• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES RESILIENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROSES RESILIENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUS"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES RESILIENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Penelitian bertujuan untuk mengetahui proses resiliensi dalam menghadapi keterbatasan fisik individu sehingga dapat berprestasi di YPAC Kota Malang. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan jenis studi kasus. Teknik pengumpulan data dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis menggunakan analisis informasi; open coding, axial coding, dan selective coding. Validitas dan relibialitas yang digunakan adalah rizhomatic validity dan Synchronic Realibility. Hasil penelitian ini adalah proses resilien memiliki sumber resiliensi; bangga dengan prestasi akademik dan non akademik (I Am), memiliki keyakinan dapat melakukan kegiatan seperti anak normal lain (I Am), melakukan hubungan sosial dan interpersonal, mampu meningkatkan kemampuannya berprestasi (I Can), Ibu kandung subjek, guru beserta teman-teman di sekolahnya yang mendukung subjek berprestasi (I Have). Subjek memiliki tujuh faktor resilien; mampu tetap tenang dibawah kondisi yang menekan dari keterbatasannya (Emotion Regulation), mengendalikan keinginan dirinya yang ingin dapat melakukan kegiatan seperti anak normal lainnya (Impulse Control), Optimis, tidak ingin membuat ibunya kecewa (Emphaty), mempresentasikan keyakinannya dan dapat mengetahui cara menyelesaikan masalah (Self-Efficacy), mampu mengedintifikasi penyebab dan akibat dari kondisi fisik yang dimiliki (Causal Analysis), dan memiliki tujuan hidup atas keterbatasannya (Reaching Out). Subjek memiliki fungsi resiliensi; memiliki cara pandang yang positif atas keterbatasan yang ia miliki (Overcoming), menguasai lingkungan dengan cara mendekatkan diri dengan Ibu, teman-teman, dan guru di sekolah, mampu mengontrol keterbatasannya sehingga ia mengetahui bagaimana cara berhubungan dengan orang lain (Steering through), mampu mengontrol keterbatasannya (Bouncing back), mengetahui resiko dari kekurangannya untuk terus berprestasi di akademik atau di non akademik (Reaching Out).

(2)

THE RESILIENCE PROCESS OF DISABLED CHILDREN ACHIEVEMENT WITH SPECIAL NEEDS

(Case study in YPAC Malang)

Nindy Monikha Stefiany

ABSTRACT

This study is aimed to know the resilience process in facing individual physical restrictiveness so that they can have achievement in YPAC Kota Malang. Method used is qualitative method with the type of case study. Data collection technique obtained the result of interview, observation, and documentation. Analysis technique uses information analysis: open coding, axial coding, and selective coding. Validity and reliability used is rizhomatic validity and Synchronic Realibility. The result of this study is that the resilience process has resilience source; proud of the academic and non academic achievement (I Am), has faith to do activity like other normal individual (I Am), has social and interpersonal correlation, be able to increase their ability to have achievement (I Can), mother subject, teacher and friends in their school support the achievement subject (I Have). Subject has seven factors of resilience; be able to be quiet under pressure condition of their restrictiveness (Emotion Regulation), controlling will that canv do the activity like other normal children (ImpulseControl), optimistic do not want to make mother disappointed (Emphaty), presenting faith and be able to know how to solve the problem (Self-Efficacy), be able to identificate the cause and effect of physical condition had (Causal Analysis), and have life purposes on their restrictiveness (Reaching Out). Subject has function of resilience; has positive point of view (Overcoming), take control on environment by keeping in touch with mother, friends, and teachers in school, be able to control the restrictiveness so that they know how to have correlation with other people (Steering through), be able to control his limitation (Bouncing back), to know the risks of their restrictiveness to keep have achievement in academic or in non academic (Reaching Out).

(3)

Latar Belakang

Masa kanak-kanak adalah masa yang terindah dalam hidup di mana semua terasa menyenangkan serta tiada beban. Namun tidak semua anak dapat memiliki kesempatan untuk menikmati semua hal tersebut, hanya karena mereka ‘berbeda’ dari anak kebanyakan lainnya. Anak yang lahir dengan kekurangan, baik itu berupa cacat tubuh maupun mental harus mengalami hal yang berbeda serta beban yang lebih berat daripada anak normal lainnya. Mereka harus melakukannya dengan cara mereka yang khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus terkait dengan kekhususan yang dimiliki, yaitu kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, agar mereka dapat berkembang dengan optimal sesuai dengan potensi kemanusiaan menurut Hallahan dan Kauffman (Mangunsong, 2011).

