Dinamika Perkembangan Gampong di Aceh
“Tiap desa menjadi dekat oleh persaudaraan tiap kota menjadi rapat oleh persahabatan tiap jiwa menjadi akrab oleh persefahaman.”
Siapa yang tidak mengenai Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Provinsi yang memiliki julukan ‘serambi mekah’ ini menyandang sebagai daerah istimewa yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya ini memiliki karakteristik khas sebagai daerah yang menerapkan syariah islam. Dikeluarkannya Undang-undang Pemerintahan Aceh sebagai manifestasi diakuinya aceh sebagai daerah khusus dan berhak menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kekhususan aceh. Melalui UU Pemerintahan Aceh ini juga Aceh ingin mengembalikan ciri kedaerahan yang selama ini telah tumbuh dan berkembang, hidup dan dijadikan pedoman oleh orang aceh (Satriani 2007:33).
Ciri khas kedaerahan aceh ini bisa dilihat dari nilai maupun norma yang telah diimplementasikan dalam bentuk lembaga adat dan sosial sebagai bagian dari interaksi masyarakat aceh. Manifestasi dari identitas khas Aceh ini bisa dilihat dari keberadaan kelembagaan yang asli yaitu gampong. Gampong merupakan sebutan untuk desa atau unit pemerintahan terendah dalam struktur pemerintahan yang ada di Provinsi NAD.
Oleh sebab itu, menjadi penting dalam tulisan ini untuk melihat perkembangan aspek sosio-politik gampong sebagai unit pemerintahan terkecil yang khas dari dari masa kolonial hingga reformasi kini. Selain itu tulisan ini juga ingin melihat bagaimana perkembangan Sistem pemerintahan Gampong dari masa ke masa, serta bagaimana kearifan lokal pemerintahan gampong dalam pengelolaan sumber daya yang ada didalamnya.
Gampong dan Perjalanan Sosio-Politiknya
Sebagai kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh, gampong merupakan kumpulan hunian yang diikat oleh satu meunasah (madrasah). Gampong sendiri terdiri dari beberapa jurong, tumpok (kumpulan rumah) atau ujong (ujung gampong) (Arief 2005:11). Penanda dari wilayah suatu gampong bisa dilihat dari keadaan fisik atau topografi alam setempat untuk menandai wilayah gampong yang satu dengan yang lain digunakan batas alam (sungai, tanah, gunung dan bukit). Gampong memiliki karakteristik yang ditandai dengan pola pemukiman yang padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Terdapat bangunan rumah berbentuk rumah panggung dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang terletak di tengah-tengah gampong (Satriani 2007:48).
Karena konsep kekuasaan di Aceh tidak memisakan antara adat dan agama, maka konsep kekuasaan ini dijabarkan dalam pemerintahan hingga ke tingkat gampong. Gampong sendiri memiliki struktur pemerintahan yang dinamakan pemerintahan gampong. Pemerintahan gampong merupakan penyelenggara pemerintahan yang dilaksanakan oleh tiga
pilar pemerintah gampong yaitu keuchik, Teuku Imam Maeunasah, dan badan
permusyawaratan gampong yang disebut Tuha Peut (sekumpulan orang yang dituakan karena
memiliki beberapa kelebihan). Tiga lembaga pemerintah gampong ini berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan gampong. Peranan masing-masing lembaga sudah diatur dimana
keuchik mengurusi masalah pemerintahan, teuku imam maeunasah dalam bidang keagamaan dan tuha peut sebagai perwakilan masyarakat gampong (Hurgronje, 1996:53).
