uang (Economic Capital),

namun mampu memberikan keuntungan berupa keringanan biaya bagi masyarakat karena penyelenggaraannya secara massal (social capital) (dapat dilihat pada bagan di citra 4).

ECONOMIC

Citra 3. Bagan hubungan Capital & Lifestyle

FIELD OF

Citra 4. Bagan Fields of Lifestyle

Pada upacara tersebut, seluruh jenazah ditempatkan di suatu bade (menara untuk jenazah dan yang tertinggi kali ini 28,5 meter dengan berat 11 ton) diarak ribuan warga di Bali. Prosesi juga diikuti patung lembu penuh hiasan megah dan disucikan Masyarakat Hindu serta Patung Nagabanda. Patung naga hanya muncul pada kremasi keluarga puri yang dituakan. Lembu adalah simbolisasi dari Lembu Nandini, Wahana Dewa Siva, penguasa dunia kematian [6].

(5)

Citra 5. Kiri: Replika Lembu Hitam, sombol dari Lembu Nandini, wahana dewa Siwa, sebagai pemralina (penguasa dunia akhir kehidupan). Tengah : Bhoma,

topeng pengusir bala (hal negatif). Kanan : bade (wadah jenazah) dengan tumpang (atap) sembilan, sebagai lambang alam bhurloka (alam roh). Ada pemanfaatan objek simbol (use of object) berkaitan dengan pola gaya hidup.

sumber : http://cetak.kompas.com

4.2 Fenomena meninggalnya Soeharto, Presiden ke-2 NKRI

Meninggalnya tokoh yang sangat populer sangat memengaruhi masyarakat. Ada keinginan untuk ikut larut dalam seremoni itu yang berhubungan dengan fenomena ‘histeria massa’, yang dikendalikan oleh mekanisme citra. Seseorang bisa melihat hal tersebut

pada “perayaan kematian” Soeharto, mantan presiden Indonesia.

Sebagai masyarakat Indonesia yang pernah “dekat”

dengan kepemimpinan Soeharto, janggal rasanya jika

tidak ikut terlarut dalam “perayaan kematian” Soeharto.

Ada suatu self moral punishment, Panopticon: the social relation of observation, surveillance, discipline and efficiency (Michel Foucault, Discpline and Punish), walaupun Soeharto tidak sempurna dan dikecam banyak orang di Indonesia karena pemerintahan yang korup.

Pemerintah Indonesia saat itu mengeluarkan

kebijaksanaan untuk menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang untuk menghormati Soeharto yang telah menjadi presiden di Indonesia selama lebih dari 30 tahun lamanya [7].

Senin siang, 28 Januari 2008 itu, di kawasan Astana Giribangun, Metasih, Kabupaten Karanganyar, Jawa

Tengah―kompleks pemakaman keluarga Cendana,

diterjang panas menyengat. Tak banyak orang yang memperhatikan, saat pemakaman Soeharto ternyata disyukuri para tukang ojek karena mereka memperoleh rezeki nomplok. Saat penguburan jenderal besar itu mereka memperoleh penghasilan melebihi hari-hari biasa [7].

Pada hari biasa pendapatan menarik ojek paling banyak Rp 15.000 hingga Rp 20.000, pada saat pemakaman Penguasa Orde Baru itu, Senin siang, para pengojek mengantongi Rp 200.000. Bahkan, sejumlah menteri tak segan mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk menggunakan jasa ojek menuju Astana Giribangun [7].

Penjual jasa lain yang memetik untung dari kematian Soeharto adalah para penjual bunga. Banyak orang

beranggapan perajin krans (karangan) bunga duka cita nggege mangsa (mendahului kehendak tuhan).

Sejak presiden terlama berkuasa di Indonesia itu dirawat di RSPP dan dinyatakan kondisinya kritis, pesanan membanjiri kios bunga milik Dwi Santo yang terletak di jantung Kota Solo. Dwi Santo mengaku usaha pembuatan karangan bunga miliknya yang sudah empat generasi menjadi langganan keluarga Cendana [7].