Banyaknya anggapan bahwa keadaan cacat seseorang tersebut sebagai penghalang dalam segala hal yang ingin dilakukannya. Banyak terjadi kejadian bahwa lingkungan enggan mengakui keberadaan para penyandang cacat tubuh tersebut. Anak-anak berkebutuhan khusus sering menganggap dirinya sebagai orang-orang yang gagal karena adanya kelemahan atau kekurangan pada anggota tubuhnya (cacat tubuh). Namun, anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki resiliensi yang tinggi dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungannya sehingga dapat mencapai keadaan yang normal walaupun dengan keadaan yang terbatas. Salah satunya anak berkebutuhan khusus tuna daksa yang dapat berprestasi secara akademik ataupun berprestasi non akademik walaupun memiliki keterbatasan fisik. Resiliensi adalah kapasitas individu untuk mengatasi dan meningkatkan diri dari keterpurukan dengan merespons secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari (Reivich dan Shatte, 2002).

(4)

kemampuan di dalam bidang kesenian dibandingkan dengan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya di sekolah tersebut. Anak berkebutuhan khusus tuna daksa di YPAC tersebut dapat memiliki prestasi yang lebih dibandingkan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya karena mampu mengatasi keterbatasannya. Untuk dapat bangkit dari keterbatasan fisik yang ia miliki, seseorang harus melalui suatu proses, memiliki sumber dan faktor yang melatarbelakangi seseorang dapat bangkit dari keterpurukannya. Seharusnya anak berkebutuhan khusus tuna daksa bahkan anak berkebutuhan khusus lainnya di YPAC Kota Malang yang lain dapat berprestasi juga di sekolah maupun di luar sekolah. Peneliti melihat sejauh ini lingkungan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut mampu mendukung dan memotivasi dalam melawan hambatan yang dimiliki mereka agar tetap bisa berprestasi walaupun dalam keadaan yang terbatas.

Dengan fenomena tersebut penilaian resiliensi dapat dilihat dari bagaimana seseorang menghadapi tantangan sehari-hari oleh keterbatasan fisiknya. Untuk dapat menjadi seseorang yang resilien bagi anak tuna daksa dan dapat berprestasi walaupun memiliki keterbatasan fisik dibutuhkan proses yang melibatkan beberapa faktor yang berperan dalam membentuk pribadi yang resilien. Reivich dan Shatte (2002) mengatakan bahwa untuk dapat menjadi anak yang resilien harus memiliki tujuh faktor yang berperan. Tujuh faktor tersebut adalah regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, analisis kasual, empati, efikasi diri, serta reaching out. Setiap individu memiliki kekuatan yang berbeda-beda terhadap setiap faktor.

(5)

Landasan teori

1. Definisi Anak

Di dalam psikologi perkembangan, Papalia membagi dua tahap perkembangan anak. Anak adalah manusia yang berumur 3 hingga 12 tahun yang terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahapan kanak-kanak awal yang dimulai dari umur 3 sampai 6 tahun dan tahapan kanak-kanak tengah dimulai dari umur 6 tahun sampai 12 tahun (Papalia, 2009).

2. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus Tuna Daksa

Gangguan fisik atau cacat tubuh mempunyai pengertian yang luas, secara umum dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Dalam hal ini yang termasuk gangguan fisik adalah anak-anak yang lahir dengan cacat fisik bawaan seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, anak yang kehilangan anggota badan karena amputasi, anak dengan gangguan neuro muscular seperti celebral palsy, anak dengan gangguan senso motorik (alat penginderaan) dan anak-anak

yang menderita penyakit kronis.

Hallahan dan Kaufman mengatakan bahwa anak-anak dengan kekurangan fisik atau masalah kesehatannya mengganggu kegiatan belajar atau sekolah sehingga membutuhkan pelayanan, pelatihan, peralatan, material, atau fasilitas-fasilitas khusus (Mangunsong, 2011).