Keuchik atau father of gampong memiliki kewenangan dalam memelihara ketertiban
dan keamanan dan meningkatkan kesejahteraan bagi daerahnya. Penghasilan keuchik didapat
dari bantuan untuk pernikahan wanita dari gampong dimana keuchik berada dan imbalan jasa
biaya peradilan di tingkat uleebalang Selain itu, wewenang dari teuku imam meunasah atau
mother of gampong sendiri yakni pemangku jabatan dalam bidang agama. Teuku imam meunasah ini biasanya yang memiliki pengetahuan lebih banyak dan lebih taat beribadah daripada masyarakatnya. Sumber penghasilan yang didapat meliputi fitrah, zakat, uang akad nikah, hak teuleukin (pembacaan doa-doa), sisa penghasilan keuchik ketika mengunjungi
uleebalang, dan uang meusara (tanah bengkok milik gampong). Sedangkan Tuha peut
merupakan sesepuh/tetua yang dihormati karena pengalamannya, kearifannya, sopan dan santun dan berpengetahuan luas tentang adat gampong. Kehadiran dari Tuha Peut ini diperlukan ketika keuchik dan teugku meunasah berkumpul membahas utusan gampong (Hurgronje, 1996:54-58). Dalam Qanun No.8 tahun 2004 disebutkan unsur-unsur anggota
Ketiga lembaga gampong, yakni keuchik, Imam Meunasa dan tuha peut ini menjalankan kekuasannya secara bersama-sama. Dalam membuat suatu rancangan peraturan
Gampong, Keuchik dapat dibantu oleh perangkat Gampong dalam rangka memperoleh
masukan hal hal yang perlu dibuat peraturan dari lembaga lembaga kemasyarakatan Gampong, seperti halnya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga tersebut memberikan masukan kepada aparatur pemerintah berdasarkan aspirasi yang mereka kumpulkan dari masyarakat. Setelah draf atau rancangan peraturan Gampong yang dibuat
oleh Keuchik tersebut diserahkan kepada Tuha Puet Gampong yang akan melaksanakan rapat
secara musyawarah guna membahas peraturan Gampong tersebut (Muklir et.al, 2012:8). Dalam perjalanan sejarahnya, gampong memiliki lika-liku yang beragam disetiap rezim politik yang memerintah di Indonesia. baik pada masa kolonial dan pasca Indonesia merdeka. Untuk membahas lebih lanjut mengenai masalah ini akan dijabarkan dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini.
1. Masa Kolonial Belanda dan Jepang
Pada masa kolonial belanda, aceh dibagi menjadi dua bagian, yakni 1) daerah indirect
yang terdiri dari leih dari 100 zelfbestuur/landschap, dan 2) daerah direct yang terdiri atas beberapa puluh daerah adat dan administratif. Untuk daerah zelfbestuur sendiri dipimpin oleh
uleebalang, tentu saja sifat mengalir dari kesetiaan gampong dihentikan (Notosusanto et al 1990: 146).
Pada masa kolonial belanda, gampong banyak mengalami trasformasi sosial dan
pergeseran nilai dan ikatan tradisional antara uleebalang, ulama dan warga gampong. Adanya
praktik tanam paksa membuat ikatan tradisional antara warga gampong dan elit gampong
berubah menjadi ikatan kontrak. Belanda secara efektif menjalankan politik indirect rule
sampai ke unit pemerintahan paling bawah membuat para uleebalang menjadi kaki tangan
Kondisi gampong makin diperparah dengan masuknya penjajahan Jepang (1942-1945) di Indonesia. Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang,gampong di Aceh juga mengalami hal seperti demikian. Menurut Irine Hiraswari Gayatri (2007) jepang menerapkan politik keseimbangan dengan mengakomodir uleebalang dan ulama untuk membantu jepang dalam melawan sekutu di perang Asia Raya. Sementara itu, warga gampong mengalami kesengsaraan ekonomi dengan menjadi tenaga paksa untuk kepentingan militer dan ekonomi jepang. contoh di Gayo misalnya terjadi pemiskinan rakyat menyusul pembangunan jalan dari daerah Takengon ke Blangkejeren dengan kerja paksa (Gayatri 2007:113).