Saat Siti Hartinah atau Ibu Tien, istri Soeharto, meninggal beberapa tahun lalu, pihaknya juga kebanjiran pesanan krans bunga. Hingga Minggu (27/1/2008) pagi kios bunga milik Dwi Santo telah menyiapkan 300 papan krans karangan bunga duka cita yang telah dipesan pelanggan. Permintaan tulisan di krans bunga duka cita pun beragam. "Biasanya mereka minta ditulis singkat, tapi minta dibesarkan nama instansi atau nama pemesannya. Ini kan menandakan si pengirim karangan bunga duka cita tidak tulus mencampaikan ucapan belasungkawa," ujarnya [7].

Dari fenomena tersebut, seperti fenomena pada perayaan ngaben, terdapat hubungan perayaan kematian PresidenSoeharto saat itu dengan konsep capital dalam hubungannya dengan Lifestyle. Dalam hal ini social dan economic capital.

Terdapat fenomena menarik tentang pemujaan citra (fetishism of image) dan ontologi citra Soeharto beserta Keluarga Cendana (Keluarga Besar Soeharto) dalam mempertahankan posisi citra (existence of images) yang menggiring pada ontologi citraan (ontology of images)

dan posisi pada “masyarakat kelas atas”.

Soeharto dan keluarganya “meminjam” image Astana Giri Bangun sebagai tempat peristirahatan terakhir

(baca:makam) dalam transposisi image untuk

menunjukkan kelas priayi dari Keluarga Besar Soeharto. Karena, Astana Giri Bangun mewakili image tempat pemakaman para priayi agung keluarga besar dari Keraton Mangkunagaran (Citra 7).

Citra 6. Astana Giri Bangun, Metasih, Kabupaten Karanganyar, Jawa

Tengah―kompleks pemakaman keluarga Cendana dengan image-nya sebagai

(6)

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

75 Keluarga

Besar Soeharto

Astana Giri Bangun

Makam Keluarga

Priayi Mangkunegaran

Borrowing

Status Sosial Tinggi

Transposition Keluarga

Besar Soeharto

Astana Giri Bangun

Makam Keluarga

Priayi Mangkunegaran

Borrowing

Status Sosial Tinggi

Transposition

Citra 7. Transposisi Image antara Keluarga Besar Soeharto dan Astana Giri Bangun.

4.3 Obituary sebagai Ontologi Citraan

Obituary merupakan wujud ekspresi dari kecenderungan orang-orang untuk menunjukkan eksistensi, prestasi dan

”posisi” diri ataupun kerabat dekat di sekelilingnya bahkan hingga kematian tiba. Ada keinginan untuk

”memberitahu dunia” tentang berita kematiannya.

Hal tersebut berkaitan dengan Ontologi Citra dan Psikologi Citra. Jonathan Rutherford dalam karya tulis-nya, Identity: Community, Culture, Difference, (1990) [1] mengatakan : “Pada tingkat individual, identitas memberikan seseorang suatu ‘lokasi personal’ (personal location) sebagai ‘titik pusat individualitas’ yang stabil

dan mantap.” Terdapat suatu upaya dalam mengukuhkan

eksistensi diri dan memperlihatkan lokasi personal antara desain obituary yang satu dengan yang lain. Seperti yang bisa dilihat pada analisis penulis tentang obituary.

Citra 8. Image tag atau banner obituari pada Klasifikasi Iklan (Klasika) KOMPAS dengan gaya romantisme-nostalgia, menyesuaikan dengan citra

positif kematian yang meninggalkan kenangan dan memori terhadap almarhum.Sumber Gambar : Klasika Harian KOMPAS

4.4 Homology Obituary

Penulis melihat adanya homology dalam struktur desain obituary. Pertama, dibuat berbingkai, berbentuk

pemberitahuan dengan kop obituary menunjukkan

bahwa obituary mengabarkan berita kematian. Biasanya tulisan yang tertera pada kop obituary adalah berita duka cita, atau rest in peace. Kemudian waktu kematian, dan identitas almarhum yang disampaikan dengan foto wajah yang terbaik (belum tentu foto terakhir) menurut keluarga almarhum, beserta nama dengan ukuran yang mencolok dan umur almarhum.

Masyarakat keturunan Tionghoa menyertakan nama Tionghoa-nya. Kemudian dilanjutkan informasi seputar penyemayaman jenazah dan nama-nama keluarga dan kerabat almarhum.