(6)

Secara umum klasifikasi atau kategori gangguan dapat dibagi atas:

a. Anak tuna daksa yang tergolong bagian D (SLB D) ialah anak yang menderita gangguan karena polio atau lainnya, sehingga mengalami ketidak normalan dalam fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot, tetapi mereka berkemampuan normal.

b. Anak tuna daksa yang tergolong bagian D1 (SLB D1) ialah anak yang mengalami gangguan semenjak lahir atau celebral palsy, sehingga mengalami hambatan jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi dan syaraf-syaraf. Kemampuan intelegensi mereka dibawah normal atau terbelakang.

Hallahan dan Kaufman membagi gangguan fisik menjadi tiga kategori, yaitu gangguan neuromotor (neuromotor impairments), gangguan ortopedik dan otot-rangka (orthopedic and musculoskeletal disorders), serta kondisi lain yang mempengaruhi kemampuan fisik dan kesehatan (Mangunsong, 2011).

1) Gangguan Neuromotor

Gangguan ini disebabkan oleh luka pada otak atau spinal cord (kerusakan neurological) yang juga mempengaruhi kemampuan untuk menggerakan bagian-bagian tubuh manusia (gangguan motorik). Ini dapat diasosiasikan dengan luka pada otak sebelum, selama, atau setelah kelahiran. Gangguan yang termasuk neuromotor impairements antara lain Celebral Palsy (Mangunsong, 2011). Klasifikasi Celebral

Palsy (CP) yang juga berlaku bagi semua tipe gangguan neuromotor adalah sebagai

berikut:

(7)

b) Athetosis. Ciri-cirinya: Ketegangan otot terjadi, terlihat pada leher yang kaku, mulut terbuka, dan lidah tidak terkontrol. Cara berjalan tidak berirama, kata-kata tidak berirama, gerakan otot wajah yang tidak disengaja.

c) Ataxia. Ciri-cirinya: gerakan tidak stabil, berjalan dengan langkah tinggi, mudah jatuh, mata tidak terkoordinasi, kombinasi antara spasticity, athetosis, dan ataxia.

Berdasarkan anggota gerak yang terlibat atau daerah kerusakan, sebagai berikut: a) Monoplegia: hanya satu anggota gerak tubuh yang terserang

b) Hemiplegia: yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu sisi (bagian kanan atau kiri).

c) Paraplegia: dimana kedua kaki terserang.

d) Diplegia: keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih besar dibawah pinggang.

e) Quadriplegia: keempat anggota gerak tubuh terserang semua.

Menurut tingkat kerusakan atau berat ringannya kerusakan, Celebral Palsy dibagi menjadi:

a) Tingkat ringan, dengan ciri-ciri : 1. Anak dapat berjalan dan berbicara 2. Anak dapat menjalankan fungsi tubuh 3. Gangguan yang dialami anak tidak banyak. b) Tingkat sedang, dengan ciri-ciri :

1. Anak memerlukan pengobatan untuk gangguan bicara, memerlukan latihan gerak motorik.

2. Mempergunakan alat bantu untuk gerak (brace atau tongkat). c) Tingkat berat, dengan ciri-ciri :

(8)

2. Anak kurang mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. 3. Anak tidak mampu berjalan atau berbicara (kelumpuhan). 2) Gangguan Ortopedik

Hallahan dan Kauffman menyatakan bahwa Gangguan ini akibat dari kelemahan atau penyakit pada otot atau tulang (Mangunsong, 2011). Terdapat dua macam gangguan ortopedik:

a. Muscular Distrophy

Penyakit keturunan yang memiliki karakteristik kelemahan otot-otot secara progresif akibat degnerasi jaringan-jaringan otot.

b. Juvenile Reumathoid Arthritis

Penyakit yang sangat merusak, dimana otot-otot dan persendian terserang. Penyakit ini kadang diikuti dengan komplikasi, seperti demam, gangguan pernafasan, dsb. 3) Kondisi lain yang mempengaruhi kesehatan dan kemampuan fisik.

Penyakit Ashma dan Hemofilia termasuk penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kemampuan fisik seseorang.

3. Definisi Resiliensi

Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ‘resilire’ yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa Inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient’ biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang terpuruk (Poerwandari, 2008).