2. Pasca Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, salah satu agenda yang dipersiapkan bagi daerah-daerah di Indonesia yakni mengenai otonomi daerah. Desa diakui sebagai komunitas rakyat yang otonom dengan diakuinya hak – hak istimewa. Entitas otonom itu
seperti Zelfbestuurlandschappen dan Volksgemeenschappen merujuk pada istilah Gampong di
Aceh. hak otonomi diberikan negara di tingkat paling bawah sampai ke desa bukan kelurahan sebagai kesatuan masyarakat untuk mengatur rumah tangganya sendiri. UU 22 tahun 1948 menyebutkan bahwa Desa sebagai daerah yang memiliki bentuk dan wewenang yang otonom untuk mengatur dan menjalankan pemerintahannya sendiri.
Meskipun otonomi dan diakuinya hak-hak istimewa bagi unit pemerintahan terkecil sudah diakui oleh pemerintah pusat. namun pada masa revolusi (1945-1950) terjadi kemerosotan terhadap komoditi pertanian yang berimbas pada stagnansi ekonomi gampong. Gampong yang pada awalnya merupakan tanah tempat bercocok tanam yang didiami oleh sekelompok manusia kini semakin ditinggalkan karena memudarnya ikatan social dan ikatan territorial. Melemahnya otoritas pranata pemerintahan gampong seperti uleebalang, keuchik, dan ulama tidak sekuat pada masa lampau karena adanya trasnformasi sosial dari pola kehidupan agraris ke pola semi-urban mengakibatkan reduksi identitas cultural warga gampong (Gayatri 2007:114).
semua kebijakan pusat secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak memperkuat daerah otonom, tapi memperkuat wilayah administrasi (Nurcholis 2011: 217).
Bisa dilihat bahwa orde baru secara sistematis melakukan penghancuran terhadap eksistensi gampong di aceh. Berbekal UU No 5 tahun 1979 yang berisi tentang penyeragaman satuan unit pemerintahan terkecil sebagai desa ini, orde baru juga menaruh elit-elit baru untuk menguasai pemerintahan daerah Aceh dalam rangka mengontrol gampong melalui teknokrat lokal, birokrasi militer dan ulama yang telah dikooptasi melalui MUI (Gayatri 2007:114).
Dampak lain yang timbul akibat diterapkannya UU 5/1979 ini dirasakan pada struktur lembaga gampong dimana jabatan Teungku Imam Muenesah dihilangkan dari kelembagaan
formal menjadi informal. Para keuchik atau pimpinan gampong tidak lebih dari kepanjangan
tangan birokrasi di atasnya, yang tunduk dengan skema pembangunan, tanpa dapat melakukan inisiatif untuk membangun gampong. Tidak berhenti sampai disitu, fungsi
lembaga perwakilan gampong atau tuha peut diganti dengan Lembaga Musyawarah Desa
(LMD). Namun bisa dipastikan bahwa peranan LMD dalam rezim orde baru sangat impoten tidak bisa memenuhi representasi masyarakat karena diketuai oleh kepala desa –sebagai kepanjangan tangan pemerintah- secara bersamaan. Selain itu, gampong juga semakin tertekan oleh pembangunan yang dilakukan oleh rezim orde baru. studi yang dilakukan oleh Irine Hiraswari Gayatri (2007) mengatakan adanya perluasan wilayah HPH, HTI, dan pembuatan kawasan industri. Tanah warga dibeli dengan harga 350 rupiah per meter persegi sebagai tempat markas militer. Ureueng gampong makin miskin, tertinggal, dan terjepit oleh konflik di sebagian besar wilayah Aceh yang pada saat itu Gerakan Aceh Merdeka semakin memperkuat eksistensinya.
asal-usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu Desa bisa disebut dengan nama lain atau sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat.
Pada masa reformasi ini pula momentum bagi gampong untuk merevitalisasi diri. Dikeluarkannya UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi NAD yang ditindaklanjuti dengan Qanun No 5/2003 tentang gampong dalam membuka ruang guna kembali lagi ke adat dan agama islam. Sudah banyak gampong-gampong yang kembali lagi
untuk membangun kembali seperti bentuk dahulu sebagai self-governing community di unit
pemerintahan terkecil di Aceh.