Citra 9.Obituary 01. Sumber: dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas

Space (ruang/bidang) penempatan obituari dalam media surat kabar mendapat tempat di bagian yang sama dengan iklan. Karena itu banyak yang menempatkan nama yang bersifat komersil dalam obituary. Bisa nama toko atau perusahaan asal atau milik almarhum atau pihak terkait yang ingin diakui eksistensinya atau keterlibatannya dengan almarhum.

Seakan-akan, seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali juga Komaruddin Hidayat dalam psikologi kematian, si almarhum tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Dalam obituary dicantumkan jabatan semasa almarhum hidup beserta perusahaan-perusahaan yang dimiliki dan rekan kerja yang dijalin semasa hidup.

Citra 10.Obituary 02. Sumber: dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas

(7)

almarhum diperlihatkan dengan kostum atau atribut kebesarannya.

Yang berprestasi di dunia militer, foto almarhum memperlihatkan atribut militer. Yang berprestasi dalam dunia pendidikan, diperlihatkan prestasi tersebut dengan toga dan atributnya. Seperti yang bisa dilihat pada citra 11 obituary 03.

Citra 11.Obituary 03. Sumber: Dari berbagai edisi KLASIKA Harian Kompas

Tentu saja dibutuhkan biaya untuk memasang obituary pada media. Semakin besar ukurannya, maka semakin besar-lah uang yang harus dibayar. Peluang tersebut dipergunakan juga untuk menunjukkan posisi dan difference untuk membedakan dari yang lain sehingga memperlihatkan strata sosial dan eksistensi almarhum dan keluarga dengan jelas.

Dalam hubungan ”perayaan” kematian dalam kelompok

masyarakat, terjalin adanya kontak sosial, kepedulian terhadap manusia lain yang meninggal dunia. Muncullah Praktik nyekar, melayat dengan cara yang terkait dengan disposisi yang telah disepakati sebelumnya

dalam masyarakat dalam rangka ”perayaan” kematian

itu.

Disposisi itu biasanya berupa atribut, simbol dan

berbagai instrumentasi. Misalnya pada pakaian.

Kebanyakan warna pakaian untuk menghadiri acara resmi yang berhubungan dengan kematian di Indonesia biasanya adalah warna hitam atau putih yang melambangkan kedukaan dan kesucian. Warna-warna cerah pada umumnya dianggap tabu karena kontras dan cenderung bermakna kegembiraan.

Semua di-setting dalam suasana duka. Untuk acara nyekar, aturan dalam berpakaian lebih tidak terikat, tapi tetap dalam batasan-batasan yang telah disepakati bersama dalam lingkungan tertentu.

Ada keinginan juga yang secara sadar atau tidak sadar untuk memperlihatkan status sosial dari cara berpakaian

dan nilai pakaian dalam seremoni kematian. Semakin mahal dan semakin terkenal rancangan busana, semakin tinggi status sosial dan capital-nya.

Citra 12Kiri : Gaya berpakaian nyekar yang lebih santai dengan baju batik. Tengahdan Kanan: Gaya berpakaian untuk melayat yang didominasi warna hitam dan putih atau kombinasi warna lain yang menimbulkan kesan duka dan

menunjukkan simpati dan empati. Sumber: Berbagai sumber

Dalam tradisi militer, ”perayaan” kematian

diselenggarakan upacara kemiliteran dengan berbagai atribut militer dan rentetan upacaranya.

Citra 13. Rentetan upacara ”Perayaan Kematian” Militer. Penuh dengan perangkat kemiliteran dan tembakan penghormatan dengan instrumen simbol

disposisi bunga dan karangan bunga yang lekat dengan perayaan kematian. Sumber: Berbagai sumber

Pada Citra 14 dapat dibandingkan disposisi

instrumentasi dalam "perayaan kematian".

Citra 14. Disposisi instrumentasi dalam perayaan kematian. Sumber: Rangkuman gambar oleh penulis

5. Konklusi

Manusia memaknai kematian sebagai bagian dari kehidupan dengan berbagai cara. Pertama, ada yang takut dengan kematian itu, kemudian sebagai respon akan rasa panik tersebut, timbul paranoia, sehingga akhirnya dengan tekun mempelajari agama secara mendalam. Yang ingin mencapai pencerahan secara instan, biasanya mencari pengalaman dengan mengikuti aliran-aliran kepercayaan alternatif seperti sufisme, taoisme, dan lain-lainnya.