Menurut Reivich dan Shatte (2002) yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi

(9)

keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya.

a. Fungsi Resiliensi

Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich dan Shatte, 2002).

1) Overcoming

Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.

2) Steering through

Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Steering through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul.

3) Bouncing back

(10)

4) Reaching out

Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi, mengetahui dengan baik diri mereka sendiri, dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.

b. Faktor resiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut.

1) Emotion Regulation

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich dan Shatte, 2002). Reivich dan Shatte mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing).

2) Impulse Control

Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. 3) Optimism

(11)

4) Causal Analysis

Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. 5) Empathy

Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002). 6) Self-efficacy

Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-efficacy

merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich dan Shatte, 2002).

7) Reaching out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.

c. Sumber-sumber Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai berikut.

1) I Have ( sumber dukungan eksternal )

I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini

(12)

2) I Am ( kemampuan individu )

I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan

tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. 3) I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )

I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan

interpersonal.

Metode

(13)

Hasil

Subjek ialah anak yang menderita gangguan karena polio sehingga mengalami ketidak normalan dalam fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot, tetapi berkemampuan normal dalam aspek kognitif. Subjek memiliki ketidakmampuan secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal dibagian kakinya karena kelainan sejak lahir. Menurut tingkat kerusakan serta fisiologi dari kerusakan gerak motorik subjek (PS) tergolong tingkat ringan dimana terdapat ciri-ciri sebagai berikut, dapat berjalan dan berbicara walaupun memakai kursi roda dan dapat menjalankan fungsi tubuh. Anak tuna daksa biasanya tidak mengalami keterbelakangan mental. Fenomena yang ditemukan peneliti adalah seorang anak berkebutuhan khusus tuna daksa yang merupakan satu-satunya anak yang dapat berprestasi di YPAC Kota malang. Mereka melakukan pertahanan diri untuk tetap dapat melakukan hal-hal yang lebih baik walaupun dengan keadaan fisik yang kurang melalui suatu proses.

Proses untuk membuat seseorang mampu bertahan dan tidak menyerah pada keadaan sulit disebut dengan proses resilien, diantaranya karena subjek memiliki sumber-sumber resiliensi yang dinyatakan oleh Reivich dan Shatte (2002).

(14)

Subjek pernah mewakili anak berkebutuhan khusus tuna daksa di YPAC Kota Malang untuk membuat puisi yang akan dibukukan dan dicetak. Kebanggaan terhadap kemampuan pada dirinya sendiri tersebut membuat subjek semakin yakin untuk bisa melanjutkan ke SMP umum.

Menurut Grotberg (1999), I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Dari keyakinan yang ia miliki, ia ingin menjadi anak yang mandiri dengan cara yang menurutnya positif. Subjek yakin dapat belajar akademik maupun non akademik tanpa harus ada guru bimbingan, selama ini subjek mencoba belajar musik sendiri di sekolah maupun di rumah agar ia dapat menguasai banyak lagu, menurutnya jika ia bermain musik dengan baik, ia akan sering dipanggil untuk acara pentas di berbagai acara dan mendapatkan uang untuk membantu ibu dan keluarganya.

Selain itu, Grotberg mengatakan bahwa manusia yang beresilien merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu PS tunjukkan melalui sikap peduli subjek terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. PS juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Subjek tunjukkan melalui sikap peduli terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain.

Dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga disebut dengan I Have dalam sumber resiliensi (Grotberg, 1999). Hubungan yang penuh kepercayaan diperoleh dari hubungan PS dengan orang tua, terutama ibu kandung PS.

(15)

mendapatkan dukungan dari lingkungannya terutama keluarga, yaitu ibunya. Hasil penelitian membuktikan teori tersebut bahwa PS memiliki kemampuan melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitarnya. PS juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.

Menurut teori Grotberg (1999), anak yang resilien mampu mengekepresikan dalam kata-kata atau perilaku untuk menghindari keterpurukannya. PS mampu mengekspresikan perasaannya kepada peneliti, dan perilaku yang ditunjukan. Pada sumber resiliensi, I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. PS mampu belajar melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Menurut Grotberg (1999), Anak yang resilien dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Subjek mengetahui resiko atas kekurangan fisik yang subjek miliki. Sehingga ia tetap yakin, bangga, dan meningkatkan kemampuan di dalam dirinya untuk tetap mampu berprestasi dan beradaptasi dengan keadaannya tersebut.

Manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich dan Shatte, 2002). PS dapat membuktikan fungsi resiliensinya dengan cara cara pandang yang positif dari kekurangan fisik yang ia miliki, PS memiliki motivasi untuk melakukan hal positif yang dapat membuktikan bahwa ia dapat melakukan hal positif seperti anak normal lainnya bahkan PS ingin meningkatkan kemampuannya dengan masuk ke SMP Umum. Sehingga, PS dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan yaitu kekurangan fisiknya sebagai anak berkebutuhan khusus tuna daksa.

(16)

bahwa PS dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah dan berprestasi dengan keadaan fisik yang terbatas. Membuktikan teori Grotberg (1999), anak yang beresilien dapat memiliki fungsi, mampu mengatasi masalah dengan menguasai lingkungannya, PS memiliki keyakinan karena ia memiliki banyak teman di sekolah, disukai guru, dan kenal dekat dengan tetangga-tetangga di rumah subjek. PS dapat memecahkan masalah dengan lingkungannya.

Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Anak yang beresilien menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma. PS mampu berhubungan dengan orang lain untuk mengatasi kesulitan dalam hidupnya, biasanya ia melakukan sharing dengan cara bercerita kepada ibunya, terkadang ia lakukan dengan temannya. Selain itu ketika PS memberikan uang tabungannya untuk membeli bahan makanan di rumah karena ayah tidak memberi uang kepada ibunya.

Resiliensi selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru (Reivich dan Shatte, 2002).

(17)

musik sendiri agar semakin pintar bermain musik dan menghasilkan uang untuk membantu keluarganya dari musik.

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich dan Shatte, 2002). Emosi mempengaruhi bagaimana orang tersebut beresilien. PS dapat mengendalikan emosinya dengan baik, pengendalian emosi yang dapat dikatakan baik karena PS mampu mengendalikan emosi dengan tetap tenang di bawah kondisi yang menekan jika terdapat suatu masalah di dalam dirinya.

Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini dimiliki PS untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu seperti hubungan dengan Ayah PS, serta mengurangi stres yang dialami olehnya.

Menurut teori Reivich dan Shatte (2002), anak yang resilien memiliki faktor pengendalian impuls, pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. PS memiliki faktor untuk bangkit dari keterbatasan yang ia miliki karena PS mampu mengendalikan keinginan dengan kesukaan dirinya ketika subjek ingin sekali beraktifitas normal seperti anak normal lainnya namun keadaan fisik yang terbatas yang tidak memungkinkan, PS mewujudkan keinginannya dengan cara berprestasi di akademik maupun non akademik. PS merasa dirinya dapat berprestasi seperti anak normal walaupun ia adalah anak yang berkebutuhan khusus.

(18)

ini juga dibuktikan PS merefleksikan self-efficacy yang dimiliki nya yaitu kepercayaan individu bahwa PS mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. PS dapat dikatakan optimis karena PS sangat yakin bahwa dirinya dapat membanggakan ibunya dengan melakukan hal positif walaupun tidak melibatkan fisik subjek. Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan self-efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong

untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich dan Shatte, 2002).

Hal ini juga merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh subjek, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Misalnya dengan pernyataan subjek dalam wawancara yang menyatakan bahwa ia mengetahui resiko dari keterbatasan yang ia miliki, sehingga ia berusaha agar dapat berprestasi di sekolahnya, dengan melakukan suatu hal positif yang tidak terlalu melibatkan fisiknya, karena PS tidak bisa berjalan tanpa kruk. PS menyadari bahwa kesempatan ia dalam mendapatkan pekerjaan kelak akan sulit dibandingkan dengan anak normal.

Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002). PS memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, PS mampu berempati sehingga memiliki hubungan sosial yang positif. Terbukti bahwa PS memiliki hubungan yang positif dengan ibunya, juga dengan lingkungannya.

(19)

miliki, PS mampu meraih aspek positif dari masalah-masalah yang terjadi, mampu menemukan tujuan hidup, dan PS mampu mengetahui resiko yang akan terjadi atas keterbatasan fisiknya. Subjek mampu meraih aspek positif dari kekurangan fisiknya yang tidak dapat berjalan normal, sehingga PS melakukan hal positif yang tidak melibatkan fisik.