Akan tetapi terdapat problematika dimana penghargaan bagi adat dan pranata gampong sudah mulai memudar. Ditambah lagi dengan melemahnya sumber daya manusia di gampong yang membuat kesulitan bagi gampong untuk proses ‘kembali’ ke gampong. Studi yang dilakukan oleh Irine Hiraswari Gayatri (2007) di Gampong Meria Kabupaten Aceh Utara menunjukan bahwa kembalinya desa-desa yang dahulu dibentuk oleh rezim orde baru mengalami perubahan menjadi gampong kembali. Akan tetapi muncul paradoks didalamnya dimana dalam praktiknya, gampong masih menjalankan praktik desa buatan orde baru. selain itu, pemerintahan gampong di Gampong Meria juga menunjukan bahwa keberadaan perangkat gampong kini juga telah tereduksi sekedar alat pemerintahan formal yang tugasnya mengurusi pembuatan atau penggantian KTP, jual beli tanah, dan lainnya. Sedangkan tugas sosial yang seharusnya mereka emban, telah diambil alih oleh masyarakat (Gayatri 2007:115).
Pengelolaan Sumber Daya Alam Gampong
Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki desa dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat ialah tanah dan seluruh isinya yang berada di wilayahnya. Begitu pula dengan gampong juga memiliki sumberdaya alam serupa pula. Adanya tanah-tanah ulayat miliki gampong seperti persawahan, perkebunan, hutan, dan hasil tambang banyak tersebar di berbagai gampong di Aceh. Orang Aceh cenderung tidak menggunakan istilah hak ulayat yang umum dipakai di seluruh pelosok Indonesia . Tetapi, pada prakteknya, hak bersama atas tanah di Aceh adalah serupa dengan hak ulayat. Penentuan untuk izin pemakaian tanah ini biasanya diputuskan oleh keuchik.
menerima dan menjalankan program yang telah ditentukan dari institusi supra-desa. Padahal gampong memiliki sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan. Alih-alih untuk kepentingan pembangunan, hak ulayat gampong yang dimiliki sacara turun-temurun secara sistematis dirampas. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan rakyat, khususnya kedaulatan masyarakat adat. Menurut Sutoro Eko (2007) berbagai kebijakan (seperti UU Kehutanan, UU pertambangan, UU Penataan Ruang) diimplementasikan secara sepihak dengan menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di wilayah adat dibawah kontrol pemerintah. akibat yang ditimbulkan kemudian, gampong yang pada awalnya memiliki sumber daya alam menjadi tidak memiliki apapun. Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi instrument utama bagi pemerintah dalam mengambil alih sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat gampong dan pengusahaannya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta yang menjadi kroni orde baru (Eko:2007).
Setelah rezim orde baru runtuh, dengan diterapkannya pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Aceh, maka perlu pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masing-masing gampong untuk mendapat hak kelolanya sendiri. masyarakat gampong memberdayakan dirinya dengan memaksimalkan potensi yang
ada termasuk dalam hal bangunan meunasah beserta tanah, tanoh meusara, harta wakaf,
zakat dan prinsip tolong menolong sebagai potensi ekonomi daerah mereka. Kehadiran seorang keuchik memiliki peran yang vital dalam memajukan perekonomian masyarakat gampong. Misalnya saja dalam memajukan perekonomian masyarakat dan memelihara kelestarian lingkungan hidup yang dimiliki gampong –termasuk didalamnya pemanfaatan
sumber daya alam- sangat dibutuhkan. Misalnya saja keuchik berperan dalam mengucurkan
dana peumakmue gampong sebesar Rp 150 juta per gampong. Dana ini merupakan gabungan
dana yang berasal dari pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten kota untuk
pembangunan gampong (Ismail [eds.] 2010:61).
Penutup
daerah saja, melainkan juga berpengaruh pada cara pengelolaan sumber daya yang ada. Pemerintahan dan pengelolaan sumber daya yang ada di gampong ini adalah contoh kecil dari dampak yang ditimbulkan dari pelbagai jenis sistem pemerintahan yang dianut Indonesia, mulai dari Sentralistik dan desentralistik.