(8)

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

77

menghargai penggunaan waktu dan tempat seefektif dan seefisien mungkin. Ada yang tidak peduli dengan kematian dan memanfaatkan masa hidup dengan bersenang-senang dengan alasan waktu hidup singkat. Kaum ini adalah kaum hedonis.

Masyarakat memiliki pola khusus dalam merayakan kematian. Ada pemanfaatan objek (use of object), ruang dan waktu ketika manusia berhadapan dengan perayaan kematian. Penulis mengambil contoh perayaan ngaben, fenomena kematian tokoh populer, ontologi citra melalui obituary dan disposisi instrumentasi perayaan kematian

dalam membahas “perayaan” kematian dalam tinjauan

desain dan gaya hidup. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ada berbagai konsep gaya hidup yang diterapkan

dalam konteks “perayaan” kematian manusia, seperti concept of capital, the use of object, ontologi citra, disposisi -transposisi image, dan homology.

Referensi

[1] Piliang, Yasraf Amir. 2008. Materi Kuliah Desain dan Gaya Hidup. Bandung : Institut Teknologi Bandung

[2] Al Ghazali. 2008. Metode Menjemput Kematian. Bandung : JABAL

[3] Hidayat, Komaruddin. 2005. Psikologi Kematian-Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Jakarta : Mizan.

[4] Christiawan, Johanes. 2002. Ketika Aku Melihat Kematianku. Studio Seni Grafis. Bandung : ITB.

[5] ---, . 2017. “Kebermaknaan Kematian Menurut John Hick”. http://nelkaonline.wordpress.com/2007/11/21/kebermaknaan-kematian-menurut-john-hick/)

[6] Koestanto, Benny Dwi. 2008. ”Ngaben Massal - Seribu

Harapan di Setra dalam Ubud”.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/16/01434040/seri bu.harapan.di.setra.dalam.ubud.

[7] Soetopo, Eddy J.2008. ‘Berkah’ Kematian Soeharto. VHR Media./

Profil Penulis

I Made Marthana Yusa, S.Ds., M.Ds menyelesaikan pendidikan program Sarjana Desain dan Magister Desain pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.

Penulis saat ini tercatat sebagai mahasiswa Program Doktoral Kajian Budaya Universitas Udayana, Bali. Homebase Penulis adalah pada konsentrasi Desain Grafis dan Multimedia, Teknik Informatika, STMIK STIKOM Indonesia, Denpasar-Bali. Beberapa publikasi penulis dapat dilihat pada :

Google Scholar :

https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&imq=I+Made+Marthana+Yusa &user=AYrv2xQAAAAJ

Referensi

Dokumen terkait

Sifat-sifat dasar operator akan disajikan sebagai dasar untuk pengembangan lanjutan, yang sebelumnya sebagian sudah disajikan di dalam beberapa tulisan antara

Hasil dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa minyak dedak padi yang memiliki nilai viskositas yang tinggi bisa diturunkan dengan dicampurkan

Kinerja sering diartikan sebagai pencapaian tugas, dimana karyawan dalam bekerja harus sesuai dengan program kerja organisasi untuk menunjukkan tingkat kinerja

Hasil Perbandingan Nilai Springiness Osmotic Meat Kontrol dengan Osmotic Meat yang diberi Berbagai Macam Jenis dan Konsentrasi Bahan Perekat ... Hasil Pengukuran

45 2.12.5 Pengaruh Kemudahan Penggunaan Persepsian Perceived Ease of Use Terhadap Minat Perilaku Behavioral intention untuk Menggunakan Mobile Banking Secara Tidak Langsung

Pada perlakuan T0 pH kefir lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan T3, hal ini karena selama tiga hari penyimpanan bakteri asam laktat mulai melewati fase adaptasi dan

“THE INFLUENCE OF VIDEO TUTORIAL APPLICATION ON THE STUDENTS’ COMPETENCE IN PROCEDURE TEXT COMPREHENSION AT THE TENTH GRADE STUDENTS OF MA AL-HIDAYAH

Konstruksi suatu peta genetik memerlukan empat tahapan (Semagn et al. 2006), yaitu: 1) pembentukan populasi persilangan atau populasi mapping (jenis populasi dan ukuran