Subjek penelitian memiliki cara pandang positif dari kekurangan yang ia miliki, beberapa kali ia mengatakan bahwa ia tidak menyesali keadaan yang menimpanya, karena ia merasa dari kekurangannya dapat membantu orang tuanya karena PS suka menabung untuk membantu orang tuanya. Subjek pun mengambil sisi positif dari sikap ayah PS yang lebih memperhatikan saudara tirinya, karena memang keadaan ia dengan saudara tirinya berbeda, dikarenakan saudara tirinya tidak bisa menghasilkan uang seperti dirinya. PS mengambil sisi positif dari kekurangannya dengan membahagiakan ibunya walaupun dengan keadaan fisik yang sangat terbatas dengan cara berprestasi.

Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. PS dapat mengetahui bagaimana menempatkan diri di dalam lingkungannya. Subjek mengetahui betul bagaimana keadaan lingkungan di sekitarnya. Subjek selalu ingin menguasai lingkungan seperti misalnya saat latihan musik di kelas subjek ingin mengajarkan semua alat musik kepada temannya yang belum bisa memainkan alat tersebut tanpa disuruh oleh gurunya.

(20)

Menurutnya keterbatasan fisik tidak membatasi ia untuk melakukan hubungan dengan orang lain. Teman-teman di sekolah subjek menyukai subjek karena sifat humoris subjek, guru-guru subjek yang melihat subjek sebagai anak yang dapat berinteraksi dengan siapapun, dan juga lingkungan subjek, yaitu tetangga subjek yang juga dekat dengan subjek. Subjek menganggap lingkungan dapat menyelesaikan masalahnya misalnya dengan cara bercerita masalah subjek kepada orang yang dipercayainya.

Kesimpulan

Resiliensi anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang berprestasi di YPAC Kota Malang memiliki tiga sumber resiliensi; perasaan bangga dengan prestasi akademik maupun non akademik yang subjek miliki walaupun memiliki kekurangan fisik (I Am), PS juga memiliki keyakinan bahwa ia dapat melakukan kegiatan seperti anak normal lain (I Am), Subjek yakin pada dirinya sendiri untuk bangkit dari keterbatasan fisiknya. Sumber resiliensi I Can (kemampuan sosial dan interpersonal), bahwa PS mampu melakukan kemampuan

sosial dan interpersonal seperti anak lainnya walaupun memiliki keadaan fisik yang mengalami tuna daksa dan mampu meningkatkan kemampuannyayang tidak melibatkan fisik, dengan cara terus belajar untuk meningkatkan prestasinya baik di akademik maupun non akademik (I Can). PS memiliki sumber dukungan eksternal, terutama dari ibu kandung subjek, dan guru beserta teman-teman di sekolahnya yang berhubungan dekat dengan Subjek (I Have).

(21)

PS mampu memposisikan dirinya sebagai orang lain terutama ibunya (Emphaty). Kelima, PS mampu mempresentasikan keyakinannya dan dapat mengetahui bagaimana cara untuk dapat menyelesaikan masalah dengan keterbatasan yang ia miliki (Self-Efficacy). Ke enam, PS mampu mengedintifikasi penyebab dan akibat dari kondisi fisik yang ia memiliki sebagai anak tuna daksa (Causal Analysis). Faktor ketujuh adalah PS menemukan tujuan hidup atas keterbatasannya, mampu mengetahui resiko dari kekurangannya untuk terus berprestasi di akademik atau di non akademik dan mengetahui baik karakteristik diri untuk bangkit dari keterbatasannya (Reaching Out).

PS memiliki fungsi resiliensi. Pertama, PS dapat memiliki cara pandang yang posiif atas keterbatasan yang ia miliki (Overcoming). Kedua, PS mampu menguasai lingkungan dengan cara mendekatkan diri dengan lingkungannya diantaranya, Ibu, teman-teman, dan guru di sekolah, (Steering through). Ketiga, PS mampu mengontrol keterbatasannya sehingga ia mengetahui bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, (Bouncing back). Keempat, mampu mengetahui resiko dari kekurangannya untuk terus berprestasi di akademik atau di non akademik dan mengetahui baik karakteristik diri untuk bangkit dari keterbatasannya (Reaching Out).

Saran

(22)
(23)

Daftar Pustaka

Abdurrachman dan Sudjadi,S. (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Anggraeni, Rahayu Rezky (2006).“Resiliensi pada penyandang tuna daksa pasca kecelakaan”. Skripsi. Program studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma. http://www.google.co.id/search?q=Rahayu+Rezki

+Anggraeni+(2008).+&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).

Anselm, Strauss & Juliet Corbin (2003). Dasar-DasarPenelitianKualitatif. Yogyakarta : PustakaPelajar.

Grotberg. (1999). A guide to Promoting Resilience in Children : Strengthening the Human

Spirit. Denhaag. http://www.google.co.id/search?

q=grotbergE%2C+%26+Lianawati.+(2006).+Resiliensi+dan+prestasi+akademik+pada +anak+tuna+rungu.+Jurnal+provitae&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).

Hurlock, Elizabeth. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi-5). Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hawabi, Agus Iqbal. 2011. Skripsi. “Pengaruh Resiliensi Terhadap Juvenile Delinquency”. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang.

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hidayat. 2009. Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi Pembelajarannya. http://puterakembara.org/BPP/Makalah2.pdf (25 Februari 2011). (diunduh pada tanggal 27 Februari 2013)

Iskandar, 2009. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mangunsong, Frieda (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid Kedua. Jakarta. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Universitas Indonesia.

Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda

Pakpahan. (2011) Perkembangan Moral Kohlberg Studi Kasus pada Narapidana Anak Blitar. Malang. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.

(24)

Poerwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Patton. 2002, Ketrampilan Kepemimpinan, Jakarta, Mitra Media.

Rahmawati, Dian (2009). “Gambaran resiliensi dan kemampuan remaja tunanetra-ganda”.

Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/25395/gambaran-resiliensi-pada-suami-penyandang-tunadaksa.html (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).

Reivich. K dan Shatte A. (2002). Handbook of resilience in children (pp. 223-237). The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner Strength and Overcoming Life's Hurdles (Paperback). http://journal.ui.ac.id/ upload/artikel/ 08_Ok_New_Adriana_PROSES%20 HEALING_Layout.pdf (diunduh pada tanggal 05 November 2011).

Santrock, John.W (1995). Life-Span Development Edisi kelima. Jakarta. Penerbit Erlangga. Strnadova, Iva (2006). Stress and resilience in families of children with specific learning

disabilities. Revista Complutense de Educación; Vol 17, No 2 (2006); 35 – 50. Charles

University, Praga, Republica Checa.

http://sid.usal.es/idocs/F8/ART9837/estr%C3%A9s_y_adaptaci% C3%B3n_en_familias.pdf (diunduh pad a 01 Maret 2012).

Soemantri. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT Refika Adita

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Tugade, M. M & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient Individuals Use Positive Emotions to

Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality ang Social Psycgolog, 8(3), 311-333. http.q=Tugade2C+F.+E%2C+%26+ Resilienst-

Jurnal+provitae&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).

Referensi

Dokumen terkait

Orang muslim yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir, merupakan ajaran dari….. Golongan yang menganut ajaran agama Islam secara murni sebagaimana yang telah diajarkan

[r]

Question

dianalisa dengan metode GC maupun SNI, proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah dapat dilakukan menggunakan bantuan iradiasi gelombang mikro dengan katalis heterogen Na 2

Kapasitas adsorpsi terbesar pada kedua adsorben diperoleh pada konsentrasi awal metilen biru 100 ppm, yaitu sebesar 4,895 mg/g oleh adsorben SSzM dan 4,924 mg/g oleh adsorben SSzC

Apakah pindahnya mereka dari satu masjid ke masjid lain karena semata-mata untuk menyebarkan dakwah secara luas dan merata atau karena sulitnya menemukan masjid yang

memahami dan menjelaskan ide / gagasan matematika yang terdapat pada gambar atau permasalahan yang diberikan Kemampuan dalam menggunakan istilah- istilah, notasi-notasi

Kawani Sarana Petualang menunjukan bahwa Lokasi Toko tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Kesetiaan Pelanggan karena berdasarkan survey yang dilakukan kepada